Nim : 11180510000338
JAWABAN:
1. Hububgan Agama dan politik dalam perspektif sosiologi agama pada kasus nkri ini telah
menjadi suatu perdebatan yang cukup hangat dalam wacana sejarah dan kancah perpolitikan
peradaban manusia.Polemic memperlihatkan adanya suatu perbedaan pendapat
tentang hubungan negara dan agama di Indonesia. Perbedaan ini menimbulkan ketegangan-
ketegangan politik ideologi. Hal tersebut dikarenakan adanya beberapa hal :
Pertama hubungan negara dan agama telah menjadi perdebatan panjang untuk menentukan
batasan-
batasan dalam hal apa negara dapat ikut campur dalam urusan agama.
Kedua, perdebatan mengenai hubungan negara dan agama menjadi penting karena persoalan
ini merupakan gejala masyarakat yang berakar dari permasalahan lahirnya gerakan
sekularisasi dalam sejarah pemikiran Barat. Dalam konteks keindonesiaan perdebatan ini juga
mendapat
perhatian yang serius, terutama di awal pembentukan negara bangsa
(nation state) Indonesia oleh para pendiri bangsa (founding father).
Ketiga, masalah kontekstualisasi tipe negara merupakan suatu hal yang penting dalam
hubungan negara dan agama di Indonesia,
dikarenakan Indonesia merupakan negara dengan komposisi masyarakat paling mejemuk di
dunia. Selain itu, tingkat sentiment primordial dalam masyarakat Indonesia juga sangat
tinggi, apalagi kalau hal ini dikaitkan dengan persoalan pluralitas agama. Keberagamaan
hidup dalam beragama juga menjadi permasalahan penting dalam kehidupan bernegara.
Meskipun agama Islam merupakan agama mayoritas, namun dalam kehidupan bernegara
format hubungan negara dan agama oleh pendiri negara dirumuskan dalam tipe negara yang
berlandaskan pada Pancasila.
2. Agama dan pelapisan sosial adalah dua hal yang berbeda. Namun agama dan masyarakat
adalah dua unsur yang saling mempengaruhi satu sama lain, namun Agama memberi
perananan penting dalam kehidupan masyarakat, karena agama memberikan sebuah sistem
nilai yang memiliki nilai terapan pada norma-norma masyarakat untuk memberikan
keabsahan dan pembenaran dalam mengatur pola perilaku manusia, baik level individu dan
masyarakat. Agama menjadi sebuah pedoman hidup pada umumnya, agama merupakan
sistem sosial yang dipercayai oleh para penganutnya yang berproses pada kekuatan non
empiris yang dipercayai dan didayagunakan untuk keselamatan diri sendiri dan masyarakat
(Puspito, 1983:34). Dari pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa agama merupakan suatu
fenomena sosial sebagai dorongan jiwa dalam seseorang yang berasal dari fitrah dan telah
ada sejak manusia berada dalam alam ruh untuk hidup berketuhanan. Bahwa pada setiap
masyarakat terdapat pelapisan sosial yang menunjuk kepada fenomena tinggi rendahnya
kedudukan seseorang atau kelompok dalam suatu masyarakat. Pelapisan yang terdapat dalam
masyarakat agama bisa terjadi karena faktor-faktor formatif tertentu, misalnya keturunan,
penguasaan ilmu keagamaan, tingkat kesalehan, jabatan keagamaan, cara berpikir,ataupun
lainnya dan hubungan agama ini disatukan dengan strafikasi sosial untuk adanya sikap saling
menghormati terhadap sesamanya. Dan kita pun diciptakan oleh Tuhan dari berbagai macam
etnis dan sesamanya. Contoh klasik pelapisan sosial, misalnya yang terdapat dalam agama
Hindu, yaitu ada kelompok Brahma, Kstaria, Waisya, dan Sudra. Suatu pelapisan sosial yang
didasarkan pada suatu jenis keahlian tertentu, tetapi berimplikasi pada keturunan. Jadi
hubungan agama dengan strafikasi sosial sangatlah penting karna hal tersebut dapaat
menciptakan Norma-Norma yang baik dalam hubungan bermasyarakat.
3. Yang dimaksud dengan agama dan tipe-tipe masyarakat Definisi agama menurut
pemahaman sosiologi adalah definisi yang empiris, sosiologi tidak pernah memberikan
definisi agama yang evaluatif (menilai). Meski seperti itu, tetap ada pengertian agama dari
seorang tokoh sosiologi yaitu Emile Dukheim. Menurut Durkhein agama adalah suatu sistem
yang terpadu terdiri atau kenyakinan dan praktek yang berhubungan dengan hal-hal yang suci
dan menyatukan semua penganutnya dalam suatu komunitas moral yang di namakan umat.
Lebih jelasnya agama dipandang sebagai suatu institusi yang lain, yang mengemban tugas
(fungsi) agar masyarakat berfungsi dengan baik, baik dalam lingkup lokal, regional, dan
nasional. Yang pertama Masyarakat yang Terbelakang dan Nilai-nilai Sakral Masyarakat
tipe ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyarakat menganut agama yang sama.
Oleh karenanya keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam kelompok keagamaan
adalah sama. Agama menyusup ke dalam kelompok aktivitas yang lain. Sifat-sifatnya :
Dalam keadaan lembaga lain selain keluarga relatif belum berkembang, agama
jelas menjadi fokus utama bagi pengintegrasian dan persatuan dari masyarakat
secara keseluruhan. Dalam hal ini nilai-nilai agama sering meningkatkan
konservatisme dan menghalangi perubahan.
Tipe yang ketiga yaitu, Masyarakat-Masyarakat Industri Sekuler. Tipe kehidupan masyarakat
ini sangatlah dinamik, segala aspek masyarakat semakin di pengaruhi oleh teknologi,
pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi juga berpengaruh pada agama yang membuat
anggota-anggota masyarakat itu semakin lama semakin terbiasa menggunakan metode-
metode empirik berdasarkan penalaran dalam menghadapi berbagai masalah kemanusiaan,
lingkungan yang sekuler mulai meluas menggantikan lingkungan yang sakral mengakibatkan
semakin menyempitnya ruang gerak kepercayaan dan pengamalan keagamaan yang
kharismatik akan nilai-nilai humanistik dalam masyarakat.
Golongan Nelayan.
Apabila dilihat menurut konsep Nottingham, baik golongan petani atau golongan
nelayan, termasuk tipe masyarakat terbelakang, yang nilai-nilai sakral sangat
memasuki sistem nilai masyarakatnya. Maka dalam penyampaian ajaran agama
kepada mereka, hendaklah dengan cara yang sederhana dan memakai contoh-contoh
yang bisa diambil dari lingkungan alamnya.
Golongan pengrajin dan pedagang kecil hidup dalam situasi yang berbeda dengan
golongan petani. Kehidupan golongan ini tidak terlalu berkutat dengan situasi alam
dan tidak terlalu bergantung pada alam. Hidup mereka didasarkan atas landasan
ekonomi yang memerlukan perhitungan rasional. Mereka tidak menyadarkan diri pada
keramahan alam yang tidak bisa dipastikan, tetapi lebih mempercayai perencanaan
yang teliti dan pengarahan yang pasti.
Kategori yang paling menonjol dari golongan pedagang besar adalah memiliki
sikapnya yang lain terhadap agama.Pada umumnya kelompok ini mempunyai jiwa
yang jauh dari gagasan tentang imbalan jasa moral, seperti yang dimiliki golongan
tingkat menengah bawah.mereka lebih berorientasi pada kehidupan nyata dan
cenderung menutup agama profetis dan etis. Perasaan keagamaanya lebih bersifat
fungsional. Kemampuan yang mereka miliki terletak pada kekuatan ekonominya.
Biasanya, sebagai formalitas, mereka tidak segan-segan menyumbang sejumlah dana
untuk kepentingan kegiatan agama, mereka sendiri tidak terlibat langsung pada
kegiatan tersebut. Pemberian dananya cukup untuk mewakili perasaan keagamaanya.
Golongan Karyawan
Weber menyebut golongan karyawan sebagai kaum birokrat. Jika dilihat dari
teori Nottingham, golongan ini dapat dimasukkan pada masyarakat industri, karena
sistem sosial yang ada sudah bersifat modern. Hal ini dilihat dari pembagian fungsi-
fungsi kerja yang ada sudah jelas, dan adanya penyelesaian suatu masalah
kemanusiaan berdasarkan penalaran dan efisiensi. Berdasarkan asumsi ini, dapat
dipastikan bahwa rasa keberagamaan golongan karyawan berbeda dengan golongan-
golongan lain. Penelitian Weber di China, khususnya tentang penganut agama
konfosius, menyimpulkan bahwa kecenderungan rasa keagamaan birokrasi bersifat
“Serba mencari untung dan enak”. Yang menjadi penyebabnya, karena rasa
kekhawatiran karena ketidakpastian, ketidakmampuan, dan kelangkaan dalam
kehidupan sehari-harinya dapat dikatakan tidak pernah mereka alami. Mereka sudah
terjamin dengan kepastian datangnya sejumlah gaji pada setiap bulan. Maka budaya
yang dikembangkan, boleh jadi seperti penemuan Weber tersebut adalah serba
mencari keuntungan dan keenakan.
Golongan Buruh
Golongan Tua-muda
Meskipun secara social penggolongan tua muda ini ada, tetapi susah ditentukan
batasannya secara praktis. Berdasarkan pengamatan sepintas tersebut, dapat dikatakan
bahwa agama pada golongan tua lebih kental dibandingkan dengan golongan muda.
Nanun, bila asumsi ini diterapkan pada zaman sekarang, ternyata mengalami kesulitan
juga, karena tidak jarang banyak orang yang berumur 40 ke atas berlaku seperti anak
muda.
Usia 40 tahun ini sering kali dijadikan patokan oleh penganut agama untuk
mempelajari agamanya secara intensif dan berupaya menghayatinya secara mendalam
dengan mengamalkan perintah dan larangan ajaran agamanya. Misalnya saja, sholat
berjamaah dimasjid-masjid seringkali banyak di isi oleh orang golongan tua dari pada
golongan muda. Golongan muda lebih banyak mengisi acara-acara pesta atau kegiatan
yang bersifat duniawi.
Golongan Pria-wanita
Secara psikologis, watak umum pria dan wanita berbeda. Dalam menghadapi
suatu keadaan, watak pria lebih dominan menggunakan pertimbangan rasional,
sedangkan wanita lebih rasa / emosinya. Jika dilihat secara keseluruhan, tujuan
beragama seseorang itu rata-rata untuk mencari ketenangan batin. Dalam masalah
penghayatan keagamaan, tampaknya golongan wanita lebih dominan, karena faktor
pembawaan mereka umumnya cenderung emosional. Bagi wanita, yang terpenting
dari keberagaman itu dapat merasakannya secara langsung. Sementara golongan pria
kurang menghayati rasa-rasa keagamaan seperti itu. Mereka memerlukan dasar
rasionalnya terlebih dahulu. Oleh karena itu, pengaruh agama terhadap golongan
wanita cukup signifikan, sebaliknya, golongan pria cenderung mengarah ke arah
sekuler.