Anda di halaman 1dari 30

KEPEMIMPINAN KEPERAWATAN DALAM

PELAYANAN KESEHATAN
“ Decision Making, problem Solving dan Critical Thinking “

Kelompok

1. Tri Herwanto
2. Rina Yulianti
3. Eni Nuryani
4. Muhamad Syofwan Syarif Rizqon
5. Hadi Suweko

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG, 2018
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sistem kesehatan memiliki hubungan yang erat dengan
pembangunan kesehatan. Sistem kesehatan memiliki tujuan untuk dapat
menilai dan fokus memberikan kemanfaatan kepada mayarakat. Manfaat yang
diberikan didistribusikan dengan adil. Sektor kesehatan memiliki peran yang
sangat penting karena mampu menyerap banyak sumber daya dan pembangkit
perekonomian melalui inovasi dan investasi di bidang teknologi medis atau
produksi dan penjualan obat-obatan, atau dengan menjamin populasi yang
sehat dan produktif secara ekonomi.
Keperawatan adalah bagian integral dari kesehatan. Keperawatan
sebagai sebuah profesi telah mengalami berbagai perkembangan ketika
profesi ini berusaha untuk memenuhi tuntutan masyarakat dan mencoba
menyetarakan diri pada MEA mendatang. Keperawatan dalam menghadapi
perkembangan dan perubahan yang terjadi perlu melakukan pengambilan
keputusan yang cepat dan tepat. Proses pengambilan keputusan yang cepat
dan tepat dilakukan agar eksistensi dan profesionalitas organisasi
keperawatan beserta administrasi dan pendukungnya dapat berjalan terus
dengan lancar.
Perawat sebagai salah satu jenis tenaga kesehatan yang
memberikan pelayanan kesehatan langsung baik kepada individu, keluarga
dan masyarakat. Sebagai salah satu tenaga profesional, keperawatan
menjalankan dan melaksanakan kegiatan praktek keperawatan dengan
mengunakan ilmu pengetahuan dan teori keperawatan yang dapat
dipertanggung jawabkan. Dimana ciri sebagai profesi adalah mempunyai
body of knowledge yang dapat diuji kebenarannya serta ilmunya dapat
diimplementasikan kepada masyarakat langsung.
Pelayanan kesehatan dan keperawatan yang dimaksud adalah
bentuk implementasi praktek keperawatan yang ditujukan kepada pasien/klien
baik kepada individu, keluarga dan masyarakat dengan tujuan upaya
peningkatan kesehatan dan kesejahteraan guna mempertahankan dan
memelihara kesehatan serta menyembuhkan dari sakit, dengan kata lain
upaya praktek keperawatan berupa promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitasi.
Dalam melakukan praktek keperawatan, perawat secara langsung
berhubungan dan berinteraksi kepada penerima jasa pelayanan, dan pada saat
interaksi inilah sering timbul beberapa hal yang tidak diinginkan baik
disengaja maupun tidak disengaja, kondisi demikian inilah sering
menimbulkan konflik baik pada diri pelaku dan penerima praktek
keperawatan. Oleh karena itu profesi keperawatan harus mempunyai standar
profesi dan aturan lainnya yang didasari oleh ilmu pengetahuan yang
dimilikinya, guna memberi perlindungan kepada masyarakat. Dengan adanya
standar praktek profesi keperawatan inilah dapat dilihat apakah seorang
perawat melakukan malpraktek, kelalaian ataupun bentuk pelanggaran
praktek keperawatan lainnya.
Sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan, asuhan
keperawatan berfokus pada bio, psiko, sosial dan spiritual yang diberikan
kepada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat. Sasaran pelayanan
keperawatan adalah manusia, maka dalam memberikan pelayanan perawat
harus benar-benar memperhatikan faktor etika dan hukum karena sejalan
dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi.
Masyarakat semakin faham akan hak-hak individu, kebebbasan dalam
memberikan dan mengemukakan pendapat dan tanggung jawab dalam
melindungi hak yang dimiliki. Kemajuan dan teknologi serta dampaknya
terhadap kehidupan sosial, politik dan ekonomi membuat semakin tingginya
perhatian pada dimensi etika praktik asuhan keperawatan (Gold, Chambers
dan Dovrak, 1995)
Etika dan aturan hukum bagi perawat merupakan pedoman untuk
perawat yang digunakan dalam pemecahan masalah dan pengambilan
keputusan etis baikdalam area praktik, pendidikan, administrasi maupun
penelitian. Etika Keperawatan menghasilkan informasi tentang moral,
perawat yang peka terhadap masalah yang dihadapi, perawat yang
bertanggung gugat dan mempunyai kemampuan untuk mengambil keputusan
etis dalam praktik keperawatan. Kemampuan untuk membuat suatu keputusan
yang merupakan sesuatu yang esensial dalam praktik keperawatan profesional
(Fry, 2002). Standar pelayanan profesional serta refleksi dari moral pelayanan
tertuang dalam kode etik perawat (RR.Puji Astuti & Purba, 2010).
Pengambilan keputusan merupakan suatu hasil atau keluaran dari
proses mental yang membawa pada pemilihan suatu jalur tindakan di antara
beberapa alternatif yang tersedia. Setiap proses pengambilan keputusan selalu
menghasilkan satu pilihan final baik itu berupa suatu tindakan (aksi) atau
suatu opini terhadap pilihan. Pengambilan keputusan dilakukan oleh seorang
manajer termasuk juga perawat dalam konteks pengelolaan asuhan
keperawatan kepada pasien. Kegiatan pembuatan keputusan meliputi
pengindentifikasian masalah, pencarian alternatif penyelesaian masalah,
evaluasi terhadap alternatif-alternatif tersebut, dan pemilihan alternatif
keputusan yang terbaik. Kemampuan seorang perawat dalam membuat
keputusan dapat ditingkatkan apabila ia mengetahui dan menguasai teori dan
teknik pembuatan keputusan. Peningkatan kemampuan perawat dalam
pembuatan keputusan diharapkan dapat meningkatkan kualitas keputusan
yang dibuatnya, sehingga akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja
organisasi profesi keperawatan. Untuk dapat mengambil keputusan dengan
etis dan legal maka seorang perawat harus memahami kebijakan-kebijakan
yang mempengaruhi praktek profesionalnya.
Kebijakan merupakan pilihan yang didasari pemikiran akal budi
untuk kepentingan tertentu. Hal ini menjelaskan bahwa kebijakan bukanlah
suatu keputusan melainkan bahan dalam pengambilan keputusan. Berbeda
halnya dengan kebijaksanaan dimana kebijaksanaan diartikan sebagai
kepandaian menggunakan akal budi. Pengambilan keputusan kesehatan
berkaitan dengan kematian dan keselamatan, sehingga kesehatan diletakkan
dalam kedudukan yang lebih istimewa dibanding dengan masalah sosial
lainnya. Kesehatan juga dipengaruhi sejumlah keputusan yang tidak ada
kaitannya dengan layanan kesehatan, seperti kemiskinan yang mempengaruhi
kesehatan, sama halnya dengan polusi, atau sanitasi yang buruk. Kesehatan
pula diperngaruhi oleh kebijakan lain seperti halnya dengan kebijakan
ekonomi yang menentukan pajak rokok atau alkohol yang dapat
mempengaruhi perilaku masyarakat.
Hubungan antara kebijakan kesehatan dan kesehatan sangat penting
dan memiliki korelasi yang sangat erat. Kebijakan kesehatan memungkinkan
untuk penyelesaian masalah kesehatan terutama yang terjadi pada saat ini,
sekaligus memahami bagaimana perekonomian dan kebijakan lain
berimplikasi pada kesehatan. Kebijakan kesehatan dapat memberi arahan
dalam pemilihan teknologi kesehatan yang akan dikembangan dan digunakan,
mengelola dan membiayai layanan kesehatan, atau jenis obat yang dapat
dibeli secara bebas. Pemimpin keperawatan perlu menganalisa kebijakan
kesehatan sebagai sehingga memunculkan berbagai saran, sedalam dan seluas
apapun analisa kebijakan dimaksudkan untuk menghasilkan beberapa pilihan
keputusan. Analisa kebijakan bertujuan untuk menyediakan informasi yang
dapat digunakan untuk bahan pertimbangan yang berdasar pada pemecahan
masalah kepada para pembuat keputusan dalam hal keperawatan. Karena
itulah dalam makalah ini kami tertarik untuk membahas tentang “Kebijakan
Pemerintah yang Berhubungan dengan Pelayanan Keperawatan”
1.2 Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Memahami salah satu kebijakan keperawatan dalam pelayanan kesehatan.
2. Tujuan khusus
a. Mendeskripsikan konsep teori kebijakan kesehatan
b. Mengidentifikasi produk-produk kebijakan kesehatan yang
berhubungan dengan pelayanan keperawatan
c. Mengidentifikasi implikasi dari produk-produk kebijakan kesehatan
terhadap praktik keperawatan
BAB II
ANALISIS KEBIJAKAN PEMERINTAH

2.1. Pengertian Sistem Kesehatan


Sistem Kesehatan menurut WHO adalah semua kegiatan yang tujuan
utamanya untuk meningkatkan, mengembalikan dan memelihara kesehatan.
Cakupannya meliputi Formal Health services yang mencakup pula promosi
kesehatan, pelayanan kesehatan oleh tenaga medik profesional, pengobat
tradisional, pengobatan alternatif. Pendekatan Sistemik yang biasa digunakan
ada dua cara yaitu identifikasi komponen pembentuk sistem dan menganalisis
interconnection, saling keterkaitan antar komponen dalam pola tertentu.
Fungsi dalam sistem kesehatan (WHO 2000) meliputi regulasi/stewardship,
pembiayaan, pelaksanaan kegiatan kesehatan, dan pengembangan SDM dan
sumber daya lain
Tujuan dan indikator sistem kesehatan menurut Roberts dkk (2007),
antara lain status kesehatan, perlindungan resiko, dan kepuasan publik,
sebagai berikut penjelasannya:
1. Status Kesehatan
a. Secara tradisional ukuran status kesehatan: AKB, AKI, dan AKBA
b. Akhir‐akhir ini: berkaitan dengan beban penyakit (misalnya DALY)
mencakup morbiditas maupun mortalitas
c. Penyakit kronis yang semakin meningkat menjadi beban baru bagi
sistem pelayanan kesehatan.
d. Kelayakan juga penting apa yang bisa dilakukan
2. Kepuasan Masyarakat
a. Dapat diukur melalui survei penduduk yang dirancang baik
b. Secara tipikal dipengaruhi oleh kualitas pelayanan, akses dan
pembayaran tunai
c. Bisa sesuai atau tidak sesuai dengan pelayanan yang costeffective
d. Juga terkait dengan pertimbangan pemerataan
3. Perlindungan terhadap Resiko
a. Setiap tahunnya, ada sebagian penduduk yang mengeluarkan biaya
pelayanan kesehatan yang tinggi
b. Tanpa perlindungan, bisa jatuh miskin atau mendapat pelayanan yang
kurang
c. Masalahnya menjadi lebih buruk bagi mereka yang berpenghasilan
rendah
d. Dapat dihindari melalui asuransi atau sektor publik yang efektif dan
hampir bebas biaya.
2.2. Pengertian Kebijakan Kesehatan
Kebijakan merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan
layanan kesehatan. Kebijakan (Policy) diartikan juga sebagai sejumlah
keputusan yang dibuat oleh mereka yang bertanggung jawab dalam bidang
kebijakan tertentu. Kebijakan Publik (Public Policy) merupakan kebijakan –
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah atau Negara. Kebijakan Kesehatan
(Health Policy) ialah segala sesuatu untuk mempengaruhi faktor – faktor
penentu di sektor kesehatan agar dapat meningkatkan kualitas kesehatan
masyarakat; dan bagi seorang dokter kebijakan merupakan segala sesuatu
yang berhubungan dengan layanan kesehatan. Kebijakan kesehatan dapat
meliputi kebijakan publik dan swasta tentang kesehatan. Kebijakan kesehatan
diasumsikan untuk merangkum segala arah tindakan (dan dilaksanakan) yang
mempengaruhi tatanan kelembagaan, organisasi, layanan dan aturan
pembiayaan dalam system kesehatan.
Kebijakan kesehatan mencakup sektor publik (pemerintah) sekaligus
sektor swasta. Para pengkaji kebijakan kesehatan juga menaruh perhatian
pada segala tindakan dan rencana tindakan dari organisasi di luar sistem
kesehatan yang memiliki dampak pada kesehatan karena kesehatan
dipengaruhi oleh banyak faktor penentu diluar system kesehatan. Sama
halnya dengan beragam definisi kebijakan kesehatan, ada banyak gagasan
mengenai pengkajian kebijakan kesehatan beserta penekanannya: seorang ahli
ekonomi mungkin berpendapat bahwa kebijakan kesehatan adalah segala
sesuatu tentang pengalokasian sumber daya yang langka bagi kesehatan;
seorang perencana melihatnya sebagai cara untuk mempengaruhi faktor-
faktor penentu di sektor kesehatan agar dapat meningkatkan kualitas
kesehatan masyarakat; dan bagi seorang dokter. Menurut Walt, kebijakan
kesehatan serupa dengan politik dan segala penawaran terbuka kepada orang
yang berpengaruh pada penyusunan kebijakan, bagaimana mereka mengolah
pengaruh tersebut, dan dengan persyaratan apa (Surya, 2012). Kebijakan
kesehatan sangat penting karena berbagai alasan berikut:
a. Sektor kesehatan merupakan bagian penting perekonomian di berbagai
negara
b. Kesehatan mempunyai posisi yang lebih istimewa dibanding dengan
masalah sosial yang lainnya
c. Kesehatan dapat dipengaruhi oleh sejumlah keputusan yang tidak ada
kaitannya dengan pelayanan kesehatan
d. Memberi arahan dalam pemilihan teknologi kesehatan
2.3. Pengertian Analisis Kebijakan Kesehatan
Analisa adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (seperti
karangan, perbuatan, kejadian atau peristiwa) untuk mengetahui keadaan
yang sebenarnya, sebab musabab atau duduk perkaranya. Kebijakan
merupakan suatu rangkaian alternative yang siap dipilih berdasarkan prinsip-
prinsip tertentu. Kebijakan merupakan suatu hasil analisis yang mendalam
terhadap berbagai alternative yang bermuara kepada keputusan tentang
alternative terbaik. Kebijakan adalah rangkaian dan asas yang menjadi garis
besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan kepemimpinan,
dan cara bertindak (tentag organisasi, atau pemerintah); pernyataan cita-cita,
tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam
usaha mencapai sasaran tertentu. Contoh: Kebijakan Kebudayaan, adalah
rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar rencana atau aktifitas
suatu negara untuk mengembangkan kebudayaan bangsanya. Kebijakan
Kependudukan, adalah konsep dan garis besar rencana suatu pemerintah
untuk mengatur atau mengawasi pertumbuhan penduduk dan dinamika
penduduk dalam negaranya.
Konsep dari analisis kebijakan kesehatan adalah “What The
Goverment Do Or Not To Do”, artinya segala keputusan yang pemerintah
lakukan atau tidak dilakukan dalam bidang kesehatan berdasarkan atas
kemanfaatan masyarakat di bidang kesehatan (Anne,2012).
2.4. Berbagai Produk Kebijakan Kesehatan Terkait Pelayanan Keperawatan
1. Kebijakan Tingkat UUD 1945
UUD 1945 pasal 28H ayat 1 : setiap orang berhak untuk hidup sejahtera
lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang
baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
2. Kebijakan pada tatanan undang-undang
a. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1963 Tentang Tenaga Kesehatan
UU ini sebenarnya memisahkan bidan dan perawat sebagai
tenaga kesehatan yang berbeda. Fisioterapi masih menjadi bagian dari
keperawatan. Tenaga kesehatan sarjana-muda, menengah dan rendah
melakukan pekerjaannya dibawah pengawasan dokter/dokter-
gigi/apoteker/sarjana lain (pasal 8).
b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan
Tidak mengatur secara spesifik tentang kriteria tenaga kesehatan
sebab akan diturunkan dalam Peraturan Pemerintah. UU ini terkesan
tidak fokus dan hanya menyebutkan pokok-pokoknya saja. Namun
demikian, UU ini memberikan penegasan tentang sanksi pidana
terhadap penyelenggaraan upaya kesehatan tanpa ijin, baik ijin sebagai
tenaga kesehatan maupun ijin operasional. Selain itu UU ini juga lebih
banyak berfokus pada masalah tranplantasi organ dalam praktik
kedokteran. Khusus tentang tenaga kesehatan diuraikan dalam PP
Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan. UU hanya mengatur
tentang syarat-syarat menjadi tenaga kesehatan.
c. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Penjelasan tentang tenaga kesehatan sudah dibuat lebih spesifik.
Pelayanan kesehatan sudah dikategorikan pada level pelayanan
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Dengan demikian dapat
diidentifikasi area kewenangan perawat dalam konteks upaya
kesehatan. UU ini juga secara spesifik sudah menjabarkan hak-hak
masyarakat terhadap kesehatan dan tanggung jawab pemerintah dalam
pemenuhan kebutuhan masyarakat atas kesehatan. terkait dengan tenaga
kesehatan, UU ini sudah memberikan kualifikasi minimum seorang
tenaga kesehatan dan bagaimana mekanisme pengelolaan tenaga
kesehatan (pasal 21-29).
Kriteria pelayanan kesehatan juga sudah dibahas dengan jelas
dalam pasal 30-35, termasuk area kerja dari masing-masing sarana
pelayanan kesehatan. Cakupan upaya kesehatan juga sudah diperluas
dengan menambahkan masalah keluarga berencana, kesehatan bencana,
pelayanan darah, pengamanan zat adiktif serta bedah mayat. Terkait
dengan penjaminan mutu, UU ini mewajibkan pemerintah menetapkan
standar mutu pelayanan kesehatan untuk memastikan praktek pelayanan
yang aman dan menjamin keselamatan pasien (pasal 52-55).
UU ini juga membahas tentang persetujuan maupun penolakan
tindakan medis dan kewajiban menjaga rahasia kedokteran bagi tenaga
kesehatan. Konsekwensinya bagi perawat adalah pasien juga berhak
memberikan persetujuan ataupun penolakan terhadap tindakan
keperawatan. Tetapi dalam kenyataannya hal ini tidak pernah dibahas
secara spesifik tentang bagaimana mekanisme persetujuan dan
penolakan tindakan keperawatan. Selain itu perawat yang melakukan
praktek asuhan keperawatan di sarana kesehatan manapun juga
memiliki konsekwensi untuk menjaga rahasia kedokteran. Secara
khusus dalam BAB XVII dijelaskan bahwa harus dibentuk Badan
Pertimbangan Kesehatan (pasal 175-177). Tetapi dalam kenyataannya
sampai sekarang badan independen ini belum terbentuk.
Ketentuan pidana telah dispesifikkan pemberian sanksi bagi
lembaga dan/atau tenaga kesehatan yang tidak memberikan pertolongan
pertama terhadap pasien gawat darurat (pasal 190), sanksi bagi
penyelenggara pelayanan tradisional tanpa ijin (pasal 191),
memperjualbelikan organ tubuh (pasal 192), bedah plastik dan
rekonstruksi untuk merubah identitas (pasal 193), aborsi tidak sesuai
ketentuan (pasal 194), memperjual belikan darah (pasal 195),
memproduksi/mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan
tidak sesuai standar dan tidak memiliki ijin edar (pasal 196-197),
praktik kefarmasian tanpa kewenangan (pasal 198), peringatan bahaya
kesehatan pada kemasan rokok (pasal 199), dan sanksi bagi pihakpihak
yang menghalangi pemberian ASI (pasal 200).
Khusus pasal 198 tentang praktek kefarmasian, pernah
digunakan sebagai pasal pertimbangan untuk menjatuhkan hukuman
pada perawat Misran (Kalimantan Timur) karena melakukan pemberian
obat tanpa ijin, meskipun pada tingkat banding di MA pasal ini dianulir
oleh klausul bahwa hal tersebut dilakukan karena pertimbangan
kegawatdaruratan dan tidak ada tenaga kesehatan yang berwenang di
wilayah tersebut.
d. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Memberikan
arah kebijakan pelaksanaan pembangunan di Indonesia sampai dengan
tahun 2025 termasuk bidang kesehatan. Hal ini memberikan panduan
dalam pengembangan keperawatan secara umum sebagai bagain
integral dari sistem kesehatan. Selain itu Puskesmas wajib
melaksanakan promosi kesehatan, untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat di wilayah kerjanya. Hal ini juga berlaku bagi
tenaga keperawatan.
e. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit
UU ini termasuk UU yang mengecilkan arti penting
keperawatan dalam rumah sakit sebab dalam UU ini Komite
Keperawatan tidak lagi dijadikan sebagai organ yang menjadi
persyaratan pendirian Rumah Sakit (pasal 33) padahal Komite
Keperawatan sudah diatur sebelumnya dengan Kepmendagri Nomor 1
Tahun 2000. Termasuk mekanisme audit yang dipersyaratkan hanya
audit kinerja dan audit medis. Sama sekali tidak menyinggung audit
keperawatan padahal UU ini juga consern menyoroti masalah
keselamatan pasien (pasal 43). Dan sebagaimana diketahui bahwa
tenaga kesehatan terbesar yang ada di Rumah Sakit adalah tenaga
keperawatan sehingga resiko berkaitan keselamatan pasien sebenarnya
lebih banyak bersentuhan dengan keperawatan sehingga perlu
dilakukan audit keperawatan secara periodik.
f. Undang –Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan
Undang-undang ini secara khusus mengatur tentang tenaga
kesehatan. Pada pasal 8 disebutkan bahwa tenaga kesehatan terdiri dari
nakes dan asisten nakes. Selain itu, tenaga fisioterapi sudah dipisahkan
dari keperawatan. Dalam pasal 9 disebutkan bahwa kualifikasi
minimum pendidikan tenaga kesehatan adalah Diploma III kecuali
Tenaga Medis. Sedangkan asisten tenaga kesehatan memiliki kualifikasi
pendidikan setingkat SMK (pasal 10). Selanjutnya dalam pasal 11
diuraikan tentang kategorisasi masing-masing tenaga kesehatan. UU ini
juga menuntut adanya Konsil Tenaga Kesehatan untuk peningkatan
mutu dan perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan (pasal 34). Dalam
pasal 37, dijelaskan bahwa penjaminan mutu oleh Konsil dilaksanakan
melalui kegiatan : a) registrasi tenaga kesehatan; b) pembinaan praktik;
c) menyusun standar pendidikan tinggi tenaga kesehatan; d) Standar
Praktik dan Standar Kompetensi Tenaga Kesehatan; dan e) penegakan
disiplin praktek tenaga kesehatan. Hingga saat ini Konsil Keperawatan
belum terbentuk dan masalah registrasi untuk saat ini ditangani oleh
Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI). Dalam UU ini juga
diatur tentang praktik mandiri dan tata caranya. Termasuk kewajiban
memasang papan nama bagi tenaga kesehatan yang praktik mandiri,
termasuk perawat. Tetapi ada pembatasan tempat praktek bahwa SIP
hanya berlaku pada 1 tempat (pasal 48). Juga diatur hak dan kewajiban
tenaga kesehatan, mekanisme pelimpahan wewenang, dan standar-
standar yang berhubungan dengan praktik profesional. Secara spesifik,
UU ini juga mengatur kewajiban tenaga kesehatan melaksanakan
penelitian dan pengembangan ilmu dalam praktik, melakukan informed
consent atas tindakan yang diberikan, rekam medik, kewajiban menjaga
rahasia pasien, perlindungan tenaga kesehatan dan pasien serta
mekanisme penyelesaian perselisihan. Ketentuan pidana yang diatur
dalam UU ini adalah tentang kelalaian, praktek tanpa STR, serta
praktek tanpa ijin (Surat Ijin Praktek).
g. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan
UU ini secara khusus mengatur tentang keperawatan, perawat, praktek
perawat, pendidikan keperawatan, serta penjaminan mutu keperawatan.
UU Keperawatan tidak menyebutkan adanya asisten perawat. UU ini
mewajibkan dilaksanakannya uji kompetensi bagi mahasiswa
keperawatan yang akan lulus, untuk memenuhi standar kompetensi
lulusan yang mengacu pada standar kompetensi kerja. Terkait masalah
juga sudah diatur syarat dan mekanisme pengajuan dan perpanjangan
STR dan ijin praktek perawat, termasuk perawat lulusan luar negeri
yang akan praktek di Indonesia. Secara khusus, UU juga sudah
mengatur kewajiban dan wewenang perawat dalam melaksanakan
praktek keperawatan. Termasuk mekanisme pelimpahan wewenang
secara delegasi dan mandat serta organisasi profesi. Terkait
pengembangan cabang ilmu disiplin keperawatan dan standar
pendidikan tinggi keperawatan maka harus dibentuk Kolegium
Keperawatan, dan untuk penjaminan mutu praktik keperawatan serta
memberikan kepastian hukum bagi perawat yang melaksanakan praktik
maka dibentuk Konsil Keperawatan (tahun 2016). Perawat lulusan SPK
diberikan kesempatan meningkatkan jenjang pendidikan menjadi D-III
hingga 6 tahun setelah UU diundangkan (tahun 2020).
3. Kebijakan pada tatanan Peraturan Pemerintah / Peraturan Presiden
a. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga
Kesehatan
Merupakan peraturan turunan dari UU 23 Tahun 1992 Tentang
Kesehatan. dalam PP ini tenaga kesehatan terdiri dari : tenaga medis;
tenaga keperawatan; tenaga kefarmasian; tenaga kesehatan masyarakat;
tenaga gizi; tenaga keterapian fisik; dan tenaga keteknisian medis.
Tenaga keperawatan terdiri dari perawat dan bidan. Namun dalam UU
36/2014 Bidan sudah dipisahkan sebagai kategori. Tenaga kesehatan
tersendiri. Masalah perlindungan hukum dan pembinaan tenaga
kesehatan juga telah dimasukkan dalam UU Nakes.

b. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 Tentang Wajib Simpan


Rahasia Kedokteran
Peraturan ini mewajibkan semua tenaga kesehatan wajib
menyimpan rahasia yang berkaitan dengan pasien dan penyakitnya
sebagai bagian dari rahasia jabatan. Membocorkan rahasia medis dapat
dikenakan sanksi pidana meskipun tidak diadukan. Kewajiban ini juga
berlaku terhadap para mahasiswa pendidikan kesehatan.
c. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Tunjangan Jabatan
Fungional.
Perawat sebagai jabatan fungsional bagi PNS berhak
mendapatkan tunjangan jabatan fungsional yang disebut tunjangan
perawat. Dan diberikan setiap bulan.
d. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 Tentang Penerapan
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Inti dari
PP ini adalah bahwa perusahaan (termasuk rumah sakit) wajib
menerapkan sistem K3 untuk melindungi karyawan (termasuk perawat)
dari kecelakaan kerja maupun resiko-resiko terkait dengan pekerjaan.
e. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2014 Tentang
Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan
Nasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah
Daerah
Dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dalam
penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional sesuai amanat Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial, diperlukan dukungan dana untuk
operasional pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh Fasilitas
Kesehatan. Fasilitas kesehatan disebut sebagai fasilitas pelayanan
kesehatan yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan
kesehatan perorangan, baik promotif, preventif, kuratif maupun
rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah,
dan/atau masyarakat.
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama yang selanjutnya disingkat
FKTP adalah fasilitas kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan
perorangan yang bersifat non spesialistik untuk keperluan observasi,
diagnosis, perawatan, pengobatan, dan/atau pelayanan kesehatan
lainnya. Pengelolaan Dana Kapitasi BPJS merupakan tata cara
penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan, dan pertanggungjawaban
dana kapitasi yang diterima oleh FKTP dari BPJS Kesehatan. Dana
Kapitasi adalah besaran pembayaran per-bulan yang dibayar dimuka
kepada FKTP berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa
memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang
diberikan. Dengan demikian apabila perawat ingin mendapatkan bagian
dari kapitasi BPJS dalam konteks praktik mandiri maka sarana
kesehatan yang diselenggarakan harus berbentuk FKTP.
4. Kebijakan pada tatanan Peraturan Menteri
a. Peraturan Menteri PAN Nomor 94 Tahun 2001 Tentang Jabatan
Fungsional Perawat Dan Angka Kreditnya
Perawat termasuk dalam rumpun kesehatan (pasal 2). Perawat
berkedudukan sebagai pelaksana teknis fungsional pelayanan
keperawatan yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan
pada sarana kesehatan, merupakan jabatan karir dan hanya diduduki
oleh PNS (pasal 3). Kegiatan perawat yang dinilai angka kreditnya
meliputi : a) pendidikan; b) pelayanan keperawatan; c) pengabdian pada
masyarakat; d) pengembangan profesi; e) penunjang pelayanan
keperawatan (pasal 5).
b. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1045 Tahun 2006 Tentang
Pedoman Organisasi Rumah Sakit di Lingkungan Departemen
Kesehatan
Dalam Permenkes ini diatur masalah Komite sebagai salah satu
persyaratan dalam organisasi RS, tetapi belum menyinggung Komite
Keperawatan. Yang wajib ada hanya Komite Medik dan Komite Etik
dan Hukum.

c. Permenkes Nomor 269 Tahun 2008 Tentang Rekam Medis


Setiap penyelenggara pelayanan kesehatan wajib membuat
rekam medis secara tertulis (pasal 2). Rekam medis dilengkapi segera
setelah pasien pulang dan dibubuhi nama lengkap dan tanda tangan
dokter atau tenaga kesehatan tertentu yang memberikan pelayanan
kesehatan secara langsung. Rekam medis boleh direvisi dengan cara
dicoret dan diberi paraf (pasal 5). Pihak yang berwenang menjelaskan
isi rekam medis adalah tenaga medis (pasal 11). Berkas rekam medis
adalah milik sarana pelayanan kesehatan sedangkan isi rekam medis
adalah milik pasien. Isi rekam medis berupa ringkasan rekam medis
(pasal 12). Pemanfaatan rekam medis yang menyebutkan nama pasien
harus dengan persetujuan tertulis dari pasien atau ahli warisnya dengan
tetap menjaga kerahasiaannya. Penggunaan rekam medis untuk
kepentingan pendidikan dan penelitian boleh tidak meminta ijin pasien
asal demi kepentingan negara (pasal 13)
d. Permenkes Nomor 36 Tahun 2012 Tentang Rahasia Kedokteran
Semua pihak yang terlibat dalam pelayanan kedokteran dan/atau
menggunakan data dan informasi tentang pasien wajib menyimpan
rahasia kedokteran. Kewajiban menyimpan rahasia kedokteran berlaku
selamanya, walaupun pasien telah meninggal dunia. Rahasia kedokteran
dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi
permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum,
permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan harus dengan persetujuan pasien. Jika dibuka
untuk kepentingan tertentu (misalnya pembelajaran) tidak boleh
menyebutkan nama. Pembukaan atau pengungkapkan rahasia
kedokteran dilakukan oleh penanggung jawab pelayanan pasien. Pasien
atau keluarga terdekat pasien yang telah meninggal dunia yang
menuntut tenaga kesehatan dan/atau fasilitas pelayanan kesehatan serta
menginformasikannya melalui media massa, dianggap telah melepaskan
hak rahasia kedokterannya kepada umum. Penginformasian melalui
media massa memberikan kewenangan kepada tenaga kesehatan
dan/atau fasillitas pelayanan kesehatan untuk membuka atau
mengungkap rahasia kedokteran yang bersangkutan sebagai hak jawab.
Dalam hal pihak pasien menggugat tenaga kesehatan dan/atau fasilitas
pelayanan kesehatan maka tenaga kesehatan dan/atau fasilitas
pelayanan kesehatan yang digugat berhak membuka rahasia kedokteran
dalam rangka pembelaannya di dalam sidang pengadilan.
e. Permenkes Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Kriteria Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Terpencil, Sangat Terpencil dan Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Yang Tidak Diminati
Tenaga kesehatan tertentu yang bertugas di faskes tersebut boleh
diberikan tambahan kewenangan.
f. Permenkes Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02/MENKES/148/I/2010 Tentang
Izin Dan Penyelenggaraan Praktik Perawat
Perawat dapat melaksanakan prakti di fasilitas pelayanan
kesehatan diluar praktik mandiri, dengan latar belakang pendidikan
minimal DIII (pasal 2). Praktek di fasilitas pelayanan kesehatan wajib
memiliki SIKP dan praktek mandiri wajib memiliki SIPP (pasal 3).
Untuk memperoleh ijin tersebut dipersyaratkan :
1) Fotocopy STR yang masih berlaku dan dilegalisasi;
2) Surat keterangan sehat fisik dari dokter yang memiliki Surat Izin
Praktik;
3) Surat pernyataan memiliki tempat di praktik mandiri atau di fasilitas
pelayanan kesehatan di luar praktik mandiri;
4) Pas foto berwarna terbaru ukuran 4X6 cm sebanyak 3 (tiga) lembar;
5) Rekomendasi dari kepala dinas kesehatan kabupaten/kota atau
pejabat yang ditunjuk; dan
6) rekomendasi dari organisasi profesi (pasal 5).
Perawat hanya dapat menjalankan praktik keperawatan paling
banyak di 1 (satu) tempat praktik mandiri dan di 1 (satu) tempat
fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktik mandiri (pasal 5A).
masa berlaku SIPP dan SIKP sama dengan masa berlaku STR (pasal
5B). Pelanggaran terhadap ketentuan perijinan ini dikenakan sanksi
berupa : a) teguran lisan; b) teguran tertulis; atau c) pencabutan SIKP
atau SIPP.
g. Permenkes Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Imunisasi
Petugas yang berwenang memberikan immunisasi adalah dokter
dan dokter spesialis. Untuk immunisasi dasar, Bidan diberikan
kewenangan khusus. Dokter di Puskesmas dapat mendelegasikan
kewenangan pelayanan immunisais kepada Bidan dan Perawat. Jika
tidak ada Dokter maka Bidan dan Perawat dapat langsung memberikan
pelayanan immunisasi dengan syarat harus terlatih (pasal 27).
Pemberian imunisasi harus dilakukan berdasarkan standar
pelayanan, standar prosedur operasional dan standar profesi sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan (pasal 28). Proses pemberian
imunisasi harus memperhatikan keamanan vaksin dan penyuntikan agar
tidak terjadi penularan penyakit terhadap tenaga kesehatan pelaksana
pelayanan imunisasi dan masyarakat serta menghindari terjadinya
kejadian ikutan pemberian immunisasi (pasal 29).
Sebelum pelaksanaan imunisasi, pelaksana pelayanan imunisasi
harus memberikan informasi lengkap tentang imunisasi meliputi vaksin,
cara pemberian, manfaat dan kemungkinan terjadinya kejadian ikutan
pemberian immunisasi/KIPI (pasal 30). Jika ada kejadian ikutan maka
harus dilaporkan kepada pelaksana pelayaan immunisasi, Puskesmas
atau Dinas Kesehatan untuk dilakukan investigasi. Jika terjadi kesakitan
akibat KIPI maka pasien berhak diberikan pengobatan dan perawatan.
h. Permenkes Nomor 46 Tahun 2013 Tentang Registrasi Tenaga
Kesehatan
Setiap Tenaga Kesehatan yang akan menjalankan praktik
dan/atau pekerjaan keprofesiannya wajib memiliki izin dari Pemerintah.
Untuk memperoleh izin dari Pemerintah tersebut diperlukan STR yang
dikeluarkan oleh MTKI dan berlaku secara nasional. Untuk memiliki
STR harus memiliki sertifikat kompetensi (pasal 2).
Sertifikat Kompetensi diberikan kepada peserta didik setelah
dinyatakan lulus Uji Kompetensi oleh perguruan tinggi bidang
kesehatan yang memiliki izin penyelenggaraan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Uji Kompetensi dimaksud
diselenggarakan oleh perguruan tinggi bekerja sama dengan MTKI
(pasal 3). STR berlaku 5 tahun dan dapat diperpanjang dengan syarat
yang bersangkutan sudah melaksanakan : a) pengabdian diri sebagai
tenaga profesi atau vokasi di bidang kesehatan; dan b) pemenuhan
kecukupan dalam kegiatan pelayanan, pendidikan, pelatihan, dan/atau
kegiatan ilmiah lainnya. Jumlah satuan kredit profesi untuk setiap
kegiatan ditetapkan oleh MTKI atas usulan dari organisasi profesi
(pasal 4).
Pengabdian diri sebagai tenaga profesi atau vokasi di bidang
kesehatan tadi dibuktikan dengan: a) keterangan kinerja dari institusi
tempat bekerja, atau keterangan praktik dari kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota; b) Surat Izin Praktik atau Surat Izin Kerja; dan c)
rekomendasi dari organisasi profesi.
Pemenuhan kecukupan dalam kegiatan pelayanan, pendidikan,
pelatihan, dan/atau kegiatan ilmiah lainnya dibuktikan dengan
pemenuhan syarat satuan kredit profesi yang diperoleh selama 5 (lima)
tahun yang ditetapkan oleh organisasi profesi (pasal 5). Dalam hal
Tenaga Kesehatan tidak dapat memenuhi ketentuan persyaratan
perpanjangan STR, maka Tenaga Kesehatan tersebut harus mengikuti
evaluasi kemampuan yang dilaksanakan oleh organisasi profesi bekerja
sama dengan MTKI (pasal 6).
STR tidak berlaku apabila: a) masa berlaku habis; b) dicabut
atas dasar peraturan perundang-undangan; c) atas permintaan yang
bersangkutan; atau d) yang bersangkutan meninggal dunia (pasal 9).
Untuk memperoleh STR, Tenaga Kesehatan mengajukan
permohonan kepada MTKI melalui MTKP; atau Tenaga Kesehatan
yang baru lulus Uji Kompetensi mengajukan permohonan secara
kolektif oleh Perguruan tinggi yang ditujukan kepada MTKI melalui
MTKP. Permohonan sebagaimana dimaksud dilengkapi dengan
fotokopi Sertifikat Kompetensi yang dilegalisasi dan pas foto 4x6
dengan latar belakang merah. Permohonan dimaksud dilengkapi dengan
: a) daftar lulusan Uji Kompetensi dari perguruan tinggi yang
bersangkutan; b) pas foto 4x6 dengan latar belakang merah; dan c) surat
keterangan dari perguruan tinggi tentang kebenaran seluruh data yang
diusulkan. Kelengkapan berkas permohonan tadi diproses oleh MTKP
dan dikirimkan ke MTKI dalam bentuk elektronik sesuai dengan format
yang ditetapkan oleh MTKI. STR dikirimkan kepada pemohon melalui
MTKP (pasal 10).
i. Permenkes Nomor 49 Tahun 2013 Tentang Komite Keperawatan
Rumah Sakit
Penyelenggaraan Komite Keperawatan bertujuan untuk
meningkatkan profesionalisme tenaga keperawatan serta mengatur tata
kelola klinis yang baik agar mutu pelayanan keperawatan dan
pelayanan kebidanan yang berorientasi pada keselamatan pasien di
Rumah Sakit lebih terjamin dan terlindungi (pasal 2). Tenaga
keperawatan dalam Permenkes ini terdiri dari perawat dan bidan (pasal
3).
Untuk mewujudkan tata kelola klinis yang baik sebagaimana
dimaksud, semua asuhan keperawatan dan asuhan kebidanan yang
dilakukan oleh setiap tenaga keperawatan di Rumah Sakit dilakukan
atas Penugasan Klinis dari kepala/direktur Rumah Sakit. Penugasan
Klinis tersebut berupa pemberian Kewenangan Klinis tenaga
keperawatan oleh kepala/direktur Rumah Sakit melalui penerbitan surat
Penugasan Klinis kepada tenaga keperawatan yang bersangkutan. Surat
Penugasan Klinis diterbitkan oleh kepala/direktur Rumah Sakit
berdasarkan rekomendasi Komite Keperawatan. Dalam keadaan darurat
kepala/direktur Rumah Sakit dapat memberikan surat Penugasan Klinis
secara langsung tidak berdasarkan rekomendasi Komite Keperawatan.
Rekomendasi Komite Keperawatan diberikan setelah dilakukan
Kredensial dengan ketentuan bahwa Rumah Sakit merupakan tempat
untuk melakukan pelayanan kesehatan tingkat kedua dan ketiga (pasal
4).
j. Permenkes Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Klinik
Permenkes ini merupakan penyempurnaan dari Permenkes Nomor 28
Tahun 2011 Tentang Klinik. Penanggung jawab klinik harus seorang
tenaga medis yang memiliki SIP di klinik tersebut. Perawat yang
bekerja di klinik juga harus memiliki STR, SIK/SIP di klinik tersebut.
Setiap tenaga kesehatan (termasuk perawat) yang bekerja di Klinik
harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar prosedur
operasional, standar pelayanan, etika profesi, menghormati hak pasien,
serta mengutamakan kepentingan dan keselamatan pasien. Klinik
dilakukan akreditasi setiap 3 tahun sekali dan wajib melakukan audit
medis.
k. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 Tahun 2014 Tentang
Penggunaan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional Untuk Jasa
Pelayanan Kesehatan dan Dukungan Biaya Operasional pada Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah
Alokasi untuk pembayaran dukungan biaya operasional
pelayanan kesehatan ditetapkan sebesar selisih dari besar Dana Kapitasi
dikurangi dengan besar alokasi untuk pembayaran jasa pelayanan
kesehatan. Besaran alokasi ditetapkan setiap tahun dengan Keputusan
Kepala Daerah atas usulan Kepala SKPD Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan: a) kebutuhan obat, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai; b) kegiatan operasional
pelayanan kesehatan dalam rangka mencapai target kinerja di bidang
upaya kesehatan perorangan; dan c) besar tunjangan yang telah diterima
dari pemerintah daerah. Pembagian jasa pelayanan kesehatan kepada
tenaga kesehatan dan tenaga non kesehatan ditetapkan dengan
mempertimbangkan variabel jenis ketenagaan dan/atau jabatan dan
kehadiran.
Alokasi dana kapitasi BPJS untuk dukungan biaya operasional
kesehatan dimanfaatkan untuk : a) obat, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai; dan b) kegiatan operasional pelayanan kesehatan
lainnya. Pengadaan obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
dapat dilakukan melalui SKPD Dinas Kesehatan, dengan
mempertimbangkan ketersediaan obat, alat kesehatan dan bahan medis
habis pakai yang dialokasikan oleh pemerintah dan pemerintah daerah.
Dukungan kegiatan operasional pelayanan kesehatan lainnya, meliputi :
a) upaya kesehatan perorangan berupa kegiatan promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif lainnya; b) kunjungan rumah dalam rangka
upaya kesehatan perorangan; c) operasional untuk puskesmas keliling;
d) bahan cetak atau alat tulis kantor; dan/atau e) administrasi keuangan
dan sistem informasi. Dalam Permenkes ini tidak disebutkan alokasi
untuk kegiatan keperawatan secara spesifik.
l. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 Tentang Pusat
Kesehatan Masyarakat
Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut
Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan
perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya
promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat
yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya. Ada dua macam upaya
kesehatan yang dilaksanakan di Puskesmas, yakni Upaya Kesehatan
Masyarakat yang selanjutnya disingkat UKM dan Upaya Kesehatan
Perseorangan yang selanjutnya disingkat UKP.
UKM adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan serta mencegah dan menanggulangi timbulnya
masalah kesehatan dengan sasaran keluarga, kelompok, dan
masyarakat,sedangkan UKP adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian
kegiatan pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk peningkatan,
pencegahan, penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat
penyakit dan memulihkan kesehatan perseorangan. Pembangunan
kesehatan yang diselenggarakan di Puskesmas bertujuan untuk
mewujudkan masyarakat yang: 1) memiliki perilaku sehat yang
meliputi kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat; 2) mampu
menjangkau pelayanan kesehatan bermutu; 3) hidup dalam lingkungan
sehat; dan 4) memiliki derajat kesehatan yang optimal, baik individu,
keluarga, kelompok dan masyarakat. Pembangunan kesehatan yang
diselenggarakan di Puskesmas tersebut mendukung terwujudnya
kecamatan sehat. Dengan demikian, promosi kesehatan merupakan
salah satu upaya kesehatan esensial Puskesmas untuk mencapai level
kemandirian setinggi-tingginya.
Dalam upaya peningkatan mutu pelayanan, Puskesmas wajib
diakreditasi secara berkala paling sedikit 3 (tiga) tahun sekali.
Akreditasi Puskesmas adalah pengakuan terhadap Puskesmas yang
diberikan oleh lembaga independen penyelenggara akreditasi yang
ditetapkan oleh Menteri setelah dinilai bahwa Puskesmas telah
memenuhi standar pelayanan Puskesmas yang telah ditetapkan oleh
Menteri untuk meningkatkan mutu pelayanan Puskesmas secara
berkesinambungan. Jika direfleksikan dengan kondisi sekarang, maka
akreditasi Puskesmas akan sangat bergantung pada kinerja tenaga
keperawatan sebab sebagian besar tenaga kesehatan di Puskesmas saat
ini adalah perawat.
5. UU Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan pasal 38, klien
berhak :
a. Mendapatkan informasi secara, benar, jelas, dan jujur tentang tindakan
keperawatan yang akan dilakukan
b. Meminta pendapat Perawat lain dan/atau tenaga kesehatan lainnya
c. Mendapatkan Pelayanan Keperawatan sesuai dengan kode etik, standar
Pelayanan Keperawatan, standar profesi, standar prosedur operasional,
dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan
d. Memberi persetujuan atau penolakan tindakan Keperawatan yang akan
diterimanya
e. Memperoleh keterjagaan kerahasiaan kondisi kesehatannya

Selanjutnya apabila hak-haknya dilanggar, maka upaya hukum


yang tersedia bagi pasien adalah:
a. Mengajukan gugatan kepada pelaku usaha, baik kepada lembaga
peradilan umum maupun kepada lembaga yang secara khusus
berwenang menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha
(Pasal 45 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen)
b. Melaporkan kepada polisi atau penyidik lainnya. Hal ini karena di
setiap undang-undang yang disebutkan di atas, terdapat ketentuan
sanksi pidana atas pelanggaran hak-hak pasien.
Dasar hukum yang mengatur tentang hal ini antara lain :
1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
2) Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran
3) Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
4) Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
(Kewajiban tenaga kesehatan sama dengan hak-hak pasien)
Sedangkan sanksi yang dapat diberikan apabila melanggar hak-
hak pasien tersebut, antara lain : 1) Sanksi pidana; 2) Sanksi perdata; 3)
Sanksi Administratif; dan 4) Sanksi Disiplin.
6. Aspek Praktek Keperawatan
a. pengertian praktik keperawatan.
1) Menurut Kepmenkes 1239/2001 Tentang Praktik Keperawatan,
praktik keperawatan adalah melakukan asuhan keperawatan
meliputi pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan,
perencanaan, melaksanakan tindakan dan evaluasi. Pelayanan
tindakan medik hanya dapat dilakukan atas permintaan tertulis
dokter. Dan perawat yang memiliki SIPP dapat melakukan
kunjungan rumah.
2) Menurut UU 38/2014 Tentang Keperawatan : Praktek keperawatan
adalah pelayanan yang diselenggarakan oleh Perawat dalam bentuk
Asuhan Keperawatan. Asuhan Keperawatan adalah rangkaian
interaksi Perawat dengan Klien dan lingkungannya untuk mencapai
tujuan pemenuhan kebutuhan dan kemandirian Klien dalam
merawat dirinya.
Dengan demikian seorang perawat yang melaaksanakan profesinya
harus menggunakan metode asuhan keperawatan yang terdiri dari :
pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan,
melaksanakan tindakan dan evaluasi selama melakukan interaksi
dengan klien.
b. Aspek etis praktik keperawatan
1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
2) Konsumen
3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia
4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
5) Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 Tentang Penerapan
6) Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
7) Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI) 2000
8) Kode Etik Keperawatan Indonesia
9) Kode Etik Kedokteran Indonesia
c. Aspek Yuridis/hukum praktik perawat sesuai regulasi
1) SE Dirjen Yan-Med No. HK. 00.06.5.1.311 Tentang Home Care
Terdapat 23 tindakan keperawatan mandiri yang bisa dilakukan
oleh perawat dalam kegiatan home care antara lain :
a) vital sign
b) memasang nasogastric tube
c) memasang selang susu besar
d) memasang cateter
e) penggantian tube pernafasan
f) merawat luka decubitus
g) suction
h) memasang peralatan O2
i) penyuntikan (IV,IM, IC,SC)
j) pemasangan infus maupun obat
k) pengambilan preparat
l) pemberian huknah/laksatif
m)kebersihan diri
n) latihan dalam rangka rehabilitasi medis
o) tranpostasi klien untuk pelaksanaan pemeriksaan diagnostik
p) pendidikan kesehatan
q) konseling kasus terminal
r) konsultasi/telepon
s) fasilitasi ke dokter rujukan
t) menyiapkan menu makanan
u) membersihkan tempat tidur pasien
v) fasilitasi kegiatan sosial pasien
w) fasilitasi perbaikan sarana klien.
BAB III
PENUTUP

.1. Kesimpulan
Regulasi sebagai produk kebijakan harus dilihat secara terintegrasi
agar memperoleh sudut pandang yang utuh terhadap berbagai macam regulasi
yang sudah diterbitkan oleh pemerintah dalam hal pelayanan keperawatan.
Untuk itu perlu dilakukan ekstraksi dan sintesis gagasan-gagasan penting dari
berbagai regulasi untuk melihat hal-hal penting dan mendasar yang
mengemuka.
Peraturan perundangan sebagai produk kebijakan kesehatan yang
berhubungan dengan praktik kesehatan telah tersedia baik pada tatanan
undang-undang, peraturan pemerintah dan/atau peraturan presiden, peraturan
menteri hingga keputusan menteri. Inventarisasi terhadap peraturan
perundangan yang berhubungan dengan keperawatan itu akan membantu
perawat dalam membuat keputusan klinik secara etik dan legal. Perawat yang
akan melaksanakan praktik profesional pada tatanan pelayanan wajib
teregistrasi dan terlisensi dengan keahlian yang berhubungan dengan
keperawatan. Dalam melaksanakan praktik keperawatan, perawat wajib
menghormati dan memenuhi hak-hak pasien dan memenuhi kewajiban-
kewajiban seperti : melakukan registrasi, memiliki lisensi, menjaga rahasia,
melakukan informed consent, dan menyelenggarakan rekam medik.
.1. Saran
Mengingat telah berkembangnya produk-produk hukum yang
berhubungan dengan kesehatan maka sudah sepantasnya perawat melakukan
inventarisasi peraturan perundangan tersebut untuk membantu dalam
pengambilan keputusan klinis dalam memberikan asuhan keperawatan kepada
pasien sebab salah satu ciri profesional adalah mampu bertindak secara etik
dan legal menurut peraturan perundangan yang berlaku.
Dengan telah diidentifikasinya peraturan perundangan pada berbagai
tingkatan maka disarankan perawat mencermati peraturan perundangan yang
tidak menguntungkan perawat atau bahkan merugikan bagi perawat untuk
dapat dilakukan advokasi baik pada tingkat kebijakan umum maupun
kebijakan teknis.
DAFTAR PUSTAKA

1. Anne, Ahira. 2012. Konsep dan Implementasi Analisis Kebijakan


Kesehatan (online) http://www.AnneAhira.com/artikel

2. Surya Utama. 2012. Dasar-Dasar Analisis Kebijakan Kesehatan (online)


http://repository.usu.ac.id/

3. Juanita. 2012. Kesehatan dan Pembangunan Nasional (online)


http://repository.usu.ac.id/

4. Departemen Kesehatan RI. 2009. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta :


Departemen Kesehatan RI

5. AfsarHA, Younus M. Patient Referral at Gross- Roots Level in Pakistan.


Nature and Science Journal, 2004;2(4):18-27

6. Poerwani SK, SoegionoKR, Hardewo LKW, Sopacua E, Rahayu, B.


Penelitian Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan. Depkes RI Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan, Surabaya, 1983.

7. Winarno B. 2007. Kebijakan Publik: Teori dan Proses. Yogyakarta:


Media Presindo

8. Dye T. 2005. Understanding Public Policy. New Jersey: Pearson


Education Inc.
9. Irawarti, E., & Widaningrum, A. (2015). Konsep dan Studi Kebijakan
Pubik. In Modul Pelatihan Analis Kebijakan (p. 9,16). Lembaga Administrasi
Negara: Jakarta.

10. Ramdhani, A., & Ramdhani, M. A. (2017). Konsep Umum Pelaksanaan


Kebijakan Publik. Jurnal Publik, 11(February), 1–12.

Anda mungkin juga menyukai