Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN CKD


(CHRONIC KIDNEY DISEASE) YANG MENJALANI HEMODIALISA

HEMODIALISA
A. DEFINISI
Dialisis merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan produk limbah
dari dalam tubuh. Suatu proses pembuatan zat terlarut dan cairan dari darah melewati membrane
semi permeable. Ini berdasarkan pada prinsip difusi; osmosis dan ultra filtrasi.
Pada Hemodialisis, darah adalah salah satu kompartemen dan dialisat adalah bagian yang lain.
Membran semipermeabel adalah lembar tipis, berpori-pori terbuat dari selulosa atau bahan
sintetik. Ukuran pori-pori membran memungkinkan difusi zat dengan berat molekul rendah
seperti urea, kreatinin, dan asam urat berdifusi. Molekul air juga sangat kecil dan bergerak bebas
melalui membran, tetapi kebanyakan protein plasma, bakteri, dan sel-sel darah terlalu besar
untuk melewati pori-pori membran. Perbedaan konsentrasi zat pada dua kompartemen disebut
gradien konsentrasi.

B. Fungsi
1. Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin, dan asam urat.
2. Membuang kelebihan air dengan mempengaruhi tekanan banding antara darah dan bagian
cairan, biasanya terdiri atas tekanan positif dalam arus darah dan tekanan negatif (penghisap)
dalam kompartemen dialisat (proses ultrafiltrasi).
3. Mempertahankan dan mengembalikan system buffer tubuh.
4. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.
Ada 2 metode dialisa, yaitu hemodialisa dan dialisa peritoneal. Pada hemodialisa, darah
dikeluarkan dari tubuh penderita dan dipompa ke dalam mesin yang akan menyaring zat-zat
racun keluar dari darah dan kemudian darah yang sudah bersih dikembalikan lagi ke dalam tubuh
penderita. Jumlah total cairan yang dikembalikan dapat disesuaikan.
Pada dialisa peritoneal, cairan yang mengandung campuran gula dan garam khusus dimasukkan
ke dalam rongga perut dan akan menyerap zat-zat racun dari jaringan. Cairan tersebut kemudian
dikeluarkan lagi dan dibuang.
C. INDIKASI
1. Pasien yang memerlukan hemodialisa adalah pasien GGK dan GGA untuk sementara sampai
fungsi ginjalnya pulih.
2. Pasien-pasien tersebut dinyatakan memerlukan hemodialisa apabila terdapat indikasi:
a. Hiperkalemia
b. Asidosis
c. Kegagalan terapi konservatif
d. Kadar ureum / kreatinin tinggi dalam darah
e. Kelebihan cairan
f. Mual dan muntah hebat

D. Prinsip Hemodialisa
1. Akses Vaskuler :
Seluruh dialysis membutuhkan akses ke sirkulasi darah pasien. Kronik biasanya memiliki akses
permanent seperti fistula atau graf sementara. Akut memiliki akses temporer seperti vascoth.
2. Membran semi permeable
Hal ini ditetapkan dengan dialyser actual dibutuhkan untuk mengadakan kontak diantara darah
dan dialisat sehingga dialysis dapat terjadi.
3. Difusi
Dalam dialisat yang konvensional, prinsip mayor yang menyebabkan pemindahan zat terlarut
adalah difusi substansi. Berpindah dari area yang konsentrasi tinggi ke area dengan konsentrasi
rendah. Gradien konsentrasi tercipta antara darah dan dialisat yang menyebabkan pemindahan
zat pelarut yang diinginkan. Mencegah kehilangan zat yang dibutuhkan.
4. Konveksi
Saat cairan dipindahkan selama hemodialisis, cairan yang dipindahkan akan mengambil bersama
dengan zat terlarut yang tercampur dalam cairan tersebut.
5. Ultrafiltrasi
Proses dimana cairan dipindahkan saat dialysis dikenali sebagai ultrafiltrasi artinya adalah
pergerakan dari cairan akibat beberapa bentuk tekanan. Tiga tipe dari tekanan dapat terjadi pada
membrane :
a. Tekanan positip merupakan tekanan hidrostatik yang terjadi akibat cairan dalam membrane.
Pada dialysis hal ini dipengaruhi oleh tekanan dialiser dan resisten vena terhadap darah yang
mengalir balik ke fistula tekanan positip mendorong cairan menyeberangi membrane.
b. Tekanan negative merupakan tekanan yang dihasilkan dari luar membrane oleh pompa pada
sisi dialisat dari membrane tekanan negative menarik cairan keluar darah.
c. Tekanan osmotic merupakan tekanan yang dihasilkan dalam larutan yang berhubungan dengan
konsentrasi zat terlarut dalam larutan tersebut. Larutan dengan kadar zat terlarut yang tinggi akan
menarik cairan dari larutan lain dengan konsentrasi yang rendah yang menyebabkan membrane
permeable terhadap air.
E. PERALATAN
1. Dialiser atau Ginjal Buatan
Komponen ini terdiri dari membran dialiser yang memisahkan kompartemen darah dan dialisat.
Dialiser bervariasi dalam ukuran, struktur fisik dan tipe membran yang digunakan untuk
membentuk kompartemen darah. Semua factor ini menentukan potensi efisiensi dialiser, yang
mengacu pada kemampuannya untuk membuang air (ultrafiltrasi) dan produk-produk sisa
(klirens).

2. Dialisat atau Cairan dialysis


Dialisat atau bath adalah cairan yang terdiri atas air dan elektrolit utama dari serum normal.
Dialisat ini dibuat dalam system bersih dengan air keran dan bahan kimia disaring. Bukan
merupakan system yang steril, karena bakteri terlalu besar untuk melewati membran dan
potensial terjadinya infeksi pada pasien minimal. Karena bakteri dari produk sampingan dapat
menyebabkan reaksi pirogenik, khususnya pada membran permeable yang besar, air untuk
dialisat harus aman secara bakteriologis. Konsentrat dialisat biasanya disediakan oleh pabrik
komersial. Bath standar umumnya digunakan pada unit kronis, namun dapat dibuat variasinya
untuk memenuhi kebutuhan pasien tertentu.
3. Sistem Pemberian Dialisat
Unit pemberian tunggal memberikan dialisat untuk satu pasien: system pemberian multiple dapat
memasok sedikitnya untuk 20 unit pasien. Pada kedua system, suatu alat pembagian proporsi
otomatis dan alat pengukur serta pemantau menjamin dengan tepat kontrol rasio konsentrat-air.
4. Asesori Peralatan
Piranti keras yang digunakan pada kebanyakan system dialysis meliputi pompa darah, pompa
infus untuk pemberian heparin, alat monitor untuk pendeteksi suhu tubuh bila terjadi
ketidakamanan, konsentrasi dialisat, perubahan tekanan, udaara, dan kebocoran darah.
5. Komponen manusia
6. Pengkajian dan penatalaksanaan

F. PROSEDUR HEMODIALISA
Setelah pengkajian pradialisis, mengembangkan tujuan dan memeriksa keamanan peralatan,
perawat sudah siap untuk memulai hemodialisis. Akses ke system sirkulasi dicapai melalui salah
satu dari beberapa pilihan: fistula atau tandur arteriovenosa (AV) atau kateter hemodialisis dua
lumen. Dua jarum berlubang besar (diameter 15 atau 16) dibutuhkan untuk mengkanulasi fistula
atau tandur AV. Kateter dua lumen yang dipasang baik pada vena subklavikula, jugularis interna,
atau femoralis, harus dibuka dalam kondisi aseptic sesuai dengan kebijakan institusi.
Jika akses vaskuler telah ditetapkan, darah mulai mengalir, dibantu oleh pompa darah. Bagian
dari sirkuit disposibel sebelum dialiser diperuntukkan sebagai aliran arterial, keduanya untuk
membedakan darah yang masuk ke dalamnya sebagai darah yang belum mencapai dialiser dan
dalam acuan untuk meletakkan jarum: jarum arterial diletakkan paling dekat dengan
anastomosis AV pada vistula atau tandur untuk memaksimalkan aliran darah. Kantong cairan
normal salin yang di klep selalu disambungkan ke sirkuit tepat sebelum pompa darah. Pada
kejadian hipotensi, darah yang mengalir dari pasien dapat diklem sementara cairan normal salin
yang diklem dibuka dan memungkinkan dengan cepat menginfus untuk memperbaiki tekanan
darah. Tranfusi darah dan plasma ekspander juga dapat disambungkan ke sirkuit pada keadaan
ini dan dibiarkan untuk menetes, dibantu dengan pompa darah. Infus heparin dapat diletakkan
baik sebelum atau sesudah pompa darah, tergantung peralatan yang digunakan.
Dialiser adalah komponen penting selanjutnya dari sirkuit. Darah mengalir ke dalam
kompartemen darah dari dialiser, tempat terjadinya pertukaran cairan dan zat sisa. Darah yang
meninggalkan dialiser melewati detector udara dan foam yang mengklem dan menghentikan
pompa darah bila terdeteksi adanya udara. Pada kondisi seperti ini, setiap obat-obat yang akan
diberikan pada dialysis diberikan melalui port obat-obatan. Penting untuk diingat, bagaimanapun
bahwa kebanyakan obat-obatan ditunda pemberiannya sampai dialysis selesai kecuali memang
diperintahkan.
Darah yang telah melewati dialysis kembali ke pasien melalui venosa atau selang postdialiser.
Setelah waktu tindakan yang diresepkan, dialysis diakhiri dengan mengklem darah dari pasien,
membuka selang aliran normal salin, dan membilas sirkuit untuk mengembalikan darah pasien.
Selang dan dialiser dibuang kedalam perangkat akut, meskipun program dialisis kronik sering
membeli peralatan untuk membersihkan dan menggunakan ulang dialiser.
Tindakan kewaspadaan umum harus diikuti dengan teliti sepanjang tindakan dialysis karena
pemajanan terhadap darah. Masker pelindung wajah dan sarung tangan wajib untuk digunakan
oleh perawat yang melakukan hemodialisis.

G. Pedoman Pelaksanaan Hemodialisa


1. Perawatan sebelum hemodialisa
a. Sambungkan selang air dengan mesin hemodialisa
b. Kran air dibuka
c. Pastikan selang pembuang air dan mesin hemodialisis sudah masuk kelubang atau saluran
pembuangan
d. Sambungkan kabel mesin hemodialisis ke stop kontak
e. Hidupkan mesin
f. Pastikan mesin pada posisi rinse selama 20 menit
g. Matikan mesin hemodialisis
h. Masukkan selang dialisat ke dalam jaringan dialisat pekat
i. Sambungkan slang dialisat dengan konektor yang ada pada mesin hemodialisis
j. Hidupkan mesin dengan posisi normal (siap)

2. Menyiapkan sirkulasi darah


a. Bukalah alat-alat dialysis dari set nya
b. Tempatkan dializer pada tempatnya dan posisi inset (tanda merah) diatas dan posisi outset
(tanda biru) di bawah.
c. Hubungkan ujung merah dari ABL dengan ujung insetdari dializer.
d. Hubungkan ujung biru dari UBL dengan ujung out set dari dializer dan tempatkan buble tap
di holder dengan posisi tengah..
e. Set infus ke botol NaCl 0,9% - 500 cc
f. Hubungkan set infus ke slang arteri
g. Bukalah klem NaCl 0,9%, isi slang arteri sampai ke ujung slang lalu diklem.
h. Memutarkan letak dializer dengan posisi inset di bawah dan out set di atas, tujuannya
agar dializer bebas dari udara.
i. Tutup klem dari slang untuk tekanan arteri, vena, heparin
j. Buka klem dari infus set ABL, VBL
k. Jalankan pompa darah dengan kecepatan mula-mula 100 ml/menit, kemudian naikkan secara
bertahap sampai dengan 200 ml/menit.
l. Isi bable-trap dengan NaCl 0,9% sampai cairan
m. Berikan tekanan secara intermiten pada VBL untuk mengalirkan udara dari dalam dializer,
dilakukan sampai dengan dializer bebas udara (tekanan lebih dari 200 mmHg).
n. Lakukan pembilasan dan pencucian dengan NaCl 0,9% sebanyak 500 cc yang terdapat pada
botol (kalf) sisanya ditampung pada gelas ukur.
o. Ganti kalf NaCl 0,9% yang kosong dengan kalf NaCl 0,9% baru
p. Sambungkan ujung biru VBL dengan ujung merah ABL dengan menggunakan konektor.
q. Hidupkan pompa darah selama 10 menit. Untuk dializer baru 15-20 menit untuk dializer reuse
dengan aliran 200-250 ml/menit.
r. Kembalikan posisi dializer ke posisi semula di mana inlet di atas dan outlet di bawah.
s. Hubungkan sirkulasi darah dengan sirkulasi dialisat selama 5-10 menit, siap untuk
dihubungkan dengan pasien )soaking.
3. Persiapan pasien
a. Menimbang berat badan
b. Mengatur posisi pasien
c. Observasi keadaan umum
d. Observasi tanda-tanda vital
e. Melakukan kamulasi/fungsi untuk menghubungkan sirkulasi, biasanya mempergunakan salah
satu jalan darah/blood akses seperti di bawah ini:
1) Dengan interval A-V shunt / fistula simino
2) Dengan external A-V shunt / schungula
3) Tanpa 1 2 (vena pulmonalis)

H. Intrepretasi Hasil
Hasil dari tindakan dialysis harus diintrepretasikan dengan mengkaji jumlah cairan yang dibuang
dan koreksi gangguan elektrolit dan asam basa. Darah yang diambil segera setelah dialysis dapat
menunjukkan kadar elektrolit, nitrogen urea, dan kreatinin rendah palsu. Proses penyeimbangan
berlangsung terus menerus setelah dialysis, sejalan perpindahan zat dari dalam sel ke plasma.

I. Komplikasi
1. Ketidakseimbangan cairan
a. Hipervolemia
b. Ultrafiltrasi
c. Rangkaian Ultrafiltrasi (Diafiltrasi)
d. Hipovolemia
e. Hipotensi
f. Hipertensi
g. Sindrom disequilibrium dialysis

2. Ketidakseimbangan Elektrolit
a. Natrium serum
b. Kalium
c. Bikarbonat
d. Kalsium
e. Fosfor
f. Magnesium
3. Infeksi
4. Perdarahan dan Heparinisasi
5. Troubleshooting
a. Masalah-masalah peralatan
b. Aliran dialisat
c. Konsentrat Dialisat
d. Suhu
e. Aliran Darah
f. Kebocoran Darah
g. Emboli Udara
6. Akses ke sirkulasi
a. Fistula Arteriovenosa
b. Ototandur
c. Tandur Sintetik
d. Kateter Vena Sentral Berlumen Ganda

CKD (Chronic Kidney Disease)

A. Definisi
CKD atau biasa dikenal sebagai gagal ginjal kronik adalah progresifitas lambat dari fungsi ginjal
selama beberapa tahun yang akhirnya pasien memiliki gagal ginjal permanen. Menurut Kidney
Disease Outcome Quality Initiative (KDOQI), gagal ginjal kronik adalah kerusakan pada organ
ginjal dimana terjadi penurunan tingkat filtraasi glomerulus (Glomerular Filtration Rate - GFR)
kurang dari 60 ml/min/1,73 m2 dalam kurun waktu 3 bulan atau lebih.

B. Patofisiologi
Menurut Smeltzer, dan Bare (2001) proses terjadinya CKD adalah akibat dari penurunan fungsi
renal, produk akhir metabolisme protein yang normalnya diekresikan ke dalam urin tertimbun
dalam darah sehingga terjadi uremia yang mempengarui sistem tubuh. Semakin banyak timbunan
produk sampah, maka setiap gejala semakin meningkat, sehingga menyebabkan gangguan kliren
renal. Banyak masalah pada ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah glomerulus yang
berfungsi, sehingga menyebabkan penurunan klirens subtsansi darah yang seharusnya
dibersihkan oleh ginjal.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dapat dideteksi dengan mendapatkan urin 24 jam
untuk pemeriksaaan kliren kreatinin. Menurunya filtrasi glomelurus atau akibat tidak
berfungsinya glomeluri klirens kreatinin. Sehingga kadar kreatinin serum akan meningkat selain
itu, kadar nitrogen urea darah (BUN) biasanya meningkat. Kreatinin serum merupakan indikator
paling sensitif dari fungsi renal karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh. BUN
tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit renal tahap akhir, tetapi juga oleh masukan protein dalam
diet, katabolisme dan medikasi seperti steroid.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) juga berpengaruh pada retensi cairan dan natrium.
Retensi cairan dan natrium tidak terkontol dikarenakan ginjal tidak mampu untuk
mengonsentrasikan atau mengencerkan urin secara normal pada penyakit ginjal tahap akhir,
respon ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan elektrolit sehari-hari tidak
terjadi. Natrium dan cairan sering tertahan dalam tubuh yang meningkatkan resiko terjadinya
oedema, gagal jantung kongesti, dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis
renin angiotensin dan kerjasama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. Pasien lain
mempunyai kecenderungan untuk kehilangan garam, mencetuskan resiko hipotensi dan
hipovolemia. Episode muntah dan diare menyebabkan penipisan air dan natrium, yang semakin
memperburuk status uremik.
Asidosis metabolik terjadi akibat ketidakmampuan ginjal mensekresikan muatan asam (H+) yang
berlebihan. Sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus ginjal untuk mensekresi
amonia (NH3) dan mengabsorpsi natrium bikarbonat (HCO3). Penurunan sekresi fosfat dan
asam organik lain juga terjadi.
Kerusakan ginjal pada CKD juga menyebabkan produksi eritropoetin menurun dan anemia
terjadi disertai sesak napas, angina dan keletihan. Eritropoetin yang tidak adekuat dapat
memendekkan usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan untuk mengalami
perdarahan karena status pasien, terutama dari saluran gastrointestinal sehingga terjadi anemia
berat atau sedang. Eritropoitin sendiri adalah subtansi normal yang diproduksi oleh ginjal untuk
menstimulasi sum-sum tulang untuk menghasilkan sel darah merah.
Abnormalitas utama yang lain pada CKD menurut Smeltzer, dan Bare (2001) adalah gangguan
metabolisme kalsium dan fosfat tubuh yang memiliki hubungan saling timbal balik, jika salah
satunya meningkat yang lain menurun. Penurunan LFG menyebabkan peningkatan kadar fosfat
serum dan sebaliknya penurunan kadar serum menyebabkan penurunan sekresi parathormon dari
kelenjar paratiroid. Namun pada CKD, tubuh tidak berespon secara normal terhadap peningkatan
sekresi parathormon, dan akibatnya kalsium di tulang menurun, menyebabkan perubahan pada
tulang dan menyebabkan penyakit tulang, selain itu metabolik aktif vitamin D (1,25
dihidrokolekalsiferol) yang secara normal dibuat didalam ginjal menurun, seiring dengan
berkembangnya CKD terjadi penyakit tulang uremik dan sering disebut Osteodistrofienal.
Osteodistrofienal terjadi dari perubahan komplek kalsium, fosfat dan keseimbangan
parathormon. Laju penurunan fungsi ginjal juga berkaitan dengan gangguan yang mendasari
ekresi protein dan urin, dan adanya hipertensi. Pasien yang mengekresikan secara signifikan
sejumlah protein atau mengalami peningkatan tekanan darah cenderung akan cepat memburuk
dari pada mereka yang tidak mengalimi kondisi ini.

Gambar 1. Patogenesis Chronic kidney disease dan komplikasinya terhadap sistem


kardiovaskuler. Pada PGK stage 1 dan 2 terdapat hubungan yang erat antara merokok, obesitas,
hipertensi, dislipidemia, homocysteinemia, inflamasi kronik dengan faktor resiko, nefropati
primer, dan diabetes mellitus. Hal ini dapat menyebabkan suatu inflamasi kronik pada sistem
kardiovaskuler. PGK yang memburuk dimana telah terjadi kerusakan glumerulus atau jaringan
interstisial disebut dengan PGK stage 3-4. Pada keadaan ini akan terjadi anemia, toksin uremik,
abnormalitas dari kalsium dan fosfat, dan overload natrium dan air. Hal ini juga dapat
menyebabkan inflamasi kronik pada sistem kardiovaskuler. Pada PGK stage 5 terjadi sklerosis
dan fibrosis pada glomerulus. Hal ini dapat meningkatkan terjadinya inflamasi kronik pada
sistem kardiovaskuler dan stimulasi monosit. Hal ini akan meningkatkan resistensi insulin,
metabolisme otot, dan adipositokin. Selain itu, stimulasi monosit juga akan menyebabkan
reaktan fase akut, menurunkan appetite, remodeling tulang, dan disfungsi endotel (Dikutip dari
Nitta, 2011).

C. Manifestasi klinis
1. Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang etiologinya tidak jelas,
akan tetapi secara umum memberikan gambaran histopatologi tertentu pada glomerulus
(Markum, 1998). Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer
dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri
sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik
lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau
amiloidosis (Prodjosudjadi, 2006).
2. Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo (2005) diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat mengenai
semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi.
Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan
adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering
ataupun berat badan yang menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan,
sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya
(Waspadji, 1996).
3. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik 140 mmHg dan tekanan darah diastolik 90 mmHg,
atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Mansjoer, 2001). Berdasarkan penyebabnya,
hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer yang
tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi
renal (Sidabutar, 1998).
4. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material yang semisolid.
Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan kista-kista yang tersebar di
kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat
disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan
genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit
ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar baru
bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun (Suhardjono, 1998).
D. Faktor risiko
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes melitus atau hipertensi,
obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan individu dengan riwayat penyakit
diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga (National Kidney Foundation,
2009).
E. Klasifikasi

Pada tahun 2002, KDOQI menerbitkan klasifikasi tahapan penyakit gagal ginjal kornis sebagai
berikut:
1. Tahap 1 : kerusakan ginjal dengan GFR normal atau meningkat (>90ml/min/1,73m2)
2. Tahap 2 : penurunan ringan pada GFR (60-89 ml/min/1,73m2)
3. Tahap 3 : penurunan moderat pada GFR (30-59 ml/min/1,73m2)
4. Tahap 4 : penurunan berat pada GFR (15-29 ml/min/1,73m2)
5. Tahap 5 : gagal ginjal (GFR <15 ml/min/1,73m2 atau dialisis)
Pada tahap 1 dan tahap 2 penyakit gagal ginjal kronis, GFR saja tidak dapat dilakukan diagnosis.
Tanda lain dari kerusakan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin atau
kelainan pada studi pencitraan, juga harus ada dalam menetapkan diagnosis tahap 1 dan tahap 2
penyakit ginjal kronis.
Pasien dengan penyakit ginjal kronis stadium 1-3 umunya asimptomatik, manifestasi klinis
biasanya muncul dalam tahap 4-5. Diagnosis dini, pengobatan dan penyebab atau tindakan
pencegahan sekunder sangat penting pada pasien dengan penyakit ginjal kronis. Hal ini dapat
menunda atau menghentikan kemungkinan atau kemajuan gagal ginjal.

F. Gambaran klinik
Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks, meliputi
kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit,
selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular (Sukandar, 2006).
1. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering ditemukan pada pasien
gagal ginjal kronik. Anemia yang terjadi sangat bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg%
atau bersihan kreatinin kurang dari 25 ml per menit.
2. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal ginjal kronik
terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dam muntah masih belum jelas, diduga
mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia
inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-
keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan
antibiotika.
3. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien gagal ginjal
kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan gagal ginjal
kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala
nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan
hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan
atau deposit garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat
iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal
ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.
4. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga berhubungan
dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang setelah tindakan
paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea
pada kulit muka dan dinamakan urea frost.
5. Kelainan selaput serosa
Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai pada gagal ginjal kronik
terutama pada stadium terminal. Kelainan selaput serosa merupakan salah satu indikasi mutlak
untuk segera dilakukan dialisis.
6. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan depresi sering
dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi, dan tidak
jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada pasien GGK. Kelainan mental ringan
atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari
dasar kepribadiannya (personalitas).
7. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat kompleks. Beberapa
faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering dijumpai pada
pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan
faal jantung. Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan
pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan
pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus (Sukandar, 2006).
G. Penatalaksanaan
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif,
meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme
secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
a) Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi toksin
azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif
nitrogen.
b) Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan tujuan utama, yaitu
mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status
gizi.
c) Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah diuresis mencapai
2 L per hari.
d) Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan penyakit
ginjal dasar (underlying renal disease).
2. Terapi simtomatik
a) Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium (hiperkalemia). Untuk
mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali
(sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH 7,35 atau serum bikarbonat 20
mEq/L.
b) Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan terapi alternatif,
murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan
kematian mendadak.
c) Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai pada CKD.
Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint) dari CKD. Keluhan
gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang
harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
d) Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
e) Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler yang adekuat,
medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
f) Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
g) Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita.
3. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang
dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi
ginjal (Suwitra, 2006).
a) Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan
malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap
akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG).
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang
termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan
paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah
persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi

elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m, mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat

(Sukandar, 2006).
b) Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat
ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang
tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem
kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan
hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal
terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity
dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi
untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006).
c) Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal). Pertimbangan
program transplantasi ginjal, yaitu:
1) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal,
sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah
2) Kualitas hidup normal kembali
3) Masa hidup (survival rate) lebih lama
4) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat imunosupresif
untuk mencegah reaksi penolakan
5) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi

B. Fokus Pengkajian
Pengkajian fokus yang disusun berdasarkan pada Gordon dan mengacu pada Doenges (2001),
serta Carpenito (2006) sebagai berikut :
1. Demografi.
Penderita CKD kebanyakan berusia diantara 30 tahun, namun ada juga yang mengalami CKD
dibawah umur tersebut yang diakibatkan oleh berbagai hal seperti proses pengobatan,
penggunaan obat-obatan dan sebagainya. CKD dapat terjadi pada siapapun, pekerjaan dan
lingkungan juga mempunyai peranan penting sebagai pemicu kejadian CKD. Karena kebiasaan
kerja dengan duduk / berdiri yang terlalu lama dan lingkungan yang tidak menyediakan cukup air
minum / mengandung banyak senyawa / zat logam dan pola makan yang tidak sehat.
2. Riwayat penyakit yang diderita pasien sebelum CKD seperti DM, glomerulo nefritis,
hipertensi, rematik, hiperparatiroidisme, obstruksi saluran kemih, dan traktus urinarius bagian
bawah juga dapat memicu kemungkinan terjadinya CKD.
3. Pengkajian pola fungsional Gordon
a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan pasien
Gejalanya adalah pasien mengungkapkan kalau dirinya saat ini sedang sakit parah. Pasien juga
mengungkapkan telah menghindari larangan dari dokter. Tandanya adalah pasien terlihat lesu
dan khawatir, pasien terlihat bingung kenapa kondisinya seprti ini meski segala hal yang telah
dilarang telah dihindari.
b. Pola nutrisi dan metabolik.
Gejalanya adalah pasien tampak lemah, terdapat penurunan BB dalam kurun waktu 6 bulan.
Tandanya adalah anoreksia, mual, muntah, asupan nutrisi dan air naik atau turun.
c. Pola eliminasi
Gejalanya adalah terjadi ketidak seimbangan antara output dan input. Tandanya adalah
penurunan BAK, pasien terjadi konstipasi, terjadi peningkatan suhu dan tekanan darah atau tidak
singkronnya antara tekanan darah dan suhu.
d. Aktifitas dan latian.
Gejalanya adalah pasien mengatakan lemas dan tampak lemah, serta pasien tidak dapat
menolong diri sendiri. Tandanya adalah aktivitas dibantu.
e. Pola istirahat dan tidur.
Gejalanya adalah pasien terliat mengantuk, letih dan terdapat kantung mata. Tandanya adalah
pasien terliat sering menguap.
f. Pola persepsi dan koknitif.
Gejalanya penurunan sensori dan rangsang. Tandanya adalah penurunan kesadaran seperti
ngomong nglantur dan tidak dapat berkomunikasi dengan jelas.
g. Pola hubungan dengan orang lain.
Gejalanya pasien sering menghindari pergaulan, penurunan harga diri sampai terjadinya HDR
(Harga Diri Rendah). Tandanya lebih menyendiri, tertutup, komunikasi tidak jelas.
h. Pola reproduksi
Gejalanya penurunan keharmonisan pasien, dan adanya penurunan kepuasan dalam hubungan.
Tandanya terjadi penurunan libido, keletihan saat berhubungan, penurunan kualitas hubungan.
i. Pola persepsi diri.
Gejalanya konsep diri pasien tidak terpenuhi. Tandanya kaki menjadi edema, citra diri jauh dari
keinginan, terjadinya perubahan fisik, perubahan peran, dan percaya diri.
j. Pola mekanisme koping.
Gejalanya emosi pasien labil. Tandanya tidak dapat mengambil keputusan dengan tepat, mudah
terpancing emosi.
k. Pola kepercayaan.
Gejalanya pasien tampak gelisah, pasien mengatakan merasa bersalah meninggalkan perintah
agama. Tandanya pasien tidak dapat melakukan kegiatan agama seperti biasanya.
5. Pengkajian fisik
a. Penampilan / keadaan umum.
Lemah, aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas nyeri. Kesadaran pasien dari compos
mentis sampai coma.
b. Tanda-tanda vital.
Tekanan darah naik, respirasi riet naik, dan terjadi dispnea, nadi meningkat dan reguler.
c. Antropometri.
Penurunan berat badan selama 6 bulan terahir karena kekurangan nutrisi, atau terjadi
peningkatan berat badan karena kelebian cairan.
d. Kepala.
Rambut kotor, mata kuning / kotor, telinga kotor dan terdapat kotoran telinga, hidung kotor dan
terdapat kotoran hidung, mulut bau ureum, bibir kering dan pecah-pecah, mukosa mulut pucat
dan lidah kotor.
e. Leher dan tenggorok.
Peningkatan kelenjar tiroid, terdapat pembesaran tiroid pada leher.
f. Dada
Dispnea sampai pada edema pulmonal, dada berdebar-debar. Terdapat otot bantu napas,
pergerakan dada tidak simetris, terdengar suara tambahan pada paru (rongkhi basah), terdapat
pembesaran jantung, terdapat suara tambahan pada jantung.
g. Abdomen.
Terjadi peningkatan nyeri, penurunan pristaltik, turgor jelek, perut buncit.
h. Genital.
Kelemahan dalam libido, genetalia kotor, ejakulasi dini, impotensi, terdapat ulkus.
i. Ekstremitas.
Kelemahan fisik, aktifitas pasien dibantu, terjadi edema, pengeroposan tulang, dan Capillary
Refil lebih dari 1 detik.
j. Kulit.
Turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik dan mengkilat / uremia, dan terjadi
perikarditis.
6. Pemeriksaan penunjang.
a. Pemeriksaan Laboratorium :
1. Urin
a) Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/jam (oliguria), atau urine tidak ada (anuria).
b) Warna : Secara normal perubahan urine mungkin disebabkan oleh pus / nanah, bakteri, lemak,
partikel koloid, fosfat, sedimen kotor, warna kecoklatan menunjukkan adanya darah, miglobin,
dan porfirin.
c) Berat Jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal berat).
d) Osmolalitas : Kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan tubular, amrasio urine /
ureum sering 1:1.
2. Kliren kreatinin mungkin agak menurun.
3. Natrium : Lebih besar dari 40 Emq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi natrium.
4. Protein : Derajat tinggi proteinuria ( 3-4+ ), secara kuat menunjukkan kerusakan glomerulus
bila sel darah merah (SDM) dan fregmen juga ada.
5. Darah
a) Kreatinin : Biasanya meningkat dalam proporsi. Kadar kreatinin 10 mg/dL diduga tahap akhir
(mungkin rendah yaitu 5).
b) Hitung darah lengkap : Hematokrit menurun pada adanya anemia. Hb biasanya kurang dari 7-
8 g/dL.
c) SDM (Sel Darah Merah) : Waktu hidup menurun pada defisiensi eritropoetin seperti pada
azotemia.
d) GDA (Gas Darah Analisa) : pH, penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2) terjadi karena
kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksekresi hidrogen dan amonia atau hasil akhir
katabolisme protein. Bikarbonat menurun PCO2 menurun.
e) Natrium serum : Mungkin rendah, bila ginjal kehabisan natrium atau normal (menunjukkan
status dilusi hipernatremia).
f) Kalium : Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan perpindahan selular (asidosis),
atau pengeluaran jaringan (hemolisis SDM). Pada tahap akhir , perubahan EKG mungkin tidak
terjadi sampai kalium 6,5 mEq atau lebih besar. Magnesium terjadi peningkatan fosfat, kalsium
menurun. Protein (khuusnya albumin), kadar serum menurun dapat menunjukkan kehilangan
protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan, atau penurunan sintesis karena
kurang asam amino esensial. Osmolalitas serum lebih besar dari 285 mosm/kg, sering sama
dengan urine.
b. Pemeriksaan Radiologi
1. Ultrasono grafi ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya masa , kista,
obtruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
2. Biopsi Ginjal dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan untuk diagnosis
histologis.
3. Endoskopi ginjal dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal.
4. EKG mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa.
5. KUB foto digunakan untuk menunjukkan ukuran ginjal / ureter / kandung kemih dan adanya
obtruksi (batu).
6. Arteriogram ginjal adalah mengkaji sirkulasi ginjal dan megidentifikasi ekstravaskuler, massa.
7. Pielogram retrograd untuk menunjukkan abormalitas pelvis ginjal.
8. Sistouretrogram adalah berkemih untuk menunjukkan ukuran kandung kemih, refluk kedalam
ureter, dan retensi.
9. Pada pasien CKD pasien mendapat batasan diit yang sangat ketat dengan diit tinggi kalori dan
rendah karbohidrat. Serta dilakukan pembatasan yang sangat ketat pula pada asupan cairan yaitu
antara 500-800 ml/hari.
10. Pada terapi medis untuk tingkat awal dapat diberikan terapi obat anti hipertensi, obat
diuretik, dan atrapit yang berguna sebagai pengontol pada penyakit DM, sampai selanjutnya
nanti akan dilakukan dialisis dan transplantasi.

Perencanaan keperawatan
No
Diagnosa (NANDA)
NOC
NIC
1
Excessive fluid volume b.d gangguan mekanisme regulasi.

Definisi:
Peningkatan retensi cairan isotonik.

Batasan karakteristik:
-gangguan tekanan darah
-gangguan pola nafas
-penurunan Hb
-edema
-kelemahan
-ketidakseimbangan elektrolit
Fluid balance
Setelah dilakukan perawatan selama 3x24 jam, cairan tubuh pasien seimbang dengan indikator:
Indikator
Awal
Target
Tekanan darah
2
4
Intake dan output 24 jam
3
5
BB stabil
2
3
Turgor kulit
3
4
Kelembaban membran mukosa
3
5

Kehausan
3
4
Edema perifer
3
4
Pusing
3
4

Kidney function
Setelah dilakukan perawatan 3x24 jam, fungsi ginjal pasien optimal dengan kriteria hasil:
Indikator
Awal
Target
Intake cairan
2
4
keseimbangan intake dan output 24 jam
3
4
Warna urin
3
5
Proteinuria
3
4
Hipertensi
3
5
Kelelahan
4
5
Anemia
3
4
1: severely compromised
2: substantially compromised
3: moderately compromised
4: mildly compromisesd
5: not compromised
Fluid/ electrolyte management
- monitor serum elektrolit abnormal
- cek labrotarorium untuk memantau cairan/ elektrolit yang terganggu (misalnya: Hmt, BUN,
protein, sodium, dan kalium)
- batasi intake cairan
- monitor hasil lab yang berhubungan dengan retensi cairan (misanya peningkatan BUN,
penurunan Hmt)
- monitor status hemodinamik
- monitor tanda dan gejala retensi cairan
- mencatat intake dan output setiap hari
- monitor vital sign
- monitor manifestasi klinis ketidakseimbangan elektrolit
- mengkaji emmbran mukosa, sklera, dan kulit sebgai indikasi gangguan keseimbangan cairan
dan elektrolit (misalnya kering, sianois, jaundice)
- kolaborasi medik tanda dan gejala ketidakseimbangan cairan dan elektrolit memburuk
- menyiapkan pasien HD
- monitor kehilangan cairan (misalnya: takipnea)

Vital signs monitoring


- monitor HR, TD, RR, dan suhu
- monitor TD ketika berbaring, duduk, berdiri sebelum dan sesudah perubahan posisi.
- monitor TD, RR, HR sebelum, selama, dan sesudah aktivitas
- monitor kualitas nadi
- monitor suara paru
-monitor pola nafas abnormal
- monitor warna, suhu, dan kelembaban kulit
- monitor sianosis perifer dan sentra
2
Activity intolerance b.d ketidakseimbangan antara kebutuhan dan supply oksigen.

Definisi:
Ketidakcukupan energi fisik atau psikologis untuk mempertahankan atau memenuhi aktivitas
sehari-hari.

Batasan karakteristik:
-ketidaknormalan HR selama aktivitas.
-kelelahan
-kelemahan umum
Activity tolerance
Setelah dilakukan perawatan 3x24 jam, respon fisiologis tubuh pasien dalam batas normal
dengan kriterdia hasil:
Indikator
Awal
Target
Sat O2 selama aktivitas
3
4
HR selama aktivitas
3
4
RR selama aktivitas
3
4
TD selama aktivitas
3
4
Jarak berjalan
3
4
Kekuatan ekst. bawah
3
5
1: severely compromised
2: substantially compromised
3: moderately compromised
4: mildly compromised
5: not compromised
Activity tolerance
- kolaboraasi denan fisioterapis dalam perencanaan dan minitoring program aktivitas
- menentukan komitmen pasien dalam menignkatkan frekuensi dan/ atau range aktivitas
- membantu pasienuntuk fokus terhadap apa yang dapat dilakukan.
- membantu pasien dan keluarga untuk emngidentifikasi penurunan aktivitas
- memfasilitasi aktivitas substitusi ketika pasien terbatas gerak, energi dan waktu
- membantu ADL
- memberikan reinforcement positif terhadap partisipasi pasien dalam kegiatan
- monitor respon emosional, fisik, psikologis dan sosial terhadap aktivitas.
3
Sleep deprivation b.d narkolepsi, ketidaknyamanan berkepanjangan.

Definisi:
Periode waktu terjaga berkepanjangan tanpa tidur.

Batasan karakteristik:
-gangguan konsentrasi
-kelelahan
-kelemahan
Sleep
Setelah dilakukan perawatan 3x24 jam, pasien dapat tidur berkualitas dengan kriteria hasil:
Indikator
Awal
Target
Jam tidur
4
5
Jumlah jam tidur yang teramati
4
5
Pola tidur
3
4
Kualitas tidur
3
5
Bed yang nyaman
3
5
Kesulitan memulai tidur
3
4
1: severely compromised
2: substantially compromised
3: moderately compromised
4: mildly compromised
5: not compromised
Sleep enhancement
- Tentukan pola tidur atau aktivitas klien
- Jelaskan pentingnya tidur saat kondisi sakit
- Tentukan efek pengobatan terhadap pola tidur klien
- Monitor pola dan jumlah jam tidur klien
- Monitor pola tidur dan catat hubungan faktor-faktor fisik (apnea saat tidur, nyeri/
ketidaknyamanan) dan faktor psikologi
- Modifikasi lingkungan
- Motivasi pasien untuk tidur rutin
- Fasilitasi pasien agar dapat tidur rutin
- Bantu untuk mengurangi stressor dari lingkungan
- Lakukan massage atau pengaturan posisi
- Lakukan pendkes pada keluarga
Daftar pustaka
Blackwell, Wiley. 2014. Nursing Diagnoses definitions and classification 2015-2017. United
Kingdom: Blackwell.
Dochterman, J. M. & Bulecheck, G. N. 2004. Nursing Intervention Classification (NIC) fourth
edition. Missouri: Mosby
Jevuska. 2012. Gagal Ginjal Kronik atau CKD: Pengertian dan klasifikasi, diakses pada 22
Desember 2014, (Online), http://www.jevuska.com/2012/10/27/gagal-ginjal-kronik-atau-ckd/.
Kidney Disease Outcomes Quality Iniatiative of The National Kidney Foundation. Clinical
Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification, and Stratification.
2002.
Moorhead, S., Johnson, M., Mass, M.L. & Swanson, E. 2008. Nursing Outcomes Classification
(NOC) fourth edition. Missouri: Mosby
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., dan Setiati. 2006. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi IV, Jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
US Renal Data System (USRDS). 2010. Annual Data Report: Atlas of Chronic Kidney Disease
and End-Stage Renal Disease in the United States. Bethesda, Md: National Institutes of Health,
National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases. Hyperlink Available at:
http://www.usrds.org/adr.htm.

Anda mungkin juga menyukai