Anda di halaman 1dari 19

TUGAS KEPERAWATAN KRITIS

Acute Respiratory Distress Syndrome(ARDS)

Nama : Fajar Nurhayati L.

Kelas : Abimanyu 2

NIM : P1337420518084

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN MAGELANG

JURUSAN KEPERAWATAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG

2020
A. Definisi
Adult Respirator Distress Syndrome  (ARDS ) merupakan keadaaan gagal
napas mendadak  yang timbul pada kilen dewasa tanpa kelainan paru yang mendasari
sebelumnya. Sulit untuk membuat definisi secara tepat, karena patogenesisnya belum
jelas dan terdapat banyak factor predisposisi seperti syok karena perdarahan, sepsis,
rudak paksa / trauma pada paru atau bagian tubuh lainnya, pancreatitis akut, aspirasi
cairan lambung, intoksikasi heroin, atau metadon. (Arif Muttaqin, 2009).
Adult Respiraotry Distress Syndrome (ARDS) merupakan keadaan gagal nafas
yang timbul pada klien dewasa tanpa kelainan paru yang mendasari
sebelumnya(Muttaqin,2013).
Sindrom gawat napas akut juga dikenal dengan edema paru nonkardiogenik.
Sindrom ini merupakan sindrom klinis yang ditandai dengan penurunan progresif
kandungan oksigen di arteri yang terjadi setelah penyakit atau cedera serius. ARDS
biasanya membutuhkan ventilasi mekanik yang lebih tinggi dari tekanan jalan napas
normal. Terdapat kisaran yang luas dari faktor yang berkaitan dengan terjadinya
ARDS termasuk cedera langsung pada paru (seperti inhalasi asap) atau gangguan
tidak langsung pada tubuh (seperti syok).

B. Epidemologi
Epidemiologi ARDS di Indonesia sebesar 10,4% dari total pasien ICU. Di
Indonesia, data di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) mendapatkan 101
pasien ARDS dalam 10 bulan.
Global
Data epidemiologi Sindrom Distres Pernapasan Akut/Acute Respiratory
Distress Syndrome  (ARDS) pada tahun 2016 dari 50 negara menunjukkan bahwa
prevalensi ARDS sebesar 10,4% dari total pasien rawat di unit perawatan intensif
(intensive care unit/ICU).ARDS dapat terjadi pada seluruh usia, tetapi lebih sering
terjadi pada pasien dewasa dan wanita. Di Amerika Serikat, insidensi ARDS pada
pasien pediatrik tercatat sebanyak 9.5 kasus per 100,000 populasi per tahun, 16 kasus
per 100.000 populasi per tahun pada usia 15-19 tahun dan 306 kasus per 100.000
populasi per tahun pada usia 75-84 tahun. Kasus ARDS juga semakin meningkat, di
Taiwan, terdapat kenaikan kasus ARDS sebanyak 50% dari tahun 1997 hingga 2011.
Indonesia
Epidemiologi ARDS di Indonesia tidak tercatat dengan jelas. Salah satu
penelitian di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) mendapatkan bahwa dalam
periode 10 bulan (Oktober 2015 – Agustus 2016) terdapat 101 pasien yang
didiagnosis dengan ARDS.
Mortalitas
ARDS merupakan satu dari 20 penyakit utama penyebab kematian,
selain kanker paru. Angka mortalitas akibat ARDS adalah 35%-46% tergantung
derajat keparahan gejala ARDS. Mortalitas akibat ARDS semakin meningkat seiring
usia, dengan angka mortalitas 24% pada usia 15-19 dan 60% pada usia di atas 80
tahun.

C. Etiologi
Penyebab spesifik ARDS masih belum pasti, banyak faktor penyebab yang dapat
berperan pada gangguan ini menyebabkan ARDS tidak disebut sebagai penyakit tetapi
sebagai sindrom. Sepsis merupakan faktor risiko yang paling tinggi, mikroorganisme
dan produknya (terutama endotoksin) bersifat sangat toksik terhadap parenkim paru
dan merupakan faktor risiko terbesar kejadian ARDS, insiden sepsis menyebabkan
ARDS berkisar antara 30-50% (Susanto,2012).
Faktor-faktor etiologi yang berhubungan dengan ARDS

Mekanisme Etiologi
Kerusakan paru akibat inhalasi Kelainan paru akibat kebakaran, inhalasi gas

(mekanisme tidak langsung) oksigen, aspirasi asam lambung, tenggelam,

sepsis, syok (apapun penyebabnya),

koagulasiintravaskular tersebar

(disseminatedintravascularcaagulation-DIC),

dan pankreatitisidiopatik,
Obat-obatan Heroin dan salisilat.
Infeksi Virus, bakteri, jamur, dan TB paru.
Sebab lain Emboli lemak, emboli cairan amnion, emboli

paru trombosis, rudapaksa (trauma) paru.

radiasi, keracunan oksigen, transfusi masif,

kelainanmetabolik (uremia), bedah mayor.


D. Patofisiologi
Kelainan utama pada ARDS adalah adanya inflamasi yang disebabkan oleh aktivasi
neutrophil, dan untuk mengerti patogenesisnya perlu diperhatikan hal-hal berikut :
1. Faktor-faktor yang menyebabkan akumulasi cairan di interstitial paru dan di
distal alveolus
2. Mekanisme yang mengganggu reabsorpsi cairan edema
Berdasarkan karakteristik gambaran histopatologinya, ARDS dibagi menjadi 3 fase
yaitu:
1. Fase akut (hari 1-6) = tahap eksudatif
 Edema interstitial dan alveolar dengan akumulasi neutrofil, makrofag, dan
sel darah merah
 Kerusakan endotel dan epitel alveolus
 Membran hialin yang menebal di alveoli
2. Fase sub-akut (hari 7-14) = tahap fibroproliferatif
 Sebagian edema sudah direabsorpsi
 Proliferasi sel alveolus tipe II sebagai usaha untuk memperbaiki kerusakan
 Infiltrasi fibroblast dengan deposisi kolagen
3. Fase kronis (setelah hari ke-14) = tahap resolusi
 Sel mononuclear dan makrofag banyak ditemukan di alveoli
 Fibrosis dapat terjadi pada fase ini

Proses terjadinya ARDS melibatkan kerusakan pada endotel kapiler paru dan
sel epitel alveolus karena produksi mediator proinflamasi lokal maupun yang
terdistribusi melalui arteri pulmonalis. Hal ini menyebabkan hilangnya integritas
barrier alveolar-kapiler sehingga terjadi transudasi cairan edema yang kaya protein.
1. Kerusakan endotel kapiler paru
Kerusakan endotel kapiler paru berperan dalam terjadinya ARDS. Kerusakan
endotel tersebut menyebabkan permeabilitas vaskular meningkat sehingga terjadi
akumulasi cairan yang kaya akan protein. Kerusakan endotel ini dapat terjadi melalui
beberapa mekanisme. Mekanisme yang utama adalah terjadinya kerusakan paru
melalui keterlibatan netrofil.
Pada ARDS (baik akibat infeksi maupun non-infeksi) menyebabkan neutrofil
terakumulasi di mikrovaskuler paru. Neutrofil yang teraktivasi akan berdegranulasi
dan melepaskan beberapa mediator toksik yaitu protease, reactive oxygen species,
sitokin proinflamasi, dan molekul pro-koagulan. Mediator-mediator inflamasi tersebut
menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular dan hilangnya fungsi endotel yang
normal. Hal tersebut menyebabkan terjadinya akumulasi cairan yang berlebihan di
interstitial dan alveoli. Selain neutrofil dalam patogenesis ARDS, platelet juga
mempunyai peran yang penting. Studi yang ada membuktikan efek sinergisme antara
platelet dengan neutrofil yang menyebabkan kerusakan paru.
2. Kerusakan epitel alveoli
Dalam patogenesisnya kerusakan endotel saja tidak cukup menyebabkan
ARDS. Kerusakan sel epitel alveoli juga merupakan faktor yang penting. Neutrophil
berperan dalam meningkatkan permeabilitas paraselular pada ARDS. Dalam keadaan
normal neutrophil dapat melintasi ruang paraselular dan menutup kembali
intercellular junction sehingga barrier epitel dan ruang udara di distal alveoli tetap
utuh. Pada kondisi patologis neutrofil dalam jumlah besar dapat merusak epitel alveoli
melalui mediator inflamasi yang dapat merusak intercellular junction dan melalui
mekanisme apoptosis atau nekrosis sel epitel. Sel alveolus tipe I (yang menyusun 90%
epitel alveoli) merupakan jenis sel yang paling mudah rusak. Kerusakan sel tersebut
menyebabkan masuknya cairan ke dalam alveoli dan menurunnya bersihan cairan dari
rongga alveoli. Sel tipe II bersifat tidak mudah rusak dan memiliki fungsi yang
penting dalam memproduksi surfaktan, transport ion, dan lebih lanjut dapat
berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel alveoli tipe I. Kerusakan pada kedua sel
tersebut menyebabkan penurunan produksi surfaktan dan penurunan elastisitas paru.
3. Resolusi dari inflamasi dan edema alveoli
Pada tahap awal resolusi ARDS ditandai dengan pembersihan cairan edema
dari rongga alveoli, dimana cairan tersebut akan direabsorpsi ke sistem limfatik paru,
mikrosirkulasi paru dan rongga pleura. Pembersihan cairan edema dari rongga alveoli
membutuhkan transport aktif sodium dan klorida yang akan membuat gradient
osmosis sehingga air dapat direabsorpsi. Pada kondisi ARDS, pembuangan cairan
edema dari alveoli terjadi lebih lambat karena epitel alveoli mengalami kerusakan.
Disfungsi selular dan kerusakan yang terjadi pada ARDS berdampak pada:
 Ketidaksesuaian antara ventilasi (V) dan perfusi (Q) V/Q mismatching
disertai dengan shunting
 Hipertensi pulmonal
 Penurunan elastisitas paru (stiff lungs) dan hiperinflasi alveoli yang tersisa
 Gangguan proses perbaikan paru yang normal  fibrosis paru pada stadium lanjut

E. Klasifikasi
Berdasarkan tahap terjadinya :
1. Tahap Exudatif : ditandai dengan pembentukan cairan yang berlebihan, protein
serta sel inflamatori dari kapiler yang kemudian akan menumpuk kedalam alveoli
2. Tahap Fibroproliferatif : pada tahap ini akibat dari respon terhadap stimuli yang
merugikan maka akan dibentuk jaringan ikat dengan beberapa perubahan struktur
paru sehingga secara mikroskopik jaringan paru tampak seperti jaringan padat.
Dalam keadaan ini pertukaran gas pada alveolar akan sangat berkurang sehingga
tampilan penderita secara klinis seperti pneumoni.
3. Tahap Resolusi dan pemulihan : Pada beberapa penderita yang dapat melampaui
fase akut akan mengalami resolusi dan pemulihan. Udem paru ditanggulangi
dengan transport aktif Na, transport pasif Cl dan transport H2O melalui
aquaporins pada sel tipe I , sementara protein yang tidak larut dibuang dengan
proses difusi, endositosis sel epitel dan fagositosis oleh sel makrofag. Akhirnya re
epitelialisasi terjadi pada sel tipe II dari pneumosit.yang berproliferasi pada dasar
membarana basalis. Proses ini distimulasi oleh growth factors seperti KGF.
Neutrofil dibuang melalui proses apoptosis.

F. Manifestasi Klinis
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) ditandai oleh perkembangan
dyspnea akut dan hipoksemia dalam waktu jam dan beberapa hati , seperti trauma,
sepsis, overdosis obat, transfusi masif, pankreatitis akut, atau aspirasi. Dalam banyak
kasus, hal menghasut jelas, tetapi, pada orang lain (misalnya, obat overdosis),
mungkin lebih sulit untuk mengidentifikasi.
Sindroma gawat pernafasan akut terjadi dalam waktu 24-48 jam setelah
kelainan dasarnya. Di awali penderita akan merasakan sesak nafas, dan bisanya
berupa pernafasan yang cepat dan dangkal. Karena rendahnya kadar oksigen dalam
darah, kulit terlihat pucat atau biru, dan organ lain seperti jantung dan otak akan
mengalami kelainan fungsi. Hilangnya oksigen karena sindroma ini dapat
menyebabkan komplikasi dari organ lain segera setelah sindroma terjadi atau
beberapa hari/minggu kemudian bila keadaan penderita tidak membaik. Kehilangan
oksigen yang berlangsung lama bisa menyebabkan komplikasi serius seperti gagal
ginjal. Tanpa pengobatan yang tepat, 90% kasus berakhir dengan kematian. Bila
pengobatan yang diberikan sesuai, 50% penderita akan selamat. Karena penderita
kurang mampu melawan infeksi, mereka biasanya menderita pneumonia
bakterial dalam perjalanan penyakitnya. Gejala lainnya yang mungkin ditemukan:
cemas, merasa ajalnya hampir tiba   tekanan darah rendah atau syok (tekanan darah
rendah disertai oleh kegagalan organ lain) ·  penderita seringkali tidak mampu
mengeluhkan gejalanya karena tampak sangat sakit.Pasien dalam perjalanan
penyakitnya menjadi ARDS, sering disertai dengan kegagalan multisistem organ, dan
mereka mungkin tidak mampu memberikan informasi historis. Biasanya, penyakit
berkembang dalam 12-48 jam setelah kejadian menghasut, meskipun, dalam kasus
yang jarang, mungkin diperlukan waktu hingga beberapa hari.
Dengan terjadinya cedera paru-paru, pasien awalnya dicatat dyspnea dengan
pengerahan tenaga. Hal ini dengan cepat berkembang menjadi dispnea berat saat
istirahat, takipnea, gelisah, agitasi, dan kebutuhan untuk konsentrasi semakin tinggi
oksigen terinspirasi.(Alsagaff, 2006)
G. Pemeriksaan Fisik
Tidak ada temuan fisik dan laboratorium yang spesifik untuk ARDS. Dapat
ditemukan adanya gagal napas, respirasi yang ceoat dan dangkal, serta pasien yang
sianosis. Pada auskultasi dapat ditemukan suara napas bronkhial, ronkhi jarang
ditemukan. Pemeriksaan biokimia dan darah perifer sering dilakukan, untuk mencari
penyakit yang mendasarinya, bukan untuk membuktikan ARDS itu sendiri. Pada foto
polos toraks dapat ditemukan infiltrat luas, sering disertai dengan karakteristik yang
menandakan adanya pengisian alveolar. Kadang, pada periode awal penyakit, dapat
ditemukan adanya dominansi infiltrat di interstitial. Infiltrat tersebut dapat hanya terdapat
di beberapa area paru, sehingga sering keliru dengan diagnosis pneumonia. Pada Analisa
gas darah, memperlihatkan adanya penurunan PaO2, dengan PaCO2 yang normal atau
menurun. Diagnosis ditegakkan berdasarkan definisi Berlin pada Tabel 1.
Baik secara klinis, fisiologis, maupun patologis, ARDS dapat berkembang secara
progresif dalam beberapa tahapan. Setelah paparan terhadap faktor yang memicu, terdapat
interval di mana fungsi paru masih berjalan normal, yang berlangsung dalam hitungan
jam sampai hari. Seiring dengan onset gejala, terdapat perburukan dalam pertukaran gas
dengan menurunnya compliance paru dan kapasitas residual fungsional dalam waktu satu
hingga 3 hari. Compliance paru kemudian menurun dengan cepat, dan terjadi peningkatan
pada proporsi ventilasi total yang menjadi regio dead space paru yang tidak terperfusi
(VD/VT) dan pada resistensi vaskular. Pada tahap ini, dapat terjadi gagal organ multipel,
seperti disfungsi renal, hepar, bahkan jantung. Keterlibatan organ ini tidak diketahui
apakah disebabkan oleh penyakit pencetusnya (misalnya sepsis), atau hasil dari patologi
ARDS itu sendiri. Intevensi dilakukan untuk mendukung pertukaran gas, seperti ventilasi
mekanik atau PEEP, mungkin dapat mempunyai efek yang kurang baik untuk organ
ekstraparu. Dari hari ke-10 sampai 30 dari onset gejala, pasien akan masuk ke fase
kronik, di mana fungsi paru akan stabil, meskipun gangguan fungsi masih dirasakan. Jika
pasien dapat keluar dari fase akut dan masuk ke dalam fase kronik, pasien akan
mengalami perbaikan secara gradual dalam fungsi paru, yakni dalam hitungan minggu
hingga bulan. Risiko mortalitas pada fase ini lebih sering terjadi akibat sebab non-paru.

H. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnostik ARDS dapat dibuat berdasarkan pada kriteria berikut :
1. Gagal napas akut.
2. Infiltratpulmoner “fluffy” bilateral pada gambaran Rontgen thoraks.
3. Hipoksemia (PaO2 di bawah 50-60 mmHg) meski FcO2 50-60% (fraksi oksigen
yang dihirup).
4. Chest X—ray: pada stadium awal tidak terlihat dengan jelas atau dapat juga
terlihat adanya bayangan infiltrat yang terletak di tengah region perihilar paru-
paru. Pada stadium lanjut, terlihat penyebaran di interstisial secara bilateral dan
infiltrat alveolar, menjadi rata dan dapat mencakup keseluruhan lobus paru-paru.
Tidak terjadi pembesaran pada jantung.
5. ABGs: hipoksemia (penurunan PaO2), hipokapnia (penurunan nilai CO2 dapat
terjadi terutama pada fase awal sebagai kompensasi terhadap hiperventilasi),
hiperkapnia (PaCO2 > 50) menunjukkan terjadi gangguan pernapasan.
Alkalosisrespiratori (pH> 7,45) dapat timbul pada stadium awal, tetapi asidosis
dapat juga timbul pada stadium lanjut yang berhubungan dengan peningkatan
anatomicaldeadspace dan penurunan ventilasi alveolar. Asidosis metabolisme
dapat timbul pada stadium lanjut yang berhubungan dengan peningkatan nilai
laktat darah, akibat metabolisme anaerob.
6. Pulmonary Function Test: kapasitas pengisian paru-paru dan volume paru-paru
menurun, terutama PRC, peningkatan anatomicaldeadspace dihasilkan oleh area di
mana timbul vasokonstriksi dan mikroemboli

I. Prognosis
Tingkat mortalitas pasien ARDS mencapai 30-40%, walaupun angka
perbaikannya dapat mencapai 90% risiko mortalitas yang dilaporkan. Mortalitas ini
bergantung pada usia, yakni 24% pada usia 15-19 tahun, tetapi 60% pada usia 85
tahun dan lebih dari itu. Mortalitas ini berhubungan dengan gagal organ multipel,
dengan penyakit pencetusnya, dibandingkan dengan gangguan dari paru itu sendiri.
Individu yang berhasil mengalami perbaikan dari ARDS, dapat mengalami kondisi
yang baik meskipun terdapat gangguan fisiologis yang berat. Volume paru dan
compliance paru, sering kembali pada level prediksinya dalam 6 sampai 18 bulan.
Sesak napas yang terjadi setelah perbaikan harus dicari penyebabnya, misalnya akibat
stenosis trakea. Namun, pasien dengan gangguan fungsi yang berat selama onset
penyakit akut, lebih mungkin akan mengalami gangguan fungsi paru yang persisten
dan penurunan kualitas hidup yang persisten.
J. Penatalaksanaan
Walaupun tidak ada terapi yang spesifik untuk menghentikan proses inflamasi,
penanganan ARDS difokuskan pada 3 hal penting  yaitu:
 mencegah lesi paru secara iatrogenik
 mengurangi cairan didalam paru
 mempertahankan oksigenasi jaringan
1. Terapi Umum
 Sedapat mungkin hilangkan penyebab dengan cara misalnya drainase pus,
antibiotika, fiksasi bila ada fraktur tulang panjang
 Sedasi dengan kombinasi opiat  benzodiasepin, oleh karena  penderita  akan
memerlukan bantuan ventilasi mekanik dalam jangka lama. Berikan dosis
minimal yang masih memberikan efek sedasi yang adekuat.
 Memperbaiki hemodinamik untuk meningkatkan oksigenasi dengan
memberikan  cairan, obat-obatan vasodilator/konstriktor, inotropik, atau
diuretikum. Keadaan ini dapat dicapai dengan cara meningkatkan curah
jantung  bila saturasi darah vena rendah, atau dengan dengan menurunkan
curah jantung pada keadaan high out put state, sehingga pulmonary transit
time akan memanjang. Strategi harus dilaksanakan dengan hati-hati sehingga
tidak mengganggu sirkulasi secara keseluruhan.
2. Terapi Ventilasi
Respirasi 
 Ventilasi mekanik dengan intubasi endotrakheal merupakan terapi yang
mendasar pada penderita ARDS bila ditemukan laju nafas > 30x/min atau
terjadi peningkatan kebutuhan FiO2 > 60% (dengan menggunakan masker
wajah) untuk mempertahankan  PO2 sekitar 70 mmHg atau lebih dalam 
beberapa jam
 Lebih spesifik lagi dapat diberikan ventilasi dengan rasio I:E terbalik disertai
dengan PEEP untuk membantu mengembalikan cairan yang membanjiri
alveolus dan memperbaiki atelektasis sehingga memperbaiki ventilasi dan
perfusi (V/Q).
 Saat ini telah terbukti bahwa pemberian volume tidal  10 to 15 ml/kg dapat
mengakibatkan kerusakan bagian paru yang masih normal sehinga terjadi
robekan alveolaus, deplesi surfaktan dan  lesi  alveolar-capillary interface.
Untuk menghindari hal ini maka dipergunakan volume tidal 6-7ml/kg dengan
tekanan puncak inspirasi <  35 cmH2O,  plateu inspiratory pressure  yaitu <
30cmH2O dan pemberian positive end expiratory pressure (PEEP) antara  8
sampai 14 cm H2O untuk mencegah atelektase dan kolaps dari alveolus.
 Pemeriksaan AGD (Analisa Gas Darah) dipakai sebagai  parameter
keberhasilan  dan panduan terapi. Walaupun  demikian hasillnya tidak  harus
mencapai nilai normal.
Pressure Controlle
 Restriksi cairan/diuresis yang cukup akan mengurangi peningkatan tekanan
hidrostatik didalam kapiler paru maupun cairan paru (lung water). Akan tetapi
harus diingat bahwa dehidrasi yang berlebihan akan menurunkan perfusi
jaringan dan mencetuskan gagal ginjal.
 Prone position  akan memperbaiki V/Q karena akan  mengalihkan cairan
darah sehingga tidak terjadi  atelektasis. Walaupun demikian tehnik ini  tidak
mempengaruhi angka mortalitas.  Walaupun demikian pada subgrup pasien
yang diseleksi  berdasarkan tingkat keparahan penyakit menunjukkan bahwa
mortalitas dalam sepuluh hari pertama  pada kelompok dengan prone position
lebih rendah dibandingkankan dengan kelompok yang berbaring seperti biasa.
 Inhalasi   nitric oxide/prostasiklin akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah
di paru sehingga  secara nyata memperbaiki hipertensi pulmonum dan
oksigenasi arteri. Tidak terdapat pengaruh terhadap  tekanan darah sistemik,
akan tetapi efek samping subproduk dari NO  berupa  peroksinitrit dapat
menyebabkan kerusakan pada jaringan paru. Oleh karena itu pengunaannya
sangat ketat yaitu pada keadaan ekstrem dimana terjadi hipoksemia akut,
gagal jantung kanan serta refrakter terhadap tindakan suportif yang biasa.
 Targeted Drug Treatment. Terapi ini difokuskan pada regresi lesi patologi dan
mengurangi jumlah cairan dalam paru. Sayangnya tidak ada bukti objetif 
akan keberhasilan metode ini.
 Surfactan sintetik secara aerosol (Exosurf) ternyata bermanfaat untuk ARDS
pada neonatus, tetapi tidak pada ARDS . Pada suatu penelitian dengan cara 
pemberian langsung pada traktus trakeobronkial ternyata efektif.
 Pemberian  N-acetylcysteine banyak memberikan harapan dan masih terus
dilakukan penelitian
 Diuretikum lebih ditujukan untuk meminimalkan atau mencegah  kelebihan
cairan, dan hanya  diberikan bila eksresi cairan oleh ginjal terganggu, oleh
karena itu cara paling baik untuk mencegah kelebihan cairan adalah dengan
mempertahankan pengeluaran cairan yang adekuat.Dengan demikian
penggunaan diuretikum tidak rutin, karena tidak sesuai dengan patogenesis
ARDS.
 Transfusi darah diperlukan untuk menjaga kadar Hb lebih dari 10gr%, tetapi
mengingat kemungkinan terjadinya TRALI maka tranfusi hanya diberikan
bila ada oksigenasi jaringan yang inadekuat.
 Extracorporeal Oxygenation
Extracorporeal membrane oxygenation (ECMO)  adalah suatu  sistem 
prolonged cardiopulmonary bypass yang banyak berhasil mengobati bayi baru
lahir yang mengalami gagal nafas akibat aspirasi mekonium, hernia
diapragmatika dan infeksi virus yang berat.
Penggunaan EMCO untuk ARDS  hasilnya masih controversial. Hasil yang
baik diperoleh pada penderita ARDS karena trauma pada stadium dini yaitu
kurang dari 5 hari. (Emmy Hermiyanti, 2011)

K. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Primary Survey
1) Airway ( Jalan Napas) :
Kaji :
 Bersihan jalan nafas

 Adanya/tidaknya sumbatan jalan nafas

 Distress pernafasan

 Tanda-tanda perdarahan di jalan nafas, muntahan, edema laring

2) Breathing

Kaji :

 Frekuensi nafas, usaha nafas dan pergerakan dinding dada


 Suara pernafasan melalui hidung atau mulut

 Udara yang dikeluarkan dari jalan nafas

3) Circulation

Kaji :

 Denyut nadi karotis


 Tekanan darah
 Warna kulit, kelembaban kulit
 Tanda-tanda perdarahan eksternal dan internal
4) Disability
Kaji :
 Tingkat kesadaran
 Gerakan ekstremitas
 Glasgow coma scale (GCS
 Ukuran pupil dan respons pupil terhadap cahaya
b. Secondary Survey
1) Pengkajian Fisik
a) Mata
 Konjungtiva pucat (karena anemia)

 Konjungtiva sianosis (karena hipoksia)

b) Kulit

 Sianosis perifer (vasokontriksi dan menurunnya aliran darah

perifer).

 Sianosis secara umum (hipoksemia)

 Penurunan turgor (dehidrasi)

 Edema periorbital

c) Jari dan kuku

 Sianosis

 Clubbing finger
d) Mulut dan bibir

 Membrane mukosa sianosis

 Bernafas dengan mengerutkan mulut

e) Hidung

 Pernapasan dengan cuping hidung

f) Vena leher : Adanya distensi/bendungan

g) Dada

 Retraksi otot bantu pernafasan (karena peningkatan aktivitas

pernafasan, dispnea, atau obstruksi jalan pernafasan)

 Pergerakan tidak simetris antara dada kiri dengan kanan

 Suara nafas normal (vesikuler, bronchovesikuler, bronchial)


 Suara nafas tidak normal (crekler/reles, ronchi, wheezing, friction
rub, /pleural friction)
 Bunyi perkusi (resonan, hiperresonan, dullness)
 Tactil fremitus, thrill, (getaran pada dada karena udara/suara

melewati saluran /rongga pernafasan)

h) Pola pernafasan

 Pernafasan normal (eupnea)

 Pernafasan cepat (tacypnea)

 Pernafasan lambat (bradypnea)

2) Pemeriksaan Penunjang

 Pemeriksaan gas darah (saturasi oksigen dan CO2)

 Pemeriksaan PH darah

 Pemeriksaan radiologi pulmonaldan kardio

3) Tindakan pada secondary survey


 Pemberian oksigen

 Inhalasi nebulizer

 Pemberian ventilator

 Fisioterapi dada

2. Diagnosis Keperawatan

1. Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan hipoksemia secara

reversible/menetap refraktori dan kebocoran interstisialpulmonal/alveolar pada

status cedera kapiler paru.

2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan adanya

bronkhokonstriksi, akumulasi sekret jalan napas, dan menurunnya kemampuan

batuk efektif.

3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru

4. Kelebihan volume cairan yang berhubungan dengan edemapulmonal,

penurunan aliran balik vena, penurunan curah jantung atau terapi diuretik.

5. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang

berhubungan dengan penurunan nafsu makan.

6. Gangguan ADL yang berhubungan dengan kelemahan fisik umum dan

keletihan.

7. Koping keluarga tidak efektif yang berhubungan dengan kurang sosialisasi,

kecemasan, depresi, tingkat aktivitas rendah, dan ketidakmampuan untuk

bekerja.

3. Perencanaan Keperawatan

a. Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan hipoksemia secara

reversible/menetap refraktori dan kebocoran interstisialpulmonal/alveolar pada

status cedera kapiler paru.


Tujuan: Dalam waktu 2x24 jam setelah diberikan intervensi keperawatan tidak

terjadi gangguan pertukaran gas.

Kriteria hasil:

- Melaporkan tak adanya/penurunan dispnea.

- Klien menunjukkan tidak ada gejala distres pernapasan.

- Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigen jaringan adekuat dengan

GDA dalam rentang normal.

Intervensi

1) Evaluasi perubahan tingkat kesadaran, catat sianosis dan perubahan warna

kulit, termasuk membran mukosa dan kuku.

2) Lakukan pemberian terapi oksigen.

3) Lakukan ventilasi mekanik.

4) Monitor kadar hemoglobin.

5) Kolaborasi pemilihan pemberian cairan.

6) Kolaborasi pemberian terapi

7) Farmakologi.

b. Ketidakefektifanbersihan jalan napas yang berhubungan dengan adanya

bronkhokonstriksi, akumulasi sekret jalan napas, dan menurunnya kemampuan

batuk efektif.

Tujuan: Dalam waktu 2 x 24 jam setelah diberikan intervensi keperawatan,

kebersihan jalan napas kembali efektif.

Kriteria hasil :

- Klien mampu melakukan batuk efektif.


- Pernapasan klien normal (16-20 x/menit) tanpa ada penggunaan otot

bantu napas. Bunyi napas normal, Rh -/- dan pergerakan pernapasan

normal.

Intervensi

1) Kaji fungsi pernapasan (bunyi napas, kecepatan, irama, kedalaman, dan

penggunaan otot bantu napas).

2) Kaji kemampuan klien mengeluarkan sekresi, catat karakter, volume

sputum, dan adanya hemoptisis.

3) Berikan posisi semifowler/fowler tinggi dan bantu klien latihan napas

dalam dan batuk efektif.

4) Pertahankan intake cairan sedikitnya2500 ml/hari kecuali tidak

diindikasikan.

5) Bersihkan sekret dari mulut dan trakhea, bila perlu lakukan pengisapan

(suction).

6) Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi:

7) Agen mukolitik

8) Bronkodilator

9) Kortikosteroid

c. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ....., pasien dapat

mempertahankan pola pernafasan yang efektif.

Kriteria Hasil :

Paien menunjukan

- Frekuensi, irama dan kedalaman pernapasan

- Adanya penurunan dispneu


- Gas-gas darah dalam batas normal

Intervensi

1) Kaji frekuensi, kedalaman dan kualitas pernapasan serta pola pernafasan

2) Kaji tanda vital dan tingkat kesadaran setiap jam

3) Berikan oksigen dalam bantuan ventilasi dan humidifer sesuai kebutuhan

.
DAFTAR PUSTAKA

Ahem, Judith M, Nancy R. Wilkinson. 2011. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi
9 Diagnosa Nanda, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran

Amin Z. Acute Respiratory Distress Syndrome. In: Dahlan Z, Amin Z, Soeroto AY,
editors.Tatalaksana Penyakit Respirasi dan Kritis Paru. Bandung: PERPARI (Perhimpunan
Respirologi Indonesia); 2013.

Koh Y. Update in Acute Respiratory Distress Syndrome. Journal of Intensive Care.


2014;2:2.

Muttaqin, Arif ( 2008). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem.


Pernapasan.Jakarta: Salemba Medika.

Nanda International.2018. Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2018-2020.


Jakarta: EGC

The ARDS Definition Task Force. Acute respiratory distress syndrome: the Berlin
definition. JAMA. 2012; 307 (23): 2526-2533.

Smith RM. Acute respiratory distress syndrome. Dalam Morris TA, Ries AL, Bordow
RA. Manual of Clinical Problem in Pulmonary Medicine. Edisi ke-7. Philadelphia: Wolters
Kluwer; 2014.

Anda mungkin juga menyukai