BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil uji pendahuluan yang telah dilakukan diperoleh nilai kadar air
yang terkandung pada bambu petung. Hasil yang diperoleh dinyatakan dalam
persen yaitu berkisar antara 6,9 % hingga 14,29 % dengan kadar air rata-rata
9,4433 %. Kadar air benda uji telah mencapai kondisi kadar air yang disyaratkan
dalam perencanaan yaitu kadar air kering udara. SNI 3 (BSN, 2002)
mendefinisikan kayu kering udara sebagai kayu dengan kadar air maksimal 20%
sedangkan PKKI N-5 1961 (DPMB, 1992) menyebutkan bahwa kadar air kayu
kering udara tergantung pada keadaan iklim setempat. Di Indonesia kadar air ini
berkisar antara 12% sampai 20% dari kayu kering mutlak. Ketentuan mengenai
kadar air yang dikandung oleh kayu yang direkatkan juga disyaratkan oleh PT
Palmolite Adhesive Industry (PAI) dalam spesifikasinya yaitu berkisar 6% hingga
12%. Selengkapnya nilai kadar air yang diperoleh untuk tiap-tiap benda uji dapat
dilihat pada Tabel 5.1
5.1.2 Kerapatan
Benda uji yang dipakai adalah sama dengan benda uji yang digunakan untuk
menentukan besarnya kadar air. Berdasarkan pemeriksaan kerapatan di
laboratorium diperoleh hasil nilai kerapatan berkisar antara 0,71 gr/cm3 hingga
0,75 gr/cm3 dengan nilai rata-rata 0,73 gr/cm3. Prayitno (1996) menyebutkan
bahwa untuk kerapatan kayu kurang dari 0,4 g/cm3 termasuk kayu ringan,
kerapatan kayu kurang dari 0,55 gr/cm3 termasuk kayu sedang dan kerapatan
kurang dari 0,72 gr/cm3 termasuk kayu berat. Hasil lengkapnya dapat dilihat pada
Tabel 5.2 berikut.
Pengujian sifat mekanika meliputi kuat tekan sejajar serat, kuat tekan tegak lurus
serat, kuat tarik sejajar serat, geser sejajar serat, modulus lentur (MOR), dan
modulus elastisitas (MOE). Hasil uji mekanika benda uji diperlihatkan pada Tabel
5.3, dan selengkapnya ditunjukkan pada Lampiran D.
54
Sifat Mekanika
Tabel 5.4 Hasil Pengujian Sifat Mekanika Bambu Petung ( MOE & MOR )
Hasil pengujian sifat mekanik menunjukkan bahwa kuat tarik sejajar serat jauh
lebih tinggi daripada kuat tekannya. Pada Pengujian lentur dilakukan dua kali
pengujian dengan posisi kulit bambu diatas dan dibawah. Hal ini dilakukan karena
bila balok bambu yang telah dilaminasi pada bagian finishingnya dirapikan lagi
dengan diplaner, kemungkinan posisi kulit yang diatas mulai menipis mendekati
daging. Jadi untuk mengantisipasi nilai keamanan pada perhitungan Lcr maka
dilakukan 2 pengujian lentur ( posisi kulit diatas dan di bawah ).
55
Pengujian yang telah dilakukan terhadap balok uji laminasi bambu petung
menghasilkan data hubungan antara beban dengan lendutan untuk masing-masing
balok uji yang ditampilkan dalam bentuk grafik, sepeti yang diperlihatkan pada
Gambar 5.1 sampai 5.4. Selengkapnya data hasil pengujian yang diperoleh dapat
dilihat pada Lampiran G.
Hasil pengujian terhadap balok uji potongan bilah dapat dilihat dalam bentuk
grafik hubungan beban dan lendutan, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.1
Hasil uji yang diperoleh adalah beban maksimal sebesar 13812,5 N dan lendutan
maksimal 118,61 mm. Gambar 5.1 memperlihatkan grafik hubungan beban dan
lendutan pada balok uji A1 yang selengkapnya diperlihatkan pada Lampiran.G-1.
15000
Beban ( N )
0
0 50 100 150 200
Lendutan ( mm )
Gambar 5.1. Grafik Hubungan Beban dan Lendutan Balok Laminasi Tipe A1
56
Hasil pengujian terhadap balok uji potongan bilah dapat dilihat dalam bentuk
grafik hubungan beban dan lendutan, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.2.
Hasil uji yang diperoleh adalah beban maksimal sebesar 13096,35 N dan lendutan
maksimal 93,05 mm. Gambar 5.2 memperlihatkan grafik hubungan beban dan
lendutan pada balok uji A2 yang selengkapnya diperlihatkan pada Lampiran.G-4.
14000
12000
10000
Beban ( N )
Dial Kiri
8000
Dial Tengah
6000
Dial Kanan
4000
2000
0
0 20 40 60 80 100 120
Lendutan ( mm )
Gambar 5.2. Grafik Hubungan Beban dan Lendutan Balok Laminasi Tipe A2
Hasil pengujian terhadap balok uji potongan bilah dapat dilihat dalam bentuk
grafik hubungan beban dan lendutan, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.2.
Hasil uji yang diperoleh adalah beban maksimal sebesar12860,91 N dan lendutan
maksimal 120,27 mm. Gambar 5.3 memperlihatkan grafik hubungan beban dan
lendutan pada balok uji A3 yang selengkapnya diperlihatkan pada Lampiran G-6.
57
14000
12000
10000
Beban ( N )
Dial Kiri
8000
Dial Tengah
6000
Dial Kanan
4000
2000
0
0 50 100 150
Lendutan ( m m )
Gambar 5.3. Grafik Hubungan Beban dan Lendutan Balok Laminasi Tipe A3
16000
14000
12000
Beban ( N )
10000
8000 Balok
6000 Laminasi A1
4000 Balok
Laminasi A2
2000 Balok
0 Laminasi A3
0 50 100 150 200
Lendutan ( mm )
Dari Tabel 5.5 dapat digunakan untuk menghitung panjang kritis ( Lcr ) dengan
6 × s .h
persamaan : Lcr =
8 ×t
a. Kulit di atas
6 × s .h 6 × 184,18 × 70
Lcr = = 941,31mm = 94,131 cm
8 ×t 8 × 10,27
Lcr = 94,131 cm á 2100 cm ( panjang balok rencana )
b.Kulit Di bawah
6 × s .h 6 × 143,24237 × 70
Lcr = = 732,09mm = 73,209cm
8 ×t 8 × 10,2723
Lcr = 73,209cm á 2100 cm ( panjang balok rencana )
59
Kuat lentur balok laminasi ditunjukkan dengan besaran MOR dan MOE,seperti
halnya pada Tabel 5.5. Nilai MOR diperoleh dari akibat beban pada balok
laminasi sedangkan MOE didapat dari perhitungan lendutan dengan 2 titik
pembebanan. Nilai MOR dipengaruhi oleh momen dan momen inersia balok
tersebut. Sedangkan nilai MOE dipengaruhi besar lendutan,besarnya beban,
bentang, jarak tumpuan ke beban dan momen inersia balok laminasi.
6 × s .h
Lcr = ............................................................................................... (5.1)
8 ×t
Persamaan diatas dapat ditulis sebagai berikut
s 8L
= ......................................................................................................... (5.2)
t 6h
Kondisi C, Persamaan 5.2 diperoleh nilai 8/6. bentang balok 210 cm dan tinggi
balok rata-rata dari 3 balok 71,3 cm sehingga nilai CL/d = 39,27
Hasil pengujian yang dilakukan terhadap balok uji secara umum cenderung
menghasilkan pola keruntuhan yang seragam, yaitu pola keruntuhan lentur. Tipe
keruntuhan yang dihasilkan dapat terlihat dari grafik yang menggunakan rasio
L/d, seperti yang terlihat pada Gambar 5.5. perhitungan selengkapnya dapat
dilihat pada lampiran I-2
120
100 CLD
80 Balok A1
60 Balok A2
40 Balok A3
20
0
0 1 2 3 4
Kuat Geser ( MPa )
Secara visual pada gambar di atas terlihat bahwa titik data dari seluruh balok uji
berada segaris pada garis CL/d akan tetapi cenderung terletak pada bagian bawah
dari garis CL/d. Indikasi tersebut menandakan bahwa secara umum tipe
keruntuhan yang dialami oleh seluruh balok uji adalah keruntuhan lentur.
Selengkapnya mengenai pola kerusakan yang dialami oleh masing-masing balok
uji dijelaskan dalam uraian berikut :
61
Tipe A1
Tipe A2
Tipe A3
Dari hasil pengujian pendahuluan didapat besarnya kadar air dan kerapatan bambu
petung. Dari data tersebut dapat dipakai dalam perhitungan kuat acuan kayu
sesuai SNI 3 (BSN, 2002) setelah itu hasil kekuatan balok laminasi juga
dimasukkan dalam kelas kuat acuan kayu menurut SNI 3 (BSN, 2002) kemudian
dari kedua hasil kuat elastisitas yang didapat dibandingkan. Perhitungan
selengkapnya tentang acuan kekuatan kelas kuat kayu dapat dilihat pada lampiran
J1
Sesuai Tabel 2.1 bambu petung dapat diklasifikasikan dalam kelas kuat II karena
memiliki kerapatan 0,73 gr/cm3. Sedangkan setelah bambu dilaminasi menjadi
balok, kekuatan balok laminasi terutama kuat lentur didapat hasil sebesar 103,85
MPa, sehingga balok laminasi tipe A termasuk dalam kelas kuat II.
63
Berdasarkan Tabel 2.2 bilah bambu petung dapat disetarakan dengan kayu Jati
karena memiliki kerapatan 0,73 gr/cm3 dimana kayu Jati memiliki kerapatan
antara 0,59-0,82 gr/cm3 yang dalam PKKI N-5 1961 (DPMB, 1992) masuk dalam
kelas kuat kayu II..
Kode Balok A
Model Susunan Bilah Horisontal
Model Sisi Bilah Berbeda
Nilai MOR (MPa) 103,85
Kuat PKKI NI-5
Kelas 1961 Kelas II
Kayu
MOR SNI-05 2002 E26
Nilai MOE (MPa) 16425,60
Kuat PKKI NI-5
Kelas 1961 Kelas I
Kayu
MOE SNI-05 2002 E17
Hasil MOR dan MOE pada penelitian ini akan dibandingkan dengan hasil MOR
dan MOE pada penelitian Anita Mardiana Agus Salim yang berjudul Pengaruh
Variasi Dimensi Bilah Bambu, Jenis Perekat dan Tekanan Kempa Terhadap
Keruntuhan Lentur Balok Laminasi Bambu Petung. Pada penelitian Anita ini
menguji bambu petung yang berasal dari Kulon Progo dengan dimensi bilah yaitu
2,5 dan kuat kempa 1,5 MPa dan 2,5 MPa. Tabel 5.8 mempelihatkan hasil
pengujian Anita yang dibandingkan dengan penelitian ini.
64
Tabel 5.8. Perbandingan MOR dan MOE Balok Uji Bambu Petung dari Kulon
Progo dan Cangkringan Sleman
Melihat hasil pengujian dari Anita bila dibandingkan dengan pengujian pada
penelitian ini, maka dapat disimpulkan balok laminasi dengan dimensi bilah 2,5
cm, kuat kempa 3 MPa yang berasal dari Cangkringan, Pakem, Sleman memiliki
nilai MOR dan MOE yang lebih besar dari penelitian yang dilakukan Anita. Hal
ini mungkin dipengaruhi karena pada penelitian ini bambu sebelum dilaminasi
diawetkan terlebih dahulu, sedangkan pada penelitian Anita bambu tidak melalui
proses pengawetan. Pada proses pengawetan ada beberapa perlakuan yang
diberikan pada bambu seperti dimasak dalam tungku besar sampai mendidih
selama 3 jam. Proses pemasakan ini membuat bambu steril dari berbagai hama,
baru setelah itu bambu dijemur. Proses ini membuat bambu lebih awet dan
kualitas ketika direkatkan menjadi bagus. Perbedaan kuat kempa juga
mempengaruhi, bambu yang dikempa dengan kuat kempa yang lebih besar
memiliki hasil MOE yang lebih besar juga.
65
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
2. Dari hasil uji kekuatan lentur balok A didapatkan nilai rata-rata MOR dan
MOE sebesar 103,85 MPa dan 16425,60 MPa.
Hasil MOR&MOE balok laminasi bambu petung dapat dibandingkan dengan
klasifikasi kekuatan kayu, seperti yang dijelaskan pada Tabel 5.7
Hasil MOR dan MOE yang diperoleh dari penelitian ini lebih besar dari
penelitian yang dilakukan oleh Anita Mardiana Agus Salim seperti yang
dijelaskan pada Tabel 5.8.
6.2. Saran