Anda di halaman 1dari 29

Peradilan Tata Usaha Negara

DIAJUKAN SEBAGAI TUGAS MATA KULIAH HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA
NEGARA
Dosen : R. Darmawan, S. H., M. H.

Disusun oleh :

Muhammad Fika A. H.
18. 4301. 257
Kelas C

SEKOAH TINGGI HUKUM BANDUNG


2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb.
Alhamdulillah, kita ucapkan puji serta syukur kehadirat Allah SWT yang dengan rahmat, taufik
dan hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga berkat karunia-Nyalah kami dapat menyelesaikan tugas
Makalah semester V Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara yang berjudul “Peradilan Tata
Usaha Negara” tanpa halangan yang berarti dan selesai tepat pada waktunya.
Tujuan utama Kami membuat makalah ini yaitu berharap Semoga makalah ini dapat menambah
wawasan dan ilmu pengetahuan kita semua, yang tentunya memiliki nilai-nilai kebaikan yang tinggi.
Kami sadar dalam penyusunan makalah ini masih banyak sekali kekurangan-kekurangannya.
Oleh karena itu, kritikan dan saran dari dosen Pengampu Mata Kuliah Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara dan rekan-rekan sekalian sangat saya harapkan demi kesempurnaan dan kebenaran
makalah ini.
Semoga makalah ini menjadi khazanah keilmuan khususnya bagi Kami umumnya bagi yang
membaca dan semoga makalah ini memberikan informasi bagi mahasiswa dan bermanfaat untuk
pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua
Akhir kata, Kami ucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kapada dosen pembimbing
dan teman-teman yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Bandung, 20 Januari 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………..i
DAFTAR ISI ……………………………………………………………...ii
PENDAHULUAN………………………………………………………...1
A Latar Belakang ………………………………………………….1
B Rumusan Masalah ………………………………………………3

PEMBAHASAN………………………………………………………….4
A Sejarah Terbentuknya PTUN…………………………………..4
B. Pengertian Hukum & Peradilan Tata Usaha Negara........... 6
B.1. Pengertian Hukum Tata Usaha Negara……………………… 6
B.2. Pengertian Peradilan Tata Usaha Negara…………………… 8
C. Tujuan Peradilan Tata Usaha Negara…………………………8
D. Karakteristik dan Prinsip Peradilan Tata Usaha Negara...... 9
Kutipan Jurnal Spektrum Hukum, Edi Pranoto,SH.,M.HUM
(Http://203.89.29.50/index.php/SH/article/view/1111) …………..9
E. Kompetensi PeradilanTata Usaha Negara………………...…. 12
F. Pangkal Sengketa TUN……………………………………..…...15
G. Obyek dan Subyek sengketa di PTUN……………..………….16
Kutipan Jurnal Spektrum Hukum, Edi Pranoto,SH.,M.HUM
(Http://203.89.29.50/index.php/SH/article/view/1111) ………… 17
H. Prosedur Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara…… 17
Kutipan Jurnal Spektrum Hukum, Edi Pranoto,SH.,M.HUM
(Http://203.89.29.50/index.php/SH/article/view/1111) ………… 21
I. Tenggang waktu pengajuan gugatan…………………........... 23

PENUTUP
A. Simpulan…………………………………………………………24
B. Saran ……………………………………………………………24

DAFTAR PUSTAKA…….....……………………………………………25

ii
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dasar peradilan dalam UUD 1945 dapat ditemukan dalam pasal 24 yang
menyebutkan:
(1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain
badan kehakiman menurut undang-undang.
(2) Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang.
Sebagai pelaksanaan Pasal 24 UUD 1945, dikeluarkanlah Undang-undang Nomor 14
Tahun Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 10 ayat
(1) disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan:
a. Peradilan Umum;
b. Peradilan Agama;
c. Peradilan Militer;
d. Peradilan Tata Usaha Negara.

Dengan demikian penyelenggaraan peradilan tata usaha negara di Indonesia


merupakan suatu kehendak konstitusi dalam rangka memberikan perlindungan hukum
terhadap rakyat secara maksimal.
Indonesia sebagai negara hukum tengah berusaha meningkatkan kesejahteraan bagi
seluruh warganya dalam segala bidang. Kesejahteraan itu hanya dapat dicapai dengan
melakukan aktivitas-aktivitas pembangunan di segala bidang. Dalam melaksanakan
pembangunan yang multi kompleks sifatnya tidak dapat dipungkiri bahwa aparatur
pemerintah memainkan peranan yang sangat besar. Konsekuensi negatif atas peran
pemerintah tersebut adalah munculnya sejumlah penyimpangan-penyimpangan seperti
korupsi, penyalahgunaan kewenangan, pelampauan batas kekuasaan, sewenang-wenang,
pemborosan dan sebagainya. Penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh aparat
pemerintahan itu tidak mungkin dibiarkan begitu saja. Disamping itu, juga diperlukan sarana
hukum untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyat.
Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun
2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berdasarkan Pasal 144 dapat disebut
Undang-undang Peradilan Administrasi Negara, maka dewasa ini perlindungan hukum
terhadap warga masyarakat atas perbuatan yang dilakukan oleh penguasa dapat dilakukan
melalui 3 badan, yakni sebagai berikut: 

1
a. Badan Tata Usaha Negara, dengan melalui upaya administratif.
b. Peradilan Tata Usaha Negara, berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
jo UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tara Usaha Negara (PTUN).
c. Peradilan Umum, melaui Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPerdata).
Melihat betapa pentingnya peran Peradilan Tata Usaha negara dalam menciptakan
Negara Indonesia yang adil dan sejahtera, pemakalah tertarik untuk membahas lebih dalam
mengenai Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia dengan membuat makalah yang
berjudul: “Peradilan Tata Usaha Negara”

2
B. RUMUSAN MASALAH
Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai salah satu badan peradilan khusus yang berada
di bawah Mahkamah Agung, berdasarkan Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana di ubah dengan Undang-undang nomor 9 tahun
2004 tentang Perubahan atas Undang-undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara dalam Pasal 47 mengatur tentang kompetensi PTUN dalam sistem peradilan
di Indonesia yaitu bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
sengketa tata usaha negara. 
Kewenangan Pengadilan untuk menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara yang diajukan kepadanya yang dikenal dengan kompetensi atau kewenangan
mengadili. Peradilan Tata Usaha Negara akan menyelesaikan sengketa yang terjadi di dalam
lingkungan administrasi itu sendiri.
Untuk itu, pemakalah akan menguraikan mengenai kewenangan pengadilan Tata
Usaha Negara dan Prosedur Penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara.
Secara ringkas, rumusan masalah dalam makalah ini adalah, sebagai berikut:
1. Bagaimana tentang sejarah pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara dan Apa
tujuan serta fungsi didirikannya Pengadilan Tata Usaha Negara?
2. Bagaimana Prosedur beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara ?

3
PEMBAHASAN

A. Sejarah Terbentuknya PTUN


Keberadaan peradilan administrasi negara merupakan salah satu jalur yudisial dalam
rangka pelaksanaan asas perlindungan hukum kepada masyarakat. Proses kelahirannya telah
menempuh perjalanan cukup panjang dan berliku. Apabila ditelusuri, sejak Indonesia
merdeka hingga akhir tahun 1986, Indonesia belum mempunyai suatu lembaga Peradilan
Administrasi Negara yang berdiri sendiri.
Sejarah terbentuknya UU PTUN tahun 1986 diulas secara rinci oleh Wicipto Setiadi
dalam buku Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara Suatu Perbandingan. 1
Dalam praktik, saat itu ada tiga lembaga yang melakukan fungsi seperti Peradilan
Administrasi Negara, yaitu Majelis Pertimbangan Pajak (MPP), Peradilan Pegawai Negeri,
dan Peradilan Bea Cukai. Selain itu, perkara-perkara administrasi negara diselesaikan oleh
hakim di lingkungan peradilan umum. Perkara yang diselesaikan berupa perbuatan penguasa
yang melanggar hukum.
Apabila ditelusuri dokumen yang berkenaan dengan Peradilan Administrasi Negara,
sebenarnya upaya perwujudan Peradilan Administrasi Negara sudah sejak lama dirintis.
Tahun 1946, untuk pertama kalinya Wirjono Prodjodikoro membuat Rancangan Undang-
undang tentang Acara Perkara dalam Soal Tata Usaha Pemerintahan. Usaha ini didukung
oleh kegiatan berupa penelitian, simposium, seminar, dan sebagainya.
Perintah mewujudkan Peradilan Administrasi Negara pertama kali dituangkan dalam
Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960. Kemudian ditegaskan dalam Undang-undang No. 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Di samping itu,
Presiden Soeharto dalam pidato kenegaraannya di depan Sidang Perwakilan Rakyat tanggal
16 Agustus 1978 juga menegaskan bahwa, “…akan diusahakan terbentuknya peradilan
administrasi, yang dapat menampung dan menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan
dengan pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat atau aparatur negara, maupun untuk
memberikan kepastian hukum bagi setiap pegawai negeri.”
Selanjutnya, perintah ini diperkuat lagi dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978
tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) untuk Pelita III, yang menyatakan,
“Mengusahakan terwujudnya TUN.” Dalam Ketetapan MPR No. II/MPR/1983 tentang

1
Wicipto Setiadi, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara Suatu Perbandingan, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1995), hlm. 7-10

4
GBHN untuk Pelita IV, memang tidak disebutkan secara jelas dan tegas tentang perwujudan
Peradilan TUN. Namun, karena rencana pembangunan merupakan sebuah rencana yang
berkesinambungan, maka sudah selayaknya tetap mengupayakan perwujudan Peradilan
TUN.
Kemudian, sekali lagi, Presiden Soeharto dalam pidato kenegaraannya di depan
Sidang Dewan Perwakilan Rakyat 16 Agustus 1983 menerangkan bahwa, “…Dalam pada
itu, juga dalam rangka mendayagunakan aparatur negara, pemerintah berharap secepatnya
menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat.”
Akhirnya, pada 20 Desember 1986, DPR secara aklamasi menerima Rancangan
Undang-undang tentang Peradilan TUN menjadi undang-undang. Undang-undang tersebut
adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN yang diundangkan pada
tanggal 29 Desember 1986 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor
77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3344.
Melalui UU No. 5 Tahun 1986 ini, pejabat atau badan TUN bisa digugat di
Pengadilan TUN apabila keputusan-keputusan yang dikeluarkannya merugikan masyarakat.
Dengan lahirnya undang-undang ini, aparatur pemerintah tidak dapat lagi bertindak
sewenang-wenang dan setiap kebijakan yang dikeluarkannya harus ditetapkan secara tertulis
dan dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis.
Meskipun diundangkan pada 29 Desember 1986, UU PTUN inti tidak dapat seketika
itu juga langsung diterapkan. Hal ini disebabkan masih menunggu peraturan pemerintah
yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 145, yaitu paling lama lima tahun sejak
diundangkan. Jadi, selambat-lambatnya tahun 1991 harus sudah keluar peraturan pemerintah
tersebut. Namun belum sampai batas waktu yang ditentukan, pada 14 Januari 1991 telah
dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1991 tentang Penerapan Undang-undang No.
5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. 2
Wicipto Setiadi menguraikan perkembangan UU PTUN selama lima tahun sejak disahkan. 3
Sebagai tindak lanjut UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, telah
dikeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan, yang merupakan peraturan
pelaksanaan undang-undang tersebut, yaitu:
a. Undang-undang No. 10 Tahun 1990 tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara Jakarta, Medan, dan Ujung Pandang;
b. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1991 tentang Penerapan Undang-undang No. 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
2
Wicipto Setiadi, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara Suatu Perbandingan, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1995), hlm. 7-10
3
Ibid.hlm. 206

5
c. Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 1991 tentang Tata Cara Pemberhetian Dengan
Hormat, Pemberhentian Tidak Dengan Hormat, dan Pemberhentian Sementara
serta Hak-hak Hakim Agung dan Hakim yang Dikenakan Pemberhentian;
d. Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara
Pelaksanaannya pada Peradilan Tata Usaha Negara;
e. Keputusan Presiden No. 52 Tahun 1990 tentang Pembentukan Pengadilan Tata
Usaha Negara di Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya, dan Ujung Pandang;
f. Keputusan Presiden No. 16 Tahun 1992 tentang Pembentukan Pengadilan Tata
Usaha Negara di Bandung, Semarang, dan Padang;
g. Keputusan Presiden No. 41 Tahun 1992 tentang Pembentukan Pengadilan Tata
Usaha Negara di Pontianak, Banjarmasin, dan Manado.
Pada periode 1992-1994, sedang dipersiapkan pula sejumlah Rancangan Undang-
undang, Peraturan Pemerintah, hingga Peraturan Presiden yang merupakan peraturan
pelaksanaan dari UU No. 5 Tahun 1986. Peraturan-peraturan tersebut, yaitu: Rancangan
Undang-undang tentang Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya, Rancangan
Peraturan Pemerintah tentang Hakim Ad Hoc, Rancangan Peraturan Pemerintah tentang
Pengajuan Gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara Tempat Kediaman Penggugat, serta
Rancangan Keputusan Presiden tentang Pembentukan Pengadilan Tata Usaha Negara di
Ambon, Jayapura, dan Kupang.

B. Pengertian Hukum Tata Usaha Negara dan Peradilan Tata Usaha Negara

B.1. Pengertian Hukum Tata Usaha Negara


Pengertian Hukum Tata usaha Negara bisa di artikan sebagai sebuah aturan atau
hukum yang mengatur mengenai jalannya administrasi di suatu negara. Hukum tersebut
mengatur adanya tata pelaksanaan pemerintah dalam suatu masa dalam menjalankan
kewajibannya dan juga tugasnya. Hukum tata usaha negara itu sendiri menitikberatkan
kepada hal-hal yang terkait dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh sebuah
pemerintah. Untuk hukum tata usaha negara sendiri terkadang orang kebingungan untuk
membedakannya dengan Hukum Tata Negara. Hukum tata negara sendiri lebih fokus kepada
hal mengenai konstitusi atau hukum dasar yang di gunakan oleh suatu negara untuk
mengatur suatu negara mengeluarkan kebijakan pemerintah. 4
Apa yang di maksud dengan keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang
No 5 tahun 1986 terdapat dalam pasal 1 angka 3 yang menentukan bahwa keputusan Tata
usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang di keluarkan oleh badan atau pejabat Tata
4
Siti soetami. Hukum Peradilan Tata Usaha Negara.bandung, 2001, hlm. 1-4

6
Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkret, individual dan final yang menimbulkan
akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Jika di urai, apa yang di maksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut, akan di
temukan unsur-unsurnya sebagai berikut:
a. Penetapan tersebut tertulis dan dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara.
b. Berisi tindakan hukum Tata Usaha negara
c. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
d. Bersifat konkret, individual atau fnal
e. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. 5
Rumusan unsur atau elemen diatas sebenarnya dituliskan dengan muatan sama, hanya
saja ada poin-poin tertentu yang dalam buku satu dijadikan satu poin misal, poin A dalam
buku Siti Soetami dijadikan dua poin berbeda, sedangkan dalam buku Marbun poin itu
digabungkan menjadi satu kesatuan.
Penjelasan pasal 1 angka 3 menyebutkan bahwa istilah penetapan tertulis terutama
menunjuk kepada isi dan bukan kepada bentuk keputusan yang di keluarkan oleh badan atau
pejabat Tata Usaha Negara. Dengan adanya penjelasan pasal 1 angka 3 tersebut dapat di
ketahui bahwa menurut pengertian undang-undang Negara yang tidak tertulis, kecuali
Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). KTUN itu memang di haruskan tertulis, namun
yang di syaratkan tertulis bukanlah bentuk formalnya seperti surat keputusan pengangkatan
dan sebagainya.
Sebab keputusan Tata Usaha Negara harus dengan bentuk tertulis. Karena untuk
memudahkan bagi kebijakan. Dari penjelasan pasal 1 angka 3 juga dapat diketahui bahwa
formal suatu penetapan tertulis tidak menjadi syarat mutlak agar suatu penetapan tertulis
dapat disebut atau termasuk Keputusan Tata Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 1
angka 3.
6
Oleh karena bentuk formal, tetapi pada “isi” dari suatu penetapan tertulis yang di
keluarkan oleh Badan atau pejabat Tata Usaha negara tidak menjadi syarat mutlak agar
penetapan tertulis tersebut dapat disebut atau termasuk keputusan Tata Usaha Negara
sebagaimana yang di maksud dalam pasal 1 angka 3, maka penjelasan pasal 1 angka 3
menyebutkan lebih lanjut bahwa sebuah memo atau nota akan merupakan suatu keputusan
badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. 7

5
SF Mrbun, Peradilan Tata Usaha Negara, Yogyakarta, 2003, cet. 2, hlm. 48
6
SF Mrbun, Op. Cit.hlm. 49
7
Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, jakarta, 2008, cet.2 hlm. 17-20

7
B. 2. Pengertian Peradilan Tata Usaha Negara
Prof. Ir. S. Prajudi Atmosudirdjo, SH memberikan pengertian Peradilan Tata Usaha
Negara dalam arti luas dan dalam arti sempit.

a. Dalam arti luas


“Peradilan yang menyangkut Pejabat-pejabat dan Instansi-instansi Administrasi
Negara, baik yang bersifat perkara pidana, perkara perdata, perkara agama, perkara
adat, dan perkara administrasi Negara.”
b. Dalam arti sempit
“Peradilan yang menyelesaikan perkara-perkara administrasi negara murni semata-
mata.”

C. Tujuan Peradilan Tata Usaha Negara


Philipus M.Hadjon menyatakan bahwa perlindungan hukum bagi rakyat dapat dibagi
menjadi 2 macam yaitu Perlindungan Hukum yang Preventif dan Perlindungan Hukum yang
Refresif dengan pengertian sebagai berikut :
a. Perlindungan Hukum Preventif adalah perlindungan hokum dimana rakyat
diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya
sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang preventif bertujuan
untuk mencegah terjadinya sengketa , sedangkan
b. Perlindungan Hukum Refresif adalah bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.
Perlindungan Hukum yang preventif sangat besar artinya bagi tindakan pemerintah
yang didasarkan kepada kebebasan bertindak, karena dengan adanya perlindungan hukum
yang didasarkan pada diskresi. Dalam kajian Hukum Administrasi Negara, tujuan
pembentukan peradilan administrasi Negara (Peradilan Tata Usaha Negara) adalah :
defenitif, artinya perlindungan hukum preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-
hati dalam mengambil keputusan :
a. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yag bersumber dari hak-hak
Individu.
b. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan pada
kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut.
Berdasarkan Undang-undang No.5 tahun 1986 tetang Peradilan Tata Usaha Negara,
perlindungan hukum akibat dikeluarkannya ketetapan (beschiking) dapat ditempuh melalui
dua jalur, yaitu melalui banding administrasi atau upaya administrasi dan melalui peradilan.
Menurut Sjahran Basah perlindungan hukum yang diberikan merupakan qonditio sine qua

8
non dalam menegakkan hukum. Penegakan hukum merupakan qonditio sine qua non pula
untuk merealisasikan fungsi hukum itu sendiri. Fungsi hukum yang dimaksud adalah : 8
a. Direktif, sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang
hendak dicapai dengan tujuan kehidupan bernegara ;
b. Integratif, sebagai Pembina kesatuan bangsa;
c. Stabilitatif, sebagai pemelihara dan menjaga keselarasan, keserasian,dan
keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat;
d. Perfektif, sebagai penyempurna baik terhadap sikap tindak administrative negara
maupun sikap tindak warga apabila terjadi pertentangan dalam kehidupan
bernegara dan bermasyarakat;
e. Korektif, sebagai pengoreksi atas sikap tindak baik administrasi negara maupun
warga apabila terjadi pertentangan hak dan kewajiban untuk mendapatkan
keadilan.9

D. Karakteristik dan Prinsip-Prinsip Peradilan Tata Usaha Negara


Hukum Acara PTUN adalah Hukum yang mengatur tata cara bersengketa di PTUN
serta mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak yang terkait dalam proses sengketa tersebut.
Hukum acara merupakan hukum formal yang secara teoritis keberadaanya terdiri dari dua
macam , yakni :
a. Ketentuan prosedur berperkara diatur bersama-sama dengan hukum materiilnya
atau bersama-sama dengan pengaturan susunan, kompetensi dari badan yng
melakukan peradilan dalam satu bentuk undang-undang atau peraturan lainnya;
b. Ketentuan prosedur berperkara diatur masing-masing dalam bentuk undang-
undang atau peraturan lainnya.
Menurut penggolongan diatas maka Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN), mengikuti kelompok pertama, karena dalam UU
PTUN tersebut memuat hukum materiil sekaligus hukum formalnya. Undang-undang
Nomor 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara kemudian dirubah dengan
Undang-Undang No.9 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang No.5 tahun 1986
10
tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang terakhir dirubah lagi dengan Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan kedua Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

8
Edi Pranoto,SH.,M.HUM., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Gabungan Peraturan
Perundang-undangan tentang Peradilan Tata Usaha Negara) Fakultas Hukum, Universitas 17 Agustus
1945 Semarang, hlm.13-15
9
Ibid, hlm. 15
10
Edi Pranoto, Op Cit, hlm.15-16

9
Ciri khusus yang menjadi karateristik Hukum Acara PTUN :
a. Peranan hakim yang aktif karena ia dibebani tugas untuk mencari kebenaran
materiil (pasal 63 ayat 2a dan b, pasal 80 ayat 1, pasal 85, pasal 95 ayat 1, pasal
103 ayat 1);
b. Kompensasi ketidakseimbangan antara kedudukan penggugat dan tergugat;
c. Sistem pembuktian yang mengarah kepada pembuktian bebas (vrijbewijs) yang
tebatas;
d. Gugatan di Pengadilan tidak mutlak bersifat menunda pelaksanaan keputusan TUN
yang digugat (vide pasal 67);
e. Keputusan Hakim tidak boleh bersifat ultra petita (melebihi tuntutan penggugat)
tetapi dimungkinkan adanya reformation in peius (membawa penggugat dalam
keadaan yang lebih buruk) sepanjang diatur dalam UU;
f. Terhadap putusan hakim TUN berlaku asas erga omnes artinya bahwa putusan itu
tidak hanya berlaku bagi para pihak yang bersengketa, tetapi juga berlaku bagi
pihak-pihak lain yang terkait;
g. Dalam proses pemeriksaan dipersidangan berlaku asas autiet alteram partem yaitu
para pihak yang terlibat dalam sengketa harus didengar penjelasannya sebelum
hakim membuat putusan;
h. Dalam mengajukan gugatan harus ada kepentingan atau bila tidak ada kepentingan
maka tidak boleh mengajukan gugatan; dan
i. Kebenaran yang dicapai adalah kebenaran materiil dengan tujuan
menyeimbangkan kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. 11

Dengan didasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka secara garis


besarnya kita dapat menggali beberapa asas hukum yang terdapat dalam Hukum Acara
Peradilan tata Usaha Negara: 
a. Asas Praduga rechtmatig (praesumptio iustatae causa);
Artinya asas ini menyatakan bahwa setiap perbuatan pemerintah dianggap
rechmting (tidak bertentangan dengan hukum) sampai pada pembatalan (Pasal 67
ayat (1) UU PTUN)).
b. Asas gugatan pada dasarnya tidak dapat menunda pelaksanaan keputusan tata
usaha negara (KTUN) yang dipersengketakan. Asas ini merupakan kelanjutan dan
konsekuensi dari asas praduga rechmating. Jika setiap tindakan pemerintah selalu
dianggap rechmating, maka gugatan terhadap putusan pemerintah pada dasarnya
tidak dapat menghalangi dilaksanakannya putusan tersebut. Hal ini karena keadaan

11
Edi Pranoto, Op Cit, hlm.16--17

10
penggugat adalah keadaan sebelum jatuhnya putusan. Jadi pada saat gugatan
diajukan, hakim belum memutuskan apakah KTUN tersebut batal atau tidak.
Dimungkinkan terdapat pengecualian bilamana “ada kepentingan yang mendesak
dari penggugat” (Pasal 67 ayat 1 dan ayat 4 huruf a).
c. Asas kesatuan beracara dalam perkara sejenis, bahwa dalam perkara sejenis
diterapkan mekanisme yang sama untuk seluruh wilayah Indonesia. Hal ini
berdasarkan pada wawasan persatuan hukum dan untuk menghindari terjadinya
dualisme mekanisme untuk perkara sejenis. Sebagaimana yang pernah diterapkan
pada zaman Hindia Belanda dengan adanya perbedaan mekanisme acara pada
peradilan perdata untuk wilayah Jawa Madura dan luar Jawa Madura. Hal ini juga
berlaku baik dalam pemeriksaan di peradilan judex vacti maupun kasai di
Mahkamah Agung sebagai puncaknya.
d. Asas Audi et alteram partem artinya para pihak memiliki kedudukan yang sama
dan harus diperhatikan secara adil. Hakim harus mendengarkan keterangan kedua
pihak menjatuhkan putusan.
e. Asas penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman yang merdeka artinya bebas dari
segala campur tangan kekuasaan yang lain baik secara langsung maupun tidak
langsung yang bermaksud untuk mempengaruhi keobyektifan putusan pengadilan
(Pasal 24 UUD 1945 jo Pasal 4 UU Nomor 4 tahun 2004/ UU PPKK).
f. Asas peradilan dilakukan dengan sederahana, cepat, dan biaya ringan sederhana
adalah hukum acara yang mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Dengan hukum
12
acara yang mudah dipahami dan tidak berbelit-belit, maka peradilan akan
berjalan dengan waktu yang relatif cepat. Dan dengan demikian biaya perkara juga
akan lebih murah.
g. Asas hakim aktif yaitu keaktifan hakim dimaksudkan untuk mengimbangi
kedudukan para pihak yang tidak seimbang. Pihak tergugat adalah Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang tentu menguasai betul peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan kewenangan dan atau dasar dikeluarkan keputusan
yang digugat, sedangkan pihak Penggugat adalah orang perorang atau badan hukum
perdata yang dalam posisi lemah, karena belum tentu mereka mengetahui betul
peraturan perundang-undangan yang dijadikan sumber untuk dikeluarkannya
keputusan yang digugat 13

12
Edi Pranoto, Op Cit, hlm. 18-20
13
Edi Pranoto,SH.,M.HUM, ASAS KEAKTIFAN HAKIM (LITIS DOMINI) DALAM PEMERIKSAAN SENGKETA TATA
USAHA NEGARA, Jurnal Spektrum Hukum, (Http://203.89.29.50/index.php/SH/article/view/1111 diunduh 17
November 2019)

11
Sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap pokok sengketa hakim mengadakan rapat
permusyawaratan untuk menetapkan apakah gugatan dinyatakan tidak diterima atau
tidak berdasarkan pada pasal 62 UU No. 5 Tahun 1986 dan pemeriksaan persiapan
apakah gugatan penggugat kurang jelas sehingga penggugat harus melengkapinya
(pasal 63 UU No. 5 Tahun 1986). Dengan demikian asas ini memberikan peran
kepada para hakim dalam proses persidangan guna memperolah kebenaran materiil
dan untuk itu UU PTUN mengarah pada pembuktian bebas. Bahkan, jika dianggap
perlu untuk mengatasi kesulitan maka penggugat berhak memperoleh informasi atau
data yang diinginkan. Maka hakim memerintahkan kepada badan atau pejabat TUN
sebagai pihak yang tergugat untuk memberikan informasi atau data tersebut (pasal
85 UU No.5 Tahun 1986).
h. Asas siding terbuka untuk umum konsekuensi dari asas ini adalah bahwa semua
putusan pengadilan hanya dianggap sah dan memiliki kekuatan hukum apabila
diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum .
i. Asas peradilan berjenjang jenjang pengadilan dimulai dari tingkat yang terbawah
yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) . Lalu Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara (PTTUN) dan puncaknya adalah Mahkamah Agung (MA). Dengan
dianutnya asas ini, maka kesalahan pada putusan pengadilan yang lebih rendah
dapat dikoreksi pada pengadilan yang lebih tinggi terhadap putusan yang belum
memiliki kekuatan hukum tetap dapat diajukan upaya banding pada PTTUN dan
Kasasi pada MA. Sedangkan untuk putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap
juga dapat diupayakan peninjauan kembali pada MA.
j. Asas pengadilan sebagai upaya terakhir untuk mendapatkan keadilan asas ini
menempatkan pengadilan sebagai ultinum remedium. Sengketa tata usaha negara
sedapat mungkin terlebih dahulu diselesaikan melalui upaya musyawarah untuk
mencapai mufakat dan bukannya secara konfrontatif. Penyelesaian secara
14
administrative sebagaimana diatur dalam pasal 48 UU No. 5 tahun 1986 lebih
menunjukan kearah tersebut. Dan apabila upaya ini tidak tercapai barulah
menempuh upaya litigasi.
k. Asas tercapainya putusan yang adil, maka hakim atau panitera wajib
mengundurkan diri apabila terkait hubungan keluarga sedarah, semenda sampai
derajat ketiga atau hubungan suami istri meskipun sudah bercerai dengan tergugat,
penggugat, penasehat hukum atau antara hakim dengan seorang hakim atau
panitera juga terdapat hubungan yang dimaksud, atau hakim atau panitera tersebut

14
Edi Pranoto, Op Cit, hlm.20-21

12
mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan sengketanya (Pasal
78 dan pasal 79 UU No.5 tahun 1986 tentang PTUN). 15

E. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara


Kompetensi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kewenangan (kekuasaan)
untuk menentukan (memutuskan sesuatu). Kompetensi (kewenangan) suatu badan
pengadilan untuk mengadili suatu perkara dapat dibedakan atas kompetensi relatif dan
kompetensi absolut. Kompetensi relatif berhubungan dengan kewenangan pengadilan untuk
mengadili suatu perkara sesuai dengan wilayah hukumnya. Sedangkan kompetensi absolut
adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau
pokok sengketa.16
E.1. Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif suatu badan pengadilan ditentukan oleh batas daerah hukum yang
menjadi kewenangannya. Suatu badan pengadilan dinyatakan berwenang untuk memeriksa
suatu sengketa apabila salah satu pihak sedang bersengketa (Penggugat/Tergugat)
berkediaman di salah satu daerah hukum yang menjadi wilayah hukum pengadilan
itu.Pengaturan kompetensi relatif peradilan tata usaha negara terdapat dalam Pasal 6 dan
Pasal 54 :
Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 menyatakan :
(1) Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota, dan daerah
hukumnya meliputi wilayah Kabupaten/Kota.
(2) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Provinsi dan daerah
hukumnya meliputi wilayah Provinsi.
Pada saat ini Pengadilan Tata Usaha Negara di Indonesia baru terdapat di 26 Propinsi
dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara baru terdapat 4 yaitu PT.TUN Medan, Jakarta,
Surabaya dan Makassar sehingga wilayah hukum PTUN meliputi beberapa kabupaten dan
kota. Sedangkan PT.TUN wilayah hukumnya meliputi beberapa provinsi, seperti PTUN
Jakarta yang meliputi wilayah kota yang ada di Daerah khusus ibu kota Jakarta Raya
sedangkan PTTUN Jakarta meliputi beberapa Propinsi yang ada di pulau Kalimantan, Jawa
Barat dan DKI.
Adapun kompetensi yang berkaitan dengan tempat kedudukan atau tempat kediaman
para pihak yang bersengketa yaitu Penggugat dan Tergugat diatur tersendiri dalam pasal 54
UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah
dengan UU No. 9 tahun 2004 dan UU No. 51 tahun 2009 yang menyebutkan:

15
Edi Pranoto, Op Cit, hlm. 21-22
16
SF Mrbun, Op. Cit.hlm. 59.

13
a. Tempat kedudukan Tergugat;
b. Tempat Kedudukan salah satu Tergugat;
c. Tempat kediaman Penggugat diteruskan ke Pengadilan tempat kedudukan
Tergugat;
d. Tempat kediaman Penggugat, (dalam keadaan tertentu berdasarkan Peraturan
Pemerintah);
e. PTUN Jakarta, apabila tempat kediaman Penggugat dan tempat kedudukan
Tergugat berada diluar negeri;
f. Tempat kedudukan Tergugat, bila tempat kediaman Penggugat di luar negeri dan
tempat kedudukan Tergugat didalam negeri.
Dengan ketentuan tersebut maka pada prinsipnya gugatan diajukan ke pengadilan
TUN di tempat kedudukan Tergugat sedangkan yang bersifat eksepsional di Pengadilan
TUN tempat kedudukan Penggugat diatur kemudian setelah ada Peraturan Pemerintah, akan
tetapi sampai sekarang ini Peraturan Pemerintah yang dimaksud belum ada sehingga belum
dapat diterapkan.
E.2. Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut suatu badan pengadilan adalah kewenangan yang berkaitan untuk
mengadili suatu perkara menurut obyek atau materi atau pokok sengketa. Adapun yang
menjadi obyek sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha
Negara (Beschikking) Yang diterbitkan oleh Badan/Pejabat TUN. Sebagaimana disebutkan
dalam pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU No. 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Sedangkan perbuatan Badan/Pejabat TUN
lainnya baik perbuatan materiil (material daad) maupun penerbitan peraturan (regeling)
masing-masing merupakan kewenangan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung
Kompetensi absolut Pengadilan TUN diatur dalam pasal 1 angka 10 UU No. 51 tahun 2009
tentang Perubahan Kedua UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang
menyebutkan:
”Sengketa tata usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha
Negara antara orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat tata usaha
negara, baik dipusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan tata
usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku”

Sedangkan yang dimaksud Keputusan Tata Usaha Negara menurut ketentuan Pasal 1
angka 9 UU No. 51 tahun 2009 tentang perubahan kedua UU No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh

14
Badan/Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final sehingga menimbulkan
akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

F. Pangkal Sengketa TUN


Perbuatan administrasi Negara (TUN) dapat dikelompokkan kepada 3 macam
perbuatan yakni: mengeluarkan keputusan, mengeluarkan peraturan perundang-undangan,
dan melakukan perbuatan materil.
Dalam melakukan perbuatan tersebut, badan atau pejabat tata usaha Negara tidak
jarang terjadi tindakan-tindakan yang menyimpang, dan melawan hukum, sehingga dapat
menimbulkan berbagai kerugian, bagi yang terkena tindakan tersebut.
Pertanyaan sekarang adalah apa yang dimaksud sengketa dalam tata usaha Negara?,
untuk menjawab pertanyaan tersebut dapat ditelusuri dari ketentuan pasal 1 angka 4 UU
PTUN, yang menyebutkan sebagai berikut:
“Sengketa tata usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha
Negara antara orang atau badan hukum perdata, dengan badan atau pejabat tata usaha
Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dari dikeluarkannya keputusan tata
usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.” 

Adapun yang menjadi pangkal sengketa TUN adalah akibat dari dikeluarkannya
KTUN. Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU PTUN yang dimaksud dengan KTUN adalah:
“Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat tata usaha
negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual, final, yang
menimbulkan akibat hukum bagi Seseorang atau Badan Hukum Perdata.”
Jadi keputusan tata usaha Negara yang menjadi pangkal sengketa di PTUN menurut
ketentuan Pasal 1 angka (4) UU Nomor 9 Tahun 2004 adalah berupa :
1. penetapan tertulis yang dikeluarkan pejabat/atau badan tata usaha;
2. berupa tindakan tata usaha berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
3. bersifat kongkrit;
4. individual dan
5. final artinya mempunyai akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. 17
17
Edi Pranoto,SH.,M.HUM, ASAS KEAKTIFAN HAKIM (LITIS DOMINI) DALAM PEMERIKSAAN SENGKETA TATA
USAHA NEGARA, Jurnal Spektrum Hukum, (Http://203.89.29.50/index.php/SH/article/view/1111 diunduh 17
November 2019)

15
G. Obyek dan Subyek Sengketa di PTUN
G.1. Obyek Sengketa
Obyek sengketa di PTUN adalah Keputusan tata usaha negara sebagaimana dimaksud
Pasal 1 angka 3 dan Keputusan fiktif negatif berdasarkan Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 jo
UU No. 9 Tahun 2004.
G.2. Subyek Sengketa
1. Penggugat
Penggugat adalah seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingan
dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada
pengadilan yang berwenang yang berisi tata usaha negara tuntutan agar Keputusan tata
usaha negara yang disengketakan dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau disertai tata
usaha Negara ganti rugi dan rehabilitasi. (Pasal 53 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No.
9 Tahun 2004).
Alasan mengajukan gugatan menurut Pasal 53 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9
Tahun 2004 adalah :
a. Keputusan tata usaha negara tersebut bertentangan dengan peraturan
perundangundangan yang berlaku.
b. Badan atau pejabat tata usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan
sebagaiaman dimaksud dalam ayat (1) telah menggunakan wewenangnya untuk
tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut.
c. Badan atau pejabat tata usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak
mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setelah
mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu
seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan
tersebut. 
2. Tergugat
Dalam Pasal 1 angka 6 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 menyebutkan
pengertian Tergugat adalah badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan
keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya,
yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.
Yang dimaksud dengan badan atau pejabat tata usaha negara menurut Pasal 1 angka 2 UU
No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 disebutkan, “Badan atau Pejabat tata usaha

16
negara adalah pejabat yang melaksanakan urusan pemerintah berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.
3. Pihak Ketiga yang berkepentingan
Dalam Pasal 83 UU No. 5 / 1986 jo UU No. 9/ 2004 disebutkan :
(1). Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam
sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri
dengan mengajukan permohonan, maupun atas prakarsa hakim, dapat masuk dalam
sengketa tata usaha negara, dan bertindak sebagai:
- pihak yang membela haknya, atau
- peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa

H. Prosedur Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara.


Harus diketahui terlebih dahulu bahwa penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara
tidak boleh langsung diajukan ke Pengadilan TUN, dan harus diselesaikan secara bertahap.
Berdasarkan ketentuan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara menentukan bahwa apabila peraturan perundang-undangan memberikan
wewenang kepada pejabat atau Badan Tata Usaha Negara untuk dapat menyelesaikan
sengketa TUN melalui upaya administrasi, maka upaya itu harus ditempuh dahulu dan jika
gagal maka baru dapat diajukan ke Pengadilan TUN.
Adapun apabila seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya
dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan
TUN yang berwenang untuk mengadilinya dengan tahapan sebagai berikut :
1. Penelitian Administrasi
Penelitian Administrasi dilakukan oleh Kepaniteraan, hal ini merupakan tahap
pertama untuk memeriksa gugatan yang masuk dan telah didaftar serta mendapat nomor
register yaitu setelah Penggugat/kuasanya menyelesaikan administrasinya dengan membayar
uang panjar perkara.

2. Proses Dismissal
Setelah Penelitian Administrasi, Ketua Pengadilan melakukan proses dismissal, yakni
proses untuk meneliti apakah gugatan yang diajukan penggugat layak dilanjutkan atau tidak.
Pemeriksaan Disimissal dilakukan secara singkat dalam rapat permusyawaratan oleh ketua
dan ketua dapat menunjuk seorang hakim sebagai reporteur (raportir).

17
Dalam Prosedur Dismissal Ketua Pengadilan berwenang memanggil dan mendengar
keterangan para pihak sebelum menentukan penetapan disimisal apabila dipandang perlu.
Ketua Pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan
pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau
tidak berdasar, dalam hal :
a. Apakah penggugat sudah menempuh upaya administrasi (Pasal 48 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara).
b. Gugatan tidak kadaluarsa (Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara).
c. Diajukan ke Pengadilan TUN secara benar (kompetensi).
d. Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
e. Gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak (Pasal 53 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara).
f. Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh Keputusan
TUN yang digugat
Dalam hal adanya petitum gugatan yang nyata-nyata tidak dapat dikabulkan, maka
kemungkinan ditetapkan dismissal terhadap bagian petitum gugatan tersebut. Penetapan
Dismissal ditandatangani oleh ketua dan panitera/wakil panitera (wakil ketua dapat pula
menandatangani penetapan dismissal dalam hal ketua berhalangan). Penetapan Ketua
Pengadilan tentang dismissal proses yang berisi gugatan penggugat tidak diterima atau tidak
berdasar, diucapkan dalam rapat permusyawaratan sebelum hari persidangan ditentukan
terlebih dahulu memanggil kedua belah pihak untuk didengar keterangannya. Upaya hukum
terhadap putusan penetapan ini berupa Verzet/Perlawanan (Pasal 62 ayat (4) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara)

3. Pemeriksaan Persiapan
Pemeriksaan persiapan dipimpin oleh hakim majelis yang sudah ditetapkan oleh
Ketua Pengadilan TUN. Pada saat proses pemeriksaan berlangsung, hakim telah diwajibkan
untuk berperan aktif memeriksa gugatan dan melengkapi dengan data yang diperlukan.
Bahkan apabila pihak penggugat mangalami kesulitan memperoleh data atau informasi yang
diperlukan,hakim dapat meminta penjelasan kepada badan atau pejabat tata usaha
negara.Tindakan demikian ini dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan penggugat yang
tidak seimbang dengan kedudukan tergugat. Kecuali itu dimaksudkan untuk membantu

18
penggugat mengatasi kesulitan yang dihadapi memperoleh informasi yang diperlukan
sehubungan dengan sengketa yang dihadapi.18 Adapun tujuan khusus pemeriksaan persiapan
ini adalah untuk mematangkan perkara.
Dalam pemeriksaan persiapan sesuai dengan ketentuan Pasal 63 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Surat Edaran (SEMA No. 2
Tahun 1991) serta Juklak MARI (Juklak MARI No.052/Td.TUN/III/1992 tanggal 24 Maret
1992), (Surat MARI No. 223/Td.TUN/ X/ 1993 tanggal 14-10-1993 tentang Juklak), (Surat
MARI No. 224 /Td.TUN/X/1993 tanggal 14-10-1993 tentang Juklak), majelis Hakim
berwenang untuk :
a. Wajib memberi nasehat kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan dan
melengkapi dengan data yang diperlukan dalam jangka waktu tiga puluh hari.
b. Dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat TUN yang bersangkutan,
demi lengkapnya data yang diperlukan untuk gugatan itu. Wewenang Hakim ini
untuk mengimbangi dan mengatasi kesulitan seseorang sebagai Penggugat dalam
mendapatkan informasi atau data yang diperlukan dari Badan atau Pejabat TUN
mengingat bahwa penggugat dan Badan atau Pejabat TUN kedudukannya tidak
sama. Dapat pula melakukan acara mendengarkan keterangan-keterangan dari
Pejabat TUN lainnya atau mendengarkan keterangan siapa saja yang dipandang
perlu oleh hakim serta mengumpulkan surat-surat yang dianggap perlu oleh hakim
c. Dalam kenyataan Keputusan TUN yang hendak disengketakan itu mungkin tidak
ada dalam tangan penggugat. Dalam hal keputusan itu ada padanya, maka untuk
kepentingan pembuktian ia seharusnya melampirkannya pada gugatan yang ia
ajukan. Tetapi apabila penggugat yang tidak memiliki Keputusan TUN yang
bersangkutan tentu tidak mungkin melampirkan pada gugatan terhadap keputusan
yang hendak disengketakan itu. Untuk itu, Hakim dapat meminta kepada
Badan/Pejabat TUN yang bersangkutan untuk mengirimkan kepada Pengadilan
Keputusan TUN yang sedang disengketakan itu. Dengan kata “sedapat mungkin”
tersebut ditampung semua kemungkinan, termasuk apabila tidak ada keputusan
yang dikeluarkan menurut ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
d. Pemeriksaan persiapan terutama dilakukan untuk menerima bukti-bukti dan surat-
surat yang berkaitan. Dalam hal adanya tanggapan dari Tergugat, tidak dapat

18
Edi Pranoto,SH.,M.HUM, ASAS KEAKTIFAN HAKIM (LITIS DOMINI) DALAM PEMERIKSAAN SENGKETA TATA
USAHA NEGARA, Jurnal Spektrum Hukum, (Http://203.89.29.50/index.php/SH/article/view/1111 diunduh 17
November 2019)

19
diartikan sebagai replik dan duplik. Bahwa untuk itu harus dibuat berita acara
pemeriksaan persiapan.
e. Mencabut “Penetapan Ketua PTUN tentang penundaan pelaksanaan Keputusan
TUN” apabila ternyata tidak diperlukan.
f. Dalam tahap pemeriksaan persiapan juga dapat dilakukan pemeriksaan setempat.
Majelis Hakim dalam melakukan pemeriksaan setempat tidak selalu harus
dilaksanakan lengkap, cukup oleh salah seorang anggota yang khusus ditugaskan
untuk melakukan pemeriksaan setempat. Penugasan tersebut dituangkan dalam
bentuk penetapan.

4. Persidangan
Dalam pemeriksaan persidangan ada dengan acara biasa dan acara cepat (Pasal 98 dan
99 Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara). Adapun dilakukan
dengan tahapan sebagai berikut:
a. Ketua Majelis/Hakim memerintahkan panitera memanggil para pihak untuk
pemeriksaan persidangan dengan surat tercatat. Jangka waktu antara pemanggilan
dan hari sidang tidak boleh kurang dari enam hari, kecuali dalam hal sengketa
tersebut harus diperiksa dengan acara cepat. Panggilan terhadap pihak yang
bersangkutan dianggap sah, apabila masing-masing telah menerima surat
panggilan yang dikirim dengan surat tercatat. Surat panggilan kepada tergugat
disertai sehelai salinan gugatan dengan pemberitahuan bahwa gugatan itu dapat
dijawab dengan tertulis. Apabila dipandang perlu Hakim berwenang
memerintahkan kedua belah pihak yang bersengketa datang menghadap sendiri ke
persidangan, sekalipun sudah diwakili oleh seorang kuasa. Dalam menentukan hari
sidang, Hakim harus mempertimbangkan jauh dekatnya tempat tinggal kedua belah
pihak dari tempat persidangan. Dalam pemeriksaan dengan acara biasa, Pengadilan
memeriksa dan memutus sengketa TUN dengan tiga orang Hakim, sedangkan
dengan acara cepat dengan Hakim Tunggal.
b. Pengadilan bersidang pada hari yang ditentukan dalam surat panggilan.
Pemeriksaan sengketa TUN dalam persidangan dipimpin oleh Hakim Ketua
Sidang. Hakim Ketua Sidang wajib menjaga supaya tata tertib dalam persidangan
tetap ditaati setiap orang dan segala perintahnya dilaksanakan dengan baik. Untuk
keperluan pemeriksaan, Hakim Ketua Sidang membuka sidang dan menyatakan
terbuka untuk umum. Apabila Majelis Hakim memandang bahwa sengketa yang
disidangkan menyangkut ketertiban umum atau keselamatan negara, persidangan

20
dapat dinyatakan tertutup untuk umum, namun putusan tetap diucapkan dalam
persidangan yang terbuka untuk umum.
c. Dalam hal penggugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan pada hari pertama
dan pada hari yang ditentukan dalam panggilan kedua tanpa alasan yang dapat
dipertanggung jawabkan, meskipun setiap kali dipanggil dengan patut, gugatan
dinyatakan gugur, dan penggugat harus membayar biaya perkara. Setelah gugatan
penggugat dinyatakan gugur, penggugat berhak memasukkan gugatannya sekali
lagi sesudah membayar uang muka biaya perkara. Dalam hal tergugat atau
kuasanya tidak hadir di persidangan dua kali sidang berturut-turut dan atau tidak
menanggapi gugatan tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan meskipun
setiap kali telah dipanggil dengan patut, maka Hakim Ketua Sidang dengan surat
penetapan meminta atasan tergugat memerintahkan tergugat hadir dan atau
menanggapi gugatan. Dalam hal setelah lewat dua bulan sesudah dikirimkan
dengan surat tercatat penetapan tersebut tidak diterima berita baik dari atasan
tergugat maupun dari tergugat, maka Hakim Ketua Sidang menetapkan hari sidang
berikutnya dan pemeriksaan sengketa dilanjutkan menurut acara biasa, tanpa
hadirnya tergugat.Putusan terhadap pokok gugatan dapat dijatuhkan hanya setelah
pemeriksaan mengenai segi pembuktiannya dilakukan secara tuntas. Dalam hal
terdapat lebih dari seorang tergugat dan seorang atau lebih diantara mereka atau
kuasanya tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan, pemeriksaan sengketa itu dapat ditunda sampai hari
sidang yang ditentukan Hakim Ketua Sidang. Penundaan sidang itu diberitahukan
kepada pihak yang hadir, sedang terhadap pihak yang tidak hadir oleh Hakim
Ketua Sidang diperintahkan untuk dipanggil sekali lagi. Apabila pada hari
penundaan sidang tersebut tergugat atau kuasanya masih ada yang tidak hadir,
sidang dilanjutkan tanpa kehadirannya.
d. Pemeriksaan sengketa dimulai dengan membacakan isi gugatan dan surat yang
memuat jawaban oleh Hakim Ketua Sidang dan jika tidak ada surat jawaban, pihak
tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan jawabannya. Hakim Ketua Sidang
memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk menjelaskan seperlunya
hal yang diajukan oleh mereka masing-masing. Penggugat dapat mengubah alasan
yang mendasari gugatannya hanya sampai dengan replik, asal disertai alasan yang
cukup serta tidak merugikan kepentingan tergugat, dan hal tersebut harus
dipertimbangkan dengan seksama oleh Hakim. Tergugat dapat mengubah alasan
yang mendasari jawabannya hanya sampai dengan duplik, asal disertai alasan yang
cukup serta tidak merugikan kepentingan penggugat dan hal tersebut harus

21
dipertimbangkan dengan seksama oleh Hakim. Penggugat dapat sewaktu-waktu
mencabut gugatannya sebelum tergugat memberikan jawaban. Apabila tergugat
sudah memberikan jawaban atas gugatan itu, pencabutan gugatan oleh penggugat
akan dikabulkan oleh pengadilan hanya apabila disetujui tergugat. Eksepsi tentang
kewenangan absolut Pengadilan dapat diajukan setiap waktu selama pemeriksaan,
dan meskipun tidak ada eksepsi tentang kewenangan absolut Pengadilan, apabila
hakim mengetahui hal itu, ia karena jabatannya wajib menyatakan bahwa
Pengadilan tidak berwenang mengadili sengketa yang bersangkutan. Eksepsi
tentang kewenangan relatif Pengadilan diajukan sebelum disampaikan jawaban
atas pokok sengketa, dan eksepsi tersebut harus diputus sebelum pokok sengketa
diperiksa. Eksepsi lain yang tidak mengenai kewenangan Pengadilan hanya dapat
diputus bersama dengan pokok perkara.
e. Demi kelancaran pemeriksaan sengketa, Hakim Ketua Sidang berhak di dalam
sidang memberikan petunjuk kepada para pihak yang bersengketa mengenai upaya
hukum dan alat bukti yang dapat digunakan oleh mereka dalam sengketa.
Ketentuan ini menunjukkan bahwa peranan hakim ketua sidang dalam proses
pemeriksaan sengketa TUN adalah aktif dan menentukan serta memimpin jalannya
persidangan agar pemeriksaan tidak berlarut-larut. Oleh karena itu, cepat atau
lambatnya penyelesaian sengketa tidak semata-mata bergantung pada kehendak
para pihak, melainkan Hakim harus selalu memperhatikan kepentingan umum
yang tidak boleh terlalu lama dihambat oleh sengketa itu.Hakim menentukan apa
yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan untuk
sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan
keyakinan hakim. Pasal 107 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 mengatur
ketentuan dalam rangka usaha menemukan kebenaran materil. Alat bukti terdiri
dari : Surat atau tulisan, Keterangan ahli, Keterangan saksi, Pengakuan para pihak,
Pengetahuan hakim.
f. Dalam hal pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan, kedua belah pihak diberi
kesempatan untuk mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan
masing-masing.

5. Putusan
Setelah kedua belah pihak mengemukakan kesimpulan, maka Hakim Ketua Sidang
menyatakan bahwa sidang ditunda untuk memberikan kesempatan kepada Majelis Hakim
bermusyawarah dalam ruangan tertutup untuk mempertimbangkan segala sesuatu guna
putusan sengketa tersebut. Putusan dalam musyawarah majelis yang dipimpin oleh Hakim

22
Ketua Majelis merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali setelah diusahakan dengan
sungguh-sungguh tidak dapat dicapai permufakataan bulat, putusan diambil dengan suara
terbanyak. Apabila musyawarah majelis tersebut tidak dapat menghasilkan putusan,
permusyawaratan ditunda sampai musyawarah majelis berikutnya. Apabila dalam
musyawarah majelis berikutnya tidak dapat diambil suara terbanyak, maka suara terakhir
Hakim Ketua Majelis yang menentukan.
Putusan Pengadilan dapat dijatuhkan pada hari itu juga dalam sidang yang terbuka untuk
umum atau ditunda pada hari lain yang harus diberitahukan kepada kedua belah pihak.
Putusan Pengadilan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Apabila salah satu
pihak atau kedua belah pihak tidak hadir pada waktu putusan pengadilan diucapkan, atas
perintah Hakim Ketua Sidang salinan putusan itu disampaikan dengan surat tercatat kepada
yang bersangkutan. Tidak diucapkannya putusan dalam sidang terbuka untuk umum
mengakibatkan putusan Pengadilan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

I. Tenggang Waktu Pengajuan Gugatan


Dalam Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 disebutkan bahwa
gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak
saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat tata usaha negara yang
digugat.
Tenggang waktu untuk mengajukan gugatan 90 hari tersebut dihitung secara
bervarisasi:
a. Sejak hari diterimanya KTUN yang digugat itu memuat nama penggugat.
b. Setelah lewatnya tenggang waktu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan yang memberikan kesempatan kepada administrasi Negara ntuk
memberikan keputusan, namun ia tidak berbuat apa-apa.
c. Setelah lewat empat bulan, apabila peraturan perundang-undangan tidak
memberikan kesempatan kepada administrasi Negara untuk memberikan
keputusan dan ternyata ia tidak berbuat apa-apa.
d. Sejak hari pengumuman apabila KTUN itu harus diumumkan. 

23
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Indonesia sebagai Negara Hukum, menjamin hak Asasi Manusia tiap-tiap


penduduknya. termasuk dalam hal administrasi Negara. Pemerintah sebagai aparat yang
melaksanakan kegiatan administrasi di Negara ini, tidak menutup kemungkinan untuk
melakukan penyelewengan-penyelewengan kekuasaan, sehingga merugikan masyarakat
Indonsia. Untuk itu, Pemerintah berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo UU
No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berdasarkan Pasal 144
memberikan perlindungan hukum terhadap warga masyarakat atas perbuatan yang dilakukan
oleh penguasa. 
2. Sengketa tata usaha negara yang terjadi di lingkungan administrasi, baik itu sengketa
intern, yang menyangkut persoalan kewenangan pejabat TUN yang disengketakan dalam
satu departemen atau suatu departemen dengan departemen yang lain dan sengketa ekstern
yakni perkara administrasi yang menimbulkan sengketa antara administrasi Negara dengan
rakyat. Maka, sengketa ini diselesaikan melalui upaya administratif, yang mana upaya
administratif ini berdasarkan penjelasan Pasal 48 disebutkan bahwa itu merupakan suatu
prosedur yang ditempuh oleh seseorang atau badan hukum yang merasa tidak puas terhadap
suatu Keputusan Tata Usaha Negara dan bahwa penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara
tidak boleh langsung diajukan ke Pengadilan TUN, tetapi harus diselesaikan secara bertahap.

B. Saran
Untuk menciptakan Negara Indonesia yang dapat menjamin kemakmuran dan
kesejahteraan rakyatnya, hendaknya kinerja dari Pengadilan Tata Usaha Negara ini lebih
ditingkatkan. Mengingat saat ini, keberadaan Pengadilan Tata Usaha Negara kurang begitu
menjadi sorotan masyarakat apabila dilihat dari jumlah kasus yang ada pertahunnya sangat
sedikit padahal penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh aparat pemerintahan
sering terjadi, yang tentunya penyelewengan-penyelewengan itu merugikan masyarakat pada
umumnya tidak terkecuali juga organ yang ada dalam pemerintahan di Indonesia. 
Dan diharapkan pula pada pemerintah, agar dalam melaksanakan kewajibannya dalam
hal administrasi Negara agar dapat bekerja dengan maksimal jujur dan bersih demi
terwujudnya tujuan negara Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945 secara murni dan konsekuen, sehingga Negara Indonesia ini dapat menjadi
Negara lepas landas dan maju.

24
DAFTAR PUSTAKA

Marbun, SF. 2003. Peradilan Tata Usaha Negara, cet. 2. Yogyakarta : Penerbit Liberty.

Pranoto, Edi. 2019. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Gabungan
Peraturan Perundang-undangan tentang Peradilan Tata Usaha Negara). Fakultas
Hukum, Universitas 17 Agustus 1945. Semarang.

Setiadi, Wicipto. 1995. Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara Suatu Perbandingan.
Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Soetami, A. Siti. 2001. Hukum Peradilan Tata Usaha Negara. Bandung: Refika Aditama.

Wiyono. 2008. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, cet. 2. Jakarta : Sinar Grafika.

INTERNET

Edi Pranoto,SH.,M.HUM, ASAS KEAKTIFAN HAKIM (LITIS DOMINI) DALAM


PEMERIKSAAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA, Jurnal Spektrum Hukum,
(Http://203.89.29.50/index.php/SH/article/view/1111
https://www.academia.edu/41164558/PERADILAN_TATA_USAHA_NEGARA

PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-undang Nomor 14 Tahun Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan


Kehakiman.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara. Edi Pranoto,SH.,M.HUM., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara (Gabungan Peraturan Perundang-undangan tentang Peradilan Tata Usaha
Negara) Fakultas Hukum, Universitas 17 Agustus 1945 Semarang. 2019.

Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 Jo. UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara. Edi Pranoto,SH.,M.HUM., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara (Gabungan Peraturan Perundang-undangan tentang Peradilan Tata Usaha
Negara).

25

Anda mungkin juga menyukai