Anda di halaman 1dari 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anemia Gizi Besi

Anemia gizi besi adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan cadangan besi dalam hati,
sehingga jumlah hemoglobin darah menurun dibawah normal. Sebelum terjadi anemia gizi besi,
diawali lebih dulu dengan keadaan kurang gizi besi (KGB). Apabila cadangan besi dalam hati
menurun tetapi belum parah, dan jumlah hemoglobin masih normal, maka seseorang dikatakan
mengalami kurang gizi besi saja (tidak disertai anemia gizi besi). Keadaan kurang gizi besi yang
berlanjut dan semakin parah akan mengakibatkan anemia gizi besi, dimana tubuh tidak lagi
mempunyai cukup zat besi untuk membentuk hemoglobin yang diperlukan dalam selsel darah
yang baru (Soekirman, 2000).

Terdapat beberapa parameter untuk mengukur proses terjadinya pentahapan dari kurang gizi besi
ke anemia gizi besi. Untuk mengetahui adanya penurunan atau deplesi cadangan besi tingkat
ringan diukur dengan kadar feritin dalam serum darah yang menurun. Pada tahap berikutnya
dapat terjadi deplesi besi yang lebih parah sehingga dapat mengganggu pembentukan
hemoglobin baru, tetapi kadar hemoglobin masih normal, dimana pada tahap ini diukur dengan
menurunnya transferin saturation dan meningkatnya erythrocyte protoporphyrin. Tahap
berikutnya terjadi anemia gizi besi yang diukur dengan kadar hemoglobin atau hematokrit yang
lebih rendah dari standar normal WHO (Soekirman, 2000).

Batasan hemoglobin untuk menentukan apakah seseorang terkena anemia gizi besi atau tidak
sangat dipengaruhi oleh umur. Untuk anak-anak umur 6 bulan-5 tahun, dapat dikatakan
menderita anemia gizi besi apabila kadar hemoglobinnya kurang dari 11 g/dl, umur 6-14 tahun
kurang dari 12 g/dl, dewasa laki-laki kurang dari 13 g/dl, dewasa perempuan tidak hamil kurang
dari 12 g/dl, dan dewasa perempuan hamil kurang dari 11 g/dl (Soekirman, 2000).

2.2. Luasan Masalah Anemia Gizi Besi

Iron Deficiency Anemia (IDA) atau lebih dikenal dengan sebutan anemia gizi besi merupakan
salah satu masalah gizi yang penting di Indonesia. Masalah anemia gizi besi ini tidak hanya
dijumpai dikalangan rawan seperti anak-anak, ibu hamil, dan ibu yang sedang menyusui, tetapi
juga diantara orang dewasa terutama golongan karyawan dengan penghasilan rendah
(Djojosoebagio, et al. 1986).

Menurut Komite Nasional PBB Bidang Pangan dan Pertanian (1992), berdasarkan hasil-hasil
penelitian di beberapa tempat di Indonesia pada tahun 1980- an menunjukan bahwa prevalensi
anemia pada wanita dewasa tidak hamil berkisar 30-40%, pada wanita hamil 50-70%, anak balita
30-40%, anak sekolah 25-35%, pria dewasa 20-30% dan pekerja berpenghasilan rendah 30-40%.
Sedangkan menurut Soekirman et al. (2003) menyatakan bahwa prevalensi anemia gizi besi
mengalami penurunan dari 50,9% pada tahun 1995 menjadi 40% pada tahun 2001. Begitupun
pada wanita usia 14-44 tahun mengalami penurunan dari 39,5% pada tahun 1995 menjadi 27,9%
pada tahun 2001. Akan tetapi, untuk anak dibawah usia lima tahun angka anemia gizi besi
meningkat dari 40,0% pada tahun 1995 menjadi 48,1% pada tahun 2001.

2.3. Penyebab Anemia Gizi Besi

Menurut Komite Nasional PBB Bidang Pangan dan Pertanian (1992), anemia gizi besi dapat
disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor penyebab langsung dan faktor penyebab tidak langsung.
Faktor penyebab langsung meliputi jumlah Fe dalam makanan tidak cukup, absorbsi Fe rendah,
kebutuhan naik serta kehilangan darah, sehingga keadaan ini menyebabkan jumlah Fe dalam
tubuh menurun. Menurunnya Fe (zat besi) dalam tubuh akan memberikan dampak yang negatif
bagi fungsi tubuh. Hal ini dikarenakan zat besi merupakan salah satu zat gizi penting yang
terdapat pada setiap sel hidup, baik sel tumbuh-tumbuhan, maupun sel hewan. Di dalam tubuh,
zat besi sebagian besar terdapat dalam darah yang merupakan bagian dari protein yang disebut
hemoglobin di dalam sel-sel darah merah, dan disebut mioglobin di dalam sel-sel otot.

Hemoglobin berfungsi mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh sel tubuh, sedangkan
mioglobin mengangkut dan menyimpan oksigen untuk sel-sel otot. Besi yang ada di dalam tubuh
berasal dari tiga sumber yaitu besi yang diperoleh dari hasil perusakan sel-sel darah merah
(hemolisis), besi yang diambil dari penyimpanan dalam tubuh, dan besi yang diserap dari saluran
pencernaan (Soekirman, 2000).
Dari ketiga sumber tersebut, besi hasil hemolisis merupakan sumber utama. Pada manusia yang
normal, kira-kira 20-25 mg besi per hari berasal dari besi hemolisis, dan hanya sekitar 1 mg
berasal dari makanan. Di dalam tubuh manusia, Universitas Sumatera Utarajumlah zat besi
sangat bervariasi tergantung pada umur, jenis kelamin, dan kondisi fisiologis tubuh. Pada orang
dewasa sehat, jumlah zat besi diperkirakan lebih dari 4000 mg dengan sekitar 2500 mg ada
dalam hemoglobin. Sebagian zat besi dalam tubuh (sekitar 1000 mg) disimpan di dalam hati
dengan bentuk ferritin. Pada saat konsumsi zat besi dari makanan tidak cukup, zat besi ferritin
dikeluarkan untuk memproduksi hemoglobin (Winarno, 2002).

Ketidakcukupan jumlah Fe dalam makanan terjadi karena pola konsumsi makan masyarakat
Indonesia masih didominasi sayuran sebagai sumber zat besi yang sulit diserap, sedangkan
daging dan bahan pangan hewani sebagai sumber zat besi yang baik (heme iron) jarang
dikonsumsi terutama oleh masyarakat pedesaan (Dep Kes. RI, 1998 dalam Hulu, 2004). Menurut
Almatsier (2001), pada umumnya, besi di dalam daging, ayam, dan ikan mempunyai
ketersediaan biologik yang tinggi, besi di dalam serealia dan kacang-kacangan mempunyai
ketersediaan biologik yang sedang, dan besi yang terdapat pada sebagian besar sayur-sayuran
terutama yang mengandung asam oksalat tinggi seperti bayam mempunyai ketersediaan biologik
yang rendah.

Faktor lain yang merupakan penyebab anemia gizi besi adalah faktor penyebab tidak langsung,
yang meliputi praktek pemberian makanan yang kurang baik, komposisi makanan kurang
beragam, pertumbuhan fisik, kehamilan dan menyusui, pendarahan kronis, parasit, infeksi,
pelayanan kesehatan yang rendah, terdapatnya zat penghambat absorbsi, serta keadaan sosial
ekonomi masyarakat rendah (Komite Nasional PBB Bidang Pangan dan Pertanian, 1992).
Keadaan sosial ekonomi meliputi tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, besar keluarga,
pekerjaan, pendapatan, dan lain-lain.

Menurut Winarno (1993), tingkat ekonomi (pendapatan) yang rendah dapat mempengaruhi pola
makan. Pada tingkat pendapatan yang rendah, sebagian besar pengeluaran ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan pangan dengan berorientasi pada jenis pangan karbohidrat. Hal ini
disebabkan makanan yang mengandung banyak karbohidrat lebih murah dibandingkan dengan
makanan sumber zat besi, sehingga kebutuhan zat besi akan sulit terpenuhi, dan dapat
berdampak pada terjadinya anemia gizi besi.
Seperti yang telah disebutkan bahwa salah satu penyebab anemia gizi besi adalah adanya zat
penghambat absorbsi. Menurut Almatsier (2001), terdapat beberapa makanan yang mengandung
zat penghambat absorbsi besi diantaranya adalah beberapa jenis sayuran yang mengandung asam
oksalat, beberapa jenis serealia dan protein kedelai yang mengandung asam fitat, serta teh dan
kopi yang mengandung tanin. Bila besi tubuh tidak terlalu tinggi, sebaiknya tidak minum teh
atau kopi pada waktu makan. Selain itu, kalsium dosis tinggi berupa suplemen juga dapat
menghambat absorbsi besi.

Dalam kaitannya dengan mekanisme absorbsi, dikenal ada dua macam besi dalam makanan,
yaitu besi heme dan besi non heme . Besi heme diambil oleh sel mukosa dan dipecah di dalam
sel oleh suatu enzim pembelah heme . Adapun besi non heme mungkin diambil dalam bentuk ion
oleh penerima pada sel mukosa usus atau oleh pengangkut protein yang berada di permukaan
luminal sel. Absorbsi besi non heme sangat dipengaruhi oleh status gizi serta oleh berbagai
faktor makanan. Sedangkan absorbsi besi heme tidak dipengaruhi status gizi serta tidak
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang mempengaruhi absorbsi besi non heme (Almatsier,
2001).

2.4. Dampak Anemia Gizi Besi

Dampak yang ditimbulkan akibat anemia gizi besi sangat kompleks. Menurut Ros & Horton
(1998), Anemia Gizi Besi berdampak pada menurunnya kemampuan motorik anak, menurunnya
skor IQ, menurunnya kemampuan kognitif, menurunnya kemampuan mental anak, menurunnya
produktivitas kerja pada orang dewasa, yang akhirnya berdampak pada keadaan ekonomi, dan
pada wanita hamil akan menyebabkan buruknya persalinan, berat bayi lahir rendah, bayi lahir
premature, serta dampak negatif lainnya seperti komplikasi kehamilan dan kelahiran. Akibat
lainnya dari anemia gizi besi adalah gangguan pertumbuhan, gangguan imunitas serta rentan
terhadap pengaruh racun dari logam-logam berat.

Besi memegang peranan dalam sistem kekebalan tubuh. Respon kekebalan sel oleh limfosit-T
terganggu karena berkurangnya pembentukan sel-sel tersebut, yang kemungkinan disebabkan
oleh berkurangnya sintesis DNA. Berkurangnya sintesis DNA ini disebabkan oleh gangguan
enzim reduktase ribonukleotide yang membutuhkan besi untuk dapat berfungsi. Disamping itu,
sel darah putih yang menghancurkan bakteri tidak dapat bekerja secara efektif dalam keadaan
tubuh kekurangan besi. Enzim lain yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh yaitu
mieloperoksidase juga akan terganggu fungsinya akibat defisiensi besi (Almatsier, 2001).

Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa anemia gizi besi erat kaitannya dengan penurunan
kemampuan motorik (dampak fisik). Dilihat dari dampak fisik, anemia gizi besi dapat
menyebabkan rasa cepat lelah. Rasa cepat lelah terjadi karena pada penderita anemia gizi besi
pengolahan (metabolisme) energi oleh otot tidak berjalan sempurna karena otot kekurangan
oksigen, dimana oksigen yang dibutuhkan oleh sel-sel otot ini diangkut oleh zat besi dalam darah
(hemoglobin). Untuk menyesuaikan dengan berkurangnya jatah oksigen, maka otot membatasi
produksi energi. Akibatnya, mereka yang menderita anemia gizi besi akan cepat lelah bila
bekerja karena cepat kehabisan energi (Soekirman, 2000).

Cepatnya rasa lelah yang dialami oleh para pekerja yang menderita anemia gizi besi akan
menurunkan produktivitas kerja. Menurunnya produktivitas kerja, selain disebabkan oleh
menurunnya hemoglobin darah, juga disebabkan oleh berkurangnya enzim-enzim mengandung
besi, dimana besi sebagai kofaktor enzimenzim yang terlibat dalam metabolisme energi tersebut
(Almatsier, 2001).

Studi mengenai anemia pada pekerja wanita yang dilakukan di Jakarta, Tangerang, Jambi dan
Kudus, membuktikan bahwa anemia dapat menurunkan produktivitas kerja. Dilaporkan bahwa
anemia menurunkan produktivitas 5-10 persen dan kapasitas kerjanya 6.5 jam per minggu.
Padahal, produktivitas kerja ini sangat penting peranannya dalam menentukan nilai pendapatan
per kapita (Ravianto 1985).

Selain menurunkan produktivitas kerja yang umumnya terjadi pada penderita usia dewasa,
anemia gizi besi juga mengakibatkan dampak negatif terhadap anak usia sekolah. Anak usia
sekolah yang menderita anemia gizi besi akan mengalami penurunan kemampuan kognitif,
penurunan kemampuan belajar, dan pada akhirnya akan menurunkan prestasi belajar. Menurut
Lozzoff dan Youdim (1988) dalam Almatsier (2001), menyatakan bahwa terdapat hubungan
antara defisiensi besi dengan fungsi otak.

Defisiensi besi berpengaruh negatif terhadap fungsi otak, terutama terhadap fungsi sistem
neurotransmitter (penghantar syaraf). Akibatnya, kepekaan reseptor syaraf dopamin berkurang
yang dapat berakhir dengan hilangnya reseptor tersebut. Daya konsentrasi, daya ingat, dan
kemampuan belajar terganggu, ambang batas rasa sakit meningkat, fungsi kelenjar tiroid dan
kemampuan mengatur suhu tubuh juga menurun (Lozzoff & Youdim, 1988 dalam Almatsier,
2001).

Dampak lebih lanjut akibat anemia gizi besi adalah menurunnya status gizi seseorang. Status gizi
dapat mempengaruhi kualitas manusia, produktivitas kerja, dan menurunnya pendapatan
(Hardinsah & Suhardjo, 1987). Menurut Djojosoebagio et al. (1986), keadaan ini akan
menimbulkan akibat yang lebih luas baik pada aspek fisik, mental, kemampuan berfikir maupun
aspek sosial ekonomi dan sumberdaya manusia pada umumnya.

2.5. Penanggulangan Anemia Gizi Besi

Penanggulangan Anemia Gizi Besi yang telah dilakukan meliputi suplementasi besi dan
fortifikasi besi pada beberapa bahan makanan, serta upaya lain yang dilakukan adalah
peningkatan konsumsi makanan sumber zat besi. Program pemberian suplemen zat besi telah
dilakukan sejak tahun 1974, terhadap wanita hamil. Program ini meliputi seluruh wanita hamil
yang tersebar di beberapa puskesmas dan posyandu. Tablet suplemen ini sebagian besar berasal
dari UNICEF. Selain pada wanita hamil, suplemen besi juga diberikan pada anak dengan usia
dibawah lima tahun, yaitu berupa sirup besi (Soekirman et al., 2003).

Upaya penanggulangan anemia gizi besi dengan fortifikasi zat besi dilakukan terhadap beberapa
jenis bahan pangan. Fortifikasi besi lebih sulit dilakukan daripada fortifikasi vitamin A dan zat
iodium, karena sifat kimiawi zat besi yang beragam dan memerlukan penyesuaian dengan
pangan yang akan difortifikasi. Bahan pangan yang akan difortifikasi harus memenuhi beberapa
persyaratan diantaranya dihasilkan oleh pabrik tertentu, dikonsumsi oleh banyak orang termasuk
kelompok sasaran, harga setelah difortifikasi terjangkau, rupa dan rasa tidak berubah, serta
sesuai dengan sifat kimiawi zat fortifikan. Beberapa bahan pangan yang telah difortifikasi adalah
tepung terigu dan garam (Soekirman, 2000).

Menurut Khomsan (2004), terdapat beberapa hal yang dapat mendukung kebijakan fortifikasi.
Dari pihak pemerintah, perlu adanya subsidi pada tahap awal penerapan teknologi fortifikasi.
Departemen Kesehatan yang juga merupakan lembaga pemerintah harus terus-menerus
melakukan pemasaran sosial mengenai bahan-bahan yang telah mengalami fortifikasi.
Disamping lembaga-lembaga yang ada di dalam negeri, lembaga-lembaga Internasional juga
harus melakukan dukungan yaitu dengan melakukan studi efikasi untuk mengetahui keefektifan
dari suatu bahan yang telah difortifikasi.

Selain dengan suplementasi dan fortifikasi, penanggulangan anemia gizi besi yang terpenting
adalah dengan memperhatikan pola makan, yaitu menerapkan pola makan yang baik dan bergizi
seimbang. Dalam memilih makanan sumber zat besi, selain memperhatikan jumlahnya yang
terdapat dalam makanan, juga memperhatikan daya serap dan nilai biologisnya. Daya serap dan
nilai biologis makanan dipengaruhi oleh empat hal, yaitu jumlah kandungan zat besi, bentuk
kimia fisik zat besi, adanya makanan lain yang memacu atau menghambat absorbsi zat besi serta
cara pengolahan makanan (Soekirman, 2000).

Dengan memperhatikan pola makan, diharapkan kebutuhan zat besi pada masing-masing
individu dapat terpenuhi sebagaimana yang dibutuhkan. Menurut Kartono dan Soekatri (2004)
kebutuhan besi per orang per hari untuk bayi (0-11 bulan) adalah 0.5-7 mg, anak usia 1-9 tahun
adalah 8-10 mg, pria 10-12 tahun adalah 13 mg, pria usia 13-15 tahun adalah 19 mg, pria usia
16-18 tahun adalah 15 mg, pria usia 19-65 tahun keatas adalah 13 mg, wanita usia 10-12 tahun
adalah 20 mg, wanita usia 13-49 tahun adalah 26 mg, wanita usia 50-65 tahun keatas adalah 12
mg, untuk wanita hamil ditambah 9-13 mg dari kebutuhan normal, sedangkan untuk wanita
menyusui ditambah 6 mg dari kebutuhan normal.

Menurut Winarno (2002), jumlah besi yang diluarkan tubuh sekitar 1.0 mg per hari, dan untuk
wanita masih ditambah 0.5 mg hilang karena menstruasi. Adapun jumlah besi yang diserap
hanya sekitar 10%. Perbaikan dalam gizi dan kesehatan tenaga kerja akan meningkatkan efisiensi
kerja melalui peningkatan kemampuan individunya. Pengaruh program kesehatan serta gizi
terhadap penduduk usia muda akan terlihat pada peningkatan GNP di masa depan. Peningkatan
GNP terjadi karena adanya pertumbuhan ekonomi, yaitu dengan dengan bertambahnya tingkat
partisipasi angkatan kerja dan secara tidak langsung melalui tingkat partisipasi dalam dunia
pendidikan (Tjiptoherijanto & Soesetyo, 1994).
Almatsier, S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Djojosoebagio S, Suhardjo, Husaini MA, Piliang WG, Karyadi D. 1986. Anemia dan non
Anemia Kurang Besi dalam Hubungannya dengan Aspek-Aspek Fungsional II
Khususnya Produktivitas Kerja.Jurusan Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran
Hewan, IPB, Bogor.

Hardinsah, Suhardjo. 1987. Ekonomi Gizi. Diktat. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan
Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, IPB.

Hulu DB. 2004. Faktor-faktor yang mempengaruhi status anemia dan kaitannya dengan prestasi
belajar pada siswi SMKN I Bogor. Skripsi. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.

Kartono D, Soekatri M. 2004. Angka kecukupan mineral : besi, iodium, seng, mangan, selenium.
Di dalam: Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII; Jakarta, 17-19 Mei 2004. Jakarta : Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Khomsan A. 2004. Peranan Pangan dan Gizi Untuk Kualitas Hidup. Jakarta: Gramedia.

Komite Nasional PBB Bidang Pangan dan Pertanian. 1992. Anemia Gizi. Seminar Gizi Nasional,
Persiapan ”International Conference on Nutrition, Rome, December 1992; Jakarta, 13-14
Januari 1992.

Ravianto J. 1985. Produktivitas dan Manusia Indonesia. Jakarta: Lembaga Sarana Informasi dan
Produktivitas.

Ross J, Horton S. 1998. Economic Consequences of Iron Deficiency. Ottawa : Micronutrien


Initiative.

Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,
Departemen Pendidikan Nasional.
Soekirman et al. 2003. Situational Analysis of Nutrition Problems in Indonesia : Its Policy,
Programs and Prospective Development . Directorate of Comunity Nutrition, The
Ministry of Health, World Bank.

Tjiptoherijanto P, Soesetyo B. 1994. Ekonomi Kesehatan. Jakarta: Rineke Cipta.

Winarno, FG. 1993. Pangan, Gizi, Teknologi dan Konsumen. Jakarta: Gramedia.

Winarno, FG. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai