Anda di halaman 1dari 12

http://tsabat07.wordpress.

com/2012/02/19/rukun-la-ilaha-
illallah/Rukun La ilaha illallah
February 19, 2012

tsabat87 Artikel Ilmu la ilaha illallah, syahadat Leave a comment

Mengetahui makna kalimat yang mulia ini merupakan salah satu prinsip
yang sangat mendasar pada ‘aqidah seorang muslim. Bagaimana tidak, karena jika seseorang
mengucapkan kalimat tauhid ini maka dia tidak akan bisa melaksanakan konsekuensinya
sebelum mengetahui apa maknanya serta dia tidak akan mendapatkan berbagai keutamaan
kalimat yang mulia ini sampai dia mengetahui apa maknanya, mengamalkannya dan meninggal
di atasnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

َ‫ق َو ُه ْم يَ ْعلَ ُمون‬ َ ْ‫شفَا َعةَ إِاَّل َمن‬


ِّ ‫ش ِه َد بِا ْل َح‬ َّ ‫َواَل يَ ْملِ ُك الَّ ِذينَ يَ ْدعُونَ ِمنْ دُونِ ِه ال‬

“Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memberi syafa`at;
akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa`at ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid)
dalam keadaan mereka mengetahui(nya)”. (QS. Az-Zukhruf : 86)

Dan Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah menegaskan :

َ‫َمنْ َماتَ َوه َُو يَ ْعلَ ُم أَنَّهُ الَ إِلَهَ إِالَّ هللاُ د ََخ َل ا ْل َجنَّة‬

“Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mengatahui bahwa sesungguhnya tiada


sembahan yang berhak disembah kecuali Allah maka akan masuk Surga”. (HSR. Bukhary dari
shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)

Oleh karena itu, berikut penjelasan secara singkat mengenai makna kalimat tauhid yang mulia ini
:

Laa Ilaaha Illallah adalah kalimat yang terdiri dari 4 kata, yaitu : kata (laa), kata (Ilaha), kata
(illa) dan kata (Allah). Adapun secara bahasa bisa kita uraikan secara ringkas sebagai berikut :

 Laa adalah nafiyah lil jins (Meniadakan keberadaan semua jenis kata benda yang datang
setelahnya). Misalnya perkataan orang Arab “Laa rojula fid dari” (Tidak ada laki-laki
dalam rumah) yaitu menafikan (meniadakan) semua jenis laki-laki di dalam rumah.
Sehingga laa dalam kalimat tauhid ini bermakna penafian semua jenis penyembahan dan
peribadahan yang haq dari siapapun juga kecuali kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
 Ilah adalah mashdar (kata dasar) yang bermakna maf’ul (obyek) sehingga bermakna ma`l
uhyang artinya adalah ma’bud (yang diibadahi). Karena aliha maknanya adalah ‘abada
sehingga makna ma’luh adalah ma’bud. Hal ini sebagaimana dalam bacaan Ibnu ‘Abbas
radhiallahu ‘anhuma terhadap ayat 127 pada surah Al-A’raf :

ِ ‫سد ُْوا فِ ْي اأْل َ ْر‬


َ‫ض َويَ َذ َركَ َوإِلَ َهتَك‬ َ ‫َوقَا َل ا ْل َمألُ ِمنْ قَ ْو ِم فِ ْرع َْونَ أَتَ َذ ُر ُم ْو‬
ِ ‫سى َوقَ ْو َمهُ لِيُ ْف‬

” Berkatalah pembesar-pembesar dari kaum Fir’aun (kepada Fir’aun) : “Apakah kamu


membiarkan Musa dan kaumnya untuk membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan
meninggalkan kamu serta ilahatahmu (peribadatan kepadamu)?” .

Il ahat aka (ilahatahmu) yaitu peribadatan kepadamu, karena Fir’aun itu disembah dan tidak
menyembah. Hal ini menunjukkan bahwa Ibnu ‘Abbas memahami bahwa kata Ilahah artinya
adalah Ibadah

 Illa (kecuali). Pengecualian di sini adalah mengeluarkan kata yang terletak setelah illa
dari hukum kata yang telah dinafikan oleh laa. Misalnya dalam contoh di atas laa rajula
fid dari illa Muhammad, yaitu Muhammad (sebagai kata setelah illa) dikeluarkan
(dikecualikan) dari hukum sebelum illa yaitu peniadaan semua jenis laki-laki di dalam
rumah, sehingga maknanya adalah tidak ada satupun jenis laki-laki di dalam rumah
kecuali Muhammad. Jika diterapkan dalam kalimat tauhid ini makna maknanya adalah
bahwa hanya Allah yang diperkecualikan dari seluruh jenis ilah yang telah dinafikan oleh
kata laa sebelumnya.
 Lafadz “Allah” asal katanya adalah Al-Ilah dibuang hamzahnya untuk mempermudah
membacanya, lalu lam yang pertama diidhgamkan (digabungkan) pada lam yang kedua
maka menjadilah satu lam yang ditasydid dan lam yang kedua diucapkan tebal
sebagaimana pendapat Imam Al-Kisa`i dan Imam Al-Farra` dan juga pendapat Imam As-
Sibawaih.

Adapun maknanya, berkata Al-Imam Ibnu Qoyyim dalam Madarij As-Salikin (1/18) : “Nama
“Allah” menunjukkan bahwa Dialah yang merupakan ma’luh (yang disembah) ma’bud (yang
diibadahi). Seluruh makhluk beribadah kepadanya dengan penuh kecintaan, pengagungan dan
ketundukan”.

Lafadz jalalah “Allah” adalah nama yang khusus untuk Allah saja, adapun seluruh nama-nama
dan sifat-sifat Allah yang lainnya kembali kepada lafadz jalalah tersebut. Karena itulah tidak ada
satupun dari makhluk-Nya yang dinamakan Allah.

Kemudian dari perkara yang paling penting diketahui bahwa Laa ini –sebagaimana yang telah
diketahui oleh semua orang yang memiliki ilmu bahasa Arab- membutuhkan isim dan khobar
sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Malik dalam Alfiyahnya :

‫اج َع ْل لِالَ فِي نَ ِك َره‬


ْ َّ‫…… َع َم َل إِن‬..

“Jadikan amalan Inna (menashab isim dan merafa’ khobar) untuk laa bila isimnya nakirah”.
Isim laa adalah kata ilaha, adapun khobarnya, disinilah letak perselisihan manusia dalam
penentuannya. Adapun yang dipilih oleh para ulama As-Salaf secara keseluruhan adalah bahwa
khobarnya (dibuang) oleh karena itulah harus menentukan khobarnya untuk memahami
maknanya dengan benar. Dan para ulama Salaf sepakat bahwa yang dibuang tersebut adalah kata
haqqun atau bihaqqin (yang berhak disembah), dengan dalil firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
dalam surah Luqman ayat 30 :

‫ق َوأَنَّ َما يَ ْدع ُْونَ ِمنْ د ُْونِ ِه البَا ِط ُل َوأَنََّ هللاَ ه َُو ال َعلِ ُّي ال َكبِ ْي ُر‬ َ ‫َذلِكَ بِأَنَّ هللاَ ُه َو‬
ُّ ‫الح‬

“Yang demikian itu karena Allahlah yang hak (untuk disembah) dan apa saja yang mereka
sembah selain Allah maka itu adalah sembahan yang batil dan Allah Maha Tinggi lagi Maha
Besar”. Dan mirip dengannya dalam surah Al-Hajj ayat 62.

Maka dari seluruh penjelasan di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa makna Laa
ilaaha illallah adalah tidak ada sembahan yang berhak untuk disembah kecuali Allah. Maka
kalimat tauhid ini menunjukkan akan penafian/penolakan/peniadaan semua jenis penyembahan
dan peribadahan dari semua selain Allah Ta’ala, apa dan siapapun dia, serta penetapan bahwa
penyembahan dan peribadahan dengan seluruh macam bentuknya –baik yang zhohir maupun
yang batin- hanya ditujukan kepada Allah semata tidak kepada selainnya. Oleh karena itu semua
yang disembah selain Allah Ta’ala memang betul telah disembah, akan tetapi dia disembah
dengan kebatilan, kezholiman, pelampauan batas dan kesewenang-wenangan. Inilah makna yang
dipahami oleh orang-orang Arab –yang mukmin maupun yang kafirnya- tatkala mereka
mendengar perkataan laa ilaha illallah sebagaimana yang akan datang penjelasannya insya Allah
Ta’ala.

Berikut sebagian perkataan para ulama yang menunjukkan benarnya apa yang telah kami
paparkan :

 Berkata Al-Wazir Abul Muzhoffar dalam Al-Ifshoh : “Lafazh “Allah” sesudah “illa”
menunjukkan bahwasanya penyembahan wajib (diperuntukkan) hanya kepada-Nya, maka
tidak ada (seorangpun) selain dari-Nya yang berhak mendapatkannya (penyembahan
itu)”. Dan beliau juga berkata : “Dan termasuk faedah dari hal ini adalah hendaknya
kamu mengetahui bahwa kalimat ini mencakup kufur kepada thaghut (semua yang
disembah selain Allah) dan beriman hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka
tatkala engkau menafikan penyembahan dan menetapkan kewajiban penyembahan itu
hanya kepada Allah subhanahu maka berarti kamu telah kufur kepada thaghut dan
beriman kepada Allah”.
 Berkata Imam Ibnu Rajab : “Al-Ilah adalah yang ditaati dan tidak didurhakai karena
mengagungkan dan memuliakan-Nya, merasa cinta, takut, berharap dan bertawakkal
kepada-Nya, meminta dan berdo’a pada-Nya. Dan semua ini tidak boleh kecuali kepada
Allah ‘Azza wa Jalla. Maka siapa yang mengikutsertakan makhluk-Nya pada salah satu
dari perkara-perkara yang merupakan kekhususan penyembahan (ibadah) ini maka dia
telah merusak keikhlasannya dalam kalimat Laa Ilaaha Illallah. Dan padanya terdapat
peribadatan kepada makhluk (kesyirikan) yang kadarnya sesuai dengan banyak atau
sedikitnya hal-hal tersebut terdapat padanya”.
 Berkata Al-Imam Al-Baqo`iy : “Laa Ilaaha Illallah yaitu peniadaan yang besar dari
menjadikan yang diibadahi yang benar selain Raja yang paling mulia karena
sesungguhnya ilmu ini, khususnya Laa Ilaahaa Illallah adalah peringatan yang paling
besar yang menolong dari keadaan hari kiamat dan sesungguhnya menjadi ilmu jika
bemanfaat, dan menjadi bermanfaat jika disertai dengan ketundukan dan beramal dengan
ketentuannya. Kalau tidak maka itu adalah kebodohan semata”.

Berkata Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh : “Dan ini banyak dijumpai pada perkataan
kebanyakan ulama salaf dan merupakan ‘ijma (kesepakatan) dari mereka. Maka kalimat ini
menunjukkan penafian penyembahan terhadap segala apa saja selain Allah bagaimanapun
kedudukannya. Dan menetapkan penyembahan hanya kepada Allah saja semata. Dan ini adalah
tauhid yang didakwahkan seluruh Rasul dan ditunjukkan oleh Al-Qur’an dari awal sampai
akhirnya”.

Dari penjelasan di atas diketahui bahwa kalimat Laa Ilaaha Illallah mengandung dua rukun asasi
yang harus terpenuhi sebagai syarat diterimanya syahadat seorang muslim yang mengucapkan
kalimat tersebut :

Pertama :An-Nafyu (penafian/penolakan/peniadaan) yang terkandung dalam kalimat Laa


Ilaaha. Yaitu menafikan, menolak dan meniadakan seluruh sembahan yang berhak untuk
disembah bagaimanapun jenis dan bentuknya dari kalangan makhluk, baik yang hidup apalagi
yang mati, baik malaikat yang terdekat dengan Allah maupun Rasul yang terutus terlebih lagi
makhluk yang derajatnya di bawah keduanya.

Kedua :Al-Itsbat (penetapan) yang terkandung dalam kalimat Illallah. Yaitu menetapkan seluruh
ibadah baik yang lahir seperti sholat, zakat, haji, menyembelih dan lain-lain maupun yang batin
seperti tawakkal, harapan, ketakutan, kecintaan dan lain-lain. Baik dari ucapan seperti dzikir,
membaca Al-Qur’an berdoa dan sebagainya maupun perbuatan seperti ruku dan sujud sewaktu
sholat, tawaf dan sa`i ketika haji dan lain-lain hanya untuk Allah saja.

Maka syahadat seseorang belumlah benar jika salah satu dari dua rukun itu atau kedua-duanya
tidak terlaksana. Misalnya ada orang yang hanya meyakini Allah itu berhak disembah (hanya
menetapkan) tetapi juga menyembah yang lain atau tidak mengingkari penyembahan selain
Allah (tidak menafikan).

Berikut penyebutan beberapa ayat Al-Qur`an yang menerangkan dua rukun laa ilaha illallah ini :

َ ‫سكَ با ِ ْل ُع ْر َو ِة ا ْل ُو ْثقا َ الَ انفِصا َ َم لَهـا‬ ْ ‫ت َويُؤْ ِمنْ باِهللاِ فَقَ ِد ا‬


َ ‫ستَ ْم‬ ِ ‫فَ َمنْ يَ ْكفُ ْر بِالطا َّ ُغ ْو‬

“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thagut dan beriman kepada Allah maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus”.
(QS. Al-Baqarah : 256).

‫ين‬ َ ُ‫ إِاَّل الَّ ِذي فَطَ َرنِي فَإِنَّه‬. َ‫َوإِ ْذ قَا َل إِ ْب َرا ِهي ُم أِل َبِي ِه َوقَ ْو ِم ِه إِنَّنِي بَ َرا ٌء ِم َّما تَ ْعبُدُون‬
ِ ‫سيَ ْه ِد‬
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Sesungguhnya aku
berlepas diri dari apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan Yang
menjadikanku ; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku”. (QS. Az-
Zukhruf : 26-27)

ْ ُ‫َوا ْعبُدُوا هَّللا َ َواَل ت‬


َ ‫ش ِر ُكوا بِ ِه‬
‫ش ْيئًا‬

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun”. (QS.


An-Nis a` : 36)

Untuk melaksanakan makna inilah Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan jin dan manusia
serta langit dan bumi sebagai fasilitas buat mereka :

َ ‫َو َما َخلَ ْقتُ ا ْل ِجنَّ َواإْل ِ ْن‬


ِ ‫س إِاَّل لِيَ ْعبُد‬
‫ُون‬

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS.
Adz-Dz ariy at : 56)

ِ ‫ق لَ ُك ْم َما فِي اأْل َ ْر‬


‫ض َج ِمي ًعا‬ َ َ‫ُه َو الَّ ِذي َخل‬

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”. (QS. Al-Baqarah : 29)

Karenanya Allah mengutus para Rasul ‘alaihimush Sholatu was Salam :

ُ ‫َولَقَ ْد بَ َع ْثنَا فِي ُك ِّل أُ َّم ٍة َر‬


ْ ‫سواًل أَ ِن اُ ْعبُدُوا هَّللا َ َو‬
َ‫اجتَنِبُوا الطَّا ُغوت‬

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
“Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”. (QS. An-Nahl : 36)

‫س ْو ٍل إِالَّ نُ ْو ِح ْي إِلَ ْي ِه أَنَّهُ آلَ إِلهَ إِالَّ أَنَا فَا ْعبُد ُْو ِن‬ َ ‫َو َما أَ ْر‬
ُ ‫س ْلنَا َ ِمنْ قَ ْبلِ َك ِمنْ َر‬

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan kami mewahyukan
kepadanya bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu
sekalian akan Aku”. (QS. Al-Anbiya` : 25).

َ‫سلِنَا أَ َج َع ْلنَا ِمنْ دُو ِن ال َّر ْح َم ِن َءالِ َهةً يُ ْعبَدُون‬ َ ‫سأ َ ْل َمنْ أَ ْر‬
ُ ‫س ْلنَا ِمنْ قَ ْبلِكَ ِمنْ ُر‬ ْ ‫َوا‬

“Dan tanyakanlah kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum kamu: “Adakah
Kami menentukan sembahan-sembahan untuk disembah selain Allah Yang Maha Pemurah?”.
(QS. Az-Zukhruf : 45)

Dan karenanya pulalah Allah Ta’ala menurunkan kitab-kitabNya :

َ ‫ أَاَّل تَ ْعبُدُوا إِاَّل هَّللا‬.‫يم َخبِي ٍر‬ ِّ ُ‫َاب أُ ْح ِك َمتْ َءايَاتُهُ ثُ َّم ف‬
ٍ ‫صلَتْ ِمنْ لَدُنْ َح ِك‬ ٌ ‫الر ِكت‬
“Alif Laam Raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan
secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu, agar
kamu tidak menyembah selain Allah”. (QS. Hud : 1-2)

ً ِ‫ق فَا ْعبُ ِد هَّللا َ ُم ْخل‬


َ‫صا لَهُ الدِّين‬ َ ‫إِنَّا أَ ْنزَ ْلنَا إِلَيْكَ ا ْل ِكت‬
ِّ ‫َاب بِا ْل َح‬

“Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Qur’an) dengan (membawa) kebenaran.
Maka sembahlah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya.”. (QS. Az-Zumar : 2)

Inilah kesimpulan makna dari kalimat tauhid yang agung dan mulia ini. Makna inilah yang
dipahami oleh para shahabat dan para ulama yang datang setelah mereka sampai hari ini bahkan
makna inilah yang diyakini dan dipahami oleh kaum musyrikin Quraisy di zaman Nabi
Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam semisal Abu Jahl, Abu Lahab dan selainnya,
sebagaimana yang diungkap oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala pencipta mereka :

ِ ‫ َويَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَا ِر ُكوا َءالِ َهتِنَا لِش‬. َ‫ستَ ْكبِرُون‬


ٍ ُ‫َاع ٍر َم ْجن‬
‫ون‬ ْ َ‫إِنَّ ُه ْم َكانُوا إِ َذا ِقي َل لَ ُه ْم اَل إِلَهَ إِاَّل هَّللا ُ ي‬

“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha illallah” (Tiada
sembahan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri, dan mereka
berkata: Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena
seorang penyair gila?”. (QS. Ash-Shoffat : 35-36)

ٌ ‫أَ َج َع َل اآْل لِ َهةَ إِلَ ًها َوا ِحدًا إِنَّ َه َذا لَش َْي ٌء ع َُج‬
‫اب‬

“Mengapa ia menjadikan sembahan-sembahan itu sembahan Yang satu saja? Sesungguhnya ini
benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan”. (QS. Shod : 5)

Maka lihatlah –semoga Allah merahmatimu- bagaimana jawaban kaum musyrikin tatkala
diperintah mengucapkan kalimat tauhid, spontan mereka menolak karena sangat mengetahui apa
makna dan konsekwensi kalimat ini yaitu harusnya meninggalkan semua sembahan mereka dan
menjadikannya hanya satu sembahan yaitu hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka betapa
celakanya seseorang yang mengaku muslim yang Abu Jahl lebih tahu dan lebih faham tentang
makna laa Ilaha illallah daripada dirinya. Wallahul musta’an.

{Lihat : Fathul Majid hal. 52-54 dan Kifayatul Mustazid bisyarhi Kitabit Tauhid Bab. Tafsirut
Tauhid karya Syaikh Sholih Alu Asy-Syaikh}

Berkata Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah dalam Majmu’ Fatawabeliau (2/5) :
“Sesungguhnya saya telah melihat tulisan yang ditulis oleh saudara kita di jalan Allah
Al-‘Allamah Asy-Syaikh ‘Umar bin Ahmad Al-Malib ary tentang makna laa ilaha illallah, dan
saya memperhatikan apa yang beliau jelaskan tentang pendapat 3 kelompok dalam maknanya.
Dan penjelasannya :

Pertama : Laa Ma’buda bihaqqin illallah (Tidak ada sembahan yang berhak disembah kecuali
Allah).
Kedua : Laa Mutho’a bihaqqin illallah (Tidak ada yang berhak ditaati kecuali Allah).

Ketiga : Laa Roba illallah (Tidak ada Tuhan selain Allah).

Dan yang benar adalah (makna) yang pertama sebagaimana yang beliau jelaskan. Dan (makna)
inilah yang ditunjukkan oleh Kitab Allah Subhanahu dalam beberapa tempat dalam Al-Qur`anul
Karim, seperti dalam firmanNya Subhanahu :

ْ َ‫إِيَّاكَ نَ ْعبُ ُد َوإِيَّاكَ ن‬


ُ‫ستَ ِعين‬

“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon
pertolongan”. (QS. Al-Fatihah : 5)

Dan firmanNya ‘Azza wa Jalla :

َ ‫ضى َر ُّب َك أَاَّل تَ ْعبُدُوا إِاَّل إِيَّاهُ َوبِا ْل َوالِ َد ْي ِن إِ ْح‬


‫سانًا‬ َ َ‫َوق‬

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya”. (QS. Al-Isra` : 23)

َ ‫َو َما َخلَ ْقتُ ا ْل ِجنَّ َواإْل ِ ْن‬


ِ ‫س إِاَّل لِيَ ْعبُد‬
‫ُون‬

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS.
Adz-Dzariyat : 56)

‫ق َوأَنَّ َما يَ ْدعُونَ ِمنْ دُونِ ِه ه َُو ا ْلبَا ِط ُل َوأَنَّ هَّللا َ ه َُو ا ْل َعلِ ُّي ا ْل َكبِي ُر‬
ُّ ‫َذلِكَ بِأَنَّ هَّللا َ ُه َو ا ْل َح‬

“(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang
Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang batil, dan
sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (QS. Al-Hajj : 62)

Oleh : Ustadz Hammad Abu Mu’awiyah

Sumber : Jurnal Al-Atsariyyah Vol. 01/Th01/2006

Kalimat ‫ الَ إِلهَ إِاَّل هللا‬merupakan dasar agama Islam dan inti dari seluruh syariat Islam, kalimat ini
juga yang sering kita dengar dan ucapkan. Bahkan pada zaman sekarang ini sering kita
mendengar sebagian kaum muslimin mengucapkan kalimat tersebut secara spontan tanpa mereka
sadari keluar dari lisan mereka. Namun yang sangat disayangkan dan memperihatinkan,
kebanyakan dari mereka tidak memahami makna dan kandungan dari kalimat ini, yang kemudian
sebagai penyebab mereka melanggar konsekuensi dari kalimat yang agung tersebut.
http://alhujjah.com/2013/05/tujuh-syarat-laa-ilaaha-
illallah/Makna kalimat la ilaha illallah
Makna Kalimat la ilaha illallah adalah ‫ق إِالَّ هللا‬
ٍّ S‫وْ َد بِ َح‬SSُ‫( الَ َم ْعب‬tidak ada sesembahan yang benar
untuk diibadahi kecuali Allah). Inilah makna sebenarnya yang telah didefinisikan oleh para
ulama ahlisunnah waljama’ah, makna ini sesuai dengan firman Allah subhanahu wata’ala dalam
surat Al-Haj, ayat 62, yang artinya:

“Demikianlah (kebesaran Allah) karena Allah Dialah (Tuhan) yang Hak (benar) dan apa saja
yang mereka seru selain Dia, itulah yang batil.“

Akan tetapi ada beberapa penafsiran yang keliru tentang kalimat la ilaha illallah yang telah
tersebar luas di dunia Islam di antaranya:

1. Menafsirkan kalimat la ilaha illallah dengan (‫)الَ َم ْعبُوْ َد إِاَّل هللا‬: “Tidak ada yang diibadahi selain
Allah”. Padahal makna tersebut rancu, ini berarti setiap yang diibadahi baik benar maupun salah
adalah Allah subhanahu wata’ala. Karena Allah subhanahu wata’ala menamakan semua yang
disembah di muka bumi sebagai ‫( إله‬Tuhan). Ketika Rasulullâh shalallahu ‘alaihi wasallam
mengatakan kepada orang-orang musyrik: La ilaha illallah maka meraka mengatakan

ٌ ‫أَ َج َع َل ْاآللِ َهةَ إِل ًها َوا ِح ًدا إِنَّ ه َذا لَش َْي ٌء ع َُح‬
‫اب‬
“Apakah dia menjadikan tuhan-tuhan yang banyak ini menjadi Tuhan yang satu saja?
sesungguhnya ini sesuatu yang mengharankan.” [QS. Shood: 5]

2. Menafsirkan kalimat la ilaha illallah dengan (‫ق إِالَّ هللا‬


َ ِ‫“ )الَ خَ ال‬Tidak ada pencipta kecuali Allah”,
padahal makna tersebut adalah sebagian makna dari kalimat la ilaha illallah dan ini masih berupa
Tauhid Rububiyah (tauhid yang mengakui keesaan Allah saja), sehinga belum cukup. Karena
orang-orang kafir jahiliyah dahulu telah meyakini Allah adalah Tuhan pencipta alam,
sebagaimana Allah jelaskan dalam al-Qur’an

ُ‫سأ َ ْلتَ ُه ْم َمنْ َخلَقَ ُه ْم لَيَقَ ْولُنَّ هللا‬


َ ْ‫َولِئِن‬
“Dan jika engkau bertanya kepada mereka, sipakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka
menjawab, Allah.” (QS. Az – Zuhkruf: 87)

3. Ada juga yang menafsirkan la ilaha illallah dengan (‫) الَ َحا ِك َم إِالَّ هللا‬: “Tidak ada hakim/penguasa
kecuali Allah”. Pengertian ini pun tidak mencukupi makna kalimat tersebut karena apabila
mengesakan Allah hanya dengan pengakuan sifat Allah Yang Maha Penguasa saja namun masih
berdo’a kepada selain-Nya atau menyelewengkan tujuan ibadah kepada sesuatu selain-Nya,
maka hal ini belum dikatakan (telah menjalankan makna kalimat tersebut, yaitu bertauhid kepada
Allah-red).

Rukun ‫ال إله إال هللا‬


ُ َ‫( ا ِإل ْثب‬menetapkan).
Kalimat la ilaha illaallah memiliki 2 rukun yaitu ‫( النَّ ْف ُي‬meniadakan) dan ‫ات‬
Yang dimaksud dengan “meniadakan” adalah menjauhi sesembahan selain Allah baik Malaikat
yang dekat dengan-Nya atau pun para Nabi dan Rasul yang diutus. Sedangkan yang dimaksud
dengan “menetapkan” adalah menetapkan sesembahan yang benar hanya milik Allah semata.
Adapun sesembahan yang lain semuanya sesembahan yang batil. Hal ini sebagaiman firman
Allah yang artinya:

“Demikianlah (kebesaran Allah) karena Allah Dialah (Tuhan) yang Hak (benar). Dan apa saja
yang mereka seru selain Dia, itulah yang batil.” (QS. Al – Hajj: 62).

Syarat-syarat la ilaha illallah


Setiap ketaatan kepada Allah subhanahu wata’ala tidak akan diterima kecuali dengan memenuhi
syarat-syaratnya, seperti sholat dan zakat tidak akan diterima kecuali memenuhi syarat-
syaratnya, demikian juga dengan kalimat la ilaha illallah tidak akan diterima kecuali seorang
hamba menyempurnakan syarat-syaratnya.

Seorang Tabi’in yang bernama Wahb Ibnu Munabbih pernah ditanya,

“Bukankah kunci surga itu kalimat la ilaha illallah? maka beliau menjawab ya, akan tetapi
tidaklah disebut kunci kecuali ia memiliki gigi-gigi, jika kamu membawa kunci disertai gigi-
giginya maka pintu tersebut akan terbuka, akan tetapi apabila tidak memiliki gigi-gigi maka
pintu tersebut tidak akan terbuka.” [Ibnu rajab dalam kitab beliau kalimat ikhlas hal:14].

Beliau menjelaskan syarat la ilaha illlallah ibarat gigi-gigi kunci.

Syarat la ilaha illallah ada 7 yaitu,


1. Al–Ilmu, yaitu mengetahui makna la ilaha illallah, sebagaimana firman Allah subhanahu wa
ta’ala yang artinya;

“kecuali orang yang mengakui kebenaran dan mereka mengetahuinya.” [QS. Az-Zukhruf: 86].

Berkata para ulama tafsir :

”mengakui kebenaran maksudnya mengakui kebenaran kalimat la ilaha illallah, dan


mengetahuinya maksudnya memahami dengan benar apa yang diucapkan oleh lisan-lisan mereka
yaitu tentang kalimat la ilaha illallah.”

2. Al–Yaqiin, yaitu meyakini makna la ilaha illallah tanpa ada keraguan sedikit pun, Allah
subhanahu wata’ala berfirman:

“sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu.”[QS. AL-Hujuraat: 15].
3. Al-Ikhlas, Yaitu memurnikan seluruh ibadah hanya kepada Allah subhanahu wa ta’la dan
menjauhi kesyirikan, baik syirik besar maupun syirik kecil, Allah subhanahu wa ta’la berfirman
yang artinya:

“Maka beribadahlah kepada Allah dengan tulus, ikhlas beragama kepada-Nya. Ingatlah! Hanya
muilik Allah agama yang murni.” [QS. Az-Zumar; 2-3]

4. Ash-Shidqu yaitu jujur, maksudnya adalah mengucapkan kalimat ini dengan pembenaran di
dalam hati. Barang siapa yang mengucapkan kalimat ini dengan lisannya akan tetapi hatinya
mendustakannya maka ia adalah seorang munafik dan pendusta. Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman:

“Dan di antara manusia ada yang berkata: kami beriman kepada Allah dan hari Akhir padahal
sesungguhnya mereka bukanlah orang-orang yang beriman, mereka menipu Allah dan orang-
orang beriman, padahal mereka hanya menipu diri mereka sendiri tanpa mereka sadari.” [QS. Al-
Baqarah: 8-9]

5. Al–Mahabbah (cinta), maksudnya mencintai kalimat ini dan apa yang dikandungnya,
sebagaimana firman Allah dalam surat Ali-imron ayat ke 31 yang artinya: “…Dan antara
manusia ada yang menyembah tuhan selain Allah sebagai tandingan, yang mereka cinta seperti
mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah…,

6. Al-Inqiyaad, yaitu tunduk dan patuh. Seorang muslim harus tunduk dan patuh terhadap isi
kandungan kalimat ini, sebagaimana firman Allah yang artinya:

“Dan kembalilah kepada rabbmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang adzab
kepadamu, kemudian kamu tidak dapat ditolong.” (QS. Az–Zumar: 54)

7. Al-Qobuul, yaitu menerima kandungan dan konsekuensi dari kalimat ini, sebagaimana yang
terdapat dalam firman Allah yang artinya:

“Sungguh, dahulu apabila dikatakan kepada mereka: la ilaha illallah, mereka menyombongkan
diri, dan mereka berkata:“Apakah kami harus meninggalkan sesembahan kami karena seorang
penyair yang gila”.(QS. Ash-Shoofaat: 35-36).

Hal ini menunjukkan mereka tidak mau menerima la ilaha illallah.

Inilah 7 syarat kalimat ‫ الَ ِإلهَ إِاَّل هللا‬yang harus dipahami dan diamalkan oleh setiap muslim, tidak
hanya sekedar menghapalnya saja, akan tetapi hendaknya diiringi dengan amal perbuatan dalam
kehidupan sehari-hari.
http://tunasilmu.com/syarat-syarat-la-ilaha-illallah-bagian-6/

Syarat-syarat la ilaha illallah Bagian 6

Sebagaimana telah dijelaskan pada pertemuan sebelumnya, bahwa kalimat Lâ ilâha illallâh
supaya menghasilkan buah yang diinginkan, haruslah dipenuhi syarat-syaratnya. Secara global
syarat-syarat tersebut telah dipaparkan. Tiba saatnya penjabaran masing-masing syarat tersebut.

Syarat Kelima: Mencintai Lâ ilâha illallâh dengan sepenuh hati

Maksudnya mencintai kalimat ini dan apa yang dikandungnya. Jika seorang hamba telah
mencintai kalimat ini, maka ia akan rela mengorbankan apapun yang dimilikinya demi
mempertahankan kalimat ini.

Konsekwensi kecintaan di atas, ia juga akan mencintai Allah dan Rasul-Nya shallallahu
’alaihiwasallam, mencintai amalan yang dicintai Allah dan Rasul-Nya
shallallahu’alaihiwasallam, serta mencintai orang-orang yang beriman.

Allah ta’ala berfirman,

َ َ‫”والَّ ِذينَ آَ َمنُوا أ‬


“ِ ‫ش ُّد ُحًب¡ـًّا هَّلِل‬ َ

Artinya: “Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah”. QS. Al-Baqarah (2):
165.

Dari Anas Bin Malik radiyallahu‘anhu berkata, Rasulullah shalallahu‘alaihiwassalam bersabda,

“ ْ‫ َوأَن‬،ِ ‫ب ا ْل َم ْر َء اَل يُ ِحبُّهُ إِاَّل هّلِل‬


َّ ‫ َوأَنْ يُ ِح‬،‫س َوا ُه َما‬ َّ ‫سولُهُ أَ َح‬
ِ ‫ب إِلَ ْي ِه ِم َّما‬ ُ ‫ث َمنْ ُكنَّ فِي ِه َو َج َد َحاَل َوةَ اإْل ِ ي َما ِن؛ أَنْ يَ ُكونَ هللاُ َو َر‬ ٌ ‫ثَاَل‬
‫” َي ْك َرهَ أَنْ َي ُعو َد ِفي ا ْل ُك ْف ِر َك َما يَ ْك َرهُ أَنْ يُ ْق َذفَ ِفي النَّا ِر‬.

”Ada tiga karakter yang jika ada pada diri seseorang, maka ia akan merasakan manisnya iman.
(1) Allah dan Rasul Nya lebih dicintai dari selain keduanya. (2) Ia tidak mencintai seseorang
kecuali karena Allah. (3) Membenci kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkan
darinya sebagaimana kebenciannya jika dimasukkan ke dalam neraka”. HR. Bukhari dan
Muslim.

Tanda kecintaan seseorang kepada Allah adalah mendahulukan kecintaan kepada-Nya walaupun
menyelisihi hawa nafsunya dan juga mengikuti Rasul shallallahu‘alaihiwasallam, mencocoki
jalan hidupnya serta menerima petunjuknya.

Kecintaan di atas tidak akan sempurna melainkan dengan merealisasikan kebalikannya. Yakni
dengan membenci segala sesuatu yang bertentangan dengan lâ ilâha illallâh, membenci semua
amalan yang dibenci Allah dan Rasul-Nya, serta membenci orang-orang yang membenci Allah
dan Rasul-Nya. Dalam sebuah hadits disebutkan,
َّ ‫ق ع َُرى اإْل ِ ي َما ِن أَنْ تُ ِح‬
َ ‫ َوتُ ْب ِغ‬،ِ‫ب فِي هللا‬
” ِ‫ض ِفي هللا‬ َ َ‫“ إِنَّ أَ ْوث‬

“Sesungguhnya simpul keimanan yang paling kuat adalah: engkau mencintai karena Allah dan
membenci juga karena Allah”.HR. Ahmad dari al-Barâ’ bin ‘Azib dan dinilai hasan oleh Syaikh
al-Albany.

@ Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 5 Syawal 1434 / 12 Agustus 2013

Anda mungkin juga menyukai