Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH MANAJEMEN TERNAK UNGGAS

“STUDI KASUS AYAM BROILER”

Oleh:
Kelas: B
Kelompok: 2

Muhammad Daffa Sihabulmilah Hidayat 200110180015


Raden Ayu Puspita Sari Putri 200110180118
Adi Kurniawan 200110180182
Nadhira Fitria Ananda 200110180214
Muhammad Bima Ajikurniawan 200110180268
Muhammad Daffa Musyaffa Aisy 200110180300
Faisal Habibulloh Wirawan 200110180310

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Menurut Miller (1970) dalam Margaretha (2007) menyatakan bahwa iklim


mikro banyak dipengaruhi oleh faktor lokal diantaranya karakteristik vegetasi,
badan air yang kecil seperti danau, juga aktivitas manusia dapat mengubah
kemurnian pada iklim mikro diantaranya intesitas energi radiasi matahari, struktur
permukaan yang bervariasi dengan warna komposit dan karakteristiknya pada
permukaan bumi, distribusi daratan dan lautan serta pengaruh pengunungan atau
bentuk topografi dan angin.

Perkembangan peternak yang menggunakan closed house, baik full closed


house maupun semi closed house semakin hari semakin bertambah. Tujuannya adalah
meningkatkan performa ayam (indeks performa) sehingga keuntungan peternak
semakin besar. Terlebih lagi tantangan cuaca (global warming atau pemanasan
global) maupun perubahan genetik menuntut kita untuk selalu berinovasi agar
performa dan keuntungan kita semakin meningkat.

Sistem kandang closed house merupakan suatu sistem kandang yang sanggup
mengeluarkan kelebihan panas, uap air, dan gas-gas berbahaya (CO, CO2, NH3) yang
ada di dalam kandang tetapi disisi lain dapat menyediakan kebutuhan O2 bagi ayam
sehingga performa ayam optimal (Poultry Indonesia, 2011).

1.2. Rumusan Masalah

Setelah mengacu dari latar belakang diatas, maka dapat disusun rumusan masalah
sebagai berikut :
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan iklim mikro ?
1.2.2 Apa yang mempengaruhi tidak tercapainya target produksi pada system
kandang closed house saat panen ayam broiler ?
1.2.3 Bagaimana cara mengatasi masalah dari kasus tersebut ?
1.3. Maksud dan Tujuan

Setelah melihat dari rumusan masalah diatas, maka dapat disimpulkan bahwa :

1.3.1 Dapat menjelaskan yang dimaksud dengan iklim mikro.


1.3.2 Dapat menyimpulkan secara detail yang mempengaruhi tidak tercapainya
target produksi pada system kandang closed house saat panen ayam broiler.
1.3.3 Dapat memamparkan cara mengatasi masalah dari kasus tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Iklim mikro kandang ayam pedaging


Iklim mikro atau Iklim kecil, kondisi lingkungan seperti suhu, kelembaban dan
pergerakan udara di daerah yang sangat terbatas. Iklim di dalam kandang ayam
mempengaruhi kenyamanan dan kesehatan peternak serta ayam. Gangguan
pernafasan, pencernaan dan perilaku lebih cenderung mudah terjadi pada kandang
dengan kondisi iklim tidak sesuai standar kebutuhan penghuninya. Efisiensi
penggunaan pakan dan kesehatan ayam. Ayam-ayam yang tidak sehat tentu saja tidak
bisa diharapkan dapat membuahkan hasil maksimal. Semakin muda umur ayam atau
ketika tingkat produksi mereka semakin tinggi, ayam cenderung semakin sensitif
terhadap kondisi iklim di dalam kandang.
2.1.1 Suhu
Suhu nyaman ayam broiler berkisar antara 20 – 24°C (Charles, 1981), sementara
suhu harian di daerah tropis pada siang hari dapat mencapai 34 0C. Menurut Baziz et
al. (1996), suhu udara lingkungan termonetral untuk ayam adalah 21-23 oC. Pada
suhu udara termonetral inilah ayam broiler akan berproduksi optimal. Pemeliharaan
ayam broiler pada suhu udara lingkungan di atas 21 oC mengakibatkan ayam
mengalami cekaman panas.
Tingginya suhu lingkungan merupakan salah satu penyebab terjadinya stres
oksidatif yakni keadaan dimana aktivitas oksidan (radikal bebas) melebihi
antioksidan. Hasil penelitian Harlova et al. (2002) menunjukkan bahwa cekaman
panas pada ayam broiler (suhu siang hari 35 - 40°C dan malam hari 28 - 300C), nyata
menurunkan jumlah sel darah merah, sel darah putih, konsentrasi hemoglobin dan
nilai hematokrit darah ayam broiler umur 1 minggu.
Dilaporkan pula bahwa cekaman panas ternyata menyebabkan turunnya
kekebalan tubuh, hal ini terlihat dari peningkatan rasio heterofil/limfosit.
2.1.2 Kelembaban
Apabila kelembaban udara lebih besar dari 60%, hara akan tercuci, volume udara
berkurang, akibatnya aktivitas mikroorganisme akan menurun dan akan terjadi
fermentasi anaerobik yang menimbulkan bau tidak sedap. Menurut Charles dan
Hariono (1991), senyawa yang menimbulkan bau dapat mudah terbentuk dalam
kondisi anaerob seperti tumpukan kotoran yang masih basah. Senyawa tersebut dapat
dihasilkan selama proses dekomposisi pada kotoran ayam. Oleh karena itu, faktor
lingkungan yaitu kelembaban udara dapat mempengaruhi jumlah emisi yang
dihasilkan.
Hal ini sejalan dengan pendapat NORTH (1982) bahwa kelembaban yang ideal
untuk unggas di daerah tropik tidak lebih dari 75%, karena bila lebih dapat
menyebabkan perkembangan mikroorganisme meningkat. Kelembaban dapat
mempengaruhi penyerapan zat amoniak yang dihasilkan dari kotoran itik, kandungan
amonia yang tinggi mengganggu itik dalam pengambilan oksigen sehingga
mengganggu metabolisme (Mardalena 2002). Pada Kandang Slat kisaran kelembaban
kandang rendah (30%), sirkulasi udara yang baik pada kandang Slat dapat
mengurangi cekaman panas pada itik yang dapat menyebabkan kotoran itik yang
lebih encer, lantai Slat lebih kering mengurangi polusi amonia karena dekomposisi
kotoran sempurna. Kelembaban optimum pada kandang yaitu berkisar antara 55-65%
(Purwanto & Yani 2006). Borges et al. (2004) menyatakan bahwa kelembaban udara
optimum untuk pertumbuhan ayam broiler berkisar antara 50%-70%. Menurut BPS
(1992), ayam broiler akan terkena stress apabila kelembaban udaranya terlalu tinggi
yaitu diatas 70%.
2.1.3 Kecepatan angin
Menurut DEFRA (2005), kecepatan angin di daerah beriklim tropis untuk ayam
broiler minimal 1,0 m/s dengan kisaran 1,0-1,5 m/s. Kecepatan angin yang semakin
tinggi menyebabkan pencampuran dan penyebaran polutan dari sumber emisi di
atmosfer akan semakin besar sehingga konsentrasi zat pencemar menjadi encer begitu
juga sebaliknya. Hal ini akan menurunkan konsentrasi zat polutan di udara (Hasnaeni,
2004).
2.1.4 Gas yang bersifat racun
Hidrogen sulfida (H2S) merupakan gas yang dapat menghasilkan bau tidak
sedap. Gas tersebut bersifat toksik bagi manusia dan ternak, dapat meningkatkan
kerentanan terhadap penyakit, dan dapat mengganggu efisiensi aktivitas para pekerja
yang berada di sekitar peternakan karena bau yang ditimbulkan (Setiawan, 1996).
Selain gas H2S, terdapat juga gas NO2 yang dibentuk melalui proses
mikrobiologi dari nitrifikasi dan denitrifikasi. Gas ini dapat menyebabkan gangguan
terhadap kesehatan terutama gangguan pernafasan akut. Gas ini juga dapat
menyebabkan keracunan apabila konsentrasinya melebihi ambang batas normal.
Kadar NO2 sebesar 800 ppm akan mengakibatkan 100% kematian pada
binatang-binatang yang diuji dalam waktu 29 menit atau kurang. Pemberian NO2
dengan kadar 5 ppm selama 10 menit terhadap manusia mengakibatkan kesulitan
dalam bernafas (Wardhana, 2001).
Gas NO2 (nitrogen dioksida), dapat juga merusak jaringan paru-paru dan jika
bersama H2O akan membentuk nitric acid (HNO3) yang pada gilirannya dapat
menimbulkan hujan asam yang sangat berbahaya bagi lingkungan (Kusuma, 2002).
Penyebab jumlah terbesar timbulnya bau dari peternakan berasal dari berbagai
komponen yang meliputi NH3, VOCs, dan H2S (NRC, 2003). Senyawa yang
menimbulkan bau ini dapat mudah terbentuk dalam kondisi anaerob seperti tumpukan
kotoran yang masih basah. Senyawa tersebut tercium dengan mudah walau dalam
konsentrasi yang sangat kecil. Untuk H2S, kadar 0,47 mg/l atau dalam konsentarasi
part per million (ppm) di udara merupakan batas konsentrasi yang masih dapat
tercium bau busuk. Untuk amonia, kadar rendah yang dapat terdeteksi baunya adalah
5 ppm. Akan tetapi, kepekaan seseorang terhadap bau ini sangat tidak mutlak, terlebih
lagi bau yang disebabkan oleh campuran gas (Charles dan Hariono, 1991).
Bau kotoran ayam selain berdampak negatif terhadap kesehatan manusia yang
tinggal di lingkungan sekitar peternakan, juga berdampak negatif terhadap ternak dan
menyebabkan produktivitas ternak menurun. Pengelolaan lingkungan peternakan
yang kurang baik dapat menyebabkan kerugian ekonomi bagi peternak itu sendiri
karena gas-gas tersebut dapat menyebabkan produktivitas ayam menurun sedangkan
biaya kesehatan semakin meningkat yang menyebabkan keuntungan peternak menipis
(Pauzenga, 1991).

2.2 Pengaruh Tidak Tercapainya Target Produksi Pada System Kandang


Close House Saat Panen Ayam Broiler.
2.2.1 Amonia
Closed house adalah kandang tertutup yang dilengkapi dengan tempat pakan,
tempat minum, alat penerangan, sistem pemanas/ brooder, exhaust fan, cooling pad,
sensor, panel listrik, dan tirai. Penggunaan kandang closed house pada pemeliharaan
ayam broiler untuk mengu-rangi pengaruh dari suhu di luar kandang (Sujana, Darana,
dan Setiawan, 2011). Memelihara broiler dalam jumlah banyak dalam satu
kandangakan menghasilkan amonia yang cukup tinggi. Amonia adalah fermentasi
asam urat dalam ekskreta. Amonia terbentuk dari votilisasi ammonia, kondisi yang
mendukung terjadinya votilisasi amonia adalah suhu hangat, kelembabab, dan pH
yang normal namun cenderung sedikit tinggi (Sarjana dkk. 2017). Gas amonia yang
dihasilkan dalam kandang berasal dari hasil fermentasi anta-ra ekskreta dan litter
kandang yang men-galami dekomposisi menjadi urea (Pereira, 2017). Kadar amonia
yang tinggi mempengaruhi perfoma ayam, meningkat-kan kerentanan penyakit dan
mortalitas tinggi (Miles, Branton, dan Lott, 2004). Kadar amonia yang tinggi pada
kandang ayam broiler dapat mempengaruhi perfor-ma ayam broiler. Performa ayam
yang turun dapat mempengaruhi kualitas daging ayam broiler (Assad, Widiastuti, dan
Sugi-harto, 2016). Closed house mempunyai zonasi di dalamnya, dimana pada zona 1
dekat dengan cooling pad memiliki suhu yang lebih rendah dibandingkan dengan
zona 4 yang dekat dengan exhaust fan, yang mendapatkan akumulasi panas dari zona
1 sampai zona 4. Hal ini menyebab-kan perbedaan suhu, kelembaban, dan ka-dar
amonia pada closed house.
Musim penghujan juga mempengaruhi kadar amonia di kandang closed house,
dikarenakan kelembaban yang tinggi mengakibatkan amonia dalam kandang
menguap lebih cepat di udara sehingga ka-dar amonia di udara lebih besar (William
dan Meijerhof, 1990). Kelembaban yang tinggi dalam kandang juga menyebabkan
sulitnya ayam untuk melepas panas dalam tubuh apalagi pada periode finisher karena
ukuran tubuh yang lebih besar, sehingga panas di dalam tubuh terakumulasi dengan
kadar amonia yang tinggi dalam kandang, berakibat pada stres oksidatif pada ayam
dan mempengaruhi kualitas daging. Produksi amonia yang ada di dalam kan-dang
dapat mempengaruhi kualitas daging ayam broiler. Produksi amonia yang
berkepanjangan pada kandang ayam broiler tertutup mengakibatkan stress oksidatif
dimana aktivitas radikal bebas melebihi antioksidan dan mempengaruhi kualitas
daging (Xing dkk., 2016).
2.2.2 ABK/pekerja kendang
ABK/pekerja kandang ternyata juga sangat berpengaruh untuk gagal/suksenya
dalam budidaya ayam broiler karena kemampuan dari anak kendang dalam
melakukan tugas sangat dibutuhkan karena kesalahan sedikit saja bisa saja membuat
ayam stress atau bahkan mati.
2.2.3 Managemen Pemeliharaan
Tidak cermat dalam managemen pemeliharaan ayam broiler, menyebabkan
kematian yang tinggi, penurunan prokduktivitas ayam, penurunan kualitas, tidak
mampu mengantisipasi perubahan cuaca.
2.2.4 Biosecuriti yang buruk
Mencegah dari pada mengobati, seorang peternak ataupun anak kandang
harus tahu bagaimana cara mencegah penyakit yang sering menyerang peternakan
ayam broiler dengan cara menerapkan system biosekuriti yang bagus, serta
bagaimana cara untuk menyembuhkanya.

2.3 Pengaruh Tidak Tercapainya Target Produksi Pada System Kandang


Close House Saat Panen Ayam Broiler.
Closed house adalah kandang tertutup yang dilengkapi dengan tempat pakan,
tempat minum, alat penerangan, sistem pemanas/ brooder, exhaust fan, cooling pad,
sensor, panel listrik, dan tirai. Penggunaan kandang closed house pada pemeliharaan
ayam broiler untuk mengu-rangi pengaruh dari suhu di luar kandang (Sujana, Darana,
dan Setiawan, 2011). Memelihara broiler dalam jumlah banyak dalam satu
kandangakan menghasilkan amonia yang cukup tinggi. Amonia adalah fermentasi
asam urat dalam ekskreta. Amonia terbentuk dari votilisasi ammonia, kondisi yang
mendukung terjadinya votilisasi amonia adalah suhu hangat, kelembabab, dan pH
yang normal namun cenderung sedikit tinggi (Sarjana dkk. 2017). Gas amonia yang
dihasilkan dalam kandang berasal dari hasil fermentasi anta-ra ekskreta dan litter
kandang yang men-galami dekomposisi menjadi urea (Pereira, 2017). Kadar amonia
yang tinggi mempengaruhi perfoma ayam, meningkat-kan kerentanan penyakit dan
mortalitas tinggi (Miles, Branton, dan Lott, 2004). Kadar amonia yang tinggi pada
kandang ayam broiler dapat mempengaruhi perfor-ma ayam broiler. Performa ayam
yang turun dapat mempengaruhi kualitas daging ayam broiler (Assad, Widiastuti, dan
Sugi-harto, 2016). Closed house mempunyai zonasi di dalamnya, dimana pada zona 1
dekat dengan cooling pad memiliki suhu yang lebih rendah dibandingkan dengan
zona 4 yang dekat dengan exhaust fan, yang mendapatkan akumulasi panas dari zona
1 sampai zona 4. Hal ini menyebab-kan perbedaan suhu, kelembaban, dan ka-dar
amonia pada closed house.

Musim penghujan juga mempengaruhi kadar amonia di kandang closed house,


dikarenakan kelembaban yang tinggi mengakibatkan amonia dalam kandang
menguap lebih cepat di udara sehingga ka-dar amonia di udara lebih besar (William
dan Meijerhof, 1990). Kelembaban yang tinggi dalam kandang juga menyebabkan
sulitnya ayam untuk melepas panas dalam tubuh apalagi pada periode finisher karena
ukuran tubuh yang lebih besar, sehingga panas di dalam tubuh terakumulasi dengan
kadar amonia yang tinggi dalam kandang, berakibat pada stres oksidatif pada ayam
dan mempengaruhi kualitas daging. Produksi amonia yang ada di dalam kan-dang
dapat mempengaruhi kualitas daging ayam broiler. Produksi amonia yang
berkepanjangan pada kandang ayam broiler tertutup mengakibatkan stress oksidatif
dimana aktivitas radikal bebas melebihi antioksidan dan mempengaruhi kualitas
daging (Xing dkk., 2016).
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Iklim mikro yang cocok untuk ayam yaitu suhu sekitar 20-24°C, suhu udara

termonetral untuk ayam adalah 21-23°C. Sedangkan pada ayam broiler, suhu udara

diatas 21°C mengakibatkan ayam mengalami cekaman panas. Kelembaban ideal

untuk unggas di daerah tropik tidak lebih dari 75%. Kelembaban optimum untuk

perkembangan ayam broiler berkisar 50-70%. Kecepatan angin di daerah beriklim

tropis untuk ayam broiler minimal 1,0 m/s dengan kisaran 1,0-1,5 m/s.

Tidak tercapainya target produksi pada sistem kandang close house saat panen

ayam broiler biasanya diakibatkan oleh kadar amonia yang tinggi, ABK/pekerja

kandang, ketidak cermatan dalam me-manajemen pemeliharaan dan biosecurity yang

buruk. Untuk mengatasi masalah tersebut dapat dilakukan: pergantian udara untuk

ayam adalah sekitar 1,5-1,6 x10 +4 m kubik/ detik untuk setiap kilogram pangkat

0,75 dari berat ayam, atau penggunaan Liquid Smoke yang telah terklorinasi

(ZERONOM); Memberikan pelatihan khusus untuk ABK/Anak kandang;

memperbaiki manajemen pemeliharaan; dan memperbaiki biosekuriti.


DAFTAR PUSTAKA

Amrullah, I. 2003. Nutrisi Ayam Broiler. Lembaga Satu Gunung Budi. Bogor

Anggorodi, H.R. 1995. Ilmu Nutrisi dan Bahan Makanan Ternak. Jakarta: P.T
Gramedia.

Assad. H.A., E. Widiastuti., dan S. Sugi-harto. 2016. Penaruh penambahan onggok


terfermentasi dan/atau anti-biotik dalam ransum terhadap kuali-tas liter dan
footpad ayam broiler. Prosiding Seminar Nasional Peter-nakan Berkelanjutan.
Sumedang, 16 November 2016.

Budiansyah, A. 2010. Performa Broiler yang Diberi Ransum yang Mengandung


Bungkil Kelapa yang Difermentasi Ragi Tape Sebagai Pengganti Sebagian
Ransum Komersial. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan 9(5):8-13.

Dewanti, Ratih, Jafendi hasoloan D.S, Zuprizal. 2009. Pengaruh Pejantan Dan Pakan
Terhadap Pertumbuhan Itik Turi Sampai Umur 8 Minggu. Buletin Peternakan
Vol. 33(2) : 88-95 .
Edwin B.Flippo, 2000.Manajemen Personalia, Jakarta: Erlangga.
Fadilah, R., Polana. dan Agustin. 2007. Sukses Beternak Ayam Broiler.Agromedia
Pustaka, Jakarta.
Kusnadi, E. 2008. Pengaruh temperature kandang terhadap konsumsi ransum dan
komponen darah ayam broiler. J.Indon.Trop.Agric.33(3):197-220.
Maliselo, P.S., dan G.K. Nkonde. 2015. Amonia production in poultry houses and its
effect on the growth of gallus gallus domestica (broiler chickens): a case study
of a small scale poultry house in Riverside, Kitwem Zambia
Miles, D.M., S. L. Branton, dan B.D. Lott. 2004. Atmospheric ammonia is
detrimental to the performance of modern commercial broilers. Journal Poultry
Science, 10(83): 1650 – 1654.
Patterson, P. H. and Adrizal.2005. Management strategies to reduce air emissions:
emphasis—dustand ammonia.J. Appl. Poult. Res. 14:638– 650.
Pereira, J.L.S. 2017. Assessment of ammo-nia and greenhouse gas emissions from
broiler houses in Portugal. At-mospheric Pollutiongogo Research, 8(2017): 949 –
955.
Prasetyanto, N. 2011. Kadar H2S, NO2 dan debu pada peternakan ayam broiler
dengan kondisi lingkungan yang berbeda di kab. Bogor, Jawa Barat. Departemen
Ilmu produksi dan Teknologi Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
(Skripsi)

Rahmawati. 2000. Keanekaragaman Serangga Tanah dan Perannya pada


Komunitas Rhizopora spp. dan Komunitas Ceriops tagal di Taman Nasional
Rawa Aopa Watumohai, Sulawesi Tenggara. Naskah Thesis Mahasiswa s2.
Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Renata, T. A. Sarjana dan S. Kismiati. 2018. Pengaruh zonasi dalam kandang closed
house terhadap kadar ammonia dan dampaknya pada kualitas daging ayam
broiler di musim penghujan. J. Ilmu-Ilmu Peternakan. 28(3): 183-191.
Sarjana, T.A., L.D. Mahfudz, M. Rama-dhan, Sugiharto, F. Wahyono, dan S.
Sumarsih. 2017. Emisi ammonia dan kondisi litter pada kandang ayam broiler
sistem terbuka yang mendapatkan additive berbeda dan kombinasinya dalam
ransum. Semi-nar Nasional Pengembangan Peter-nakan Berkelanjutan,
Universitas Padjajaran. Sumedang.
Sujana, E., S. Darana, dan L. Setiawan. 2011. Implementasi teknologi semi closed –
house system pada perfor-man ayam broiler di test farm sus-tainable livestock
techno park, kampus Fakultas Peternakan Uni-versitas Padjadjaran, Jatinangor.

Suprijatna, E., U. Atmomarsono dan R. Kartasudjana. 2008. Ilmu Dasar Ternak


Unggas. Penebar Swadaya, Jakarta.

William, D.W. dan R. Meijerhof. 1990. The Effect of Different Levels of Rela-tive
Humidity and Air Movement on Litter Conditions, Ammonia Levels, Growth,
and Carcass Quali-ty for Broiler Chickens. Journal Poultry Science, 70 : 746-
755.
Wurlina dan D.K. Weles. 2012. Teknologi Kandang Tertutup (Closed House)
terhadap Berat Badan, Mortalitas dan Waktu Panen Ayam Pedaging. Surabaya.
Jurnal Peternakan, 5 (3) : 215-218.
Xing, H., S. Luna., Y. Sun., R. Sa., dan H. Zhang. 2016.Effects of ammonia exposure
on carcass traits and fatty acid composition of broiler meat. Journal Animal
Nutrion, 2(2016): 282 -287.
Yani, A., H. Suhardiyanto, Erizal, dan B. P. Purwanto. 2011. Analysis of air
temperature distribution in a closed house for broiler in wet tropical climate.
Media Peternakan. 37 (2): 87 – 94.

Anda mungkin juga menyukai