Anda di halaman 1dari 29

LP CKD DAN HEMODIALISA

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN CKD


(CHRONIC KIDNEY DISEASE) YANG MENJALANI HEMODIALISA
Di Instalasi Hemodialisa RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

Tugas Mandiri
Stase Keperawatan Medikal Bedah

Disusun oleh :
AYU MINASARI SETIAWULAN
10/299847/KU/14018

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015

HEMODIALISA
A. DEFINISI
Dialisis merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan
produk limbah dari dalam tubuh. Suatu proses pembuatan zat terlarut dan cairan d
ari darah melewati membrane semi permeable. Ini berdasarkan pada prinsip difusi
; osmosis dan ultra filtrasi.
Pada Hemodialisis, darah adalah salah satu kompartemen dan dialisat adalah bagi
an yang lain. Membran semipermeabel adalah lembar tipis, berpori-
pori terbuat dari selulosa atau bahan sintetik. Ukuran pori-
pori membran memungkinkan difusi zat dengan berat molekul rendah seperti urea
, kreatinin, dan asam urat berdifusi. Molekul air juga sangat kecil dan bergerak be
bas melalui membran, tetapi kebanyakan protein plasma, bakteri, dan sel-
sel darah terlalu besar untuk melewati pori-
pori membran. Perbedaan konsentrasi zat pada dua kompartemen disebut gradien
konsentrasi.

B. Fungsi
1. Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin, dan asam urat.
2. Membuang kelebihan air dengan mempengaruhi tekanan banding antara darah dan
bagian cairan, biasanya terdiri atas tekanan positif dalam arus darah dan tekanan n
egatif (penghisap) dalam kompartemen dialisat (proses ultrafiltrasi).
3. Mempertahankan dan mengembalikan system buffer tubuh.
4. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.
Ada 2 metode dialisa, yaitu hemodialisa dan dialisa peritoneal. Pada hemo
dialisa, darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan dipompa ke dalam mesin yang
akan menyaring zat-
zat racun keluar dari darah dan kemudian darah yang sudah bersih dikembalikan l
agi ke dalam tubuh penderita. Jumlah total cairan yang dikembalikan dapat disesu
aikan.
Pada dialisa peritoneal, cairan yang mengandung campuran gula dan gara
m khusus dimasukkan ke dalam rongga perut dan akan menyerap zat-
zat racun dari jaringan. Cairan tersebut kemudian dikeluarkan lagi dan dibuang.

C. INDIKASI
1. Pasien yang memerlukan hemodialisa adalah pasien GGK dan GGA untuk sement
ara sampai fungsi ginjalnya pulih.
2. Pasien-
pasien tersebut dinyatakan memerlukan hemodialisa apabila terdapat indikasi:
a. Hiperkalemia
b. Asidosis
c. Kegagalan terapi konservatif
d. Kadar ureum / kreatinin tinggi dalam darah
e. Kelebihan cairan
f. Mual dan muntah hebat

D. Prinsip Hemodialisa
1. Akses Vaskuler :
Seluruh dialysis membutuhkan akses ke sirkulasi darah pasien. Kronik bia
sanya memiliki akses permanent seperti fistula atau graf sementara. Akut memilik
i akses temporer seperti vascoth.
2. Membran semi permeable
Hal ini ditetapkan dengan dialyser actual dibutuhkan untuk mengadakan k
ontak diantara darah dan dialisat sehingga dialysis dapat terjadi.
3. Difusi
Dalam dialisat yang konvensional, prinsip mayor yang menyebabkan pemi
ndahan zat terlarut adalah difusi substansi. Berpindah dari area yang konsentrasi ti
nggi ke area dengan konsentrasi rendah. Gradien konsentrasi tercipta antara darah
dan dialisat yang menyebabkan pemindahan zat pelarut yang diinginkan. Mencega
h kehilangan zat yang dibutuhkan.
4. Konveksi
Saat cairan dipindahkan selama hemodialisis, cairan yang dipindahkan aka
n mengambil bersama dengan zat terlarut yang tercampur dalam cairan tersebut.
5. Ultrafiltrasi
Proses dimana cairan dipindahkan saat dialysis dikenali sebagai ultrafiltras
i artinya adalah pergerakan dari cairan akibat beberapa bentuk tekanan. Tiga tipe d
ari tekanan dapat terjadi pada membrane :
a. Tekanan positip merupakan tekanan hidrostatik yang terjadi akibat cairan dalam me
mbrane. Pada dialysis hal ini dipengaruhi oleh tekanan dialiser dan resisten vena t
erhadap darah yang mengalir balik ke fistula tekanan positip “mendorong” cairan
menyeberangi membrane.
b. Tekanan negative merupakan tekanan yang dihasilkan dari luar membrane oleh pom
pa pada sisi dialisat dari membrane tekanan negative “menarik” cairan keluar dara
h.
c. Tekanan osmotic merupakan tekanan yang dihasilkan dalam larutan yang berhubung
an dengan konsentrasi zat terlarut dalam larutan tersebut. Larutan dengan kadar za
t terlarut yang tinggi akan menarik cairan dari larutan lain dengan konsentrasi yan
g rendah yang menyebabkan membrane permeable terhadap air.
E. PERALATAN
1. Dialiser atau Ginjal Buatan
Komponen ini terdiri dari membran dialiser yang memisahkan kompartem
en darah dan dialisat. Dialiser bervariasi dalam ukuran, struktur fisik dan tipe me
mbran yang digunakan untuk membentuk kompartemen darah. Semua factor ini m
enentukan potensi efisiensi dialiser, yang mengacu pada kemampuannya untuk me
mbuang air (ultrafiltrasi) dan produk-produk sisa (klirens).
2. Dialisat atau Cairan dialysis
Dialisat atau “bath” adalah cairan yang terdiri atas air dan elektrolit utam
a dari serum normal. Dialisat ini dibuat dalam system bersih dengan air keran dan
bahan kimia disaring. Bukan merupakan system yang steril, karena bakteri terlalu
besar untuk melewati membran dan potensial terjadinya infeksi pada pasien mini
mal. Karena bakteri dari produk sampingan dapat menyebabkan reaksi pirogenik,
khususnya pada membran permeable yang besar, air untuk dialisat harus aman sec
ara bakteriologis. Konsentrat dialisat biasanya disediakan oleh pabrik komersial.
Bath standar umumnya digunakan pada unit kronis, namun dapat dibuat variasiny
a untuk memenuhi kebutuhan pasien tertentu.
3. Sistem Pemberian Dialisat
Unit pemberian tunggal memberikan dialisat untuk satu pasien: system pe
mberian multiple dapat memasok sedikitnya untuk 20 unit pasien. Pada kedua syst
em, suatu alat pembagian proporsi otomatis dan alat pengukur serta pemantau me
njamin dengan tepat kontrol rasio konsentrat-air.
4. Asesori Peralatan
Piranti keras yang digunakan pada kebanyakan system dialysis meliputi po
mpa darah, pompa infus untuk pemberian heparin, alat monitor untuk pendeteksi s
uhu tubuh bila terjadi ketidakamanan, konsentrasi dialisat, perubahan tekanan, uda
ara, dan kebocoran darah.
5. Komponen manusia
6. Pengkajian dan penatalaksanaan
F. PROSEDUR HEMODIALISA
Setelah pengkajian pradialisis, mengembangkan tujuan dan memeriksa keam
anan peralatan, perawat sudah siap untuk memulai hemodialisis. Akses ke system
sirkulasi dicapai melalui salah satu dari beberapa pilihan: fistula atau tandur arteri
ovenosa (AV) atau kateter hemodialisis dua lumen. Dua jarum berlubang besar (di
ameter 15 atau 16) dibutuhkan untuk mengkanulasi fistula atau tandur AV. Katete
r dua lumen yang dipasang baik pada vena subklavikula, jugularis interna, atau fe
moralis, harus dibuka dalam kondisi aseptic sesuai dengan kebijakan institusi.

Jika akses vaskuler telah ditetapkan, darah mulai mengalir, dibantu oleh po
mpa darah. Bagian dari sirkuit disposibel sebelum dialiser diperuntukkan sebagai
aliran “arterial”, keduanya untuk membedakan darah yang masuk ke dalamnya se
bagai darah yang belum mencapai dialiser dan dalam acuan untuk meletakkan jaru
m: jarum “arterial” diletakkan paling dekat dengan anastomosis AV pada vistula a
tau tandur untuk memaksimalkan aliran darah. Kantong cairan normal salin yang
di klep selalu disambungkan ke sirkuit tepat sebelum pompa darah. Pada kejadian
hipotensi, darah yang mengalir dari pasien dapat diklem sementara cairan normal
salin yang diklem dibuka dan memungkinkan dengan cepat menginfus untuk me
mperbaiki tekanan darah. Tranfusi darah dan plasma ekspander juga dapat disamb
ungkan ke sirkuit pada keadaan ini dan dibiarkan untuk menetes, dibantu dengan
pompa darah. Infus heparin dapat diletakkan baik sebelum atau sesudah pompa da
rah, tergantung peralatan yang digunakan.
Dialiser adalah komponen penting selanjutnya dari sirkuit. Darah mengalir k
e dalam kompartemen darah dari dialiser, tempat terjadinya pertukaran cairan dan
zat sisa. Darah yang meninggalkan dialiser melewati detector udara dan foam yan
g mengklem dan menghentikan pompa darah bila terdeteksi adanya udara. Pada k
ondisi seperti ini, setiap obat-
obat yang akan diberikan pada dialysis diberikan melalui port obat-
obatan. Penting untuk diingat, bagaimanapun bahwa kebanyakan obat-
obatan ditunda pemberiannya sampai dialysis selesai kecuali memang diperintahk
an.
Darah yang telah melewati dialysis kembali ke pasien melalui “venosa” atau
selang postdialiser. Setelah waktu tindakan yang diresepkan, dialysis diakhiri den
gan mengklem darah dari pasien, membuka selang aliran normal salin, dan membi
las sirkuit untuk mengembalikan darah pasien. Selang dan dialiser dibuang kedala
m perangkat akut, meskipun program dialisis kronik sering membeli peralatan unt
uk membersihkan dan menggunakan ulang dialiser.
Tindakan kewaspadaan umum harus diikuti dengan teliti sepanjang tindakan
dialysis karena pemajanan terhadap darah. Masker pelindung wajah dan sarung ta
ngan wajib untuk digunakan oleh perawat yang melakukan hemodialisis.

G. Pedoman Pelaksanaan Hemodialisa


1. Perawatan sebelum hemodialisa
a. Sambungkan selang air dengan mesin hemodialisa
b. Kran air dibuka
c. Pastikan selang pembuang air dan mesin hemodialisis sudah masuk kelubang atau sa
luran pembuangan
d. Sambungkan kabel mesin hemodialisis ke stop kontak
e. Hidupkan mesin
f. Pastikan mesin pada posisi rinse selama 20 menit
g. Matikan mesin hemodialisis
h. Masukkan selang dialisat ke dalam jaringan dialisat pekat
i. Sambungkan slang dialisat dengan konektor yang ada pada mesin hemodialisis
j. Hidupkan mesin dengan posisi normal (siap)

2. Menyiapkan sirkulasi darah


a. Bukalah alat-alat dialysis dari set nya
b. Tempatkan dializer pada tempatnya dan posisi “inset” (tanda merah) diatas dan posi
si “outset” (tanda biru) di bawah.
c. Hubungkan ujung merah dari ABL dengan ujung “inset”dari dializer.
d. Hubungkan ujung biru dari UBL dengan ujung “out set” dari dializer dan tempatkan
buble tap di holder dengan posisi tengah..
e. Set infus ke botol NaCl 0,9% - 500 cc
f. Hubungkan set infus ke slang arteri
g. Bukalah klem NaCl 0,9%, isi slang arteri sampai ke ujung slang lalu diklem.
h. Memutarkan letak dializer dengan posisi “inset” di bawah dan “out set” di atas, tuju
annya agar dializer bebas dari udara.
i. Tutup klem dari slang untuk tekanan arteri, vena, heparin
j. Buka klem dari infus set ABL, VBL
k. Jalankan pompa darah dengan kecepatan mula-
mula 100 ml/menit, kemudian naikkan secara bertahap sampai dengan 200 ml/me
nit.
l. Isi bable-trap dengan NaCl 0,9% sampai ¾ cairan
m. Berikan tekanan secara intermiten pada VBL untuk mengalirkan udara dari dalam d
ializer, dilakukan sampai dengan dializer bebas udara (tekanan lebih dari 200 mm
Hg).
n. Lakukan pembilasan dan pencucian dengan NaCl 0,9% sebanyak 500 cc yang terda
pat pada botol (kalf) sisanya ditampung pada gelas ukur.
o. Ganti kalf NaCl 0,9% yang kosong dengan kalf NaCl 0,9% baru
p. Sambungkan ujung biru VBL dengan ujung merah ABL dengan menggunakan kone
ktor.
q. Hidupkan pompa darah selama 10 menit. Untuk dializer baru 15-
20 menit untuk dializer reuse dengan aliran 200-250 ml/menit.
r. Kembalikan posisi dializer ke posisi semula di mana “inlet” di atas dan “outlet” di b
awah.
s. Hubungkan sirkulasi darah dengan sirkulasi dialisat selama 5-
10 menit, siap untuk dihubungkan dengan pasien )soaking.
3. Persiapan pasien
a. Menimbang berat badan
b. Mengatur posisi pasien
c. Observasi keadaan umum
d. Observasi tanda-tanda vital
e. Melakukan kamulasi/fungsi untuk menghubungkan sirkulasi, biasanya memperguna
kan salah satu jalan darah/blood akses seperti di bawah ini:
1) Dengan interval A-V shunt / fistula simino
2) Dengan external A-V shunt / schungula
3) Tanpa 1 – 2 (vena pulmonalis)

H. Intrepretasi Hasil
Hasil dari tindakan dialysis harus diintrepretasikan dengan mengkaji jumlah caira
n yang dibuang dan koreksi gangguan elektrolit dan asam basa. Darah yang diamb
il segera setelah dialysis dapat menunjukkan kadar elektrolit, nitrogen urea, dan kr
eatinin rendah palsu. Proses penyeimbangan berlangsung terus menerus setelah di
alysis, sejalan perpindahan zat dari dalam sel ke plasma.

I. Komplikasi
1. Ketidakseimbangan cairan
a. Hipervolemia
b. Ultrafiltrasi
c. Rangkaian Ultrafiltrasi (Diafiltrasi)
d. Hipovolemia
e. Hipotensi
f. Hipertensi
g. Sindrom disequilibrium dialysis

2. Ketidakseimbangan Elektrolit
a. Natrium serum
b. Kalium
c. Bikarbonat
d. Kalsium
e. Fosfor
f. Magnesium
3. Infeksi
4. Perdarahan dan Heparinisasi
5. Troubleshooting
a. Masalah-masalah peralatan
b. Aliran dialisat
c. Konsentrat Dialisat
d. Suhu
e. Aliran Darah
f. Kebocoran Darah
g. Emboli Udara
6. Akses ke sirkulasi
a. Fistula Arteriovenosa
b. Ototandur
c. Tandur Sintetik
d. Kateter Vena Sentral Berlumen Ganda

CKD (Chronic Kidney Disease)

A. Definisi
CKD atau biasa dikenal sebagai gagal ginjal kronik adalah progresifitas lamb
at dari fungsi ginjal selama beberapa tahun yang akhirnya pasien memiliki gagal g
injal permanen. Menurut Kidney Disease Outcome Quality Initiative (KDOQI), ga
gal ginjal kronik adalah kerusakan pada organ ginjal dimana terjadi penurunan tin
gkat filtraasi glomerulus (Glomerular Filtration Rate -
GFR) kurang dari 60 ml/min/1,73 m2 dalam kurun waktu 3 bulan atau lebih.

B. Patofisiologi
Menurut Smeltzer, dan Bare (2001) proses terjadinya CKD adalah akibat dari
penurunan fungsi renal, produk akhir metabolisme protein yang normalnya diekre
sikan ke dalam urin tertimbun dalam darah sehingga terjadi uremia yang mempen
garui sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka setiap gejala
semakin meningkat, sehingga menyebabkan gangguan kliren renal. Banyak masal
ah pada ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah glomerulus yang berfungsi, s
ehingga menyebabkan penurunan klirens subtsansi darah yang seharusnya dibersi
hkan oleh ginjal.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dapat dideteksi dengan mendapatka
n urin 24 jam untuk pemeriksaaan kliren kreatinin. Menurunya filtrasi glomelurus
atau akibat tidak berfungsinya glomeluri klirens kreatinin. Sehingga kadar kreatini
n serum akan meningkat selain itu, kadar nitrogen urea darah (BUN) biasanya me
ningkat. Kreatinin serum merupakan indikator paling sensitif dari fungsi renal kar
ena substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh. BUN tidak hanya dipengar
uhi oleh penyakit renal tahap akhir, tetapi juga oleh masukan protein dalam diet, k
atabolisme dan medikasi seperti steroid.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) juga berpengaruh pada retensi caira
n dan natrium. Retensi cairan dan natrium tidak terkontol dikarenakan ginjal tidak
mampu untuk mengonsentrasikan atau mengencerkan urin secara normal pada pe
nyakit ginjal tahap akhir, respon ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan c
airan dan elektrolit sehari-
hari tidak terjadi. Natrium dan cairan sering tertahan dalam tubuh yang meningkat
kan resiko terjadinya oedema, gagal jantung kongesti, dan hipertensi. Hipertensi j
uga dapat terjadi akibat aktivasi aksis renin angiotensin dan kerjasama keduanya
meningkatkan sekresi aldosteron. Pasien lain mempunyai kecenderungan untuk ke
hilangan garam, mencetuskan resiko hipotensi dan hipovolemia. Episode muntah
dan diare menyebabkan penipisan air dan natrium, yang semakin memperburuk st
atus uremik.
Asidosis metabolik terjadi akibat ketidakmampuan ginjal mensekresikan muat
an asam (H+) yang berlebihan. Sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tub
ulus ginjal untuk mensekresi amonia (NH3) dan mengabsorpsi natrium bikarbonat
(HCO3). Penurunan sekresi fosfat dan asam organik lain juga terjadi.
Kerusakan ginjal pada CKD juga menyebabkan produksi eritropoetin menuru
n dan anemia terjadi disertai sesak napas, angina dan keletihan. Eritropoetin yang
tidak adekuat dapat memendekkan usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan kec
enderungan untuk mengalami perdarahan karena status pasien, terutama dari salur
an gastrointestinal sehingga terjadi anemia berat atau sedang. Eritropoitin sendiri
adalah subtansi normal yang diproduksi oleh ginjal untuk menstimulasi sum-
sum tulang untuk menghasilkan sel darah merah.
Abnormalitas utama yang lain pada CKD menurut Smeltzer, dan Bare (2001)
adalah gangguan metabolisme kalsium dan fosfat tubuh yang memiliki hubungan
saling timbal balik, jika salah satunya meningkat yang lain menurun. Penurunan L
FG menyebabkan peningkatan kadar fosfat serum dan sebaliknya penurunan kada
r serum menyebabkan penurunan sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid. Na
mun pada CKD, tubuh tidak berespon secara normal terhadap peningkatan sekresi
parathormon, dan akibatnya kalsium di tulang menurun, menyebabkan perubahan
pada tulang dan menyebabkan penyakit tulang, selain itu metabolik aktif vitamin
D (1,25 dihidrokolekalsiferol) yang secara normal dibuat didalam ginjal menurun,
seiring dengan berkembangnya CKD terjadi penyakit tulang uremik dan sering di
sebut Osteodistrofienal. Osteodistrofienal terjadi dari perubahan komplek kalsium
, fosfat dan keseimbangan parathormon. Laju penurunan fungsi ginjal juga berkait
an dengan gangguan yang mendasari ekresi protein dan urin, dan adanya hipertens
i. Pasien yang mengekresikan secara signifikan sejumlah protein atau mengalami
peningkatan tekanan darah cenderung akan cepat memburuk dari pada mereka yan
g tidak mengalimi kondisi ini.

Gambar 1. Patogenesis Chronic kidney disease dan komplikasinya terhadap s


istem kardiovaskuler. Pada PGK stage 1 dan 2 terdapat hubungan yang erat anta
ra merokok, obesitas, hipertensi, dislipidemia, homocysteinemia, inflamasi kronik
dengan faktor resiko, nefropati primer, dan diabetes mellitus. Hal ini dapat menye
babkan suatu inflamasi kronik pada sistem kardiovaskuler. PGK yang memburuk
dimana telah terjadi kerusakan glumerulus atau jaringan interstisial disebut deng
an PGK stage 3-
4. Pada keadaan ini akan terjadi anemia, toksin uremik, abnormalitas dari kalsiu
m dan fosfat, dan overload natrium dan air. Hal ini juga dapat menyebabkan infla
masi kronik pada sistem kardiovaskuler. Pada PGK stage 5 terjadi sklerosis dan f
ibrosis pada glomerulus. Hal ini dapat meningkatkan terjadinya inflamasi kronik
pada sistem kardiovaskuler dan stimulasi monosit. Hal ini akan meningkatkan res
istensi insulin, metabolisme otot, dan adipositokin. Selain itu, stimulasi monosit ju
ga akan menyebabkan reaktan fase akut, menurunkan appetite, remodeling tulang
, dan disfungsi endotel (Dikutip dari Nitta, 2011).

C. Manifestasi klinis
1. Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang etiolo
ginya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran histopatologi te
rtentu pada glomerulus (Markum, 1998). Berdasarkan sumber terjadinya kelainan,
glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabi
la penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekun
der apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes me
litus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis (Prod
josudjadi, 2006).
2. Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo (2005) diab
etes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedu
a-duanya.
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini
dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan.
Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-
lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yan
g menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang me
nurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudi
an orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya (Waspadji
, 1996).
3. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan tekanan darah diast
olik ≥ 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Mansjoer, 2001).
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertens
i esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik,
dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal (Sidabutar, 1998).
4. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau materi
al yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemuk
an kista-
kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh
karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penya
kit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatka
n. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (
adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar baru bermanifestasi p
ada usia di atas 30 tahun (Suhardjono, 1998).

D. Faktor risiko
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes melitus at
au hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan individu de
ngan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam kelu
arga (National Kidney Foundation, 2009).
E. Klasifikasi
Pada tahun 2002, KDOQI menerbitkan klasifikasi tahapan penyakit gagal ginj
al kornis sebagai berikut:
1. Tahap 1 : kerusakan ginjal dengan GFR normal atau meningkat (>90ml/min/1,73m2
)
2. Tahap 2 : penurunan ringan pada GFR (60-89 ml/min/1,73m2)
3. Tahap 3 : penurunan moderat pada GFR (30-59 ml/min/1,73m2)
4. Tahap 4 : penurunan berat pada GFR (15-29 ml/min/1,73m2)
5. Tahap 5 : gagal ginjal (GFR <15 ml/min/1,73m2 atau dialisis)
Pada tahap 1 dan tahap 2 penyakit gagal ginjal kronis, GFR saja tidak dapat di
lakukan diagnosis. Tanda lain dari kerusakan ginjal, termasuk kelainan dalam ko
mposisi darah atau urin atau kelainan pada studi pencitraan, juga harus ada dalam
menetapkan diagnosis tahap 1 dan tahap 2 penyakit ginjal kronis.
Pasien dengan penyakit ginjal kronis stadium 1-
3 umunya asimptomatik, manifestasi klinis biasanya muncul dalam tahap 4-
5. Diagnosis dini, pengobatan dan penyebab atau tindakan pencegahan sekunder s
angat penting pada pasien dengan penyakit ginjal kronis. Hal ini dapat menunda at
au menghentikan kemungkinan atau kemajuan gagal ginjal.

F. Gambaran klinik
Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat k
ompleks, meliputi kelainan-
kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit,
selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular (Sukandar, 20
06).
1. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-
94 CU), sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia yang terjadi sa
ngat bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau bersihan kreatinin kuran
g dari 25 ml per menit.
2. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gaga
l ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dam muntah ma
sih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus
sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsan
gan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-
keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet
protein dan antibiotika.
3. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien
gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat
pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan sar
af mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retin
a (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpa
i pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada c
onjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskulari
sasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronik
akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.
4. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan didu
ga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan sege
ra hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tid
ak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea fro
st.
5. Kelainan selaput serosa
Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai pada
gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Kelainan selaput serosa meru
pakan salah satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisis.
6. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan dep
resi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat seperti
konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada
pasien GGK. Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien de
ngan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya (personali
tas).
7. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat ko
mpleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi siste
m vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadiu
m terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung. Pendekatan diagnosis
mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan yang terarah dan k
ronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan pemeriksaan pe
nunjang diagnosis rutin dan khusus (Sukandar, 2006).
G. Penatalaksanaan
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal sec
ara progresif, meringankan keluhan-
keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara opti
mal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
a) Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau meng
urangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangg
uan keseimbangan negatif nitrogen.
b) Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan t
ujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara st
atus nutrisi dan memelihara status gizi.
c) Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah
diuresis mencapai 2 L per hari.
d) Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari L
FG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
2. Terapi simtomatik
a) Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium (hiper
kalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan supl
emen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bi
la pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
b) Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan
terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-
hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
c) Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijump
ai pada CKD. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief compl
aint) dari CKD. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai d
ari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisi
s adekuat dan obat-obatan simtomatik.
d) Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
e) Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler
yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
f) Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
g) Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderit
a.
3. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yait
u pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, d
ialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
a) Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik a
zotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien
GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG).
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Be
berapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neur
opati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan
diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BU
N) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8
mL/menit/1,73mイ, mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar, 2006).
b) Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-
akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pu
sat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak
-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-
pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-
pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, k
esulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal
terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai
co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-
medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan
sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006).
c) Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal). Per
timbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
1) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginja
l, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah
2) Kualitas hidup normal kembali
3) Masa hidup (survival rate) lebih lama
4) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat imuno
supresif untuk mencegah reaksi penolakan
5) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi

B. Fokus Pengkajian
Pengkajian fokus yang disusun berdasarkan pada Gordon dan mengacu pada Doen
ges (2001), serta Carpenito (2006) sebagai berikut :
1. Demografi.
Penderita CKD kebanyakan berusia diantara 30 tahun, namun ada juga yang
mengalami CKD dibawah umur tersebut yang diakibatkan oleh berbagai hal seper
ti proses pengobatan, penggunaan obat-
obatan dan sebagainya. CKD dapat terjadi pada siapapun, pekerjaan dan lingkung
an juga mempunyai peranan penting sebagai pemicu kejadian CKD. Karena kebia
saan kerja dengan duduk / berdiri yang terlalu lama dan lingkungan yang tidak me
nyediakan cukup air minum / mengandung banyak senyawa / zat logam dan pola
makan yang tidak sehat.
2. Riwayat penyakit yang diderita pasien sebelum CKD seperti DM, glomerulo nefri
tis, hipertensi, rematik, hiperparatiroidisme, obstruksi saluran kemih, dan traktus u
rinarius bagian bawah juga dapat memicu kemungkinan terjadinya CKD.
3. Pengkajian pola fungsional Gordon
a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan pasien
Gejalanya adalah pasien mengungkapkan kalau dirinya saat ini sedang sakit p
arah. Pasien juga mengungkapkan telah menghindari larangan dari dokter. Tandan
ya adalah pasien terlihat lesu dan khawatir, pasien terlihat bingung kenapa kondisi
nya seprti ini meski segala hal yang telah dilarang telah dihindari.
b. Pola nutrisi dan metabolik.
Gejalanya adalah pasien tampak lemah, terdapat penurunan BB dalam kurun
waktu 6 bulan. Tandanya adalah anoreksia, mual, muntah, asupan nutrisi dan air n
aik atau turun.
c. Pola eliminasi
Gejalanya adalah terjadi ketidak seimbangan antara output dan input. Tandan
ya adalah penurunan BAK, pasien terjadi konstipasi, terjadi peningkatan suhu dan
tekanan darah atau tidak singkronnya antara tekanan darah dan suhu.
d. Aktifitas dan latian.
Gejalanya adalah pasien mengatakan lemas dan tampak lemah, serta pasien ti
dak dapat menolong diri sendiri. Tandanya adalah aktivitas dibantu.
e. Pola istirahat dan tidur.
Gejalanya adalah pasien terliat mengantuk, letih dan terdapat kantung mata. T
andanya adalah pasien terliat sering menguap.
f. Pola persepsi dan koknitif.
Gejalanya penurunan sensori dan rangsang. Tandanya adalah penurunan kesa
daran seperti ngomong nglantur dan tidak dapat berkomunikasi dengan jelas.
g. Pola hubungan dengan orang lain.
Gejalanya pasien sering menghindari pergaulan, penurunan harga diri sampai
terjadinya HDR (Harga Diri Rendah). Tandanya lebih menyendiri, tertutup, komu
nikasi tidak jelas.
h. Pola reproduksi
Gejalanya penurunan keharmonisan pasien, dan adanya penurunan kepuasan
dalam hubungan. Tandanya terjadi penurunan libido, keletihan saat berhubungan,
penurunan kualitas hubungan.
i. Pola persepsi diri.
Gejalanya konsep diri pasien tidak terpenuhi. Tandanya kaki menjadi edema,
citra diri jauh dari keinginan, terjadinya perubahan fisik, perubahan peran, dan per
caya diri.
j. Pola mekanisme koping.
Gejalanya emosi pasien labil. Tandanya tidak dapat mengambil keputusan de
ngan tepat, mudah terpancing emosi.
k. Pola kepercayaan.
Gejalanya pasien tampak gelisah, pasien mengatakan merasa bersalah mening
galkan perintah agama. Tandanya pasien tidak dapat melakukan kegiatan agama s
eperti biasanya.
5. Pengkajian fisik
a. Penampilan / keadaan umum.
Lemah, aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas nyeri. Kesadaran pasien
dari compos mentis sampai coma.
b. Tanda-tanda vital.
Tekanan darah naik, respirasi riet naik, dan terjadi dispnea, nadi meningkat dan re
guler.
c. Antropometri.
Penurunan berat badan selama 6 bulan terahir karena kekurangan nutrisi, atau
terjadi peningkatan berat badan karena kelebian cairan.
d. Kepala.
Rambut kotor, mata kuning / kotor, telinga kotor dan terdapat kotoran telinga,
hidung kotor dan terdapat kotoran hidung, mulut bau ureum, bibir kering dan pec
ah-pecah, mukosa mulut pucat dan lidah kotor.
e. Leher dan tenggorok.
Peningkatan kelenjar tiroid, terdapat pembesaran tiroid pada leher.
f. Dada
Dispnea sampai pada edema pulmonal, dada berdebar-
debar. Terdapat otot bantu napas, pergerakan dada tidak simetris, terdengar suara t
ambahan pada paru (rongkhi basah), terdapat pembesaran jantung, terdapat suara t
ambahan pada jantung.
g. Abdomen.
Terjadi peningkatan nyeri, penurunan pristaltik, turgor jelek, perut buncit.
h. Genital.
Kelemahan dalam libido, genetalia kotor, ejakulasi dini, impotensi, terdapat u
lkus.
i. Ekstremitas.
Kelemahan fisik, aktifitas pasien dibantu, terjadi edema, pengeroposan tulang,
dan Capillary Refil lebih dari 1 detik.
j. Kulit.
Turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik dan mengkilat / ure
mia, dan terjadi perikarditis.
6. Pemeriksaan penunjang.
a. Pemeriksaan Laboratorium :
1. Urin
a) Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/jam (oliguria), atau urine tidak ada (anuria
).
b) Warna : Secara normal perubahan urine mungkin disebabkan oleh pus / nanah, ba
kteri, lemak, partikel koloid, fosfat, sedimen kotor, warna kecoklatan menunjukka
n adanya darah, miglobin, dan porfirin.
c) Berat Jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan kerusakan gin
jal berat).
d) Osmolalitas : Kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan tubular, amrasi
o urine / ureum sering 1:1.
2. Kliren kreatinin mungkin agak menurun.
3. Natrium : Lebih besar dari 40 Emq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi nat
rium.
4. Protein : Derajat tinggi proteinuria ( 3-
4+ ), secara kuat menunjukkan kerusakan glomerulus bila sel darah merah (SDM)
dan fregmen juga ada.
5. Darah
a) Kreatinin : Biasanya meningkat dalam proporsi. Kadar kreatinin 10 mg/dL diduga
tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5).
b) Hitung darah lengkap : Hematokrit menurun pada adanya anemia. Hb biasanya k
urang dari 7-8 g/dL.
c) SDM (Sel Darah Merah) : Waktu hidup menurun pada defisiensi eritropoetin sepe
rti pada azotemia.
d) GDA (Gas Darah Analisa) : pH, penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2) t
erjadi karena kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksekresi hidrogen dan a
monia atau hasil akhir katabolisme protein. Bikarbonat menurun PCO2 menurun.
e) Natrium serum : Mungkin rendah, bila ginjal kehabisan natrium atau normal (me
nunjukkan status dilusi hipernatremia).
f) Kalium : Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan perpindahan selul
ar (asidosis), atau pengeluaran jaringan (hemolisis SDM). Pada tahap akhir , perub
ahan EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 mEq atau lebih besar. Magnes
ium terjadi peningkatan fosfat, kalsium menurun. Protein (khuusnya albumin), ka
dar serum menurun dapat menunjukkan kehilangan protein melalui urine, perpind
ahan cairan, penurunan pemasukan, atau penurunan sintesis karena kurang asam a
mino esensial. Osmolalitas serum lebih besar dari 285 mosm/kg, sering sama deng
an urine.
b. Pemeriksaan Radiologi
1. Ultrasono grafi ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya mas
a , kista, obtruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
2. Biopsi Ginjal dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan untuk
diagnosis histologis.
3. Endoskopi ginjal dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal.
4. EKG mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam ba
sa.
5. KUB foto digunakan untuk menunjukkan ukuran ginjal / ureter / kandung kemih
dan adanya obtruksi (batu).
6. Arteriogram ginjal adalah mengkaji sirkulasi ginjal dan megidentifikasi ekstravas
kuler, massa.
7. Pielogram retrograd untuk menunjukkan abormalitas pelvis ginjal.
8. Sistouretrogram adalah berkemih untuk menunjukkan ukuran kandung kemih, ref
luk kedalam ureter, dan retensi.
9. Pada pasien CKD pasien mendapat batasan diit yang sangat ketat dengan diit ting
gi kalori dan rendah karbohidrat. Serta dilakukan pembatasan yang sangat ketat pu
la pada asupan cairan yaitu antara 500-800 ml/hari.
10. Pada terapi medis untuk tingkat awal dapat diberikan terapi obat anti hipertensi,
obat diuretik, dan atrapit yang berguna sebagai pengontol pada penyakit DM, sam
pai selanjutnya nanti akan dilakukan dialisis dan transplantasi.

Perencanaan keperawatan

N Diagnosa (NANDA NOC NIC


o )
1 Excessive fluid volu Fluid balance Fluid/ electrolyte manageme
me b.d gangguan me Setelah dilakukan perawatan nt
kanisme regulasi. selama 3x24 jam, cairan tubu -
h pasien seimbang dengan in monitor serum elektrolit abn
Definisi: dikator: ormal
Peningkatan retensi Indikator A Ta -
cairan isotonik. w rge cek labrotarorium untuk me
al t mantau cairan/ elektrolit yan
Batasan karakteristi Tekanan darah 2 4 g terganggu (misalnya: Hmt,
k: Intake dan out 3 5 BUN, protein, sodium, dan k
- put 24 jam alium)
gangguan tekanan d BB stabil 2 3 - batasi intake cairan
arah Turgor kulit 3 4 -
- Kelembaban 3 5 monitor hasil lab yang berhu
gangguan pola nafas membran muk bungan dengan retensi cairan
-penurunan Hb osa (misanya peningkatan BUN,
-edema Kehausan 3 4 penurunan Hmt)
-kelemahan Edema perifer 3 4 -
- Pusing 3 4 monitor status hemodinamik
ketidakseimbangan -
elektrolit Kidney function monitor tanda dan gejala ret

Setelah dilakukan perawatan ensi cairan

3x24 jam, fungsi ginjal pasie -

n optimal dengan kriteria has mencatat intake dan output s

il: etiap hari

Indikator A Ta - monitor vital sign

w rg -

al et monitor manifestasi klinis ke


tidakseimbangan elektrolit
-
Intake cairan 2 4
mengkaji emmbran mukosa,
keseimbangan i 3 4
sklera, dan kulit sebgai indik
ntake dan outpu
asi gangguan keseimbangan
t 24 jam
Warna urin 3 5 cairan dan elektrolit (misalny
Proteinuria 3 4 a kering, sianois, jaundice)
Hipertensi 3 5 -
Kelelahan 4 5 kolaborasi medik tanda dan
Anemia 3 4 gejala ketidakseimbangan cai
1: severely compromised ran dan elektrolit memburuk
2: substantially compromised - menyiapkan pasien HD
3: moderately compromised -
4: mildly compromisesd monitor kehilangan cairan (
5: not compromised misalnya: takipnea)

Vital signs monitoring


-
monitor HR, TD, RR, dan su
hu
-
monitor TD ketika berbaring
, duduk, berdiri sebelum dan
sesudah perubahan posisi.
-
monitor TD, RR, HR sebelu
m, selama, dan sesudah aktiv
itas
- monitor kualitas nadi
- monitor suara paru
-
monitor pola nafas abnormal
-
monitor warna, suhu, dan ke
lembaban kulit
-
monitor sianosis perifer dan
sentra
2 Activity intolerance Activity tolerance Activity tolerance
b.d ketidakseimbang Setelah dilakukan perawatan -
an antara kebutuhan 3x24 jam, respon fisiologis tu kolaboraasi denan fisioterapi
dan supply oksigen. buh pasien dalam batas norm s dalam perencanaan dan min
al dengan kriterdia hasil: itoring program aktivitas
Definisi: Indikator Aw Tar -
Ketidakcukupan ene al get menentukan komitmen pasie
rgi fisik atau psikolo Sat O2 selam 3 4 n dalam menignkatkan freku
gis untuk memperta a aktivitas ensi dan/ atau range aktivitas
hankan atau memen HR selama a 3 4 -
uhi aktivitas sehari- ktivitas membantu pasienuntuk foku
hari. RR selama a 3 4 s terhadap apa yang dapat dil
ktivitas akukan.
Batasan karakteristi TD selama a 3 4 -
k: ktivitas membantu pasien dan keluar
- Jarak berjala 3 4 ga untuk emngidentifikasi pe
ketidaknormalan H n nurunan aktivitas
R selama aktivitas. Kekuatan ek 3 5 -
-kelelahan st. bawah memfasilitasi aktivitas substi
-kelemahan umum 1: severely compromised tusi ketika pasien terbatas ger

2: substantially compromised ak, energi dan waktu

3: moderately compromised - membantu ADL

4: mildly compromised -

5: not compromised memberikan reinforcement p


ositif terhadap partisipasi pas
ien dalam kegiatan
-
monitor respon emosional, fi
sik, psikologis dan sosial terh
adap aktivitas.
3 Sleep deprivation b. Sleep Sleep enhancement
d narkolepsi, ketida Setelah dilakukan perawatan -
knyamanan berkepa 3x24 jam, pasien dapat tidur Tentukan pola tidur atau akti
njangan. berkualitas dengan kriteria ha vitas klien
sil: -
Definisi: Indikator A Ta Jelaskan pentingnya tidur sa
Periode waktu terjag w rge at kondisi sakit
a berkepanjangan ta al t -
npa tidur. Jam tidur 4 5 Tentukan efek pengobatan te
Jumlah jam tid 4 5 rhadap pola tidur klien
Batasan karakteristi ur yang terama -
k: ti Monitor pola dan jumlah ja
- Pola tidur 3 4 m tidur klien
gangguan konsentra Kualitas tidur 3 5 -
si Bed yang nya 3 5 Monitor pola tidur dan catat
-kelelahan man hubungan faktor-
-kelemahan Kesulitan me 3 4 faktor fisik (apnea saat tidur,

mulai tidur nyeri/ ketidaknyamanan) dan

1: severely compromised faktor psikologi

2: substantially compromised- Modifikasi lingkungan


3: moderately compromised -
4: mildly compromised Motivasi pasien untuk tidur r

5: not compromised utin


-
Fasilitasi pasien agar dapat ti
dur rutin
-
Bantu untuk mengurangi stre
ssor dari lingkungan
-
Lakukan massage atau peng
aturan posisi
-
Lakukan pendkes pada kelua
rga
Daftar pustaka
Blackwell, Wiley. 2014. Nursing Diagnoses definitions and classification 2015-
2017. United Kingdom: Blackwell.
Dochterman, J. M. & Bulecheck, G. N. 2004. Nursing Intervention Classification (NI
C) fourth edition. Missouri: Mosby
Jevuska. 2012. Gagal Ginjal Kronik atau CKD: Pengertian dan klasifikasi, diakses pa
da 22 Desember 2014, (Online), http://www.jevuska.com/2012/10/27/gagal-
ginjal-kronik-atau-ckd/.
Kidney Disease Outcomes Quality Iniatiative of The National Kidney Foundation. Cli
nical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification,
and Stratification. 2002.
Moorhead, S., Johnson, M., Mass, M.L. & Swanson, E. 2008. Nursing Outcomes Clas
sification (NOC) fourth edition. Missouri: Mosby
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., dan Setiati. 2006. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV, Jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam FKUI.
US Renal Data System (USRDS). 2010. Annual Data Report: Atlas of Chronic Kidne
y Disease and End-
Stage Renal Disease in the United States. Bethesda, Md: National Institutes of He
alth, National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases. Hyperlink
Available at: http://www.usrds.org/adr.htm.

Anda mungkin juga menyukai