Model PKAH di Kec. Ponggok, Blitardengan komoditas nanas, mempunyai prospek yang baik,
karena petani sudah biasa membudidayakan dan pasarnya telah ada. Pengembangan komoditas
tersebut memerlukan dukungan sarana, prasarana serta teknologi, dari Dinas dan Instansi
terkait. Sebagian besar petani di kawasan tersebut sudah biasa menanam nanas, namun dengan
menggunakan teknologi yang masih sederhana,pemupukan berdasarkan kebiasaan dan
pengalaman yang turun temurun,sedangkan pemberantasan hamapenyakit dilakukan secara
konvensional/ coba-coba. Pada demplot on farm dilakukan penanaman nanas dengan
menggunakan varietas lokal Ponggok dan introduksi varietas Smooth Kayen.
Pendampinganteknologi budidaya dilakukan secara menyeluruh. Pendampingan teknologi off
farm dilakukan dengan pengenalan beberapa teknologi pengolahan nanas seperti pembuatan
sirup nanas, manisan nanas dan keripik nanas. Target yang akan dicapai adalah teradopsinya
beberapa inovasi teknologi yang sudah diperkenalkan dapat diadopsi oleh petani nanas untuk
meningkatkan nilai tambah dari agribisnis nanas.
Kesimpulan :
Antisipasi anomali iklim menurut Fagi et al. (2002) bertujuan (1) menyiapkan upaya dan
pemanfaatan teknologi tepat guna, (2) mengupayakan penanggulangan dan penyelamatan
tanaman dari kemungkinan deraan kekeringan atau banjir, dan (3) mengurangi dampak El-Nino
terhadap penurunan produksi tanaman. Program aksi antisipasi dan penanggulangan dipilah
menurut waktu yaitu sebelum, selama, dan sesudah terjadi anomali iklim.
Langkah operasional dalam mengantisipasi kekeringan menurut Fagi et al. (2002) adalah
(1) Membuat rencana tanam dan pola tanam pada lokasi yang sering dilanda El-Nino,
mengevaluasi karakteristik curah hujan serta pola ketersediaan air irigasi, (2) menyiapkan benih
varietas yang relatif toleran kekeringan berumur sangat genjah atau tanaman alternatif yang
lebih toleran kering, (3) menyiapkan infrastruktur irigasi, dan (4) memanfaatkan sumber daya air
alternatif dan menyusun serta menyiapkan program aksi pada musim hujan setelah kekeringan.
Salah satu antisipasi kekurangan air pada budidaya tanaman semusim adalah penerapan
teknologi yang efisien dalam pemakaian air pada musim kemarau atau akhir musim penghujan.
Modifikasi alat dan respon petani terhadap teknologi ini sangat diperlukan bagi pengembangan
teknologi hemat air baik itu untuk lahan irigasi maupun lahan kering.
Kesimpulan :
Pemakaian jaringan irigasi tetes di dalam budidaya hortikultura (sayuran dan buah
semusim) disesuaikan dengan kondisi lahan dan kemampuan pengguna teknologi dalam
mengadopsi komponen teknologi yang telah adaptif di tingkat pengguna. Sudah saatnya
pemerintah mendukung pengembangan inovasi teknologi jaringan irigasi tetes di tingkat petani
dengan harga yang terjangkau oleh petani. Penggunaan jaringan irigasi tetes mampu
mengefisienkan penggunaan air dan kenyamanan dalam tenaga pengairan.
3. Irigasi Tetes: Solusi Kekurangan Air pada Musim Kemarau
Pada musim kemarau, air yang tersedia sangat sedikit, sedangkan kebutuhan akan air
kurang lebih sama dengan musim hujan. Untuk mengatasi kebutuhan air di masa sulit air adalah
dengan menggunakan irigasi tetes. Pada irigasi tetes, pengairan bisa disesuaikan dengan
kebutuhan air setiap jenis tanaman yang berbeda-beda tergantung pada fase pertumbuhan dan
jenis tanamannya.
Irigasi Tetes :
Prinsip irigasi tetes atau yang sering disebut dengan Trickle Irrigation atau Drip Irrigation
adalah irigasi yang menggunakan jaringan aliran dengan memanfaatkan gaya gravitasi. Jaringan
irigasi tetes terdiri dari pipa utama, pipa sub utama dan pipa lateral. Pada ujung pipa lateral
terdapat pemancar (emitter) yang digunakan untuk mendistribusikan air secara merata pada
tanaman sesuai kebutuhan. Pemancar diletakkan di dekat perakaran sehingga tanah yang
berada di daerah perakaran selalu lembab.
Di samping itu sistem irigasi tetes mengurangi proses penguapan (evaporasi), di mana
nutrisi dapat langsung diberikan ke tanaman melalui irigasi. Sistem irigasi cocok digunakan
untuk tanaman yang ditanam secara berderet.
Teknik irigasi yang diterapkan adalah irigasi kocor/teknologi petani dan irigasi tetes.
Media tanamnya terdiri dari penanaman di lahan dengan penutupan mulsa plastik dan di
polibag. Pada teknik irigasi tetes, air diberikan dalam bentuk tetesan secara terus menerus di
permukaan tanah disekitar daerah perakaran dengan menggunakan pemancar (emitter), “slang
akuarium”, sehingga penggunaan air sedikit dan langsung mengalir ke tanaman secara terus
menerus sesuai kebutuhan tanaman. Penyiraman dengan sistem ini dilakukan tiap pagi hari
selama 10 menit. Sistem tekanan air rendah ini mengalirkan air secara lambat dan akurat pada
akarakar tanaman, tetes demi tetes.Penyiraman dilakukan dengan membuka kran sekitar
selama 2 – 3 menit. Penyiraman dilakukan setiap 2 hari sekali setelah tanam selama fase
vegetatif sebanyak 250 ml air pertanaman. Sedangkan pada saat fase generatif sebanyak 500
ml pertanaman yang diberikan setiap hari pada pagi hari.
Irigasi tetes ini kurang tepat apabila diterapkan pada usaha skala kecil seperti pada
tanaman sayuran di lahan pekarangan untuk kebutuhan keluarga. Irigasi tetes tetap bisa
diterapkan pada pemanfaatan lahan pekarangan dengan alasan kepraktisan. Teknologi irigasi ini
lebih sesuai diterapkan pada usahatani komoditas ekonomis dengan skala besar atau pada
usahatani sayuran dengan keterbatasan tenaga kerja.
Kesimpulan :
Penggunaan teknologi penghematan air berupa irigasi tetes mampu menghemat air dan tenaga
kerja. Teknologi ini dianggap teknologi baru di beberapa lokasi, namun karena harga perangkat
yang relatif mahal ada kecenderungan sulit menerapkan (adopsi) di lokasi. Untuk mengatasi
harga yang mahal, penggunaan perangkat irigasi bisa disesuaikan (adaptasi) dengan cara
mengganti beberapa komponen dengan bahan yang lebih murah dan mudah didapat. Teknologi
ini lebih tepat kalau diterapkan pada usahatani komoditas ekonomis dengan skala besar.
Sayuran yang ditanam merupakan tanaman semusim, sehingga hasil panen dapat
dilakukan setiap 2–3 bulan. Sedangkan untuk tanaman buah-buahan seperti pepaya dan pisang
dilakukan panen sebelum buah terlalu masak sekitar 80% dari tingkat kematangan. Untuk
pengelolaan hasil panen dapat dijual, dikonsumsi sendiri atau diberikan kepada tetangga atau
saudara. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menukar hasil panen kepada tetangga atau
pemilik warung untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan.
Di samping itu bisa dilakukan dengan menjual ke pemilik warung secara tunai sehingga
dapat menambah pendapatan keluarga. Hasil panen juga dapat dilakukan dengan menjualnya
ke pedagang yang berada di pasar secara tunai. Penjualan dapat dilakukan secara berkelompok
bersama-sama dengan anggota kelompok yang lain sehingga dapat terhindar dari tengkulak.
Selain itu juga dapat dilakukan pengolahan hasil dari sayuran seperti pembuatan keripik
dan stick dari bayam, kangkung, labu, dan pare. Semua itu dapat menambah hasil pendapatan
ibu rumah tangga. Kelompok wanita tani juga dapat bekerja sama dengan mitra kerja, yaitu
supermarket, bank dan koperasi. Ini semua akan membantu dari segi pemasaran dan finasial
lainnya. Di samping untuk kepentingan ekonomi juga dapat dilakukan pembenihan/pembibitan.
Dalam pemanfaatan pekarangan oleh ibu rumah tangga, tanaman yang ditanam
merupakan produk hortikultura meliputi sayuran, buah-buahan, rempah/obat dan tanaman
hias. Hasil panen dari tanaman dapat dijual atau diolah menjadi makanan, sehingga dapat
menambah nilai ekonomi dan sebagai sumber pendapatan. Untuk mendapatkan benih/bibit
yang ditanam dapat diperoleh dari benih sendiri, diberi dari Kebun Bibit Desa (KBD) atau
membeli di toko pertanian.
5. Pemanfaatan Selasih sebagai Pemikat Lalat Buah pada Tanaman Sayur dan Buah di Jawa Timur
Tanaman selasih (Ocimum basilicum Linn) atau masyarakat umum di Jawa Timur menyebutnya
tanaman lampes. Tanaman ini banyak tumbuh liar di musim hujan pada lahan tegal, merupakan spesies
tumbuhan berbentuk perdu yang tumbuh tegak dengan tinggi 45–90 cm. Daun dan batang berwarna
hijau sampai dengan ungu, tergantung jenisnya dan mengeluarkan aroma sangat tajam, sehingga
disebut tanaman aromatik. Tanaman ini dapat menghasilkan minyak atsiri dengan aroma yang
menyerupai sex pheromone seperti yang ada pada serangga betina sehingga menarik serangga jantan
khususnya hama lalat buah (Bactrocera dorsalis) pada tanaman buah-buahan dan sayuran.
Minyak selasih termasuk minyak atsiri atau essential oil, merupakan sisa metabolisme dalam
tanaman. Minyak tersebut disintetis dalam sel kelenjar pada jaringan tanaman dan ada juga yang
terbentuk dalam pembuluh resin (Ketaren 1985) dan mempunyai tiga jenis bahan aktif yang sudah di
kenal yaitu eugenol yang dapat berfungsi sebagai fungisida, tymol yang dapat befungsi sebagai repellent
(penghalau serangga) dan metil eugenol yang berfungsi sebagai atraktan (pemikat) hama lalat buah
(Paudi 2014).
Dengan kemampuan minyak atsiri yang berbahan aktif metil eugenol untuk menarik serangga jantan
tersebut, maka tanaman berpotensi sebagai perangkap lalat buah jantan. Berkurangnya populasi lalat
jantan menyebabkan lalat betina tidak bisa bertelur sehingga secara perlahan populasi lalat buah akan
berkurang. Rendemen minyak selasih, kandungan bahan aktif dan persentasenya sangat bervariasi
antarspesies. Menurut Kardinan (2003), kandungan perangkap nabati metil eugenol, pada tanaman
selasih cukup tinggi, yaitu pada daun berkisar 64,5 % dan pada bunga dapat mencapai 71%. Besarnya
rendemen tersebut sangat dipengaruhi umur tanaman dan rata-rata kandungan minyak selasih sekitar
0,18 – 0,23% (Pitojo 1996).
Ketersediaan minyak selasih sebagai perangkap lalat buah sangat diperlukan karena sampai saat ini
perangkap nabati tersebut belum tersedia secara luas di pasaran di Jawa Timur. Tanaman selasih mudah
didapatkan dan dibudidayakan karena mampu beradaptasi dengan berbagai lingkungan. Menurut
Borror (1992), ada beberapa jenis selasih yang berkembang di masyarakat yang dapat digunakanuntuk
mengendalikan lalat buah antara lain O. minimum, O. tenuiflorum, O. sanctum dan lainnya), namun jenis
selasih merah dan hijau dengan tipe bunga dompol mempunyai kandungan metil eugenol paling tinggi
dibanding jenis yang lain (Gambar 1). Guna memproduksi ekstrak selasih, tanaman yang bisaanya
tumbuh liar perlu dibudidayakan untuk meningkatkan produksi selasih sehingga diperoleh ekstrak yang
lebih banyak.
Cara aman mengurangi serangan lalat buah adalah dengan menurunkan populasi hama di lapang
melalui perangkap yang mengandung metil eugenol. Metil eugenol (C12H24O2) diketahui bersifat
atraktan atau penarik hama lalat buah jantan. Penggunaan metil eugenol sebagai atraktan untuk
pengendalian lalat buah dilakukan dengan teknik perangkap. Perangkap atraktan metil eugenol yang
dipasang di sekitar pertanaman untuk menangkap lalat jantan supaya lalat betina tidak dapat
berkembang biak sehingga dapat mengurangi populasi lalat buah (Lengkong et al. 2011). Cara ini
dianggap efektif, ramah lingkungan dan tidak meninggalkan residu dalam komoditas yang dilindungi.
Menurut Omoy et al. (1997) penurunan populasi lalat buah dengan metil eugenol mencapai 90–95%.
Kesimpulan :
Selasih merupakan salah satu jenis tanaman yang dapat digunakan untuk memikat hama lalat
buah pada tanaman buah dan sayur sebagai pengganti metil eugenol sintetis yang harganya relatif
mahal. Prospek penggunaan minyak/ekstrak selasih untuk mengelola populasi hama lalat buah sangat
baik, karena daya pikat minyak selasih terhadap hama lalat buah pada mangga 2 (dua) kali lebih tinggi
dibanding dengan atraktan kimia sintetis.