Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

Sindroma Koroner Akut (SKA) adalah istilah yang digunakan untuk


kumpulan simptom yang muncul akibat iskemia miokard akut. SKA yang terjadi
akibat infark otot jantung disebut infark miokard. Termasuk di dalam SKA adalah
unstable angina pektoris, infark miokard non elevasi segmen ST (Non STEMI),
dan infark miokard elevasi segmen ST (STEMI).1
Infark miokard adalah penyebab kematian tertinggi di dunia baik pada pria
ataupun wanita di seluruh dunia. Infark miokard akut merupakan suatu penyakit
besar kardiovaskuler yang dapat mengakibatkan besarnya morbiditas dan angka
kematian. Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat inap
paling sering di negara maju. Laju mortalitas awal (30 hari) pada penderita infark
miokard akut mencapai 30% dengan lebih dari separuh kematian terjadi sebelum
penderita infark miokard mencapai rumah sakit.2
Infark miokard akut dengan ST-elevasi merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Namun, setelah adanya pelayanan
CCU (Coronary Care Unit), angka kematian turun menjadi 20% dan setelah
penggunaan terapi fibrinolitik dapat menurunkan angka kematian menjadi 10%.
Infark miokard merupakan nekrosis miokard yang berkembang cepat oleh karena
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen otot-otot jantung. Hal ini
biasanya disebabkan oleh ruptur plak yang kemudian diikuti oleh pembentukan
trombus oleh trombosit. Lokasi dan luasnya miokard infark bergantung pada
lokasi oklusi dan aliran darah kolateral.2
Diagnosis infark miokard didasarkan atas diperolehnya dua atau lebih dari 3
kriteria, yaitu adanya nyeri dada, perubahan gambaran elektrokardiografi (EKG)
dan peningkatan pertanda biokimia. Nyeri dada terjadi lebih dari 20 menit dan tak
ada hubungan dengan aktifitas atau latihan. Gambaran EKG yang khas yaitu
timbulnya gelombang Q yang besar, elevasi segmen ST dan inversi gelombang T.2
Pada nekrosis otot jantung, protein intraseluler akan masuk dalam ruang
interstitial dan masuk ke sirkulasi sistemik melalui mikrovaskuler lokal dan aliran
limfatik. Protein-protein intraseluler ini meliputi aspartate aminotransferase

1
(AST), lactate dehydrogenase, creatine kinase isoenzyme MB (CK-MB),
mioglobin, carbonic anhydrase III (CA III), myosin light chain (MLC) dan
cardiac troponin I dan T (cTnI dan cTnT). Pemeriksaan enzim jantung, terutama
troponin T yang meningkat memperkuat diagnosis. Akan tetapi, keputusan
memberikan terapi revaskularisasi tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan
enzim, mengingat dalam tatalaksana infark miokard akut, prinsip utama
penatalaksanaan adalah time is muscle.2

2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. S
Umur : 52 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl KS Tubun RT 17 Kel. Simpang IV Sipin
Pekerjaan : Petani
Masuk RS : 20 Oktober 2019, Pukul 11.54 WIB

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Nyeri dada kiri menjalar sejak ± 1 jam SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang


- ± 1 jam SMRS pasien mengeluh nyeri dada kiri yang menjalar sampai ke
punggung dan rahang. Nyeri dirasakan seperti tertusuk tusuk dan terhimpit
beban berat. Nyeri seperti ini baru pertama kali dirasakan pasien setelah
pasien gotong royong pada pagi hari. Nyeri dirasakan terus menerus dan
lama >20 menit dan tidak hilang dengan istirahat. Sesak napas (-).
- Pasien juga mengeluh nyeri pada ulu hati dan terasa seperti terbakar, mual,
muntah (+), dan keringat dingin.
- Pasien kemudian langsung dibawa ke RSUD Raden Mattaher.

Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat Hipertensi (-)
- Riwayat Diabetes Melitus (-)
- Riwayat Penyakit Jantung (-)
- Riwayat Stroke (-)

Riwayat Penyakit Keluarga


- Riwayat Hipertensi (-)

3
- Riwayat Diabetes Melitus (-)
- Riwayat Penyakit Jantung (+) Ibu pasien

Riwayat Kebiasaan
 Pasien memiliki riwayat merokok sejak ± umur 17 tahun dan biasa
menghabiskan 1 bungkus rokok perhari.
 Pasien memiliki kebiasaan makan makanan bersantan dan berminyak
seperti gorengan
 Riwayat meminum alkohol (-)

2.3 Pemeriksaan Fisik


(Pada tanggal 23 Oktober 2019 di ICCU, hari ke 4 pasien dirawat)
Keadaaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos mentis (E4V5M6)
Tanda Vital :N : 78 x/menit
TD : 110/70 mmHg
RR : 20 x/menit
T : 36.5oC
SpO2 : 99%

Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks
cahaya (+/+), pupil isokor
Hidung : Sekret (-), epistaksis (-)
Telinga : Serumen minimal
Mulut : Sianosis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), JVP 5+2 cm H2O

Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris
Palpasi : Nyeri tekan (-), fremitus kanan dan kiri sama
Perkusi : Sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-)

4
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS VI linea midclavicula sinistra
Perkusi :
Atas : ICS II linea parasternal sinistra
Kanan : ICS IV linea parasternal dextra
Kiri : ICS VI linea midclavicula sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I/II regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan epigastrik (+), hepar lien tidak teraba, refluks
hepatojugular (-)
Perkusi : Timpani

Ekstremitas
Superior : Akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik
Inferior : Akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik

2.4 Pemeriksaan Laboratorium


Tanggal 20 Oktober 2019 Pukul 12.00 WIB

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan


Hematologi Lengkap
Hemoglobin 13.5 g/dL 11-16
Trombosit 237 10^9/L 100-300
Leukosit 9,58 10^9/L 4-10
Eritrosit 4,37 10^12/L 3,5-5
Hematokrit 41,8 % 35-50
Faal Ginjal
Ureum 14 mg/dl 15-39
Kreatinin 1,0 mg/dl L 0,9-1,3

5
Asam urat 8,4 mg/dl 3,5-7,2
Enzim Jantung
(Diperiksa pada pukul 14.35 WIB ± 3 jam setelah onset)
CKMB 13,32 Ng/ml 0,00 – 3,74
Troponin I 0,03 Ng/ml ≤ 0,1
Elektrolit
Na 145,53 mmol/L 135-148
K 3,57 mmol/L 3,5-5,3
Cl 111,83 mmol/L 98-110
Ca 1,20 mmol/L 1,19-1,23
GDS : 131 mg/dl

Faal Lemak

Cholesterol 230 mg/dl <200

Trigiliserida 290 mg/dl <150

HDL 81 mg/dl >34

LDL 91 mg/dl <120

2.5 Pemeriksaan Penunjang


a. Foto Thorax

6
Rontgen Thorak AP
Expertise :
- COR CTR 52%
- Aorta elongasi. Mediastinum superior tidak melebar
- Trakea ditengah.
- Corakan bronkovaskular meningkat
- Kedua sinus kostofrenikus lancip
- Jaringan lunak dinding dada terlihat baik

Kesan :
Kardiomegali
Bronkopneumonia

b. Elektrokardiografi
EKG pada saat pasien tiba di RSUD Raden Mattaher

Interpretasi EKG :
Irama : Sinus Bradikardi
HR : 50x/menit

7
Axis : Normal
Gel. P : 0,08 detik
PR interval : 0,16 detik
Komplek QRS : 0,08 detik
ST segmen : ST elevasi di lead I, aVL
Gel. T : Hiperakut T di lead V2,V3,V5,V6

Kesan : Sinus Bradikardi, Infark Miokard Akut Anterior

EKG 1 jam kemudian

Interpretasi EKG :
Irama : Aritmia
HR : 80x/menit
Axis : Normal
Gel. P : Terdapat gel P yang tidak diikuti QRS
PR interval : 0,20 detik
Komplek QRS : 0,04 detik

8
ST segmen : ST elevasi di lead I, aVL,V1-V6
ST depresi di lead II,III,aVF
Kesan : Aritmia, Infark Miokard Akut Anterior, AV Blok Derajat 2 Tipe
II

2.5 Diagnosis Kerja


STEMI Akut Anterior Ekstensif Onset 1 jam Killip II TIMI 3/14

2.6 Tatalaksana
Tatalaksana awal di IGD :
 O2 4L/menit
 IVFD RL 20 tpm
 Drip nitrogliserin 5 mg/2jam
 Inj Lovenox 30 mg bolus, dilanjutkan 2x60 mg SC
 Po. Aspilet 2x80 mg
 Po. Clopidogrel 4x75 mg
 Po. Atorvastatin 1x40 mg
 Po. Lansoprazole 1x30 mg

Rencana Tindakan
Pasien datang dengan onset <3 jam. Terapi reperfusi yang dilakukan yaitu
fibrinolitik. Tidak ada kontraindikasi fibrinolitik pada pasien ini.
Prosedur/alur pemberian fibrinolitik pada pasien ini :
Pukul Pasang infus 2 line
16.00 Pasang monitor
Pukul Inj Ranitidin 2x50 mg
16.30 Inj Ondansentron 1x8 mg
Pukul Pemberian streptokinase 1,5 juta UI dalam Nacl 0,9 % (100/50 cc)
16.45 dengan infus pump selama 60 menit.
Setelah terapi selesai :
- Periksa cardiac marker (CKMB dan Troponin I)
- EKG Ulang
- Monitor /observasi
Rawat ICCU

9
Enzim Jantung
(Diperiksa setelah fibrinolitik)
CKMB >80 Ng/ml 0,00 – 3,74
Troponin I 5,79 Ng/ml ≤ 0,1

Tanda vital post fibrinolitik :


TD : 110/80 mmHg
Nadi : 92 x/i
RR : 24x/i
SpO2 : 97 %
Nyeri dada (+)

EKG 30 menit setelah fibrinolitik :

Interpretasi EKG :
Irama : Aritmia
HR : 90x/menit
Axis : Normal
Gel. P : Terdapat gel P yang tidak diikuti komples QRS
PR interval : 0,20 detik

10
Komplek QRS : 0,04 detik
ST segmen : ST elevasi di lead I, aVL,V1-V6
ST depresi di lead II, III, aVF
Kesan : Aritmia, Infark Miokard Akut Anterior, AV Blok Derajat II Tipe II

2.7 Prognosis
 Quo Vitam : Dubia ad bonam
 Quo Functionam : Dubia ad malam
 Quo Sanactionam : Dubia ad bonam

11
FOLLOW UP :

Tanggal Perkembangan
21 Okt 2019 S : Nyeri dada (+), sesak napas, batuk darah dan berdahak
O : TD : 117/85 N : 88 x/menit RR: 32 x/menit T : 36.8oC SpO2 :
90%
Pemeriksaan Paru :
Auskultasi : Vesikuler (+), Ronki di basal paru (+/+), Wh (-/-)
Pemeriksaan Jantung
Auskultasi : Bunyi jantung I/II regular, murmur (-), gallop (-)
Pemeriksaan EKG:

Interpretasi :
Sinus rythm, HR 60x/i, axis normal gel P 0,08 detik, interval PR 0,20
detik, terdapat Q patologis di lead V1-V4, T Inverted di lead V1,V2
Kesimpulan : Sinus rythm, old miokard infark anterior

A : STEMI Akut Anterior Ekstensif Onset 1 jam Killip II TIMI 3 post


fibrinolitik
P:
 O2 4L/menit
 IVFD RL 500 cc/24 jam
 Drip nitrogliserin 5 mg/2jam

12
 Drip furosemid 5mg/jam
 Inj lovenox 2x60 mg (tunda)
 Po. Aspilet 2x80 mg (tunda)
 Po. Clopidogrel 4x75 mg (tunda)
 Po. Atorvastatin 1x40 mg
 Po. Allupurinol 3x100 mg
22 Okt 2019 S : Pasien kejang dan henti jantung
O : TD : 80/60 N : 101 x/menit RR: 27 x/menit T : 36.8oC
Pemeriksaan Paru :
Auskultasi : Vesikuler (+), Ronki di basal paru (+/+), Wh (-/-)
Pemeriksaan Jantung
Auskultasi : Bunyi jantung I/II regular, murmur (-), gallop (-)
Gambaran EKG monitor:
Ventrikel Takikardi
A : STEMI Akut Anterior Ekstensif Onset 1 jam Killip II TIMI 3 post
fibrinolitik
P:
 RJP 5 siklus dan Kardioversi 300 J => Respon (+)
 Drip amiodaron 360 mg habis dalam 6 jam
 Drip norepinefrin 0,05 mcg/jam
 Rencana rescue PCI
Gambaran EKG post kardioversi :

Interpretasi EKG :

13
Sinus rythm, HR 94x/i, gel P 0,08 detik, interval PR 0,16 detik, terdapat Q
patologis di lead V1-V4, kompleks QRS melebar 0,24 detik, terdapat
gelombang RSR’ disertai T inverted dilead V3, V4.
Kesimpulan :
Sinus Rythm, RBBB, OMI anterior
23 Okt 2019 S : Nyeri dada (+)
O : TD : 112/77 N : 79 x/menit RR: 20 x/menit T : 36.5oC SpO2 :
99%
Pemeriksaan Paru :
Auskultasi : Vesikuler (+), Ronki di basal paru (-/-), Wh (-/-)
Pemeriksaan Jantung
Auskultasi : Bunyi jantung I/II regular, murmur (-), gallop (-)
A : STEMI Akut Anterior Ekstensif Onset 1 jam Killip II TIMI 3 post
fibrinolitik
P: Pasien dilakukan rescue PCI

Hasil echo :

Penemuan :
- Katup katup normal
- Dimensi LV dilatasi

14
- Fungsi sistolik LV : menurun EF : 50%
- Fungsi diastolik LV : abnormal relaksasi
- Fungsi sistolik RV : normal (TAPSE 2,0 cm)
- Akinetik anteroseptal, sistol, hipokinetik anterior
- Tampak LV trombus (22,5 x 1,8 mm)

Kesimpulan :
- Fungsi sistolik LV menurun EF 50%
- RWMA (+)
- LV Trombus (+)

Pasien dilakukan rescue PCI


Hasil angiografi menunjukkan :
LM : Normal
LAD : Critical stenosis di mid, trombus (+)
LCx : Irreguler
RCA : Irreguler, stenosis 30-40% di proximal (non signifikan)
Kesimpulan : CAD 1 VD, post PCI stent LAD

24 Okt 2019 S : Nyeri dada (-)


O : TD : 110/90 N : 80 x/menit RR: 20 x/menit T : 36.8oC SpO2 :
100%
Pemeriksaan Paru :
Auskultasi : Vesikuler (+), Ronki di basal paru (-/-), Wh (-/-)
Pemeriksaan Jantung
Auskultasi : Bunyi jantung I/II regular, murmur (-), gallop (-)
A : CAD 1 VD, post PCI stent LAD
P:
 Drip furosemid 2mg/jam
 Inj lovenox 2x60 mg
 Po. Amiodaron 3x100 mg
 Po. Aspilet 1x80 mg
 Po. Clopidogrel 1x75 mg

15
 Po. Atorvastatin 1x40 mg
 Po. Allupurinol 3x100 mg
25 Okt 2019 S : Tidak ada keluhan
O : TD : 120/80 N : 75 x/menit RR: 20 x/menit T : 36.8oC SpO2 :
100%
Pemeriksaan Paru :
Auskultasi : Vesikuler (+), Ronki di basal paru (-/-), Wh (-/-)
Pemeriksaan Jantung
Auskultasi : Bunyi jantung I/II regular, murmur (-), gallop (-)
A : CAD 1 VD, post PCI stent LAD
P:
 Drip furosemid 2mg/jam
 Inj lovenox 2x60 mg
 Po. Amiodaron 3x100 mg
 Po. Aspilet 1x80 mg
 Po. Clopidogrel 1x75 mg
 Po. Atorvastatin 1x40 mg
 Po. Allupurinol 3x100 mg

Pasien pindah ke bangsal

16
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Sindrom Koroner Akut


Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
elektrokardiogram (EKG) dan pemeriksaan biomarka jantung, sindrom koroner
akut dibagi menjadi :1
a. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST)
b. Infark miokard akut non elevasi segmen ST (IMA-NEST)
c. Angina pektoris tidak stabil (APTS)

3.2 Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST


3.2.1 Patofisiologi
Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST umumnya terjadi jika aliran
darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak
aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang
berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya
banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner
terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, di mana injuri ini dicetuskan oleh
faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid. 1,2
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami
fisur, ruptur atau ulserasi, dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu
trombogenesis, sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang
mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis menunjukkan plak
koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap yang tipis dan
inti kaya lipid. Pada STEMI, gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red
thrombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respons
terhadap terapi fibrinolitik. 1,2
Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP,
epinefrin, serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan
memproduksi dan melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor lokal yang poten).

17
Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein
Iib/IIIa. Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas
tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin)
seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen, di mana keduanya adalah
molekul multivalen yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan,
menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi. Kaskade koagulasi diaktivasi
oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X
diaktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi trombin, yang kemudian
mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat kemudian
akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri dari agregat trombosit dan
fibrin. Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri
koroner yang disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme
koroner, dan berbagai penyakit inflamasi sistemik. 1,2

3.2.2 Diagnosis STEMI


a. Anamnesis
Keluhan pasien dengan iskemi miokard berupa nyeri dada typical (angina
typical) atau atypical (angina equivalen). Yang perlu diperhatikan dalam evaluasi
keluhan nyeri dada iskemia SKA adalah sebagai berikut : 1,2
 Lokasi nyeri
Didaerah retrosternal dan pasien sulit melokalisasi rasa nyeri
 Deskripsi nyeri
Pasien mengeluh rasa berat seperti dihimpit, ditekan, diremas, panas atau
dada terasa penuh. Keluhan tersebut lebih dominan dibandingkan rasa nyeri
yang sifatnya tajam. Perlu diwaspadai juga bila pasien mengeluh nyeri
epigastrik, sinkope atau sesak napas.
 Penjalaran nyeri
Biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, raahang bawah, gigi,
punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke lengan kanan.
 Lama nyeri

18
Nyeri pada SKA dapat berlangsung lama, lebih dari 20 menit. Pada STEMI,
nyeri lebih dari 20 menit dan tidak hilang dengan istirahat atau nitrat
sublingual.
 Gejala sistemik
Disertai keluhan seperti mual, muntah atau keringat dingin.

b. Pemeriksaan Fisik
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali
ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30
menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat
pasien infark anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis
(takikardia dan/atau hipotensi) dan hampir setengah pasien infark inferior
menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis (bradikardia dan/atau hipotensi).2
Tanda fisik lain pada disfungsi ventricular adalah S4 dan S3 gallop,
penurunan intensitas bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsitolik
atau late sistolik apical yang bersifat sementara karena disfungsi apparatus katup
mitral dan pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai 38°C dapat dijumpai
dalam minggu pertama pasca STEMI. 2

c. Elektrokardiogram
Pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin dilakukan pada semua
pasien yang memiliki keluhan nyeridada atau keluhan lain yang mengarah kepada
iskemia. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya
direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang mengarah
kepadaiskemia dinding inferior. Sementara itu, sadapan V7-V9 juga harus
direkampada semua pasien angina yang mempunyai EKG awal nondiagnostik. 2
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan
yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis
STEMIuntuk pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV.
Pasien SKA dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama dengan LBBB
(komplet) baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi
reperfusi. Oleh karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI

19
dapat segera mendapat terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung
tersedia. 2

Tabel 1. Lokasi Infark Miokard berdasarkan EKG1

Lokasi Infark Lokasi Elevasi


Miokard Akut Segmen ST

Anterior V1-V4

Anteroseptal V1,V2,V3,V4

Anterior
I,aVL,V2-V6
Ekstensif

Anterolateral I,aVL,V3,V4,V5,V6

Inferior II,III,aVF

Lateral I,aVL,V5,V6

Septal V1,V2

Posterior V7,V8,V9

Ventrikel Kanan V3R-V4R

d. Petanda (Biomarka) Kerusakan Jantung


Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka
nekrosis miosit jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard.
Troponin I/T sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB. Peningkatan marka jantung hanya
menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk
menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab koroner/non

20
koroner). Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab kelainan kardiak
nonkoroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi
ventrikel kiri, miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat
meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas,
penyakit neurologik akut, emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan
insufisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan troponin I memberikan
informasi yang seimbang terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada
keadaan disfungsi ginjal. Pada keadaan ini, troponin I mempunyai spesifisitas
yang lebih tinggi dari troponin T.1
Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponinI/T
menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan
SKA,pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika
awitan SKA tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan
hendaknyadiulang 6-12 jam setelah pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB
yangmeningkat dapat dijumpai pada seseorang dengan kerusakan otot
skeletal(menyebabkan spesifisitas lebih rendah) dengan waktu paruh yang
singkat(48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-MB lebih terpilih
untuk mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang) maupun infark
periprosedural.1
Pemeriksaan troponin I/T adalah biomarker paling sensitif dan spesifik
sehingga menjadi standar baku emas dalam diagnosis NSTEMI/STEMI, di
mana peningkatan kadar marka jantung tersebut akan terjadi dalam waktu 2
hingga 4 jam setelah onset. Peningkatan kadar troponin biasanya menetap
dalam 2 hingga 3 hari, namun bisa tetap meningkat hingga 2 minggu bila terjadi
nekrosis luas. Kadar troponin bisa saja belum meningkat dalam 6 jam setelah
onset gejala, sehingga jika didapatkan hasil negatif pada pemeriksaan pertama,
perlu dilakukan pemeriksaan ulang dalam 8 hingga 12 jam setelah onset gejala.1
Jika pemeriksaan troponin tidak dapat dilakukan, maka dapat digunakan
penilaian Musscle and Brain fraction of Creatinin Kinase (CK-MB)yang akan
meningkat dalam waktu 4 hingga 6 jam, mencapai puncaknya saat 12 jam, dan
menetap hingga 2 hari.1

21
e. Stratifikasi Resiko
Stratifikasi resiko berdasarkan klasifikasi kelas killip merupakan
klasifikasi risiko berdasarkan indikator klinis gagal jantung sebagai komplikasi
infark miokard akut dan ditujukan untuk memperkirakan tingkat mortalitas
(prognostik) dalam 30 hari. 1

Tabel 2. Mortalitas 30 hari berdasarkan klasifikasi Killip1

TIMI risk score adalah sistem prognostik paling akhir yang menggabungkan
anamnesis sederhana dan pemeriksaan fisik yang dinilai pada pasien STEMI yang
mendapat terapi trobolitik. 3

Tabel 3. TIMI Score pada STEMI3

22
3.2.3 Tatalaksana

23
Gambar 1. Algoritme Sindroma Koroner Akut
a. Terapi Reperfusi
Terapi reperfusi segera, baik dengan PCI atau farmakologis, diindikasikan
untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam dengan elevasi
segmen ST yang menetap atau Left Bundle Branch Block (LBBB) yang (terduga)
baru. Terapi reperfusi (sebisa mungkin berupa Primary PCI)) diindikasikan
apabila terdapat bukti klinis maupun EKG adanya iskemia yang sedang
berlangsung,bahkan bila gejala telah ada lebih dari 12 jam yang lalu atau jika
nyeri dan perubahan EKG tampak tersendat.1,2,3
Dalam menentukan terapi reperfusi, tahap pertama adalah menentukan ada
rumah sakit sekitar yang memiliki fasilitas PCI. Bila tidak ada, langsung pilih
terapi fibrinolitik. Bila ada, pastikan waktu tempuh dari tempat kejadian (baik
rumah sakit atau klinik) ke rumah sakit tersebut apakah kurang atau lebih dari (2
jam). Jika membutuhkan waktu lebih dari 2 jam, reperfusi pilihan adalah
fibrinolitik. Setelah fibrinolitik selesai diberikan, jika memungkinkan pasien dapat
dikirim ke pusat dengan fasilitas PCI.1,2,3

Tabel 4. Pemilihan strategi terapi reperfusi pada STEMI4

24
1. Terapi Fibrinolitik
Pengobatan fibrinolisis lebih awal (door-drug <30 menit) dapat membatasi
luasnya infark, memperbaiki fungsi ventrikel, dan mengurangi angka kematian.
Jenis obat fibrinolisis dibagi menjadi fibrin spesifik (Alteplase, Reteplase,
Tenecteplase) dan non-fibrin-spesifik (streptokinase). Di Indonesia umumnya
yang tersedia adalah Streptokinase, dengan dosis pemberian sebesar 1,5 juta unit,
dilarutkan dalam 100cc NaCI 0,9% atau Dextrose 5%, diberikan secara infus
selama 30-60 menit.1,4
Fibrinolisis bermanfaat untuk diberikan pada STEMI dengan onset <12
jam dan tidak ada kontraindikasi absolut dengan krieria sebagai berikut: (1) ST
Elevasi atau perkiraan LBBB baru, (2) Infark miokard yang luas, (3) Pada usia
muda dengan risiko perdarahan intraserebral yang lebih rendah. Sedangkan pada
STEMI dengan onset serangan antara 12-24 jam atau infark kecil, atau pasien >75
tahun, strategi ini dianggap kurang bermanfaat.1,4

Tabel 5. Regimen Fibrinolitik pada IMA1

Fibrinolisis mungkin berbahaya jika diberikan pada (1) Depresi segmen


ST, (2) Onset 24 jam (3) Tekanan darah yang tinggi (Tekanan darah sistolik 175
mm Hg)

25
Selama dilakukan fibrinolisis, penderita harus dimonitor secara ketat (bedside).
Tanda vital dan EKG di evaluasi setiap 5-10 menit untuk mendeteksi risiko
fibrinolisis yaitu: (1) Perdarahan, (2) Alergi, (3) Hipotensi (4) Aritmia reperfusi;
aritmia reperfusi ini sebenarnya adalah salah satu tanda keberhasilan fibrinolisis
namun apabila aritmia reperfusi yang terjadi adalah aritmia maligna sebagai
contoh ventrikular takikardia maka perlu dilakukan penanganan segera.4
Penilaian keberhasilan fibrinolisis dilakukan 60-90 menit dimulai dari saat
obat fibrinolysis dimasukkan. Tanda keberhasilan fibrinolisis adalah (1) resolusi
komplit dari nyeri dada (2) ST elevasi menurun > 50% (dilihat terutama pada
sadapan dengan ST elevasi tertinggi) (3)Adanya aritmia reperfusi. Bila fibrinolisis
tidak berhasil maka penderita secepatnya harus dilakukan rescue PCI. Pada
pedoman AHA 2015, setiap pasien yang telah dilakukan fibrinolisis dianjurkan
untuk dilakukan angiografi dini dalam 3-6 jam pertama hingga 24 jam pasca
fibrinolysis. Sebelum dilakukan tindakan fibrinolitik, pasien harus dilakukan
pemeriksaan ada tidaknya kontraindikasi fibrinolitik. Kontraindikasi fibrinolitik
adalah sebagai berikut:

Tabel 6. Kontraindikasi fibrinolitik5

26
Tabel 5. Ceklis fibrinolitik
Gambar 2. Ceklis Fibrinolitik1

27
2. Percutaneus Coronary Intervention (PCI)
Intervensi koroner perkutan, biasanya angioplasti dan/ atau stenting
tanpa didahului fibrinolisis disebut PCI primer. PCI ini efektif dalam
mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan dalam beberapa jam
pertama infark miokark akut. PCI primer lebih efektif dari fibrinolisis dalam
membuka arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan outcome klinis
jangka pendek dan jangka panjang lebih baik. Dibandingkan trombolisis, PCI
primer lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama pasien <75
tahun), risiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-
kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan darah lebih matur dan kurang mudah
hancur dengan obat fibrinolisis. Namun demikian PCI lebih mahal dalam hal
personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya
sarana, hanya di beberapa Rumah Sakit.2

Tabel 7. Terapi Farmakologis pada STEMI5

28
3.3 Komplikasi STEMI1,2
a. Gangguan Hemodinamik
Gagal Jantung
- Hipotensi
- Kongesti Paru
- Keadaan curah jantung rendah
- Syok Kardiogenik
Aritmia dan gangguan konduksi dalam fase akut
- Aritmia supraventricular
- Aritmia ventrikular
- Sinus bradikardi dan Blok jantung
b. Komplikasi kardiak
- Regurgitasi katup mitral
- Rupture septum ventrikel
- Infark ventrikel kanan
- Perikarditis
- Aneurisma ventrikel kiri
- Trombus ventrikel kiri

a. Gangguan Hemodinamik
Ganggal Jantung
Dalam fase akut dan subakut setelah IMA-EST, seringkali terjadi
disfungsi miokardium. Bila revaskularisasi dilakukan segera dengan IKP atau
trombolisis, perbaikan fungsi ventrikel dapat segera terjadi, namun apabila
terjadi jejas transmural dan/atau obstruksi mikrovaskular, terutama pada
dinding anterior, dapat terjadi komplikasi akut berupa kegagalan pompa
dengan remodeling patologis disertai tanda dan gejala klinis kegagalan
jantung, yang dapat berakhir dengan gagal jantung kronik. Gagal jantung juga
dapat terjadi sebagai konsekuensi dari aritmia yang berkelanjutan atau

29
sebagai komplikasi mekanis. Diagnosis gagal jantung secara klinis pada fase
akut dan subakut IMA-EST didasari oleh gejala-gejala khas seperti dispnea,
tanda seperti sinus takikardi, suara jantung ketiga atau ronkhi pulmonal, dan
bukti-bukti objektif disfungsi kardiak seperti dilatasi ventrikel kiri dan
berkurangnya fraksi ejeksi.1,2
Peningkatan biomarka jantung seperti BNP dan N-terminal pro-BNP
menandakan peningkatan stress dinding miokardium dan telah terbukti
berperan dalam menentukan diagnosis, staging, perlunya rawat jalan atau
pemulangan pasien dan mengenali pasien yang berisiko mengalami kejadian
klinis yang tidak diharapkan. Selain itu, nilai biomarka jantung tersebut
dipengaruhi beberapa keadaan seperti hipertrofi ventrikel kiri, takikardia,
iskemia, disfungsi ginjal, usia lanjut, obesitas dan pengobatan yang sedang
dijalani. Sejauh ini belum ada nilai rujukan definitif pada pasien-pasien
dengan tanda dan gejala gagal jantung setelah infark akut, dan nilai yang
didapatkan perlu diinterpretasikan berdasarkan keadaan klinis pasien.
Disfungsi ventrikel kiri merupakan satu-satunya prediktor terkuat untuk
mortalitas setelah terjadinya IMA-EST. Mekanisme terjadinya disfungsi
ventrikel kiri dalam fase akut mencakup hilangnya dan remodeling
miokardium akibat infark, disfungsi iskemik (stunning), aritmia atrial dan
ventrikular serta disfungsi katup (baik yang sudah ada atau baru).
Komorbiditas seperti infeksi, penyakit paru, gangguan ginjal, diabetes atau
anemia seringkali menambah gejala yang terlihat secara klinis. Derajat
kegagalan jantung setelah infark dapat dibagi menurut klasifikasi Killip yang
dapat dilihat di bagian Stratifikasi Risiko dalam bab IMA-NEST. 1,2
Penilaian hemodinamik dilakukan berdasarkan pemeriksaan fisik
lengkap, pemantauan EKG, saturasi oksigen, tekanan darah dan pengukuran
urine output setiap jam. Pasien yang dicurigai menderita gagal jantung perlu
dievaluasi segera menggunakan ekokardiografi transtorakal atau Doppler.
Ekokardiografi merupakan alat diagnosis utama dan perlu dilakukan untuk
menilai fungsi dan volume ventrikel kiri, fungsi katup, derajat kerusakan
miokardium, dan untuk mendeteksi adanya komplikasi mekanis. Evaluasi
Doppler dapat memberikan gambaran aliran, gradien, fungsi diastolik dan

30
tekanan pengisian. Pemeriksaan Rontgen dada dapat menilai derajat kongesti
paru dan mendeteksi keadaan penting lain seperti infeksi paru, penyakit paru
kronis dan efusi pleura. 1,2
Pada pasien yang tidak menunjukkan perbaikan dengan cara-cara
konvensional yang terdeteksi sedang mengalami iskemia, elevasi segmen ST
atau LBBB baru, perlu dipertimbangkan revaskularisasi lanjut. Pasien dengan
jejas miokardium luas dalam fase akut dapat menunjukkan tanda dan gejala
gagal jantung kronik. Diagnosis ini memerlukan penatalaksanaan sesuai
panduan gagal jantung kronik. Beberapa pasien dengan gagal jantung kronik
simtomatis di mana fraksi ejeksi berkurang atau terdapat dis-sinkroni elektrik
yang ditunjukkan dengan pemanjangan QRS memenuhi kriteria implantasi
defibrillator kardioverter, cardiac resynchronization therapy (CRT), atau
defibrilator terapi resinkronisasi jantung. 1,2

Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik terjadi dalam 6-10% kasus IMA -EST dan merupakan
penyebab kematian utama, dengan laju mortalitas di rumah sakit mendekati
50%. Meskipun syok seringkali terjadi di fase awal setelah awitan infark
miokard akut, ia biasanya tidak didiagnosis saat pasien pertama tiba di rumah
sakit. Penelitian registry SHOCK (SHould we emergently revascularize
Occluded coronaries for Cardiogenic shoCK) menunjukkan bahwa 50% syok
kardiogenik terjadi dalam 6 jam dan 75% syok terjadi dalam 24 jam. Tanda
dan gejala klinis syok kardiogenik yang dapat ditemukan beragam dan
menentukan berat tidaknya syok serta berkaitan dengan luaran jangka pendek.
Pasien biasanya datang dengan hipotensi, bukti output kardiak yang rendah
(takikardia saat istirahat, perubahan status mental, oliguria, ekstremitas
dingin) dan kongesti paru. 1,2
Kriteria hemodinamik syok kardiogenik adalah indeks jantung <2,2,
L/menit/m2 dan peningkatan wedge pressure >18 mmHg. Selain itu, diuresis
biasanya <20 mL/jam. Pasien juga dianggap menderita syok apabila agen
inotropik intravena dan/atau IABP dibutuhkan untuk mempertahankan
tekanan darah sistolik >90 mmHg. 1,2

31
Syok kardiogenik biasanya dikaitkan dengan kerusakan ventrikel kiri
luas, namun juga dapat terjadi pada infark ventrikel kanan. Baik mortalitas
jangka pendek maupun jangka panjang tampaknya berkaitan dengan disfungsi
sistolik ventrikel kiri awal dan beratnya regurgitasi mitral. Adanya disfungsi
ventrikel kanan pada ekokardiografi awal juga merupakan prediktor penting
prognosis yang buruk, terutama dalam kasus disfungsi gabungan ventrikel
kiri dan kanan. Indeks volume sekuncup awal dan follow- up serta follow-up
stroke work index merupakan prediktor hemodinamik paling kuat untuk
mortalitas 30 hari pada pasien dengan syok kardiogenik dan lebih berguna
daripada variabel hemodinamik lainnya. 1,2
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penilaian dan tatalaksana
syok kardiogenik tidak mementingkan pengukuran invasive tekanan
pengisian ventrikel kiri dan curah jantung melalui kateter pulmonar namun
fraksi ejeksi ventrikel kiri dan komplikasi mekanis yang terkait perlu dinilai
segera dengan ekokardiografi Doppler 2 dimensi. 1,2

32
Gambar 3. Algoritma hipotensi dan syok1

33
Aritmia dan Gangguan Konduksi dalam Fase Akut
Aritmia dan gangguan konduksi sering ditemukan dalam beberapa jam
pertama setelah infark miokard. Monitor jantung yang dipasang dalam 11 +5
hari sejak infark miokard akut melaporkan insidensi fibrilasi atrium awitan
baru sebesar 28%, VT yang tidak berlanjut sebesar 13%, blok AV derajat
tinggi sebesar 10% (s30 detak per menit selama 28 detik), sinus bradikardi
sebesar 7% (s30 detak per menit selama 28 detik), henti sinus sebesar 5% (25
detik), VT berkelanjutan sebesar 3% dan VF sebesar 3 6. Kepentingan
prognostik jangka panjang VF yang terjadi awal (<48 jam) atau VT yang
berkelanjutan pada pasien dengan infark miokard akut masih kontroversial.
Pada pasien dengan infark miokard akut, VF/NT yang terjadi awal
merupakan indikator peningkatan risiko mortalitas 30 hari (22% vs 5%)
dibandingkan dengan pasien tanpa VF/VT. 1
Penghambat ACE atau ARB mengurangi mortalitas 30 hari pasien-
pasien ini. Studi-studi lain menyatakan bahwa pemberian penyekat beta
dalam 24 jam pertama setelah infark miokard akut pada pasien dengan VFT
yang berlanjut dikaitkan dengan berkurangnya mortalitas tanpa dikuti
perburukan gagal jantung. Aritmia berat yang yang terjadi setelah reperfusi
awal dapat berupa manifestasi dari kondisi mendasarinya, seperti iskemia
miokard, kegagalan pompa, perubahan tonus otonom, hipoksia, dan gangguan
elektrolit (seperti hipokalemia) dan gangguan asam-basa. Keadaan - keadaan
tersebut memerlukan perhatian dan penanganan segera. Blok AV derajat
tinggi dulunya merupakan prediktor yang lebih kuat untuk kematian akibat
jantung dibandingkan dengan takiaritmia pada pasien dengan fraksi ejeksi
ventrikel kiri <40 % setelah infark miokard. 1

Aritmia Supraventrikular
Fibrilasi atrium merupakan komplikasi dari 6-28% infark miokard dan
sering dikaitkan dengan kerusakan ventrikel kiri yang berat dan gagal
jantung. Fibrilasi atrium dapat terjadi selama beberapa menit hingga jam dan

34
seringkali berulang. Seringkali aritmia dapat ditoleransi dengan baik dan
tidak memerlukan pengobatan selain antikoagulasi. Dalam beberapa kasus
laju ventrikel menjadi cepat dan dapat menyebabkan gagal jantung sehingga
perlu ditangani dengan segera. Kendali laju yang cukup diperlukan untuk
mengurangi kebutuhan oksigen miokardium, dan dapat dicapai dengan
pemberian penyekat beta atau mungkin antagonis kalsium, baik secara oral
maupun intravena. 1,2
Beberapa (namun tidak semua) penelitian menyatakan bahwa
terjadinya fibrilasi atrium dalam keadaan infark miokard akut merupakan
prediktor independen untuk all-cause mortality, dan tidak tergantung dari
pengobatan yang diberikan. Fibrilasi atrium tidak hanya meningkatkan risiko
stroke iskemik selama perawatan namun juga selama follow-up, bahkan pada
AF paroksismal yang telah kembali menjadi irama sinus saat pasien
dipulangkan. Pasien dengan AF dan faktor risiko untuk tromboembolisme
perlu menjalani terapi antikoagulasi oral secara benar. Karena AF biasanya
memerlukan antikoagulasi, pemilihan stent DES saat re-stenosis perlu
dipertimbangkan secara hati-hati terhadap risiko perdarahan serius yang
dikaitkan dengan kombinasi tiga terapi antitrombotik yang berkepanjangan. 1,2
Takikardia supraventrikular jenis lain amat jarang terjadi, self-limited
dan biasanya membaik dengan manuver vagal. Adenosin intravena dapat
dipertimbangkan untuk keadaan ini bila kemungkinan atrial flutter telah
disingkirkan dan status hemodinamik stabil. Selama pemberian, EKG pasien
perlu terus diawasi. Bila tidak diindikasikontrakan, penyekat beta juga dapat
berguna. Bila aritmia tidak dapat ditolerir dengan baik, kardioversi elektrik
dapat diberikan.1,2

35
Gambar 4. Algoritma Takikardia Kompleks Sempit6

Ventrikel Takikardi dan Ventrikel Fibrilasi


Dalam 24 jam pertama STEMI, takikardia dan fibrilasi ventrikular dapat
terjadi tanpa tanda bahaya aritmia sebelumnya.2
a. Takikardia Ventrikel (ventricular tachycardia = VT)
- Takikardia ventrikel (VT) polimorfik yang menetap (lebih dari 30
detik atau menyebabkan kolaps hemodinamik) harus diterapi dengan
DC shock unsynchoronized menggunakan energi awal 200 J; jika gagal
harus diberikan shock kedua 200-300 J, dan jika perlu shock ketiga
360 J.2

36
- Takikardia ventrikel (VT) monomorfik, menetap yang diikuti dengan
angina, edema paru atau hipotensi (tekanan darah <90 mmHg) harus
diterapi dengan DC shock synchoronized energi awal 100 J. Energi
dapat
ditingkatkan jika dosis awal gagal. 2
- Bila keadaan hemodinamik stabil, terminasi VT dilakukan dengan
pemberian obat obatan secara intravena. Bila keadaan hemodinamik
tidak stabil (ipotensi, syok, angina, gagal jantung, dan gejala
hipopefusi otak) maka pilihan utama adalah kardioversi elektrik.2
- Takikardia ventrikel (VT) monomorfik yang tidak disertai angina,
edema paru atau hipotensi (tekanan darah <90 mmHg) diterapi dengan
salah satu regimen berikut:2
 Lidokain: bolus 1-1,5 mg/kg. Bolus tambahan 0,5-0,75 mg/kg tiap
5-10 menit sampai dosis loading total maksimal 3 mg/kg.
Kemudian loading
dilanjutkan dengan infus 2-4 mg/menit (30-50 ug/kg/menit).
 Disopiramid: bolus 1-2 mg/kg dalam 5-10 menit, dilanjutkan dosis
pemeliharaan 1 mg/kg/jam.
 Amiodaron: 150 mg infus selama 10-20 menit atau 5 ml/kgBB 20-
60 menit, dilanjutkan infus tetap 1 mg/menit selama 6 jam dan
kemudian
infus pemeliharaan 0,5 mg/menit.
 Kardioversi elektrik synchoronized dimulai dosis 50 J (anestesi
sebelumnya).

Gambar 5. VT monomorfik6

37
Gambar 6. Polimorfik VT (Torsade de Pointe)6

b. Fibrilasi Ventrikel
Fibrilasi ventrikel atau takikardia ventrikel pulseless diberikan terapi DC
shock unsynchoronized dengan energi awal 200 J jika tak berhasil harus
diberikan shock kedua 200 sampai 300 J dan jika perlu shock ketiga 360 J.
Fibrilasi ventrikel atau takikardia ventrikel pulseless yang refrakter
terhadap syok elektrik diberikan terapi amiodaron 300 mg atau 5 mg/kg,
IV bolus dilanjutkan pengulangan shock unsynchoronized.2

Gambar 6. VF6

38
Gambar 7. Algoritma Takikardia Kompleks Sempit6

Sinus Bradikardi dan Blok Jantung


Sinus bradikardi sering terjadi dalam beberapa jam awal IMA-EST,
terutama pada infark inferior. Dalam beberapa kasus, hal ini disebabkan oleh
karena opioid. Sinus bradikardi seringkali tidak memerlukan pengobatan. Bila
disertai dengan hipotensi berat, sinus bradikardi perlu diterapi dengan atropin.
Bila gagal dengan atropin, dapat dipertimbangkan penggunaan pacing
sementara. 1
Blok jantung derajat satu tidak memerlukan pengobatan. Untuk derajat
dua tipe I (Mobitz I atau Wenckebach), blokade yang terjadi biasanya
dikaitkan dengan infark inferior dan jarang menyebabkan efek hemodinamik
yang buruk. Apabila terjadi perubahan hemodinamik, berikan atropin dahulu,
baru pertimbangkan pacing. Hindari penggunaan agen-agen yang
memperlambat konduksi AV verapamil atau amiodaron. 1
Blok AV derajat dua tipe l(Mobitz II) dan blok total dapat perti
penyekat beta, digitalis, merupakan indikasi pemasangan elektroda pacing,
apalagi bila bradikardi disertai hipotensi atau gagal jantung. Bila gangguan
hemodinamik yang terjadi berat, hati-hati dalam pemberian pacing AV
sekuensial. Pada pasien yang belum mendapatkan terapi reperfusi,
revaskularisasi segera perlu dipertimbangkan. 1
Blok AV terkait infark dinding inferior biasanya terjadi di atas bundle
of HIS, dan menghasilkan bradikardia transien dengan escape rhythm QRS
sempit dengan laju lebih dari 40 detak per menit, dan memiliki mortalitas
yang rendah. Blok ini biasanya berhenti sendiri tanpa pengobatan. Blok AV
terkait infark dinding anterior biasanya terletak di bawah HIS (di bawah
nodus AV) dan menghasilkan QRS lebar dengan low escape rhythm, serta
laju mortalitas yang tinggi (sampai 80 % ) akibat nekrosis miokardial luas.
Terjadinya BBB baru atau blok sebagian biasanya menunjukkan infark

39
anterior luas, dan kemudian dapat terjadi blok AV komplit atau kegagalan
pompa. 1
Asistol dapat terjadi setelah blok AV, blok bifasik atau trifasik atau
countershock elektrik. Bila elektroda pacing terpasang, perlu dicoba dilaku
kan pacing. Apabila tidak, lakukan kompresi dada dan napas buatan, serta
lakukan pacing transtorakal. Elektroda pacing transvena perlu dimasukkan
bila terdapat blok AV lanjut dengan low escape rhythm seperti yang telah
dijelaskan di atas, dan dipertimbangkan apabila terjadi blok bifasik atau
trifasik. Rute subklavia sebaiknya dihindari setelah fibrinolisis atau bila
terdapat antikoagulasi, dan dipilih rute alternatif. Pacing permanen
diindikasikan pada pasien dengan blok AV derajat tiga persisten (> 14 hari),
atau derajat dua persisten terkait bundle branch block, dan pada Mobitz Il
transien atau blok jantung total terkait bundle branch block awitan baru. 1

40
BAB IV
ANALISIS KASUS

Teori Kasus
ANAMNESIS ANAMNESIS
 Lokasi nyeri  Pasien mengeluh nyeri dada kiri
Didaerah retrosternal dan pasien yang menjalar sampai ke punggung
sulit melokalisasi rasa nyeri dan rahang.
 Deskripsi nyeri  Nyeri dirasakan seperti tertusuk
Pasien mengeluh rasa berat seperti tusuk dan terhimpit beban berat.
dihimpit, ditekan, diremas, panas  Nyeri dirasakan terus menerus dan
atau dada terasa penuh. Keluhan lama >20 menit dan tidak hilang
tersebut lebih dominan dengan istirahat. Sesak napas (-).
dibandingkan rasa nyeri yang  Pasien juga mengeluh nyeri pada
sifatnya tajam. Perlu diwaspadai ulu hati dan terasa seperti terbakar,
juga bila pasien mengeluh nyeri mual, muntah (+), dan keringat
epigastrik, sinkope atau sesak dingin.
napas.
 Penjalaran nyeri
Biasanya ke lengan kiri, dapat
juga ke leher, raahang bawah, gigi,
punggung/interskapula, perut, dan
dapat juga ke lengan kanan.
 Lama nyeri
Pada STEMI, nyeri lebih dari 20
menit dan tidak hilang dengan

41
istirahat atau nitrat sublingual.
 Gejala sistemik
Disertai keluhan seperti mual,
muntah atau keringat dingin.

Teori Kasus
PEMERIKSAAN FISIK

Terkadang pemeriksaan fisik pada


pada pasien SKA dapat memberikan
hasil yang normal.

Teori Kasus
PEMERIKSAAN PENUNJANG PEMERIKSAAN PENUNJANG

Jika pasien datang dengan dugaan Pada pemeriksaan EKG pada pasien ini
SKA, maka setelah dilakukan didapatkan elevasi dari segmen ST di

42
pemeriksaan elektrokardiografi lead I, aVL, dan hiperakut T pada V2-
apabila ditemukan elevasi dari V5.
segmen ST dan enzim jantung yang
meningkat maka diagnosis menjadi
STEMI.
Jika didapatkan depresi segmen
ST atau T inversi maka diagnosis
menjadi NSTEMI atau UAP, untuk
membedakan NSTEMI dan UAP
yaitu dilihat dari pemeriksaan enzim Pemeriksaan enzim jantung pada
jantung, apabila terdapat peningkatan pasien ini meningkat yaitu :
yang bermakna maka diagnosis CKMB : >80
menjadi NSTEMI, sedangkan jika Troponin I : 5,79
enzim janung mengalami peningkatan
yang tidak bermakna atau normal
maka diagnosis menjadi UAP.
PENATALAKSANAAN

PENATALAKSANAAN Pasien datang dengan onset <3 jam,


Terapi reperfusi segera, baik pasien tidak ada kontraindikasi
dengan PCI atau farmakologis, fibrinolitik.
diindikasikan untuk semua pasien Pasien di terapi dengan fibrinolitik
dengan gejala yang timbul dalam 12 menggunakan streptokinase 1,5 juta UI
jam dengan elevasi segmen ST yang dalam 100 cc Nacl 0,9 % selama 60
menetap atau Left Bundle Branch menit.
Block (LBBB) yang (terduga) baru.
Pengobatan fibrinolisis lebih awal
(door-drug <30 menit) dapat
membatasi luasnya infark,
memperbaiki fungsi ventrikel, dan
mengurangi angka kematian. Jenis
obat fibrinolisis dibagi menjadi fibrin
spesifik (Alteplase, Reteplase,
Tenecteplase) dan non-fibrin-spesifik

43
(streptokinase). Di Indonesia
umumnya yang tersedia adalah
Streptokinase, dengan dosis
pemberian sebesar 1,5 juta unit,
dilarutkan dalam 100cc NaCI 0,9%
atau Dextrose 5%, diberikan secara
infus selama 30-60 menit.

44
DAFTAR PUSTAKA

1. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Perhimpunan Dokter


Kardiovaskular Indonesia (PERKI). Edisi keempat. 2018.
2. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF.
Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid ke-I. Jakarta: Interna Publishing; 2014. hal. 1459-76.
3. Rilantono L. Penyakit Kardiovaskular (PKV). Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012. hal. 161-8.
4. ACLS Indonesia. Buku Ajar Kursus Bantuan Hidup Jantung Lanjut.
Perhimpunan Dokter Kardiovaskular Indonesia (PERKI). Edisi 2019.

45
5. Patrick T, Kusner MD, James A, Donald D, Deborah D, dkk. ACCF/AHA
Guideline for the Management of ST-Elevation Myocardial Infarction.
Journal of the American College of Cardiology. Vol. 61, No. 4, 2013.
6. Modul Pelatihan ACLS. Tim Pelatihan Rumah Sakit Muhammadiyah
Jawa Timur. 2016.

46

Anda mungkin juga menyukai