Anda di halaman 1dari 6

Nama : Shintia Rosalinda Walanda

NIM : 17031108043
Prodi : Agroteknologi

1. MORFOLOGI DAN KLASIFIKASI TANAH SAWAH


Sarwono Hardjowigeno, H. Subagyo, dan M. Luthfi Rayes

Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk bertanam padi sawah, baik terus-
menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija
Tanah sawah dapat berasal dari tanah kering yang diairi kemudian disawahkan, atau dari
tanah rawa-rawa yang “dikeringkan” dengan membuat saluran-saluran drainase. Sawah
yang airnya berasal dari air irigasi disebut sawah irigasi, sedang yang menerima langsung
dari air hujan disebut sawah tadah hujan. Di daerah pasang surut ditemukan sawah pasang
surut, sedangkan yang dikembangkan di daerah rawa-rawa lebak disebut sawah lebak.

MORFOLOGI TANAH SAWAH

 Perubahan sifat morfologi tanah.


Sebelum tanah digunakan sebagai tanah sawah, secara alamiah tanah telah
mengalami proses pembentukan tanah sesuai dengan faktor-faktor pembentuk tanahnya,
sehingga terbentuklah jenis-jenis tanah tertentu yang masing-masing mempunyai sifat
morfologi tersendiri. Pada waktu tanah mulai disawahkan dengan cara penggenangan air,
baik waktu pengolahan tanah maupun selama pertumbuhan padi, melalui perataan,
pembuatan teras, pembuatan pematang, pelumpuran, dan lain-lain, maka proses
pembentukan tanah alami yang sedang berjalan tersebut terhenti. Semenjak itu, terjadilah
proses pembentukan tanah baru, di mana air genangan di permukaan tanah dan metode
pengelolaan tanah yang diterapkan, memegang peranan penting. Karena itu tanah sawah
sering dikatakan sebagai tanah buatan manusia (man-made soil, anthropogenic soil).
Apabila tanah yang disawahkan tersebut pada awalnya berasal dari tanah kering, maka
akan terjadi perubahan-perubahan sifat morfologi tanah yang cukup jelas, perubahan-
perubahan tersebut dapat dibedakan menjadi: (1) perubahan sementara dan (2) perubahan
permanen.
a. Perubahan sementara
Perubahan sementara adalah perubahan-perubahan sifat fisik, morfologi dan kimia
tanah sebagai akibat penggenangan tanah musiman, baik pada waktu pengolahan tanah
maupun selama pertumbuhan padi sawah. Perubahan- perubahan tersebut terjadi di
permukaan tanah dan hanya bersifat sementara, karena setelah penyawahan selesai dan
diganti dengan tanaman palawija atau diberakan, terjadi perubahan kembali sifat-sifat
tanah tersebut akibat pengeringan tanah.

b. Perubahan permanen
Perubahan permanen terjadi akibat efek kumulatif perubahan sementara karena
penggenangan tanah musiman, atau praktek pengelolaan tanah sawah seperti pembuatan
teras, perataan tanah, pembuatan pematang, dan lain-lain.
Dalam keadaan tergenang, tanah menjadi berwarna abu-abu akibat reduksi besi-feri
(Fe-III) menjadi besi-fero (Fe-II). Akan tetapi pada tanah pasir atau tanah lain yang
permeabel, warna reduksi tersebut tidak terjadi, terkecuali pada penggenangan yang sangat
lama. Di lapisan permukaan horizon tereduksi tersebut, dalam keadaan tergenang,
ditemukan lapisan tipis yang tetap teroksidasi berwarna kecoklatan, karena difusi O2 dari
udara, atau dari fotosintesis algae.
Bila tanah dikeringkan, akan terjadi oksidasi kembali besi-fero menjadi besi-feri,
sehingga terbentuklah karatan coklat pada rekahan-rekahan, bekas- bekas saluran akar, atau
tempat-tempat lain di mana udara dapat masuk. Pada tanah pasir, karatan coklat pada
bekas-bekas akar tidak terlalu jelas terlihat. Pada tanah masam yang dalam keadaan
tergenang mengandung besi-fero tinggi, karatan besi menjadi lebih jelas setelah tanah
dikeringkan. Kecuali itu, akibat proses penyawahan yang berulang-ulang terjadi, dapat
terbentuk horizon baru yang khas terdapat pada tanah sawah, seperti lapisan tapak bajak,
horizon iluviasi Fe, horizon iluviasi Mn, dan lain-lain.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan profil tanah sawah :
1. Cara pembuatan sawah
Cara pembuatan sawah tergantung dari beberapa hal, antara lain, kondisi
relief/topografi dan hidrologi tanah asalnya.
2. Relief
Bila relief/topografi tanah asal berombak atau berlereng, maka lebih dulu
harus dibuat teras bangku.
3. Hidrologi
Pembuatan sawah dari lahan rawa dilakukan dengan membuat saluran- saluran
drainase, agar lahan menjadi lebih kering, atau tidak terus-menerus tergenang. Cara budi
daya padi sawah
4. Pola tanam dan penggenangan
Akibat adanya perbedaan pola tanam dapat menyebabkan perbedaan lamanya
penggenangan tersebut, maka terjadilah perbedaan sifat-sifat morfologi tanah sawah. Sifat-
sifat tanah sawah, termasuk sifat morfologinya, juga berubah setiap musim akibat
penggunaan tanah yang berbeda.
5. Penambahan lumpur bersama air irigasi
Air pengairan mengandung lumpur yang diendapkan pada petak sawah. Oleh karena
itu, selalu ada penambahan lumpur pada lapisan olah. Kualitas dan jumlah lumpur yang
diendapkan sangat beragam, tergantung dari sumber lumpur dan banyaknya air. Akibatnya,
lapisan olah semakin tebal karena penambahan lumpur tersebut.
6. Penambahan bahan kimia/unsur hara
Pemberian pupuk, baik pupuk buatan maupun pupuk kandang, kapur dan bahan
amelioran lain akan berpengaruh terhadap sifat tanah sawah. Demikian juga praktek
pengolahan tanah sawah yang dilakukan dengan cara mencampur dan membalik horizon
tanah, pelumpuran, dan pemadatan, dapat mempengaruhi sifat dan perkembangan profil
tanah.
7. Cara budi daya
Pembuatan sawah diawali dengan perataan tanah dan pembuatan pematang. Tanah
sawah yang diolah dalam keadaan jenuh air, dengan cara “bajak-garu-bajak-garu” hingga
halus, baru kemudian ditanami benih padi, menyebabkan struktur tanah hancur hingga
menjadi lumpur yang cocok untuk padi sawah. Tanah sawah yang dilumpurkan, jika
kemudian sawah dikeringkan untuk ditanami palawija, akan menjadi masif atau tidak
berstruktur, oleh karena itu harus diolah lagi. Penggenangan sedalam 5–10 cm selama 4 – 5
bulan pertanaman padi, menyebabkan terjadinya kondisi reduksi selama jangka waktu
tersebut.

Profil tanah sawah dan pembentukannya

Faktor penting dalam proses pembentukan profil tanah sawah adalah genangan air
di permukaan, dan penggenangan serta pengeringan yang bergantian. Proses pembentukan
profil tanah sawah meliputi berbagai proses, yaitu (a) proses utama berupa pengaruh
kondisi reduksi-oksidasi (redoks) yang bergantian; (b) penambahan dan pemindahan bahan
kimia atau partikel tanah; dan (c) perubahan sifat fisik, kimia, dan mikrobiologi tanah,
akibat penggenangan pada tanah kering yang disawahkan, atau perbaikan drainase pada
tanah rawa yang disawahkan. Secara lebih rinci, proses pembentukan profil tanah sawah
meliputi (a) gleisasi dan eluviasi; (b) pembentukan karatan besi (Fe) dan mangan (Mn); (c)
pembentukan warna kelabu (grayzation); (d) pembentukan selaput (cutan); (e) penyebaran
kembali basa basa; dan (f) akumulasi dan dekomposisi bahan organik.

Profil tanah sawah tipikal


Berdasarkan proses pembentukan tanah seperti telah diuraikan, maka terbentuklah
profil tanah sawah dengan sifat morfologi yang berbeda-beda, tergantung dari sifat tanah
asalnya. Profil tanah sawah yang tipikal (khas), atau Aquorizem (Kanno, 1978), yang
terbentuk pada tanah kering dengan air tanah dalam, seperti yang dikemukakan oleh
Koenigs (1950), sedikit berbeda dengan profil tanah sawah tipikal dengan air tanah yang
agak dangkal (Moormann and van Breemen, 1978).

Pengamatan di berbagai tempat di Indonesia menunjukkan bahwa lebih banyak


tanah sawah yang tidak menunjukkan profil tanah yang tipikal tersebut, dibandingkan
dengan yang memilikinya. Hal ini disebabkan karena kebanyakan sawah di Indonesia,
antara lain, dibuat pada tanah dengan air tanah yang sangat dangkal, atau lahan rawa yang
dikeringkan.
Horizon-horizon pada tanah sawah

Beberapa horizon yang terbentuk pada tanah sawah dan proses pembentukannya
diuraikan berikut ini. Simbol-simbol horizon yang dicantumkan dalam uraian ini, sebagian,
bukan merupakan simbol horizon baku, seperti yang digunakan dalam Taksonomi Tanah
(Soil Survey Staff, 1999; 2003).

Lapisan olah (Apg)


Lapisan olah tanah sawah adalah lapisan tanah teratas yang diolah dalam keadaan
basah dan terus-menerus digenangi selama disawahkan, tetapi kering pada waktu tidak
disawahkan. Bila tergenang air, lapisan olah dapat dipisahkan menjadi dua bagian yaitu:

a. Apg1 – Lapisan tipis teroksidasi (1–2 mm; Kanno, 1978), di permukaan tanah
langsung di bawah air genangan. Beberapa penulis menyebutkan tebal lapisan
teroksidasi ini, antara 0,5–10 mm, atau 2-20 mm, tergantung dari jumlah O2 yang
terlarut dalam air genangan, kapasitas mereduksi tanah (kadar C-organik tanah),
perkolasi air dan aktivitas fauna tanah dan fauna air. Apg2 – Lapisan tereduksi di
bawah lapisan oksidasi yang disebut “reversal gley” (Uchiyama, 1949), “inverted
gley” (Dudal and Moormann, 1964), “surface pseudo gley” (Tan, 1968). Tingkat
gleisasi tergantung lamanya penggenangan dan tekstur tanah. Semakin lama
digenangi dan semakin halus tekstur tanah, semakin tinggi gleisasi.
b. Lapisan tapak bajak (Adg)
Lapisan tapak bajak (plow pan, plow sole, traffic pan), bukan merupakan horizon
genetik tersendiri (Kyuma and Kawaguchi, 1966). Mungkin merupakan sebagian dari
horizon A dan sebagian horizon B, atau salah satu dari keduanya.
c. Lapisan paitu (E)
Di Cina dan Jepang sering ditemukan lapisan berwarna pucat, setebal 10– 25 cm,
terletak di antara lapisan tapak bajak dengan horizon iluviasi dibawahnya, yang disebut
“lapisan paitu” (tanah putih).

Horizon iluviasi-Fe (Bir) di atas iluviasi-Mn (Bmn) yang sebagian besar teroksidasi

Kedua horizon ini dapat terbentuk pada tanah berdrainase baik yang disawahkan,
yang kedalaman air tanahnya >1 m. Keduanya ditemukan di bawah lapisan tapak bajak,
dan merupakan horizon iluviasi Fe (Bir) dan horizon iluviasi Mn (Bmn), yang sebagian
besar telah teroksidasi. iluviasi Mn (Bmn) umumnya lebih tebal (Koenigs, 1950; Grant,
1965).
Horizon Bir yang telah berkembang lanjut, dapat mengeras menjadi padas besi
tipis, yang disebut horizon “plakik” (placic horizon). Di bawah Bmn, sering ditemukan
horizon Bir-mn atau Bmn-ir, dimana iluviasi Fe dan Mn tidak jelas terpisahkan. Akibat
iluviasi Fe dan Mn tersebut, dapat terbentuk struktur tanah. majemuk, prismatik, atau
gumpal bersudut, dengan selaput Fe atau Mn pada bidang-bidang strukturnya.

Horizon B (Bw, Bt) tanah asal


Pada tanah-tanah dengan air tanah dalam yang disawahkan, horizon- horizon tanah
asli di bawah horizon iluviasi Fe dan Mn, umumnya tidak terpengaruh oleh resapan air
genangan di permukaan akibat penyawahan. Karena itu, tidak terlihat adanya perubahan
sifat-sifat tanah akibat penyawahan. Horizon-horizon tersebut tetap mempertahankan sifat-
sifat tanah asalnya.

Horizon iluviasi-Mn (Bmn) di atas iluviasi-Fe (Bir) yang sebagian besar tereduksi
Pada tanah sawah dengan air tanah yang relatif dangkal, terbentuk horizon iluviasi
Fe dan iluviasi Mn di atas garis permukaan air tanah, akibat naik turunnya permukaan air
tanah sesuai dengan musim. Pada waktu permukaan air tanah naik ke lapisan yang lebih
oksidatif diatasnya, maka Fe2+ dan Mn2+ juga ikut terbawa, dan karena Fe lebih sukar
larut daripada Mn, maka Fe akan mengendap lebih dulu. Akibatnya, terbentuklah horizon
Bir di bawah horizon Bmn (Moorman and van Breemen, 1978). Kedua horizon ini kadang
dapat terpisah dengan jelas, tetapi kadang-kadang juga tidak jelas terpisah.

Horizon tereduksi permanen (Cg)


Horizon ini terdapat pada tanah sawah dengan air tanah dangkal atau agak dangkal.
Karena terus-menerus tergenang oleh air tanah, maka seluruh horizon tanah ini dalam
keadaan reduksi. Genangan air di permukaan tanah sawah tidak banyak berpengaruh pada
horizon ini, karena pengaruh genangan air tanah yang sudah berlangsung sejak awal proses
pembentukan tanah, secara alamiah telah berlangsung sangat kuat.
Profil tanah sawah berpasir
Dalam penelitiannya terhadap tanah-tanah sawah berpasir yang berasal dari lahar
Gunung Merapi di Yogyakarta, Rayes (2000) mengemukakan bahwa terdapat perbedaan
sifat morfologi yang jelas, terutama pada 60 cm teratas profil tanah, antara tanah yang
disawahkan (Gambar 2 b,c,d; 3 b,c,d; 4 b,c,d) dengan tanah serupa yang tidak disawahkan
(Gambar 2a; 3a; 4a). Moormann and van Breemen (1978), mengemukakan bahwa lapisan
tapak bajak tidak terbentuk pada tanah sawah berpasir. Namun, penelitian Rayes (2000)
menunjukkan bahwa pada tanah sawah berpasir yang ditanami padi tiga kali setahun
(Gambar 2d; 3d; 4d), dijumpai lapisan tapak bajak (Ad dan Bd) setebal 4–11 cm, pada
kedalaman 15– 27 cm dari permukaan tanah. Pada tanah sawah yang ditanami padi satu
dan dua kali setahun, lapisan tapak bajak berkembang menjadi lapisan padas besi/mangan
(Bdsm) seperti terlihat pada Gambar 2b,c; 3b,c dan 4b,c.

Padas besi yang terbentuk menyerupai sifat fragipan, yaitu mengeras dalam
keadaan kering, tetapi hancur bila direndam air. Walaupun demikian, padas besi pada
pedon-pedon yang diteliti, tidak dapat digolongkan sebagai fragipan, karena tebalnya
umumnya <15 cm, dan ditemukan akar-akar tanaman pada jarak lateral <10 cm. Pada
semua profil tanah yang diamati, konsentrasi karatan Fe selalu berada di atas karatan Mn.
Kecuali itu, pada tanah sawah dengan tanaman padi satu kali pertahun (1P), yang berarti
semakin lama periode kering, lapisan besi/mangan (Bdsm) ditemukan, semakin tebal dan
semakin dangkal (Gambar 2b, 3b, dan 4b). Demikian juga, semakin halus tekstur tanah,
lapisan padas besi/mangan (Bdsm) juga semakin dangkal dan semakin tebal (Gambar 4b,d;
bandingkan dengan Gambar 3b,d dan Gambar 2b,d). Sedangkan pada tanah sawah dengan
dua kali padi pertahun (2P), semakin halus tekstur tanah, lapisan padas besi/mangan
terlihat semakin dalam dan semakin tebal (Gambar 4c; bandingkan dengan Gambar 3c; 2c).

Terbentuknya lapisan tapak bajak, atau lapisan padas besi/mangan, pada tanah
sawah berpasir di daerah lahar ini, berhubungan erat dengan kandungan silika-amorf yang
tinggi dalam air dan larutan tanah. Kandungan Si-amorf yang tinggi juga menyebabkan
terbentuknya duripan (Bqm) di berbagai tempat, tetapi pembentukannya tidak disebabkan
oleh penyawahan (Gambar 3a,b). Dengan perkataan lain, duripan dapat terbentuk, baik
pada tanah kering maupun pada tanah yang disawahkan. Selain itu, penyawahan pada tanah
berpasir tidak menyebabkan terjadinya gleisasi yang kuat, sehingga tidak ditemukan tanah
dengan kroma rendah (kroma <2; value >4), dan menunjukkan reaksi negatif dengan a,a’
dipridil.

Pengaruh kedalaman air tanah terhadap pembentukan profil tanah sawah

Kanno (1956) membedakan tanah sawah, berdasarkan atas kedalaman air tanahnya sebagai
berikut:
1) Tanah sawah dengan air tanah dangkal atau tergenang, disebut “Tanah sawah glei
air tanah” (Ground water gley rice soils).
2) Tanah sawah dengan kedalaman air tanah sedang, disebut “Tanah sawah mirip glei
peralihan” (Intermediate gley-like rice soils).
3) Tanah sawah dengan air tanah dalam, disebut “Tanah sawah mirip glei air
permukaan” (Surface water gley-like rice soils).

Pengaruh permeabilitas tanah terhadap profil tanah sawah


Mitsuchi (1975) mengemukakan bahwa kenampakan profil tanah sawah dapat
berbeda-beda, akibat perbedaan pada permeabilitas tanah yang disawahkan, yang mungkin
terjadi karena perbedaan tekstur tanah, atau perbedaan sebaran pori-pori tanah.
Berdasarkan perbedaan permeabilitas tanah tersebut, ia mengemukakan adanya tiga jenis
tanah sawah yaitu:

1) Tanah sawah coklat (Brown lowland paddy soils)


2) Tanah sawah kelabu (Gray lowland paddy soils)
3) Tanah sawah glei (Hanging-water Gley lowland paddy soils)
KLASIFIKASI TANAH SAWAH

Dalam Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1996; 1999; 2003), tidak terdapat
klasifikasi (nama) untuk tanah sawah, pada tiga kategori tertinggi yaitu pada tingkat ordo,
subordo, maupun great group. Sifat-sifat khas tanah sawah baru muncul pada Taksonomi
Tanah tahun 1992 (Soil Survey Staff, 1992), berdasarkan rekomendasi dari ICOMAQ
(International committee on aquic soil moisture rezime) yang mengusulkan adanya
“saturasi anthrik”, dan “kondisi anthrakuik”, untuk mewadahi sifat-sifat khas tanah sawah,
akibat pelumpuran dan penggenangan terus-menerus selama pertumbuhan tanaman padi
sawah.
Dalam dua edisi Taksonomi Tanah yang terakhir (Soil Survey Staff, 1999; 2003),
klasifikasi (nama) tanah sawah ditempatkan pada tingkat subgrup, dengan menggunakan
awalan “anthraquic”, untuk mencerminkan adanya “kondisi anthrakuik” pada tanah sawah.
Terdapat sebelas subgrup “anthraquic”, yaitu masing-masing dua subgrup pada ordo
Alfisol, Andisol, Entisol, Inceptisol, dan Ultisol, serta satu subgrup pada ordo Mollisol.
Masing-masing subgrup tersebut adalah pada Alfisol (Anthraquic Hapludalf dan
Anthraquic Paleudalf), Andisol (Anthraquic Hapludand dan Anthraquic Melanudand);
Entisol (Anthraquic Ustifluvent dan Anthraquic Ustorthent); Inceptisol (Anthraquic
Eutrudept dan Anthraquic Haplustept), Ultisol (Anthraquic Kanhaplohumult dan
Anthraquic Paleudult), dan Mollisol (Anthraquic Haplustoll);

Klasifikasi tanah sawah Indonesia

Klasifikasi tanah sawah sangat ditentukan oleh klasifikasi tanah asalnya, sebelum
tanah disawahkan. Karena tanah sawah dapat berasal dari berbagai macam jenis tanah,
maka menurut Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999; 2003) pada kategori yang
paling kasarpun, yaitu kategori ordo, tanah sawah sudah mempunyai nama yang berbeda-
beda. Banyak tanah sawah di Indonesia yang klasifikasi tanahnya tidak mengalami
perubahan, meskipun tanahnya telah digunakan untuk bertanam padi selama puluhan
tahun. Hal ini terjadi karena penyawahan, tidak menghasilkan horizon penciri atau sifat
penciri baru, yang dapat merubah klasifikasi tanah lama ke klasifikasi tanah yang baru.
Keadaan seperti ini umumnya ditemukan pada tanah dengan air tanah yang sangat dangkal
atau tergenang, yang disawahkan.
Pada tanah sawah yang berasal dari lahan kering, perubahan klasifikasi tanah pada
kategori tertentu, lebih mungkin dapat terjadi. Hal ini disebabkan karena penggenangan
tanah kering di permukaan, dan metode pengelolaan tanah sawah lain yang dilakukan
bertahun-tahun, mampu menghasilkan perubahan sifat morfologi dan sifat-sifat lain secara
permanen, meskipun sebagian terbatas di bagian permukaan profil tanah. Perubahan yang
menghasilkan sifat morfologi dan sifat-sifat lain yang permanen dalam suatu pedon,
menghasilkan horizon penciri atau sifat penciri baru, yang pada kategori klasifikasi
tertentu, dapat merubah klasifikasi tanah asal ke dalam klasifikasi tanah baru.

Berdasarkan data yang dikemukakan oleh Soepraptohardjo dan Suhardjo (1978),


diperkirakan bahwa sekitar 70% tanah sawah di dataran rendah di Indonesia termasuk
dalam ordo Inceptisol, Entisol, dan Vertisol (sepadan dengan: Aluvial, tanah Glei, Regosol,
dan Grumusol). Sekitar 22% merupakan pesawahan “uplands” di daerah volkan, yang
termasuk dalam ordo Ultisol, Inceptisol, Andisol, dan Alfisol (Latosol, Regosol, Andosol,
dan Mediteran). Sedangkan sekitar 6% merupakan pesawahan pada tanah-tanah masam,
yang termasuk dalam ordo Ultisol dan Oxisol (Podsolik Merah Kuning).

Tanah sawah di dataran rendah, di dominasi (55%) oleh subordo Aquept dan
Aquent (Aluvial dan Tanah Glei), sedangkan tanah sawah di daerah “uplands” didominasi
(17%) oleh subordo Udept (Latosol dan Regosol). Tanah-tanah sawah yang termasuk ke
dalam subordo Aquept dan Aquent, umumnya berasal dari tanah dengan air tanah yang
sangat dangkal atau selalu tergenang air, khususnya di daerah pelembahan atau lahan rawa.
Sedangkan yang termasuk Udept, umumnya berasal dari tanah kering yang disawahkan.
Ordo tanah sawah lain yang cukup luas, adalah Vertisol (Grumusol), sekitar 7%, yang
terutama mencakup subordo Aquert, Udert, dan Ustert; Ultisol dan Oxisol (Podsolik Merah
Kuning), sekitar 6%, dengan subordo utama Aquult dan Paleudult, serta Aquox dan
Kandiudox; Alfisol (Mediteran Merah Kuning), sekitar 4%, terutama subordo Aqualfs,
Udalf, dan Ustalf; Andisol (Andosol), sekitar 1%, yang utamanya masuk subordo Udand,
Ustand, dan Aquand. Beberapa tanah sawah bukaan baru di daerah “uplands” di luar Jawa,
umumnya termasuk dalam ordo Ultisol dan Oxisol (Podsolik Merah Kuning, Lateritik,
Latosol). Tanah sawah yang termasuk Oxisol jumlahnya masih sangat sedikit, diperkirakan
<1% dari seluruh tanah sawah yang ada.
Perubahan sifat morfologi tanah yang mempengaruhi klasifikasi tanah

Penggunaan tanah untuk padi sawah dapat menyebabkan perubahan permanen sifat
morfologi dan sifat fisiko-kimia tanah asal, yang selanjutnya dapat menyebabkan
perubahan klasifikasi tanah. Perubahan-perubahan tersebut disebabkan oleh cara budi daya
padi sawah, seperti pelumpuran lapisan olah dan penggenangan selama pertumbuhan padi,
atau akibat cara pembuatan sawah, seperti pembuatan teras, pembuatan saluran drainase
pada tanah rawa, dan sebagainya. Namun demikian, kadang-kadang perubahan tersebut
hanya sedikit terlihat dan umumnya hanya terbatas pada horizon permukaan. Perubahan
tersebut kadang-kadang juga hanya bersifat sementara, dalam arti, terbatas hanya pada
waktu sedang disawahkan.
Sementara bila digunakan lagi untuk pertanian lahan kering (palawija), sifat tanah
berubah kembali mendekati ke sifat tanah asalnya. Pada Vertisol, perubahan kembali ke
sifat tanah asal lebih jelas terlihat. Setelah satu siklus pergiliran tanaman, padi-palawija-
padi, terjadi proses pedoturbasi, yaitu proses perubahan kembali ke sifat tanah asal karena
sifat-sifat tanahnya sendiri, yang dalam hal ini sifat mengembang-mengkerut.

Berkaitan dengan hal-hal tersebut, maka perubahan sifat morfologi tanah akibat
penyawahan, secara taksonomi sering dianggap tidak terlalu penting dan tidak dapat
dicerminkan dalam klasifikasi tanah (Dudal and Moormann, 1964; Wada, 1966).
Walaupun demikian, perubahan yang permanen yang penting untuk klasifikasi tanah dapat
juga terjadi, sebagai akibat efek kumulatif dari perubahan- perubahan musiman atau
berbagai praktek pengelolaan tanah sawah. Perubahan sifat-sifat morfologi tanah yang
berpengaruh terhadap klasifikasi tanah meliputi:
(1) perubahan rejim kelembapan tanah; (2) perubahan karena pembuatan teras;
(3) perubahan karena terbentuknya horizon tambahan; dan (4) perubahan karena
terbentuknya horizon albik.

Perubahan rejim kelembapan tanah


Karena tanah sawah terus-menerus digenangi air selama pertumbuhan tanaman
padi, maka secara umum telah terjadi perubahan rejim kelembapan tanah, dari rejim ustik
menjadi udik, atau dari udik menjadi rejim akuik. Selain itu, pada tanah sawah, akibat
pelumpuran lapisan olah dan penggenangan secara terus-menerus, tercipta kondisi akuik
yang secara khusus disebut “kondisi anthrakuik” (anthraquic condition). Kondisi
anthrakuik adalah kondisi akuik yang khusus, yang terjadi karena tanah ditanami dan
digenangi (irigasi) secara sengaja oleh manusia.

Perubahan karena pembuatan teras


Dalam pembuatan teras, bagian atas lereng digali, sedangkan pada bagian bawah
lereng, dilakukan penimbunan bahan tanah. Semakin curam lereng, penggalian tanah
semakin dalam.

Perubahan karena terbentuknya horizon tambahan


Terbentuknya lapisan tapak bajak tidak mempengaruhi klasifikasi tanah sampai
tingkat famili, tetapi dapat digunakan sebagai pembeda pada tingkat seri tanah.
Terbentuknya lapisan yang banyak mengandung Fe (Bir) dan Mn (Bmn), mungkin dapat
juga merubah klasifikasi tanah.

Perubahan karena terbentuknya horizon albik


Penggenangan dan pengeringan yang bergantian menyebabkan proses reduksi dan
oksidasi yang bergantian di lapisan permukaan tanah, sehingga suatu proses yang disebut
ferolisis dapat terjadi di lapisan tersebut, yang dapat membentuk horizon albik. Proses
ferolisis umumnya terjadi pada tanah masam yang mengalami penggenangan dan
pengeringan silih berganti.

Anda mungkin juga menyukai