Anda di halaman 1dari 63

1

I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Populasi ternak sapi perah di Indonesia mengalami peningkatan sesuai

dengan Data Badan Pusat Statistik tahun 2016 yang menunjukkan pada tahun

2009 populasi ternak sapi perah berjumlah 474.701 ekor dan pada tahun 2016

jumlahnya meningkat menjadi 533.860 ekor. Perkembangan populasi ternak yang

semakin meningkat mengakibatkan produksi utama yang dihasilkan oleh sapi

perah yaitu susu akan meningkat pula, selain produksi susu, limbah yang

dihasilkan dalam bentuk feses pun ikut meningkat. Feses merupakan salah satu

jenis limbah yang dihasilkan dari proses metabolisme ternak dan masih

mengandung mikroorganisme berupa bakteri serta bahan organik yang dapat

menimbulkan pencemaran air, udara, dan tanah. Feses berpotensi menyebabkan

timbulnya masalah pencemaran lingkungan, oleh karena itu, pengelolaan dan

penanganan limbah ternak yang baik dan benar diharapkan akan meminimalkan

terjadinya pencemaran lingkungan. Secara umum, bakteri yang terdapat didalam

feses sapi perah bersifat heterotrop, artinya bakteri tersebut tidak dapat membuat

makanan sendiri sehingga bakteri tersebut memerlukan sumber karbon dari bahan

lain.

Feses yang dikelola dengan baik, memiliki potensi sebagai sumber energi

alternatif yang dikenal dengan biogas. Keuntungan menggunakan sumber berupa

feses sapi perah dalam proses pengolahan biogas yaitu bakteri selulolitiknya lebih

beragam akibat dari pakan rumput dan serat kasar yang dikonsumsi sehingga VFA

dan gas metana yang dihasilkan akan lebih banyak. Biogas merupakan gas yang
2

dihasilkan dari proses penguraian senyawa organik kompleks menjadi molekul

sederhana oleh bantuan mikroorganisme pada kondisi anaerob. Secara umum,

prinsip pembentukan biogas adalah dekomposisi bahan organik secara anaerobik.

Proses dekomposisi anaerobik merupakan pemecahan bahan-bahan organik oleh

aktivitas bakteri asidogenik dan bakteri metanogenik dalam kondisi tanpa udara

atau minim oksigen.

Biogas mengandung senyawa seperti gas metana (CH4), gas karbondioksida

(CO2), gas hidrogen (H), gas oksigen (O 2), dan gas hidrogen sulfida (H 2S).

Senyawa yang sangat berperan dalam pembentukan biogas adalah gas metana dan

gas karbondioksida. Apabila kadar gas metana tinggi, maka biogas memiliki nilai

kalor yang tinggi pula, sebaliknya jika kadar gas karbondioksida yang tinggi,

maka nilai kalor biogas akan rendah. Untuk memperoleh kadar gas metana yang

tinggi, maka diperlukan optimalisasi aktivitas bakteri metanogenik, salah satunya

adalah dengan cara mengisolasi bakteri metanogenik untuk menghasilkan gas

metana. Isolasi konsorsium bakteri merupakan usaha untuk mendapatkan isolat

mikroorganisme jenis bakteri.

Gas metana dapat dihasilkan dari aktivitas mikroorganisme pada bahan

organik yang dapat digunakan sebagai media pertumbuhan mikroorganisme

penghasil gas metana, seperti halnya batu bara. Gas metana yang dihasilkan oleh

batu bara memiliki nilai kalori yang tinggi dan dapat digunakan sebagai energi

alternatif bagi kebutuhan rumah tangga dan industri.

Batu bara merupakan potensi sumberdaya energi yang cukup besar dan

masih mendominasi penggunaan energi di Indonesia. Produksi batu bara di

Indonesia menurut data Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi tahun 2013

sebanyak 330 juta ton dan yang digunakan untuk konsumsi dalam negeri sekitar
3

70 juta ton. Jenis batu bara yang terdapat di Indonesia merupakan batu bara muda

(lignit). Sebanyak 60% total sumber batu bara di Indonesia merupakan batu bara

lignit atau low rank coal, sementara batu bara berkualitas tinggi seperti

bituminous dan sub-bituminous hanya sekitar 0,5% dari cadangan dunia, sehingga

dibutuhkan cara untuk mengolah batu bara sebelum dimanfaatkan. Salah satu cara

yang dapat dilakukan adalah dengan mengoptimalkan Gas Metana Batu bara pada

por-pori batu bara yang dicampurkan dengan konsorsium mikroorganisme asal

feses sapi perah.

Pada batu bara muda yang memiliki nilai kalori rendah, maka dapat

direkayasa menggunakan mikroorganisme yang terdapat pada feses sapi perah

untuk produksi gas metan batubara (GMB) atau Coal Bed Methana (CBM). Isolat

konsorsium bakteri memiliki peran membantu aktivitas mikroorganisme yang

terdapat di dalam batu bara untuk membentuk gas metana.

1.2 Identifikasi Masalah

1. Bagaimana potensi isolate konsorsium bakteri feses sapi perah yang

dicampurkan pada media batubara sub-bituminous terhadap pertumbuhan

bakteri anaerob.

2. Bagaimana potensi isolat konsorsium bakteri feses sapi perah yang

dicampurkan pada media batubara sub-bituminous terhadap produksi asam

lemak terbang.

3. Bagaimana potensi isolat konsorsium bakteri feses sapi perah yang

dicampurkan pada media batubara sub-bituminous terhadap produksi

biogas.
4

1.3 Maksud dan Tujuan

Maksud dan tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari dan mengetahui:

1. Mengetahui potensi isolat konsorsium bakteri feses sapi perah yang

dicampurkan pada media batubara sub-bituminous terhadap pertumbuhan

bakteri anaerob.

2. Mengetahui potensi isolat konsorsium bakteri feses sapi perah yang

dicampurkan pada media batubara sub-bituminous terhadap produksi asam

lemak terbang.

3. Mengetahui potensi isolat konsorsium bakteri feses sapi perah yang

dicampurkan pada media batubara sub-bituminous terhadap produksi

biogas.

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini memiliki kegunaan praktis untuk mengetahui potensi

penambahan limbah ternak berupa feses sapi perah pada batu bara berkalori

rendah sebagai sumber nutrisi dan sumber mikroba untuk bakteri metanogenik

yang berperan dalam pembentukan gas metana. Kegunaan ilmiah dari penelitian

ini adalah mengungkapkan peran mikroba penghasil gas metana yang berasal dari

feses sapi perah yang dapat beradaptasi pada media berisi batu bara untuk

menghasilkan gas metana batu bara (GMB).

1.5 Kerangka Pemikiran

Peningkatan populasi ternak akan sebanding dengan peningkatan produksi

utama yang dihasilkan oleh sapi perah yaitu susu, selain produksi utama, sapi

perah juga menghasilkan kotoran dalam bentuk feses yang juga ikut meningkat.
5

Feses merupakan limbah yang dihasilkan dari proses metabolisme ternak

ruminanisa yang mengandung mikroorganisme dan bahan organik. Secara umum,

bakteri pada feses memerlukan sumber karbon dalam bentuk senyawa organik.

Jumlah bakteri yang terdapat didalam feses sapi perah bervariasi. Hal tersebut

dipengaruhi oleh faktor biologis, yaitu bentuk dan sifat mikroorganisme terhadap

lingkungan serta asosiasi kehidupan diantara mikroorganisme yang tumbuh

bersama dan faktor nonbiologis, yaitu kandungan zat makanan didalam media,

suhu, kadar oksigen, dan cahaya. Jenis bakteri yang terdapat dalam feses sapi

perah merupakan golongan aerob dan anaerob. Beberapa bakteri golongan aerob

ada yang berbahaya bagi kesehatan manusia, diantaranya golongan

Enterobacteriaceae seperti Citrobacter freundi, Enterobacter cloacae, dan

Escherichia coli, selain itu terdapat pula Vibrio cholera ogawa dan Pseudomonas

aeroginosa (Ellin dan Suryanto, 2011). Feses sapi perah yang tidak ditangani

dengan benar dapat menimbulkan gangguan kesehatan lingkungan terhadap

manusia, sehingga harus diolah agar dapat bermanfaat bagi manusia, salah

satunya diolah menjadi biogas.

Biogas merupakan sebuah proses produksi gas bio dari material organik

dengan bantuan bakteri. Proses degradasi material organik ini tanpa melibatkan

oksigen atau disebut anaerobic digestion gas yang dihasilkan sebagian besar

berupa gas metana (CH4), karbon dioksida (CO2), dan beberapa kandungan yang

jumlahnya kecil, diantaranya hidrogen sulfida (H2S), ammonia (NH3), hidrogen

(H2), nitrogen sulfur, dan kandungan air. Energi yang terkandung dalam biogas

tergantung dari konsentrasi gas metana. Semakin tinggi kandungan gas metana

maka semakin besar kandungan energi (nilai kalor) pada biogas, dan sebaliknya,

semakin kecil kandungan gas metana maka semakin kecil nilai kalor. Kualitas
6

biogas dapat ditingkatkan dengan menurunkan hidrogen sulfur, kandungan air,

dan karbon dioksida (Saputri dkk, 2014).

Bakteri pembentuk metana secara alami terdapat dalam limbah yang

mengandung bahan organik seperti feses ternak, kotoran manusia, dan sampah

organik, salah satunya adalah feses sapi perah. Di dalam feses terdapat beberapa

jenis mikroorganisme, diantaranya adalah bakteri, fungi, dan protozoa. Secara

umum, bakteri yang terdapat di dalam feses sapi perah memerlukan sumber

karbon dalam bentuk senyawa organik. Bakteri pembentuk gas metana di dalam

feses sapi perah digolongkan kedalam bakteri anaerob.

Ada tiga kelompok dari bakteri dan Archaebacteria yang berperan dalam

proses pembentukan biogas, yaitu :

1. Kelompok pertama berfungsi untuk melikuidasi dan mengkonversi bahan

organik molekul panjang menjadi organik berantai pendek. Kelompok

bakteri ini disebut bakteri fermentatif seperti Streptococcus, Bacteriodes,

dan Enterobacteria.

2. Kelompok kedua berfungsi untuk merubah bahan organik berantai pendek

menjadi asam lemak untuk kemudian diubah menjadi asetat. Kelompok

bakteri ini disebut bakteri asetogenik seperti Desulvofibrio (Padmono dan

Susanto, 2007).

3. Kelompok ketiga berfungsi untuk melakukan konversi asetat menjadi

metana. Kelompok bakteri ini disebut bakteri metanogenik dan

Archaebacteria seperti Methanobacterium, Methanobacillus,

Methanosacaria, dan Methanococcus (Jones, dkk, 2010).

Energi berupa gas metana tidak hanya dihasilkan dari biogas, tetapi dapat

juga bersumber dari Gas Metana Batu bara (GMB) yaitu gas metana yang terdapat
7

dalam lapisan-lapisan batubara (Sobarin dkk, 2013). Penggunaan batu bara

sebagai sumber energi dapat menyebabkan pencemaran lingkungan sehingga

diperlukan teknologi atau metode yang terkait dengan batu bara bersih.

Batu bara adalah bahan bakar hidrokarbon yang merupakan campuran

yang terdiri dari beberapa macam zat yang mengandung karbon, hidrogen, dan

oksigen dalam suatu ikatan kimia bersama-sama dengan sedikit sulfur dan

nitrogen (Syam, 2012). GMB adalah gas metana yang terbentuk bersamaan

dengan pembentukan batu bara. GMB bersifat adsorb, yang berarti gas akan

keluar dari matriks batu bara secara alami. GMB mengandung sedikit hidrokarbon

seperti propana dan butana (Rudiansyah, 2011).

Selama proses pembentukan batu bara, gas metan dapat terbentuk oleh

proses termogenik dan biogenik (Aditiawati, 2013). Formasi gas metan yang

terbentuk dari proses biogenik berasal dari dekomposisi bahan organik batu bara

yang digunakan sebagai substrat bagi bakteri metanogenik untuk memproduksi

metan (Guo, 2012). Penambahan batu bara akan berpengaruh terhadap produksi

asam lemak terbang. Asam lemak terbang atau Volatile Fatty Acid (VFA) terdiri

dari asam organik yang mudah menguap. Komponen utama VFA adalah asam

asetat, propionat, dan butirat (Soest, 1994).

Batu bara sebagai source rock sekaligus sebagai reservoir. Pada proses

pembatubaraan atau coalification, terjadi perubahan dari gambut menjadi batu

bara lignit, bituminous, sub-bituminous, dan antrasit akibat pengaruh tekanan dan

temperatur (Syam, 2012). Karakteristik batu bara sub-bituminous berada diantara

batu bara lignit dan bituminous. Batu bara sub-bituminous berwarna hitam,

kurang kompak, nilai kalor cukup tinggi dengan kandungan karbon yang cukup
8

sedikit, kandungan air, sulfur, dan abu yang cukup banyak sehingga batu bara ini

menjadi sumber panas yang tidak efisien (Ratna, 2005).

Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas biogas yaitu

dengan menambahkan karbon organik dari feses sapi perah, nutrisi, konsorsium

mikroba, dan bahan organik seperti karbon dari batu bara nonproduktif pada

media diperkaya untuk pertumbuhan mikroorganisme (Jones, dkk, 2010).

Penambahan 15 gr batu bara pada 120 ml media nutrisi berpotensi pada

peningkatan produksi asam lemak terbang pada hari ke-14 (Aditiawati, 2013).

Secara umum, penambahan konsorsium mikroba yang optimum pada bidang

bioteknologi adalah sebanyak 2-10%. Media diperkaya akan memacu

pertumbuhan mikroorganisme berupa bakteri pembentuk gas metana karena

bakteri tersebut akan banyak mendapatkan tambahan zat-zat nutrisi yang

diperlukan dalam mendukung pertumbuhannya.

Berdasarkan uraian kerangka pemikiran, dapat ditarik hipotesis bahwa

penambahan 6% larutan isolat bakteri feses sapi perah memiliki potensi dalam

peningkatan produksi asam lemak terbang dan biogas.

1.6 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan dalam waktu 7 minggu pada bulan April-Mei 2017

di Laboratorium Mikrobiologi dan Penanganan Limbah Peternakan Fakultas

Peternakan Universitas Padjadjaran dan Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia

dan Kimia Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran.


9

II

KAJIAN KEPUSTAKAAN

2.1. Biogas

Biogas merupakan sebuah proses produksi gas bio dari material organik

dengan bantuan bakteri. Proses degradasi material organik ini tanpa melibatkan

oksigen atau disebut anaerobic. Sebagian besar gas yang dihasilkan berupa

metana (Saputri, dkk, 2014). Bahan organik yang efektif menghasilkan biogas

adalah feses ternak, limbah sayuran dan buah atau limbah produksi gula seperti

molasses. (Rasheed, 2016). Komponen biogas adalah gas metana (CH4), gas

karbon dioksida (CO2), gas nitrogen (N2), gas hidrogen (H2), oksigen (O2), gas

karbon monoksida (CO) dan hidrogen disulfida (H 2S). Asetat ditemukan dalam

air limbah, stoikiometrinya membentuk metana dan karbon dioksida dalam jumlah

yang sama. Adapun komposisi yang terkandung di dalam biogas dapat dilihat

pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Biogas


Komponen Biogas Rumus Persentase (%)
Metana CH4 55-75%
Karbon dioksida CO2 25-45%
Nitrogen N2 1-5%
Hidrogen H2 0-3%
Oksigen O2 Sedikit
Hidrogen Sulfida H2S 0,1-0,5%
Karbon monoksida CO 0-0,3%
Sumber: Karellas dkk., (2010)
Biogas memliki berat 20% lebih ringan dibandingkan dengan udara dan

memiliki nilai panas pembakaran antara 4800-6200 kkal/m3. Proses pencernaan

anaerob merupakan dasar dari reaktor biogas yaitu pemecahan bahan organik oleh
10

aktivasi bakteri metanogenik dan bakteri asidogenetik pada kondisi tanpa udara.

Bakteri ini secara alami terdapat dalam limbah yang mengandung bahan organik

sepeti kotoran binatang, manusia, dan sampah organik rumah tangga.

Pembentukan biogas oleh mikroba pada kondisi anaerob meliputi tiga tahap

proses yaitu:

a. Hidrolisis, pada tahap ini terjadi peruraian bahan-bahan organik mudah larut

dan bahan pencernaan bahan organik yang komplek menjadi sederhana,

perubahan struktur bentuk polimer menjadi bentuk monomer.

b. Asetogenesis, pada tahap ini komponen monomer (gula sederhana) yang

terbentuk pada tahap hidrolisis akan menjadi bahan makanan bagi bakteri

pembentuk asam. Produk akhir dari perombakan gula-gula sederahana ini

yaitu asam asetat propionat, format, laktat, alkohol dan sedikit butirat, gas

karbon dioksida, hidrogen dan amonia.

c. Metanogenik, pada tahap metanogenik terjadi proses pembentukan gas metan.

Bakteri pereduksi sulfat juga terdapat dalam proses ini, yaitu mereduksi sulfat

dan komponen sulfur lainnya menjadi sulfur sulfida. Pada tahap ini, bakteri

metanogenik membentuk gas metana secara anaerob. Gas metana diproduksi

dengan dua cara. Pertama adalah mengkonversikan asetat menjadi karbon

dioksida dan metana oleh organisme asetropik dan cara lainnya adalah

dengan mereduksi karbon dioksida dengan hidrogen oleh organisme

hidrogenotropik. Bakteri penghasil asam dan gas metan bekerja secara

simbiosis. Bakteri penghasil asam membentuk keadaan atmosfir yang ideal

untuk bakteri penghasil metan, sedangkan bakteri pembentuk gas metan

menggunakan asam yang dihasilkan bakteri penghasil asam. Bakteri ini akan
11

membentuk gas CH4 dan CO2 dari gas H2, CO2 dan asam asetat yang

dihasilkan pada tahap pengasaman (Khasristya, 2004).

Pola pembentukan biogas disajikan pada Ilustrasi 1.

Ilustrasi 1. Pola Pembentukan Biogas (Stanforth, 1979)

Ilustrasi 1 menggambarkan pola pembentukan biogas menutut Stanforth,

dkk (1979), berdasarkan teori klasik dari proses degradasi organik. Model tersebut

membagi proses degradasi menjadi 2 fase, yaitu :

a. Fase aerob, ditandai oleh likuifaksi dan hidrolisis materi organik, yang

mengakibatkan turunnya pH larutnya mineral-mineral (I dan II)

b. Fase anaerob, dibagi menjadi 2 tahap yaitu (III dan IV):

Tahap 1, setelah oksigen berkurang maka bakteri anaerob fakultatif menjadi

dominan, likuifasi terus berlangsung, sejumlah besar asam-asam volatil serta

CO2 akan dihasilkan dari sistem ini, dan materi anorganik akan lebih banyak

lagi larut, terutama karena turunnya pH.

Tahap 2, fase ini bisa berlangsung karena meningkatnya alkanitas, sehingga

pH menjadi naik, dan memungkinkan bakteri-bakteri metan dapat hidup. Asam-


12

asam volatil akan dikonversi menjadi metan dan CO 2, dan materi organik terlarut

menjadi berkurang karena kelarutannya menjadi berkurang akibat pH yang naik.

2.2. Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Biogas

Ada beberapa parameter yang mempenga ruhi produktivitas biogas yaitu

suhu, pH, kadar air, rasio C/N Nutrien / inokulum, dan pengadukan (Polprasert,

1983 (dalam Putri dan Sunar, 2015)).

Proses pembentukan biogas berlangsung dalam suhu yang berbeda dan

dibagi menjadi tiga kelompok suhu, yaitu psychrophilic (<25oC), mesophilic

(25oC-45oC), dan thermophilic (45oC-70oC). Terdapat hubungan antara suhu saat

proses pembentukan biogas dengan waktu yang dibutuhkan untuk substrat dalam

digester habis (retention time) disajikan pada Tabel 2. Semakin rendah tingkat

retention time yang dibutuhkan maka semakin cepat proses pembentukan biogas,

sehingga lebih efisien.

Tabel 2. Kelompok Suhu dan Retention Time


Kelompok Suhu Suhu Minimum retention time
Psychrophilic < 20oC 70 – 80 hari
Mesophilic 30oC - 42oC 30 – 40 hari
Thermophilic 43oC - 55oC 15 – 20 hari
Penggunaan suhu thermophilic pada proses pembentukan biogas memiliki

kelebihan dibandingkan dengan penggunaan suhu mesophilic atau psychrophilic.

Beberapa kelebihan tersebut diantaranya adalah, efektif membunuh patogen,

tingkat pertumbuhan metanogen lebih tinggi, waktu retention time lebih rendah,

proses degradasi bahan padat lebih baik, memisahkan bagian padat dan cair lebih

baik (Seadi, 2014).

pH merupakan nilai yang menunjukan tingkat keasaman atau alkalinitas

dari suatu larutan. Pada proses pembentukan biogas, pH mempengaruhi


13

pertumbuhan mikroorganisme sehingga nilai pH berpengaruh terhadap

keanekaragaman dan populasi mikroorganisme pada reaktor biogas (Baily dan

Ollis, 1986). Aspek-aspek metabolisme pada mikroba seperti tingkat penggunaan

karbon dan sumber energi, kemampuan mendegradasi substrat, sistesis protein

dan mineral, serta proses pembuangan sisa hasil metabolisme sangat dipengaruhi

oleh nilai pH (Gottschalk, 1986). Nilai pH dapat meningkat seiring dengan

jumlah amonia, sedangkan keberadaan VFA akan menurunkan nilai pH. Nilai pH

optimum pada proses pembentukan biogas adalah antara 7,0-8,0.

Amonia merupakan senyawa penting dalam proses pembentukan biogas

yang berasal dari degradasi protein. Konsentrasi amonia yang tinggi pada proses

pembuatan biogas dapat menghambat laju pembentukan biogas. Beberapa

mikroorganisme seperti metanogen juga sensitif terhadap amonia. Normalnya

konsentrasi amonia biogas dalam digester harus dibawah 80 mg/l. Semakin tinggi

suhu pada proses pembentukan biogas maka semakin tinggi kandungan

amonianya

Mikromineral seperti besi, nikel, kobalt, selenium, dan molibdenum memeliki

peranan penting sebagai faktor pemicu pertumbuhan dan ketahanan

mikroorganisme selama proses pembentukan biogas, sama pentingnya dengan

makronutrisi seperti carbon, nitrogen, fosfor, dan sulfur (C:N:P:S) dengan rasio

600:15:5:1. Imbangan yang tidak seimbang antara makro dan mikro nutrisi dapat

menyebabkan proses pembentukan biogas terhambat. Faktor lainnya yang

mempengaruhi proses pembentukan biogas adalah kandungan senyawa racun atau

anti nutrisi. Senyawa anti nutrisi tersebut dapat timbul akibat bawaan dari bahan

organik yang digunakan sebagai substrat biogas atau terbentuk selama proses

pembentukan biogas (Seadi, 2014).


14

2.3. Batu bara

Batu bara disebut batuan sedimen organik yang terdiri dari kandungan

berbagai macam mineral. Komposisi kimia batubara terdiri atas karbon, hidrogen,

oksigen, nitrogen, dan sulfur (Jordening, 2005), sedangkan batu bara disusun dan

diperkaya dengan berbagai macam polimer organik yang berasal dari lignin,

karbohidrat, dan material organik lainnya (Tirasonjaya, 2006).

Proses pembentukan batu bara diawali dengan proses dekomposisi dan

depolimerisasi sisa tumbuhan atau tumbuhan mati. Mikroorganisme yang terdapat

dalam batu bara memegang peranan yang penting pada proses biogenik sampai

terbentuk gambut dan selanjutnya berubah menjadi batu bara coklat atau brown

coal (Kussuryani, 2015). Gambut akan mengalami perubahan secara bertahap dan

bertambah kematangan material organiknya menjadi batu bara sub-bituminous

setelah mengalami pemanasan dan tekanan yang terus menerus dalam kurun

waktu yang lama (Kussuryani, 2015). Batu bara sub-bituminous berwarna hitam,

kurang kompak, nilai kalor cukup tinggi dengan kandungan karbon yang cukup

sedikit, kandungan air, sulfur, dan abu yang cukup banyak sehingga batu bara ini

menjadi sumber panas yang tidak efisien (Ratna, 2005).

American Standart Testing and Material (ASTM) membagi batu bara

menjadi 4 kelas yaitu anthracite, bituminous, subbitominous, lignite. Berikut

merupakan pembagian kelas batubara menurut ASTM,


15

Tabel 3. Klasifikasi Batu bara


Volatil
Caloric
Fixed e
Abbreviati value
Kelas Grup Karbon matter
on Btu/lb,
% dmmf %
mmmf
dmmf
Anthracite Metaanthracite Ma 98- -2
Anthracite An 92-98 2-8
Semi anthracite Sa 86-92 8-14
Bituminous Low volatile Lvb 78-86 14-22
Medium
Mvb 69-78 22-3 1
volatile
Highvolatile A HvAb -69 31- 14000-
13000-
HighVolatile B HvBb
14000
11500-
HighVolatile C HvCb
13000
Subbitumin Subbituminous 10500-
SubA
ous A 11500
Subbituminous 9500-
SubB
B 10500
Subbituminous
SubC 8300-9500
C
Lignite Lignite A LigA 6300-8300
Lignite B LigB -6300

2.4. Gas Metana Batu bara

Gas metana yang terbentuk dalam proses biodegradasi batu bara

merupakan hasil fermentasi secara anaerobik, yaitu proses perombakan suatu

bahan menjadi bahan lain dengan bantuan mikroorganisme tertentu dalam

keadaan tidak berhubungan langsung dengan udara bebas (Firdaus, 2007).

Gas metana batu bara dapat berasal dari luar maupun dari dalam batu bara.

Gas metana yang berasal dari luar umumnya disebut sebagai gas rawa yang

terperangkap di dalam pori-pori batu bara selama masa pembatubaraan. Gas

metana yang berasal dari dalam batu bara tersimpan dalam matriks berupa
16

senyawa organik berupa polimer kompleks yang terformulasi dalam bentuk

semacam gel dan kuantitasnya cukup besar. (Firdaus, 2007).

Proses pembentukan GMB terjadi melalui beberapa tahap. Pada tahap

awal pembentukan batu bara, metana biogenic terbentuk dari by-product respirasi

mikroba. Mikroba aerobic terlebih dahulu berperan dengan memanfaatkan

oksigen tersisa pada sisa tanaman dan sedimen. Setelah oksigen habis, barulah

mikroba anaerob bekerja dan menghasilkan metana melaluin konversi CO2 dan

degradasi kandungan organik pada batu bara (Rice dan Claypool, 1981 dalam

Pratama,2012).

Gas metana batu bara terbentuk secara alami melalui proses termogenik

yaitu pembentukan gas yang terjadi karena adanya suhu dan tekanan yang tinggi.

Proses termogenik memerlukan waktu yang sangat lama sehingga GMB akan

habis sebelum gasnya dapat diproduksi lagi secara termogenik (Syam, 2010).

Formasi gas metana yang terbentuk dari proses biogenik berasal dari dekomposisi

bahan organik batu bara yang digunakan sebagai substrat bagi bakteri metanogen

untuk memproduksi metana (Guo, 2012).

Mikroorganisme dapat tumbuh pada batu bara dengan menggunakan

bahan organik yang terkandung sebagai substrat. Mikroba komplek mendegradasi

C3, n-C4, cairan hidrokarbon, dan campuran organik padat yang terkandung dalam

batu bara, hingga tahapan terbentuknya biogas (Strapoc, 2008).

Beragam mikroorganisme berperan dalam proses pembentukan GMB,

seperti bakteri syntrophic yang mendegradasi molekul organik dari batu bara

menjadi asam organik dan asam lemak. Asam organik dan asam lemak tersebut

kemudian dimanfaatkan sebagai substrat untuk metanogen. Pada keadaaan aerob,

molekul organik pada batu bara dihidrolisis oleh aktivitas enzim ekstraseluler
17

yang dihasilkan oleh mikroba. Proses tersebut menghasilkan beberapa produk

seperti fumarat, isoprenoid, dan alkali rantai panjang yang kemudian dikonversi

menjadi asetat, asam lemak, metanol, hidrogen, dan CO2 dibawah kondisi anaerob

dan digunakan oleh metanogen sebagai substrat pembentukan metana

(Rudiansyah, 2011).

Schoeling dan McGovern (2002) mengungkapkan bahwa produksi GMB

dapat ditingkatkan melalui injeksi N dan CO 2 ke dalam lapisan batu bara melalui

celah sumur batu bara. Molekul N atau CO2 akan menggantikan molekul metana

di dalam celah dengan rasio ± 4:1. Metode lain yang dapat digunakan untuk

meningkatkan produksi GMB adalah melalui proses biostimulasi dan

bioaugmentasi yang dapat dilakukan secara in-situ atau ex-situ (Kusuryani, 2015).

Pingkan (2013), menungkapkan bahwa penambahawan Na-Asetat sebagai

stimulant menghasilkan produksi GMB hingga 5.034 mmol/g batu bara pada hari

ke 24, sedangkan penambahan methanol dan asam formic masing-masing

menghasilkan produksi GMB sebesar 4,377 mmol/g batu bara pada hari ke 24 dan

2,520 mmol/g batu bara pada hari ke 22.

2.5. Bakteri Anaerob


Bakteri anaerob adalah bakteri yang tidak menggunakan oksigen sebagai

elektron aseptor terakhir pada respirasinya (Nelson, 2004). Bakteri anaerob

memiliki kemampuan memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi,

sumber karbon, dan elektron aseptor terakhir pada respirasinya. Kemampuan

tersebut dapat dimanfaatkan sebagai agen bioremediasi di alam. Beberapa contoh

bakteri anaerob adalah Ruminococcus sp, Fibrobacter succinogenes, dan

Clostridium thermocellum yang diketahui terdapat pada rumen ruminansia.


18

Umumnya bakteri memerlukan sumber makanan yang mengandung C, H,

O, dan N untuk menyusun protoplasma. Sebagian bakteri memanfaatkan unsur

tersebut dalam bentuk eleman sedangkan sebagian lain dalam bentuk senyawa

organik seperti karbohidrat, protein, atau lemak (Dwidjoseputro, 2010).

Berdasarkan kebutuhan akan oksigen bakteri dibedakan menjadi bakteri

aerob obligat, anaerob fakultatif, anaerob aerotoleran, anaerob obligat, dan bakteri

mikroaerofilik. Bakteri aerob obligat adalah bakteri yang memerlukan oksigen

untuk pertumbuhannya, sedangkan anaerob obligat adalah bakteri yang hidup bila

tidak ada oksigen. Bakteri anaerob fakultatif merupakan bakteri yang dapat

tumbuh dengan atau tanpa oksigen, dan bakteri anaerob aerotoleran adalah bakteri

anaerob namun dapat tahan dengan keberadaan oksigen, sedangkan mikroaerofilik

adalah bakteri yang dapat hidup hanya bila tekanan oksigennya rendah.

Bakteri memiliki tiga bentuk utama yaitu, kokus yang berbentuk bulat,

basil berbentuk batang atau silinder dan spiril yang berbentuk lengkung. Bakteri

kokus dibagi menjadi enam jenis yaitu, micrococcus jika kecil dan tunggal,

diplococcus jika berantai dua, tetracoccus jika bergandengan empat membentuk

bujur sangkar, sarcina juka bergerombol membentuk kubus, staphylococcus jika

bergerombol, dan streptococcus jika membentuk rantai. Bakteri basil dibagi

menjadi dau jenis yaitu diplobacillus jika bergandengan dua-dua, dan

streptobacillus jika bergandengan membentuk rantai. Sama halnya dengan

bakteri basil, bakteri spiril juga dibagi menjadi dua jenis yaitu, vibrio jika

berbentuk lengkung kurang atau setengah lingkaran, dan spiral jika berbentuk

lengkung atau lebih dari setengah lingkaran.


19

2.6. Metanogen

Metanogen merupakan mikroorganisme yang memproduksi metana

sebagai akhir dari proses respirasinya. Metanogen memiliki tiga ciri utama yaitu,

obligat penghasil metana yang menghasilkan metana dalam kuantitas tinggi

selama proses pertumbuhan, bagian dari archaea yang termasuk kedalam filum

euryarchaeota, dan bersifat anaerob obligat.

Metanogen hanya dapat memanfaatkan jenis substrat tertentu untuk

memproduksi metana. Substrat tersebut terbagi menjadi tiga kelompok yaitu, CO 2

+ H2 dan format, komponen methyl, dan asetat. Kelompok tersebut masing-

masing diklasifikasikan menjadi hydrogenotrophs, methylotrophs, dan

acetotrophs. Komponen organik pada umumnya seperti karbohidrat, protein,

asam lemak rantai panjang dan alkohol bukan merupakan substrat untuk

metanogen, terkecuali beberapa jenis hydrogenotrophs yang dapat memanfaatkan

alkohol sekunder seperti, 2-propanol, 2-butanol, dan cyclopentanol sebagai

elektron (Bleicer, 1989; Frimmer dan Widdel, 1989; Widdel, 1986; Widdel 1988

dalam Liu, 2010).

Sampai saat ini metanogen diklasifikasikan kedalam lima ordo yaitu,

methanobacteriales, methanococcales, methanomicrobiales, methanosarcinales,

dan methnanopyrales (Whitman, 2001, 2006 dalam Liu, 2010). Metanogen hidup

dalam lingkungan yang anaerob seperti lapisan sedimen laut atau sungai,

tumpukan tanah, sistem pencernaan manusia dan hewan, digester anaerob, atau di

tempat anaerob lainnya (Liu dan Whitman, 2008). Pada lingkungan alamiah

metanogen, elektron aseptor seperti O2, NO3-, Fe3+, dan SO24- jumlahnya terbatas.

Pada saat elektron aseptor selain CO 2 tersedia maka metanogen akan terlepas dari

kompetisi dengan mikroba lainnya yang memanfaatkan elektron aseptor tersebut.


20

Methanobacteriales umumnya berbentuk batang dengan panjang 0,6-25

µm membentuk rantai atau filamen dengan panjang 40 µm. Merupakan bagian

dari gram positif dengan pseudomurein sebagai komponen utama pada dinding

selnya. Suhu optimum untuk methanobacteriales adalah 20 oC - 88 oC dengan pH

5,5-9. Methanobacteriales memanfaatkan H2 untuk mereduksi CO2 menjadi

metana, kecuali genus methanosphaera yang menggunakan H2 untuk mereduksi

metanol. Beberapa methanobacteriales juga dapat memanfaatkan format, CO,

atau alkohol sekunder sebagai elektron aseptor. Beberapa spesies tumbuh secara

autotrophically memanfaatkan CO2 sebagai sumber karbon tunggal dan beberapa

spesises lainnya merupakan heterotrophs yang membutuhkan asetat, asam amino,

pepton, yeast extract, B-vitamins, dan atau cairan rumen untuk tumbuh.

Methanococcales berbentuk coccus dengan diameter 1-3 µm, bersifat

gram negatif dan umumnya diisolasi dari lautan. Memiliki karakteristik

phenotypic yang memanfaatkan H2 atau format untuk mereduksi CO2 menjadi

metana. Pada umumnya bersifat autotrophically atau hanya memanfaatkan CO2

sebagai sumber karbon tunggal. Sulfida merupakan sumber utama pemenuhan

sulfur untuk methanococci, sedangkan nitrogen didapatkan dari reduksi amonium,

gas nitrogen, nitrat, dan alanin. Methanococci membutuhkan garam laut untuk

tumbuh optimum. Suhu optimum untuk methanococci adalah 35oC - 88oC

Methanomicrobiales memanfaatkan CO2 sebagai elektron aseptor dan H2 sebagai

elektron donor untuk memproduksi metana. Umumnya memanfaatkan format dan

alkohol sekunder sebagai alternatif H2 dan asetat sebagai sumber karbon.

Membutuhkan pH netral untuk tumbuh secara optimal. Methanomicrobiales

memiliki bentuk coccus, batang, dan batang terselubung. Methanosarcinales


21

merupakan spesies metanogen yang memanfaatkan kelompok methyl seperti

metanol, methylamines, atau methyl sulfide untuk memproduksi metana.

Methanopyrus kandleri merupakan satu-satunya metanogen yang sampai

saat ini diketahui dapat memproduksi metana pada keadaan suhu lebih dari 100 oC.

Methanopyrus kandleri mereduksi CO2 dengan H2 untuk membentuk metana dan

merupakan obligat chemolithoautotroph yang hanya memanfaatkan CO2 sebagai

sumber karbon. Memiliki bentuk sel batang dan termasuk kelompok gram

negatif. Memiliki dinding sel dua lapis, pada bagian dalam tersusun dari

pseudomurein yang mengandung ornithine dan lisin, sedangkan pada lapisan luar

bersifat sensitif oleh detergent dan mengindikasikan kandungan protein pada

lapisannya (Liu, 2010)

2.7. Medium Tumbuh Mikroba Anaerob

Medium tumbuh spesifik dibutuhkan untuk membuat pertumbuhan

mikroba optimal. Salah satu medium anaerob yang dapat digunakan adalah

medium 98-5 Bryan dan Robinson (1961) untuk anaerob. Medium 98-5 tersusun

dari larutan mineral 1, larutan mineral 2, agar, cairan rumen, glucose, cellubiose,

soluble starch, cystein, dan Na2CO3. Larutan mineral 1 dan 2, masing-masing

terdiri dari K2HPO2 dan akuades, dan NaCl, (NH4)2SO4, KH2PO4, CaCl2, MgSO4,

dan akuades. Larutan Resazurin 0,1% digunakan sebagai indikator anaerob atau

tidak pada medium (Ogimoto dan Imai, 1981).

2.8. Pertumbuhan Mikroba


Pertumbuhan mikroorganisme khususnya bakteri terjadi melalui empat

fase pertumbuhan yang terdiri dari, fase adaptasi (lag phase), fase pertumbuhan

(log phase), fase statis (stationary phase), dan fase penurunan populasi (decline
22

phase). Menurut Pelczar dan Chan (2010), pertumbuhan bakteri umumnya

mengacu pada pertambahan total massa sel bakteri.

Fase adaptasi merupakan fase penyesuaian bakteri terhadap lingkungan

tempat dia hidup. Lama waktu adaptasi dipengaruhi beberapa faktor seperti jenis

bakteri, umur biakan, dan nutrisi yang tersedia. Volk dan Wheeler (1981),

menyatakan bahwa pada fase ini bakteri tidak melakukan perkembangbiakan,

namun metabolisme sel meningkat dan terjadi perbesaran ukuran sel. Sel

mengalami perubahan komposisi kimia dan bertambah ukurannya serta terjadi

penambahan subtansi intraseluler (Pelczar dan Chan, 2010).

Fase pertumbuhan tercepat terjadi pada fase pertumbuhan atau log phase.

Ciri-ciri fase ini adalah perkembangbiakan bakteri berlangsung cepat, sel-sel

membelah, dan jumlahnya meningkat secara logaritmik sesuai dengan

pertambahan waktu. Pelczar dan Chan (2010), menjelaskan bahwa pada fase ini

sel membelah dengan laju dan aktivitas metabilsme yang konstan, pertambahan

massa dua kali lipat. Jenis bakteri tertentu menghasilkan senyawa metabolit

primer, seperti karbohidrat dan protein. Pada fase ini merupakan waktu terbaik

untuk membuat inokulum (Dwidjuseputro, 2010). Purwoko (2007), menyatakan

bahwa pada fase log phase dihasilkan senyawa seperti etanol, asam laktat, dan

asam organik lainnya.

Pada fase statis (stationer phase), beberapa sel mati sedangkan yang lain

tumbuh dan membelah dengan8 perbandingan yang sama (Pelczar dan Chan,

2010). Pada fase ini bakteri dapat menghasilkan senyawa metabolit sekunder,

seperti antibiotik, antioksidan, dan polimer (Purwoko, 2007; Volk dan Wheeler,

1981).
23

Fase terakhir adalah fase penurunan populasi atau kematian (decline

phase), sel yang mati lebih cepat dari pada sel yang terbentuk baru, laju kematian

mengalami percepatan menjadi eksponensial dan bergantung pada spesiesnya.

Semua sel mati dalam waktu beberapa hari atau beberapa bulan. Terjadi

penumpukan racun dan juga kehabisan nutrien (Pelczar dan Chan, 2010).

Penyebab utama kematian adalah autolisis sel dan penurunan energi seluler, selain

itu habisnya jumlah makanan dalam medium, juga menjadi penyebab terjadinya

penurunan jumlah bakteri pada fase ini (Volk dan Wheeler, 1981).

2.9. Viabilitas mikroba

Sly, 1983 (dalam Najmiyati dan Dominikus, 2012) mengungkapkan bahwa

viabilitas adalah kemampuan suatu isolat untuk tumbuh kembali.. Vibilitas

mikroba dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya merupakan suhu

penyimpanan (Najmiyati dan Dominikus, 2012).

2.10. Kandungan Feses Kerbau

Kerbau merupakan ternak ruminansia yang termasuk kedalam family

bovidae. Berdasarkan habitatnya kerbau digolongkan menjadi dua tipe yaitu,

kerbau rawa (swamp buffalo), dan kerbau sungai (River Buffalo). Kerbau rawa

memiliki koformasi tubuh yang padat dan luas dengan kaki yang pendek dan leher

panjang. Tanduk kerbau rawa melengkung ke atas dan memiliki dahi datar, muka

pendek dan moncong luas (Hasinah dan Handiwiriawan, 2006). Sama halnya

dengan sapi, pada sistem pencernaan kerbau terdapat mikroba sebagai agen utama

pencerna selulosa dan lignin dari bahan pakan berserat kasar tinggi.

Wahyudi dan Masduqie (2004), mengatakan bahwa pada cairan rumen

kerbau diketahui terdapat tujuh koloni mikroba selulolitik kelompok


24

Ruminococcus sp. Le Viet ly (1994), dan Panda (2010) menyatakan bahwa

jumlah bakteri pada cairan rumen kerbau adalah 1,89-2,34 x1010/ml cairan rumen,

yang terdiri dari berbagai bakteri seperti Succiniclasticum ruminis, Acetovibrio

cellulolyticus, Streptococcus sp., Ruminococcus callidus, Prevotella ruminicola,

Bacteroides fragilis, dan Treponema sp. Mikroorganisme pada rumen kerbau

yang berperan untuk mendegradasi bahan pakan akan terbawa ke proses

pencernaan selanjutnya. Beberapa mikroba rumen bahkan diketahui pula terdapat

pada feses kerbau tersebut. Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Bai (2012),

jumlah bakteri pada feses sapi mencapai 3,05 x 10 11 cfu/gr dan total fungi

mencapai 6,55 x 104. Prihantoro (2010), mengatakan bahwa pada feses kerbau

terdapat bakteri selulolitik yang lebih banyak dan beragam dibandingkan dengan

feses sapi.

2.11. Penyimpanan Starter Mikroba


Penyimpanan mikroba meliputi tujuan jangka pendek dan jangka panjang.

Penyimpanan jangka pendek dilakukan untuk keperluan rutin penelitian yang

disesuaikan dengan kegiatan program atau proyek tertentu. Penyimpanan jangka

panjang dilakukan dalam kaitannya dengan koleksi dan konservasi plasma nutfah

mikroba, sehingga apabila suatu saat diperlukan dapat diperoleh kembali atau

dalam keadaan tersedia (Machmud, 2001).

Penyimpanan mikroba pada prinsipnya adalah menghentikan atau

mengurangi laju penggunaan energi sel selama masa simpan sehingga mikroba

dapat diaktifkan kembali karena masih memiliki energi sel yang cukup atau viabel

(Bjerketorp dkk., 2006). Mikroba yang disimpan dalam bentuk beku atau pada

suhu di bawah 0oC tidak akan beraktifitas dan berkembang biak (dorman)
25

(Widiawati dan Winugroho, 2009). Penyimpanan isolat mikroba anaerob dalam

freezer maupun dalam refrigerator tidak merubah daya kerjanya. Hal ini

dimungkinkan karena suhu penyimpanan dari kedua model penyimpanan dapat

ditolerir oleh mikroba tersebut (Moore dan Carlson, 1975) dan di bawah suhu

yang diperlukan oleh mikroba tersebut untuk beraktivitas yaitu 39oC (Hungate,

1966).
26

III
BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1 Bahan dan Peralatan Penelitian

3.1.1 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah, sebagai berikut:
1. Feses kerbau 1 Kg
2. Batu bara Bituminous 12 gram
3. Cairan Rumen 100 ml
4. Gliserol Teknis 6 ml
5. Bahan Media Diperkaya dan Pengencer

A. Larutan pengencer no. 14 (Bryant dan Burkey, 1953)

1. Bahan Larutan Mineral I

a. K2HPO4 0,6 gram

b. Aquades 100 ml

2. Bahan Larutan Mineral II

a. NaCl 1,2 gram


b. (NH4)2SO4 1,2 gram

c. K2HPO4 0,6 gram

d. CaCl2 0,12 gram

e. MgSO4.7H2O 0,25 gram

f. Aquades 100 ml

3. Larutan Pengencer

a. Larutan Mineral I 7,5 ml

b. Larutan Mineral II 7,5 ml

c. Cysteine-HCl.H2O 0,05 gram


27

d. Na2CO3 0,3 gram

e. Larutan Resazurin 0,1% 0,1 ml

d. Aquades 100 ml

B. Media 98-5 (Ogimoto dan Imai, 1981)

1. Larutan Mineral I 7,5 ml

2. Larutan Mineral II 7,5 ml

3. Larutan Resazurin 0,1% 0,1 ml

4. Air destilasi 50 ml

5. Bactor-agar (oksoid) 2 gram

6. Cairan Rumen 40 ml

7. Glukosa 0,05 gram

8. Cellobiose 0,05 gram

9. Cysteine-HCl.H2O 0,03 gram

10. NaCO3 8% 5 ml

C. Larutan Buffer (Saliva Buatan)

1. Sampel 30 ml

2. Rumput lapang 0,27 gram

3. Konsentrat 0,67 gram

4. NaHCO3 4,9 gram

5. Na2HPO4 1,96 gram

6. KCl 0,29 gram

7. NaCl 0,24 gram

8. MgSO4.7H2O 0,06 gram

9. CaCl2.2H2O 0,026 gram

10. Aquades 500 ml


28

3.1.2 Alat Penelitian


Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah, sebagai berikut:
1. Botol serum 100 ml berfungsi untuk menampung larutan isolat dan media

98-5.

2. Botol serum 250 ml berfungsi untuk menampung larutan isolat dan media

diperkaya yang berisi bituminous.

3. Botol serum 10 ml berfungsi untuk menampung sampel pada pengamatan

jumlah asam lemak terbang.

4. Tabung falcon 15 ml berfungsi untuk pengenceran sampel.

5. Tabung Hungate berfungsi sebagai tempat perhitungan mikroba.

6. Rak tabung berfungsi sebagai tempat menyimpan tabung.

7. Labu Erlenmeyer 500 mL berfungsi untuk menampung larutan, cairan, dan

bahan yang digunakan.

8. Mikro pipet berfungsi untuk mengambil sampel larutan.

9. Baki air berfungsi untuk menyimpan air.

10. Beaker glass 250 mL berfungsi untuk preparasi media, tempat

pencampuran media 98-5 dengan aquades.


11. Alat strerilisasi berupa panci pengukus berfungsi untuk mensterilisasi

botol serum.

12. Inkubator berfungsi untuk menginkubasi peralatan dan sampel penanaman

mikroba anaerob pada suhu 37 ˚C.

13. Autoclave berfungsi untuk sterilisasi media yang akan digunakan.

14. Timbangan analitik berfungsi untuk mengukur sampel dengan ketelitian

0,01 gram.

15. Roll Tube berfungsi untuk memutar tabung agar medium padat ataupun

kultur mikroba dapat tersebar secara merata pada dinding tabung.


29

16. Sentrifuge berfungsi untuk sentrifugasi rumen.

17. Hot Plater Stirer 150˚C berfungsi sebagai alat pemanas dalam pembuatan

media.

18. Crimper berfungsi untuk mengencangkan tutup botol serum.

19. Alumunium foil berfungsi untuk membungkus botol serum berisi media

dan larutan pengencer yang akan disterillisasi.

20. Syringe berfungsi untuk menghisap dan menyuntikkan gas atau cairan.

21. Bottomed Flask berfungsi untuk mengumpulkan, menggabungkan, dan

mengukur cairan kimia.

22. Water Bath berfungsi untuk memanaskan air dan menciptakan suhu

konstan.

23. Termometer berfungsi untuk mengukur suhu air di penangas.

24. pH meter berfungsi untuk mengukur pH buffer.

25. Botol Scott berfungsi sebagai menyimpan rumen untuk media.

26. Tabung gas CO2 untuk membebaskan gas O2 dari larutan pengencer dan

media dengan mengalirkan CO2.

27. Ruang steril untuk tempat penanaman bakteri.

28. Needle Destroyer berfungsi untuk menghancurkan jarum syringe yang

telah terpakai.

29. Refrigerator sebagai tempat penyimpanan starter mikroba.

30. Freezer sebagai tempat penyimpanan starter mikroba.


30

3.2 Prosedur Penelitian


3.2.1 Sterilisasi Alat

1. Mencuci peralatan yang terbuat dari kaca, plastik dan stenless seperti

elenmayer, hungate, botol serum, termos dan falcon yang digunakan dalam

pengamatan menggunakan sabun hingga bersih dan keringkan hingga

kering.

2. Memasukkan semua peralatan yang telah dicuci ke dalam panci pengukus

selama 30 menit untuk peralatan yang tidak tahan suhu tinggi seperti botol

serum elenmayer, dan falcon.

3. Memasukkan peralatan yang telah dicuci ke dalam oven selama 15 menit

untuk yang tahan suhu tinggi seperti hunget dan botol scouth.

4. Mengeluarkan semua peralatan dengan hati-hati dan alat siap untuk

digunakan.

3.2.2 Sterilisasi Media

1. Memasukkan air ke dalam autoclave sampai pada batas yang ditentukan

jika air didalam autoclave kurang dari batas tersebut. Menggunakan air
destilasi yang bertujuan untuk menghindari terbentuknya karat dan kerak.

2. Memasukkan peralatan dan bahan.

3. Menutup autoclave dengan rapat lalu mengencangkan baut pengaman agar

tidak ada uap yang keluar dari bibir autoclave.

4. Menyalakan autoclave dan mengatur suhunya sampai 121oC dengan

tekanan 1 atmosfer dan waktunya selama 15 menit.

5. Mengeluarkan isi autoclave dengan hati-hati dan media siap digunakan.


31

3.2.3 Persiapan Sampel

A. Prosedur pengambilan feses

1. Menyiapkan termos stenless untuk tempat feses.

2. Mengambil feses segar dengan sarung tangan sebanyak ± 1 Kg.

3. Memasukan feses yang telah diambil kedalam termos serta ditutup rapat.

4. Memeras feses menggunakan kain kasa steril sebanyak 8 lapis, dan

diambil sebanyak 40 ml yang ditampung dalam gelas ukur.

5. Tutup menggunakan almunium foil hingga siap digunakan.

B. Prosedur in vitro

1. Mencacah rumput menjadi lebih kecil kemudian mencampurkannya

dengan konsentrat.

2. Memasukkan campuran pakan ke dalam botol serum volume 250 ml lalu

tutup dengan alumunium foil.

3. Menyiapkan larutan buffer dalam erlenmeyer 500 ml dengan

mencampurkan 500 ml air destilasi dan seluruh bahan kimia hingga

homogen (tidak terdapat butiran).

4. Membagi larutan buffer yang telah siap menjadi 3 bagian dengan masing-

masing bagian sebanyak 60 ml lalu masukkan ke dalam erlenmeyer 100

ml yang telah berisi sampel penelitian sebanyak 30 ml kemudian tutup

dengan alumunium foil.

5. Memasukkan gas CO2 ke dalam larutan campuran sampel dan buffer

hingga pH larutan mencapai 6,7 – 6,8 kurang lebih 10 menit.


32

6. Memasukkan larutan buffer dan sampel ke dalam botol serum 250 ml yang

telah berisi pakan yang telah disiapkan sebelumnya, kemudian masukkan

lagi gas CO2.

7. Menutup botol serum dengan crimping dan ditekan menggunakan crimper.

8. Mengaduk larutan campuran setiap 1 jam sekali agar larutan tidak

mengendap dan mengambil gas yang terbentuk dalam larutan setiap 2 jam

sekali. Untuk feses kerbau dilakukan uji in vitro selama 10 jam.

C. Prosedur Pembuatan Larutan Pengencer no. 14

1. Mencampurkan dan menempatkan larutan mineral 1 dan 2, air destilasi,

larutan resazurin, dan Cysteine-HCl di atas hot plate stirer pada setiap

tabung pengencer bersamaan dengan menambahkan gas CO2 hingga

larutan berubah warna dari biru, merah muda, kemudian bening.

2. Sterilisasi menggunakan autoclave dengan 15 lbs (121oC) selama 20

menit.

3. Menutup tabung dengan Butyl Rubber Stopper.

4. Menyimpan tabung dalam suhu ruang sebelum digunakan.

D. Prosedur Pembuatan Media 98-5 cair (Ogimoto dan Imai, 1981).

1. Memasukkan larutan mineral 1 dan 2, glucose, cellobiose, starch soluble,

air destilasi, dan cairan rumen kedalam labu erlenmeyer 500 ml.

2. Memanaskan larutan di atas Hot Plate Stirer hingga homogen dan

menambahkan gas CO2.

3. Menambahkan Na2CO3 8%, cysteine, dan larutan resazurin hingga kembali

berwarna seperti cairan rumen.


33

4. Memindahkan larutan media ke dalam tabung schott dan sterilisasi pada

suhu 1210C dengan tekanan 1 atm selama 15 menit.

5. Dinginkan media pada suhu ruang.

E. Prosedur Pembuatan Media 98-5 padat (Ogimoto dan Imai, 1981).

1. Memasukkan larutan mineral 1 dan 2, glucose, cellobiose, starch soluble,

air destilasi, dan cairan rumen kedalam labu erlenmeyer 500 ml.

2. Memanaskan larutan di atas Hot Plate Stirer hingga homogen dan

menambahkan gas CO2.

3. Menambahkan Na2CO3 8%, cysteine, larutan resazurin, dan bactor agar

hingga kembali berwarna seperti cairan rumen.

4. Mendistribusikan ke tabung hungate 10 ml dan sterilisasi pada suhu 1210C

dalam waktu 20 menit.

F. Prosedur Pengenceran dan Persiapan Perlakuan

1. Memasukkan 3,5 ml larutan media (sampel + buffer) dan 31,5 ml media

98-5 cair ke dalam tabung hungate volume 50 ml dan diinkubasi di dalam

inkubator 390C selama 7 hari.

2. Memasukkan 0,5 ml sampel dan 4,5 ml larutan pengencer no. 14 ke dalam

tabung pengencer volume 5 ml hingga didapatkan pengenceran 10-10.

3. Memindahkan 0,2 ml sampel dari tabung pengencer 10-10 ke tabung

hungate volume 10 ml yang berisi 10 ml media 98-5 padat dan diputar

menggunakan roller tube hingga media membeku.

4. Memasukkan sampel ke dalam inkubator 390C selama 7 hari dan hitung

jumlah bakteri anaerob.


34

5. Memasukkan 12 gram batu bara dan 100 ml media 98-5 cair ke dalam

botol serum volume 250 ml.

6. Memasukkan larutan isolat (media+sampel) dari proses adaptasi 2

sebanyak 6% dari media.

7. Menambahkan Gliserol PA sebanyak 6 ml ke dalam larutan isolat yang

disimpan pada suhu freezer.

G. Prosedur penyimpanan pada suhu Refrigerator

1. Menyimpan botol serum 250 ml berisi isolat, media, dan batu bara dari

persiapan perlakuan ke dalam refrigerator.

2. Melakukan pengamatan parameter jumlah bakteri dan biogas pada hari ke-

0, 7, 14, 21, 28, dan bulan ke-2, 3, 4.

H. Prosedur penyimpanan pada suhu Freezer

1. Menyimpan botol serum 250 ml berisi isolat, media, dan batu bara dari

persiapan perlakuan ke dalam freezer.

3. Melakukan proses thawing dengan memindahkan ke suhu ruang.

2. Melakukan pengamatan parameter jumlah bakteri dan biogas pada hari ke-

0, 7, 14, 21, 28, dan bulan ke-2, 3, 4.

3.2.4 Pengamatan Jumlah Bakteri Anaerob

1. Memasukkan sampel larutan isolat sebanyak 0,2 ml ke dalam tabung

hungate yang berisi media cair yang ditambah agar kemudian bebaskan

gas yang terdapat didalamnya.

2. Pemutaran media pada tabung hungate yang berisi sampel di Roll tube

selama 5-10 menit agar mendapatkan lapisan agar yang tipis pada dinding

tabung.
35

3. Menginkubasi sampel pada inkubator dengan suhu 390C selama 24 jam.

4. Melakukan penghitungan jumlah bakteri anaerob langsung pada tabung

hungate pada hari ke-0, 7, 14, 21, 28, dan bulan ke-2, 3 dan 4.

3.2.5 Pengamatan Total Produksi Biogas

1. Menyiapkan sampel dan diambil 1,5 ml dari hasil penyimpanan.

2. Kemudian siapkan 25 ml media 98-5 cair pada botol serum 100 ml, dan

ambahkan sampel yang telah diambil.

3. Memberikan gas CO2 kedalam media yang telah berisi sampel semala 5

menit.

4. Crimping botol serum yang tealah berisi media dan sampel dengan

crimper.

5. Menginkubaasi sampel pada inkubataor (39oC) selama 24 jam

6. Menarik biogas yang ada pada botol serum yang berisi sampel yang telah

diinkubasi menggunakan syringe 50 ml.

7. Melakukan pengamatan jumlah biogas yang dihasilkan.

8. Pengamatan dilakukan pada hari ke 0, 7, 14, 21, 28, dan bulan ke-2, 3 dan

4.

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati adalah pertumbuhan jumlah bakteri anaerob dan total

produksi biogas yang dihasilkan.

3.3.2 Analisis Data

Percobaan dilakukan dengan metode eksperimental menggunakan Uji t

tidak berpasangan (Gasperz, 1995) dan dianalisis dengan program SPSS versi 17.
36

Penelitian ini terdiri dari 2 perlakuan percobaan dengan setiap perlakuan terdiri

dari 5 ulangan dengan total unit percobaan sebanyak 10 unit yaitu:

Perlakuan 1 (P1) disimpan pada suhu 4oC di dalam refrigerator.

Perlakuan 2 (P2) disimpan pada suhu -20oC di dalam freezer.

Hipotesis

H0 : P1 = P2, artinya tidak terdapat perbedaan daya simpan pada suhu

penyimpanan 4oC di dalam refrigerator dan -20oC di dalam

freezer dilihat dari produksi total biogas dan jumlah bakteri

anaerob.

H1 : P2 > P1, artinya daya simpan pada suhu -20 oC di dalam freezer lebih

lama dibandingkan dengan penyimpanan pada suhu 4oC

di dalam refrigerator dilihat dari produksi total biogas

dan jumlah bakteri anaerob.

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan rumus sebagai berikut:


∑ xi
1. Rata-rata hitung x́=
n
x́=
∑ xi
n
Keterangan : x́ = rata-rata hitung
x i = nilai sampel ke-i
n = jumlah sampel

2. Simpangan Baku
1
s=
√ ∑ x 2− n ¿ ¿¿
Keterangan : s = simpangan baku
x = nilai sampel
37

n = jumlah sampel.
3. Koefisien Variasi (KV)
S
KV = × 100 %

Keterangan : KV = koefisien variasi
s = simpangan baku
x́ = rata-rata hitung

4. Menghitung varians dari masing-masing variabel


2 2
2 (∑ x ) 2 (∑ y )
2
∑ xi − n 2
∑ yi − n
S = x Sy =
n−1 n−1

Keterangan :
Sx2 = varian sampel disimpan pada suhu refrigerator

Sy 2 = varian sampel disimpan pada suhu freezer

xi = nilai sampel ke-i (sampel disimpan pada suhu refrigerator)

yi = nilai sampel ke-i (sampel disimpan pada suhu freezer)

x = nilai sampel (sampel disimpan pada suhu refrigerator)


y = nilai sampel (sampel disimpan pada suhu freezer)

n = jumlah sampel

5. Menghitung keseragaman
Variansyangbesar
Fα= ,(n1 −1; n 2−1)
Variansyangkecil
Jika : F hitung ≤ Fα = varians sama
F hitung > Fα = varians tidak sama
Keterangan :
Fα = keseragaman populasi
n1 = jumlah sampel yang disimpan pada suhu refrigerator
38

n2 = jumlah sampel yang disimpan pada suhu freezer

6. Untuk varians yang sama

1 1

S d́= Sp2
( +
n1 n2 )
Dimana:
( n1−1 ) s2 x+ ( n2−1 ) s2 y
Sp2=
n1+ n2−2

Keterangan:
S d́ = varians
Sp2 = varians gabungan sampel disimpan di suhu refrigerator dan suhu
freezer
s2 x = varians sampel disimpan di suhu refrigerator
s2 y = varians sampel disimpan di suhu freezer
x́ = rata-rata parameter sampel disimpan di suhu refrigerator
ý = rata-rata parameter sampel disimpan di suhu freezer

7. Untuk varians yang tidak sama

sx2 s y2 x́− ý
S d́=
√( +
n 1 n2 ) Statistik Uji :t=
S d́

Nilai t hitung yang diperoleh dibandingkan dengan nilai


t α (n −1) W 1 +t α (n −1 ) W 2
t ' α= 1 2

W 1 +W 2

sx2 s y2
W 1= dan W 2=
n1 n2

Keterangan:

t’α = t hitung pada pembanding α


t α (n −1)
1 = nilai t table baris α dan kolom sampel n1-1
39

t α (n −1)
2 = nilai t table baris α dan kolom sampel 21-1

W1 = rasio simpangan atau varians sampel yang disimpan pada suhu

refrigerator dengan jumlah sampelnya

W2 = rasio simpangan atau varians sampel yang disimpan pada suhu

freezer dengan jumlah sampelnya

Kaidah keputusan,

Jika t hitung ≤ t tabel maka H0 diterima.

Jika t hitung > t tabel maka H0 ditolak.

3.2.3 Tata Letak Penelitian

Tabel 3. Tata Letak Percobaan

1. 2. 3. 4. 5.

P1 P2 P1 P2 P2

6. 7. 8. 9. 10.

P2 P1 P1 P1 P2
Keterangan :
P = Perlakuan
40

IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Total mikroba anaerob

Pengujian terhadap viabilitas konsorsium mikroba asal feses kerbau

dengan media batu bara bituminous pada suhu penyimpanan yang berbeda dilihat

dari total bakteri anaerob yang di tumbuhkan pada media 98-5 dan diinkubasi

selama 24-48 jam pada suhu 39oC dalam inkubator. Pengamatan dilakukan pada

hari ke 7, 14, 21, 28, 60, 90, dan 120 dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel. 3 Pertumbuhan bakteri anaerob


Perlakuan
Hari P1 P2
-------------------( x 1012 cfu/ml) --------------------
0 25,10 25,10
7 4,59 4,93
14 5,27 2,86
21 2,11 1,82
28 2,09 2,06
60 2,93 1,84
90 3,42 3,21
120 3,17 4,54
Keterangan:
P1: penyimpanan pada suhu 4oC dalam refrigerator
P2: penyimpanan pada suhu -20oC dalam freezer

Berdasarkan tabel 3 tersebut, viabilitas konsorsium mikroba masih dapat

terjaga hingga bulan ke 4 di kedua perlakuan, dimana jumlah bakteri anarob pada

hari ke 120 di penyimpanan suhu 4oC dalam refrigerator (P1) sebanyak 3,17

x1012 cfu/ml, sedangkan pada penyimpanan pada suhu -20oC dalam freezer (P2)
41

sebanyak 4,54 x1012 cfu/ml. Hasil data tersebut di uji dengan uji t tidak

berpasangan, hasil analisisa yang lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1. Hasil

analisis menunjukan pengaruh suhu penyimpanan terhadap viabilitaas bakteri

anaerob yang disimpan pada P1 dan P2 selama empat bualan tidak ada perbedaan

nyata (P>0,05). Kedua perlakuan mengindikasikan bahawa starter konsosrsium

mikroba asal feses kerbau dengan media batu bara bituminous masih bisa

mempertahankan viabilitasnya dalam suhu penyimpanan tersebut.

Jumlah bakteri anaerob yang terdapat dalam perlakuan selaras dengan

pernyataan Prihantoro (2010), yang menyatakan bahwa pada feses kerbau terdapat

bakteri selulolitik yang lebih banyak dan beragam dibandingkan dengan feses

sapi, Dan didukung penelitain Bai (2012), dimana jumlah bakteri pada feses sapi

mencapai 3,05 x 1011 cfu/gr, sedangakan hasil perlakuan jumlah bakteri anareob

mencapai 1012 cfu/ml. Jumlah bakteri yang tumbuh dengan baik disokong

degan kondisi lingkungan serta nutrisi yang dapat dimanfaatkan oleh

bakteri tersebut. Menurut Sangyoka, dkk (2007), Isolat mikroba yang dibuat

dari feses kerbau dapat tumbuh dalam media batu bara dengan

memanfaatkan komponen organik yang terkandung di dalamnya. Hal ini

yang bisa menjadi penyebab tingginya jumlah bakteri anaerob dalam

perlakuan ini karena telah memanfaatkan kandungan nutrisi dari media 98-

5 dan batu bara bituminous.

Menijau dari hasil pengamatan pertumbuhan bakteri dapat dilihat bahwa

ada penurunan jumlah bakteri dari hari ke 0 atau belum masuk perlakuan ke hari

ke 7 baik penyimpanan pada refrigerator (4oC) maupun pada freezer (-20oC),

menurut Pelczar dan Chan (2010), menjelaskan kondisi ini merupakan fase

adaptasi (lag phase) atau penyesuaian bakteri terhadap lingkungan tempat dia
42

hidup. Lama waktu adaptasi dipengaruhi beberapa faktor seperti jenis bakteri,

umur biakan, dan nutrisi yang tersedia.

Bakteri yang dikembangkan pada penelitian ini merupakan metanogen

yang memiliki dua fase ketika disimpan dalam keadaan anaerob untuk

mengahsilkan biogas. Stanforth, dkk (1979) mengungkapkan bakteri metanogen

akan meningkat ketika suasana anaerob sudah mendukung yang ditandai dengan

berkurangnya kandungan oksigen yang menimbulkan berkembangnya bakteri

metana seiring dengan peningkatan kadar CO2 dan penurunan pH. Fase ini

terlihat pada pengamatan hari ke 14 dimana terjadi peningkatan populasi

bakteri anaerob pada penyimpanan reprigrator (4oC), namun pada penyimpanan

freezer (20oC) masih terjadi penurunan hal ini bisa disebakan oleh sifat metanogen

yang sensitif terhadap perubahan suhu yang ekstrim sedangkan metanogen

mampu tumbuh pada suhu 0-122oC (Jablonski, dkk., 2015). Hasil pengamatan dari

hari ke-21 hingga hari ke- 60 kedua perlakuan baik P1 maupun P2 diperoleh

jumlah bakteri anaerob yang cukup stabil rata-rata 2.34 x 1012 cfu/ml untuk P1

dan 1,91 x 1012 cfu/ml untuk P2.

Peningkatan jumlah bakteri anaerob pada hari ke- 90 terjadi pada kedua

perlakuan, P1 mencapai 3,42 x1012 cfu/ml dan P2 3,21 x 1012 cfu/ml. Pengamatan

pada hari ke-120 menjukan bahwa pada P1 mengalami penurunan menjadi 3,17 x

1012 cfu/ml, sedangkan pada P2 jumlah bakteri anaerobnya mengalami

peningkatan menjadi 4,54 x 1012 cfu/ml. walau setelaha di analisa menggunakan

uji t tidak berpasangan hasilnnya tidak ada perbedannya (P>0,05), namun ini bisa

menjadi indikasi bahwa penyimpanan pada rerigrator mulai mengalami

penuruanan pada bulan ke- 4.


43

Penuruna jumlah bakteri anaerob ini sesuai dengan penelitian Najmiyati

dan Dominikus (2012), yang menyataka bahwa penyimpanan konsorsium

mikroba pada suhu 4±0,5oC sudah kehilangan viabilitasnya jika disimpan lebih

dari 3 bulan. Hal tersebut disebabkan karena aktivitas metabolism mikroba masih

berjalan dan memerlukan nutrisi sehingga memerlukan penyegaran media jika

disimpan dalam waktu lebih dari 3 bulan penyimpanan, sedangkan mikroba yang

disimpan pada freezer (-20oC) akan dorman. Namun, metode penyimpann di

bawah suhu titik beku air akan memerlukan zat untuk melindungi sel mikroba

supaya menghindari terbentuknya kristal es di luar dan di dalam sel (ekstraseluler

dan intraseluler) yang menyebabkan rusaknya dinding sel mikroba. Pemberian

senyawa yang bersifat anti beku (cryoprotectant) seperti gliserol yang dapat

menurunkan titik beku suspensi sehingga pembentukan kristal es di dalam sel

mikroba dapat diminimalisir (Najmiyati dan Dominikus, 2012).

Berdasarkan suhu penyimpanan yang digunakan untuk menyimpan

konsorsium mikroba masih bias di tolelir, hal ini sesuai dengan penelitian Thalib

dan Widiawati (2010) mengungkapkan bahwa penyimpanan konsosrsium mikroba

pada suhu 4oC dan dibawah 0 oC masih dapat mempertahankan viabilitasnya

selama penyimpanan. Penelitian Widiawati dan Winugroho (2009)

mengungkapkan penyimpanan isolat mikroba rumen kerbau tidak merubah

kinerjanya dalam penyimpanan refrigerator maupun freezer. Hal ini bias

disebabkan kedua suhu penyimpanan dapat ditolelir oleh konsorsium mikroba

rumen kerbau tersebut (Moore dan Carlson, 1975) yang seharusnya memerlukan

suhu 39oC untuk mikroba dapat beraktivitas (Hungate, 1966).

Menurut Najmiyati dan Dominikus (2012) viabilitas konsorsium mikroba

dapat dipertahankan dengan cara dipelihara dan disimpang secara baik.


44

Penyimpanan ini bertujuan untuk meminimalisir aktifitas mikroba agar dapat

bertahan hingga waktu yang di tentukan. Dapat dinyatakan viabilitas konsorsium

mikroba asal feses kerbau dengan media batubara nituminous yang disimpan pada

suhu refrigerator (4 oC) maupun suhu freezer (-20 oC) masih dapat terjaga selama

penyimpanan 4 bulan dilihat dari total mikroba anaerob yang tumbuh.

4.2 Produksi Biogas

Biogas merupakan gas alami yang terbentuk melalui proses fermentasi

anaerob dari bahan organik dan kaya akan metana (Mirzha, 2008). Biogas

mengandung metana (CH4), gas karbon dioksida (CO2), gas nitrogen (N2), gas

hidrogen (H2), oksigen (O2), gas karbon monoksida (CO) dan hidrogen disulfida

(H2S) (Karellas dkk., 2010). Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 3

mengenai viabilitas konsorsium mikroba asal feses kerbau dengan media batubara

bituminous pada suhu penyimpanan yang berbeda terhadap produksi biogas,

menjukan bahwa tidak ada perbedaan nyata (P> 0,05) berdasarkan uji t tidak

bepasangan, yang dapat dilihat pada Lampiran 3. Baik penyimpanan P1 pada suhu

refrigerator (4oC) maupun P2 pada suhu freezer (-20 oC).

Tabel. 3 Produksi Biogas


Perlakuan
Hari P1 P2
 -------------------(ml) --------------------
0 29.00 29.00
7 37.20 38.80
14 25.20 37.80
21 18.60 25.00
28 27.00 31.00
60 22.20 30.80
90 18.20 29.80
120 35.40 36.00
Total 212.80 258.20
45

Rata-rata 26.60 32.28


Keterangan:
P1: penyimpanan pada suhu 4oC dalam refrigerator
P2: penyimpanan pada suhu -20oC dalam freezer
Penyimpanan konsorsium mikroba asal feses kerbau dengan media batu

bara bituminous selama 4 bulan pada suhu refrigerator (4oC) maupun P2 pada

suhu freezer (-20 oC) tidak berpengaruh negatif pada viabilitasnya. Hal ini dapat

dilahat dari hasil pengamatan pada Tabel 3, dimana isolat konsorsium mikroba

yang ditanam kembali pada media 98-5 masih menghasilkan gas. Haisl

pengamatan menujukan bahwa penyimpanan pada P1 menghasilkan rata-rata gas

selama penyimpanan 4 bulan sebesar 26,60 ml, sedangkan pada penyimpanan P2

sebesaar 32,28 ml. Perbedaan gas yang dihasilkan walau pun hasil P2 lebih besar,

namum berdasarkan hasil uji tidak berbedanya (P>0,05).

Produksi biogas pada Tabel 3 menujukan kedua perlakuan P1 dan P2

masih dihasilkan hingga hari ke- 120, memiliki produksi gas yang meningkat pada

hari ke 7 yaitu P1 sebesar 37,20 ml dan P2 sebesar 38,80 ml. Pingkan (2013)

menyatakan pada masa inkubasi 2 sampai 7 hari, proses pembentukan biogenik

biogas batu bara belum berperan signifikan terhadap total volume biogas yang

dihasilkan, sedangkan pada masa inkubasi 2 hingga 7 hari tersebut biogas yang

keluar adalah proses termogenik biogas batu bara.

Gas metana batu bara terbentuk secara alami melalui proses termogenik

yaitu pembentukan gas yang terjadi karena adanya suhu dan tekanan yang tinggi.

Proses termogenik memerlukan waktu yang sangat lama sehingga GMB akan

habis sebelum gasnya dapat diproduksi lagi secara termogenik (Syam, 2010).

Formasi gas metana yang terbentuk dari proses biogenik berasal dari dekomposisi

bahan organik batu bara yang digunakan sebagai substrat bagi bakteri metanogen

untuk memproduksi metana (Guo, 2012).


46

Hasil penelitian menunjukkan mengindikasikan bahwa penambahan batu

bara bituminous pada konsorsium mikroba asal feses kerbau dan media mampu

meningkatkan jumlah biogas. Terdapatnya batubara bituminous akan

memperpanjang proses pembentukan biogas. Hal ini dikarenakan batu bara

bituminous akan berstimulus dengan larutan isolate dan media cair melalui

pemanfaatan mikroorganisme anaerob yang terdapat pada cairan rumen

(Kussuryani dan Kosasih, 2015).

Media atau cairan rumen yang digunakan menurt Hungate (2000),

memiliki konsorsium mikroorganisme yang menggandung bakteri metanogen

yang berpotensi mendegradasi batu bara dan mencerna lignin. Mikroorganisme

anaerob mampu tumbuh pada batu bara dengan mendagradasi karbon, cairan

hidrokarbon, dan campuran organik padat yang terkandung dalam batu bara

sehingga dapat terbentuk biogas (Strapoc dkk., 2008).

Batu bara bituminous memiliki kandungan kandungan karbon sebanyak

45-85%, yang dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme anaerob sebagai sumber

energi (Gunnerson dan Stuckey, 1986). Kussuryani dan Kosasih (2015),

melaporkan semakin banyak jumlah cairan rumen yang ditambahkan ke dalam

batu bara, semakin besar pula produksi gas metana yang dihasilkan karena ada

peningkatan jumlah mikroorganisme anaerob yang mendagradasi komponen

organik pada batu bara menjadi gas metana.

Viabilitas konsorsium mikroba dari kedua perlakuan tidak berpengaruh

negatif terhadap pembentukan biogas, dimana darti Tabel 3, menujukan bahwa

kedua perlakuan masih bisa menghasilkan gasa pada bulan ke- 4. Penelitian

widiawati dan winugroho (2009) menujukan bahwa aktivitas isolate mikroba

rumen kerbau yang disimpan pada suhu rendah selama 8 bulan tidak berpengaruh
47

negatif pada aktivitas mikroba. Penanaman kembali isolate bakteri yang tealh di

simpan menujukan bahawa kemampuan viabilitas konsorium dalam mencerna

substratnya masih baik. Hasil hasil yang diperoleh dari penyimpanan refrigerator

(4oC) dan freezer (-20 o C) ketika ditanam kembali masih bisa memproduksi gas

dan bisa dijadikan starter dengan kemampuan yang masih baik walau disimpan

selama 4 bulan.
48

V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Penyimpanan pada suhu 4oC didalam refrigerator dan pada suhu (-20)oC

didalam freezer masih mampu mepertahankan viabilitas konsorsium

mikroba asal feses kerbau dengan media batu bara bituminus selama 4

bulan dilihat dari pertumbuhan bakteri anaerob dan produksi biogas yang

dihasilkan.

2. Konsorsium mikroba asal feses kerbau dengan media batu bara bituminus

pada penyimpanan refrigerator maupun freezer memiliki viabilitas yang

sama selama 4 bulan dilihat dari pertumbuhan bakteri anaerob dan

produksi biogas yang dihasilkan.

5.2 Saran

Untuk penelitian lebih lanjut agar mengetahui batas maksimal kemampuan

viabilitas konsorsium mikroba feses kerbau dengan media batu bara bituminous
pada penyimpanan suhu rendah yang berbeda disarankan untuk mengamatinya

selama 8 atau hingga 2 tahun.


49

RINGKASAN

Penelitian mengenai potensi isolat konsorsium bakteri feses sapi perah


pada batu bara sub-bituminous terhadap jumlah bakteri, jumlah asam lemak
terbang, dan biogas dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan Penanganan
Limbah Peternakan Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran dan analisis
jumlah asam lemak terbang dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak
Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas
Padjadjaran pada April-Mei 2017. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
bagaimana pengaruh isolat cairan feses sapi perah dan batu bara sub-bituminous
terhadap jumlah bakteri, jumlah asam lemak terbang, dan jumlah biogas. Hasil
dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi mengenai bagaimana
pengaruh penggunaan campuran isolat konsorsium bakteri feses sapi perah
dengan batu bara sub-bituminous terhadap jumlah bakteri, jumlah asam lemak
terbang dan jumlah biogas.
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari lima perlakuan (konsentrasi
2%, 4%, 6%, 8% dan 10%) dan tiga kali pengulangan yang kemudian dilanjutkan
dengan Uji Tukey. Untuk mencari pola kecenderungan tertentu dari respon yang
diberikan oleh setiap perlakuan dilakukan Uji Polinomial Ortogonal. Peubah yang
diamati terdiri dari jumlah bakteri, jumlah asam lemak terbang, dan jumlah biogas
yang dihasilkan.
Hasil penelitian menunjukan bahwa dari setiap perlakuan dengan
konsentrasi berbeda (2%, 4%, 6%, 8% dan 10%) terhadap jumlah bakteri dan
jumlah biogas memberikan pengaruh yang sama pada setiap perlakuan (P<0,05).
Hasil analisis polinomial ortogonal tidak memberikan pola kecenderungan
50

tertentu dari setiap respon yang diberikan. Pemberian larutan isolat konsorsium
bakteri feses sapi perah dengan konsentrasi berbeda (2%, 4%, 6%, 8%, dan 10%)
terhadap jumlah asam lemak terbang memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05).
Untuk mengetahui pola kecenderungan tertentu dari respon yang diberikan maka
dilakukanl Uji Polinomial Ortogonal, pada jumlah asam lemak terbang hasil
analisis menunjukkan pola kuadratik dengan perlakuan tertinggi yaitu 6%.
51

DAFTAR PUSTAKA

Aditiawati, P., A. Pujobroto. I. Rudiansyah, and H. Rahmadi. 2013. Effects of


Stimulants on Biogenic Methane Formation and Dynamics of Bacterial
Population. J. Math. Fund. Sci, 45.3. pp. 274-285.

Arora, S. P. 1989. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Dalam Pamungkas, D.


Y. N. Anggraeni, Kusmartono, dan N. H. Khrisna. 2008. Produksi Asam
Lemak Terbang dan Amonia Rumen Sapi Bali pada Imbangan Daun Lamtoro
(L. leucochepala) dan Pakan Lengkap yang Berbeda. Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner. p. 197-204.

Bryant, M. P. and L. A. Burkey. 1953. Cultural Methods And Some


Characteristics Of Some Of The More Numerous Groups Of Bacteria Of In
The Bovine Rumen. Journal of Dairy Science. 36, 205-207.

Bryant, M. P. and Robinson, I. M. 1961. An Improved Nonselective Culture


Medium for Ruminal Bacteria and It’s Use in Determining Diurnal Variation
in Numbers of Bacteria in The Rumen. Journal of Dairy Science. 44. p. 1446-
1456.

Bryant, M. P. 1970. Microbiology of The Rumen. Dalam Suwandi. 1997. Peranan


Mikroba Rumen pada Ternak Ruminansia. Lokakarya Fungsional Non
Peneliti. Balai Penelitian Ternak. Ciawi.

Chadwik, D., S. Sommer,R. Thorman, D. Fangueiro, L. Cardenas, B. Amon, and


T. Misselbrook. 2011. Manure Management : Implications for Greenhouse
Gas Emissions. Journal of Animal Feed, Science, and Technology. No. 18.

Chutikul, K. 1975. Ruminant (Buffalo) Nutrition. Proceeding of The Asiatic Water


Buffalo. Food and Fertilizer Technology Center. Taipei.

Czerkawski, J. E. 1986. An Introduction to Rumen Studies. In Pamungkas, D,Y.


N. Anggraeni, Kusmartono, dan N. H. Khrisna. 2008. Produksi Asam Lemak
Terbang dan Amonia Rumen Sapi Bali pada Imbangan Daun Lamtoro (L.
leucochepala) dan Pakan Lengkap yang Berbeda. Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner. p. 197-204.

Ellin Harlia dan D. Suryanto. 2011. Isolasi Bakteri Kotoran Sapi Perah secara
Kuantitatif dan Kualitatif. Universitas Padjadjaran. Sumedang.
52

Firdaus, I. U. 2007. Keuntungan Biogas. Dalam Kussuryani, Y. dan Kosasih.


2015. Media Rumen untuk Meningkatkan Produksi Gas Metana Batubara.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi.
M&E, Vol.13, No.1.

Guo, H., Z. Yu, R. Liu, H. Zhang, Q. Zhong, and Z. Xiong. 2012. Methylotropic
Methanogenesis Governs the Biogenic Coal Bed Methane Formation in
Eastern Ordos Basin, China. Journal of Applied, Microbiology, and
Biotechnology. 96, pp.1587-1579.

Gasperz, V. 1995. Teknik Analisis Data Penelitian Percobaan, Jilid I. Bandung:


Tarsito.
Glenn, A. C. 1985. Livestock Waste Facilities : Midwest Plan Service. In
Puspitasari, R. Muladno. A. Atabany, dan Salundik. 2015. Produksi Gas
Metana (CH4) dari Feses Sapi FH Laktasi dengan Pakan Rumput Gajah dan
Jerami Padi. Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan. Vol. 03.
No. 1. p. 40-45.
Gunnerson, C.G., and Stuckey, D.C., 1986. Anaerobic Digestion: Principles and
Practices for Biogas System. The World Bank. Washington, D.C., USA.

Harahap, F. M. 1978. Teknologi Gas Bio. Pusat Teknologi Pembangunan ITB.


Bandung.

Hungate. R. E. 1996. The Rumens and It’s Microbes. Academic Press. New York.

Jones, E. J. P., M. A. Voytek, P. D. Warwick, M. D. Corum, A. Cohn, J. E.


Bunnell, A. C. Clark, and W. H. Orem. 2008. Bioassay for Estimating the
Biogenic Methane-generating Potential of Coal Samples. International
Journal of Coal Geol. Vol. 76. p. 138-150.

Jones, E. J. P., M. A. Voytek, M. D. Corum, and H. W. Orem. 2010. Stimulation


of methane generation from nonproductive coal by addition of nutrients or a
microbial consortium. Journal of Applied and Environmental Microbiology.
Vol. 76 no. 21. Nov. 2010. P. 7013-7022.

Jordening, H. J. 2005. Environmental Biotechnology Concepts and Application. In


Wise, L. D. Bioprocessing and Biotreatment of Coal. Marcel Dekker Inc.
New York.

Kussuryani, Y. dan Kosasih. 2015. Media Rumen untuk Meningkatkan Produksi


Gas Metana Batubara. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi
Minyak dan Gas Bumi. M&E, Vol. 13, No. 1.
53

Li, K.,H. Zhu,Y. Zhang, and H. Zhang 2017. Characterization of the Microbial
Communities in Rumen Fluid Inoculated Reactors for the Biogas Digestion of
Wheat Straw. Basel. Sustainability Journal. Vol. 9. No. 243.

Nurtjahya, Eddy. 2003. Pemanfaatan Limbah Ternak Ruminansia untuk


Mengurangi Pencemaran Lingkungan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Ogimoto, K. and S. Imai. 1981. Atlas of Rumen Microbiology. JSSP. Tokyo.

Padmono, D. dan J. P. Susanto. 2007. Biogas sebagai Energi Alternatif antara


Mitos dan Fakta Ilmiah. Jurnal Teknik Lingkungan Vol. 8, No. 1, 34-42.

Pamungkas, D.,Y. N. Anggraeni, Kusmartono, dan N. H. Khrisna. 2008. Produksi


Asam Lemak Terbang dan Amonia Rumen Sapi Bali pada Imbangan Daun
Lamtoro (L. leucochepala) dan Pakan Lengkap yang Berbeda. Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. p. 197-204.

Purbowati, E.,E. Rianto,W. Y. Dilaga,C. M. S. Lestari, dan R. Adiwinarti. 2014.


Karakteristik Cairan Rumen, Jenis, dan Jumlah Mikrobia dalam Rumen Sapi
Jawa dan Peranakan Ongole. Buletin Peternakan. Vol. 38. No. 1. p. 21-26.

Puspitasari, R., Muladno, A. Atabany, dan Salundik. 2015. Produksi Gas Metana
(CH4) dari Feses Sapi FH Laktasi dengan Pakan Rumput Gajah dan Jerami
Padi. Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan. Vol. 03. No. 1.
p. 40-45.

Ratna, 2010. Klasifikasi Batubara. Dalam Pratama, Byan Muslim. 2012. Estimasi
Potensi Kapasitas Adsorpsi Gas Metana pada Batubara Berdasarkan Kelas
Batubara. Universitas Indonesia. Depok.

Rudiansyah, I. 2012. Stimulation of Biogenic Methane Formation in Coal Bed


Methane Production and Analysis of Bacterial Community Using
Denaturated Gradient Gel Electrophoresis Method (Bachelor thesis). School
of Life Sciences and Technology, Bandung Institute of Technology.
Bandung.

Saputri, Y. F., T. Yuwono, dan S. Mahmudsyah. 2014. Pemanfaatan Kotoran


Sapi untuk Bahan Bakar PLT Biogas 80 KW di Desa Babadan Kecamatan
Ngajum Malang. Jurnal Teknik Pomits Vol. 1, No. 1, (2014) 1-6.

Sobarin, O., R. I. P. Yunitha, E. Sukiyah, dan E. Sunardi. 2013. Prediksi


Kandungan Gas Metana Batubara Berdasarkan Formula “KIM” dengan
Studi Kasus di Indonesia Bagian Barat. Jurnal Ilmu-ilmu Hayati dan Fisik
Vol. 15, No. 2, (2013) 139-144.
54

Strapoc, D. P. Flynn, T. Courtney, S. Irene, M. Jennifer, S. L. Julius, L. Yu Shih,


F. E. Tobias, S. Florence, H. Kai Uwe, M. Maria, and S. Arndt. 2008.
Methanogenic Microbial Degradation of Organic Matter in Indiana Coal
Beds. Journal of Applied and Environmental Microbiology. Vol. 74, p. 2424-
2432.

Sutardi, T., N. A. Sigit, dan T. Toharmat. 1983. Standarisasi Mutu Protein Bahan
Makanan Ruminansia Berdasarkan Parameter Metabolismenya oleh
Mikroba Rumen. Fakultas Peternakan, IPB. Bogor.

Suwandi. 1997. Peranan Mikroba Rumen pada Ternak Ruminansia. Lokakarya


Fungsional Non Peneliti. Balai Penelitian Ternak. Ciawi.

Syam, Iqbaludin Emanirus. 2012. Analisis Gas Content Coalbed Methane dengan
Metode Desorption Test pada Sumur CBM “X” Kecamatan Tenggarong,
Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. UPN Veteran
Yogyakarta. Yogyakarta.

Tirasonjaya, F. 2006. Batubara Sumber Energi Alternatif. Dalam Kussuryani, Y.


dan Kosasih. 2015. Media Rumen untuk Meningkatkan Produksi Gas Metana
Batubara. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas
Bumi. M&E, Vol. 13, No. 1.

Van Soest, J.P. 1994. Nutritional Ecology of Ruminant. 2nd Edition. Cornell
University Press.

Wolfe, R. 1971. Microbial Formation of Methane. Adv. Microb. Physiol. Vol. 6.


p. 107-146.
55

LAMPIRAN
56

Lampiran 1. Data dan Analisis Statistika Jumlah Bakteri


1. Data Jumlah Bakteri
Ulangan Perlakuan
P1 P2 P3 P4 P5
  …………..……...….cfu/ml (1010)…………………………
1 12,72 12,71 12,77 12,61 12,74
2 12,76 12,89 12,81 12,83 12,73
3 12,70 12,76 12,85 12,66 12,73
Total 38,19 38,36 38,44 38,10 38,21
Rata-rata 12,73 12,78 12,81 12,70 12,73

2. Analisis Sidik Ragam

(Y ..)2
FK =
pu

(191,3)2
=
5x3

= 2439,71

JK Total = ΣY 2ij – FK

= 0,075257

Y 21+ … ..+Y 2t
JK Perlakuan = – FK
u

38,192+ 38,362+ 38,442 +38,102 +38,212


= – 2439,71
3

= 0,025925
JK Galat = JK Total – JK Perlakuan

= 0,075257 – 0,025925

= 0,049332
57

JK Perlakuan
KT Perlakuan =
p−1

0,025925
= = 0,006481
5−1
JK Galat
KT Galat =
p(u−1)

0,049332
= = 0,004933
5 (3−1)
KT Perlakuan
F hit =
KT Galat

= 1,313807

3. Tabel Sidik Ragam


Sumber
Keragama
n JK Db KT Fhitung P-value Ftabel
3,4780
Perlakuan 0,025925 4 0,006481 1,313807 0,329506 5
Galat 0,049332 10 0,004933
Total 0,075257 14        
Keterangan: Fhitung > F0,05 (significant)

Lampiran 2. Data dan Analisis Statistika Jumlah Asam Lemak Terbang


1. Data Jumlah Asam Lemak Terbang
Ulangan Perlakuan
P1 P2 P3 P4 P5
  …………..……...…..mM......…………………………
1 134 146,5 153,5 129,5 112
2 132 143,5 151 125,5 110
58

3 127,5 139 148 129 134


Total 393,5 429 452,5 384 340
Rata-rata 131,2 143 150,8 128 113,3

2. Analisis Sidik Ragam

(Y ..)2
FK =
pu

(1999)2
=
5x3

= 266400,06
JK Total = ΣY 2ij – FK

= 2608,433

Y 21+ … ..+Y 2t
JK Perlakuan = – FK
u

393,52+ 4292 +452,5 2+384 2 +3402


= – 266400,06
3

= 2498,433
JK Galat = JK Total – JK Perlakuan

= 2608,433 – 2498,433

= 110
JK Perlakuan
KT Perlakuan =
p−1

2498,433
= = 624,6083
5−1
JK Galat
KT Galat =
p(u−1)
59

110
= = 11
5(3−1)
KT Perlakuan
F hit =
KT Galat

= 56,78258

3. Tabel Sidik Ragam Asam Lemak Terbang


Sumber
Keragaman JK Db KT Fhitung P-value Ftabel
7,72E-
Perlakuan 2498,433 4 624,6083 56,78258 07 3,47805
Galat 110 10 11
Total 2608,433 14        
Keterangan: Fhitung > F0,05 (significant)

4. Tabel Analisis Sidik Ragam Polinomial Ortogonal Asam Lemak Terbang

Jumlah
Derajat
P1 P2 P3 P4 P5 Kuadrat
Polinomial
Koefisien

  393,5 429 452,5 384 340  


Linier -2 -1 0 1 2 10
Kuadratik 2 -1 -2 -1 2 14
Kubik -1 2 0 -2 1 10
Kuartik 1 -4 6 -4 1 70

5. Grafik Polinomial Ortogonal Jumlah Asam Lemak Terbang


60

Chart Title
160

140 f(x) = 2.73 x⁴ − 31.74 x³ + 120.19 x² − 167.51 x + 207.5


R² = 1
120

100

80

60

40

20

0
1 2 3 4 5

Lampiran 3. Data dan Analisis Statistika Jumlah Volume Biogas


1. Data Jumlah Volume Biogas
Ulangan Perlakuan
P1 P2 P3 P4 P5
  …………..……..... mL .....…………………………
1 47,5 46 43,7 49 49,5
2 57,5 41,5 53,5 39,5 50,5
3 33,2 32,2 34,7 27 40
Total 138,2 119,7 132 115,5 140
Rata-rata 46,1 39,9 44 38,5 46,6

2. Analisis Sidik Ragam

(Y ..)2
FK =
pu

(645,4)2
=
5x 3

= 27769,41
61

JK Total = ΣY 2ij – FK

= 1042,9833

Y 21+ … ..+Y 2t
JK Perlakuan = – FK
u

138,22+119,7 2 +1322+115,5 2 +1402


= – 27769,41
3

= 161,10833
JK Galat = JK Total – JK Perlakuan

= 1042,9833 – 161,10833

= 881,875

JK Perlakuan
KT Perlakuan =
p−1

161,10833
= = 40,277083
5−1
JK Galat
KT Galat =
p(u−1)

881,875
= = 88,1875
5 (3−1)
KT Perlakuan
F hit =
KT Galat

= 0,456721
3. Tabel Sidik Ragam
Sumber
Keragaman JK Db KT Fhitung P-value Ftabel
Perlakuan 161,1083 4 40,27708 0,456721 0,765942 3,47805
Galat 881,875 10 88,1875
Total 1042,983 14        
Keterangan: Fhitung < F0,05 (non significant)
62

Lampiran 4. Dokumentasi Penelitian

Gambar 1. Larutan Mineral I dan II

Gambar 2. Media 98-5


63

Gambar 3. Larutan Pengencer

BIODATA

Penulis bernama lengkap Raka Rahmatulloh, dilahirkan di Bandung pada Tanggal


22 September 1995 dari pasangan Iwan Achmad Koswandi dan R. Kuswardini.
Pada tahun 2007 penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri
Sukaluyu I Bandung dan pada tahun 2010 penulis menyelesaikan pendidikan di
Sekolah Menengah Pertama Negeri 27 Bandung. Kemudian pada tahun 2013
penulis penyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas Negeri 14 Bandung,
pada tahun yang sama penulis terdaftar sebagai Mahasiswa Program Studi Ilmu
Peternakan Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Sumedang.

Anda mungkin juga menyukai