Anda di halaman 1dari 22

1

MAKALAH TEKNOLOGI REPRODUKSI TERNAK


“SINKRONISASI ESTRUS PADA SAPI DAN KERBAU”

Oleh:
Kelas: B
Kelompok: 8

Raden Ayu Puspita Sari Putri 200110180118


Ilman Ghifari 200110180280
Gayus Ronald Madison Hutasoit 200110180290
Igor Adefrid Jantri M. H. 200110180293
Faisal Habibullah W. 200110180310
RaflyTaufiqul Hakim 200110180

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2021
i

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur bagi Allah SWT yang telah

memberikan kemampuan, kesehatan, serta keberkahan baik waktu, tenaga,

maupun pikiran kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah yang

membahas tentang Sinkronisasi Estrus pada Sapi dan Kerbau yang baik dengan
syarat dan ketentuan yang berlaku.

Dalam penulisan makalah ini, kami sebagai penulis banyak mendapat

tantangan dan hambatan. Akan tetapi, dengan bantuan dari berbagai pihak,
tantangan itu dapat teratasi. Oleh karena itu, kami mengucapkan terimakasih yang

sebesar-besarnya kepada Bapak Ir. Kundrat Hidajat,M.Sc. dan Bapak Rangga

Setiawan ,S.Pt., M.Sc., Ph.D. selaku dosen mata kuliah Teknologi Reproduksi

Ternak atas bimbingan, pengarahan, dan kemudahan yang telah diberikan kepada
kami dalam proses pengerjaan makalah ini.

Kami menyadari masih banyaknya kekurangan pada penulisan makalah

ini. Maka dari itu, saran dan kritik yang membangun sangat kami butuhkan dan

harapkan dari para pembaca sekalian. Kami juga berharap makalah ini dapat
bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.

Bandung, 6 Maret 2021

Kelompok 8
ii

DAFTAR ISI
BAB Halaman
KATA PENGANTAR ........................................................................... i
I PENDAHULUAN ..................................................................................1
1.1 Latar Belakang....................................................................................1
1.2 Manfaat dan Tujuan............................................................................1
1.3 Identifikasi Masalah ...........................................................................1
II TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................2
III PEMBAHASAN ......................................................................................4
3.1 Penjelasan Umum Sinkronisasi Estrus ...............................................4
3.2 Manfaat dan Keuntungan Sinkronisasi Estrus pada Ternak ...............6
3.3 Mekanisme Sinkronisasi Estrus pada Ternak Sapi .............................7
3.4 Sinkronisasi Estrus Pada Kerbau ........................................................9
3.5 Fisiologi siklus estrus kerbau ...........................................................10
3.6 Pengaturan siklus estrus dengan mengontrol fase luteal ..................12
3.7 Mengatur siklus estrus dengan mengontrol perkembangan folikel dan
ovulasi ....................................................................................................14
3.8 Protokol sinkronisasi Estrus dan kesuburan pada kerbau selama musim
kawin rendah..........................................................................................16
IV KESIMPULAN .....................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................19
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkawinan pada ternak sapi/kerbau tidak bisa dilakukan disembarang
waktu karena ternak sapi/kerbau betina memiliki waktu tertentu untuk dapat
dikawinkan atau yang disebut adanya siklus birahi. Siklus birahi pada ternak
sapi/kerbau adalah sekitar 21 hari. Artinya Secara normal ternak sapi/kerbau bisa
dikawinkan setelah siklus berikutnya terjadi atau 21 hari kemudian.Sudah menjadi
Sunnatulloh bahwa perkawinan ternak ruminansia diluar waktu birahi tidak akan
terjadi kebuntingan. Namun demikian dengan adanya teknologi dibidang
peternakan, siklus birahi pada ternak sapi/kerbau bisa direkayasa atau
diperpendek. Terdapat metode yang dapat dilakukan untuk menyeragamkan siklus
birahi pada ternak sapi dan kerbau yaitu sinkronisasi estrus.
Pelaksanaan sinkronisasi estrus tidak perlu pengamatan birahi terlebih
dahulu. Sinkronisasi estrus dilakukan perlakuan agar seluruh ternak yang
diperiksa dengan status reproduksi normal serentak birahinya sehingga di
inseminasi dalam waktu yang bersamaan. Sinkronisasi estrus tidak melihat apakah
terdapat corpus luteum atau folikel pada ovarium, hanya memastikan alat
reproduksi normal dan tidak bunting. Sinkronisasi estrusdapat dilakukan dengan
berbagai macam cara. Selain itu, ada beberapa hormon yang digunakan untuk
sinkronisasi estrus diantaranya adalah hormon PGF2 alpha dan GnRH.
1.2 Manfaat dan Tujuan
 Mengetahui metode sinkronisasi estrus
 Mengetahui teknis pelaksanaan sinkronisasi estrus pada sapi dan kerbau
1.3 Identifikasi Masalah
 Apa metode sinkronisasi estrus
 Bagaimana teknis pelaksanaan sinkronisasi estrus pada sapi dan kerbau
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Sinkronisasi estrus merupakan usaha untuk menyeragamkan terjadinya


gejala estrus dan ovulasi pada ternak dengan memanipulasi organ reproduksi
betina menggunakan preparat hormon. Prinsip sinkronisasi estrus adalah
memerpanjang atau memerendek masa hidup corpus luteum (CL) atau fase luteal
(Hafez & Hafez, 2000). Salah satu metode sinkronisasi estrus dengan
memerpendek fase luteal biasanya menggunakan sediaan hormon prostaglandin
( ) dengan melisiskan CL sehingga estrus kembali terjadi (Whitley &
Jackson, 2004). Stotzel dkk. (2012) melaporkan bahwa pemberian pada
pertengahan fase luteal menyebabkan luteolisis dalam beberapa jam sehingga
konsentrasi progesteron (P₄) menurun dan kadar estrogen (E₂) meningkat yang
akan merangsang hipofisis anterior melepaskan follicle stimulating hormone
(FSH) dan luteinizing hormone (LH), yang menyebabkan perkembangan dan
pematangan folikel sehingga menyebabkan terjadinya estrus dan ovulasi.
Terdapat berbagai macam sediaan hormon yang ada di pasaran
dengan berbagai macam zat aktif, seperti luprostiol, tiaprost, dinoprost,
fenprostale, dan cloprostenol. Dari berbagai macam sediaan tersebut hanya
cloprostenol yang memiliki dosis paling sedikit dibandingkan dengan yang
lainnya. Dengan 500 g cloprostenol sudah dapat menimbulkan estrus dengan
baik dan tidak memiliki efek samping pada ternak sapi (Lauderdale, 2005).
Aplikasi induksi estrus menggunakan biasanya dilakukan dengan dua cara,
yaitu injeksi tunggal dan injeksi ganda. Metode injeksi tunggal biasanya efektif
untuk menyeragamkan estrus ternak jika siklus estrusnya diketahui telah berada
dalam fase luteal dengan CL fungsional (Nascimento dkk., 2014), sedangkan
metode injeksi ganda dapat diaplikasikan baik pada fase folikuler maupun fase
luteal (Hafez & Hafez,2000). Menurut Setiadi dan Aepul (2010) untuk
mendapatkan kualitas estrus yang baik dalam sinkronisasi estrus dapat dilihat
pada ciri khusus yang timbul, seperti produksi lendir vagina. Lendir vagina yang
3

berlebihan pada saat estrus sering dijadikan patokan dalam menentukan status
estrus.
4

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Penjelasan Umum Sinkronisasi Estrus


Sinkronisasi estrus merupakan teknik manipulasi siklus estrus untuk
menimbulkan gejala estrus dan ovulasi pada sekolompok hewan secara
bersamaan. Penyerentakan berahi atau sinkronisasi estrus adalah usaha yang
bertujuan untuk mensinkronkan kondisi reproduksi ternak sapi donor dan resipien.
Sinkronisasi estrus umumnya menggunakan hormon prostaglandin (PGF2α) atau
kombinasi hormon progesteron dengan PGF2α. Penggunaan teknik sinkronisasi
berahi akan mampu meningkatkan efisiensi produksi dan reproduksi kelompok
ternak, serta mengoptimalisasi pelaksanaan inseminasi buatan, mengurangi waktu
dan memudahkan observasi deteksi berahi, dapat menentukan jadwal kelahiran
yang diharapkan, menurunkan usia pubertas pada sapi dara, penghematan dan
efisiensi tenaga kerja inseminator karena dapat mengawinkan ternak pada suatu
daerah pada saat yang bersamaan.
Kesuksesan program sinkronisasi membutuhkan pengetahuan mengenai
siklus berahi. Hari ke-0 dari merupakan hari pertama estrus, pada saat ini biasanya
perkawinan secara alami terjadi. Hormon estrogen mencapai puncaknya pada hari
ke-1 dan kemudian menurun, level progesteron rendah karena corpus luteum (CL)
belum terbentuk. Ovulasi terjadi 12-16 jam setelah akhir standing estrus. CL yang
menghasilkan hormon progesteron terbentuk pada tempat ovulasi dan secara cepat
mengalami pertumbuhan mulai dari hari ke- 4 sampai ke-7, pertumbuhan ini
diikuti dengan peningkatan level progesteron. Mulai hari ke-7 sampai ke-16, CL
menghasilkan progesteron dalam level tinggi.
Selama periode ini, 1 atau 2 folikel mungkin menjadi besar, tetapi dalam
waktu yang singkat akan mengalami regresi, kira-kira hari ke-16, prostaglandin
dilepaskan dari uterus dan menyebabkan level progesteron menjadi turun. Ketika
level progesteron menurun, level estrogen meningkat dan folikel baru mulai
5

tumbuh, estrogen mencapai puncaknya pada hari ke-20, diikuti tingkah laku estrus
pada hari ke-21. Pada saat ini siklus estrus kembali dimulai.
Proses sinkronisasi dengan menggunakan preparat prostaglandin (PGF2 α)
akan menyebabkan regresi CL akibat luteolitik, secara alami prostaglandin (PGF2
α) dilepaskan oleh uterus hewan yang tidak bunting pada hari ke-16 sampai ke-18
siklus yang berfungsi untuk menghancurkan CL. Timbulnya berahi akibat
pemberian PGF2 α disebabkan lisisnya CL oleh kerja vasokontriksi PGF2 α
sehingga aliran darah menuju CL menurun secara drastis, akibatnya kadar
progesteron yang dihasilkan CL dalam darah menurun, penurunan kadar
progesteron ini akan merangsang hipofisa anterior melepaskan fsh dan lh, kedua
hormon ini bertanggung jawab dalam proses folikulogenesis dan ovulasi, sehingga
terjadi pertumbuhan dan pematangan folikel. Folikel-folikel tersebut akhirnya
menghasilkan hormon estrogen yang mampu memanifestasikan gejala berahi.
Kerja hormon estrogen adalah untuk meningkatkan sensitivitas organ kelamin
betina yang ditandai dengan perubahan pada vulva dan keluarnya lendir
transparan.
Prosedur sinkronisasi berahi sinkronisasi berahi pada kerbau seperti pada
sapi, paling umum menggunakan prostaglandin atau senyawa analognya. Dengan
tersedianya prostaglandin di pasaran memungkinkan pelaksanaan sinkronisasi
berahi di lapangan beberapa senyawa prostaglandin yang tersedia antara lain 1)
reprodin (luprostiol, bayer, dosis 15 mg), 2) prosolvin (luprostiol, intervet, dosis
15 mg), 3) estrumate (CLoprostenol, ici, dosis 500 μg) dan lutalyse (dinoprost, up
john, dosis 25 mg). Cara standar sinkronisasi berahi meliputi 2 kali penyuntikan
prostaglandin dengan selang 10-12 hari. Berahi akan terjadi dalam waktu 72-96
jam setelah penyuntikan kedua.
Pelaksanaan inseminasi dilakukan 12 jam setelah kelihatan berahi, atau
sekali pada 80 jam setelah penyuntikan kedua. Prosedur yang digunakan adalah:
ternak yang diketahui mempunyai corpus luteum (CL), dilakukan penyuntikan
PGF2α satu kali. Berahi biasanya timbul 48 sampai 96 jam setelah penyuntikan.
Apabila tanpa memperhatikan ada tidaknya CL, penyuntikan PGF2α dilakukan
6

dua kali selang waktu 11-12 hari. Setelah itu dilakukan pengamatan timbul
tidaknya berahi 36-72 jam setelah peyuntikan kedua. Pemberian PGF2α analog
dapat menyebabkan luteolisis melalui penyempitan vena ovarica yang
menyebabkan berkurangnya aliran darah dalam ovarium. Berkurangnya aliran
darah ini menyebabkan regresi sel-sel luteal. Regresi sel-sel luteal menyebabkan
produksi progesteron menurun menuju kadar basal mendekati nol nmol/lt, dimana
saat-saat terjadinya gejala berahi. Regresi korpus luteum menyebabkan penurunan
produksi progesterone.
3.2 Manfaat dan Keuntungan Sinkronisasi Estrus pada Ternak
Sinkronisasi atau induksi estrus adalah tindakan menimbulkan birahi,
diikuti ovulasi fertil pada sekelompok atau individu ternak dengan tujuan utama
untuk menghasilkan konsepsi atau kebuntingan. Sinkronisasi estrus biasanya
menjadi satu paket dengan pelaksanaan IB, baik berdasarkan pengamatan birahi
maupun IB terjadwal (timed artificial insemination). Angka konsepsi atau
kebuntingan yang optimum merupakan tujuan dari aplikasi sinkronisasi estrus ini.
Manfaat dari tindakan sinkronisasi estrus pada sapi ada beberapa, antara lain:
1. Optimalisasi dan efisiensi pelaksanaan IB. Dengan teknik ini dimungkinkan
pelaksanaan IB secara massal pada suatu waktu tertentu.
2. Mengatasi masalah kesulitan pengenalan birahi. Subestrus atau birahi tenang
yang umum terjadi pada sapi perah dan potong di Indonesia dapat diatasi
dengan teknik sinkronisasi estrus.
3. Mengatasi masalah reproduksi tertentu, misalnya anestrus post partum
(anestrus pasca beranak).
4. Fasilitasi program perkawinan dini pasca beranak (early post partum
breeding) pada sapi potong dan perah. Teknik ini dapat digunakan untuk
mempercepat birahi kembali pasca beranak, pemendekkan days open (hari-
hari kosong) dan pemendekkan jarak beranak.
5. Manajemen reproduksi resipien pada pelaksanaan transfer embrio sapi.
Dalam program transfer embrio, embrio beku maupun segar (diambil dari
sapi donor pada hari ke 7 setelah estrus) ditransfer ke resipien pada fase siklus
7

estrus yang sama. Sinkronisasi estrus biasanya digunakan untuk maksud


tersebut.
Adanya Kegiatan sinkronisasi estrus ini diharapkan dapat meningkatkan
kinerja reproduksi sapi Madura, meningkatkan produktivitas sapi Madura,
meningkatkan penghasilan peternak, meningkatkan jumlah Akseptor IB, dan
membantu program pemerintah dalam swasembada daging Tahun 2014, sehingga
diharapkan kegiatan ini dapat diadakan secara berkelanjutan di tahun- tahun
berikutnya.

3.3 Mekanisme Sinkronisasi Estrus pada Ternak Sapi


Sikronisasi estrus pada sapi dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu :
1. Menghilangkan corpus luteum atau enukleasi luteal
a. Perusakan fisik pada CL dngan menggunakan jari melalui rektum, pada
saat CL dalam keadaan berfungsi (masak).
b. Perlu tenaga yang profesional.
c. 50 – 60 % dari sekelompok sapi yang peka, empat hari kemudian akan
birahi.
d. Resiko hemorhagia dan perlekatan fimbria (Ismaya, 1998).
2. Penyuntikan Progesteron
a. Penyuntikan selama 18 -20 hari (50 mg/hari).
b. Menghambat fase luteal melalui umpan balik negatif.
c. Kelemahannya yaitu injeksi memerlukan waktu dan tenaga timbulnya
birahi bervariasi kurang lebih 5 hari, fertilisasi menurun/rendah (Ismaya,
1998).
3. Pemberian progestagen aktif per oral (mulut)
a. Mengatasi kesulitan kedua diatas dan lebih tepat untuk kelompok ternak
yang besar dikandang dan terprogram pemberian pakannya
b. Progestagen sintetik yaitu melengestrol Asetat (MGA) dan
Medroxiprogesteron (MPA), namun lebih bagus MGA daripada MPA.
8

c. Pemberian lewat pakan selama 15-18 hari dan birahi terjadi 3-5 hari
kemudian setelah penghentian perlakuan.
d. Fertilisasi rendah (42%) dan menjadi 82 % pada estrus berikutnya.
e. Pemberian esterogen dan gonadotropin menghambat MGA, fertilisasi
tetap rendah (Ismaya, 1998).
4. Implan silastik
a. Implan silastik yang mengandung MGA ditanam dibawah kulit leher atau
dibawah kulit luar telinga selama 22-64 hari
b. 36-72 jam setelah penghentian perlakuan terjadi birahi 64 % (Ismaya,
1998).
5. Spons intravagina
a. Progesteron juga dapat dimasukan ke vagina dengan memakai spons,
diharapkan dapat menghasilkan estrus yang baik.
b. Pemasangan spons selama 18-21 hari dan birahi akan tampak 24-72 jam
setelah pengambilan spons dari vagina.
c. Kelemahan: spons sering berubah tempat, kerusakan mukosa vagina dan
serviks.
d. Progesteron releasing intra vagina device (PRID) adalah alat intravagina
pelepas progesteron dengan speculum pada bagian vagina anterior
(Ismaya, 1998).
e. Dengan penyuntikan PMSG (750-2000 IU) sebelum dan sesudah
pengeluaran spons dapat meningkatkan birahi dan fertilisasi (Ismaya,
1998).
6. Progestagen dalam waktu singkat
a. Untuk meningkatkan fertilisasi prostagen diberikan 9-12 hari saja.
b. Sebelumnya disuntikan 5-7,5 mg EB dan 50-250 mg progesteron dan
setelah penghentian perlakuan, maka 56 jam kemudian birahi dan dapat
di IB (Ismaya, 1998).
7. Injeksi prostaglandin PGF 2α
9

a. Publikasi pertama mengenai terapi prostalglandin baru muncul tahun


1970 dan terus berkembang sejalan ditemukannya analog prostaglandin.
b. Lebih sederhana dan mencegah menurunya fertilisasi.
c. Penyuntikan intra muskular tunggal untuk fase luteal dan ganda (10-12
hari) untuk yang heterogen fasenya, IB dilakukan 58-72 jam atau 72 dan
96 jam (IB Ganda)

3.4 Sinkronisasi Estrus Pada Kerbau


Potensi ternak kerbau cukup signifikan dalam menunjang program
swasembada daging nasional. Tercatat pada tahun 2016 populasi kerbau di
Sumatera Barat adalah sebanyak 117.983 ekor (BPS Sumatera Barat, 2017).
Namun dilihat dari data lima tahun terakhir sejak 2011 hingga 2016, populasi
kerbau di Sumatera Barat terus mengalami penurunan. Penurunan populasi ternak
kerbau di Sumatera Barat di perkirakan karena peralihan teknologi pada usaha
tani.Ternak kerbau yang dulunya digunakan sebagai pembajak sawah telah
digantikan oleh mesin pertanian.Akan tetapi jika kita lihat kenyataan di lapangan
bahwa masyarakat yang memiliki kerbau hanyalah sebagai pemelihara,bukan
sebagai peternak dalam arti sebagai peternak pembibit. Namun demikian masalah
utama yang di anggap sebagai faktor pembatas dalam pengembangan ternak
kerbau antara lain, ternak kerbau lamban untuk berkembang biak karena daya
reproduksi yang rendah, manajemen perkawinan ternak kerbau yang tidak
terkontrol serta sulitnya dalam penyediaan pejantan unggul menjadi kendala
dalam peningkatan populasinya
Salah satu teknologi dalam peningkatan populasi kerbau adalah dengan
penerapan bioteknologi seperti inseminasi buatan. Akan tetapi di Indonesia
penerapan bioteknologi pada kerbau jarang dilakukan karena beberapafaktor,
diantaranya kesulitan dalam melakukan handling ternak kerbau, kurangnya ilmu
pengetahuan tentang inovasi bioteknologi, rendahnya intensitas estrus (silent heat)
dan lain sebagainya (Suzana dkk., 2020).
10

Produktivitas kerbau betina pada dasarnya dipengaruhi oleh efisiensi


reproduksi hewan, yang pada gilirannya terganggu oleh kematangan betina yang
terlambat, ekspresi estrus yang buruk, dan calving interval yang lebih lama serta
berkurangnya aktivitas ovarium selama musim panas. Selain itu, karena deteksi
estrus yang buruk (30-40%) durasi variabel estrus (4-64 jam) dan kesulitan yang
dihadapi dalam memprediksi waktu ovulasi, inseminasi buatan (IB) pada kerbau
terbatas. Akibatnya, rendahnya potensi reproduksi kerbau telah menjadi perhatian
utama selama beberapa dekade, tetapi hanya dalam beberapa tahun terakhir telah
dikembangkan protokol yang mampu mengontrol waktu ovulasi secara tepat dan
dengan demikian menghindari kebutuhan untuk deteksi estrus. Untuk penerapan
protokol sinkronisasi yang berhasil, diperlukan pengetahuan yang jelas tentang
regulasi hormonal dari siklus estrus dan dinamika folikel.
Untuk menyelaraskan siklus estrus, aktivitas ovarium dimanipulasi agar
waktu ovulasi dapat diprediksi. Hal ini dicapai dengan: (1) mengontrol fase luteal
dari siklus melalui pemberian prostaglandin atau analog progesteron atau (2)
mengontrol perkembangan folikel dan ovulasi menggunakan kombinasi yang
berbeda dari prostaglandin, progesteron, GnRH, hCG, eCG dan estradiol.
Sebagian besar program sinkronisasi yang lebih baru untuk kerbau didasarkan
pada studi serupa yang dilakukan pada sapi, namun, perbedaan utamanya adalah
bahwa kerbau mengalami musim kawin rendah yang lebih intens selama bulan-
bulan panas dalam setahun, ketika aktivitas ovarium siklik berkurang.

3.5 Fisiologi siklus estrus kerbau


Estrus pada ternak kerbau dapat terjadi secara alamiah ataupun dengan
diinduksi, akan tetapi kondisi estrus pada kerbau bersifat silent heat sehingga sulit
untuk diamati. Kondisi silent heat pada kerbau mengakibatkan sulitnya
mendeteksi estrus sehingga pelaksanaan IB tidak berjalan sesuai dengan yang
diharapkan. Selain itu faktor penghambat dalam meningkatkan efisiensi
reproduksi ternak kerbau adalah keterbatasan kemampuan dan waktu yang
dimiliki peternak untuk melakukan pengamatan estrus.Untuk itu diperlukan
11

penerapan metode sinkronisasi estrus dan yang dikombinasikan dengan


sinkronisasi ovulasi pada kerbau sebagai teknologi pendamping dalam
pelaksanaan IB. Dengan teknik ini estrus dan ovulasi terjadi secara serentak
sehingga tercapai waktu pelaksanaan IB yang tepat (Fix Time Artificial
Insemination). (Suzana dkk., 2020).
Perkembangan folikel pada kerbau ditandai dengan pola seperti
gelombang. Setiap gelombang ditandai dengan munculnya gelombang,
pertumbuhan, dominasi dan atresia atau ovulasi. Pada kerbau, biasanya ada satu
atau dua gelombang folikel nonovulatorik yang diikuti oleh gelombang ovulasi.
Sapi kerbau cenderung memiliki dua atau tiga siklus gelombang folikel,
sedangkan kerbau menunjukkan prevalensi siklus dua gelombang. Siklus estrus
dengan dua gelombang folikel agak lebih pendek dari siklus tiga gelombang (21
versus 24 hari). Ukuran maksimum rata-rata folikel dominan (DF) gelombang
kedua serupa dengan DF gelombang pertama (kira-kira 15 mm). Jadi, setidaknya
satu folikel besar (kira-kira 12 mm) biasanya ada sejak hari ke-4 dari setiap siklus
estrus. Kadar plasma progesteron selama periode post partum tetap basal tetapi
peningkatan sementara dapat terjadi sebelum dimulainya kembali aktivitas siklik
[10-12] . Selama siklus estrus, kadar progesteron bersifat basal segera setelah
ovulasi, meningkat selama 4–7 hari berikutnya dan mencapai kadar puncak pada
sekitar hari ke 15 setelah permulaan estrus. Konsentrasi estradiol plasma selama
periode postpartum rendah dengan fluktuasi kecil sampai estrus pertama, pada
saat puncaknya . Setelah itu, konsentrasi estradiol tetap rendah selama siklus
estrus tetapi dengan fluktuasi kecil selama 10 hari pertama setelah ovulasi.
Konsentrasi LH yang bersirkulasi mencapai puncaknya pada permulaan
estrus diikuti oleh penurunan tajam, dan selanjutnya tetap rendah selama fase
luteal. Durasi lonjakan LH diperkirakan 7-12 jam. Peningkatan progresif dalam
kadar plasma LH basal telah diamati selama 35 hari pertama pasca-melahirkan.
Konsentrasi FSH plasma lebih tinggi pada awal siklus estrus dan menurun selama
fase luteal. Selama periode post partum, kadar FSH plasma rendah tanpa variasi
yang signifikan.
12

Salah satu cara yang dapat mengatasi masalah sulitnya deteksi birahi saat
ini adalah dengan cara penerapan teknik sinkronisasi dengan metode ovsynch
(Taponen, 2009), cosynch, dan konvensional (De Rennis and Lo’pez, 2007).
Metode ovsynch memiliki tujuan agar terjadi ovulasi dalam periode 8 jam,
menghasilkan fertilitas yang baik, dan tidak membutuhkan deteksi berahi,
sedangkan protocol cosynch merupakan metode alternatif selain ovsynch, metode
ini memiliki sedikit perbedaan yang terletak pada saat melakukan inseminasi
buatan. Pada metode ovsynch, inseminasi buatan dilaksanakan 16-24 jam pasca
penyuntikan GnRH terakhir, sedangkan metode cosynch dilakukan lebih cepat
yaitu setelah dilakukan penyuntikan GnRH terakhir langsung di lakukan
inseminasi buatan (Pursley et al., 1998; Geary et al., 2001). Protokol ovsynch dan
cosynch menggunakan kombinasi dua hormone yaitu gonadotropin releasing
hormone (GnRH) dan prostaglandin (PGF2α) (Efendi et al. 2015). Menurut Hall
et al. (2009) GrnRH merupakan hormon natural yang diproduksi oleh hipotalamus
yang bertujuan untuk merangsang hipofisa anterior untuk melepaskan Follicle
Stimulating Hormone (FSH) atau Luteinizing Hormone (LH) (Suzana dkk., 2020).

3.6 Pengaturan siklus estrus dengan mengontrol fase luteal


Durasi fase luteal dari siklus estrus dapat diubah dengan pemberian
prostaglandin atau menggunakan implan progesteron / progestagen. Untuk
melakukan inseminasi buatan berjangka waktu, perawatan ini harus digunakan
dalam kombinasi dengan GnRH, hCG atau eCG.
1. Penggunaan PGF2alpha.
Pada kerbau, efek pemberian PGF2alpha sangat mirip dengan yang
diamati pada sapi. Pemberian PGF2alpha dari sekitar hari ke 5 dari siklus estrus
menyebabkan regresi korpus luteum (CL). Setelah itu, progesteron menurun
dengan cepat ke konsentrasi basal dalam waktu 24 jam yang mengakibatkan
induksi estrus dan ovulasi. Pemberian submukosa intravaginal dosis rendah
PGF2alpha, ipsilateral ke sisi CL, sama efektifnya dalam menginduksi luteolisis
seperti pemberian hormon secara konvensional.
13

Regimen pengobatan tunggal atau ganda PGF2alpha pada kerbau


menyebabkan estrus dan ovulasi pada sekitar 60–80% hewan selama musim
kawin. Interval rata-rata dari perlakuan PGF2alpha hingga estrus adalah 88 jam
(kisaran 48–144 jam; 78% dari 72 hingga 96 jam), dan dari perlakuan hingga
ovulasi adalah 100 jam (kisaran 60–156 jam; 81% dari 84 sampai 108 jam).
Interval ini lebih pendek, bagaimanapun, ketika PGF2alpha diberikan selama fase
luteal awal dari siklus estrus dengan munculnya folikel dominan.

1 kali injeksi PGF2alfa 2 kali injeksi PGF2alfa

2 kali injeksi PGF2alfa + GnRH


Tingkat kehamilan setelah perlakuan prostaglandin rata-rata adalah 45-
50% dan tampak serupa dengan yang diperoleh setelah estrus alami. Kemanjuran
pengobatan berkurang secara dramatis selama musim non-kawin, dengan tingkat
konsepsi turun hingga di bawah 25%, bahkan ketika persentase yang sangat tinggi
(88%) dari kerbau menunjukkan estrus berdiri setelah pengobatan PGF2alpha [36]
. Dalam penelitian terbaru (Ronci et al., Data tidak dipublikasikan), kerbau selama
musim kawin diperlakukan dengan dua dosis PGF2alpha dipisahkan oleh selang
waktu 13 hari dan aktivitas ovarium diperiksa dengan USG dua hari setelah
pemberian PGF2alpha kedua. Hewan dengan DF berukuran minimal 10 mm
14

diinseminasi 16-22 jam kemudian, sedangkan hewan tanpa DF diinseminasi dua


hari kemudian, tergantung pada tahap perkembangan folikel pada saat
pemeriksaan USG. Untuk memastikan terjadinya ovulasi, GnRH diberikan pada
saat inseminasi. Tingkat kehamilan serupa dengan hewan yang dikelola di bawah
protokol ovsynch klasik (masing-masing 48% berbanding 50%).
Kesimpulannya, interval waktu antara perlakuan PGF2alpha dan
timbulnya estrus pada kerbau bervariasi sesuai dengan tahap perkembangan
folikel pada saat pemberian PGF2alpha. Hewan yang dirawat ketika folikel berada
dalam tahap pra-dominasi perkembangan menunjukkan estrus 4–6 hari kemudian,
sedangkan hewan yang dirawat dengan adanya DF menampilkan estrus 2– 3 hari
setelah pemberian PGF2alpha. Jadi, karena interval antara pengobatan, estrus, dan
ovulasi bervariasi setelah pemberian PGF2alpha, protokol inseminasi buatan yang
diatur waktunya tidak dapat diterapkan.
2. Penggunaan progesterone
Regimen yang melibatkan penggunaan progesteron atau progestagen
(terutama CIDR, PRID atau CRESTAR) untuk sinkronisasi estrus dan ovulasi
pada kerbau terbatas, dibandingkan dengan protokol berdasarkan prostaglandin.
Regimen ini kadang-kadang juga termasuk pemberian estradiol valerate (atau
benzoate) pada saat aplikasi progestagen, dan / atau PGF2alpha sehari sebelum
pengangkatan progestagen. Ovulasi terjadi 40–96 jam setelah penghentian
progestagen dan estrus telah diamati pada 80-93% hewan yang dirawat. Interval
dari pelepasan perangkat progesteron hingga estrus dapat bervariasi dari 43
hingga 117 jam dan tingkat kehamilan setelah pengobatan bervariasi dari 20
sampai 50%.

3.7 Mengatur siklus estrus dengan mengontrol perkembangan folikel dan


ovulasi
Perkembangan folikel dan ovulasi pada kerbau dapat dikontrol melalui
penggunaan kombinasi hormon yang berbeda.
15

1. Pemberian GnRH-prostaglandin
Pada sapi, pemberian GnRH banyak digunakan untuk memanipulasi pola
perkembangan folikel ovarium. Pemberian GnRH menyebabkan lonjakan LH
selama setiap tahap siklus estrus, yang akan mendorong ovulasi DF atau
menginduksi luteinisasi dan / atau atresia folikel pra-dominan. Telah dilaporkan
bahwa pemberian GnRH pada kerbau menyebabkan ovulasi pada 60-86% dan
interval antara pemberian GnRH dan ovulasi adalah 33 ± 8.3 jam. Seperti pada
sapi, keberadaan DF pada saat pengobatan merupakan faktor penentu awal untuk
induksi ovulasi.
Dalam sepuluh tahun terakhir, beberapa protokol sinkronisasi estrus dan
ovulasi untuk sapi dan kerbau telah dikembangkan yang memungkinkan
penggunaan program inseminasi buatan berjangka waktu tanpa deteksi estrus.
Sistem ini mendorong ovulasi DF dengan pemberian GnRH, regresi CL dengan
pemberian prostaglandin 7 hari kemudian, dan setelah itu ovulasi DF baru dengan
suntikan kedua GnRH.Untuk keberhasilannya,

Protokol ovsynch
protokol ini membutuhkan keberadaan DF pada saat pengobatan GnRH pertama .
Tingkat sinkronisasi setelah Ovsynch pada hewan siklik dapat ditingkatkan
dengan memulai pengobatan dengan adanya DF; dengan administrasi progesteron
antara administrasi GnRH dan PGF2alpha pertama dan saat pengobatan GnRH
kedua diganti dengan LH. Namun, tingkat konsepsi mengikuti protokol Ovsynch
berkurang selama transisi dari musim kawin ke musim tidak kawin, menurun
drastis selama musim non-kawin menjadi 7%.
16

2. Kombinasi progesteron, estradiol, hCG dan Ecg


Estradiol, hCG dan / atau prostaglandin telah berhasil digunakan untuk
meningkatkan sinkronisasi estrus dan tingkat konsepsi dalam protokol berbasis
progestagen. Menggunakan eCG pada saat penarikan perangkat progesteron
diikuti dengan dua inseminasi buatan dalam waktu 72 dan 96 jam kemudian.
Protokol ini mencapai tingkat konsepsi 51%.

3.8 Protokol sinkronisasi Estrus dan kesuburan pada kerbau selama


musim kawin rendah
Aktivitas reproduksi kerbau dicirikan oleh periode waktu di mana aktivitas
reproduksi kurang atau berkurang (musim kawin tidak atau musim kawin rendah
atau anestrus musiman). Periode ini bertepatan dengan bulan-bulan dalam setahun
yang mencapai suhu tertinggi dan panjang hari. Protokol Ovsynch tidak efektif
selama musim kawin rendah, tetapi pemberian progesteron selama 7 hari antara
pengobatan GnRH pertama dan PGF2alpha meningkatkan kesuburan selama
periode ini. Tingkat konsepsi rendah (30%) jika dibandingkan dengan pengaruh
perlakuan ini selama musim kawin (45%), tetapi lebih tinggi daripada tingkat
diamati pada hewan yang tidak diobati selama periode yang sama dalam setahun
(19%).

Pengobatan dengan progestagen dalam hubungannya dengan eCG dapat


memicu kembalinya estrus pada sapi kerbau yang dibius, menghasilkan tingkat
kebuntingan mendekati 30%. Efek serupa telah diamati pada sapi anus Bos
indicus yang menyusu. Dalam satu penelitian, tingkat konsepsi 83% setelah
inseminasi sapi kerbau pada estrus yang diamati dilaporkan. Penulis studi terakhir
ini menunjukkan bahwa pengobatan progestagen lebih efektif bila implan
17

progestagen dibiarkan terpasang selama 10-14 hari daripada 8 hari. Perlakuan


terhadap kerbau asiklik yang menunjukkan pertumbuhan folikel ovarium dengan
Ovsynch atau PRID + PMSG selama bulan-bulan dengan peningkatan panjang
hari memberikan tingkat kehamilan masing-masing 40% dan 70%.
Kesimpulannya, penggunaan protokol berbasis progesteron selama musim non-
kawin memungkinkan inseminasi dan induksi kebuntingan pada hewan yang
seharusnya tidak produktif.
18

BAB IV
KESIMPULAN

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengembangkan program


sinkronisasi estrus dan ovulasi pada kerbau. Penggunaan progestagen, pengobatan
ganda PGF2alpha, dan kombinasi GnRH, prostaglandin, progesteron dan eCG
telah banyak dilaporkan. Namun, beberapa hewan tidak menanggapi pengobatan.
Mungkin ada beberapa alasan untuk ini, tetapi di antara faktor penentu yang
paling mungkin adalah status folikel hewan pada awal pengobatan. Waktu
pengobatan yang ideal dapat ditentukan dengan menentukan aktivitas ovarium
dengan USG. Biasanya, keberadaan DF dan CL menunjukkan keberhasilan
sinkronisasi. Namun kebanyakan protokol hanya efektif selama musim kawin.
Selama anestrus musiman, penggunaan progesteron tampaknya diperlukan untuk
mencapai kehamilan, tetapi keampuhannya berkurang dibandingkan dengan
musim kawin.
19

DAFTAR PUSTAKA

De Rensis, F., & Lopez-Gatius, F. (2007). Protocols for synchronizing estrus and
ovulation in buffalo (Bubalus bubalis): A review. Theriogenology, 67(2),
209-216.
Hafez ESE, HafezB. 2000. Reproduction in farm animals. 7th edition.
Philadelphia (US): Lea and Febiger. p405-430.

Lauderdale JW. 2006. History, efficacy and utilization of prostaglandin F ₂ alpha


for estrous synchronization. Proceeding ofApplied Reproductive
Strategies in Beef Cattle, St Joseph, Missouri. p33-48.
Nascimento AB, Souza AH, Keskin A, Sartori R, Wiltbank MC. 2014. Lack of
complete regression of the Day 5 corpus luteum after one or two doses of
in nonlactating Holstein cows. Theriogenology.81:389-395.
Setiadi MA, Aepul. 2010. Daya penghambatan arus listrik daerah vagina pada
domba setelah sinkronisasi estrus. Prosiding Seminar Nasional Peranan
Teknologi Reproduksi Hewan dalam Rangka Swasembada Pangan
Nasional. p135-138.
Stotzel C, Plöntzke J, Heuwieser W, Roblitz S. 2012. Advances in modeling of the
bovine estrous cycle: Synchronization with . Journal Dairy
Science.78: 1415-1428.
Suzana, R., Udin, Z., & Hendri, H. (2020). Penggunaan Metode Sinkronisasi
Estrus terhadap Respon Estrus pada Kerbau Rawa (b. Bubalis carabauesis)
di Kabupaten Padang Pariaman. Jurnal Peternakan Indonesia (Indonesian
Journal of Animal Science), 22(2), 176-183.
Whitley NC, Jackson DJ. 2004. An update on estrus synchronization in goats:A
minor species. Journal Animal Science.82: E270–E276.

Anda mungkin juga menyukai