Anda di halaman 1dari 117

SKRIPSI

95
PENENTUAN KADAR OPTIMUM POLIMER TERHADAP

TINGKAT ADHESI CAMPURAN ASPAL PANAS

BERDASARKAN DIGITAL IMAGE ANALYSIS

Ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan akademik


guna memperoleh gelar Sarjana Teknik

Oleh:
NAMA : NI KETUT KRISTYANINGSIH
NPM : 01021170040

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
JAKARTA
2021
SKRIPSI

PENENTUAN KADAR OPTIMUM POLIMER TERHADAP

TINGKAT ADHESI CAMPURAN ASPAL PANAS

BERDASARKAN DIGITAL IMAGE ANALYSIS

Ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan akademik


guna memperoleh gelar Sarjana Teknik

Oleh:
NAMA : NI KETUT KRISTYANINGSIH
NPM : 01021170040

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
JAKARTA
2021
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING SKRIPSI

PENENTUAN KADAR OPTIMUM POLIMER TERHADAP TINGKAT


ADHESI CAMPURAN ASPAL PANAS BERDASARKAN DIGITAL IMAGE
ANALYSIS

Oleh:
Nama : Ni Ketut Kristyaningsih
NPM : 01021170040
Program Studi : Teknik Sipil

telah dipertahankan dalam Sidang Skripsi dan disetujui oleh dosen pembimbing
skripsi guna memperoleh gelar Sarjana Teknik pada Program Studi Teknik Sipil,
Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Pelita Harapan, Jakarta.

Tangerang, 30 Juli 2021


Menyetujui,
Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

2021.07.30
12:42:
27+07'00'
(Dr.-Ing. Jack Widjajakusuma) (Christian Gerald Daniel, S.T., M.Sc.)

Mengetahui,
Ketua Program Studi Teknik Sipil Dekan

(Sadvent M. Purba, S.T., M.Sc.) (Eric Jobiliong, Ph.D.)

iv
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

PERSETUJUAN TIM PENGUJI SKRIPSI

Pada Jumat, 30 Juli 2021 telah diselenggarakan Sidang Skripsi untuk memenuhi
sebagian persyaratan akademik guna memperoleh gelar Sarjana Teknik pada
Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Pelita
Harapan, atas nama:

Nama : Ni Ketut Kristyaningsih


NPM : 01021170040
Program Studi : Teknik Sipil
Fakultas : Sains dan Teknologi

dengan Skripsi yang berjudul “PENENTUAN KADAR OPTIMUM POLIMER


TERHADAP TINGKAT ADHESI CAMPURAN ASPAL PANAS
BERDASARKAN DIGITAL IMAGE ANALYSIS” dan telah berhasil dipertahankan
dan disetujui oleh tim penguji yang terdiri dari:

Nama Penguji Jabatan dalam Tim Penguji Tanda Tangan

1. Prof. Dr. Ir. Wiryanto Dewobroto, M.T., sebagai Ketua

2. Christian Gerald Daniel, S.T., M.Sc., sebagai Anggota

3. Sadvent M. Purba, S.T., M.Sc. sebagai Anggota

v
ABSTRAK

Ni Ketut Kristyaningsih (01021170040)

PENENTUAN KADAR OPTIMUM POLIMER TERHADAP TINGKAT


ADHESI CAMPURAN ASPAL PANAS BERDASARKAN DIGITAL IMAGE
ANALYSIS
Skripsi, Fakultas Sains dan Teknologi (2021)

(xvi + 80 halaman: 35 gambar; 18 tabel, 5 lampiran)

Permasalahan kelembapan (moisture) dapat menimbulkan kerusakan dan


penurunan kualitas pada struktur perkerasan jalan lentur seperti munculnya raveling
dan stripping. Untuk mengatasi permasalahan akibat kelembapan aspal modifikasi
polimer digunakan sebagai teknologi yang memberikan tingkat adhesi yang lebih
baik pada agregat dan aspal (Debatosh Roy, 2013). Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui kadar polimer optimum terhadap tingkat adhesi pada campuran
aspal panas. Penelitian dilakukan dengan penambahan polimer Superplast dari
Iterchemica dengan kadar polimer 0%, 4%, 5%, dan 6%, dan dengan kadar aspal
6,1%. Metode yang digunakan dalam mengevaluasi tingkat adhesi adalah Boiling
Water Test yang ditentukan dalam standar ASTM D3625, dan menggunakan image
processing software yaitu Image J untuk pengolahan datanya. Untuk
mengidentifikasi pengelupasan yang terjadi digunakan fitur threshold dimana pada
gambar 8-bit grayscale dapat memberikan 256 tingkat pencahayaan (threshold)
mulai dari 0 (hitam sempurna) hingga 255 (putih sempurna). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penambahan polimer pada campuran aspal mampu
meningkatkan adhesi campuran aspal panas dengan melihat parameter berupa
coating ratio. Nilai threshold 20, 25, 30, dan 35 digunakan untuk
merepresentasikan pengelupasan yang terjadi. Campuran aspal panas dengan kadar
polimer 5% merupakan kadar polimer optimum karena menunjukan peningkatan
nilai coating ratio rata-rata tertinggi dibandingkan dengan benda uji tanpa polimer
yaitu sebesar 3,258% pada rentang threshold 20-255, sebesar 3,682% pada rentang
threshold 25-255, sebesar 4,037% pada rentang threshold 30-255 dan sebesar
4,283% pada rentang threshold 35-255.

Kata Kunci : campuran aspal panas, boiling water test, aspal modifikasi polimer,
coating ratio,
Referensi : 25 (1982-2020)

v
ABSTRACT

Ni Ketut Kristyaningsih (01021170040)

THE EFFECT OF POLYMER MODIFICATION ON ADHESION LEVEL


OF HOT MIX ASPHALT BASE ON DIGITAL IMAGE ANALYSIS
Thesis, Faculty of Science and Technology (2021)
(xvi + 80 pages: 35 figures; 18 tables; 5 appendices)
Moisture susceptibility can cause damage and decrease the quality of the flexible
pavement structure such as raveling and stripping. To overcome the problems
caused by moisture, polymer modified asphalt is used as a technology that provides
a better level of adhesion to aggregates and asphalt (Debatosh Roy, 2013). The
purpose of this study is to determine the optimum polymer content on the level of
adhesion to hot mix asphalt. The research was conducted with the addition of
Superplast polymer from Iterchemica with a polymer content of 0%, 4%, 5%, and
6%, and with an asphalt content of 6.1%. The method used in evaluating the level
of adhesion is the Boiling Water Test specified in the ASTM D3625 standard, and
using image processing software, namely Image J for data processing. To identify
the stripping that occurs, the threshold feature is used, which in 8-bit grayscale
images can provide 256 levels of illumination (threshold) ranging from 0 (perfect
black) to 255 (perfect white). The results showed that the addition of polymer to the
asphalt mixture was able to increase the adhesion of hot mix asphalt by looking at
the parameters in the form of coating ratio. Threshold values of 20, 25, 30, and 35
were used to represent the stripping that occurred. Hot asphalt mixture with a
polymer content of 5% is the optimum polymer content because it shows the highest
average increase in coating ratio value compared to the specimen without polymer,
which is 3.258% in the 20-255 threshold range, 3.682% in the 25-255 threshold
range, of 4.037% in the 30-255 threshold range and 4.283% in the 35-255 threshold
range.

Keywords : hot mix asphalt, boiling water test, , polymer modified asphalt, coating
ratio, stripping ratio
References : 25 (1982-2020)
vi
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
dan rahmat-Nya, laporan skripsi dengan judul “PENENTUAN KADAR OPTIMUM
POLIMER TERHADAP TINGKAT ADHESI CAMPURAN ASPAL PANAS
BERDASARKAN DIGITAL IMAGE ANALYSIS” dapat diselesaikan dengan baik
dan tepat pada waktunya.
Laporan skripsi ini disusun berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada
bulan Maret 2021 sampai dengan Juni 2021. Skripsi merupakan persyaratan terakhir
bagi mahasiswa yang wajib ditempuh sesuai dengan kurikulum Program Studi Teknik
Sipil Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Pelita Harapan. Skripsi ini juga
bermanfaat bagi penulis untuk lebih memahami topik perencanaan perkerasan jalan,
khususnya dalam pemanfaatan polimer sintetik dalam meningkatkan kualitas
perkerasan jalan.
Dalam penyusunan laporan skripsi ini, penulis mendapat dukungan dari banyak
pihak. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Tuhan Yang Maha Esa yang selalu menyertai, menuntun, dan memberkahi
kehidupan penulis, khususnya pada masa perkuliahan dari awal hingga penulisan
skripsi ini selesai.
2. Bapak Eric Jobiliong, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi.
3. Dr. Nuri Arum Anugrahati, selaku Wakil Dekan Fakultas Sains dan Teknologi.
4. Bapak Laurence, M.T., selaku Direktur Administrasi dan Kemahasiswaan
Fakultas Sains dan Teknologi.
5. Bapak Sadvent Martondang, S.T., M.Sc. selaku Ketua Program Studi Teknik
Sipil.
6. Bapak Dr.-Ing. Jack Widjajakusuma sebagai dosen pembimbing utama yang
telah memberikan masukan dan arahan selama penulisan skripsi ini. Beliau juga

vii
sangat membantu, membimbing dan mendampingi dalam segala urusan
perkuliahan dari awal hingga sekarang.
7. Bapak Christian Gerald Daniel, S.T., M.Sc. selaku dosen penasehat akademik
dan dosen pembimbing pendamping. Sebagai pembimbing pendamping, Beliau
telah sangat sabar dan setia mengajarkan, menyarankan, dan mengarahkan
penulis dari awal penulisan skripsi hingga selesai.
8. Bapak Ir. Johannes Alexander Gerung M.Agr. selaku mantan dosen penasehat
akademik yang telah membimbing dari awal perkuliahan hingga selesai
penulisan skripsi.
9. Para dosen dan asisten dosen yang selama ini telah sabar mengajar penulis dari
awal perkuliahan, sehingga wawasan penulis dapat bertambah terhadap materi
secara menyeluruh.
10. Bapak Pana, Bapak Yusuf, dan Bapak Stefanus yang telah sabar mengajarkan,
mengarahkan, dan membimbing dalam melakukan prosedur laboratorium dari
awal perkuliahan hingga skripsi ini.
11. Orang tua penulis, Bapak I Made Sujana BAE dan Ibu Ni Nyoman Sudiasih
mulai dari awal studi khususnya saat masuk bangku perkuliahan, yang selalu
mendoakan, mengingatkan, dan mendukung penulis agar dapat menyelesaikan
studi dengan baik dan tepat waktu.
12. Gabby Eliana, Erik Surya Setyawan, Nur Christala Jura sebagai sahabat dan
rekan pengujian selama masa skripsi yang telah sabar dan setia menemani serta
membantu penulis dalam melakukan setiap pengujian kepentingan skripsi dikala
pandemi.
13. Arie Pangestu, Calvien Setiawan, Christian Felix, Intan Otto, Febriani
Mariyaningrum, Felix Nathaniel, Hadryan Audric, Michael Lin, Michael
William, Martelia Indi Azrena, Vanessa Verind Ciaves, dan Yonatan Burhan
sebagai sahabat yang selalu mendukung dan setia menemani dari awal
perkuliahan hingga masa skripsi selesai.

viii
14. Teman-teman angkatan 2017 dan senior yang telah membantu penulis selama
perkuliahan, baik dalam kelas ataupun praktikum.
15. Pihak lain yang tidak dapat disebutkan secara menyeluruh oleh penulis yang telah
membantu, mendukung, dan membimbing penulis.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa laporan skripsi ini masih memiliki banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat terbuka terhadap kritik dan saran dari
pembaca yang dapat membantu membuat laporan skripsi ini menjadi lebih baik lagi.
Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.

Tangerang, 28 Mei 2021

(Ni Ketut Kristyaningsih)

ix
DAFTAR ISI

halaman
HALAMAN JUDUL....................................................................................................
PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING SKRIPSI………………………………..
ABSTRAK ................................................................................................................... v
ABSTRACT ................................................................................................................ vi
KATA PENGANTAR ............................................................................................... vii
DAFTAR ISI ................................................................................................................ x
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ xiii
DAFTAR TABEL ..................................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. xvi
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2.Rumusan Masalah ...................................................................................... 4
1.3.Tujuan Penelitian........................................................................................ 4
1.5.Manfaat Penelitian...................................................................................... 5
1.6.Sistematika Penulisan ................................................................................. 5
BAB II LANDASAN TEORI
2.1.Campuran Aspal Beton .............................................................................. 7
2.2.Bahan Pembentuk Campuran Aspal ......................................................... 10
2.2.1. Aspal............................................................................................. 10
2.2.2. Agregat .......................................................................................... 14
2.2.3. Polimer .......................................................................................... 18
2.3.Aspal Modifikasi Polimer ........................................................................ 21
2.4.Kerusakan pada Perkerasan Jalan Lentur ................................................. 24
2.5.Moisture Damage pada Campuran Aspal ................................................ 25
2.6.Pengujian Karakteristik Material pada Penelitian .................................... 27
2.6.1.Agregat Halus ................................................................................. 27

x
2.6.2.Agregat Kasar ................................................................................. 27
2.6.3.Filler ............................................................................................... 28
2.6.4.Aspal............................................................................................... 28
2.7.Parameter Pengujian Pada Campuran Aspal ............................................ 29
2.7.1.Volumetrik Campuran Aspal ......................................................... 29
2.7.2.Parameter Pengujian Marshall ....................................................... 32
2.8.Boiling Water Test (BWT) ....................................................................... 33
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1.Skematik Penelitian .................................................................................. 37
3.2.Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................... 38
3.3.Peralatan ................................................................................................... 38
3.4.Material Penyusun Campuran Aspal Panas ............................................. 38
3.4.1.Agregat Kasar ................................................................................. 38
3.4.2.Agregat Halus ................................................................................. 39
3.4.3.Aspal............................................................................................... 39
3.4.4.Filler ............................................................................................... 40
3.4.5.Polimer ........................................................................................... 40
3.5.Pengujian Karakteristik Material ............................................................. 41
3.5.1.Pengujian Kadar Lumpur Agregat Halus ....................................... 41
3.5.2.Pengujian Berat Jenis Material ....................................................... 42
3.5.3.Analisis Ayakan Agregat Kasar dan Agregat Halus ...................... 44
3.5.4.Karakteristik Aspal ......................................................................... 45
3.6.Penentuan Kadar Aspal Optimum (KAO) ............................................... 47
3.6.1.Perencanaan Campuran .................................................................. 47
3.6.2.Pembuatan Benda Uji Marshall ..................................................... 48
3.6.3.Pengujian Nilai Rongga pada Benda Uji........................................ 49
3.6.4.Pengujian Marshall ........................................................................ 50
3.7.Boiling Water Test (BWT) ....................................................................... 51
3.7.1.Perencanaan Campuran BWT ........................................................ 51
3.7.2.Pembuatan Benda Uji Boiling Water Test (BWT) ........................ 52
xi
3.7.3.Pelaksanaan Boiling Water Test (BWT) ....................................... 53
3.7.4.Pengolahan Data Boiling Water Test ............................................. 55
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
4.1.Pendahuluan ............................................................................................. 58
4.2.Hasil dan Analisis Pengujian Karakteristik Material ............................... 58
4.2.1.Agregat Kasar, Agregat Halus, dan Filler...................................... 58
4.2.2.Aspal Pen 60/70 ............................................................................. 61
4.2.Perhitungan Desain Campuran Benda Uji Marshall ................................ 63
4.3.Hasil dan Analisis Uji Marshall ............................................................... 63
4.3.1.Hasil Pengujian Marshall Campuran Aspal Panas ........................ 63
4.3.2.Analisis Hasil Uji Marshall Campuran Aspal Panas ..................... 64
4.4.Penentuan Kadar Aspal Optimum ............................................................ 70
4.5.Hasil dan Analisis Boiling Water Test ..................................................... 71
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.Umum ....................................................................................................... 76
5.2.Kesimpulan............................................................................................... 76
5.3.Saran ......................................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

xii
DAFTAR GAMBAR
halaman
Gambar 1.1. Kerusakan Jalan Pada Jalan Provinsi Denpasar- Singaraja .................... 1
Gambar 1.2. Fenomena Stripping Campuran Aspal ................................................... 2
Gambar 2.1. Skema Wet dan Dry Process Aspal Polimer ........................................ 23
Gambar 2.2. Representasi volume dalam campuran aspal ........................................ 30
Gambar 2.3. Tingkat Warna Dalam 8 Bit Grayscale ................................................ 35
Gambar 3.1. Diagram Alir Penelitian ....................................................................... 37
Gambar 3.2. Polimer Superplast ............................................................................... 40
Gambar 3.3. Pengujian Kadar Lumpur Agregat Halus Berdasarkan Volume .......... 41
Gambar 3.4. Pengujian Berat Jenis dan Penyerapan Air pada Agregat .................... 42
Gambar 3.5. Pengujian Berat Jenis Semen ............................................................... 43
Gambar 3.6. Pengujian Berat Jenis Aspal ................................................................. 43
Gambar 3.7. Analisis Ayakan pada Agregat ............................................................. 44
Gambar 3.8. Pengujian Penetrasi Aspal ................................................................ …45
Gambar 3.9. Pengujian Titik Lembek Bitumen ........................................................ 46
Gambar 3.10. Pengujian Titik Nyala dan Titik Bakar Bitumen .................................. 46
Gambar 3.11. Penimbangan Benda Uji BWT ............................................................. 53
Gambar 3.12. Pengukuran Suhu Benda Uji BWT ...................................................... 53
Gambar 3.13. Benda Uji BWT Setelah Proses Boiling .............................................. 54
Gambar 3.14. Pengambilan Gambar Digital Benda Uji BWT ................................... 55
Gambar 3.15. Hasil Penghilangan Background Benda Uji BWT ............................... 56
Gambar 3.16. Hasil Pengaturan Threshold ................................................................. 56
Gambar 3.17. Persentase Coating Area....................................................................... 57
Gambar 4.1. Grafik Analisis Ayakan Agregat Kasar ................................................ 60
Gambar 4.2. Grafik Analisis Ayakan Agregat Halus ................................................ 61
Gambar 4.3. Grafik Titik Lembek Aspal .................................................................. 62
Gambar 4.4. Grafik Titik Nyala dan Titik Bakar Bitumen ....................................... 62
Gambar 4.5. Grafik Hubungan antara Kadar Aspal dan Density .............................. 64
Gambar 4.6. Grafik Hubungan antara Kadar Aspal dan VIM .................................. 65
xiii
Gambar 4.7. Grafik Hubungan antara Kadar Aspal dan VMA ................................. 66
Gambar 4.8. Grafik Hubungan antara Kadar Aspal dan VFB .................................. 67
Gambar 4.9. Grafik Hubungan antara Kadar Aspal dan Stabilitas ........................... 68
Gambar 4.10. Grafik Hubungan antara Kadar Aspal dan Flow .................................. 69
Gambar 4.11. Grafik Hubungan antara Kadar Aspal dan MQ .................................... 70
Gambar 4.12. Grafik Coating Ratio Benda Uji BWT ................................................. 74
Gambar 4.13. Benda Uji BWT Sebelum Pengujian .................................................... 75

xiv
DAFTAR TABEL
halaman
Tabel 2.1. Syarat Pemeriksaan Aspal Keras .............................................................. 12
Tabel 2.2. Ketentuan Aspal Keras Penetrasi 60/70 .................................................... 14
Tabel 2.3. Ketentuan Agregat Kasar .......................................................................... 15
Tabel 2.4. Ketentuan Agregat Halus .......................................................................... 16
Tabel 2.5. Gradasi Agregat Gabungan untuk Campuran Aspal ................................. 18
Tabel 2.6. Klasifikasi Polimer.................................................................................... 19
Tabel 2.7. Karakteristik Iterchemica Superplast........................................................ 21
Tabel 2.8. Kekurangan dan kelebihan aspal modifikasi dibandingkan dengan aspal
konvensional ............................................................................................. 22
Tabel 3.1. Spesifikasi Aspal Shell Pen 60/70 ............................................................ 39
Tabel 3.2. Amplop Gradasi Agregat Gabungan Untuk Campuran Aspal .................. 47
Tabel 3.3. Jumlah Benda Uji Marshall ...................................................................... 48
Tabel 3.4. Jumlah Benda Uji Boiling Water Test....................................................... 52
Tabel 4.1. Hasil Pengujian Terhadap Berat Jenis Agregat dan Semen ...................... 58
Tabel 4.2. Hasil Analisis Ayakan Agregat Kasar ...................................................... 59
Tabel 4.3. Hasil Analisis Ayakan Agregat Halus ...................................................... 60
Tabel 4.4. Hasil Pengujian Terhadap Aspal Pen 60/70 .............................................. 61
Tabel 4.5. Hasil Pengujian Marshall Campuran Aspal Panas ................................... 63
Tabel 4.6. Hasil Boiling Water Test Pada HMA Modifikasi Polimer........................ 72

xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman

Lampiran A
Berat Jenis Agregat Kasar ..................................................................... A-1
Berat Jenis Agregat Halus ..................................................................... A-1
Berat Jenis Semen Portland .................................................................. A-3
Gradasi Agregat Kasar dan Halus ......................................................... A-4
Berat Jenis Aspal Pen 60/70 .................................................................. A-4

Lampiran B
Perhitungan Mix Design Campuran Aspal Kadar 5,6 % ....................... B-1
Perhitungan Mix Design Campuran Aspal Kadar 6.1 % ....................... B-2
Perhitungan Mix Design Campuran Aspal Kadar 6,5 % ....................... B-3

Lampiran C
Perhitungan Volumetrik Campuran Aspal Benda Uji Marshall ............ C-1
Perhitungan Parameter Stabilitas, Flow, MQ Benda Uji Marshall ....... C-2

Lampiran D
Tabel Perhitungan Mix Design Benda Uji Boiling Water Test ............. D-1

Lampiran E
Pengolahan Data Benda Uji BWT Kadar Polimer 0% ......................... E-1
Pengolahan Data Benda Uji BWT Kadar Polimer 4% ........................ E-2
Pengolahan Data Benda Uji BWT Kadar Polimer 5% ........................ E-3
Pengolahan Data Benda Uji BWT Kadar Polimer 6% ........................ E-4

xvi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara beriklim tropis yang memiliki dua

musim, yakni musim kemarau dan musim penghujan. Curah hujan tinggi yang

terjadi saat musim penghujan menyebabkan terjadinya genangan air bila tidak

didukung dengan sistem drainase yang memadai. Genangan air dapat menimbulkan

kerusakan dan penurunan kualitas pada struktur perkerasan jalan lentur seperti

munculnya raveling (Sulistiyatno, 2012) contohnya pada jalan provinsi Denpasar-

Singaraja pada tahun 2019, perkerasan jalan mengalami kerusakan berupa jalan

berlubang dilihat pada Gambar 1.1.

Gambar 1.1. Kerusakan Jalan Pada Jalan Provinsi Denpasar-Singaraja

(Sumber: Radar Bali.com)

Kasus timbulnya lubang pada jalan provinsi Denpasar-Singaraja akibat

genangan air merupakan efek dari hilangnya kelekatan (bonding) antar komponen

di dalam campuran aspal akibat kontak dengan air. Daya ikat antara aspal dan

1
agregat merupakan hal yang sangat penting dalam perkerasan jalan. Hal ini sangat

menentukan lamanya umur perkerasan tersebut. Air yang masuk ke campuran aspal

dapat melonggarkan ikatan antara agregat dengan aspal sehingga terjadi hilangnya

adhesi (adhesion lost) dan pelunakan (cohession lost) (R. P. LOTTMAN, 1982).

Fenomena ini umumnya disebut dengan pengelupasan (stripping), yaitu

hilangnya adhesi antara film pengikat bitumen dengan partikel mineral agregat

dalam kondisi kering maupun dengan adanya air (Amit, 2006). Hal ini juga dikenal

sebagai moisture damage, setelah terjadi kehilangan adhesi antara aspal dengan

agregat pada kondisi kering, air kemudian masuk dan menyebabkan aspal

mengelupas dari agregat hal ini terjadi karena aspal yang bersifat hydrophobic atau

takut dengan air seperti dalam Gambar 1.2. (Trejbal et al., 2018). Hal ini

mengakibatkan kerusakan yang dikenal sebagai lubang dan retak fatigue. Oleh

karena itu, air dianggap salah satu musuh paling besar pada campuran aspal.

Gambar 1.2. Fenomena Stripping Campuran Aspal

(Sumber: Trejbal et al., 2018)

Oleh sebab itu salah satu cara untuk meningkatkan performa aspal adalah

dengan cara menambahkan bahan polimer sintetik pada campuran aspal. Pengunaan

polimer sebagai bahan modifikasi aspal ini dipilih karena dinilai mempunyai

2
kelekatan tinggi karena mempunyai kemampuan yang baik untuk menyatu dengan

aspal dan temperaturnya yang mudah dikendalikan (Whiteoak, 1991). Penambahan

polimer sintetik ke dalam aspal dapat mengurangi stripping (pengelupasan) pada

campuran karena memberikan adhesi atau ikatan antar komponen dalm campuran

yang lebih baik pada agregat dan aspal (Debatosh Roy, 2013). Pada proses

pencampuran polimer ke aspal dikenal dua metode yaitu Polymer Modified Asphalt

(PMA) atau dry method dan Polymer Modified Bitumen (PMB) atau wet method.

Perbedaan keduanya ada pada tahap pencampuran polimer. Pada pencampuran

PMA, polimer dicampurkan terlebih dahulu terhadap agregat baru ditambah dengan

aspal. Sedangkan pada PMB, pencampuran dimana polimer dimasukkan ke dalam

aspal panas terlebih dahulu kemudian diaduk hingga homogen (Suroso, 2008). Pada

penelitian ini mengunakan metode PMA karena dianggap lebih sederhana dan

ekonomis serta dapat diaplikasikan tanpa modifikasi signifikan pada asphalt plant.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi secara spesifik efek

modifikasi polimer terhadap tingkat adhesi campuran aspal panas (hot mix asphalt).

Metode yang digunakan untuk mengukur tingkat adhesi pada campuran aspal

adalah Boiling Water Test yang ditentukan dalam standar American Society for

Testing and Material (ASTM) D3625. Boiling Water Test bertujuan untuk

mengevaluasi pengelupasan yang terjadi pada campuran aspal akibat efek

rendaman air, metode ini dinilai sensitif untuk mengevaluasi pengaruh moisture

atau kelembapan pada campuran aspal (Liu et al., 2014). Pada standar ASTM

D3625 hasil dari pengujian diamati secara visual sehingga bersifat subjektif. Oleh

karena itu, untuk memperoleh data yang lebih objektif maka digunakan digital

3
image analysis. Data yang didapat akan diolah menggunakan image processing

software sehingga didapatkan persentase coating area yang tersisa pada campuran

aspal yang mengalami pengelupasan (stripping) setelah dilakukannya boiling water

test .

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka terdapat rumusan masalah sebagai

berikut:

1. Bagaimana pengaruh modifikasi polimer terhadap tingkat adhesi campuran

aspal panas?

2. Berapakah kadar polimer optimum untuk menghasilkan campuran aspal

panas dengan performa terbaik yang dapat memberikan nilai coating ratio

tertinggi berdasarkan digital image analysis?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas, adapun tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Mengetahui pengaruh modifikasi polimer terhadap tingkat adhesi campuran

aspal panas.

2. Mengetahui kadar polimer optimum untuk menghasilkan campuran aspal

panas dengan performa terbaik yang dapat memberikan nilai coating ratio

tertinggi berdasarkan digital image proccesing.

1.4. Batasan Penelitian

Batasan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Campuran yang digunakan dalam penelitian ialah tipe campuran aspal panas

(HMA) dengan metode pencampuran dry method.

4
2. Bahan tambahan yang digunakan berupa polimer sintetik merk Superplast

produksi Iterchemica.

3. Campuran aspal yang digunakan adalah lapis permukaan campuran AC-WC

(Asphalt Concrete-Wearing Course).

4. Filler yang digunakan merupakan semen Portland Tiga Roda produksi PT.

Indocement Tunggal Prakarsa.

5. Aspal yang digunakan yaitu aspal penetrasi 60/70 produksi PT. Shell

Indonesia.

6. Pengolahan data berdasarkan digital image analysis dengan menggunakan

software Image J.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil akhir dari penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan pengaruh

positif dari penambahan polimer sintetik terhadap performa campuran aspal, serta

memberikan rekomendasi mengenai dosis polimer yang sebaiknya digunakan untuk

menghasilkan performa optimum kinerja polimer pada campuran aspal panas.

1.6. Sistematika Penulisan

Adapun sistematis penulisan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan

penelitian, batasan penelitian, dan manfaat penelitian.

2. BAB II : LANDASAN TEORI

5
Bab ini menjelaskan tentang landasan teori dan studi literatur sebelumnya

yang akan digunakan untuk mendukung penelitian ini. Landasan teori ini

mendukung analisis dan hasil penelitian.

3. BAB III : METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini menjelaskan mengenai metodologi penelitian yang dilakukan. Mulai

dari persiapan material, pengumpulan alat, pengujian bahan, pembuatan

benda uji, dan pengujian benda uji.

4. BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

Bab ini menjelaskan hasil pengujian yang telah dilakukan serta analisis dari

hasil pengujian tersebut.

7. BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi tentang kesimpulan yang didapatkan berdasarkan penelitian ini

serta saran-saran untuk penelitian selanjutnya.

6
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Campuran Aspal Beton

Campuran aspal beton adalah campuran aspal yang berfungsi sebagai bahan

pengikat dengan campuran agregat. Menurut Asphalt Institute (1997), suatu

rancangan campuran aspal yang baik diharapkan mampu melayani dengan baik

variasi pembebanan selama bertahun-tahun dan kondisi lingkungan. Rancangan

campuran aspal yang diharapkan adalah suatu rancangan campuran yang memiliki

sifat-sifat dasar campuran aspal meliputi stability, durability, impermeability,

workability, flexibility, fatique resistance, dan skid resistance. Hal yang paling

utama dalam desain sebuah campuran bitumen/aspal adalah memilih tipe agregat,

mutu agregat, mutu aspal, modifier aspal (jika diperlukan), dan untuk menentukan

kadar aspal yang dapat bekerja paling optimum selama kurun waktu umur

perkerasan tersebut (Asphalt Institute, 1997). Tujuan menyeluruh dari rancangan

campuran perkerasan dengan bahan ikat aspal (dalam batasan-batasan spesifikasi)

untuk menentukan campuran dengan biaya efektif, gradasi dari agregat-agregat dan

aspal memberikan campuran yang mempunyai hal-hal sebagai berikut :

1. Terdapat cukup aspal untuk menjamin perkerasan mempunyai daya tahan yang

baik.

2. Mempunyai stabilitas campuran yang cukup untuk melayani lalulintas tanpa

terjadi penyimpangan ataupun kerusakan.

3. Mempunyai pori yang cukup dalam campuran padat sehingga terjadi

pemadatan yang sangat kecil akibat beban lalulintas dan terjadi sedikit
7
pengembangan akibat kenaikan suhu tanpa terjadi flushing, bleeding dan

kehilangan stabilitas.

4. Mempunyai kadar pori maksimum yang membatasi permeabilitas saat

masuknya air dan udara yang membahayakan kedalam campuran.

5. Cukup mudah dikerjakan (workability) yang diperkenankan saat pengerjaan

campuran tanpa terjadinya pemisahan butiran dan tanpa terjadinya penurunan

stabilitas dan kinerja.

6. Campuran lapis permukaan mempunyai tekstur agregat dan kekerasan yang

baik sehingga mampu memberikan kekesatan (skid resistance) pada kondisi

cuaca tidak menguntungkan.

Berdasarkan pada proses pencampuran dan suhu yang digunakan campuran

aspal terbagi menjadi tiga tipe yaitu campuran aspal panas/Hot Mix Asphalt,

campuran aspal hangat/Warm Mix Asphalt, dan campuran aspal dingin/Cold Mix

Asphalt (CMA). Sampai saat ini tipe campuran aspal yang paling umum digunakan

adalah HMA yang merupakan campuran aspal dengan suhu pencampuran antara

280℉ (138℃) hingga 320℉ (160℃) (Theses & Goh, 2012).

Keuntungan dari penggunaan HMA sendiri antara lain adalah karena memiliki

waktu pengerjaan yang tergolong singkat sehingga tercapainya efisiensi waktu,

memiliki tingkat ketahanan atau durability yang baik terhadap gesekan atau friksi

beban lalu lintas dan cuaca, memiliki tingkat stabilitas yang cukup tinggi sehingga

mampu menahan beban lalu lintas tanpa terjadinya deformasi permanen, serta

pemeliharaan yang tergolong mudah dan murah sehingga menjadikan campuran ini

lebih ekonomis dibandingkan jenis campuran aspal lainnya.

8
Pada umumnya aspal yang digunakan sebagai konstruksi perkerasan lentur,

dimana mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi dipandang dari segi kekuatan

dan segi kenyamanan, (Asphalt Institute, 1997), kondisi yang harus dipenuhi yaitu:

1. Kekakuan (stiffness)

Kemampuan untuk menahan deformasi serta mendistribusikan beban lalu

lintas ke daerah yang lebih luas.

2. Stabilitas (stability)

Kemampuan campuran aspal untuk menahan deformasi akibat beban lalu lintas

tanpa mengalami keruntuhan (plastic flow).

3. Fleksibilitas (flexibility)

Kemampuan untuk mengabsorbsi regangan tarik akibat deformasi/lendutan

oleh beban lalu lintas tanpa mengalami retak (fatigue cracking).

4. Keawetan (durability)

Kemampuan untuk mempertahankan umur perkerasan dari pengaruh buruk

cuaca dan lalu lintas antara lain oksidasi dan penguapan fraksi ringan dari

aspal .

5. Tahan Air (impermeability)

Kemampuan untuk melindungi perkerasan dari masuknya air dan udara yang

bisa memperlemah lapisan dibawahnya.

9
6. Kekesatan

Tersedianya permukaan yang cukup kasar sehingga terjadi gesekan yang baik

antara ban kendaraan dengan permukaan jalan, tidak mudah terjadi selip.

2.2. Bahan Pembentuk Campuran Aspal

Bahan atau material campuran aspal yang digunakan pada umumnya adalah

sebagai berikut:

2.2.1. Aspal

Menurut Asphalt Institute (J. F. Young, 1998), aspal adalah material yang

pada temperatur ruang berbentuk padat sampai agak padat, dan bersifat

termoplastis. Tingkat kepekaan aspal terhadap suhu dapat diketahui dari pengujian

penetrasi dan titik lembek dan leleh aspal tersebut. Aspal memiliki penetrasi antara

5-300 pada temperatur 77 ºF (25 ºC), dengan beban yang diberikan seberat 0,2 lb

selama 5 detik. Aspal merupakan material yang termoplastis, dan sangat sensitif

terhadap temperatur. Pada temperatur di atas 140 ºC (glass transition temperature),

aspal akan menjadi lunak/sangat cair. Sedangkan pada temperatur mulai turun

dibawah 140 ºC, molekul-molekul di dalamnya akan saling mengikat sehingga

wujudnya menjadi material yang padat, kental dan elastis. Jika temperaturnya

terlalu rendah, material padat elastis tadi akan menjadi rapuh/getas. Sehingga dalam

penggunaan aspal sebagai pengikat campuran aspal beton, terlebih dahulu aspal

dipanaskan hingga temperatur ±140 ºC, karena jika temperaturnya jauh melebihi

140 ºC, aspal akan kembali kental dan sulit digunakan dalam pencampuran.

Banyak aspal dalam campuran perkerasan berkisar antara 4% – 10% dihitung

berdasarkan berat campuran. Aspal umumnya berasal dari salah satu hasil destilasi

10
minyak bumi (aspal Minyak) dan bahan alami (aspal Alam). Aspal minyak (Asphalt

cement) bersifat mengikat agregat pada campuran aspal beton dan memberikan

lapisan kedap air. Serta tahan terhadap pengaruh asam, Basa dan garam. Sifat aspal

akan berubah akibat panas dan umur, aspal akan menjadi kaku dan rapuh dan

akhirnya daya adhesinya terhadap partikel agregat akan berkurang.

Totomihardjo (2004), menyatakan aspal merupakan senyawa hydrogen (H)

dan karbon (C) yang diperoleh dari proses penyulingan minyak bumi, terdiri dari

parafins, naptene dan aromatics. Berdasarkan komposisi kimianya, hydrocarbon

merupakan bahan dasar utama pembentuk aspal yang juga disebut bitumen,

sehingga aspal sering juga disebut bitumen. Aspal yang umumnya digunakan saat

ini terutama berasal dari salah satu hasil proses destilasi minyak bumi dan

disamping itu mulai banyak pula dipergunakan aspal alam yang berasal dari Pulau

Buton (Sukirman 1999). Berdasarkan penggunaannya, aspal minyak dibagi dalam

beberapa jenis, antara lain:

1. Aspal Panas/Keras (Asphalt Cement/AC)

Adalah aspal yang digunakan dalam keadaan panas dan cair, pada suhu ruang

berbentuk padat. Yang merupakan residu hasil destilasi minyak bumi pada keadaan

hampa udara, yang pada suhu normal dan tekanan atmosfir berbentuk padat.

Berdasarkan pemeriksaan sesuai dengan syarat, seperti pada Tabel 2.1.

11
Tabel 2.1. Syarat Pemeriksaan Aspal Keras

Pen 40/50 Pen 60/70 Pen 80/100


Jenis Pemeriksaan Satuan
Min Max Min Max Min Max

Penetrasi 25 oC, 100 gram, 5 detik 40 59 60 79 80 99 0.1 mm


o
Titik Lembek 5 oC (Ring and Ball) 51 63 48 58 46 54 C
o
Titik Nyala (Cleveland Open Cup) 232 - 232 - 232 - C

Kehilangan Berat (Thick Film - 0.4 - 0.4 - 0.4


% Berat
Oven Test)

Kelarutan dalam CCl4 99 - 99 - 99 - % Berat

Daktilitas 100 - 100 - 100 - Cm

Penetrasi setelah kehilangan berat 75 - 75 - 75 - % Semula

Berat jenis 25 oC 1 - 1 - 1 - Gr/Cc

Sumber : Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah 2002

Aspal dengan penetrasi rendah digunakan di daerah bercuaca panas, volume

lalu lintas tinggi. Sedangkan aspal dengan penetrasi tinggi digunakan untuk daerah

bercuaca dingin, lalu lintas rendah. Di Indonesia aspal yang umum digunakan

adalah aspal penetrasi 60/70 dan 80/100.

2. Aspal Cair

Aspal cair adalah aspal yang digunakan dalam keadaan dingin dan cair, dan

pada suhu ruang berbentuk cair. Pada suhu normal dan tekanan atmosfir berbentuk

cair, terdiri dari aspal keras yang diencerkan dengan bahan pelarut. Terdapat

beberapa persyaratan aspal cair, yaitu kadar parafin tidak lebih dari 2 %, tidak

mengandung air dan jika dipakai tidak menunjukkan pemisahan atau

penggumpalan. Aspal cair dikelompokkan berdasarkan pengencernya, yaitu:

12
Bila ditambahkan benzene dinamakan Rapid Curing cut back (RC);

merupakan aspal keras yang dilarutkan dengan bensin (premium), RC

merupakan cutback aspal yang paling cepat menguap.

Bila ditambahkan kerosene dinamakan Medium Curing (MC); aspal dengan

kecepatan menguap sedang.

Bila ditambahkan minyak berat (contoh: solar) dinamakan Slow Curing

(SC); aspal yang paling lama menguap

3. Aspal Emulsi

Aspal emulsi adalah aspal yang disediakan dalam bentuk emulsi dan

digunakan dalam kondisi dingin dan cair. Merupakan suatu jenis aspal yang terdiri

dari aspal keras, air, dan bahan pengemulsi, dimana pada suhu normal dan tekanan

atmosfir berbentuk cair. Jenis aspal emulsi yang umum digunakan sebagai bahan

perkerasan jalan adalah emulsi anionik dan kationik. Aspal Emulsi dikelompokkan

sebagai berikut:

Emulsi Kationik, terdiri dari aspal keras, air, dan larutan basa sehingga

akan bermuatan positif (+).

Emulsi Anionik, terdiri dari aspal keras, air, dan larutan asam sehingga

bermuatan negatif (-).

Emulsi Nonionik, merupakan aspal emulsi yang tidak mengalami

ionisasi,

berarti tidak mengantarkan listrik.

Pada penelitian ini aspal yang digunakan adalah aspal keras penetrasi 60/70.

Sebelum digunakan aspal harus diuji di laboratorium agar memenuhi sifat-sifat

13
aspal yang telah. Berikut ini merupakan ketentuan dari aspal keras penetrasi 60/70

menurut Bina Marga 2010 yang sering digunakan dalam pelaksanaan perkerasan di

Indonesia.

Tabel 2.2. Ketentuan Aspal Keras Penetrasi 60/70

Tipe Aspal
Jenis Pengujian Metode Pengujian Pen.
60/70
Penetrasi pada 25oC (0,1 mm) SNI 06-2456-1991 60-70
Titik Lembek (oC) SNI 2434:2011 ≥ 48
Daktilitas pada 25oC, (cm) SNI 2432:2012 ≥ 100
o
Titik Nyala ( C) SNI 2433:2013 ≥ 232
Berat Jenis SNI 2441:2014 ≥ 1,0
Sumber: Spesifikasi Umum Bina Marga Divisi 6 2010

2.2.2. Agregat
Agregat merupakan komponen utama dari struktur perkerasan jalan, yaitu

90-95% agregat berdasarkan persentase berat, atau 75-85% agregat berdasarkan

persentase volume. Dengan demikian kualitas perkerasan jalan ditentukan dari

sifat agregat dan hasil campuran agregat dengan material lain. Agregat adalah

bahan pengisi atau yang dicampurkan dalam proses pembuatan aspal yang berasal

dari batu dan mempunyai peranan penting terhadap kualitas aspal maupun

harganya (Silvia Sukirman, 2007). Sebelum digunakan sebagai bahan campuran

dalam perkerasan jalan, harus dilakukan terlebih dahulu pemeriksaan di

laboratorium untuk mengetahui karakteristiknya. Untuk menentukan agregat

yang baik maka agregat dapat diklasifikasikan dan diidentifikasi menurut ukuran

dan gradasi, kebersihan, kekuatan atau kekerasan, bentuk butiran, tekstur

permukaan, porositas, kemampuan menyerap air, berat jenis dan kelekatannya

14
terhadap aspal.

Agregat diklasifikasikan menjadi dua yaitu berdasarkan sumber didapatnya

bahan dan berdasarkan dimensi butiran. Berdasarkan sumber didapatkan bahan,

agregat terdiri dari agregat alam yang diperoleh secara alamiah seperti pasir dan

kerikil serta agregat buatan yang didapat dari proses pemecahan batu (Saodang,

2005). Berikut adalah macam-macam dari agregat berdasarkan dimensi butiran:

1. Agregat kasar, adalah agregat dengan ukuran butiran lebih besar dari saringan

No. 4 (4,75 mm). Agregat kasar harus terdiri dari batu pecah atau kerikil

pecah yang bersih, kering, kuat, awet dan bebas dari bahan lain yang

mengganggu. Ketentuan agregat kasar dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Ketentuan Agregat Kasar


No. Jenis Pemeriksaan Metode Pengujian Nilai
Natrium
Kekekalan bentuk Maks. 12%
1 Sulfat SNI 3407:2008
agregat terhadap
larutan Magnesium
Maks. 18%
Sulfat
Abrasi dengan mesin 100 putaran Maks. 8%
2 SNI 2417:2008
Los Angeles 500 putaran Maks. 40%
3 Kekekalan agregat terhadap aspal SNI 2439:2011 Min. 95%
Butiran pecah terhadap agregat
4 SNI 7619:2012 95/90**)
kasar

Partikel pipih dan lonjong ASTM D4791-10 Maks. 10%


5 Perbandingan 1 : 5
SNI ASTM
6 Material lolos ayakan No.200 Maks. 1%
C117:2012

Sumber: Spesifikasi Umum Bina Marga 2018, Tabel 6.3.2.1a.

2. Agregat halus, adalah agregat yang lolos saringan No. 4 (4,75 mm). Agregat

halus harus terdiri dari bahan-bahan yang berbidang kasar, bersudut tajam dan

15
bersih dari kotoran atau bahan lain yang mengganggu. Agregat halus harus

terdiri dari pasir alam atau pasir buatan atau gabungan dari bahan- bahan

tersebut dan dalam keadaan kering. Ketentuan agregat halus dapat dilihat

pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4. Ketentuan Agregat Halus

No Pengujian Metoda Pengujian Nilai


1 Nilai Setara Pasir SNI 03-4428-1997 Min. 50%
Uji Kadar Rongga Tanpa
2 SNI 03-6877-2002 Min. 45
Pemadatan
Gumpalan Lempung dan Butir-
3 SNI 03-4141-1996 Maks. 1%
butir Mudah Pecah dalam Agregat
4 Agregat Lolos Ayakan No.200 SNI ASTM C117:2012 Maks.10%
Sumber: Spesifikasi Umum Bina Marga, 2018

3. Bahan Pengisi (Filler)

Filler merupakan material pengisi yang terdiri dari abu batu, abu batu kapur

(limestone dust), abu terbang, semen (PC), abu tanur semen atau bahan non

plastis lainnya yang harus kering dan bebas dari gumpalan-gumpalan dan bahan

lain yg mengganggu (Departemen PU,2007).

Filler atau bahan pengisi harus kering dan bebas dari bahan lain yang

mengganggu Bahan pengisi juga harus kering dan tidak menggumpal sehingga

jika diuji sesuai SNI dan ASTM C136:2012 akan lolos ayakan nomor 200 yang

tidak kurang dari 75% dari beratnya.

Namun selain material di atas, hal lain yang harus diperhatikan dalam

pencampuran aspal adalah gradasi agregat (Herdasin, 2000). Gradasi agregat

berpengaruh besar pada campuran aspal karena berfungsi untuk memberikan

kekuatan yang mempengaruhi nilai stabilitas pada campuran. Kekuatan agregat

16
dihasilkan oleh agregat yang saling mengunci satu sama lain (interlocking). Definisi

lain gradasi agregat adalah distribusi butiran agregat dengan ukuran tertentu yang

dihasilkan dari analisis ayakan dengan menggunakan satu paket ayakan yang

dinyatakan dalam persentase lolos dan tertahan kemudian dihitung berdasarkan

beratnya.

Gradasi ini berpengaruh pada sifat campuran aspal yaitu stabilitas, kekakuan,

permeabilitas, workabilitas, kekesatan, durabilitas, dan ketahanannya. Gradasi pada

agregat juga menentukan besar atau kecilnya rongga pada campuran perkerasan.

Terdapat tiga jenis gradasi agregat yang ditentukan berdasarkan distribusi butir

agregat dengan ukuran tertentu antara lain.

1. Gradasi menerus (continous graded) atau biasa disebut dengan gradasi rapat

(dense graded) merupakan gradasi dengan rongga antar butiran besar yang diisi

oleh butiran yang lebih kecil. Gradasi ini memiliki ukuran butir agregat terbesar

hingga paling kecil. Gradasi ini juga disebut gradasi padat atau baik karena

agregat yang padat karena saling mengisi dan mengunci (interlocking).

Campuran dengan gradasi padat ini menghasilkan perkerasan dengan stabilitas

tinggi, sifat drainase buruk, dan berat volume yang besar.

2. Gradasi tunggal (single graded), atau disebut gradasi seragam (uniformly

graded) karena butir agregat yang dominan satu ukuran dengan sedikit butir

agregat halus sehingga menghasilkan gradasi dengan rongga. Sifat campuran

aspal dengan gradasi ini adalah stabilitas rendah, permeabilitas tinggi, dan berat

volume kecil. Namun gradasi ini dapat diproduksi dengan crusher dan mudah

diatur proporsinya agar mencapai suatu ukuran tertentu.

17
3. Gradasi senjang (gap graded), merupakan ukuran agregat yang ada tidak

lengkap atau ada fraksi agregat yang tidak ada atau jumlahnya sangat sedikit.

Campuran bergradasi senjang menghasilkan kualitas peralihan dari keadaan dua

gradasi yang sebelumnya disebutkan.

Gradasi agregat gabungan untuk campuran yang digunakan ditentukan dalam

persen terhadap berat agregat dan bahan pengisi campuran, dimana gradasi agregat

digunakan harus memenuhi spesifikasi yang telah ditentukan dalam ketentuan Bina

Marga. sebagai berikut:

Tabel 2.5. Gradasi Agregat Gabungan untuk Campuran Aspal

Kumulatif Berat Lolos Terhadap Total Agregat


Ukuran Ayakan
(%)
ASTM (mm) Batas Bawah Batas Atas
3/4" 19 100 100
1/2" 12.5 90 100
3/8" 9.5 77 90
No. 4 4.75 53 69
No. 8 2.36 33 53
No. 16 1.18 21 40
No. 30 0.6 14 30
No. 50 0.3 9 22
No. 100 0.15 6 15
No. 200 0.075 4 9

Sumber: Spesifikasi Umum Bina Marga 2018, Tabel 6.3.2.3.

2.2.3. Polimer
Belakangan ini, polimer sering digunakan dalam pembuatan perkerasan jalan

sebagai material modifikasi aspal. Penambahan bahan aditif jenis polimer dalam

jumlah kecil ke dalam aspal terbukti dapat meningkatkan kinerja aspal dan

memperpanjang umur kekuatan/masa layan perkerasan tersebut (Sengoz B and


18
Isikyakar G, 2008). Polimer juga dapat meningkatkan daya tahan perkerasan

terhadap berbagai kerusakan, seperti deformasi permanen, retak akibat perubahan

suhu, fatigue damage, serta pemisahan/pelepasan material (Yildirim.Y, 2007).

Terdapat beberapa jenis polimer antara lain karet, karet sintetis, dan lain- lain.

Dimana Puslitbang Jalan telah mengeluarkan klasifikasi dari polimer seperti yang

tercantum pada Tabel 2.6.

Tabel 2.6. Klasifikasi Polimer

Keperluan untuk
Tipe Polimer Nama Umumnya
Perkerasan

Hotmix, Pengisian
SBS (Styrene Butadiene Styrene) Thermoplastic Rubber
retak

Daya tahan terhadap


EVA (Ethylene Vinyl Acetate) Thermoplastic
alur, seal, retak

Daya tahan terhadap


PolyEthylene; Polypropylene Thermoplastic
alur

SBR (Styrene Butadiene Rubber) Karet Sintetis Retak, alur


Karet Alam Karet Retak, alur

Sumber: Pusat Penelitian Bangunan Jalan dan Jembatan, 2002

Polimer telah banyak digunakan sebagai bahan untuk meningkatkan

ketahanan dan kepekaan aspal terhadap temperatur. Diperkirakan bahwa dengan

meningkatnya kekakuan aspal maka akan meningkat pula ketahanan terhadap

deformasi, keretakan akibat temperatur dan ketahanan terhadap kelelahan pada

lapisan beraspal (Brown dkk, 1990). Dalam industri konstruksi jalan, polimer dapat

dibagi menjadi 2 kelompok kategori, yaitu elastomer dan plastomer. Plastomer

bersifat lebih keras dan kaku, tiga jenis plastomer yang mampu menahan deformasi

adalah polyethylene, polypropylene dan ethylene vinyl acetate (EVA). Polimer


19
jenis ini dapat dipanaskan dan didinginkan berkali- kali tanpa mempengaruhi

kualitasnya. Demikian pula dengan elastomer yang mampu memperkuat konstruksi

jalan dari deformasi, namun perbedaannya adalah, polimer jenis elastomer ini

fungsinya lebih bertahan deformasi setelah menerima beban di permukaannya dan

elastomer akan meregangkan permukaan dan mengembalikannya ke bentuk semula

setelah beban tersebut hilang.

Elastomer selain menambah elastisitas aspal secara signifikan juga kuat tarik

aspal akan meningkat sepanjang penguluran (Brown dkk, 1990). Elastomer yang

biasa digunakan sebagai PMB (Polimer Modified Bitumen) antara lain; SBS

(Styrene Butadiene Styrene), SBR (Styrene Butadiene Rubber), SIS (Styrene

Isoprene Styrene), dan sejenisnya. Selain itu, polimer jenis elastomer ini harganya

jauh lebih mahal dibandingkan dengan plastomer (Freddy L. Roberts, 1996).

Pada penelitian digunakan polimer plastomer Superplast produksi

Iterchemica sebagai bahan modifikasi aspal. Iterchemica menganjurkan

penambahan polimer dengan kadar 4% hingga 6% dari total aspal yang digunakan.

Polimer Superplast mempunyai spesifikasi sebagai berikut (American Journal of

Sociology, 2019).

20
Tabel 2.7. Karakteristik Iterchemica Superplast

Properti Satuan Hasil


Bentuk - Butiran hitam/abu-abu
Density at 20oC gr/cm3 0.9 - 0.98
o
Titik Lembek C 150 - 160
o
Titik Leleh C 180
Apparent Density at 25oC gr/cm3 0.55 - 0.65

Sumber: Iterchemica Superplast, Additive for High Modulus Pavements.

Penambahan polimer Superplast ini mempunyai keuntungan di bawah ini :

1. Meningkatkan stabilitas dan meningkatkan kuat adhesion strength antara

agregat dan aspal.

2. Meningkatkan resistansi aspal terhadap rutting, deformasi, dan fatigue cracking.

3. Mengurangi moisture sensibility pada aspal dan mengurangi stripping pada

agregat karena memberikan adhesi yang lebih baik pada agregat.

4. Modulus resilient yang lebih tinggi sehingga memungkinkan untuk

memperpanjang umur struktur, memiliki daya tahan yang tinggi, dan

mengurangi biaya perawatan.

2.3. Aspal Modifikasi Polimer

Aspal adalah bahan yang kompleks dan terdiri dari beberapa komponen untuk

jenis aspal yang tidak mempunyai titik lembek pasti, oleh karena itu harus

ditentukan setiap aspal. Bila diinginkan tahan pada suhu yang tinggi agar tidak

terjadi deformasi maka sebaiknya dipilih polimer. Aspal yang sudah ditambahkan

dengan polimer biasa disebut dengan sebutan aspal modifikasi. Sifat-sifat yang

21
diinginkan pada aspal yang sudah dimodifikasi dengan polimer adalah (Suroso,

2008)

1. Titik lembek; Diinginkan aspal dengan daya tahan terhadap suhu yg tinggi agar

tidak terjadi deformasi, maka digunakan polimer.

2. Penetrasi indeks; Dengan penetrasi indeks, maka akan tahan terhadap

deformasi pada suhu tinggi dan tahan terhadap retak pada suhu rendah.

3. Kekentalan; Kekentalan aspal berhubungan dengan ketebalan lapisan aspal

serta aspal harus cukup tebal dan keras untuk melapisi agregat dibawah

tekanan lalu lintas.

Kelebihan dan kekurangan aspal modifikasi polimer dibandingkan dengan

aspal konvensional antara lain tertera pada Tabel 2.8.

Tabel 2.8. Kekurangan dan kelebihan aspal modifikasi dibandingkan dengan aspal

konvensional

Kelebihan Kekurangan

Titik lembek lebih tinggi Harga per kg lebih mahal


Stabilitas dinamis tinggi Perlu alat pengaduk khusus agar
Deformasi permanen kecil aspal dan polimer dapat tercampur

Temperatur pencampuran dan secara homogen

temperatur pemadatan tidak beda


terlalu jauh dengan aspal
konvensional

Dalam pencampurannya polimer kdengan aspal terdapat dua metode, yaitu

Polymer Modified Asphalt (PMA) atau sering disebut dengan dry process dan

Polymer Modified Bitumen (PMB) atau wet process. Dry process merupakan

22
pencampuran dimana polimer ditambahkan ke dalam agregat yang sudah

dipanaskan kemudian aspal panas dicampurkan. Sedangkan wet process yaitu

pencampuran dimana polimer dimasukkan ke dalam aspal panas terlebih dahulu

kemudian diaduk hingga homogen (Suroso, 2008). Berikut merupakan skema

pencampuran dry dan wet process pada gambar 2.2. (Alfayez et al., 2020). Pada wet

process, polimer ditambahkan langsung ke aspal sebelum dicampur dengan agregat.

Pada dry process, polimer dan aspal dapat dicampurkan dengan agregat secara

bersamaan atau polimer dapat dicampurkan langsung dengan agregat.

Gambar 2.1. Skema Wet dan Dry Process Aspal Polimer

Sumber: (Alfayez et al., 2020)

Metode modifikasi aspal polimer atau Polymer Modified Asphalt (PMA) telah

dikembangkan selama beberapa dekade terakhir. Umumnya dengan sedikit

penambahan polimer (2%-6%) sudah mampu untuk meningkatkan hasil ketahanan

yang lebih baik terhadap deformasi, mengatasi keretakan, dan meningkatkan

ketahanan serta kerusakan akibat umur. Hal ini menjadikan hasil pembangunan

23
jalan dengan modifikasi aspal polimer ini lebih tahan lama serta mengurangi biaya

perawatan atau perbaikan jalan. Metode ini terbilang lebih sederhana serta dapat

diaplikasikan tanpa modifikasi signifikan pada asphalt plant. Sehingga dalam

penelitian ini pencampuran polimer dengan aspal menggunakan metode Polymer

Modified Asphalt (PMA) atau dry procces.

2.4. Kerusakan pada Perkerasan Jalan Lentur

Menurut Manual Pemeliharaan Jalan No.03/MN/B/1983 yang dikeluarkan

oleh Direktorat Jendral Bina Marga kerusakan jalan pada perkerasan lentur antara

lain sebagai berikut :

1. Pelepasan butir (raveling),

Raveling adalah lepasnya butir agregat pada permukaan jalan beraspal,

dapat diakibatkan oleh kandungan aspal yang rendah, campuran yang kurang

baik, pemadatan yang kurang, segregasi, atau pengelupasan aspal.

2. Retak (cracking)

Terdapat lima jenis retak pada perkerasan lentur antara lain:

a. Retak memanjang (longitudinal cracking), retak paralel yang sejajar dengan

sumbu jalan atau arah penghamparan yang dapat disebabkan oleh pembentukan

sambungan memanjang yang kurang baik, akibat penyusutan lapis beton aspal

yang diakibatkan oleh temperatur yang rendah atau penuaan aspal, atau siklus

temperatur harian, atau gabungan dari faktor-faktor tersebut.

b. Retak melintang (transverse cracking), retak yang terjadi pada arah lebar

perkerasan dan hampir tegak lurus sumbu jalan atau arah penghamparan. Retak

melintang biasanya tidak terkait dengan beban lalu lintas.

24
c. Retak blok (block cracking), retak blok merupakan retak saling berhubungan

dan membagi permukaan menjadi kotak-kotak yang berbentuk hampir bujur

sangkar, utamanya disebabkan oleh penyusutan lapis beraspal atau

karakteristik aspal dan temperatur, bukan akibat beban lalu lintas.

d. Retak tepi (edge cracking), retak memanjang yang sejajar dengan tepi

perkerasan dan biasanya terjadi sekitar 0,3 m sampai 0,5 m dari tepi luar

perkerasan. Retak tepi diperparah oleh beban kendaraan dan dapat ditimbulkan

oleh pelemahan lapis fondasi atas atau tanah dasar.

e. Retak buaya (alligator cracking), retak yang membentuk serangkaian kotak-

kotak kecil yang saling berhubungan pada permukaan perkerasan beraspal

menyerupai kulit buaya, umumnya akibat keruntuhan lelah oleh beban

kendaraan yang berulang.

3. Alur (rutting)

Rutting adalah penurunan memanjang yang terjadi pada jalur jejak roda kiri

(JRKI) dan jejak roda kanan (RJKA), terutama akibat dari deformasi permanen

pada lapis perkerasan atau tanah dasar, yang biasanya disebabkan konsolidasi atau

pergerakan lateral bahan perkerasan akibat beban kendaraan.

2.5. Moisture Damage pada Campuran Aspal

Sejak akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an sudah diketahui bahwa

kelembapan (moisture) dapat mempengaruhi sifat fisik dan mekanis campuran

perkerasan lentur/aspal (Hunter dan Ksaibati 2002). Di tahun-tahun mendatang,

kerusakan pada perkerasan aspal yang disebabkan oleh moisture menjadi semakin

dilihat karena efek pemanasan global sehingga menyebabkan curah hujan yang

25
lebih tinggi seperti yang kita alami semua saat ini. Menurut Perserikatan Bangsa-

Bangsa pada Laporan Panel Antar pemerintah tentang Perubahan Iklim Global

(Christensen et al. 2007, Meehl et al. 2007), curah hujan tahunan rata-rata sampai

akhir abad ini diprediksikan meningkat dengan perubahan jumlah dan intensitas

curah hujan yang naik secara nyata dalam daerah tropis.

Permasalahan moisture banyak ditemukan pada perkerasan jalan seperti

munculnya rutting, raveling, dan penurunan kekesatan. Kerusakan dan penurunan

kualitas perkerasan dalam jumlah besar dapat diidentifikasi sebagai moisture

damage dan berkontribusi secara signifikan terhadap kegagalan di perkerasan aspal.

Karena kurangnya pemahaman mendasar tentang moisture damage, saat ini belum

ada solusi yang memuaskan untuk masalah ini, hanya terdapat dua teori yang ada.

Secara umum diterima bahwa dua faktor utama yang menjadi penyebab moisture

damage adalah pengelupasan (adhesion loss) dan softening atau pelunakan

(cohesion loss). Adhesion loss adalah pemisahan fisik dari bitumen dan agregat

yang disebabkan karena hilangnya adhesi antara bitumen dan permukaan agregat

yang dipengaruhi oleh air. Sedangkan cohesion loss didefinisikan sebagai

hilangnya stabilitas, kekuatan, dan kekakuan campuran secara umum yang

disebabkan oleh penurunan kohesi karena infiltrasi (R. P. LOTTMAN, 1982).

Selain dua mekanisme tersebut moisture damage juga dapat dipengaruhi oleh faktor

lain seperti menurunnya ikatan pada campuran aspal akibat meningkatnya volume

kendaraan, penurunan kualitas agregat, dan quality control yang buruk (Islam &

Tarefder, 2014).

26
2.6. Pengujian Karakteristik Material pada Penelitian

Material- material pembentuk campuran aspal harus diuji terlebih dahulu di

laboratorium sebelum digunakan untuk memastikan semua material sudah sesuai

dengan standar- standar yang telah dibahas di bab 2.3. Pada bagian ini akan

dijelaskan tentang pengujian yang dilakukan pada masing-masing material

pembentuk campuran aspal. Langkah langkah dalam pengujian karakteristik

material pada penelitian ini akan dilampirkan pada Lampiran A.

2.6.1. Agregat Halus

Pengujian yang umum dilakukan pada agregat halus adalah pengujian kadar

lumpur, berat jenis dan penyerapan. Prosedur pengujian kadar lumpur pada agregat

halus mengacu pada SNI 04-1998. Kadar lumpur pada agregat halus harus kurang

dari 5%.

Selanjutnya adalah pengujian berat jenis yang mengacu pada SNI 03-1970-

1990. Berat jenis adalah sifat yang digunakan untuk menghitung volume yang

ditempati oleh agregat dalam berbagai campuran yang mengandung agregat yang

dianalisis berdasarkan volume absolut. Berat jenis terbagi menjadi tiga yaitu berat

jenis bulk specific gravity, bulk specific gravity SSD, dan apparent specific gravity.

2.6.2. Agregat Kasar

Pengujian yang umum dilakukan pada agregat kasar adalah pengujian berat

jenis dan penyerapan. Pengujian berat jenis agregat kasar mengacu pada SNI

1969:2008. Untuk mengetahui besar berat jenis dan penyerapan air pada agregat

kasar menggunakan rumus sebagai berikut.

27
2.6.3. Filler

Pengujian filler yang berupa berat jenis semen Portland yang mengacu pada

SNI 15-2531-1991. Filler yang baik adalah yang tidak tercampur dengan kotoran

atau bahan lain yang tidak dikehendaki dan dalam keadaan kering (kadar air

maksimal 1%). Filler dapat berupa semen, debu batu kapur, dan abu terbang.

2.6.4. Aspal

Pengujian aspal pada penelitian ini meliputi berat jenis, penetrasi, titik

lembek, titik nyala dan titik bakar aspal.

1. Berat jenis

Berat jenis merupakan perbandingan antara satu gram material bitumen

dengan satu mililiter air suling pada temperatur yang sama. Berat jenis aspal

yang disyaratkan AASHTO T-228 dan SNI 2441-2011 untuk penetrasi 60

atau 80 minimal sebesar satu gram/cm3. Semakin besar nilai berat jenis aspal,

maka semakin kecil kandungan mineral minyak dan partikel lain didalam

aspal sehingga semakin baik kualitas aspal tersebut.

2. Penetrasi

Penetrasi adalah indikator tingkat kekerasan aspal yang diukur dengan

kedalaman jarum penetrasi dengan beban pada waktu dan temperatur tertentu.

Semakin besar nilai penetrasi nya maka semakin lunak aspal tersebut dan

begitu juga sebaliknya. Biasanya hasil uji penetrasi untuk aspal penetrasi 60

adalah enam mm sampai 7.9 mm. Pengujian dilakukan berdasarkan SNI

2456:2011 dan ASTM D5-05.

28
3. Titik lembek

Titik lembek yaitu angka yang menunjukkan temperatur saat bola baja yang

tertahan pada cincin kuningan beraspal mendesak dan menyentuh pelat dasar

dibawahnya karena terjadinya pemanasan. Titik lembek ini mengidentifikasi

kepekaan aspal terhadap perubahan suhu yang mengacu pada SNI 2434:2011

dan ASTM D36-95. Untuk aspal penetrasi 60 memiliki titik lembek pada

temperatur 48oC hingga 58oC.

4. Titik nyala dan titik bakar

Titik nyala adalah suhu saat terlihat nyala singkat aspal pada suatu titik di atas

permukaan aspal. Suhu tersebut menunjukkan tekanan uap yang cukup besar

sehingga mengeluarkan uap hidrokarbon yang mudah terbakar jika terjadi

kontak dengan api. Sedangkan, titik bakar adalah suhu saat terlihat nyala pada

titik di permukaan aspal minimum lima detik. Titik nyala dan titik bakar

diperlukan untuk memperkirakan temperatur maksimum untuk pemanasan

aspal agar tidak terbakar. Pengujian ini mengacu pada peraturan SNI 2433-

2011 dan ASTM D92-02b.

2.7. Parameter Pengujian Pada Campuran Aspal

2.7.1. Volumetrik Campuran Aspal

Campuran laston atau lapisan aspal beton merupakan hasil pemadatan

campuran agregat (kasar, halus, filler) dan aspal sehingga terbentuk padatan aspal

beton.

29
Udara Va

Vma
Vfa
Aspal Vb

Vba
Vmb
Vmm
Vsb
Agregat
Vse

Gambar 2.2. Representasi volume dalam campuran aspal

(sumber: Sukirman, 2003)


Keterangan:

Vma : Volume rongga dalam agregat

Vmb : Volume bulk campuran padat

Vfa : Volume rongga yang terisi aspal (VFB)

Vmm : Volume campuran tak berongga

Va : Volume rongga dalam campuran (VIM)

Vb : Volume aspal dalam campuran

Vba : Volume aspal terserap agregat

Vsb : Volume agregat (untuk menghitung bulk specific gravity)

Vse : Volume agregat (untuk menghitung berat jenis efektif)

Secara analitis, parameter yang digunakan untuk menentukan sifat

volumetrik pada hasil campuran aspal beton adalah sebagai berikut:

30
1. Densitas merupakan tingkat kerapatan campuran setelah dilakukan

pemadatan. Dimana semakin tinggi nilai density suatu campuran berbanding

lurus dengan besarnya beban yang mampu ditahan oleh hasil campuran.

2. Void in Mixture (VIM) terbentuk dari hasil penentuan susunan partikel

agregat pada campuran dan gradasi agregat yang digunakan. Tinggi

rendahnya persentase nilai ini mempengaruhi durabilitas campuran aspal.

Nilai VIM yang terlalu tinggi dapat menyebabkan hasil campuran yang tidak

awet karena banyaknya rongga udara dalam lapis akan memudahkan

masuknya udara dan air. Keberadaan udara pada rongga tersebut akan

mengoksidasi aspal sehingga kohesi atau kerapatan aspal semakin berkurang.

Hal ini dapat menyebabkan timbulnya ravelling atau pelepasan butiran.

Sedangkan keberadaan air pada rongga akan melarutkan bagian aspal yang

tak teroksidasi sehingga jumlah aspal semakin cepat berkurang.

Akan tetapi, nilai VIM yang terlalu rendah juga dapat menyebabkan lapisan

menjadi rentan untuk mengalami cracking/19retak dan bleeding dikarenakan

lapisan tidak cukup elastis atau lentur untuk menerima deformasi ketika

menerima beban lalu lintas.

3. Void in Mineral Aggregate (VMA) merupakan rongga yang terletak antara

partikel agregat pada campuran aspal yang sudah dilakukan pemadatan.

Rendahnya nilai VMA dapat menyebabkan agregat yang tertutupi atau

terselimuti aspal menjadi tidak sempurna (terbatas/ ada bagian yang tidak

tertutupi), sehingga menyebabkan hasil lapisan perkerasan tidak kedap air

yang menjadikan proses oksidasi mudah terjadi dan menyebabkan kerusakan.

31
Besarnya nilai VMA dapat dipengaruhi oleh kadar aspal, gradasi material

penyusun, jumlah tumbukan, serta suhu ketika proses pemadatan campuran.

4. Voids Filled with Bitumen/ rongga terisi aspal merupakan persentase volume

VMA yang terisi oleh aspal efektif. Nilai VFB dipengaruhi oleh faktor energi,

suhu saat proses pemadatan, kadar aspal, jenis aspal yang digunakan, serta

gradasi agregat pada campuran.

Nilai VFB yang terlalu kecil pada campuran akan menyebabkan

berkurangnya sifat kedap terhadap air dikarenakan kecilnya rongga yang

terisikan aspal. Sedangkan bila nilai VFB yang dimiliki terlalu besar, dapat

menyebabkan naiknya aspal ke permukaan atau bleeding.

2.7.2. Parameter Pengujian Marshall

1. Stabilitas

Angka/ nilai stabilitas pada hasil bacaan pada dial alat Marshall harus terlebih

dahulu dikalikan dengan faktor koreksinya dikarenakan pada umumnya alat

pengujian marshall menggunakan kalibrasi dengan satuan Lbf (pound force),

sehingga nilai satuan harus dikonversikan terlebih dahulu ke dalam satuan kg

(kilogram) serta disesuaikan dengan angka koreksi terhadap ketebalan atau

volume benda uji.

2. Flow

Flow merupakan besarnya deformasi vertikal benda uji yang terjadi pada awal

pembebanan hingga kondisi kestabilan maksimum/ benda uji telah hancur. Nilai

flow dapat dipengaruhi banyak faktor, diantaranya kadar aspal, gradasi,

viskositas aspal, suhu, dan jumlah pemadatan. Dimana elastisitas benda uji

32
bertambah seiring dengan bertambahnya nilai flow, sedangkan nilai flow yang

kecil/ rendah akan membuat potensi hasil benda uji rentan mengalami retak

semakin tinggi.

Sama seperti halnya nilai stabilitas, nilai flow juga didapat berdasarkan hasil

bacaan yang dial flow yang ditunjukkan oleh jarum dial pada alat Marshall.

Akan tetapi, nilai flow sudah tidak membutuhkan koreksi apapun mengingat

nilai pada dial flow alat marshall pada umumnya sudah dalam satuan mm

(milimeter)

3. Marshall Quotient (MQ)

MQ merupakan hasil pembagian antara nilai stabilitas yang telah dikalikan

dengan angka koreksinya dengan flow. Nilai MQ merupakan pendekatan

terhadap tingkat kekakuan dan fleksibilitas pada campuran aspal. Dimana

semakin besar nilai MQ maka campuran menjadi semakin kaku dan sebaliknya

bila nilai MQ semakin kecil, maka campuran menjadi semakin lentur.

2.8. Boiling Water Test (BWT)

Boiling Water Test (BWT) dilakukan sesuai dengan standar ASTM D3625-96

(2005) (Standard Practice for Effect of Water on Bituminous-Coated Aggregate

Using Boiling Water). Untuk melakukan pengujian, 250g campuran aspal beton

dengan suhu antara 85-95 derajat celcius ditempatkan pada sekitar 800mL air suling

yang mendidih selama 10 menit untuk mengecek tingkat pengelupasan atau

stripping yang terjadi pada sampel tersebut. Pada dasarnya boiling water test

bersifat subjektif jika hanya diamati secara visual . Oleh karena itu, untuk

memperoleh data yang lebih objektif benda uji yang sudah di boiling akan difoto

33
sehingga mendapatkan gambar digitalnya, kemudian gambar digital akan diolah

menggunakan image proccesing software bernama Image J untuk dilakukan digital

image analysis. Gambar akan diubah menjadi binary image kemudian dapat

dihitung persentase campuran aspal yang mengalami pengelupasan.

Boiling Water Test merupakan metode pendekatan yang tepat untuk

mengevaluasi pengelupasan akibat kelembapan yang terjadi pada campuran aspal

dan agregat dibandingkan dengan metode lain seperti Static Immersion Test, dan

Rolling Bottle Test (RBT). Pengujian BWT memerlukan waktu yang jauh lebih

cepat yaitu sekitar 60 menit untuk setiap sample dibandingkan dengan 72 jam untuk

RBT dan 16-18 Jam untuk Static Immersion Test (Liu et al., 2014). Selain itu BWT

juga sensitif terhadap tipe agregat, aspal dan bahan tambah yang digunakan pada

pembuatan benda uji.

Dalam melakukan digital image analysis untuk memperoleh binary image,

gambar dari benda uji perlu dikonversi terlebih dahulu ke dalam gambar grayscale

untuk dapat membedakan distribusi air void dan partikel agregat dari tingkat

intensitas warna abu-abu yang berbeda. Pada umumnya spesifikasi yang digunakan

dalam Image J yaitu 8 bit grayscale dalam gambar binary karena memiliki ukuran

satu byte/pixel yang mudah untuk dimanipulasi dengan komputer, dan dapat

mewakili gambar grayscale apapun karena memiliki 256 tingkat warna abu-abu

yang berbeda sedangkan mata manusia umumnya hanya dapat membedakan kurang

dari 200 tingkat warna abu-abu. Dalam format gambar 8 bit grayscale, pixel yang

memiliki nilai 0 merepresentasikan warna hitam sempurna, sedangkan pixel yang

memiliki nilai 255 merepresentasikan warna putih sempurna dan nilai 127

34
merepresentasikan warna abu-abu yang berada di antara warna hitam dan putih.

Rentang nilai 0 sampai dengan 255 disebut dengan nilai threshold dalam software

Image J.

Gambar 2.3. Tingkat Warna Dalam 8 Bit Grayscale

Dalam ASTM D3625 menyatakan bahwa “Setiap area yang tipis, kecoklatan,

dan tembus cahaya harus dianggap sebagai area yang dilapisi sepenuhnya oleh

bitumen”. Oleh karena itu, metode trial and error digunakan untuk mendapatkan

nilai threshold yang merepresentasikan pengelupasan yang terjadi pada sample.

Nilai threshold dapat dianggap benar atau memenuhi apabila bentuk gradasi pada

gambar sesuai dengan gradasi aktual.

35
Terdapat kekurangan dalam menggunakan image processing software ini

yaitu apabila saat pengambilan gambar, terdapat cahaya atau kilauan pada benda

uji, maka hal ini dapat menyebabkan error atau kesalahan yang signifikan dalam

memproses dan menganalisa benda uji. Oleh karena itu, agar hasil pengujian yang

didapatkan akurat, maka semaksimal mungkin gambar yang digunakan harus jernih

dan bebas dari cahaya atau kilauan.

36
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Skematik Penelitian

Gambar 3.1. Diagram Alir Penelitian

37
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dimulai pada bulan Maret 2021 sampai dengan bulan Mei

2021. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penelitian Beton, Laboratorium

Mekanika Tanah, dan Laboratorium Perkerasan Jalan Program Studi Teknik Sipil

Universitas Pelita Harapan.

3.3. Peralatan

Peralatan yang disiapkan untuk penelitian ini adalah timbangan untuk

mengukur komposisi material, oven yang digunakan untuk mengeringkan maerial

dan memanaskan campuran sesuai dengan suhu yang diinginkan, mesin ayakan

untuk memisahkan agregat sesuai ukurannya, alat kompaksi untuk proses

pemadatan benda uji, cetakan Marshall untuk membuat benda uji KAO, Kompor

listrik untuk memanaskan benda uji water boiling test, hydraulic pump untuk

mengeluarkan benda uji dari cetakan, alat uji Marshall sebagai alat untuk menguji

kadar aspal optimum.

3.4. Material Penyusun Campuran Aspal Panas

Dalam pembuatan campuran aspal panas material yang digunakan antara lain

agregat kasar, agregat halus, aspal, filler, dan polimer. Berikut merupakan

penjelasan mengenai material-material penyusun campuran aspal panas.

3.4.1. Agregat Kasar

Agregat kasar yang digunakan merupakan agregat yang tertahan pada

ayakan 3/4 inci, ½ inci, 3/8 inci, dan No. 4. Pengujian yang dilakukan terhadap

38
material agregat kasar meliputi pengujian analisis ayakan, serta pengujian berat

jenis dan penyerapan air agregat kasar.

3.4.2. Agregat Halus

Agregat halus yang digunakan merupakan agregat yang tertahan pada

ayakan No. 8, No. 16, No. 30, No. 50, No. 100, dan No. 200. Pengujian yang akan

dilakukan terhadap material agregat halus meliputi pengujian kadar lumpur,

pengujian analisis ayakan, serta pengujian berat jenis dan penyerapan air agregat

halus.

3.4.3. Aspal

Aspal yang digunakan dalam penelitian ini adalah aspal yang diproduksi

oleh PT. Shell Indonesia dengan nilai penetrasi 60/70. Berikut merupakan

spesifikasi dari aspal Shell PEN 60/70

Tabel 3.1 Spesifikasi Aspal Shell PEN 60/70

No. Jenis Pengujian Metode Pengujian Hasil Uji

Penetrasi pada 25°C 100 gram.


1 SNI 2456:2011 (ASTM D5) 67
5 detik (0.1 mm)

2 Viskositas pada 135°C SNI 6441:2000 (ASTM D4402) 435

3 Titik Lembek (°C) SNI 2434:2011 (ASTM D36) 51.2

4 Daktilitas pada 25°C (cm) SNI 2432:2011 (ASTM D113) > 140

5 Titik Nyala (°C) SNI 2433:2011 (ASTM D92) 295

Kelarutan dalam
6 SNI 2438:2011 (ASTM D2042) 99.5
Trichloroethylene (%)

7 Berat Jenis SNI 2441:2011 (ASTM D-70) 1.033

(Sumber: shell.co.id, 2021)

39
3.4.4. Filler

Bahan yang digunakan sebagai filler dalam penelitian ini adalah semen.

Jenis semen yang digunakan adalah semen Portland dengan merk Tiga Roda yang

diproduksi oleh PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. Pengujian yang akan

dilakukan pada filler adalah pengujian berat jenis.

3.4.5. Polimer

Pada penelitian ini polimer yang digunakan adalah polimer plastomer

Superplast produksi Iterchemica sebagai bahan modifikasi aspal. Polimer

Superplast akan ditambahkan pada campuran aspal panas dengan empat variasi

kadar berdasarkan berat aspal yaitu kadar polimer 0%, 4%, 5%, dan 6% untuk

mengetahui kadar polimer paling efektif bekerja pada campuran aspal.

Gambar 3.2. Polimer Superplast

Berikut merupakan karakteristik dari polimer Superplast yang digunakan:

1. Bentuk : Butiran hitam atau abu-abu

2. Titik lembek : 150 – 160℃

3. Titik Leleh : 180℃

40
4. Melt index :1–5

5. Apparent density (25℃) : 0,55 – 0,65 gr/cm3

6. Density (20℃) : 0,9 – 0,98 gr/cm3

(Sumber: Iterchemica Superplast, Additive for High Modulus Pavements)

3.5. Pengujian Karakteristik Material

Sebelum membuat benda uji, material-material yang digunakan diuji terlebih

dahulu untuk memastikan apakah material tersebut sudah sesuai dengan standar

yang ada. Pengujian dilakukan pada material agregat kasar, agregat halus, filler,

dan aspal.

3.5.1. Pengujian Kadar Lumpur Agregat Halus

Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui kadar lumpur yang terdapat pada

agregat halus. Terdapat dua metode dalam menentukan kadar lumpur pada agregat

halus yaitu berdasarkan volume dan berdasarkan berat.

Gambar 3.3. Pengujian Kadar Lumpur Agregat Halus Berdasarkan Volume

41
Prosedur pengujian kadar lumpur agregat halus dilakukan berdasarkan SNI

04-1998. Dalam menentukan kadar lumpur agregat halus, perlu menggunakan

persamaan pada sub bab 2.7.1.

3.5.2. Pengujian Berat Jenis Material

Prosedur pengujian berat jenis dilakukan pada material agregat kasar, agregat

halus, filler, dan aspal.

1. Agregat Kasar dan Agregat Halus

Pengujian berat jenis agregat kasar mengacu pada SNI 1969:2008 sedangkan

berat jenis agregat halus mengacu pada standar SNI 1970: 2008.

(a) Agregat Kasar (b) Agregat Halus

Gambar 3.4. Pengujian Berat Jenis dan Penyerapan Air pada Agregat

Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya berat jenis curah kering

(bulk spesific gravity), berat jenis jenuh kering permukaan (saturated surface dry

specific gravity), berat jenis semu (apparent specific gravity), dan persentase

penyerapan air pada agregat.

42
2. Filler

Pengujian berat jenis filler yang berupa semen portland dilakukan berdasarkan

standar SNI 15-2531-1991. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan botol Le

Chatelier. Nilai berat jenis semen portland pada umumnya berkisar antara 3.1 -

3.3.

Gambar 3.5. Pengujian Berat Jenis Semen

3. Aspal

Pengujian berat jenis pada aspal yang dilakukan menggunakan standar

pengujian dari SNI 2441: 2011. Berat jenis aspal diperoleh dengan membandingkan

nilai berat pada aspal dengan berat air suling pada suhu dan isi yang sama.

Gambar 3.6. Pengujian Berat Jenis Aspal

43
3.5.3. Analisis Ayakan Agregat Kasar dan Agregat Halus

Pengujian ini dilakukan untuk menentukan distribusi ukuran butiran

(gradasi) agregat dengan membandingkan berat dari masing-masing ukuran agregat

terhadap berat total melalui proses pengayakan. Prosedur analisis ayakan agregat

kasar dan halus dilakukan berdasarkan SNI ASTM C136-2012.

Gambar 3.7. Analisis Ayakan pada Agregat

Untuk mengetahui persentase berat agregat yang hilang, maka perlu

menggunakan rumus sebagai berikut.

(A - B)
% hilang = x 100%
A

Dimana: A = Berat agregat sebelum pengujian (gr)

B = Berat agregat setelah pengujian (gr)

Catatan: % hilang harus ≤ 0.3%. Apabila > 0.3%, maka pengujian harus

diulang.

44
3.5.4. Karakteristik Aspal

1. Pengujian Penetrasi Aspal

Pengujian penetrasi aspal dilakukan untuk mengetahui tingkat kekerasan aspal

dengan menggunkan alat penetrometer. Pengujian ini dilakukan berdasarkan

standar SNI 2456: 2011.

Gambar 3.8. Pengujian Penetrasi Aspal

Nilai penetrasi (PEN) merupakan kedalaman jarum yang diberi beban sebesar

100 gram yang dimasukan ke dalam sampel aspal selama 5 detik dan dilakukan

pada temperatur 25°C, kemudian dibaca pada dial bacaan (dalam satuan 0.1 mm).

2. Pengujian Titik Lembek

Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui batas kekerasan bitumen dengan

menggunakan metode ring and ball. Untuk aspal penetrasi 60 memiliki titik lembek

pada temperatur 48oC hingga 58oC. Prosedur pemeriksaan titik lembek pada aspal

dilakukan sesuai dengan standar SNI 2434: 2011.

45
Gambar 3.9. Pengujian Titik Lembek Bitumen

3. Pengujian Titik Nyala dan Titik Bakar Aspal

Pengujian ini dilakukan berdasarkan standar SNI 2433:2011 yang

menggunakan alat Cleveland Open Cup untuk memanaskan bitumen di atas pelat

pemanas.

Gambar 3.10. Pengujian Titik Nyala dan Titik Bakar Bitumen

Pengujian dilakukan dengan mengukur dan mencatat perubahan suhu setiap

terjadi kenaikan 5°C hingga mencapai titik nyala (sampai terlihat percikan api).

Setelah itu, dilakukan pengetesan titik bakar dengan menyulutkan api di atas

bitumen setiap terjadi kenaikan suhu 2°C.

46
3.6. Penentuan Kadar Aspal Optimum (KAO)

Nilai KAO atau kadar aspal optimum dapat ditentukan dengan 2 metode yaitu

dengan menghitung secara teoritis maupun menentukannya melalui percobaan.

Berikut merupakan tahapan-tahapan penelitian yang dilakukan untuk menentukan

KAO.

3.6.1. Perencanaan Campuran

Perencanaan campuran dilakukan dengan berdasarkan hasil pengujian

karakteristik material yang telah dilakukan sebelumnya. Maka selanjutnya adalah

menghitung nilai kadar aspal optimum rencana menggunakan gradasi agregat

gabungan dengan jarak terhadap batas-batas berdasarkan tabel 6.3.2.3. Spesifikasi

Umum untuk Pekerjaan Konstruksi Jalan dan Jembatan Rev. 2 (2018:461), Bina

Marga. Perbandingan campuran untuk gradasi agregat gabungan ini harus memiliki

jarak terhadap batas-batas yang tercantum pada Tabel 3.2 sebagai berikut.

Tabel 3.2. Amplop Gradasi Agregat Gabungan Untuk Campuran Aspal

Sumber: Tabel 6.3.2.3 Spesifikasi Umum 2018 (Revisi 2)

47
Sehingga didapatkan variasi kadar aspal terhadap berat campurannya.

Kemudian dilanjutkan dengan menghitung berat jenis maksimum teoritis

campuran. Barulah setelah itu kebutuhan agregat per ukuran saringannya pada

campuran dapat dihitung. Berikut merupakan jumlah benda uji Marshall yang akan

dibuat untuk menentukan nilai KAO tercantum pada Tabel 3.3 sebagai berikut.:

Tabel 3.3. Jumlah Benda Uji Marshall

Kadar Aspal [%]


Jumlah
KAO
Benda Uji
5.5 6.0 6.5

Jumlah
HMA 3 3 3 9
Benda Uji

3.6.2. Pembuatan Benda Uji Marshall

Untuk pembuatan benda uji Marshall pada campuran aspal panas,

pencampuran agregat dengan aspal dilakukan pada saat agregat dan aspal telah

dipanaskan terlebih dahulu pada suhu 160℃. Setelah tercampur rata, campuran

agregat dan aspal dimasukkan lagi ke dalam oven sampai suhu campuran kembali

stabil pada suhu 160°C. Proses penaikan suhu setelah proses mixing dilakukan agar

suhu campuran yang telah turun ketika mixing dapat kembali naik dan stabil ketika

proses penumbukan.

Sebelum proses pemadatan dikerjakan, perlu dilakukan persiapan pada

cetakan benda uji terlebih dahulu dengan melapisi permukaan dalam cetakan

menggunakan vaseline dan melapisi permukaan alas dengan kertas pori. Kedua hal

48
ini dilakukan guna mencegah campuran aspal menempel pada cetakan. Setelah

persiapan pada cetakan selesai, letakkan cetakan pada mesin penumbuk otomatis.

Masukkan campuran aspal ke dalam cetakan dan ratakan permukaannya dengan

menggunakan sendok, kemudian tutup dengan kertas pori. Lakukan setting pada

mesin untuk pemadatan pada benda uji yaitu sebanyak 75 kali pada masing-masing

sisinya.

Setelah pemadatan selesai dilakukan, lepaskan alas cetakan dan dinginkan

campuran aspal sampai mencapai suhu yang cukup rendah. Kemudian keluarkan

benda uji dengan hydraulic pump dan letakkan benda uji pada suhu ruangan selama

24 jam.

3.6.3. Pengujian Nilai Rongga pada Benda Uji

Benda uji yang telah didiamkan selama 24 jam, akan diukur tinggi dan

ditimbang beratnya. Kemudian timbang benda uji di dalam air dengan menaruh

benda uji pada keranjang besi yang terisi air hingga benda uji terendam dan

diamkan hingga tidak ada lagi gelembung udara yang muncul ke permukaan air

atau hingga berat benda uji telah stabil (sekitar 5 menit). Catat hasil timbang benda

uji dalam air sebagai berat isi benda uji.

Kemudian keringkan benda uji dengan kain pada seluruh permukaan benda

uji. Timbang berat benda uji pada kondisi kering di permukaan sebagai berat kering

permukaan jenuh. Perhitungan nilai VIM, VMA, VFA, dan density didapatkan

dengan mengolah data berat benda uji yang ada dengan rumus yang telah dijabarkan

pada sub bab 2.8.2.

49
3.6.4. Pengujian Marshall

Standar yang digunakan dalam pengujian stabilitas dan flow pada campuran

aspal dengan marshall adalah ASTM D6927-06 Pengujian dengan alat marshall

dilakukan dengan mempersiapkan benda uji dengan melakukan perendaman di

dalam waterbath selama 30-40 menit dengan suhu air sebesar 60°C dan benda uji

harus sepenuhnya terendam oleh air. Kemudian setelah 30 menit, benda uji

kemudian dipasangkan pada alat uji marshall.

Pengujian per satu benda uji dengan alat marshall berjalan dengan cukup

cepat dimana tidak lebih dari 30 detik untuk tercapainya pembebanan maksimum.

Oleh karena itu, agar tidak ada data yang terlewat proses pengetesan dengan alat

marshall ini, penting untuk mendokumentasikannya dengan memastikan bahwa

nilai dan Gerakan kedua dial pada alat dapat terlihat dengan jelas. Kemudian

dilakukan pembacaan dan pencatatan hasil bacaan kedua dial pada alat sehingga

didapatkan nilai flow dan kuat tekan benda uji.

Pembebanan yang diberikan pada benda uji adalah sebesar 50 mm/menit

dengan kecepatan tetap dan dilakukan hingga pembebanan maksimum tercapai,

dimana dial tekan akan menurun. Catatlah pembebanan maksimum yang terjadi

pada benda uji.

50
3.7. Boiling Water Test (BWT)

Metode Boiling Water Test (BWT) dilakukan dengan mengacu pada standar uji

ASTM D3625. Berikut ini merupakan tahapan-tahapan metode boiling water test

dimulai dari perencanaan campuran, pembuatan benda uji, pelaksanaan boiling

water test, dan pengolahan data.

3.7.1. Perencanaan Campuran BWT

Perencanaan campuran benda uji boiling water test dilakukan dengan

berdasarkan hasil pengujian karakteristik material yang telah dilakukan

sebelumnya. Maka selanjutnya adalah menghitung mix design benda uji BWT

menggunakan gradasi agregat gabungan dengan persyarataan batas-batas

berdasarkan tabel 6.3.2.3. Spesifikasi Umum untuk Pekerjaan Konstruksi Jalan dan

Jembatan Rev. 2 (2018:461), Bina Marga. Berdasarkan ASTM D3625 berat

campuran aspal panas yang akan diuji sebesar 250gr oleh karena itu pada

perencanaan mix design benda uji BWT, berat benda uji total yang direncanakan

sebesar 300gr dengan mengunakan kadar aspal optimum yang didapatkan dari hasil

pengujian Marshall dan 50gr sisanya berfungsi sebagai cadangan jika terjadi

kehilangan pada saat proses pencampuran.

Perhitungan detail mix design benda uji BWT terlampir pada Lampiran D.

Dalam pengujian BWT digunakan empat variasi kadar polimer pada campuran

aspal panas. Benda uji dengan kadar polimer 0% dipakai sebagai control sample

sedangkan benda uji dengan kadar polimer 4%, 5%, dan 6% dipilih karena

merupakan kadar polimer yang disarankan oleh Iterchemica. Berikut merupakan

51
jumlah benda uji BWT yang akan dibuat untuk menentukan kadar polimer optimum

tercantum pada Tabel 3.4 sebagai berikut.

Tabel 3.4. Jumlah Benda Uji Boiling Water Test

Kadar Polimer [%] Jumlah


Boiling Water Test
Benda
(BWT)
0 4 5 6 Uji

Jumlah Benda
HMA 5 5 5 5 20
Uji

3.7.2. Pembuatan Benda Uji Boiling Water Test (BWT)

Pada penelitian ini polimer yang akan digunakan adalah kadar 0%, 4%, 5%,

dan 6% dari total berat aspal pada campuran. Penentuan kadar polimer ini diambil

berdasarkan pengujian Iterchemica dan diambil batas atas dan batas bawahnya.

Proses pembuatan benda uji menerapkan proses dry process yaitu aspal dan agregat

dipanaskan terlebih dahulu pada suhu 160oC kemudian dicampurkan bersamaan

dengan polimer.

Benda uji BWT berupa campuran lepas sehingga tidak dikompaksi. Setelah

proses pencampuran, benda uji ditimbang dan diambil sebanyak 250gr untuk

digunakan pada proses pengujian. Setelah ditimbang benda uji BWT dipanaskan

kembali dalam oven selama kurang lebih 30 menit sampai suhu campuran aspal

panas stabil pada suhu 160oC.

52
Gambar 3.11. Penimbangan Benda Uji BWT

3.7.3. Pelaksanaan Boiling Water Test (BWT)

Berdasarkan ASTM D3625 sebelum melakukan pengujian BWT, benda uji

terlebih dahulu didinginkan hingga mencapai suhu antara 85oC sampai 95oC.

Pengukuran suhu benda uji dilakukan dengan menembakan Thermogun pada benda

uji BWT seperti gambar 3.12

Gambar 3.12. Pengukuran Suhu Benda Uji BWT

Kemudian campuran aspal modifikasi polimer direndam dalam air

mendidih selama sekitar 10 menit ± 15 detik. Proses boiling ini dilakukan di atas
53
cawan yang telah diisi air suling dengan volume sekitar 800ml. Air suling

dipanaskan dengan menggunkan kompor listrik yang telah diatur suhunya sehingga

proses boiling bisa dilakukan secara konsisten. Pada akhir menit ke sepuluh, angkat

cawan yang berisi campuran dan air mendidih dari sumber pemanas. Kemudian

ambil aspal yang berada pada permukaan air seperti Gambar 3.13. untuk

menghindari terjadinya pelapisan kembali (recoating).

(a) Kadar Polimer 0% (b) Kadar Polimer 4% (c) Kadar Polimer 5% (d) Kadar Polimer 6%

Gambar 3.13. Benda Uji BWT Setelah Proses Boiling

Campuran aspal lalu didinginkan pada temperatur ruangan. Setelah

campuran aspal mencapai suhu ruangan tiriskan air dan letakan campuran basah

diatas lap untuk menyerap air. Seperti yang disebutkan sebelumnya, boiling water

test pada campuran aspal bersifat kualitatif yang bergantung pada penilaian penguji.

Untuk menghilangkan kerugian ini, pendekatan analisis digital image digunakan

untuk mengubah tes dari penilaian subjektif menjadi evaluasi yang lebih obyektif.

Setelah mendinginkan campuran yang mendidih ke suhu ruangan,

campuran aspal diletakan diatas green screen dan kemudian ambil beberapa foto

digital berwarna contohnya seperti Gambar 3.14. Dalam penelitian ini kamera yang

digunakan untuk mengambil foto adalah kamera handphone IPhone 11 Pro dengan

spesifikasi kamera 12 mega pixel. Setiap pixel memiliki warnanya sehingga dapat
54
di identifikasi menggunakan image proccesing software. Green screen digunakan

sebagai background untuk menghindari pantulan cahaya dan mempermudah dalam

mendeteksi background ketika proses pengolahan data. Kemudian foto digital ini

yang akan diolah mengunakan image processing software untuk mengetahui

coating area yang tersisa dari campuran setelah dilakukannya boiling water test.

Gambar 3.14. Pengambilan Gambar Digital Benda Uji BWT

3.7.4. Pengolahan Data Boiling Water Test

Dalam pengolahan data boiling water test dua image processing software

digunakan. Pada langkah pertama, gambar dalam format JPEG diimpor ke

perangkat lunak Adobe Photoshop untuk menyegmentasikan, dan memisahkan

latar belakang/background sehingga yang tersisa hanya area campuran aspal

modifikasi seperti pada Gambar 3.15.

55
Gambar 3.15. Hasil Penghilangan Background Benda Uji BWT

Gambar yang sudah di crop kemudian disimpan dalam format PNG untuk

menghindari penurunan kualitas dan ukuran. Kemudian gambar ditransfer ke

perangkat lunak Image J untuk menganalisis coating area yang tersisa setelah BWT.

Selanjutnya, menggunakan perintah image - type - 8 bit untuk mengkonversi

gambar berwarna ke gambar binary (hitam-putih). Kemudian, gunakan perintah

image - adjust - threshold, untuk menyesuaikan warna hitam dan putih melalui

metode trial and error. Apabila, ingin gambar memiliki warna berwarna hitam, klik

dark background seperti pada Gambar 3.16.

Gambar 3.16. Hasil Pengaturan Threshold

56
Dari trial and error yang dilakukan yaitu dengan menyesuaikan gradasi

warna yang diidentifikasi sebagai pengelupasan dengan gambar aktual, didapatkan

bahwa nilai threshold dengan rentang antara 20 sampai dengan 35 menjadi nilai

yang lebih realistis untuk mengenali pengelupasan area sampel. Berdasarkan

penelitain sebelumnya yang dilakukan oleh (Amelian et al., 2014; Kim et al., 2012)

untuk memperoleh perbandingan yang konsisten, hal terpenting adalah

mengunakan nilai threshold yang sama untuk semua pengujian. Oleh sebab itu

maka nilai threshold 20, 25, 30, dan 35 dipakai untuk mengidentifikasi

pengelupasan yang terjadi pada seluruh campuran aspal modifikasi yang nantinya

hasil dari keempat nilai threshold yang berbeda akan dibandingkan. Setelah selesai

mengatur nilai threshold, langkah selanjutnya adalah menggunakan perintah

analyze - set measurements untuk membatasi hasil apa aja yang perlu ditampilkan

nantinya. Dalam penelitian ini, set measurements menampilkan luas area (%) dan

dibatasi dengan nilai threshold (klik limit to threshold). Gunakan perintah analyze

- analyze particle untuk menampilkan hasil visual inspection (klik summarize). dan

akhirnya persentase coating area didapatkan seperti contohnya pada Gambar 3.17.

Gambar 3.17. Persentase Coating Area

57
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

4.1. Pendahuluan

Bab ini akan memperlihatkan hasil penelitian yang telah dilakukan. Hasil

penelitian ini meliputi hasil pengujian material, perhitungan kadar aspal optimum,

dan pengujian boiling water test pada benda uji. Analisis dari hasil pengujian ini

juga akan dibahas pada bab ini.

4.2. Hasil dan Analisis Pengujian Karakteristik Material

Karakteristik material yang digunakan harus memenuhi persyaratan yang ada.

Hasil pengujian terhadap karakteristik material yang telah dilakukan akan

dijabarkan pada sub-bab berikut.

4.2.1. Agregat Kasar, Agregat Halus, dan Filler

Berikut merupakan hasil pengujian terhadap berat jenis dan penyerapan air

pada agregat kasar, halus, dan berat jenis pada filler yang telah dilakukan:

Tabel 4.1. Hasil Pengujian Terhadap Berat Jenis Agregat dan Semen

No. Material Persyaratan Hasil


Bulk (gr/cc) 2,503
Min. 2,5
1 Agregat Kasar Apparent (gr/cc) 2,601
% Absorption Maks. 3,0 1,465
Bulk (gr/cc) 2,589
Min. 2,5
2 Agregat Halus Apparent (gr/cc) 2,656
% Absorption Maks. 3,0 0,965
3 Filler (gr/cc) - 2,936

58
Hasil pengujian terhadap berat jenis dan penyerapan air pada agregat kasar,

agregat halus, dan berat jenis filler menunjukkan bahwa material tersebut telah

memenuhi spesifikasi sesuai dengan standar Bina Marga 2010 revisi 3.

Selain menghitung berat jenis, pengujian terhadap agregat kasar dan halus

juga termasuk di dalamnya gradasi agregat. Hasil dari pengujian terhadap gradasi

agregat kasar dan agregat halus adalah sebagai berikut:

1. Agregat Kasar

Dilakukan tiga kali percobaan pada agregat kasar , berat awal rata-rata sebesar

2000 gram dan berat akhir rata-rata sebesar 1999,37 gram, sehingga diperoleh

% kehilangan rata-rata sebesar 0,03%.

Tabel 4.2. Hasil Analisis Ayakan Agregat Kasar

Ukuran Ayakan Berat % Kumulatif


Tertahan
ASTM (mm) Rata-rata (gr) Tertahan Lolos
1 1/2" 37,5 0 0.00 100.00
1" 25 154.07 7.71 92.29
3/4" 19 333.77 24.40 75.60
1/2" 12,5 624.10 55.61 44.39
3/8" 9,5 280.03 69.62 30.38
4 4,75 490.2 94.14 5.86
8 2,36 100.4 99.16 0.84
Pan 16.77 100.00 0.00

59
Analisis Ayakan Agregat Kasar
120.00

100.00

80.00
% Lolos

60.00

40.00

20.00

0.00
0 5 10 15 20 25 30 35 40
Ukuran Saringan (mm)

Gambar 4.1. Grafik Analisis Ayakan Agregat Kasar

2. Agregat Halus

Dilakukan tiga kali percobaan pada agregat halus, berat awal rata-rata sebesar

300 gram dan berat akhir rata-rata sebesar 299,3 gram, sehingga diperoleh %

kehilangan rata-rata sebesar 0,23%.

Tabel 4.3 Hasil Analisis Ayakan Agregat Halus

Ukuran Ayakan Berat % Kumulatif


Tertahan
ASTM (mm) Rata-rata (gr) Tertahan Lolos
3/8" 9,5 0.77 0.26 99.74
4 4,75 2.37 1.05 98.95
8 2,36 14.63 5.94 94.06
16 1,18 17.43 11.76 88.24
30 0,6 71.83 35.76 64.24
50 0,3 102.67 70.06 29.94
100 0,15 77.10 95.82 4.18
Pan 12.50 100.00 0.00

60
Analisis Ayakan Agregat Halus
120.00

100.00

80.00
% Lolos

60.00

40.00

20.00

0.00
0 1.5 3 4.5 6 7.5 9 10.5
Ukuran Saringan (mm)

Gambar 4.2. Grafik Analisis Ayakan Agregat Halus

4.2.2. Aspal Pen 60/70

Berikut merupakan hasil pengujian yang dilakukan terhadap material aspal

yang digunakan.

Tabel 4.4. Hasil Pengujian Terhadap Aspal Pen 60/70

No. Jenis pengujian Persyaratan Hasil

Penetrasi pada 25°C 100


1 60 - 70 62,67
gram, 5 detik (0.1 mm)

2 Titik Lembek (°C) Min. 48 49


3 Titik Nyala (°C) Min. 232 340
4 Titik Bakar (°C) - 347
5 Berat Jenis (gr/cc) Min. 1,0 1.075

Grafik mengenai titik lembek, titik nyala, dan titik bakar pada aspal akan

dicantumkan sebagai berikut.

61
Titik Lembek Aspal
60

50
Temperatur (C)

40

30

20

10

0
0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0

Waktu (menit)

Gambar 4.3. Grafik Titik Lembek Aspal

Titik Nyala dan Titik Bakar Aspal


365

340

315
Suhu (°C)

290

265

240

215

190

165
0 5 10 15 20
Waktu (menit)

Gambar 4.4. Grafik Titik Nyala dan Titik Bakar Bitumen

Dari hasil penelitian di atas, dapat dinyatakan bahwa pengujian terhadap

karakteristik aspal Pen 60/70 telah memenuhi ketentuan yang tercantum pada

Spesifikasi Umum 2018 Rev. 2 untuk aspal keras.

62
4.2. Perhitungan Desain Campuran Benda Uji Marshall

Perhitungan desain campuran (Mix Design) diperlukan sebagai acuan dalam

pembuatan benda uji. Mix design yang dibuat harus sesuai dengan ketentuan yang

berlaku di Bina Marga dan terlampir pada Lampiran B. Setelah mendapatkan

kebutuhan agregat dan aspal untuk campuran, dilanjutkan dengan proses

pencampuran seluruh material kemudian melakukan pemadatan benda uji dalam

cetakan dengan alat kompaksi. Setelah itu dilakukan pengujian dengan alat

marshall.

4.3. Hasil dan Analisis Uji Marshall

Berikut ini merupakan hasil pengukuran densitas, nilai rongga pada campuran

serta hasil pengujian marshall pada benda uji campuran aspal panas.

4.3.1. Hasil Pengujian Marshall Campuran Aspal Panas


Berikut merupakan rata-rata hasil perhitungan nilai rongga dan density pada

benda uji, serta nilai stabilitas, flow, dan MQ.

Tabel 4.5. Hasil Pengujian Marshall Campuran Aspal Panas

Kadar Aspal
No. Parameter Persyaratan
5.6% 6.1% 6.5%

1 Density (gr/cm3) - 2.124 2.179 2.125


2 VIM (%) 3,0 - 5,5 7.213 4.772 7.138
3 VMA (%) Min. 15 22.516 20.477 22.454
4 VFB (%) Min. 65 68.245 76.754 68.477
5 Stabilitas (kg) Min. 800 1033.908 1410.371 1053
6 Flow (mm) 2,0 - 4,0 3.133 3.5 3.8
7 MQ (kg/mm) Min. 250 329.5 407.1 278.2

63
4.3.2. Analisis Hasil Uji Marshall Campuran Aspal Panas

1) Density

Density pada benda uji didapatkan dengan menggunakan persamaan seperti

yang telah dijabarkan pada Lampiran C dengan memperhitungkan berat benda

uji pada kondisi kering, SSD, dan dalam air.

2.5

2.0
Density (g/cm3)

1.5

1.0

0.5

0.0
5,6 6,1 6,5
Kadar Aspal (%)

Gambar 4.5. Grafik Hubungan antara Kadar Aspal dan Density

Besaran nilai density merupakan tingkat kerapatan campuran setelah

dilakukan pemadatan. Dimana semakin tinggi nilai density suatu campuran

berbanding lurus dengan besarnya beban yang mampu ditahan oleh hasil

campuran. Pada Gambar 4.5. terlihat bahwa nilai densitas tertinggi terdapat pada

campuran dengan kadar aspal 6,1% pada campuran aspal panas. Maka, dapat

disimpulkan bahwa berdasarkan nilai densitasnya, campuran dengan kadar aspal

6,1% merupakan campuran yang mampu menahan beban terbesar diantara kedua

campuran lainnya.

64
2) Void in Mixture (VIM)

Nilai rongga udara yang terdapat pada campuran pada masing-masing kadar

aspal dinyatakan dalam persentase yang secara menyeluruh dapat dilihat pada

gambar dibawah ini.

5
VIM (%)

0
5,6 6,1 6,5
Kadar Aspal (%)

Gambar 4.6. Grafik Hubungan antara Kadar Aspal dan VIM

Berdasarkan pada gambar grafik diatas, campuran dengan kadar aspal 6,1%

memiliki nilai rata-rata VIM atau rongga udara yang paling kecil apabila

dibandingkan dengan campuran dengan kadar aspal 5,6% maupun 6,5%.

Persyaratan mengenai nilai VIM pada Revisi SNI 03-1737-1989 menyatakan

bahwa persyaratan nilai VIM pada hasil campuran Laston adalah sebesar 3,5%-

5,5%. Pada hasil pengujian yang dilakukan, nilai VIM pada campuran dengan

kadar aspal 6,1% memenuhi persyaratan SNI sedangkan pada campuran dengan

kadar aspal 5,6% dan 6.6% tidak memenuhi persyaratan SNI. Oleh karena itu,

dapat disimpulkan bahwa campuran dengan kadar aspal yang paling baik

65
berdasarkan nilai VIM adalah campuran dengan kadar aspal 6,1% dikarenakan

nilai VIM memenuhi persyaratan SNI.

3) Void in Mineral Aggregate (VMA)

Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan, didapatkan data nilai VMA

sebagai berikut.

25

20

15
VMA (%)

10

0
5.6 6.1 6.5
Kadar Aspal (%)

Gambar 4.7. Grafik Hubungan antara Kadar Aspal dan VMA

Nilai VMA yang disyaratkan untuk campuran Laston Panas berdasarkan

spesifikasi Bina Marga yaitu minimum 15%. Dari Gambar 4.7., dapat

dinyatakan bahwa ketiga kadar aspal memenuhi persyaratan tersebut. Namun,

nilai VMA yang akan memberikan performa yang terbaik yaitu campuran

dengan kadar aspal 6.1%, dengan nilai VMA terendah sebesar 20,477%. Hal ini

dikarenakan nilai VMA yang minimum akan memberikan ruang yang cukup

agar bitumen dapat melekat dengan agregat sedangkan apabila terlalu tinggi

maka campuran akan bersifat kurang kaku.

66
4) Void Filled with Bitumen (VFB)

Hasil pengujian terhadap nilai VFB dijabarkan dengan grafik hubungannya

terhadap kadar aspal pada campuran dibawah ini.

80

60
VFB (%)

40

20

0
5.6 6.1 6.5
Kadar Aspal (%)

Gambar 4.8. Grafik Hubungan antara Kadar Aspal dan VFB

Persyaratan untuk nilai VFB berdasarkan spesifikasi Bina Marga yaitu

minimum 65%. Nilai VFB yang diperoleh dari ketiga kadar aspal memenuhi

standar tersebut. Akan tetapi, nilai VFB tertinggi dimiliki oleh campuran

dengan kadar aspal 6.1% yaitu sebesar 76.754%, sehingga dapat disimpulkan

bahwa kadar aspal 6.1% merupakan kadar aspal yang optimal.

5) Stabilitas

Nilai stabilitas merupakan nilai yang menunjukkan kemampuan suatu lapis

perkerasan menahan deformasi akibat beban lalu lintas. Hasil nilai stabilitas

pada pengujian marshall didapatkan dengan pembacaan dial stabilitas yang

67
dikoreksi dengan angka kalibrasi berdasarkan tebal benda uji. Seperti yang

dilihat pada grafik di bawah ini yang menyatakan hubungan stabilitas dengan

kadar aspalnya.

1500
1350
1200
1050
Stabilitas (kg)

900
750
600
450
300
150
0
5.6 6.1 6.5
Kadar Aspal (%)

Gambar 4.9. Grafik Hubungan antara Kadar Aspal dan Stabilitas

Berdasarkan ketentuan Bina Marga nilai stabilitas untuk rancangan campuran

Laston AC-WC dengan lalu lintas berat yaitu minimum 800 kg. Dari hasil

pengujian, dapat dinyatakan bahwa ketiga kadar aspal memenuhi persyaratan

tersebut. Pada Gambar 4.9, diketahui bahwa nilai stabilitas mengalami

kenaikan ketika penambahan kadar aspal dari 5.6% ke 6.1%, lalu mengalami

penurunan ketika penambahan kadar aspal dari 6.1% ke 6.5%. Hal ini

menandakan bahwa nilai stabilitas telah mencapai puncaknya pada kadar aspal

6.1%. Oleh karena itu , kadar aspal 6.1% yang memiliki nilai stabilitas tertinggi

yaitu sebesar 1410.371 kg, dapat digunakan sebagai KAO untuk menghasilkan

campuran dengan ketahanan yang lebih baik.

68
6) Flow

Nilai flow pada umumnya dikaitkan dengan besar nilai stabilitas. Dimana

apabila memiliki nilai stabilitas tinggi dan nilai flow yang rendah akan

menyebabkan campuran cenderung kaku dan brittle/rapuh, sedangkan

campuran dengan nilai stabilitas yang rendah dan flow yang tinggi akan

menjadi plastis dan mudah berubah bentuk ketika diaplikasikan beban.

4
Flow (mm)

0
5.6 6.1 6.5
Kadar Aspal (%)

Gambar 4.10. Grafik Hubungan antara Kadar Aspal dan Flow

Pada Gambar 4.10 dapat diketahui bahwa nilai flow mengalami kenaikan

seiring dengan bertambahnya kadar aspal. Berdasarkan spesifikasi Bina Marga,

batas nilai flow untuk campuran Laston berada di antara 2.0 - 4.0 mm. Maka

dari itu, dapat dinyatakan bahwa semua campuran dengan tiga kadar aspal yang

berbeda memenuhi persyaratan.

69
7) Marshall Quotient (MQ)

Nilai MQ didapatkan dengan membagi hasil stabilitas yang telah dikalikan

angka koreksi dengan nilai flow yang ditunjukkan pada dial flow alat marshall.

450

400

350

300
MQ (kg/mm)

250

200

150

100

50

0
5.6 6.1 6.5
Kadar Aspal (%)

Gambar 4.11. Grafik Hubungan antara Kadar Aspal dan MQ

Persyaratan yang tertera pada Bina Marga menyatakan bahwa nilai MQ

minimal untuk campuran Laston adalah 250 kg/mm. Dari Gambar 4.11. dapat

diketahui bahwa semua campuran dengan kadar tiga kadar aspal yang berbeda

memenuhi nilai MQ minimal persyaratan Bina Marga.

4.4. Penentuan Kadar Aspal Optimum

Nilai Kadar aspal optimum (KAO) ditentukan dari analisis karakteristik uji

Marshall yang memenuhi spesifikasi yang disyaratkan oleh Bina Marga untuk nilai

VIM, VMA, VFB, stabilitas, flow, dan MQ pada suatu campuran beraspal.

Berdasarkan analisis pada sub-bab 4.3.2. dapat disimpulkan bahwa campuran

70
dengan kadar aspal 6.1% memenuhi semua persyaratan Bina Marga dan

menunjukan performa terbaik dalam setiap pengujian. Oleh sebab itu, kadar aspal

6.1% akan ditetapkan sebagai KAO dan digunakan sebagai acuan dalam pembuatan

benda uji boiling water test untuk menghasilkan campuran beraspal dengan

performa terbaik.

4.5. Hasil dan Analisis Boiling Water Test

Berikut merupakan hasil olah data 20 benda uji boiling water test dengan

modifikasi variasi kadar polimer yaitu kadar 0%, 4%, 5%,dan 6% menggunakan

image processing software berupa Adobe Photoshop dan Image J. Seperti yang

dijelaskan pada sub-bab 3.7.4. terdapat empat nlai threshold yaitu nilai 20, 25, 30,

dan 35 yang digunakan untuk membedakan area stripping dan non-stripping

campuran aspal setelah dilakukan boiling water test. Hasil pengolahan data 20

benda uji terlampir pada Lampiran E. Parameter yang diukur dalam

merepresentasikan tingkat adhesi pada campuran aspal panas modifikasi polimer

adalah berupa stripping ratio dan coating ratio hasil dari digital image procesing

tercantum pada Tabel 4.6.

71
Tabel 4.6. Hasil Boiling Water Test pada HMA Modifikasi Polimer

Persentase Persentase
Nilai Threshold Kadar Polimer Coating Rata2 Stripping Rata2
(%) (%)

0% 89.196 10.804
4% 91.036 8.964
Threshold 20
5% 92.454 7.546
6% 90.706 9.294
0% 86.736 13.264
4% 89.005 10.995
Threshold 25
5% 90.417 9.583
6% 88.193 11.807
0% 84.384 15.616
4% 87.053 12.947
Threshold 30
5% 88.421 11.579
6% 85.845 14.155
0% 82.123 17.877
4% 85.149 14.851
Threshold 35
5% 86.406 13.594
6% 83.562 16.438

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa, Pertama hasil BWT pada nilai

threshold 20, campuran aspal tanpa modifikasi polimer (kadar 0%) mengalami

stripping ratio rata-rata yang paling tinggi yaitu sebesar 10,804%. Sedangkan pada

campuran aspal dengan modifikasi polimer Superplast dapat dilihat penurunan nilai

stripping. Pada campuran dengan penambahan kadar polimer 4% mengalami

stripping ratio rata-rata sebesar 8,964%, pada campuran dengan penambahan kadar

polimer 5% mengalami stripping ratio rata-rata sebesar 7,546%, pada campuran

72
dengan penambahan kadar polimer 6% mengalami stripping rata-rata sebesar

9,294%.

Kedua hasil BWT pada nilai threshold 25, campuran aspal tanpa modifikasi

polimer (kadar 0%) mengalami stripping ratio rata-rata yang paling tinggi yaitu

sebesar 13,264%. Sedangkan pada campuran aspal dengan modifikasi polimer

Superplast dapat dilihat penurunan nilai stripping. Pada campuran dengan

penambahan kadar polimer 4% mengalami stripping ratio rata-rata sebesar

10,995%, pada campuran dengan penambahan kadar polimer 5% mengalami

stripping ratio rata-rata sebesar 9,583%, pada campuran dengan penambahan kadar

polimer 6% mengalami stripping rata-rata sebesar 11,807%.

Ketiga hasil BWT pada nilai threshold 30, campuran aspal tanpa modifikasi

polimer (kadar 0%) mengalami stripping ratio rata-rata yang paling tinggi yaitu

sebesar 15,616%. Sedangkan pada campuran aspal dengan modifikasi polimer

Superplast dapat dilihat penurunan nilai stripping. Pada campuran dengan

penambahan kadar polimer 4% mengalami stripping ratio rata-rata sebesar

12,947%, pada campuran dengan penambahan kadar polimer 5% mengalami

stripping ratio rata-rata sebesar 11,576%, pada campuran dengan penambahan

kadar polimer 6% mengalami stripping rata-rata sebesar 14,155%.

Keempat hasil BWT pada nilai threshold 35, campuran aspal tanpa

modifikasi polimer (kadar 0%) mengalami stripping ratio rata-rata yang paling

tinggi yaitu sebesar 17,877%. Sedangkan pada campuran aspal dengan modifikasi

polimer Superplast dapat dilihat penurunan nilai stripping. Pada campuran dengan

penambahan kadar polimer 4% mengalami stripping ratio rata-rata sebesar

73
14,851%, pada campuran dengan penambahan kadar polimer 5% mengalami

stripping ratio rata-rata sebesar 13,594%, pada campuran dengan penambahan

kadar polimer 6% mengalami stripping rata-rata sebesar 16,438%.Hasil yang telah

didapatkan akan dijabarkan dalam bentuk grafik dan dianalisis sebagai berikut.

GRAFIK COATING RATIO BENDA UJI BWT


Threshold 20 Threshold 25 Threshold 30 Threshold 35
94
92.454

92 91.036
90.706
90.417

90 89.196 89.005
88.421 88.193
COATING AREA (%)

88 87.053
86.736
86.406
85.845
86 85.149
84.384
83.562
84

82.123
82

80
0% 4% 5% 6%
KADAR POLIMER

Gambar 4.12. Grafik Coating Ratio Benda Uji BWT

Pada grafik diatas menunjukan bahwa nilai coating ratio terus meningkat

mulai dari benda uji tanpa polimer (kadar 0%) hingga benda uji dengan kadar

polimer 5% kemudian menurun saat mencapai campuran dengan kadar polimer 6%

kondisi yang sama ditunjukan pada semua nilai threshold. Hal ini menunjukkan

bahwa polimer memang terbukti dapat meningkatkan adhesi campuran dengan

memperkuat ikatan antara aspal dan agregat sehingga mampu menahan stripping

akibat moisture damage.


74
Selain itu, pengaruh penambahan polimer superplast juga terlihat pada

kondisi benda uji sebelum dilakukannya boiling water test seperti ditunjukan pada

Gambar 4.13. Dapat dilihat bahwa benda uji yang ditambahkan polimer superplast

memiliki permukaan yang lebih berkilau atau bersinar dibandingkan benda uji

tanpa penambahan polimer. Hal ini dapat diartikan bahwa lapisan agregat

terselimuti aspal lebih baik, karena sifat hydrophobic pada aspal modifikasi yang

menyebabkan campuran aspal lebih tahan air.

(a) Kadar Polimer 0% (b) Kadar Polimer 5%

Gambar 4.13 Benda Uji BWT Sebelum Pengujian

Kadar Polimer paling optimum dapat ditentukan dari melihat nilai coating

ratio yang dihasilkan dari setiap penambahan kadar polimer. Pada penelitian ini

campuran aspal modifikasi polimer dengan kadar 5% mengalami peningkatan

coating ratio yang paling tinggi atau maksimum jika dibandingkan dengan coating

ratio campuran aspal tanpa modifikasi polimer (kadar 0%). Peningkatan yang

terjadi sebesar 3,258% pada threshold 20, sebesar 3,682% pada threshold 25,

sebesar 4,037% pada threshold 30 dan yang terakhir sebesar 4,283% pada threshold

35. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kadar polimer optimum yang bekerja pada

aspal modifikasi polimer adalah pada penambahan kadar polimer 5%.

75
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Umum

Bab ini menjelaskan mengenai kesimpulan dari seluruh hasil penelitian yang

dilakukan dengan tujuan menjawab rumusan masalah yang dipaparkan. Bab ini juga

menguraikan saran yang dapat diperhatikan untuk penelitian sejenis yang dilakukan

dimasa yang akan datang. Diharapkan hasil evaluasi dapat berguna untuk

perkembangan penelitian mendatang.

5.2. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Mengacu pada hasil yang sudah dipaparkan bahwa penambahan polimer

superplast pada campuran aspal dapat meningkatkan tingkat adhesi dari

campuran aspal panas. Terlihat dari parameter coating ratio campuran aspal

panas sebelum ditambahkan polimer dan sesudah ditambahkan polimer. Secara

keseluruhan dapat terlihat peningkatan pada nilai coating ratio campuran aspal

panas dengan modifikasi polimer dibandingkan dengan campuran aspal panas

tanpa polimer.

2. Penambahan polimer pada campuran aspal panas menghasilkan benda uji

dengan coating ratio yang lebih tinggi dan stripping ratio yang lebih rendah

dibandingkan dengan benda uji tanpa polimer, dimulai dari penambahan

polimer dengan kadar 4%, 5%,dan 6%. Peningkatan Coating Ratio maksimum

terjadi pada penambahan polimer kadar 5% yaitu sebesar 3,258% pada

threshold 20, sebesar 3,682% pada threshold 25, sebesar 4,037% pada threshold

76
30 dan sebesar 4,283% pada threshold 35. Sedangkan mengalami penurunan

saat penambahan polimer kadar 6%. Maka dari hasil pengujian tersebut dapat

disimpulkan bahwa kadar polimer 5% merupakan kadar optimum yang bekerja

pada campuran aspal panas.

5.3. Saran

Berdasarkan pengalaman dari penelitian aspal modifikasi polimer dengan

metode Boiling Water Test, maka penulis akan memberikan saran untuk penelitian

yang akan dilakukan selanjutnya agar mendapatkan hasil yang lebih baik lagi.

Berikut saran dari peneliti:

1. Perlu dilakukan pengujian lebih lanjut mengenai perbandingan kinerja

polimer tingkat adhesi campuran aspal hangat sehingga dapat dibandingkan.

2. Perlu dilakukan pengujian lebih lanjut mengenai analisis tingkat adhesi

campuran aspal dengan metode boiling water test dengan menambahkan

parameter durasi perendaman sehingga didapatkan hasil pengelupasan yang

signifikan.

3. Saat proses pencampuran sangat disarankan untuk memakai sarung tangan,

masker, dan face shield agar aman bagi peneliti. Mengingat pada penelitian

mengunakan air mendidih yang dapat mengakibatkan luka bakar jika terkena.

4. Saat melakukan boiling water test suhu kompor harus dijaga untuk menjaga

kestabilan hasil pengujian, mengingat bahwa material aspal merupakan

material yang sensitif terhadap perubahan temperatur.

77
5. Memeriksa dan memastikan bahwa alat dan peralatan yang digunakan dalam

penelitian dalam kondisi yang baik sehingga tidak berdampak pada hasil

penelitian.

6. Sebelum membuat kesimpulan dari gambar hasil digital analysis, sebaiknya

memperhatikan dan memeriksa kembali beberapa faktor yang berkaitan

dengan image processing, seperti nilai threshold yang digunakan.

7. Dapat dilakukan penimbangan benda uji sebelum dilakukan BWT dan setelah

dilakukan BWT untuk melihat persentase kehilangan yang terjadi sehingga

dapat dibandingkan dan dijadikan acuan dalam memilih nilai threshold pada

saat digital image analysis.

8. Dapat menggunakan software lain untuk membandingkan dengan hasil yang

diperoleh dari Image J, seperti Image Processing & Analysis System (iPas)

9. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai dampak penambahan polimer

Superplast pada campuran aspal dengan suhu pengujian yang berbeda.

78
DAFTAR PUSTAKA
Alfayez, S. A., Suleiman, A. R., & Nehdi, M. L. (2020). Recycling tire rubber in
asphalt pavements: State of the art. Sustainability (Switzerland), 12(21), 1–15.
https://doi.org/10.3390/su12219076
Amelian, S., Abtahi, S. M., & Hejazi, S. M. (2014). Moisture susceptibility
evaluation of asphalt mixes based on image analysis. Construction and
Building Materials, 63(July), 294–302.
https://doi.org/10.1016/j.conbuildmat.2014.04.012
American Journal of Sociology. (2019). Superplast High Performance Polymer.
Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.
Amit, B. (2006). DEVELOPMENT OF METHODS TO QUANTIFY BITUMEN-
AGGREGATE ADHESION AND LOSS OF ADHESION DUE TO WATER.
Qualitative Research in Psychology, 0(2), 47–54.
ASTM D3625M-12. “Standard Practice for Effect of Water on Bituminous-Coated
Aggregate Using Boiling Water”. ASTM International.
Brasileiro, L., Moreno-Navarro, F., Tauste-Martínez, R., Matos, J., & Rubio-
Gámez, M. del C. (2019). Reclaimed polymers as asphalt binder modifiers for
more sustainable roads: A review. Sustainability (Switzerland), 11(3), 1–20.
https://doi.org/10.3390/su11030646
Brown, B. D. C. (2008). Warm Mix : the Lights are Green. HMAT: Hot Mix
Asphalt Technology, 13, 20–32.
Brown, E. R., & Kandhal, P. S. (2001). PERFORMANCE TESTING FOR By.
November.
Islam, R., & Tarefder, R. A. (2014). Tensile Strength of Asphalt Concrete due to
Moisture Conditioning. 8(9), 951–954.
Kementerian Pekerjaan Umum. 2013. Manual Desain Perkerasan Jalan Nomor
02/M/BM/2013. Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta.
Kementerian Pekerjaan Umum. 2017. Manual Desain Perkerasan Jalan Nomor
02/M/BM/2017. Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat; Direktorat Jenderal Bina
Marga. (2010). Spesifikasi Umum 2010 (Revisi 3) Divisi 6 (pp. 1–89).
Kim, Y. R., Pinto, I., & Park, S. W. (2012). Experimental evaluation of anti-
stripping additives in bituminous mixtures through multiple scale laboratory
test results. Construction and Building Materials, 29, 386–393.
https://doi.org/10.1016/j.conbuildmat.2011.10.012
Liu, Y., Apeagyei, A., Ahmad, N., Grenfell, J., & Airey, G. (2014). Examination of
79
moisture sensitivity of aggregate-bitumen bonding strength using loose asphalt
mixture and physico-chemical surface energy property tests. In International
Journal of Pavement Engineering (Vol. 15, Issue 7, pp. 657–670). Taylor &
Francis. https://doi.org/10.1080/10298436.2013.855312
Nainggolan, R. A. (2005). Perbandingan karakteristik campuran beraspal polymer
elastomer dan plastomer.

R. P. LOTTMAN. (1982). Predicting Moistur-Induced Damage To Asphaltic


Concrete Field Evaluation. In NCHRP Report (Issue 192).
Roy, D. (2013). ACCREDITATION OF NEW MATERIALS AND TECHNIQUES.
SNI 03-6723-2002. “Spesifikasi Bahan Pengisi untuk Campuran Beraspal”. Badan
Standardisasi Nasional.
SNI 1969:2008. “Cara Uji Berat Jenis dan Penyerapan Air Agregat Kasar”. Badan
Standardisasi Nasional.
Sukirman, Silvia. (2016). “Beton Aspal Campuran Panas”. Bandung: Institut
Teknologi Nasional
Sulistiyatno, A. (Institut T. S. N. (2012). Studi Pengaruh Genangan Air Terhadap
Kerusakan Jalan Aspal dan Perencanaan Subdrain Untuk Ruas Jl. Rungkut
Industri Raya, Jl. Rungkut Kidul Raya, Surabaya. Jurnal Teknik POMITS Vol.
1 No. 1, 1(1), 1–6.
Suroso, T. (2008). Pengaruh Penambahan Plastik Ldpe. 3, 208–222.
Spesifikasi Umum. (2018). Spesifikasi Umum 2018. September.
Totomihardjo, S. 2004. Bahan dan Struktur Jalan Raya. Biro Penerbit Teknik Sipil,
Yogyakarta
Trejbal, J., Prošek, Z., & Valentová, T. (2018). Assessment of Adhesion Between
Mineral Aggregate and Bituminous Binder Using Digital Image Analysis.
Acta Polytechnica CTU Proceedings, 15, 126–130.
https://doi.org/10.14311/app.2018.15.0126

80
LAMPIRAN A
PENGUJIAN KARAKTERISTIK MATERIAL

81
LAMPIRAN A
PENGUJIAN KARAKTERISTIK MATERIAL

Berikut merupakan langkah-langkah pengujian karakteristik material antara lain:

1. Berat Jenis Agregat Kasar


Pada pengujian ini telah meliputi di dalamnya penentuan berat jenis (specific
gravity) dan penyerapan pada agregat kasar yang mengacu pada SNI
1969:2008. Pengujian berat jenis dan penyerapan agregat kasar dilakukan
sebanyak 3 (tiga) kali. Pengujian ini dilakukan setelah sampel agregat kasar
yang berada pada kondisi kering oven atau telah melalui pemanasan pada suhu
110 ± 5°C selama 24 jam telah melewati proses perendaman dalam air selama
24 ± 4 jam. Kemudian sampel agregat dikeluarkan dan dikeringkan dengan
bantuan kipas angin dan menggunakan kain dengan bahan yang menyerap air
hingga lapisan air pada seluruh permukaan agregat yang dapat dilihat secara
langsung telah hilang. Agregat kasar kemudian ditimbang dan hasil
penimbangan dicatat sebagai berat sampel pada kondisi SSD (surface dry).
Setelah itu dilakukan penimbangan terhadap berat agregat di dalam air dengan
meletakkan sampel agregat ke dalam keranjang yang berisikan air sampai
seluruh permukaan sampel berada di bawah permukaan air. Suhu air yang
digunakan dikondisikan untuk berada pada kisaran 23 ± 1,7°C. Hasil
penimbangan ini kembali dicatat sebagai berat agregat di dalam air. Sampel
yang telah ditimbang di dalam air kemudian kembali dikeringkan hingga
kering sepenuhnya lalu sampel agregat kembali ditimbang dan hasilnya dicatat
sebagai berat agregat kering.

2. Berat Jenis Agregat Halus

Pengujian ini mencakup penentuan bulk dan apparent specific gravity, serta
persentase penyerapan pada agregat halus dengan menggunakan Langkah
berdasarkan standar SNI 1970: 2008. Pengujian terhadap berat jenis dan
penyerapan agregat halus dilakukan sebanyak tiga kali. Pemilihan sampel
A-1
LAMPIRAN A
PENGUJIAN KARAKTERISTIK MATERIAL

agregat halus dilakukan setelah sampel pada kondisi kering oven di suhu 110
± 5°C telah direndam dengan air selama 24 ± 4 jam. Setelah perendaman, air
yang digunakan untuk merendam sampel dibuang dan kemudian sampel
diletakkan secara merata (tersebar) di permukaan yang telah sebelumnya
dilapisi dengan alas (bisa menggunakan karung, koran, kardus, atau bahan lain
sebagainya). Fungsi dari penyebaran sampel pada permukaan yang telah diberi
alas adalah agar proses pengeringan sampel berjalan dengan lebih cepat.

Sampel yang telah tersebar kemudian diangin-anginkan hingga mencapai


kondisi SSD. Untuk melihat apakah sampel telah mencapai kondisi tersebut
dapat dilakukan pengecekan dengan kerucut besi dengan cara mengisi kerucut
dengan sampel agregat halus hingga penuh. Kemudian dipadatkan dengan
penumbuk logam dengan menjatuhkan penumbuk dari ketinggian lima
milimeter di atas agregat sebanyak 25 kali. Apabila setelah penumbukan dan
kerucut diangkat agregat mengalami sedikit penurunan, maka kondisi SSD
telah tercapai. Jika tidak, maka sampel kembali dianginkan dan pengetesan
dilakukan lagi hingga kondisi SSD telah terpenuhi. Pengujian dilakukan
dengan mengambil agregat halus dengan kondisi SSD seberat 500 ± 10 gram
untuk satu buah sampel (berat sampel yang diambil dicatat sebagai data berat
agregat dalam kondisi SSD). Sampel agregat kemudian dimasukkan ke dalam
gelas ukur berkapasitas 500 ml dan setelah itu, gelas ukur yang telah berisi
pasir ditambahkan air hingga mencapai 90% dari kapasitas gelas ukur. Lalu
dilakukan pengadukan sampel di dalam gelas ukur selama 15-20 menit hingga
gelembung udara pada gelas ukur telah hilang. Gelas ukur yang telah diaduk,
kemudian direndam di dalam air hingga suhu larutan agregat halus pada gelas
ukur mencapai 23 ± 1.7°C. Setelah itu, tambahkan air hingga batas kalibrasi
gelas ukur.

A-2
LAMPIRAN A
PENGUJIAN KARAKTERISTIK MATERIAL

Berat gelas ukur yang berisi agregat dan air kemudian diukur dan dicatat.
Kemudian tuang kembali larutan agregat halus ke dalam wadah dan
dimasukkan ke oven dengan suhu 110 ± 5°C selama 24 jam. Sampel yang telah
dikeluarkan dari oven dan didinginkan kembali ditimang dan dicatat sebagai
berat agregat.

3. Berat Jenis Semen Portland

Pengujian pada berat jenis semen Portland dilakukan berdasarkan standar uji
yang tertera pada Sebelum dilakukan pengujian berat jenis pada semen
Portland, siapkan terlebih dahulu larutan kerosin bebas air (naphta) dengan
berat jenis 62 API (American Petroleum Institute) dan 2 buah botol Le
Chatelier.

Pertama-tama, lakukan pengisian pada kedua botol Le Chatelier dengan larutan


kerosin hingga skala antara nol dan satu. Kemudian botol dimasukkan ke dalam
wadah yang berisikan air dengan suhu konstan hingga tidak terjadi perubahan
suhu lebih dari 0,2°C pada botol. Lakukan pembacaan dan pencatatan skala
awal sebagai bacaan pertama.

Setelah itu, semen seberat 64 gram dimasukkan secara bertahap ke dalam botol
Le Chatelier agar jangan sampai ada semen yang menempel pada dinding
dalam botol Le Chatelier di atas cairan. Setelah semen telah dimasukkan, putar
dan miringkan botol Le Chatelier secara perlahan sampai tidak terdapat
gelembung udara pada permukaan cairan.

Kemudian kembali rendam botol Le Chatelier dalam air hingga suhu cairan
dalam botol Le Chatelier dalam keadaan konstan. Lakukan lagi pembacaan dan
pencatatan pada skala di botol Le Chatelier sebagai bacaan kedua.

A-3
LAMPIRAN A
PENGUJIAN KARAKTERISTIK MATERIAL

4. Gradasi Agregat Kasar dan Halus

Pengujian ini dilakukan dengan kondisi awal agregat adalah kondisi kering
oven (telah melalui proses pemanasan dengan suhu 110 ± 5 °C selama 24 jam)
dan ditimbang beratnya.

Kemudian susun ayakan yang akan digunakan sesuai urutannya dengan ayakan
dengan ukuran saringan paling kecil berada di bawah. Urutan saringan yang
digunakan pada pengujian ini adalah:

a. Agregat Kasar : 11/2” (37.5mm), 1” (25mm), 3/4” (19mm), 1/2”


(12.5mm), 3/8” (9.5mm), No.4(4.75mm), No.8 (2.36mm), pan

b. Agregat Halus : 3/8” (9.5mm), No.4(4.75mm), No.8 (2.36mm), No.16


(1.18mm), No.30 (0.6mm), No.50 (0.3mm), No.100 (0.15mm), pan

Kemudian, sampel agregat yang telah ditimbang berat awalnya dimasukkan


ke dalam susunan ayakan paling atas dan ditutup. Lama pengayakan untuk
satu buah sampel dengan mesin pengayak adalah enam menit. Setelah mesin
pengayak berhenti, diamkan selama satu menit sebelum dibuka dan ditimbang
agar debu dalam saringan mengendap terlebih dahulu. Timbang dan catat hasil
berat agregat yang tertinggal pada masing-masing ukuran saringan/ ayakan.
Pengujian ini dilakukan sebanyak masing-masing tiga kali untuk agregat kasar
dan agregat halus.

5. Berat Jenis Aspal Pen 60/70

Pengujian berat jenis pada bitumen yang dilakukan menggunakan standar


pengujian dari SNI 2441: 2011. Berat jenis bitumen diperoleh dengan
membandingkan nilai berat pada bitumen dengan berat air suling pada suhu
dan isi yang sama. Untuk pengujian ini, penting untuk menggunakan

A-4
LAMPIRAN A
PENGUJIAN KARAKTERISTIK MATERIAL

timbangan dengan ketelitian 0,01 gram agar menghasilkan data yang lebih
akurat.

Timbang dan mendata hasil berat piknometer beserta tutupnya dalam keadaan
masih kosong dan kering. Kemudian, isi piknometer dengan air suling hingga
penuh dan tutup. Masukkan piknometer pada wadah yang berisikan air suling
hingga piknometer terendam setinggi 40 mm. Setelah itu, masukkan bejana
tersebut ke dalam waterbath yang berisi air hingga terendam minimal 100 mm
dengan suhu air 30°C selama 30 menit. Angkat dan keringkan piknometer
untuk kembali ditimbang sebagai berat piknometer berisi air setelah
perendaman selama 30 menit.

Buang air dalam piknometer dan dalam kondisi piknometer yang sudah kering,
masukkan aspal yang telah dipanaskan hingga cair (pemanasan sampel aspal
tidak lebih dari 30 menit dengan suhu 56°C di atas titik lembek) hingga mengisi
¾ bagian dari piknometer. Setelah aspal dalam piknometer telah dingin,
timbang piknometer beserta tutupnya dan catat sebagai berat piknometer berisi
benda uji.

Isi piknometer yang berisi benda uji dengan air suling hingga penuh. Tutup
piknometer tanpa menekan penutupnya dan diamkan hingga tidak ada
gelembung udara dalam piknometer. Kemudian, letakkan kembali piknometer
dalam bejana berisi air suling dan rendam dalam waterbath pada suhu yang
sama seperti sebelumnya selama 30 menit. Lalu angkat dan keringkan
piknometer untuk kembali ditimbang dan dicatat beratnya sebagai berat
piknometer berisi benda uji dan air.

A-5
LAMPIRAN B
PERHITUNGAN MIX DESIGN BENDA UJI MARSHALL
LAMPIRAN B
PERHITUNGAN MIX DESIGN BENDA UJI
MARSHALL

1. Perhitungan mix design campuran kadar aspal 5.6%

% of Weight (gr)
Spesifikasi aggregate
Ukuran Cumulative % Cumulative % retained on Weight Kadar Aspal
No. Persen Berat Gsa
Ayakan of aggregate of aggregate each sieve (with %mass/density
Saringan Lolos AC- passing retained +% of (gr/cm3)
(mm) bit) [%]
WC bitumen 5.60%
used
3/4" 19 100 100 0 0 0.0 0 2.503 0
Agregat Kasar

1/2" 12.5 90 — 100 95 5 5 4.7 74.25 2.503 1.89E-05


3/8" 9.5 77 — 90 83.5 16.5 11.5 10.9 170.78 2.503 4.35E-05
4 4.75 53 — 69 61 39 22.5 21.3 334.13 2.503 8.51E-05
8 2.36 33 — 53 43 57 18 17.0 267.31 2.503 6.81E-05
16 1.18 21 — 40 30.5 69.5 12.5 11.8 185.63 2.589 4.57E-05
Agregat Halus

30 0.6 14 — 30 22 78 8.5 8.0 126.23 2.589 3.11E-05


50 0.3 9 — 22 15.5 84.5 6.5 6.2 96.53 2.589 2.38E-05
100 0.15 6 — 15 10.5 89.5 5 4.7 74.25 2.589 1.83E-05
200 0.075 4—9 6.5 93.5 4 3.8 59.40 2.589 1.46E-05
filler - <0,075 0 100 6.5 6.2 96.53 2.936 2.1E-05
Bitumen/total aggeragate (60/70) 5.6 5.3 83.16 1.075 4.93E-05
Total 105.6 100 1568.205 - 0.000419

B-1
LAMPIRAN B
PERHITUNGAN MIX DESIGN BENDA UJI
MARSHALL

2. Perhitungan mix design campuran aspal kadar 6.1%

% of Weight
Spesifikasi aggregate
retained Weight Kadar
Ukuran Persen Cumulative % Cumulative % Aspal
No. on each (with Gsa
Ayakan Berat of aggregate of aggregate %mass/density
Saringan passing retained
sieve +% bit) (gr/cm3)
(mm) Lolos AC-
WC
of
bitumen
[%]
6.10%
used
3/4" 19 100 100 0 0 0 0 2.503 0
Agregat Kasar

1/2" 12.5 90 — 100 95 5 5 4.7 73.48 2.503 1.88275E-05


3/8" 9.5 77 — 90 83.5 16.5 11.5 10.8 169.01 2.503 4.33034E-05
4 4.75 53 — 69 61 39 22.5 21.2 330.66 2.503 8.4724E-05
8 2.36 33 — 53 43 57 18 17.0 264.53 2.503 6.77792E-05
16 1.18 21 — 40 30.5 69.5 12.5 11.8 183.70 2.589 4.55054E-05
Agregat Halus

30 0.6 14 — 30 22 78 8.5 8.0 124.92 2.589 3.09436E-05


50 0.3 9 — 22 15.5 84.5 6.5 6.1 95.52 2.589 2.36628E-05
100 0.15 6 — 15 10.5 89.5 5 4.7 73.48 2.589 1.82021E-05
200 0.075 4—9 6.5 93.5 4 3.8 58.78 2.589 1.45617E-05
filler - <0,075 0 100 6.5 6.1 95.52 2.936 2.08661E-05
Bitumen/total aggeragate (60/70) 6.1 5.7 89.65 1.075 5.34818E-05
Total 106.1 100 1559.257 - 0.000422

B-2
LAMPIRAN B
PERHITUNGAN MIX DESIGN BENDA UJI
MARSHALL

3. Perhitungan mix design campuran aspal kadar 6.5%


% of Weight
aggregate Kadar
Spesifikasi retained Weight
Ukuran Cumulative % Cumulative % Aspal
No. Persen on each (with Gsa
Ayakan of aggregate of aggregate %mass/density
Saringan Berat Lolos passing retained
sieve +% bit) (gr/cm3)
(mm)
AC-WC of
bitumen
[%] 6.50%
used
3/4" 19 100 100 0 0 0 0 2.503 0
Agregat Kasar

1/2" 12.5 90 — 100 95 5 5 4.7 72.87 2.503 1.87568E-05


3/8" 9.5 77 — 90 83.5 16.5 11.5 10.8 167.61 2.503 4.31407E-05
4 4.75 53 — 69 61 39 22.5 21.1 327.94 2.503 8.44058E-05
8 2.36 33 — 53 43 57 18 16.9 262.35 2.503 6.75246E-05
16 1.18 21 — 40 30.5 69.5 12.5 11.7 182.19 2.589 4.53345E-05
Agregat Halus

30 0.6 14 — 30 22 78 8.5 8.0 123.89 2.589 3.08274E-05


50 0.3 9 — 22 15.5 84.5 6.5 6.1 94.74 2.589 2.35739E-05
100 0.15 6 — 15 10.5 89.5 5 4.7 72.87 2.589 1.81338E-05
200 0.075 4—9 6.5 93.5 4 3.8 58.30 2.589 1.4507E-05
filler - <0,075 0 100 6.5 6.1 94.74 2.936 2.07878E-05
Bitumen/total aggeragate (60/70) 6.5 6.1 94.74 1.075 5.67748E-05
Total 106.5 100 1552.231 - 0.000423767

B-3
LAMPIRAN C
PERHITUNGAN PENGUJIAN MARSHALL
LAMPIRAN C
PERHITUNGAN PENGUJIAN MARSHALL

1. Perhitungan Volumetrik Campuran Aspal Benda Uji Marshall

Berat (kg) Rongga


Kadar Rongga Rongga
BJ Campuran Density Density Terisi
No Aspal Udara Agregate
Aspal Teoritis Air [kg/m2] Aspal
[%] Di (VIM) (VMA)
Di Air Kering (VFB)
Udara

815.3 1502.5 1489.8 2159.906 5.628 21.192 73.445

1 5.6 2288.71 996.300 800.5 1525.3 1510.2 2075.900 9.298 24.257 61.669

851 1585.3 1573.6 2135.064 6.713 22.099 69.622

817.1 1513.5 1510.9 2161.559 5.556 21.132 73.710

2 6.1 2275.65 996.300 826.2 1514.7 1508.2 2182.454 4.643 20.370 77.209

838 1529.9 1524.0 2194.481 4.117 19.931 79.343

831.2 1559.1 1550.8 2122.630 7.256 22.552 67.824

3 6.5 2265.40 996.300 808.6 1538.3 1527.4 2085.444 8.881 23.909 62.855

818.7 1508.5 1501.0 2167.942 5.277 20.899 74.752

C-1
LAMPIRAN C
PERHITUNGAN PENGUJIAN MARSHALL

2. Perhitungan Parameter Stabilitas,Flow, MQ Campuran Aspal Benda Uji Marshall

Stabilitas (kg)
Kelelehan (Flow) mm MQ
Bacaan Hasil

114 932.9726562 3 311.0


127 1039.364275 3.1 335.3

138 1129.387952 3.3 342.2


3.2
161 1317.619278 411.8
3.7
180 1473.11472 398.1
3.5
176 1440.378838 411.5
3.9
119 973.8925096 249.7
3.9
126 1031.180304 264.4
3.6
141 1153.939864 320.5

C-2
LAMPIRAN D
PERHITUNGAN MIX DESIGN BENDA UJI BOILING WATER

TEST (BWT)
LAMPIRAN D
PERHITUNGAN MIX DESIGN BENDA UJI BOILING

WATER TEST (BWT)


1. Tabel perhitungan mix design benda uji boiling water test
% of Weight
aggregate Kadar
Spesifikasi retained
Ukuran Cumulative % Cumulative % Weight Aspal
No. Persen on each
Ayakan of aggregate of aggregate (with bit)
Saringan Berat Lolos passing retained
sieve +%
(mm) [%]
AC-WC of
bitumen 6.10%
used
3/4" 19 100 100 0 0 0 0
Agregat
Kasar

1/2" 12.5 90 — 100 95 5 5 4.7 14.14


3/8" 9.5 77 — 90 83.5 16.5 11.5 10.8 32.52
4 4.75 53 — 69 61 39 22.5 21.2 63.62
8 2.36 33 — 53 43 57 18 17.0 50.90
Agregat Halus

16 1.18 21 — 40 30.5 69.5 12.5 11.8 35.34


30 0.6 14 — 30 22 78 8.5 8.0 24.03
50 0.3 9 — 22 15.5 84.5 6.5 6.1 18.38
100 0.15 6 — 15 10.5 89.5 5 4.7 14.14
200 0.075 4—9 6.5 93.5 4 3.8 11.31
filler - <0,075 - 0 100 6.5 6.1 18.38
Bitumen/total aggeragate (60/70) 6.1 5.7 17.25
Total 106.1 100 300.000

D-1
LAMPIRAN E
PENGOLAHAN DATA BENDA UJI BOILING WATER TEST

DENGAN IMAGE PROCESSING SOFTWAE


LAMPIRAN E
PENGOLAHAN DATA BENDA UJI BOILING WATER TEST
DENGAN IMAGE PROCESSING SOFTWAE
1. Pengolahan Data Benda Uji Boiling Water Test Dengan Kadar Polimer 0%

E-1
LAMPIRAN E
PENGOLAHAN DATA BENDA UJI BOILING WATER TEST
DENGAN IMAGE PROCESSING SOFTWAE
2. Pengolahan Data Benda Uji Boiling Water Test Dengan Kadar Polimer 4%

E-2
LAMPIRAN E
PENGOLAHAN DATA BENDA UJI BOILING WATER TEST
DENGAN IMAGE PROCESSING SOFTWAE

3. Pengolahan Data Benda Uji Boiling Water Test Dengan Kadar Polimer 5%

E-3
LAMPIRAN E
PENGOLAHAN DATA BENDA UJI BOILING WATER TEST
DENGAN IMAGE PROCESSING SOFTWAE

4. Pengolahan Data Benda Uji Boiling Water Test Dengan Kadar Polimer 6%

E-4

Anda mungkin juga menyukai