Anda di halaman 1dari 200

port SKRIPSI

ANALISIS SIFAT MEKANIS DAN FRAKTUR CAMPURAN



ASPAL HANGAT YANG DIMODIFIKASI DENGAN

TEKNOLOGI POLIMER SINTETIK TERHADAP

PROSES PENUAAN (AGEING)

Ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan akademik


guna memperoleh gelar Sarjana Teknik

Oleh:
NAMA : ERIK SURYA SETYAWAN
NPM : 01021170004

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
TANGERANG
2021
SKRIPSI

ANALISIS SIFAT MEKANIS DAN FRAKTUR CAMPURAN

ASPAL HANGAT YANG DIMODIFIKASI DENGAN

TEKNOLOGI POLIMER SINTETIK TERHADAP

PROSES PENUAAN (AGEING)

Ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan akademik


guna memperoleh gelar Sarjana Teknik

Oleh:
NAMA : ERIK SURYA SETYAWAN
NPM : 01021170004

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
TANGERANG
2021
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING SKRIPSI

ANALISIS SIFAT MEKANIS DAN FRAKTUR CAMPURAN ASPAL


HANGAT YANG DIMODIFIKASI DENGAN TEKNOLOGI POLIMER
SINTETIK TERHADAP PROSES PENUAAN (AGEING)

Oleh:
Nama : Erik Surya Setyawan
NPM : 01021170004
Program Studi : Teknik Sipil

Telah dipertahankan dalam Sidang Skripsi dan disetujui oleh dosen pembimbing
skripsi guna memperoleh gelar Sarjana Teknik pada Program Studi Teknik Sipil,
Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Pelita Harapan, Jakarta.

Tangerang, 30 Juli 2021


Menyetujui,
Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

2021.07.30
13:31:
23+07'00'
(Christian Gerald Daniel, S.T., M.Sc.) (Dr.-Ing. Jack Widjajakusuma)
Mengetahui,
Ketua Program Studi Teknik Sipil Dekan Fakultas Sains dan Teknologi

(Sadvent M. Purba, S.T., M.Sc.) (Eric Jobiliong, Ph.D.)


UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

PERSETUJUAN TIM PENGUJI SKRIPSI

Pada Juli 2021, telah diselenggarakan Sidang Skripsi untuk memenuhi sebagian
persyaratan akademik guna memperoleh gelar Sarjana Teknik pada Program Studi
Teknik Sipil, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Pelita Harapan, atas nama:

Nama : Erik Surya Setyawan


NPM : 01021170004
Program Studi : Teknik Sipil
Fakultas : Sains dan Teknologi

dengan Skripsi yang berjudul “ANALISIS SIFAT MEKANIS DAN FRAKTUR


CAMPURAN ASPAL HANGAT YANG DIMODIFIKASI DENGAN
TEKNOLOGI POLIMER SINTETIK TERHADAP PROSES PENUAAN
(AGEING)” dan telah berhasil dipertahankan dan disetujui oleh tim penguji yang
terdiri dari:

Nama Penguji Jabatan dalam Tim Penguji Tanda Tangan

1. Prof. Dr. Ir. Wiryanto Dewobroto, M.T., sebagai Ketua

2. Christian Gerald Daniel, S.T., M.Sc., sebagai Anggota

3. Sadvent M. Purba S.T., M.Sc., sebagai Anggota


ABSTRAK

Erik Surya Setyawan (01021170004)

ANALISIS SIFAT MEKANIS DAN FRAKTUR CAMPURAN ASPAL


HANGAT YANG DIMODIFIKASI DENGAN TEKNOLOGI POLIMER
SINTETIK TERHADAP PROSES PENUAAN (AGEING)
Skripsi, Fakultas Sains dan Teknologi (2021)

(XX + 145 halaman: 77 gambar; 27 tabel, 22 lampiran)

Semakin meningkatnya intensitas penggunaan alat transportasi darat mewajibkan


adanya perkembangan dalam pembuatan perkerasan jalan. Salah satu inovasi yang
masih digunakan sampai saat ini ialah lapisan perkerasan aspal beton (laston).
Dalam proses pembuatan campuran perkerasan jalan beraspal, umumnya digunakan
proses pencampuran aspal panas / Hot Mix Asphalt (HMA) tetapi terus menurun
seiring berjalannya waktu. Alasan terjadinya penurunan yakni pengerjaannya
memerlukan suhu tinggi memicu munculnya permasalahan lingkungan akibat
akibat konsumsi energi yang tinggi berdampak terhadap emisi yang dihasilkan.
Sehingga kemudian muncul metode-metode lain berupa campuran aspal hangat /
Warm Mix Asphalt (WMA). Pembuatannya pada suhu 105°C - 135°C yang
menggunakan bahan tambahan organik atau wax. Tetapi campuran perkerasan jalan
secara WMA juga tidak lepas dari pengaruh ageing. Ageing berarti campuran
mengalami perubahan fraksi penyusunnya sehingga sifat reologi aspal menjadi
lebih kaku, salah satu modifikasi untuk meminimalisir pengaruh ageing adalah
dengan menambahkan polimer. Penelitian ini ditujukan untuk menganalisis efek
dari modifikasi campuran aspal hangat (WMA) menggunakan aditif kimia Rediset
LQ dengan metode pecampuran kering (dry method) yang dicampur dengan
berbagai kadar polimer (0%,4%,5%,6%) superplast produksi Iterchemica dalam
mengatasi pengaruh penuaan (ageing). Ageing yang dilakukan pada penelitian
bukan merupakan kondisi asli klimatik yang mempengaruhi benda uji tetapi untuk
mensimulasikan efek ageing digunakan panduan berdasarkan AASHTO R30-02
dengan variasi oven-ageing conditioning untuk mensimulasikan efek short term
ageing dan long term ageing. Dari percobaan didapat hasil penambahan produk
polimer superplast terbukti dapat memberikan efek yang positif terhadap campuran
aspal, dimana diantaranya dapat meningkatkan nilai properties mekanis dari
campuran sehingga terbukti dapat meminimalisir efek ageing. Didapat kadar 4%
merupakan kadar optimum

Kata Kunci : campuran aspal hangat (WMA), penuaan, polimer, marshall, Semi
Circular Bending (SCB)

Referensi : 22 (1981-2018)

v
ABSTRACT

Erik Surya Setyawan (01021170004)

ANALYSIS OF MECHANICAL PROPERTIES AND FRACTURE OF


WARM ASPHALT MIXTURE WITH SYNTHETIC POLIMER
TECHNOLOGY ON THE AGEING PROCESS
Thesis, Faculty of Science and Technology (2021).

(XX + 145 halaman: 77 gambar; 27 tabel, 22 lampiran)

The increasing intensity of the use of land transportation means that there is a need
for developments in the manufacture of road pavements. One of the innovations
that are still used today is the asphalt concrete pavement layer (laston). In the
process of making asphalt pavement mixtures, generally the hot mix asphalt (HMA)
process is used but continues to decline over time. The reason for the decline is that
the process requires high temperatures, triggering the emergence of environmental
problems due to high energy consumption which has an impact on the resulting
emissions. So then other methods emerged in the form of Warm Mix Asphalt
(WMA). Manufacture at a temperature of 105°C - 135°C using organic additives or
wax. However, the WMA pavement mix cannot be separated from the influence of
aging. Aging means that the mixture changes its constituent fractions so that the
rheological properties of asphalt become stiffer, one modification to minimize the
effect of aging is to add polymer. This study aimed to analyze the effect of the
modification of warm asphalt mixture (WMA) using chemical additives Rediset LQ
with dry method mixed with various polymer content (0%,4%,5%,6%) superplast
produced by Iterchemica in overcome the effects of aging. The aging carried out in
this study is not a natural climatic condition that affects the test object but to
simulate the aging effect, a guide based on AASHTO R30-02 with variations of
oven-aging conditioning is used to simulate the effects of short term aging and long
term aging. From the experiment, it was found that the addition of superplast
polymer products was proven to have a positive effect on asphalt mixtures, one of
which could increase the mechanical properties of the mixture so that it was proven
to minimize the aging effect. The obtained level of 4% is the optimum level

Keywords : Warm Mix Asphalt, laston hangat, ageing, polymer, marshall, Semi
Circular Bending (SCB)

Referensi : 22 (1981-2018)

vi
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur diagungkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkat
karunia dan rahmat-Nya penulis masih diberikan kesehatan dan umur panjang
ditengah pandemi virus Corona, sehingga bisa menyelesaikan skripsi dengan tepat
waktu.

Skripsi dengan judul “ANALISIS SIFAT MEKANIS DAN FRAKTUR


CAMPURAN ASPAL HANGAT YANG DIMODIFIKASI DENGAN
TEKNOLOGI POLIMER SINTETIK TERHADAP PROSES PENUAAN
(AGEING)” telah disusun berdasarkan penelitian yang dilakukan sejak bulan Maret
2021 sampai dengan bulan Juni 2021. Penyusunan skripsi dilakukan guna
memenuhi syarat kelulusan pada Program Studi Teknik Sipil Fakultas Sains dan
Teknologi, Universitas Pelita Harapan. Skripsi ini juga bermanfaat bagi penulis
untuk menerapkan pengetahuan yang telah didapat dan memperoleh pengalaman
baru.

Dalam menyusun skripsi ini, penulis telah banyak menerima dukungan,


bimbingan serta doa yang selalu menyertai. Oleh karena itu, penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pihak yang
terlibat, khususnya kepada:

1) Bapak Eric Jobiliong, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi;
2) Ibu Dr. Nuri Arum Anugrahati, selaku Wakil Dekan Fakultas Sains dan
Teknologi;
3) Bapak Laurence, M.T., selaku Direktur Administrasi dan Kemahasiswaan
Fakultas Sains dan Teknologi;
4) Bapak Sadvent M. purba, S.T., M.Sc., selaku Kepala Jurusan Teknik Sipil
Universitas Pelita Harapan;
5) Bapak Christian Gerald Daniel, S.T., M.Sc., selaku dosen pembimbing utama
yang telah memberikan masukan dan arahan selama penulisan skripsi ini;

vii
6) Bapak Dr.-Ing. Jack Widjajakusuma selaku dosen dan co-pembimbing yang
telah mengajarkan serta selalu memberikan saran-saran kepada saya dari awal
penulisan skripsi hingga selesai;
7) Ibu Sunie Rahardja, M.S.C.E., selaku dosen pembimbing akademik;
8) Para dosen dan asisten dosen yang selama ini telah sabar mengajar penulis dari
awal perkuliahan, sehingga wawasan penulis dapat bertambah terhadap materi
secara menyeluruh;
9) Para laboran yang telah sabar mengajarkan, membimbing serta mengarahkan
dalam melakukan prosedur labolaturium dari awal perkuliahan hingga skripsi
ini selesai;
10) Kedua orang tua penulis, Bapak Sri Suryono dan Ibu Nur Eka Ningsih, serta
kepada adik penulis, Tiara Surya Setyaningsih, atas segala pengorbanan, cinta
kasih, didikan, serta dukungan yang tiada habisnya diberikan, sehingga penulis
bisa terus bersemangat untuk menyelesaikan skripsi ini dengan baik;
11) Dianastuti Damanto untuk selalu membantu penulis dan hadir memberi
semangat serta dukungan;
12) Teman-teman rekan skripsi aspal yang telah berjuang bersama menyelesaikan
skripsi mulai dari persiapan material hingga penulisan. Saling membantu,
menyemangatkan, dan menemani dikala keterbatasan alat dan waktu.
13) Arie Pangestu, Calvien Setiawan, Christian Felix, Darren Ivan Tanardi,
Febriani Marianingrum, Felix Nathanael, Gabby Eliana, Hadryan Audric,
Michael William, Ni Ketut Kristyaningsih, vanessa Verind Ciaves dan Yonatan
Burhan sebagai sahabat yang selalu mendukung dan setia menemani dari awal
perkuliahan hingga masa skripsi selesai;
14) Teman-teman angkatan 2017 dan senior yang telah membantu penulisan
selama perkuliahan, baik dalam kelas maupun pada praktikum;
15) Pihak lain yang tidak dapat disebutkan secara menyeluruh oleh penulis yang
telah membantu, mendukung, dan membimbing penulis.

viii
Penulis menyadari skripsi ini tidak luput dari kekurangan. Penulis
mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan dan perbaikannya sehingga
akhirnya skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca, serta dapat
dikembangkan lebih lanjut.

Tangerang, 28 Mei 2020

Erik Surya Setyawan

ix
DAFTAR ISI
Halaman

SKRIPSI
PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING SKRIPSI
PERSETUJUAN TIM PENGUJI SKRIPSI
ABSTRAK ............................................................................................................. v
ABSTRACT .......................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiv
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xvii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xviii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 6
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ................................................................. 7
1.4 Batasan Penelitian .................................................................................... 7
1.5 Manfaat Penelitian .................................................................................... 9
1.6 Metodologi Penelitian ............................................................................ 10
1.7 Sistematika Penulisan ............................................................................. 11
BAB II LANDASAN TEORI ............................................................................. 13
2.1 Metode Campuran Aspal ........................................................................ 13
2.1.1 Latar Belakang dan Perkembangan Warm Mix Asphalt (WMA). 14
2.1.2 Teknologi Warm Mix Asphalt (WMA) ......................................... 23
2.1.3 Spesifikasi Teknis Campuran WMA ............................................ 33
2.2 Campuran Aspal ..................................................................................... 34
2.2.1 Material Campuran Laston Hangat ............................................... 38
2.2.1.1 Aspal / Bitumen................................................................. 38
2.2.1.2 Agregat .............................................................................. 43
2.2.1.3 Aditif ................................................................................. 49

x
2.2.1.4 Polimer .............................................................................. 50
2.2.2 Karakteristik Campuran Laston .................................................... 53
2.2.3 Volumetrik Campuran Laston ....................................................... 55
2.3 Penuaan (Ageing) ................................................................................... 61
2.4 Metode Pencampuran Laston Modifikasi Polimer ................................. 66
2.4.1 Polimer Modified Bitumen (PMB) ................................................ 66
2.4.2 Polimer Modified Asphalt (PMA) ................................................. 67
2.5 Pengujian WMA ..................................................................................... 68
2.5.1 Perhitungan Kadar Aspal Optimum (KAO) Rencana ................... 68
2.5.2 Pengujian Marshall........................................................................ 69
2.5.3 Pengujian Semi Circular Bending (SCB) ...................................... 71
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ......................................................... 79
3.1 Umum ..................................................................................................... 79
3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian .................................................................. 81
3.3 Variabel Penelitian ................................................................................. 81
3.4 Material Penelitian ................................................................................. 81
3.4.1 Agregat Kasar................................................................................ 81
3.4.2 Agregat Halus ................................................................................ 82
3.4.3 Aspal / Bitumen............................................................................. 83
3.4.4 Filler .............................................................................................. 84
3.4.5 Zat Aditif Kimia ............................................................................ 84
3.4.6 Polimer .......................................................................................... 85
3.5 Peralatan ................................................................................................. 87
3.5.1 Saringan dan Mesin Pengayak ...................................................... 87
3.5.2 Timbangan..................................................................................... 87
3.5.3 Oven .............................................................................................. 88
3.5.4 Mixer ............................................................................................. 89
3.5.5 Penemometer ................................................................................. 89
3.5.6 Waterbath ...................................................................................... 90
3.5.7 Cetakan Marshall dan Cantabro Loss ........................................... 90
3.5.8 Mesin Kompaksi ........................................................................... 91

xi
3.5.9 Alat Marshall ................................................................................. 91
3.5.10 Universal Testing Machine (UTM) ............................................. 92
3.6 Pengujian Material Campuran ................................................................ 92
3.6.1 Berat Jenis Agregat Kasar ............................................................. 92
3.6.2 Berat Jenis Agregat Halus ............................................................. 93
3.6.3 Berat jenis Filler ........................................................................... 94
3.6.4 Berat Jenis Aspal / Bitumen .......................................................... 94
3.6.5 Kadar Lumpur Agregat Halus ....................................................... 95
3.6.6 Gradasi Ayakan Agregat Halus dan Kasar .................................... 95
3.6.7 Penetrasi Aspal/Bitumen ............................................................... 96
3.6.8 Titik Nyala dan Bakar Aspal ......................................................... 96
3.6.9 Titik Lembek Aspal....................................................................... 96
3.7 Penetapan Kadar Aspal Optimum .......................................................... 97
3.7.1 Perencanaan Campuran ................................................................. 97
3.7.2 Pembuatan Benda Uji Marshall..................................................... 98
3.7.3 Perhitungan Volumetrik Benda Uji ............................................... 99
3.7.4 Pengujian Marshall...................................................................... 100
3.8 Pengujian Ageing dengan Uji Semi Circular Bending (SCB) .............. 100
3.8.1 Perencanaan Campuran ............................................................... 101
3.8.2 Pembuatan Benda Uji SCB ......................................................... 102
3.8.3 Perhitungan Volumetrik .............................................................. 103
3.8.4 Pengadaan Ageing ....................................................................... 103
3.8.5 Pelaksanaan Uji Semi Circular Bending (SCB) .......................... 104
BAB IV HASIL DATA DAN PEMBAHASAN .............................................. 105
4.1 Umum ................................................................................................... 105
4.2 Hasil dan Pembahasan Data Pengujian Karakteristik Material ............ 105
4.2.1 Aspal / Bitumen........................................................................... 105
4.2.2 Agregat ........................................................................................ 107
4.3 Perhitungan kadar aspal optimum rencana ........................................... 111
4.4 Perhitungan Mix Design Benda Uji Marshall ....................................... 112
4.5 Hasil dan Analisis Kadar Aspal Optimum dengan Uji Marshall ......... 114

xii
4.6 Hasil Pengujian Spesimen untuk Uji Semi Circular Bending (SCB) ... 122
4.6.1Sebelum Uji SCB ......................................................................... 122
4.6.2Hasil Data dan Analisis SCB ....................................................... 124
BAB V KESIMPULAN .................................................................................... 143
5.1 Umum ................................................................................................... 143
5.2 Kesimpulan ........................................................................................... 143
5.3 Saran ..................................................................................................... 145
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 146

xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar1.1 Peningkatan dana infrastruktur dan target pembangunan infrastruktur
Indonesia tahun 2019 ......................................................................... 1
Gambar1.2 Perbedaan kebutuhan bahan bakar yang dibutuhkan terhadap
temperatur dalam pembuatan campuran aspal ................................... 4
Gambar 2.1 Aspek-aspek sustainability concept development ............................. 14
Gambar 2.2 Urutan perkembangan teknologi Warm Mix Asphalt ....................... 15
Gambar 2.3 Konsumsi energy macam-macam metode pencampuran aspal ......... 18
Gambar 2.4 Persentase pengurangan emisi buangan di beberapa negara ............. 19
Gambar 2.5 Dampak GWP/kg CO2 perkerasan HMA dan WMA ....................... 20
Gambar 2.6 Perbedaan temperatur pengerjaan aspal dengan paparan asap .......... 21
Gambar 2.7 Proses paving menggunakan WMA (kiri) dan HMA (kanan) .......... 22
Gambar 2.8 Viskositas aspal dan aspal + aditif organik terhadap temperatur ...... 25
Gambar 2.9 Serpihan sasobit (kiri) dan butiran sasobit (kanan) ........................... 26
Gambar 2.10 Rediset LQ (kiri) dan Rediset WMX (kanan) ................................. 27
Gambar 2.11 Double barrel green nozle ............................................................... 29
Gambar 2.12 Advera zeolit ................................................................................... 30
Gambar 2.13 Proses pembuatan Low Emission Asphalt (LEA) ........................... 31
Gambar 2.14 Urutan lapisan perkerasan laston..................................................... 35
Gambar 2.15 Fungsi aspal terhadap agregat ......................................................... 39
Gambar 2.16 Peningkatan sifat mekanis campuran aspal polimer superplast ...... 53
Gambar 2.17 Volumetrik campuran laston ........................................................... 56
Gambar 2.18 Hasil indirect tensile strength pada aspal ageing ............................ 63
Gambar 2.19 Hasil cumulative degree days (CDD) aspal ageing ......................... 65
Gambar 2.20 Perbedaan proses wet mix (PMB) dan dry mix (PMA) .................. 67
Gambar 2.21 Set up pengujian marshall ............................................................... 70
Gambar 2.22 Urutan persiapan benda uji SCB dan pelaksanaan uji SCB ............ 72
Gambar 2.23 konfigurasi pengujian SCB pada campuran aspal ........................... 73
Gambar 2.24 (a) fracture work (Wf) dan (b) Ligamen area (ALig)...................... 74
Gambar 2.25 Parameter slope pada grafik force vs displacement ........................ 76
Gambar 3.1 Diagram alir penelitian ...................................................................... 80
Gambar 3.2 Agregat kasar..................................................................................... 82
Gambar 3.3 Agregat Halus.................................................................................... 82
Gambar 3.4 Aspal pen.60/70 PT Shell Indonesia ................................................. 83
Gambar 3.5 Semen Tiga Roda .............................................................................. 84
Gambar 3.6 Rediset LQ......................................................................................... 85
Gambar 3.7 Polimer Iterchemica .......................................................................... 86
Gambar 3.8 Saringan dan Mesin Pengayak .......................................................... 87

xiv
Gambar 3.9 Timbangan ......................................................................................... 88
Gambar 3.10 Oven ................................................................................................ 88
Gambar 3.11 Mixer ............................................................................................... 89
Gambar 3.12 Penemometer ................................................................................... 89
Gambar 3.13 Waterbath ........................................................................................ 90
Gambar 3.14 Cetakan marshall (kiri) dan cantabro loss (kanan) .......................... 90
Gambar 3.15 Mesin kompaksi .............................................................................. 91
Gambar 3.16 Alat marshall ................................................................................... 91
Gambar 3.17 Mesin UTM ..................................................................................... 92
Gambar 3.18 Gradasi rencana campuran .............................................................. 97
Gambar 3.19 Benda uji SCB yang telah dipotong menjadi dua (kiri), benda uji yang
telah dipotong dan diberi notch (kanan) ....................................... 103
Gambar 3.20 Pengujian SCB dengan mesin UTM ............................................. 104
Gambar 4.1 Grafik titik nyala dan bakar aspal ................................................... 106
Gambar 4.2 Grafik titik lembek aspal ................................................................. 106
Gambar 4.3 Grafik analisis gradasi ayakan agregat halus .................................. 109
Gambar 4.4 Grafik analisis gradasi ayakan agregat kasar .................................. 110
Gambar 4.5 Grafik densitas dengan kadar aspal ................................................. 115
Gambar 4.6 Grafik VIM dengan kadar aspal ...................................................... 116
Gambar 4.7 Grafik VMA dengan kadar aspal .................................................... 117
Gambar 4.8 Grafik VFB dengan kadar aspal ...................................................... 118
Gambar 4.9 Grafik stabilitas dengan kadar aspal................................................ 119
Gambar 4.10 Grafik flow dengan kadar aspal .................................................... 120
Gambar 4.11 Grafik nilai MQ dengan kadar aspal ............................................. 121
Gambar 4.12 Beban maksimum, fracture energy, crack resistance index, flexibility
index 2 hari ageing dengan penambahan kadar polimer berbeda . 124
Gambar 4.13 Tegangan maksimum dan fracture toughness 2 hari ageing dengan
penambahan kadar polimer berbeda ............................................. 125
Gambar 4.14 Beban maksimum, fracture energy, crack resistance index, flexibility
index 8 hari ageing dengan penambahan kadar polimer berbeda . 125
Gambar 4.15 Tegangan maksimum dan fracture toughness 2 hari ageing dengan
penambahan kadar polimer berbeda ............................................. 125
Gambar 4.16 Maximum stress / tegangan maksimal 2 hari ageing dengan
penambahan kadar polimer berbeda ............................................. 126
Gambar 4.17 Maximum stress / tegangan maksimal 8 hari ageing dengan
penambahan kadar polimer berbeda ............................................. 126
Gambar 4.18 Fracture toughness 2 hari ageing dengan penambahan kadar polimer
berbeda.......................................................................................... 127
Gambar 4.19 Fracture toughness 8 hari ageing dengan penambahan kadar polimer
berbeda.......................................................................................... 128

xv
Gambar 4.20 Fracture energy ageing 2 hari dengan penambahan kadar polimer
berbeda.......................................................................................... 129
Gambar 4.21 Fracture energy ageing 8 hari dengan penambahan kadar polimer
berbeda.......................................................................................... 130
Gambar 4.22 CRI ageing 2 hari dengan penambahan kadar polimer berbeda .... 132
Gambar 4.23 CRI ageing 8 hari dengan penambahan kadar polimer berbeda .... 132
Gambar 4.24 Flexibility index ageing 2 hari dengan penambahan kadar polimer
berbeda.......................................................................................... 133
Gambar 4.25 Flexibility index ageing 8 hari dengan penambahan kadar polimer
berbeda.......................................................................................... 134
Gambar 4.26 Maximum stress pada 2 hari dan 8 hari ageing serta selisihnya dengan
penambahan kadar polimer 4%,5% dan 6% ................................. 135
Gambar 4.27 Fracture toughness pada 2 hari dan 8 hari ageing serta selisihnya
dengan penambahan kadar polimer 4%,5% dan 6% .................... 136
Gambar 4.28 Fracture energy pada 2 hari dan 8 hari ageing serta selisihnya dengan
penambahan kadar polimer 4%,5% dan 6% ................................. 137
Gambar 4.29 Crack Resistance Index pada 2 hari dan 8 hari ageing serta selisihnya
dengan penambahan kadar polimer 4%,5% dan 6% .................... 138
Gambar 4.30 Flexibility index pada 2 hari dan 8 hari ageing serta selisihnya dengan
penambahan kadar polimer 4%,5% dan 6% ................................. 139

xvi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Jenis campuran aspal ............................................................................. 13
Tabel 2.2 Perkembangan pemakaian WMA dan teknologinya di USA............... 32
Tabel 2.3 Temperatur ijin pencampuran dan pemadatan WMA ........................... 33
Tabel 2.4 Tebal minimum macam-macam campuran beraspal ............................ 34
Tabel 2.5 Ketentuan sifat campuran laston (AC) hangat ...................................... 36
Tabel 2.6 Ketentuan sifat campuran laston (AC) hangat modifikasi .................... 37
Tabel 2.7 Ketentuan aspal dalam campuran aspal hangat..................................... 42
Tabel 2.8 Ukuran saringan dan ukuran bukaan saringan agregat ......................... 44
Tabel 2.9 Ketentuan teknis agregat kasar ............................................................. 45
Tabel 2.10 Ketentuan teknis agregat halus ........................................................... 46
Tabel 2.11 Ketentuan gradasi filler ....................................................................... 47
Tabel 2.12 Amplop gradasi menerus agregat gabungan laston aus wearing course
(AC-WC) ............................................................................................. 48
Tabel 3.1 Spesifikasi aspal pen. 60/70 PT Shell Indonesia................................... 83
Tabel 3.2 Spesifikasi Rediset LQ .......................................................................... 85
Tabel 3.3 Spesifikasi polimer superplast iterchemica ........................................... 86
Tabel 3.4 Jumlah benda uji marshall..................................................................... 98
Tabel 3.5 Jumlah benda uji SCB ......................................................................... 102
Tabel 4.1 Hasil dan syarat pengujian karakteristik aspal .................................... 105
Tabel 4.2 Kadar lumpur agregat halus ................................................................ 107
Tabel 4.3 Berat jenis dan penyerapan agregat .................................................... 108
Tabel 4.4 Analisis gradasi ayakan agregat halus ................................................ 109
Tabel 4.5 Gradasi rencana untuk laston hangat .................................................. 111
Tabel 4.6 Kebutuhan material untuk campuran laston dengan kadar aspal yang
berbeda .............................................................................................. 113
Tabel 4.7 Berat jenis rencana campuran laston dengan kadar aspal berbeda ..... 114
Tabel 4.8 Hasil rata-rata uji marshal ................................................................... 114
Tabel 4.9 Hasil pengujian volumetrik terhadap benda uji yang akan diageing selama
2 hari.................................................................................................. 122
Tabel 4.10 Hasil pengujian volumetrik terhadap benda uji yang akan diageing
selama 8 hari ..................................................................................... 123

xvii
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran A
Tabel berat jenis air berdasarkan suhu .......................................... A-1
Lampiran B
Kalibrasi proving ring marshall .................................................... B-1
Kalibrasi proving ring marshall .................................................... B-2
Lampiran C
Angka koreksi untuk benda uji marshall ....................................... C-1
Lampiran D
Perhitungan kadar aspal optimum rencana ................................... D-1
Lampiran E
Berat jenis aspal ........................................................................... E-1
Penetrasi aspal .............................................................................. E-2
Titik lembek aspal ........................................................................ E-2
Titik nyala dan bakar aspal .......................................................... E-3
Lampiran F
Kadar lumpur agregat halus secara volume ................................. F-1
Kadar lumpur agregat halus secara berat ...................................... F-1
Berat jenis filler ............................................................................ F-1
Berat jenis dan penyerapan agregat halus .................................... F-2
Berat jenis dan penyerapan agregat kasar .................................... F-3
Gradasi ayakan agregat kasar ....................................................... F-4
Gradasi ayakan agregat halus ....................................................... F-5

xviii
Lampiran G
Mix design benda uji marshall ...................................................... G-1
Lampiran H
Perhitungan uji marshall .............................................................. H-1
Lampiran I
Volumetrik benda uji yang akan di-ageing selama 2hari.............. I-1
Volumetrik benda uji yang akan di-ageing selama 2hari.............. I-2
Lampiran J
Perhitungan uji scb ....................................................................... J-1
Perhitungan uji scb ....................................................................... J-2

xix
DAFTAR SINGKATAN

AASHTO = American Association of State Highway and Transportation Officials

AC-WC = Asphalt concrete - Wearing Course

ASTM = American Society for Testing and Materials

CMA = Cold Mix Asphalt

HMA = Hot Mix Asphalt

PMA = Polymer Modified Asphalt

PMB = Polymer Modified Bitumen

SCB = Semi Circular Bending

SNI = Standar Nasional Indonesia

WMA = Warm Mix Asphalt

xx
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ilmu dan teknologi berkembang sedemikian pesatnya di era globalisasi.

Secara tidak langsung, terjadi perubahan ruang serta aspek kehidupan manusia

terutama dalam menjalankan aktivitas dan pekerjaan. Kehadiran alat transportasi,

khususnya transportasi darat, sebagai salah satu hasil perkembangannya sangat

berkaitan erat dengan kebutuhan jalan raya sebagai salah satu medianya. Dengan

demikian, bisa dikatakan bahwa jalan raya menjadi suatu aset vital yang akan

berpengaruh terhadap aktivitas masyarakat. Oleh karena itu, di era pemerintahan

Presiden Joko Widodo, jalan yang merupakan salah satu infrastruktur mengalami

peningkatan pembangunan yang luar biasa.

Gambar 1.1 Peningkatan dana infrastruktur dan target pembangunan infrastruktur


Indonesia tahun 2019
(Sumber: CNN Indonesia, 2019)

1
Perkembangan pada alat transportasi yang sedemikian pesat juga harus

diimbangi dengan perkerasan jalan yang memadai. Semakin meningkatnya

intensitas penggunaan alat transportasi darat mewajibkan adanya perkembangan

dalam pembuatan perkerasan jalan. Salah satu inovasi yang masih digunakan

sampai saat ini ialah lapisan aspal beton (laston). Pembuatan lapis aspal beton

(laston) dimaksudkan untuk mendapatkan suatu lapisan permukaan atau lapis antara

(binder) pada perkerasan jalan yang mampu memberikan sumbangan daya dukung

yang terukur serta berfungsi sebagai lapisan kedap air yang dapat melindungi

konstruksi dibawahnya (Bina Marga, 1987). Sehingga laston atau yang dikenal

dengan AC (Asphalt Concrete) kerap digunakan dalam jalan dengan beban lalu

lintas yang berat.

Dalam proses pembuatan campuran perkerasan jalan beraspal, umumnya

digunakan proses pencampuran aspal panas / Hot Mix Asphalt (HMA). Menurut

(EAPA, 2014) dijelaskan bahwa pemakaian HMA pada tahun 2009 lebih dari 90%,

walaupun dalam perkembangannya pemakaian HMA menurun hingga 76% di

tahun 2012. Salah satu alasan terjadinya penurunan yakni pengerjaannya

memerlukan suhu tinggi, disekitar 140°C-170°C, hal ini memicu munculnya

permasalahan lingkungan akibat akibat konsumsi energi yang tinggi berdampak

terhadap emisi yang dihasilkan. Terbukti bahwa metode HMA menghasilkan emisi

yang besar, emisi buangan HMA memiliki emisi buangan yang lebih tinggi dari

metode lain. Metode HMA menghasilkan emisi CO2 30%, SO2 35%, CO 18%, NOx

65%, dan debu 40% lebih tinggi dibandingkan metode pembuatan perkerasan jalan

lainnya (D’Angelo et al, 2008).


2
Sehingga kemudian muncul metode-metode pencampuran lain berupa

campuran aspal dingin / Cold Mix Asphalt (CMA) serta campuran aspal hangat /

Warm Mix Asphalt (WMA). Akan tetapi, sejak 2009 penggunaan WMA telah

meningkat sebesar 416% dan pada tahun 2012 78,7 juta ton atau 26% campuran

aspal diproduksi dengan menerapkan salah satu teknologi campuran aspal hangat

? (Hansen dan Copeland, 2013). Dengan menawarkan pengurangan konsumsi energi,

emisi terbatas, dan yang paling penting, peningkatan workability aspal pada suhu

yang sama atau bahkan lebih rendah dibandingkan dengan HMA, membuat WMA

hadir sebagai salah satu pilihan menarik. Pembuatannya pada suhu 105°C - 135°C

yang menggunakan bahan tambahan organik atau wax, ataupun bahan aditif kimia,

ataupun dengan teknologi foaming, menjadikan WMA sebagai salah satu alternatif

lain untuk pembuatan campuran aspal. Pada proses pembuatan WMA, melibatkan

perubahan yakni penurunan viskositas, meningkatkan adhesi antara pengikat dan

agregat maupun adanya bahan aktif untuk meningkatkan kemampuan basah agregat

(wett-ability) pada aspal yang diberikan bahan tambahan aditif (organik atau kimia)

ataupun dengan teknologi foam.

3
Gambar 1.2 Perbedaan kebutuhan bahan bakar yang dibutuhkan terhadap temperatur
dalam pembuatan campuran aspal
(Sumber: M.Zaumanis, 2014) ✓

Permasalahan yang timbul pun, tidak hanya pada lingkungan akibat proses

pembuatan, permasalahan mengenai kinerja dari hasil produk juga merupakan salah

satu masalah lain yang kerap muncul. Terhadap jalan yang merupakan struktur tak

terlindung, kinerjanya sangat dipengaruhi dengan kondisi klimatik dimana jalan

tersebut dibuat. Kondisi klimatik yang paling terasa dan berdampak ialah perubahan

temperatur, radiasi sinar matahari serta kontak dengan air dan oksigen, yang dimana

bisa mengakibatkan oksidasi pada aspal sehingga merubah struktur molekul aspal

dan merubah sifat natural viskoelastisnya sehingga bisa membuat aspal menjadi

berubah sifat reologinya. Akibatnya adalah bitumen/aspal menjadi lebih kaku atau

getas.

Untuk meminimalisir permasalahan ageing tersebut, salah satu upaya yang

biasa dilakukan adalah dengan menambahkan polimer. Pada proses pecampurannya

dikenal 2 cara yakni Polymer Modified Asphalt (PMA) atau dry method dan

4
Polymer Modified Bitumen (PMB) atau wet method. Perbedaan keduanya ada pada

tahap pencampuran polimer. Pada pencampuran secara PMA, polimer dicampurkan

terlebih dahulu terhadap agregat baru ditambah dengan aspal. Sedangkan pada

PMB, polimer langsung ditambah pada aspal untuk memodifikasi sifat reologinya

dan baru sesudah itu dicampurkan dengan agregat. PMA hadir menjadi alternatif

metode yang lebih ekonomis jika dibandingkan PMB, walaupun hasil campuran

PMB memberikan ketahanan terhadap rutting dan ketahanan retak yang lebih baik.

Penelitian ini ditujukan untuk menganalisis efek dari modifikasi campuran

aspal hangat (WMA) menggunakan aditif kimia Rediset LQ dengan metode

pecampuran kering (dry method) yang dicampur dengan berbagai kadar polimer

superplast produksi Iterchemica dalam mengurangi pengaruh penuaan (ageing).

Ageing yang dilakukan pada penelitian bukan merupakan kondisi asli klimatik yang

mempengaruhi benda uji tetapi untuk mensimulasikan efek ageing digunakan

panduan berdasarkan AASHTO R30-02 serta penelitian-penelitian terbaru yang

terkait dengan AASHTO R30-02 dengan variasi oven-ageing conditioning untuk

mensimulasikan efek short term ageing dan long term ageing. Spesimen benda uji

akan disimpan dalam oven bersuhu 135°C selama 4 jam untuk mensimulasikan efek

short term ageing dan dilanjutkan penyimpanan oven suhu 85°C dengan variasi 2

dan 8 hari untuk mensimulasikan efek long term ageing

Pengujian dilakukan untuk mencari performa mekanis (tensile strength,

toughness, crack resistance index, strain energy, dan flexibility index). Performa

mekanis diuji dengan menggunakan uji Semi Circular Bending (SCB), dengan

alasan bahwa metode ini merupakan metode yang cukup praktis untuk mencari

5
karakteriskik fracture mechanical pada campuran aspal beton dan karena metode

ini merupakan metode yang efisien dalam menentukan fracture pada campuran

? aspal beton (Li dan Marasteanu, 2009).

Sehingga diharapkan, dapat dicapai kesimpulan akhir berupa penjelasan

mendetail terhadap pengaruh penuaan (ageing) melalui hasil perubahan sifat

mekanis campuran aspal hangat, serta dampak positif yang dihasilkan oleh polimer

dalam upaya meningkatkan performa campuran. Pada akhirnya, penulis berharap

bahwa penelitian ini menjadi pedoman mengenai perkembangan produksi

perkerasan jalan dalam mengatasi permasalahan ageing di masa mendatang,

khususnya di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan yang telah dijabarkan pada latar belakang, berikut

rumusan masalah yang ingin dikaji dalam penelitian ini:

1. Bagaimana pengaruh penambahan produk polimer sintetik pada WMA untuk

memodifikasi performa campuran aspal dilihat dari sifat mekanisnya

(maximum stress, fracture toughness, fracture energy, crack resistance index,

flexibility index)?

2. Berapakah kadar polimer optimal untuk campuran WMA?

3. Seberapa signifikan efek dari penggunaan polimer pada WMA dalam

pengaruhnya terkait ageing?

6
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan-permasalahan

yang telah diangkat dalam rumusan masalah sehingga penelitian yang dilakukan

penulis diharapkan menjadi literatur pendukung dalam perkembangan penggunaan

polimer dalam campuran WMA dengan addictive rediset LQ diberbagai proyek

konstruksi, khususnya di Indonesia.

Sehingga tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian kali ini antara lain:

1. Menggambarkan pengaruh penambahan produk polimer sintetik pada WMA

untuk memodifikasi performa campuran aspal terhadap efek ageing dengan

meninjau sifat mekanisnya (maximum stress, fracture toughness, fracture

energy, crack resistance index, flexibility index);

2. Mengetahui kadar polimer optimal pada campuran WMA;

3. Mengetahui seberapa jauh efek yang dihasilkan dari penggunaan polimer

pada campuran WMA dalam pengaruhnya terkait ageing.

1.4 Batasan Penelitian

Untuk memfokuskan penelitian guna menyelesaikan permasalahan yang ada,

maka batasan-batasan pada penelitian ini antara lain:

1. Campuran yang digunakan dalam penelitian ialah tipe campuran aspal hangat

(WMA) dengan metode pencampuran dry method;

2. Desain rencana yang digunakan dalam penelitian ialah untuk laston lapis aus

(wearing course) yang dimana merupakan lapisan aus dan terdapat pada lapis

permukaan paling atas, dimana terjadi kontak langsung dengan kendaraan

yang melintas diatasnya;

7
3. Digunakan warm-mix addictive rediset LQ sebagai bahan aditif untuk

campuran WMA dengan nilai 1% penambahan terhadap nilai kadar aspal

campuran;

4. Aspal yang digunakan dalam penelitian ini merupakan produksi PT Shell

Indonesia yang memiliki spesifikasi penetrasi 60/70;

5. Filler yang digunakan dalam penelitian ini merupakan portland cement tiga

roda produksi PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk;

6. Polimer yang digunakan untuk memodifikasi campuran digunakan polimer

sintetik superplast produksi Iterchemica;

7. Ketentuan spesifikasi campuran beraspal hangat (WMA) beserta

penyusunnya sesuai dengan spesifikasi umum 2018 Bina Marga untuk

pekerjaan konstruksi jalan dan jembatan;

8. Pembuatan spesimen untuk uji marshal dilakukan dengan mencoba tiga nilai

kadar aspal berbeda (5,6%, 6,1% dan 6,5%) untuk dicari kadar optimumnya

dan dilanjutkan dengan pembuatan spesimen untuk uji Semi Circular Bending

(SCB), dengan memakai kadar aspal optimum yang didapat, memakai empat

jenis kadar penambahan polimer (0%,4%,5% dan 6%) untuk dicari nilai

optimumnya;

9. Spesimen yang diproduksi untuk uji Semi Circular Bending (SCB) dimasukan

kedalam oven dengan pengaturan temperatur dan durasi berdasarkan

AASHTO R30-02 dan penelitian terbaru terkait AASHTO R30-02.

Pemakaian AASHTO R30-02 digunakan untuk mensimulasikan efek ageing

klimatik pada keaadan asli lapangan dengan variasi oven-ageing conditioning

8
untuk mensimulasikan short term ageing dan long term ageing dan diambil

durasi ageing 2 dan 8 hari;

10. Pengujian terhadap spesimen dilakukan dengan uji Marshal untuk

mendapatkan kadar aspal optimum dan dengan uji Semi Circular Bending

(SCB) untuk mendapatkan parameter mekanis (tensile strength, toughness,

crack resistance index, strain energy, flexibility index);

11. Ketentuan mengenai uji Marshal sesuai dengan SNI 06-2849-1991;

12. Ketentuan mengenai uji Semi Circular Bending (SCB) sesuai dengan standar

NEN-EN 12697-44 & ASTM D8044-16.

13. Hasil pengujian pengaruh ageing belum dapat dijelaskan secara tepat dan

pasti terkait ekuivalensinya berapa tahun kondisi asli ageing dilapangan.

Dikarenakan berdasarkan AASHTO R30-02 dan penelitian terbaru dengan

menggunakan panduan AASHTO R30-02 menghasilkan ekuivalensi yang

berbeda.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat dalam penelitian ini terbagi atas manfaat secara teoritis dan secara

praktis. Berikut dijelaskan secara lebih terperinci:

1. Manfaat teoritis

Dengan dilakukannya penelitian ini, diharapkan dapat memperluas wawasan

dan memberikan sumbangan ilmiah dalam perkembangan penggunaan

polimer untuk mengatasi permasalahan ageing pada aspal WMA.

9
2. Manfaat praktis

Berdasarkan penelitian ini pula, diharapkan sehingga bisa menjadi pijakan

dan referensi dalam penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan

penggunaan polimer untuk mengatasi permasalahan ageing pada aspal WMA.

1.6 Metodologi Penelitian

Dalam penyusunan laporan skripsi ini digunakan beberapa metodologi

pengumpulan serta menganalisis data, antara lain:

1. Studi pustaka

Digunakan sumber-sumber pustaka berupa jurnal, buku, skripsi, tugas akhir,

artikel serta peraturan binamarga, SNI, ASTM, serta AASHTO mengenai

perkerasan jalan aspal, khususnya mengenai WMA serta penuaan pada aspal

(ageing) sebagai dasar literatur untuk pedoman memahami permasalahan

pada perkerasan jalan aspal sehingga bisa didapatkan langkah pengerjaan

pembuatan serta referensi dalam memahami pemecahan permasalahan ageing

menggunakan polimer.

2. Penelitian laboratorium (laboratory research)

Setelah berdasarkan dari hasil literasi pustaka yang telah dilakukan

sebelumnya, perencanaan serta analisis masalah dan menentukan langkah

hipotesis penyelesaian masalah, kemudian dilakukan riset di laboratorium

dengan peralatan yang mendukung. Penelitian dilakukan berdasarkan rencana

untuk menganalisis dampak pemakaian polimer pada campuran aspal WMA

yang dicampur secara dry method untuk mengatasi permasalahan ageing.

Proses persiapan material mulai dari pengecekan properties material,

10
pencucian agregat dari kadar lumpur, pembuatan spesimen untuk pengujian

marshal, pembuatan spesimen untuk pengujian SCB hingga pengujian

marshal dan SCB dilakukan di laboratorium Teknik Sipil Universitas Pelita

Harapan.

3. Diskusi

Diskusi dilakukan dengan dosen pembimbing utama dan dosen pembimbing

kedua guna mendapatkan pemahaman dan informasi terkait mendalam.

Sehingga bisa dicapai pedoman, saran serta kritik terhadap proses

perencanaan, proses persiapan, proses pembuatan, hasil penelitian hingga

proses penyimpulan hasil dari penelitian.

1.7 Sistematika Penulisan

Laporan skripsi ini berisikan lima bab dengan penjabaran sistematika

penulisan sebagai berikut:

1. BAB I: PENDAHULUAN

Pada bab ini diuraikan mengenai permasalahan yang menjadi latar belakang

dilakukannya penelitian, rumusan masalah yang diangkat, maksud dan

tujuan penelitian, batasan masalah, manfaat penelitian, metodologi

pengumpulan data, dan sistematika penulisan.

2. BAB II: LANDASAN TEORI

Pada bab ini diuraikan mengenai teori-teori yang berkaitan dengan topik

ageing dan WMA yang dirangkum dari berbagai literatur, spesifikasi-

spesifikasi teknis mengenai campuran WMA dari SNI, AASHTO, ASTM,

11
Binamarga dan literatur pendukung lain. Dan selanjutnya digunakan sebagai

landasan dalam proses melakukan penelitian serta analisis hasil penelitian.

3. BAB III: METODOLOGI PENELITIAN

Pada bab ini diuraikan rinci proses dan metode penelitian yang dilakukan,

meliputi skema penelitian, rincian waktu dan tempat penelitian dilaksanakan,

spesifikasi bahan penelitian, peralatan penelitian, perancangan mix design,

prosedur pembuatan serta pengujian benda uji.

4. BAB IV: HASIL DATA DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini diuraikan hasil-hasil dari penelitian yang telah dilakukan baik

secara rencana maupun dari hasil uji marshal dan SCB. Adapun berisikan

analisis mengenai hasil dari masing-masing uji terhadap spesimen sehingga

didapatkan grafik dan hasil yang menjadi landasan terkuat untuk mengambil

kesimpulan pada bab selanjutnya.

5. BAB V: PENUTUP

Pada bab ini diuraikan kesimpulan akhir yang ditarik berdasarkan analisis

hasil dengan teori serta standar yang berlaku, sehingga diharapkan

didapatkan jawaban atas permasalahan masalah yang diangkat dalam

rumusan masalah. Adapun saran dan evaluasi yang ditujukan bagi para

mahasiswa yang akan melakukan penelitian berikutnya ataupun peneliti lain

yang ingin meneliti campuran WMA dengan polimer secara dry method.

12
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Metode Campuran Aspal

Pengerjaan aspal umumnya memerlukan pemanasan pada suhu yang tinggi

hingga tercapai workability yang baik, sehingga aspal menjadi mudah untuk

dicampur dengan agregat dan mudah udah dipadatkan. Workability sangat

dipengaruhi oleh kepekaan aspal terhadap perubahan temperatur, gradasi agregat

yang digunakan, kadar aspal dan viskositas/ kekentalan aspal (Soehartono, 2010).

Dalam perkembangannya, suhu tinggi yang dibutuhkan untuk menurunkan

viskositas sehingga dicapai workability yang diharapkan bisa disubstitusi dengan

metode-metode tertentu, yang kemudian dikenal dengan klasifikasi metode

campuran aspal yang meliputi campuran aspal panas / Hot Mix Asphalt (HMA),

campuran aspal hangat / Warm Mix Asphalt (WMA), campuran aspal setengah

hangat / Half-Warm Mix Asphalt (HWMA) dan campuran aspal dingin / Cold Mix

Asphalt (CMA). Perbedaan yang mendasari diantaranya adalah perihal suhu

pemanasannya.

Tabel 2.1 Jenis campuran aspal

No. Jenis Campuran Suhu


1 Hot Mix Asphalt (HMA) 150 °C – 190 °C
2 Warm Mix Asphalt (WMA) 100 °C – 140 °C
3 Half – Warm Mix Asphalt (HWMA) 60 °C – 100 °C
4 Cold Mixes 0 °C – 40°C

(Sumber : classification of asphalt mixtures, vaitkus, et all, 2009)

13
2.1.1 Latar Belakang dan Perkembangan Warm Mix Asphalt (WMA)

Industri aspal terus mencari cara untuk meningkatkan kinerja lapisan

perkerasan jalan dan meningkatkan efisiensi konstruksi, tetapi tidak melupakan

tentang tanggung jawab terhadap lingkungan. Jawaban dari permasalahan ini ialah

pentingnya untuk mengembangkan konsep berkelanjutan dalam perkembangan

(sustainability concept development), mencakup pengurangan konsumsi bahan

baku, pengurangan konsumsi bahan bakar, pengurangan emisi, dan peningkatan

daur ulang selama kebutuhan dari pada pembangunan. Dikemukakan oleh

(Brundlandreport, 1987) bahwa “pembangunan yang baik ialah pembangunan yang

memenuhi kebutuhan hari ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi

mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri”. Jadi, perkembangan untuk

pembangunan yang berkelanjutan tidak hanya fokus lingkungan yakni kepada

improvisasi performa hasil pembangunan tetapi harus mencakup pada

pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan.

Gambar 2.1 Aspek-aspek sustainability concept development


(Sumber: sustainable improving, Brundtland report, 1987)

14
Untuk mencapai konsep sustainability development yang diharapkan, dalam

perkembangannya kemudian muncul suatu konsep pencampuran Warm Mix

Asphalt (WMA), dimana konsep tersebut mengacu pada teknologi penambahan

aditif atau dengan teknologi foaming agar campuran memiliki viskositas yang lebih

rendah atau meningkatkan adhesi antara pengikat dan agregat ataupun adanya

bahan aktif untuk meningkatkan kemampuan basah agregat (wett-ability) sesuai

jenis teknologi WMA yang dipakai dan tetap dalam kemampuan kerja yang baik

pada suhu yang relatif lebih rendah. Muncul sejak 1950-an, konsep tersebut pertama

kali dipakai dalam bentuk aspal berbusa. Aspal berbusa digunakan sebagai pengikat

tanah yang digunakan pada jalan dengan lalu lintas yang tidak ramai (rendah) untuk

kemudian digunakan untuk membuat stabil permukaan perkerasan jalan.

Gambar 2.2 Urutan perkembangan teknologi Warm Mix Asphalt


(Sumber: Various Trend Developments, Button et al, 2007)

15
Kemudian berkembang secara modern WMA di Jerman pada pertengahan

1990-an dengan penggunaan lilin sebagai pengubah viskositas untuk aspal damar

wangi. Konsep utama dari campuran WMA adalah menggunakan aditif atau

teknologi dalam memodifikasi perilaku pengikat aspal untuk meningkatkan

kemampuan pemrosesan campuran aspal pada suhu yang lebih rendah, sehingga

suhu tinggi yang biasa digunakan untuk memproses aspal bisa dikurangi. Akibatnya

dampak signifikan yang terasa karena penurunan suhu di WMA adalah penurunan

emisi dan asap yang cukup besar. Proyek WMA telah melaporkan bahwa konsumsi

bahan bakar yang lebih irit antara 10% dan 35% dibandingkan dengan HMA (Brian

Hill, 2011). Tentu tidak hanya pengurangan emisi yang menjadi nilai tambah bagi

WMA dibanding HMA, kelebihan-kelebihan dari WMA dibanding HMA yang lain

adalah sebagai berikut:

1. Mengatasi permasalahan suhu menurun (drop) ketika produksi

Jelas bahwa WMA memiliki suhu campuran yang lebih rendah dibandingkan

dengan HMA, oleh karena itu memungkinkan adanya kemampuan kerja yang

lebih baik dibandingkan dengan HMA dikondisi tertentu. Dalam hal ini,

dikarenakan suhu campuran yang lebih rendah, memungkinkan bahwa adanya

pengurangan terhadap selisih suhu campuran dengan suhu lingkungan. Akibat

yang dihasilkan adalah campuran akan bisa mendingin lebih lambat

dibandingkan dengan HMA, waktu untuk proses pemadatan pengerasan jalan

akan lebih lama. Karena alasan tersebut, teknologi WMA sering digunakan

sebagai alat bantu pemadatan untuk memastikan pengerasan jalan pada cuaca

dingin, yang dapat memperpanjang musim pengerasan jalan atau

16
memungkinkan pengerasan jalan pada malam hari dan ketinggian tinggi.

Serupa dengan pengerasan jalan saat cuaca dingin, jarak angkut yang lebih

jauh dimungkinkan karena campuran dapat dipadatkan pada suhu yang lebih

rendah (M.Zaumanis, 2014).

2. Meningkatkan kesempatan untuk memproduksi jenis perkerasan daur ulang

Keuntungan utama dari penggunaan teknologi WMA yakni adanya potensi

lebih tinggi dibanding HMA untuk mengembangkan perkerasan aspal

reklamasi (RAP), dikarenakan dengan penggunaan WMA pada RAP

memungkinkan untuk meningkatkan kinerja serta memperlambat adanya

potensi pada penuaan binder (Shu Wei Goh, 2012). Berdasarkan beberapa

penelitian yang dilakukan bahwa peningkatan kesempatan untuk produksi

RAP dengan WMA meningkat sekitar 10-20% jika dibandingkan dengan

HMA (Newcomb, D.E., Brown, E.R. and Epps, J.A., 2007).

3. Lingkungan

Adapun beberapa manfaat signifikan yang muncul dibanding penggunaan

HMA terhadap lingkungan:

a. Penggunaan energi berkurang

Manfaat dari WMA secara signifikan terasa pada penurunan penggunaan

energi. Diperhitungkan untuk setiap penurunan suhu 6 °C, konsumsi bahan

bakar berkurang hingga 2-3% (young, 2007), penulis lainnya (prowell, 2012)

yang melaporkan ada pengurangan konsumsi sebesar 23% dibanding dengan

HMA, dan (West et al, 2014) yang menunjukan adanya penghematan sebesar

22,1% untuk penurunan suhu rata-rata 27°C dalam studinya di lima pabrik

17
berbeda. Ini jelas adanya, WMA membutuhkan penggunaan energi yang jauh

lebih sedikit dibanding WMA. Adapun grafik yang menunjukan konsumsi

macam-macam penggunaan metode pemcampuran aspal dalam gambar 2.3.

Gambar 2.3 Konsumsi energy macam-macam metode pencampuran aspal


(Sumber: classification by temperature range, EAPA, 2014)

Penghematan energi dalam skala besar tentu dapat dilakukan jika

mensubstitusi semua pekerjaan HMA menjadi pekerjaan WMA tanpa harus

mengurangi kinerja dari perkerasan itu sendiri. Dewasa ini terbukti bahwa

trend teknologi untuk perkerasan jalan juga berkembang ketahap pemakaian

temperatur yang rendah. Sejak tahun 2009 penggunaan WMA telah

meningkat sebesar 416% dan pada tahun 2012 78,7 juta ton atau 26%

campuran aspal diproduksi dengan menerapkan salah satu teknologi

campuran aspal hangat (Hansen dan Copeland, 2013).

18
b. Pengurangan emisi buangan

Akibat dari adanya energi yang lebih rendah yang digunakan, diharapkan juga

emisi yang dihasilkan juga berkurang adanya. Menurut (D’Angelo et al,2008)

dikatakan bahwa CO2, SO2, VOC, CO, NOx, dan debu menjadi beberapa

parameter pembeda antara emisi buangan WMA dan HMA. WMA

melaporkan adanya pengurangan di beberapa parameter tersebut jika

dibandingkan dengan HMA.

Gambar 2.4 Persentase pengurangan emisi buangan di beberapa negara


(Sumber: Various pollutant % reduction in Various Countries, D’Angelo et al, 2008)

Dan dikarenakan fokus utama pembeda ada di penggunaan suhu yang dipakai

dalam proses pencampuran, maka perbedaan utama antara WMA dan HMA

dalam segi emisi buangan yang dihasilkan paling jelas terlihat bebeda pada

tahap produksi campurannya dan juga pada segi pemeliharaan (maintenance),

karena pada tahap maintenance perbedaan temperatur pembuatan akan

muncul kembali.

19
Gambar 2.5 Dampak GWP/kg CO2 perkerasan HMA dan WMA
(Sumber: Zhigang Zhang, 2019)

4. Ekonomi

Penggunaan jenis campuran WMA dapat menghasilkan pengurangan yang

juga diikuti dengan peningkatan biaya produksi jika dibandingkan dengan

HMA. Campuran WMA dengan berbagai tekniknya tentu akan menghasilkan

biaya yang lebih rendah untuk bahan bakar yang dibutuhkannya dikarenakan

suhu yang lebih rendah dalam pembuatannya. Diperkirakan bahwa total

produksi pada 2010 sejumlah 47 juta ton WMA bisa menghemat 30 juta galon

bahan bakar senilai lebih dari 80 juta dollar (Nadau, 2012). Adapun yang tidak

dapat terukur dengan jelas adalah keuntungan kontraktor dimana bisa untuk

melakukan pengerasan jalan di musim dingin sekalipun karena WMA

memiliki kemampuan untuk bekerja pada suhu lingkungan yang lebih dingin,

sehingga hasil pemadatan dapat lebih terkontrol lebih baik dibanding dengan

HMA. Resiko terhadap hukuman dan pinalti dari pemadatan yang kurang

memuaskan bisa dikurangi. Tetapi, tentu peningkatan biaya pasti ada

dikarenakan produksi WMA menggunakan teknologi penambahan untuk

20
menurunkan suhu. Sehingga muncul kenaikan biaya dari segi penambahan

biaya aditif, investasi modifikasi tanaman ataupun untuk biaya perizinan

teknologi.

5. Meningkatkan kesehatan dan kenyamanan pekerja

Suhu pencampuran yang lebih rendah pada campuran WMA membuat emisi

asap dan bau yang dihasilkan lebih berkurang dibandingkan dengan HMA.

Selain itu, kondisi lingkungan kerja yang lebih dingin akan membuat pekerja

tidak lebih banyak mengeluarkan keringat. Menurut (EAPA, 2021) adanya

aturan praktis bahwa pelepasan asap berkurang sekitar 50% untuk setiap

penurunan suhu 12°C, dan penurunan suhu sekitar 25°C akan menyebabkan

pengurangan emisi sekitar 75% sesuai dengan gambar 2.6.

Gambar 2.6 Perbedaan temperatur pengerjaan aspal dengan paparan asap


(Sumber: EAPA, 2021)

21
WMA yang memiliki suhu campuran lebih rendah sekitar 10°C - 50°C dari

HMA, berdampak baik terhadap berkurangnya paparan asap yang dihasilkan.

Sehingga meminimalisir kemungkinan senyawa Polycyclic Aromatic

Hydrocarbon (PAH) yang dihasilkan dari proses pencampuran bisa terhirup

dan membahayakan para pekerja. Dikarenakan senyawa tersebut merupakan

senyawa yang kurang baik bagi kesehatan, dapat mengakibatkan kanker

(karsinogenik), mempengaruhi pertumbuhan embrio (teratogenik) serta dapat

menyebabkan perubahan pada kromosom atau perubahan genetika

(mutagenik).

Gambar 2.7 Proses paving menggunakan WMA (kiri) dan HMA (kanan)
(Sumber: Zaumanis, 2014)

6. Menghemat waktu untuk pembukaan lalu lintas

WMA yang memerlukan suhu yang lebih rendah dari HMA mengakibatkan

adanya pengurangan waktu pendinginan perkerasan jalan. Sehingga proses

pengerjaan WMA akan membuat lalu lintas lebih cepat dibuka atau dapat

lebih cepat digunakan jika dibandingkan dengan HMA. WMA hanya

membutuhkan sekitar 2 jam untuk dapat digunakan setelah operasi

pengerasan jalan dilakukan (Lee, 2008). Sehingga hal ini sangat berguna bagi

22
konstruksi-konstruksi khusus yang memerlukan jeda waktu konstruksi yang

singkat seperti konstruksi pada bandara.

Akan tetapi, jika berhubungan dengan metode yang berbeda, selain berbicara

kelebihan yang mendasari munculnya metode tersebut tetapi juga mencakup

kekurangan yang dihasilkan. WMA memiliki beberapa kekurangan yang bisa

diidentifikasi jika dibandingkan dengan HMA, antara lain:

1. Kerentanan terhadap kelembaban

Dikarenakan suhu pencampuran yang lebih rendah jika dibandingkan dengan

HMA, mengakibakan lembab yang ada pada agregat tidak sepenuhnya

menguap seperti halnya pada HMA. Kerentanan terhadap kelembaban akan

lebih meningkat (Jones et al, 2012), sehingga perlu adanya penambahan aditif

antistripping untuk mengurangi dampaknya.

2. Belum terbukti performa jangka panjangnya

Performa jangka panjang WMA belum bisa dijelaskan secara pasti terhadap

dengan WMA karena tidak begitu banyaknya data yang bisa mendukung

untuk melakukan evaluasi.

2.1.2 Teknologi Warm Mix Asphalt (WMA)

Seperti yang telah sering disebutkan bahwa WMA memiliki suhu campuran

yang lebih rendah dibanding HMA. Teknik produksi yang berbeda menjadi kunci

adanya perbedaan suhu diantara keduanya, yang dimana kebanyakan teknologi

WMA melakukan modifikasi secara sementara dan permanen pada binder atau

modifikasi terhadap interaksi antara agregat dengan aspal/bitumen. Lebih rincinya,

dilakukan upaya mengurangi viskositas dari aspal dengan suhu yang relatif rendah

23
dan memungkinkan untuk terjadinya pelapisan penuh kepada agregat serta

pemadatan dengan suhu yang lebih rendah pula. Hingga saat ini, belum adanya

standar baku dikalangan para industri WMA terkait dengan suhu produksinya.

Sehingga klasifikasi yang bisa dilakukan adalah bergantung kepada penggunanya

sendiri, tidak sedikit yang kemudian memproduksi WMA pada suhu yang sangat

mirip dengan produksi HMA dengan tujuan untuk mempermudah pada saat

pemadatan (Smirnovs dan Zaumanis, 2011).

Tiga teknologi WMA yang umum digunakan antara lain:

1. Aditif organik

Bahan tambahan berupa aditif organik digunakan untuk menurunkan

viskositas dari binder (aspal). Bahan aditif yang biasa digunakan adalah lilin

paraffin khusus yang produksinya melalui konversi gas alam. Aditif organik

memberikan penurunan pada suhu campuran sekitar 20°C - 30°C, bahkan juga

meningkatkan ketahanan deformasi aspal yang dimodifikasi (EAPA,2014).

Secara rinci, teknologi ini bekerja ketika bahan tambahan berupa lilin paraffin

dicampurkan dan suhu campuran melebihi titik leleh lilin sehingga akan

terjadi penurunan viskositas campuran. Dan setelah campuran mengalami

penurunan suhu, bahan aditif akan mengalami perkerasan sehingga

membentuk partikel-partikel kecil yang akan terdistribusi merata sehingga

membentuk seperti serat. Hal ini yang kemudian meningkatkan ketahanan

deformasi aspal yang dimodifikasi.

24
Gambar 2.8 Viskositas aspal dan aspal + aditif organik terhadap temperatur
(Sumber: Zaumanis, 2014)

Terlihat bahwa viskositas yang diharapkan bisa tercapai pada suhu yang lebih

rendah dibanding binder tanpa campuran aditif organik. Hal tersebut

memungkinkan terjadinya pelapisan kepada agregat pada suhu yang lebih

rendah. Bisa dikatakan bahwa pemilihan lilin yang tepat sangat berpengaruh

kepada hasil campuran, karena lilin yang tepat juga akan meminimalkan

terjadinya penggetasan pada aspal ketika suhu rendah. Lilin dalam teknologi

ini adalah rantai hidrokarbon molekul tinggi dengan titik leleh 80°C – 120°C

dan mampu memodifikasi sifat pengikat aslinya. Suhu di mana lilin meleleh

berhubungan langsung dengan panjang rantai karbon (Paula Cristina Arroyo-

Martínez, 2019).

Jenis lilin yang dewasa ini banyak digunakan adalah sasobit yang berbentuk

bubuk atau butiran putih. Sasobit memiliki rantai hidrokarbon alifatik yang

panjang, terdiri atas 45 sampai 115 atom karbon, yang memiliki kisaran leleh

disekitar 85°C – 115°C. Dengan penambahan 3% sasobit terhadap kadar

25
aspal, titik pelunakan pengikat berkurang 20° C – 35° C dan penetrasi

berkurang 15–25 1/10 mm (Drüschner, 2009).

Gambar 2.9 Serpihan sasobit (kiri) dan butiran sasobit (kanan)


(Sumber: Hurley et al, 2005)

2. Zat aditif kimia

Bahan kimia tambahan biasanya mencakup kombinasi antara zat pengemulsi,

zat aktif permukaan serta aditif untuk meningkatkan kemampuan kerja

campuran dalam tahap pelapisan dan pemadatan serta tidak dirancang untuk

mengubah tingkat pengikat dari campuran. Bahan aditif kimia sendiri paling

sering dicampurkan dalam bentuk cairan yang mudah larut terhadap binder

(aspal). Penambahan jumlah zat aditif tergantung dengan jenis produk yang

digunakan. Oleh karena jenisnya yang merupakan senyawa yang bisa

menurunkan tegangan permukaan atau tegangan antar muka (surfaktan)

sehingga dapat mengurangi gesekan internal antara agregat dan partikel

pengikat pada proses pencampuran dan pemadatan. Alhasil suhu produksi

untuk proses pencampuran dan pemadatan bisa berkurang berkisar 15°C -

30°C (Bugra sinmez, 2018).

Salah satu zat aditif kimia yang umum digunakan adalah rediset, yang dimana

merupakan zat aditif kimia buatan AzkoNobel. Sama seperti fungsi utama zat

26
aditif kimia pada umumnya, prinsip kerja utama zat aditif kimia ini adalah

meningkatkan kinerja dari campuran pengikat aspal dalam upayanya untuk

melapisi agregat. Rediset merupakan zat aditif yang dipakai tanpa

menggunakan air (water free) dan memiliki 2 jenis wujud, Rediset LQ yang

berbentuk cairan dan Rediset WMX yang berbentuk padat. Campuran yang

umum dipakai adalah 1-3% dari berat aspal untuk rediset WMX dan 0,5-1%

untuk rediset LQ (Meor Othman Hamzah, Ali Jamshidi, Babak Golchin,

Emmanuel Chailleux, 2018). Sifat rediset sendiri yakni mudah larut dalam

pengikat aspal tanpa kebutuhan akan perangkat pengaduk yang tinggi, serta

gampang untuk meleleh di sekitar suhu 85°C sebelum kemudian menyatu

dengan baik dengan aspal pengikat (Arega, Bhasin, 2002).

Gambar 2.10 Rediset LQ (kiri) dan Rediset WMX (kanan)


(Sumber: Meor Othman Hamzah, Ali Jamshidi, Babak Golchin, Emmanuel Chailleux,
2018)

Rediset juga tidak memerlukan bahan anti pengelupasan tambahan dalam

campurannya kepada aspal, dikarenakan rediset telah memiliki sifat anti

stripping sendiri.

27
3. Teknologi pembusaan (foaming technologies)

Teknologi pembusaan merupakan salah satu teknologi dalam pembuatan

campuran WMA. Teknologi ini pada dasarnya menggunakan sekidit air

dingin yang dimasukan kedalam campuran aspal, bisa dengan menggunakan

nozel berbusa, dengan menambahkan zeolit ataupun dengan mencampurkan

sebagian agregat yang basah. Jadi, ketika air dicampur dengan aspal panas,

suhu tinggi yang ada pada aspal akan bertemu dengan suhu dingin dari air

sehingga akan menaikan volume bahan pengikat untuk sementara waktu.

Akibat dari adanya kenaikan volume bahan pengikat maka akan membuat luas

permukaan agregat yang bisa di lapisi (cover) menjadi lebih meningkat, selain

itu viskositas campuran akan bisa diturunkan untuk waktu yang cukup untuk

memastikan campuran dikerjakan (Ozturk, Kutay, 2013).

Dua teknologi untuk teknologi pembusaan (foaming technologies) yang biasa

digunakan antara lain:

a. Injeksi dengan nozzle / water-based technologies

Pada cara ini, sejumlah air dingin akan diinjeksikan dan dialirkan menuju

campuran aspal. Sekitar 1-2% air dari berat aspal akan diinjeksikan sehingga

menciptakan uap yang akan menghasilkan buih dan memperbesar volume

binder (aspal). Akibat lain yakni adanya penurunan viskositas pada aspal

karena sudah terinjeksi menjadi buih dan memungkinkan untuk melapisi

agregat pada suhu yang lebih rendah (Perkins, 2009).

Air yang diinjeksikan dengan suatu nozzle khusus akan dapat memuai sekitar

1600 kali lipat dan akan terperangkap dalam aspal yang kental sehingga

28
membuat buih. Buih akan bersifat sementara dan membantu untuk aspal dapat

bekerja dengan lebih baik untuk melapisi agregat, hingga akhirnya buih akan

perlahan pecah dan hilang.

Gambar 2.11 Double barrel green nozle


(Sumber: Zaumanis, 2014)

b. Penambahan zeolit sintesis / water-containing technologies

Berbeda dengan injeksi dengan nozzle / water-based technologies, cara ini

menggunakan mineral sebagai bahan tambahan untuk sebagai sumber buih

air. Mineral yang biasa digunakan pada teknologi ini adalah biasa mineral

hidrofilik dari keluarga zeolit. Zeolit yang sering dipakai adalah zeolit sintetik

bubuk yang telah diuraikan secara hidrotermal, dikarenakan zeolit ini berisi

sekitar 20% air kristalisasi yang bisa dilepaskan pada suhu campuran diatas

85°C (D'Angelo, 2008). Zeolit sendiri biasa digunakan sekitar 0,25 sampai

dengan 0,3 dari berat campuran. Akan tetapi, dikarenakan pengupasan air bisa

terjadi, akan lebih baik bagi campuran jika dilakukan penambahan bahan

29
kimia tambahan yang dapat meningkatkan pelapisan agregat dan juga

menurunkan sensitivitas campuran terhadap air.

Gambar 2.12 Advera zeolit


(Sumber: Ashley Buss, 2014)

Zeolit yang bersentuhan dengan pengikat panas akan akan menjadi uap yang

menyebar, sehingga pada produksinya, zeolit wajib dicampurkan pada aspal

terlebih dahulu sebelum adanya pencampuran dengan agregat.

Teknologi pembusaan (foaming technologies) juga digunakan dalam proses

pembuatan low emission asphalt (LEA). Langkah kerja dari pembuatan LEA

adalah agregat kasar yang mengisi lebih dari 80% campuran dipanaskan

hingga mencapai suhu 130-160°C dan kemudian dilapisi dengan aspal yang

panas. Efek dari hal tersebut adalah menciptakan lapisan film pengikat yang

tebal pada partikel-partikel agregat yang kasar. Kemudian diberikan fraksi

dingin berupa air dengan temperatur rendah, dan bersentuhan dengan aspal

panas menimbulkan buih / pembusaan.

30
Gambar 2.13 Proses pembuatan Low Emission Asphalt (LEA)
Sumber: Zaumanis, 2014

Teknologi pembusaan (foaming technologies) yang digunakan dalam proses

pembuatan Low Emission Asphalt (LEA) akan mengakibatkan adanya

kandungan persentase kecil air dalam campuran dan akan cenderung

mencapai kestabilan disuhu sekitar 95°C.

31
Teknologi-teknologi WMA yang telah dijabarkan merupakan teknologi yang

paling umum digunakan, terlebih di USA dimana tempat berkembang pesatnya

WMA. Dengan data dari 2009 sampai 2012 di USA:

Tabel 2.2 Perkembangan pemakaian WMA dan teknologinya di USA


Total
Juta ton % WMA
Tahun produksi aspal
WMA
(Juta ton)

2009 15,2 325 5%

2010 37,3 326 11%

2011 62,3 332 19%

2012 77,1 323,5 24%

Keterangan teknik yang dipakai:


Plant foaming 88,1%, Chemical addictive 9,6%, Additive foaming 2,1% dan organic
additive 0,2%.
(Sumber: EAPA,2014)

Dari data tersebut terlihat jelas bahwa teknologi penambahan aditif kimia

menjadi urutan nomor dua favorit setelah teknologi foaming. Dan dimana aditif

organik sudah mulai ditinggalkan terlihat dari pemakaian yang hanya 0,2% dari

total pemakaian. Alasan dari aditif kimia mulai berkembang adalah karena

munculnya inovasi-inovasi mengenai campuran dari aditif itu sendiri, seperti

contoh pada rediset LQ yang dimana sudah disertai dengan anti-stripping agent

sehingga bisa meningkatkan performa campuran.

32
2.1.3 Spesifikasi Teknis Campuran WMA

Dalam pembuatannya, khususnya di Indonesia spesifikasi teknis yang

dirancang dan dihasilkan wajib mengikuti peraturan terkait yang berlaku. Dalam

konteks pembangunan konstruksi jalan, pedoman utama yang diakui dan bisa

menjadi panduan dalam bekerja salah satunya adalah spesifikasi umum 2018 untuk

pekerjaan konstruksi jalan dan jembatan terbitan Kementrian Pekerjaan Umum dan

Perumahan Rakyat (Kementrian PUPR) Binamarga. Dalam terbitannya, dijelaskan

mendetail mengenai spesifikasi teknis dari campuran aspal khususnya mengenai

campuran aspal hangat (WMA). Tertuang dalam seksi 6.4 tentang campuran

beraspal hangat bergradasi menerus (laston hangat), dijabarkan mengenai

persyaratan suhu yang diijinkan pada proses pelaksanaan prosedur pembuatan

benda uji.

Tabel 2.3 Temperatur ijin pencampuran dan pemadatan WMA

Perkiraan Temperatur
No Prosedur Pelaksanaan
Aspal (°C)
1. Pencampuran benda uji Marshall 130 ± 2
2. Pemadatan benda uji Marshall 115 ± 2
Pencampuran, rentang temperatur
3. 130 - 135
sasaran
Menuangkan campuran beraspal dari
4. 120 - 130
alat pencampur ke dalam truk
5. Pemasokan ke alat penghampar 115 - 125
6. Pemadatan awal (roda baja) 110 - 120
7. Pemadatan antara (roda karet) 90 - 115
8. Pemadatan akhir (roda baja) >80

(Sumber: Spesifikasi Umum untuk Pekerjaan Konstruksi Jalan dan Jembatan Tabel 6.4.5.1, 2018,
Binamarga)

33
2.2 Campuran Aspal

Penggunaan aspal sebagai bahan pengikat untuk lapisan perkerasan sudah

lazim digunakan, dimana perkerasan lentur menjadi sebutan bagi perkerasan

tersebut. Beban jalan merupakan hal utama yang mempengaruhi adanya perkerasan

jalan, oleh karenanya perkerasan berkembang menjadi beberapa kategori sesuai

dengan kebutuhan beban jalan yang ditanggung. Stone Matrix Asphalt (SMA) serta

Lapis Tipis Aspal Pasir (Latasir), digunakan untuk beban lalu lintas yang ringan.

Lapis Tipis Aspal Beton (Lataston) untuk beban lalu lintas sedang yakni, serta Lapis

Aspal Beton (Laston) untuk beban lalu lintas berat. Adapun toleransi tebal dan tebal

minimum campuran tersebut berdasarkan ketentuan Spesifikasi Umum 2018 untuk

Pekerjaan Konstruksi Jalan dan Jembatan Binamarga:

Tabel 2.4 Tebal minimum macam-macam campuran beraspal

Tebal Nominal Toleransi


Jenis Campuran Simbol
Minimum (cm) Tebal (mm)

Stone Matrix Asphalt Tipis SMA - Tipis 3,0 - 2,0

Stone Matrix Asphalt - Halus SMA - Halus 4,0 - 3,0

Stone Matrix Asphalt - Kasar SMA - Kasar 5,0 - 3,0

Lapis Aus HRS - WC 3,0 - 3,0


Lataston
Lapis Fondasi HRS - Base 3,5 - 3,0

Lapis Aus AC - WC 4,0 - 3,0

Lapis Antara AC - BC 6,0 - 4,0


Laston

Lapis Fondasi AC - Base 7,5 - 5,0

(Sumber: Spesifikasi Umum untuk Pekerjaan Konstruksi Jalan dan Jembatan Tabel 6.3.1.1, 2018,
Binamarga)

34
Laston sendiri merupakan lapisan yang paling menarik, dikarenakan

kemampuannya mengatasi beban lalu lintas berat. Lapisan aspal beton (laston)

merupakan lapisan pada jalan yang penyusunnya terdiri atas campuran antara aspal

dan agregat dan dihamparkan serta dipadatkan dalam suhu tertentu (Silvia

Sukirman, 1992). Laston yang biasa disebut sebagai Asphalt-Concrete (AC) terdiri

atas 3 kategori lapisan, yakni: lapis aus (AC - Wearing Course), lapis antara (AC-

Binder Course) dan lapis fondasi (AC-Base).

Gambar 2.14 Urutan lapisan perkerasan laston


(Sumber: Dwi Kusuma, 2014)

Urutan lapisan menjadi perbedaan diantara ketiganya, dan berdampak

langsung terhadap fungsi masing-masing lapisan. Laston lapis aus (AC - Wearing

Course) merupakan lapisan paling luar pada lapisan laston yang dimana menjadi

tempat kontak langsung dengan roda kendaraan melintas. Sebagai lapisan terluar,

untuk mengakomodasi kenyamanan dalam berkendara, tentu laston lapis aus

memiliki tekstur lapisan yang lebih halus jika dibandingkan dengan laston lapis

pondasi ataupun laston lapis antara serta tidak licin untuk berkendara. Disamping

itu, lapis AC-Wearing Course (AC-WC) yang sebagai lapisan terluar juga memiliki

peranan penting dalam menjaga lapisan dibawahnya terhadap paparan pengaruh

35
lingkungan yang dapat menurunkan kinerja perkerasan seperti paparan air dan

cuaca. Sebagai lapis perkerasan yang menahan roda maka lapisan ini diharuskan

untuk memiliki stabilitas yang tinggi guna menahan beban selama masa

pelayanannya, ditambah dengan keharusan untuk kuat menahan gesekan yang terus

menerus terjadi dimana bisa menyebabkan lapisan mudah menjadi aus. Dan

selayaknya lapisan yang baik, tentu lapisan AC-WC harus dapat menyebarkan

beban secara baik kepada lapisan-lapisan dibawahnya sehingga dapat bersama-

sama dipikul beban kerjanya.

Dalam rangka perkembangan konsep perkembangan berkelanjutan

(sustainability concept development) dan peningkatan performa dari kinerja lapisan

laston sendiri, kemudian laston mengalami perkembangan untuk dapat dikerjakan

dan dibuat dengan teknologi campuran hangat (WMA) serta bisa ditambahkan

bahan modifikasi seperti polimer untuk meningkatkan performa campuran dan

mengatasi permasalahan seperti ageing, rutting, cracking, serta moisture damage.

Pada spesifikasi umum 2018 untuk pekerjaan konstruksi jalan dan jembatan terbitan

Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementrian PUPR)

Binamarga dijabarkan kemudian sifat-sifat campuran laston hangat dan hangat

modifikasi:

Tabel 2.5 Ketentuan sifat campuran laston (AC) hangat


Laston
Sifat-sifat Campuran
Lapis Aus Lapis Antara Pondasi
Jumlah tumbukan perbidang 75 112
Min.
Rasio partikel lolos ayakan 0,075 0,6
mm dengan kadar aspal efektif Maks. 1,2
Min. 3,0
Rongga dalam campuran (%)
Maks. 5,0
Rongga dalam Agregat (VMA) (%) Min. 15 14 13

36
Sifat-sifat Campuran Lapis Aus Lapis Antara Pondasi
Rongga Terisi Aspal (%) Min. 65 65 65
Stabilitas Marshall (kg) Min. 800 1800
Min. 2 3
Pelelehan (mm)
Maks. 4 6
Stabilitas Marshall Sisa (%) setelah Min.
peredaman selama 24 jam, 600C 90

Rongga dalam campuran (%) pada


Kepadatan membal (refusal) Min. 2

(Sumber: Spesifikasi Umum untuk Pekerjaan Konstruksi Jalan dan Jembatan Tabel 6.3.3.1c, 2018,
Binamarga)

Tabel 2.6 Ketentuan sifat campuran laston (AC) hangat modifikasi

Laston Modifikasi
Sifat-sifat Campuran
Lapis Lapis Antara Pondasi
Aus
Jumlah tumbukan perbidang 75 112
Rasio partikel lolos ayakan Min. 0,6
0,075 mm dengan kadar aspal 1,2
Maks.
efektif
Min. 3,0
Rongga dalam campuran (%)
Maks. 5,0
Rongga dalam Agregat (VMA) 15 14 13
Min.
(%)
Rongga Terisi Aspal (%) Min. 65 65 65
Stabilitas Marshall (kg) Min. 1000 2250
Min. 2 3
Pelelehan (mm)
Maks. 4 6
Stabilitas Marshall Sisa (%)
setelah peredaman selama 24 jam, Min. 90
600C
Rongga dalam campuran (%)
pada Kepadatan membal 2
Min.
(refusal)

Stabilitas dinamis, lintasan/mm Min. 2500

(Sumber: Spesifikasi Umum untuk Pekerjaan Konstruksi Jalan dan Jembatan Tabel
6.3.3.1d, 2018, Binamarga)

37
2.2.1 Material Campuran Laston Hangat

Laston yang dibuat secara campuran hangat (WMA) memiliki campuran

material yang hampir sama dengan HMA. Dikarenakan perbedaan suhu pada tahap

pembuatan campuran keduanya, satu-satunya perbedaan material yang mendasari

keduanya ada pada bahan tambahan (aditif) untuk menurukan suhu campuran

WMA.

Perkembangan mengenai laston juga mempengaruhi dalam material

komposisi campurannya. Dikenal dengan laston modifikasi, laston ini memiliki

bahan tambahan untuk meningkatkan performa campuran dalam menangani

permasalahan-permasalahan yang biasa muncul seperti ageing, rutting, cracking,

moisture damage, dan permasalahan lainnya. Dan salah satu bahan modifikasi yang

biasa dipakai adalah polimer sintetik.

Berikut penjelasan lebih rinci mengenai masing - masing komponen

penyusun campuran laston:

2.2.1.1 Aspal / Bitumen

Aspal atau bitumen ialah suatu material yang memiliki karakteristik warna

hitam pekat ataupun hitam kecoklatan. Aspal pada campuran lapisan perkerasan

jalan memiliki fungsi sebagai bahan pengikat pada antar agregat sehingga agregat

dapat membentuk ikatan campuran yang kompak serta sebagai pelumas pada saat

proses penghamparan, jadi mempermudah dalam proses pemadatan di lapangan

(Kerbs & Walker, 1970). Selain dua fungsi tersebut, adapun fungsi utama lain aspal

ialah sebagai bahan pengisi yang mengisi rongga-rongga antar agregat.

38
Gambar 2.15 Fungsi aspal terhadap agregat
(Sumber: Sukirman, 2003)

Fungsinya sebagai bahan pengikat, pelumas dan pengisi tidak lepas dari

sifat viskoelastik yang dimiliki oleh aspal. Sifat viskoelastiknya membuat aspal

akan melunak bahkan mencair jika dipanaskan dengan pemasanasan yang cukup,

dan sebaliknya. Oleh karena hal tersebut membuat aspal tetap bisa untuk sebagai

bahan pengikat, pelumas dan pengisi dari proses produksi hingga masa

pelayanannya. Pada dasarnya aspal terbuat dari suatu rantai hidrokarbon yang

disebut bitumen, oleh sebab itu aspal sering disebut material berbituminous. Aspal

atau bitumen terdiri dari berbagai molekul organik yang terdiri dari sekitar 85%

karbon, 10% hidrogen, heteroatom seperti nitrogen (0–2%), oksigen (0–2%), sulfur

(0–9%) dan jejak logam seperti vanadium, besi dan nikel (J.S. Moulthrop, 1993),

oleh karena itu aspal disebut dengan rantai senyawa hidrokarbon. Dan pada

dasarnya, fraksi penyusunnya terbagi atas dua grup besar yakni asphaltene dan

maltene, dimana asphaltene berperan dalam sifat kekakuan aspal dan maltene

berperan dalam pembentuk sifat viskoelastik.

39
Dalam pemakaiannya pada campuran perkerasan jalan, aspal cenderung

hanya mengisi 4-10% dari total campuran. Untuk dapat dijadikan sebagai bahan

dalam campuran perkerasan jalan, perlu adanya pengetahuan mengenai

kemampuan dari aspal sendiri, antara lain:

1. Termoplastis

Wujud dari aspal akan berubah sesuai dengan temperatur yang diaplikasikan

pada aspal. Sifatnya yang viskoelastik dan termoplastis mengakibatkan aspal

dapat mencair jika diaplikasikan temperature tinggi. Sekitar diatas suhu 140 ºC

maka akan disebut sebagai glass transition temperature, dikarenakan aspal

menjadi lunak. Dan ketika dibawah suhu 140 ºC, maka aspal perlahan akan

mengental.

Oleh karena hal tersebut, ketika penggunaannya sebagai bahan campuran

perkerasan jalan, aspal harus dipanaskan agar aspal dapat dengan mudah

digunakan dalam pencampuran (memiliki workability yang baik).

2. Kohesi dan adhesi

Aspal memiliki kemampuan untuk menjadi bahan pengikat pada antar agregat

sehingga agregat dapat membentuk ikatan campuran yang kompak, inilah yang

dinamakan adhesi dari aspal. Dan aspal memiliki kemampuan untuk tetap

mempertahankan ikatan yang terjadi sehingga agregat dapat tetap berada pada

tempatnya (dapat mempertahankan posisinya), inilah yang disebut kohesi dari

aspal.

40
3. Kegetasan

Selama masa pelayanannya, aspal berinteraksi dengan lingkungan.

Mengakibatkan aspal mengalami proses oksidasi, dampak yang terasa adalah

aspal akan mengalami kegetasan. Oksidasi yang terjadi dipengaruhi oleh

ketebalan dari aspal dalam menyelimuti agregat. Semakin tebal lapisan aspal,

maka akan semakin kecil pula tingkat kerapuhannya.

4. Durability

Aspal memiliki daya tahan nya, yakni kemampuan aspal untuk dapat menjaga

sifat-sifat aslinya terhadap pengaruh dari lingkungan (cuaca) selama tahap

produksinya hingga selama masa pelayanannya.

Aspal terbagi menjadi dua jenis utama, yakni aspal alam (asbuton) yang

merupakan aspal yang langsung tersedia di alam dan sumber terbesarnya adalah

Pulau Buton. Serta aspal buatan yang merupakan hasil akhir dari penyaringan

minyak. Aspal buatan berdasarkan pada bentuknya terbagi atas tiga jenis, yakni:

1. Aspal keras (Asphalt Cement)

Aspal keras merupakan aspal yang berbentuk padat jika disimpan pada suhu

ruang, sekitar 25 ºC - 30 ºC. Aspal keras yang biasa digunakan adalah aspal

dengan penetrasi 40/50, 60/70, 80/100, 120/150, 200/300. Penetrasi yang

dipakai tergantung dengan kebutuhan, untuk daerah panas dan cenderung

berlalu lintas tinggi maka akan digunakan aspal dengan penetrasi yang

cenderung rendah dibanding daerah dingin atau daerah dengan volume lalu

lintas rendah. Dalam penggunaan di dunia konstruksi, aspal keras digunakan

dalam pembuatan campuran laston.

41
2. Aspal cair (Cut Back Asphalt)

Aspal cair berbentuk cair jika disimpan pada suhu ruang sekitar 25 ºC - 30 ºC,

dikarenakan aspal cair terbentuk dari campuran aspal keras dengan bahan

pencair yang didapat dari hasil penyulingan minyak bumi. Dalam penggunaan

di dunia konstruksi, aspal cair digunakan sebagai lapisan prime coat.

3. Aspal emulsi

Aspal emulsi adalah campuran dari aspal dengan air serta bahan pengemulsi.

Pada pembuatannya, aspal keras diemulsikan dengan cara partikel-pertikel pada

aspal padat ini didispersikan dan dipisahkan dalam air.

Berdasarkan ketentuan Spesifikasi Umum 2018 untuk Pekerjaan

Konstruksi Jalan dan Jembatan Binamarga, ada beberapa ketentuan aspal yang

harus dipenuhi khususnya untuk campuran aspal hangat (WMA) dengan aspal keras

penetrasi 60-70:

Tabel 2.7 Ketentuan aspal dalam campuran aspal hangat

Tipe I Aspal
No Jenis Pengujian Standar
Pen 60/70

Penetrasi pada 25 C 100 gram, 5


1 SNI 2456:2011 60-70
detik (0.1 mm)

Kekentalan pada temperature 135 C ASTM D2170-


2 Maks.3000
(cSt) 10

4 Titik Lembek ( C) SNI 2434:2011 Min.48

5 Daktilitas pada 25 C (cm) SNI 2432:2011 Min.100

6 Titik Nyala ( C) SNI 2433:2011 Min.232

42
Tipe I Aspal
No Jenis Pengujian Standar
Pen 60/70

Kelarutan dalam Trichloroethylene ASTM D2042-


7 Min.99
(%) 01

8 Berat Jenis Aspal SNI 2441:2011 Min. 1,0

ASTM D5976-
Stabilitas Penyimpanan: Perbedaan
9 00 Part 6.1 dan -
Titik Lembek ( C)
SNI 2434:2011

SNI 03-3639-
10 Kadar Parafin Lilin (%) Maks.2
2002

Pengujian Residu hasil TFOT (SNI-06-2440-1991) atau RTFOT (SNI-03-6835-


2002):

SNI 06-2441-
11 Berat yang hilang (%) Maks.0,8
1991

13 Penetrasi pada 25 C (% asli) SNI 2456:2011 Min.54

14 Daktilitas pada 25 C (cm) SNI 2432:2011 Min.100

(Sumber: Spesifikasi Khusus Interim Campuran Beraspal Hangat Bergradasi Menerus


Laston Hangat Divisi 6.9 Tabel SKh-1.6.9.2(1), 2016, Binamarga)

2.2.1.2 Agregat

Agregat merupakan salah satu material penyusun campuran laston yang

merupakan partikel mineral dengan bentuk butiran. Agregat dalam penggunaannya

perlu dikombinasikan dengan material lain seperti material perekat dan material

pengisi agar dapat menjadi suatu campuran perkerasan jalan. Dalam campuran

perkerasan jalan, agregat memiliki presentase 70% - 85% dari total volume

campuran. Oleh karena presentasenya yang sangat besar dalam volume total

campuran perkerasan, maka sifat dan karakteristik dari agregat sangat berpengaruh

terhadap kinerja dari campuran perkerasan jalan. Salah satu sifat dan karakteristik

43
yang mempengaruhi yakni daya lekat aspal terhadap agregat. Sifat agregat terhadap

air sangat mempengaruhi kelekatan, agregat hydrophobic (mudah diresapi air)

yakni agregat yang mengandung silica serta granit membuat agregat susah untuk

dilapisi oleh aspal dan ikatan antar keduanya akan mudah lepas. Berbeda halnya

dengan agregat hydrophilic (sulit diresapi air) seperti andesit dan diorit yang

membuat agregat lebih mudah untuk dilapisi aspal (Hendra Saputro, 2016). Oleh

karena jenis agregat yang berbeda tersebut, performa dari agregat sangat

berpengaruh terhadap pelapisan aspal dan berpengaruh terhadap kinerja dari

campuran aspal.

Salah satu sifat agregat lainnya yang mempengaruhi kinerja campuran

adalah mengenai gradasi dari agregat. Ukuran butir agregat yang mengacu pada

ketentuan SNI 03-1968-2002:

Tabel 2.8 Ukuran saringan dan ukuran bukaan saringan agregat

Ukuran saringan Bukaan (mm) Ukuran saringan Bukaan (mm)

4 inch 100 3/8 inch 9,5

3 ½ inch 90 No.4 4,75

3 inch 75 No.8 2,36

2 ½ inch 63 No.16 1,18

2 inch 50 No.30 0,6

1 ½ inch 37,5 No.50 0,3

1 inch 25 No.100 0,15

¾ inch 19 No.200 0,075

½ inch 12.5 Pan <0,075

(Sumber: Sukirman, 2003)

44
Agregat berdasarkan jenis dan ukuran butirannya dapat dibedakan menjadi

agregat kasar, agregat halus, serta bahan pengisi atau filler. Tentu yang paling

membedakan ketiganya disini adalah penggolongan batas gradasi pada agregatnya.

Dan berdasarkan ketentuan spesifikasi umum Binamarga (2018) menyatakan

bahwa penyerapan air yang diizinkan untuk agregat pada campuran laston

maksimum 3% dan berat jenis (specific gravity) antara agregat kasar dan halus yang

dipakai tidak berbeda melebihi 0,2.

Berikut penjelasan mendetail mengenai masing-masing jenis agregat

berdasarkan jenis dan ukuran butirannya:

1. Agregat kasar

Dalam Spesifikasi Umum untuk Pekerjaan Konstruksi Jalan dan Jembatan

Binamarga (2018) dinyatakan bahwa “yang termasuk kedalam agregat kasar

untuk rancangan perkerasan ialah agregat yang tertahan pada ayakan No.4 atau

ayakan dengan bukaan 4,75 mm. Agregat yang dipakai dalam campuran

diharuskan agar bersih, keras, awet, serta untuk terbebas dari lempung serta

bahan lain yang tidak dikehendaki”. Ketentuan mengenai agregat kasar yakni:

Tabel 2.9 Ketentuan teknis agregat kasar

No. Jenis Pemeriksaan Metode Pengujian Nilai


Natrium
Kekekalan Maks.
1 Sulfat SNI 3407:2008
bentuk agregat 12%
terhadap larutan Magnesium
Maks.
Sulfat 18%
Abrasi dengan 100 putaran Maks. 8%
2 SNI 2417:2008
mesin Los 500 putaran Maks.
Angeles 40%
3 Kekekalan agregat terhadap aspal SNI 2439:2011 Min. 95%

45
No. Jenis Pemeriksaan Metode Pengujian Nilai
Butiran pecah terhadap agregat
4 SNI 7619:2012 95/90**)
kasar

Partikel pipih dan lonjong ASTM D4791-10 Maks.


5 Perbandingan 1 : 5 10%
SNI ASTM
6 Material lolos ayakan No.200 Maks. 1%
C117:2012

(Sumber: Spesifikasi Umum untuk Pekerjaan Konstruksi Jalan dan Jembatan Tabel
6.3.2.1a, 2018, Binamarga)

2. Agregat halus

Dalam Spesifikasi Umum untuk Pekerjaan Konstruksi Jalan dan Jembatan

Binamarga (2018) dinyatakan bahwa “agregat halus berasal dari sumber

manapun dan harus terdiri dari pasir atau hasil pengayakan batu pecah. Agregat

harus terdiri dari bahan yang lolos ayakan No.4 (4,75 mm). Agregat halus dalam

campuran merupakan bahan yang bersih, keras, bebas dari lempung atau bahan

yang tidak dikehendaki lainnya. Jika digunakan pasir alam dalam campuran

laston (AC), maksimal 15% terhadap berat total campuran”. Ketentuan

mengenai agregat halus yakni:

Tabel 2.10 Ketentuan teknis agregat halus

No Pengujian Metoda Pengujian Nilai


1 Nilai Setara Pasir SNI 03-4428-1997 Min. 50%
Uji Kadar Rongga Tanpa
2 SNI 03-6877-2002 Min. 45
Pemadatan
Gumpalan Lempung dan Butir-
3 SNI 03-4141-1996 Maks. 1%
butir Mudah Pecah dalam
Agregat
4 Agregat Lolos Ayakan No.200 SNI ASTM C117:2012 Maks.10%

(Sumber: Spesifikasi Umum untuk Pekerjaan Konstruksi Jalan dan Jembatan Tabel 6.3.2.2,
2018, Binamarga)

46
3. Filler

Filler merupakan bahan pengisi dalam campuran perkerasan jalan. Sebagai

bahan pengisi, berbagai material seperti debu batu kapur (limestone dust), debu

kapur padam, debu kapur magnesium, dolomit, semen, serta abu terbang tipe C

dan F bisa untuk digunakan. Akan tetapi, dalam Spesifikasi Umum untuk

Pekerjaan Konstruksi Jalan dan Jembatan Binamarga (2018) dinyatakan bahwa

“untuk jenis aspal keras penetrasi 60/70 hanya diizinkan menggunakan bahan

pengisi berupa semen, dan diharuskan kering dan bebas dari gumpalan dan bila

diuji dengan pengayakan sesuai SNI ASTM C136:2012 harus mengandung

bahan yang lolos ayakan No.200 (75 micron) tidak kurang dari 75% terhadap

beratnya. Dan semen yang digunakan harus dalam rentang 1%-3% berat total

agregat.”. Berikut ketentuan gradasi yang harus dipenuhi filler:

Tabel 2.11 Ketentuan gradasi filler

Ukuran saringan Persentase lolos (%)

No. 30 100

No. 50 95-100

No.200 70-100

(Sumber: SNI 03-06723-2002)

Pada saat agregat bercampur, tentu gradasi campuran sangat erat kaitannya

dengan kinerja dari campuran perkerasan jalan yang dihasilkan. Besar kecilnya

rongga akan sangat berbeda diantara masing-masing campuran aspal, sehingga

akan mempengaruhi kinerja campuran berupa ketahanan, kekakuan, stabilitas, dan

permeabilitasnya. Tiga macam gradasi campuran yang akan menghasilkan rongga

47
berbeda antara lain: gradasi menerus (continous graded), gradasi senjang (gap

graded), dan gradasi tunggal (single graded). Perbedaan utama diantara ketiganya

adalah pemakaian butir agregat pada campuran gradasinya.

Gradasi menerus menggunakan ukuran butir agregat yang lengkap, yakni

agregat terbesar hingga terkecil, sehingga dihasilkan campuran yang padat dengan

rongga antar butiran yang kecil dikarenakan rongga antar butiran yang besar bisa

diisi oleh butiran yang lebih kecil. Kedua, gradasi senjang dimana gradasi campuran

menggunakan ukuran butir agregat yang tidak selengkap gradasi menerus dan

cenderung sedikit jumlahnya, sehingga dihasilkan rongga yang lebih besar dari

gradasi menerus. Ketiga adalah gradasi seragam yang memiliki butir agregat begitu

dominan satu ukuran, sehingga rongga yang dihasilkan akan paling tinggi.

Pada campuran laston, digunakan gradasi menerus untuk mengakomodasi

fungsi utamanya sebagai perkerasan daripada jalan dengan intensitas pemakaian

yang tinggi dan ramai. Berikut ketentuan gradasi menerus campuran laston aus

(AC-WC):

Tabel 2.12 Amplop gradasi menerus agregat gabungan laston aus (AC-WC)

Kumulatif Berat Lolos Terhadap Total Agregat


Ukuran Ayakan
(%)
ASTM (mm) Batas Bawah Batas Atas
3/4" 19 100 100
1/2" 12,5 90 100
3/8" 9,5 77 90
No. 4 4,75 53 69
No. 8 2,36 33 53
No. 16 1,18 21 40
No. 30 0,6 14 30
No. 50 0,3 9 22
No. 100 0,15 6 15

48
Kumulatif Berat Lolos Terhadap Total Agregat
Ukuran Ayakan
(%)
ASTM (mm) Batas Bawah Batas Atas
No. 200 0,075 4 9
(Sumber: Spesifikasi Umumuntuk Pekerjaan Konstruksi Jalan dan Jembatan Tabel 6.3.2.5,
2018, Binamarga)

2.2.1.3 Aditif

Perbedaan utama WMA dengan HMA adalah terkait dengan suhu

campuran yang berbeda ketika proses pencampuran perkerasan jalan dilakukan.

Guna mereduksi suhu campuran pada WMA, bahan aditif sangat berperan

didalamnya. Jenis aditif begitu beragam sesuai dengan jenis teknologi WMA yang

dipakai, umumnya terbagi atas 3 jenis aditif:

1. Zat aditif organik

Fungsi utama zat aditif organik adalah menurunkan viskositas pada binder

(aspal), sehingga suhu yang dibutuhkan pada suhu campuran akan mengalami

penurunan sekitar 20°C - 30°C. Bahan aditif yang biasa digunakan adalah lilin

paraffin khusus yang produksinya melalui konversi gas alam. Tipe-tipe aditif

yang biasa digunakan adalah Montan wax, recycled pryotylic polyethylene wax,

serta fischer-tropsch wax.

2. Zat aditif kimia

Bahan aditif kimia berbeda kinerja dengan zat aditif organik. Aditif kimia

merupakan jenis senyawa yang bisa menurunkan tegangan permukaan atau

tegangan antar muka (surfaktan) sehingga dapat mengurangi gesekan internal

antara agregat dan partikel pengikat pada proses pencampuran dan pemadatan.

Aditif ini tidak menurunkan viskositas seperti aditif organik. Contoh dari

beberapa zat aditif kimia adalah Cecabase RT, Rediset™, dan Evotherm. Salah

49
satu yang umum digunakan adalah rediset, yang dimana merupakan zat aditif

kimia buatan AzkoNobel. Rediset merupakan zat aditif yang dipakai tanpa

menggunakan air (water free) dan memiliki 2 jenis wujud, Rediset LQ yang

berbentuk cairan dan Rediset WMX yang berbentuk padat. Keduanya tetap

bekerja dengan proses yang sama, tidak menurunkan viskositas yang ada, tetapi

sebagai surfaktan maka ia bekerja dengan cara menurunkan tekanan pada

permukaan binder, meningkatkan wettability agregat, serta mengurangi

gesekan antara agregat dengan binder.

3. Pada teknologi foaming

Karena pada teknologi foaming terdapat 2 macam teknologi yakni injeksi

dengan nozzle / Water-based technologies dan penambahan zeolit sintesis /

Water-containing technologies. Pada Water-containing technologies akan

diberikan zat aditif berupa mineral hidrofilik dari keluarga zeolit. Zeolit yang

bersentuhan dengan pengikat panas akan akan menjadi uap yang menyebar,

sehingga pada produksinya, zeolit wajib dicampurkan pada aspal terlebih

dahulu sebelum adanya pencampuran dengan agregat.

2.2.1.4 Polimer

Campuran perkerasan jalan pada dasarnya dapat dimodifikasi dengan

penambahan bahan-bahan lain yang dirasa mampu untuk meningkatkan kinerja dari

campuran. Salah satu yang terus berkembang dalam satu dekade yakni modifikasi

campuran dengan penambahan polimer. Tujuan penambahan polimer dalam

campuran yakni mengurangi potensi cracking karena aspal akan lebih lunak pada

temperatur yang rendah, mengurangi potensi rutting karena aspal akan lebih kuat

50
pada suhu tinggi, meningkatkan kekuatan serta stabilitas dari campuran,

mengurangi pengaruh ageing karena campuran akan lebih tahan terhadap oksidasi

(Majalah Ilmiah Mektek, 2009).

Pada dasarnya polimer terdiri atas dua jenis berdasarkan sifat polimernya,

yakni:

1. Polimer plastomer (plastik)

Polimer plastomer ditambahkan kedalam campuran dengan tujuan untuk

meningkatkan kekuatan pada campuran, dikarenakan jenis plastomer ini

berfungsi untuk memperbaiki sifat geologi aspal. Contoh polimer plastomer

yang biasa digunakan dalam campuran adalah Polyethylene (PE), Polypropilene

(PP), dan Ethylene Vinyl Acetate (EVA). Polimer PE dan PP memiliki peranan

terhadap perkerasan jalan adalah mampu meningkatkan ketahanan terhadap

deformasi secara permanen tetapi sulit untuk larut dalam campuran dan tidak

memberi pertambahan pada elastisitas bitumen. Dan EVA hadir sebagai

polimer plastomer yang lebih mudah untuk larut dalam campuran.

2. Polimer elastomer (karet)

Polimer elastomer ditambahkan kedalam campuran dengan tujuan untuk

meningkatkan fleksibilitas dan keelastisitasan dari campuran, dikarenakan jenis

elastomer berfungsi untuk memperbaiki sifat reologi dari aspal seperti titik

lembek, elastisitas, kekentalan serta penetrasi. Contoh polimer elastomer yang

biasa digunakan dalam campuran adalah karet alam dan karet sintesis seperti

Styrene Butadiene Rubber (SBR), Styrene Butadiene Styrene (SBS), serta

Styrene Isoprene Styrene (SIS).

51
Kelebihan utama polimer plastomer jika dibandingkan dengan elastomer

adalah polimer ini dapat dipanaskan dan dinginkan secara berkali-kali tanpa

mempengaruhi kualitasnya dan fungsinya lebih terasa dibandingkan elastomer,

karena polimer plastomer dapat menahan deformasi yang ada sedangkan elastomer

lebih kepada merenggangkan permukaan dan mengembalikan kepada kondisi

semula. Selain hal tersebut, yang jelas terasa adalah polimer elastomer memiliki

harga yang jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan polimer plastomer (Freddy

L. Roberts, 1996).

Adapun hasil perkembangan teknologi mengakibatkan munculnya jenis

polimer superplast, dimana polimer ini tergolong polimer plastomer modifikasi

berupa gabungan Polyethylene (PE), Polypropilene (PP), dan Ethylene Vinyl

Acetate (EVA). Oleh karena polimer ini merupakan salah satu hasil perkembangan

polimer, maka polimer ini mempunyai kelebihan yang lebih banyak dibanding

polimer biasa, antara lain: sifat mekanis yang lebih tinggi (stabilitas marshall,

kekakuan, modulus resilient, indirect tensile strength), ketahanan yang lebih tinggi

menghadapi rutting dan deformasi pada suhu perkerasan yang tinggi, peningkatan

ketahanan terhadap retak fatigue dan retak reflective, tahan terhadap kondisi iklim

ekstrim, memberi adhesi yang lebih baik ke agregat sehingga mengurangi risiko

pengupasan agregat, menjamin kemampuan kerja yang lebih tinggi terhadap

penuaan.

Penelitian terbaru mengenai pengaruh polimer superplast terhadap

campuran aspal hangat (Intan Otto, 2021) memperoleh adanya hasil berikut:

52
Gambar 2.16 Peningkatan sifat mekanis campuran aspal polimer superplast

(Sumber: Intan Otto, 2021)

Terlihat bahwa penggunaan polimer superplast terbukti meningkatkan

sifat-sifat mekanis dari campuran aspal. dengan adanya peningkatan yang

signifikan terutama pada kadar 5% polimer. Hal ini membuktikan bahwa polimer

terbukti meningkatkan kinerja dari campuran dalam hal ini terkait sifat mekanis

campuran meliputi beban maksimal, tegangan maksimal, fracture toughness,

fracture energy, flexibility index, serta crack resistance index. Artinya dimana

campuran akan mengalami kenaikan ketahanan terhadap adanya keretakan dengan

adanya penambahan polimer.

2.2.2 Karakteristik Campuran Laston

Sifat-sifat dari penyusun campuran akan mempengaruhi karakteristik pada

campuran, yang dimana pada akhirnya akan menentukan kualitas serta mutu

perkerasan jalan tersebut. Sebagai perkerasan jalan, campuran laston harus

memiliki karakteristik sebagai berikut (Asphalt Institute, 1993):

53
1. Stabilitas

Lapisan perkerasan jalan seharusnya mempunyai kemampuan untuk

menerima beban lalu lintas yang telah direncanakan, tanpa mengalami

perubahan bentuk yang tetap seperti cracking dan bleeding. Stabilitas dari

suatu lapisan sangat dipengaruhi oleh daya ikat dari aspal serta penguncian

terhadap antar partikel. Kebutuhan dari stabilitas dari perkerasan jalan

berbanding lurus dengan jumlah dari beban rencana (jumlah kendaraan yang

melintas). Dan stabilitas berkaitan dengan kekakuan dari suatu lapisan.

Stabilitas yang tinggi mengakibatkan suatu lapisan akan menjadi kaku dan

mudah untuk mengalami cracking.

2. Durabilitas

Lapis perkerasan jalan terlebih pada lapisan permukaan harus memiliki

durabilitas yang baik, artinya bahwa lapisan perkerasan harus tahan terhadap

pengaruh cuaca, air serta perubahan suhu yang ada menyebabkan lapisan

menjadi aus. Mempunyai durabilitas yang baik juga berarti perkerasan jalan

mampu untuk menahan pengaruh gesekan antara roda dengan lapisan

perkerasan jalan. Durabilitias dipengaruhi oleh rongga dalam campuran serta

tebal selimut aspal yang melapisi agregat.

3. Fleksibilitas

Lapisan perkerasan jalan harus memiliki kemampuan fleksibilitas yang baik,

artinya bahwa lapisan perkerasan jalan mampu untuk menahan dan

menerima beban serta mampu untuk mengikuti deformasi akibat beban lalu

54
lintas ataupun deformasi akibat perubahan daya dukung tanah yang

mengalami penurunan tanpa mengalami perubahan volume ataupun retak.

4. Tahanan geser (skid resistance)

Lapis perkerasan jalan harus memiliki tahanan geser yang baik, artinya

bahwa lapis perkerasan jalan memiliki permukaan yang tidak licin (memiliki

kekesatan). Kekesatan merupakan koefisien gesek antara ban kendaraan

dengan permukaan jalan. Kekesatan diperlukan pada lapisan perkerasan

jalan dengan tujuan untuk membantu kendaraan tidak mengalami selip ketika

melewatinya, terlebih ketika kondisi jalan basah.

5. Ketahanan terhadap kelelahan (fatigue resistance)

Lapis perkerasan jalan harus memiliki ketahanan terhadap kelelahan yang

baik, artinya bahwa disini lapisan perkerasan mampu untuk menahan dan

menerima repetisi beban berulang (lendutan berulang).

6. Kemudahan dalam pelaksanaan (workability)

Selain terhadap performa yang dihasilkan, kemudahan dalam pelaksanaan

pembuatan perkerasan jalan juga menjadi parameter penting. Tentu

kemudahan dalam proses pembuatan akan menentukan efisiensi pada

pekerjaan dan akan berhubungan dengan waktu pengerjaan dan produk yang

dihasilkan, dikarenakan proses penghamparan dan pemadatan lebih baik

untuk dijaga kestabilan suhunya.

2.2.3 Volumetrik Campuran Laston

Perkerasan jalan laston merupakan hasil pencampuran material laston berupa

aspal, agregat, aditif serta polimer yang melewati proses pemadatan. Pada proses

55
pencampuran dan pemadatan, akan ada udara yang terjebak dalam campuran yang

telah dipadatkan. Hal tersebut dipengaruhi pada ukuran gradasi butiran agregat,

kinerja aspal dalam menyelimuti agregat, serta dipengaruhi dengan teknik

pemadatan yang dipakai karena akan membentuk suatu rongga yang diisi udara.

Gambaran mengenai volume dari campuran yang telah dipadatkan:

Gambar 2.17 Volumetrik campuran laston


(Sumber: Modul TOT, 2007)

Dengan keterangan:

Vmb = volume bulk dari total campuran

Vmm = volume agregat tanpa rongga

Vb = volume aspal

Vba = volume aspal terserap agregat

Vsb = volume agregat (berdasarkan berat jenis bulk)

Vse = volume agregat (berdasarkan berat jenis efektif)

VMA = volume rongga antar agregat

VIM = volume rongga campuran

VFB = volume rongga terisi aspal

56
Rongga antar agregat (VMA) adalah rongga antar butir yang diisi udara serta

ruang yang telah diisi oleh aspal pada campuran yang telah mengalami pemadatan.

Nilai dari VMA kan berpengaruh pada ruang yang tersedia pada agregat untuk

diselimuti aspal, semakin kecil nilai VMA maka akan terbatas ruang yang ada untuk

diselimuti dengan aspal dan sebaliknya. Pada campuran dengan agregat bergradasi

menerus, nilai VMA yang lebih kecil dibanding dengan bergradasi senjang.

Volume rongga campuran (VIM) berpengaruh terhadap performa dari

campuran. Nilai VIM yang semakin besar menandakan bahwa terlalu banyak

rongga pada lapisan campuran sehingga campuran cenderung menjadi mudah untuk

mengalami kerusakan strukturan berupa pelepasan butiran. Dan semakin kecil nilai

VIM menandakan bahwa kelenturan dari campuran akan menurun sehingga lebih

rentan terhadap fatigue serta cracking.

Secara volumetrik, parameter yang dapat dihitung dan dianalisis meliputi

densitas, VMA, VIM dan VFB. Dimana dalam perhitungan VMA, VIM dan VFB

akan dipengaruhi oleh berat jenis curah (bulk) campuran, berat jenis curah (bulk)

dan semu (apparent) agregat campuran, berat jenis efektif agregat gabungan, berat

jenis curah (bulk) campuran maksimum teoritis.

1. Densitas

Densitas menunjukan tingkat kepadatan dari campuran, perhitungan densitas

dapat dilakukan dengan:

W𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔
D= 𝑥 𝛾air (1)
(W𝑠𝑠𝑑 − W𝑎𝑖𝑟)

Keterangan:

D : densitas (gr/cm3)

57
Wkering : berat kering spesimen (gr)

Wssd : berat SSD (gr), berat spesimen dalam keadaan

kering permukaan

Wair : berat spesimen di dalam air (gr)

γair : berat jenis air (gr/cm3), dipengaruhi oleh suhu.

Tabel berat jenis air menurut suhu dilampirkan

dalam (Lampiran A)

2. Berat jenis curah / bulk campuran laston (Gmb)

Berat jenis ini merupakan berat jenis dari campuran perkerasan laston

terhadap seluruh volume pori yang dapat dilewati oleh air dan volume

partikel.

Wkering
𝐺𝑚𝑏 = (2)
Wssd − Wair

Keterangan:

Gmb : berat jenis curah / bulk spesimen campuran laston (gr/cm3)

Wkering : berat kering spesimen campuran laston (gr)

Wssd : berat kering permukaan spesimen campuran laston (gr)

Wair : berat spesimen campuran laston di dalam air (gr)

3. Berat jenis curah / bulk gabungan agregat (Gsb)

Berat jenis ini merupakan berat jenis curah (bulk) campuran dari masing-

masing berat jenis agregat kering, agregat halus dan filler yang

diperhitungkan terhadap volume pori pori yang dapat dilewati air dan volume

partikel.

(3)

58
100
Gsb =
P𝑎𝑔.𝑘𝑎𝑠𝑎𝑟 P𝑎𝑔.ℎ𝑎𝑙𝑢𝑠 P𝑓𝑖𝑙𝑙𝑒𝑟
( + + )
Gsb 𝑎𝑔.𝑘𝑎𝑠𝑎𝑟 Gsb 𝑎𝑔.ℎ𝑎𝑙𝑢𝑠) Gsb 𝑓𝑖𝑙𝑙𝑒𝑟

Keterangan:

Gsb : Berat jenis bulk gabungan agregat (gr/cm3)

P(n) : Berat masing-masing komponen agregat dalam

campuran (%)

Gsb(n) : Berat jenis curah / bulk masing-masing agregat

(gr/cm3)

4. Berat jenis semu / apparent gabungan agregat (Gsa)

Berat jenis ini merupakan berat jenis semu (apparent) campuran dari masing-

masing berat jenis agregat kering, agregat halus dan filler yang

diperhitungkan terhadap volume partikel saja tanpa memperhitungkan

volume pori yang dapat dilewati air.

100
Gsa = (4)
P𝑎𝑔.𝑘𝑎𝑠𝑎𝑟 P𝑎𝑔.ℎ𝑎𝑙𝑢𝑠 P𝑓𝑖𝑙𝑙𝑒𝑟
( + + )
Gsa 𝑎𝑔.𝑘𝑎𝑠𝑎𝑟 Gsa 𝑎𝑔.ℎ𝑎𝑙𝑢𝑠) Gsa 𝑓𝑖𝑙𝑙𝑒𝑟

Keterangan:

Gsa campuran agregat : Berat jenis semu gabungan agregat (gr/cm3)

P(n) : Berat masing-masing komponen agregat dalam

campuran (%)

Gsa (n) : Berat jenis semu masing-masing agregat (gr/cm3)

59
5. Berat jenis efektif gabungan agregat (Gse)

Berat jenis ini merupakan berat jenis efektif campuran yang diperhitungkan

dengan mencari nilai tengah antara berat jenis campuran curah dan berat jenis

campuran semu.

𝐺𝑠𝑏 +𝐺𝑠𝑎)
Gse = (5)
2

Keterangan:

Gse : Berat jenis efektif gabungan agregat (gr/cm3)

Gsb : Berat jenis curah gabungan agregat (gr/cm3)

Gsa : Berat jenis semu gabungan agregat (gr/cm3)

6. Berat jenis maksimum campuran teoritis (Gmm)

Merupakan berat jenis campuran laston secara teoritis, artinya tanpa adanya

udara pada campuran.

100
𝐺𝑚𝑚 = (6)
P𝑠 P
⁄𝐺 + b⁄𝐺𝑎
𝑠𝑒

Keterangan:

Gmm = Berat jenis maksimum campuran teoritis (gr/cm3)

Ps = kadar agregat terhadap berat total campuran (%)

Pb = kadar aspal terhadap berat total campuran (%)

Gse = berat jenis efektif agregat campuran (gr/cm3)

Ga = berat jenis aspal (gr/cm3)

7. Volume rongga antar agregat / void in the mineral agregat (VMA)

Menyatakan banyaknya rongga antar butir agregat didalam campuran jika

selimut aspal ditiadakan. Dapat dihitung dengan:

60
Gmb xPs
VMA (%) = 100 − ( ) (7)
Gsb

8. Volume rongga campuran / void in mixture (VIM)

Menyatakan banyaknya rongga antar butir agregat yang diselimuti dengan

aspal. Dapat dihitung dengan:

Gmm − Gmb
VIM (%) = 100 x (8)
Gmm

9. Volume rongga terisi aspal / void filled with bitumen (VFB)

Menyatakan volume rongga antar butir agregat yang diisi oleh aspal dan bisa

disebutkan VFB adalah bagian VMA yang diisi oleh aspal (tidak termasuk

aspal yang terabsorbsi oleh agregat). Dapat dihitung dengan:

100(VMA − VIM)
VFB (%) = (9)
VMA

2.3 Penuaan (Ageing)

Penuaan atau ageing merupakan terminologi yang menyatakan adanya

perubahan senyawa pembentuk akibat pengaruh proses oksidasi, sehingga

menjadikan campuran aspal dapat menjadi lebih getas dan kaku. Untuk lebih detail,

aspal atau bitumen terdiri dari berbagai molekul organik yang terdiri dari sekitar

85% karbon, 10% hidrogen, heteroatom seperti nitrogen (0–2%), oksigen (0–2%),

sulfur (0–9%) dan jejak logam seperti vanadium, besi dan nikel. (J.S. Moulthrop,

1993). Aspal yang merupakan hasil residu dari proses distilasi minyak, bisa disebut

sebagai senyawa kompleks hidrokarbon, karena kandungan karbon dan hydrogen

yang melebihi 90% campuran. Secara fraksinya, pembentuk utamanya pun bisa

61
dibagi menjadi dua kelompok besar yakni asphaltene dan maltene. Asphaltene

merupakan fraksi yang berperan dalam sifat kekakuan (elastisitas) dari bitumen, ciri

fraksi ini adalah merupakan fraksi yang memiliki molekul besar, polar dan tidak

dapat larut. Sedangkan maltene merupakan fraksi yang berperan dalam membentuk

viskoelastik, dengan ciri fraksi yang mudah larut. Akibat adanya proses oksidasi,

kesetimbangan dari fraksi terganggu dan berubah, menyebabkan fraksi asphaltene

menjadi dominan akibat reaksi aromatic-resin dengan oksigen. Akibat dari

perubahan asphaltene yang dominan, sifat reologi dari bitumen ikut berubah

menjadi getas serta kaku. Atau bisa dibilang, kuat tarik bertambah tetapi

menurunkan batas deformasi.

Campuran pada perkerasan jalan beraspal terdiri atas agregat (agregat kasar,

agregat halus filler), serta aspal/bitumen sebagai bahan perekat atau bisa dibilang

sebagai bonding agent yang bersifat viskoelastik. Selama masa layannya, campuran

mengalami interaksi dengan lingkungan (dengan perubahan suhu, angin, curah

hujan dan lainnya). Efek yang dihasilkan dari interaksi lingkungan dengan

campuran ialah campuran mengalami proses oksidasi. Proses oksidasi yang terjadi

akan menyebabkan adanya aspal menjadi kaku, proses ini disebut sebagai long term

ageing. Proses oksidasi juga tidak hanya terjadi pada masa layannya, proses

oksidasi yang terjadi dimulai semenjak tahap pencampuran (mixing) dilakukan,

disebut short term ageing.

Sehingga secara garis besar, menurut (Monismith, 2018), pengaruh

lingkungan adalah pengaruh nomor satu yang mempengaruhi campuran beraspal.

Jalan merupakan suatu struktur terbuka atau bisa dibilang tidak memiliki pelindung

62
yang dapat melindungi kontak terhadap lingkungan dan cuaca, sehingga kondisi

klimatik dimana perkerasan jalan tersebut dibuat akan sangat mempengaruhi cepat

atau lambatnya kegiatan oksidasi pada aspal terjadi. Berdasarkan penelitian Glenn

et al (1981) dan Hugo et al (1985), adanya hasil bahwa pengaruh temperatur dan

kelembaban didanau akan menyebabkan pengaruh penuaan yang relatif sama

sedangkan digurun penuaan terjadi jauh lebih cepat. Selain itu, permasalahan

mengenai waktu layan juga dapat mempengaruhi campuran beraspal. Disini

pengaruh ageing tidak serta merta bisa dibilang menurunkan performa dari aspal

terutama dalam konteks kekuatannya. Memang, dalam jangka panjang ageing

cenderung membuat performa dari aspal mengalami penurunan, yakni penurunan

dari kekuatan serta ketahanannya dalam menahan terjadinya keretakan. Akan tetapi,

telihat berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Saad Issa Sarsam, 2014) yang

berjudul “Impact of Aging on Shear, Tensile Strength and Permanent Deformation

of Superpave Asphalt Concrete”, didapat bahwa pengaruh ageing malah

meningkatkan kekuatan dari campuran.

Gambar 2.18 Hasil indirect tensile strength pada aspal ageing


(Sumber: Saad Issa Sarsam, 2014)

63
Hal ini semakin menguatkan indikasi bahwa waktu sangat berpengaruh

terhadap hasil performa yang dipengaruhi ageing. Karena terbukti, ada pengaruh

ageing yang malah dapat meningkatkan sifat mekanisnya, alih-alih menurunkan

performanya.

Oleh karena perkembangan pengujian terhadap ageing. AASHTO R30-02

serta strategic highway research program (SHRP) project A-003 A

mengembangkan metode standar untuk meneliti efek ageing yang bisa dilakukan

dilaboratorium. Digunakan untuk mensimulasikan efek ageing dengan variasi

oven-ageing conditioning untuk mensimulasikan short term ageing dan long term

ageing.

1. Short Term Oven Ageing (STOA)

Spesimen benda uji akan disimpan dalam oven bersuhu 135°C selama 4

jam. Maksud daripada pengovenan ini adalah untuk mensimulasikan proses

penuaan pada campuran aspal selama proses kontruksi, pencampuran,

pengangkutan, penghamparan dan pemadatan.

2. Long Term Oven Ageing (LTOA)

Dilanjutkan penyimpanan oven suhu 85°C dengan variasi 2, 5 dan 8 hari

untuk mensimulasikan efek long term ageing yang terjadi selama umur

layanan perkerasan. Dimana dengan pengondisian campuran jangka

panjang tersebut dirancang menurut AASHTO R30-02 untuk

menyederhanakan penuaan campuran kompaksi yang akan dialami selama

masa layanan tertentu. Alasan dari variasi waktu 2,5 dan 8 hari yang ada

64
diisyatatkan dikarenakan pada rentang ini, efek ageing dapat dilihat lebih

baik dan sesuai dengan kondisi asli ageing.

Proses penyederhanaan tersebut dilakukan dengan mengaca dari pengaruh

utama ageing yakni pada durasi serta temperatur layannya. Sehingga proses

perubahan fraksi asphaltene yang menjadi dominan akibat oksidasi pada masa

produksi hingga masa layan disimulasikan AASHTO R30-02 dengan proses

pengovenan spesimen pada durasi tertentu, dalam hal ini 2 hari dan 8 hari. Pada

AASHTO R30-02 dijelaskan bahwa oven ageing menyederhanakan penuaan

campuran kompaksi yang akan dialami selama masa layanan 5-10 tahun. Akan

tetapi pada penelitian terbaru yang mengambil kondisi serupa dengan AASHTO

R30-02 (Fan Yin, 2017) dengan judul “long-term ageing of asphalt mixtures”

didapat hasil bahwa:

Gambar 2.19 Hasil cumulative degree days (CDD) aspal ageing

(Sumber: Fan Yin, 2017)

Didapatkan bahwa nilai CDD untuk 3 hari ageing ekuivalen dengan 7 bulan

servis di iklim yang lebih hangat dan 12 bulan untuk servis di iklim yang lebih

65
dingin. Serta untuk 5 hari ageing ekuivalen dengan 12 bulan untuk servis di iklim

yang lebih hangat dan 23 bulan untuk iklim yang lebih dingin.

Sehingga bisa disimpulkan bahwa perlu adanya analisis lebih lanjut mengenai

ekuivalensi oven ageing terhadap kondisi asli ageing klimatik dilapangan. Karena

perbedaan material serta lokasi pembuatan sampel akan sangat berpengaruh

terhadap hasil yang ada.

2.4 Metode Pencampuran Laston Modifikasi Polimer

Polimer yang merupakan bahan tambahan untuk memodifikasi campuran

perkerasan jalan memiliki dua jenis proses penambahannya. Dikenal dengan

metode wet mix atau PMB (Polimer Modified Bitumen) dan dry mix atau PMA

(Polimer Modified Asphalt).

2.4.1 Polimer Modified Bitumen (PMB)

Pada pencampuran secara PMB atau wet mix, polimer langsung dicampurkan

kedalam aspal untuk memodifikasi sifat reologi dari aspal sebelum kemudian

dicampurkan dengan agregat. Pencampuran polimer dengan aspal dilakukan pada

suhu yang tinggi dan memerlukan pengadukan dengan kecepatan tinggi untuk

memastikan polimer dapat tercampur dengan baik dengan aspal. Oleh karena itu

pembuatan PMB cenderung memerlukan tangki / tempat penyimpanan khusus

(asphalt plant) untuk tambahan campuran polimer dengan aspal serta memerlukan

biaya yang lebih untuk bahan bakar ataupun peralatan seperti mixer. Banyak dari

penelitian membuktikan bahwa PMB merupakan jenis campuran yang lebih

disukai, karena lebih terbukti untuk memberikan ketahanan terhadap rutting,

penyimpanan agregat, dan ketehanan retak yang lebih baik.

66
2.4.2 Polimer Modified Asphalt (PMA)

Pada pencampuran secara PMA, polimer dicampurkan secara langsung

bersama agregat panas sebelum aspal panas ditambahkan kedalam campuran.

Kelebihan pada metode ini adalah pada kepraktisannya dalam proses pencampuran,

karena tidak memerlukan asphalt plant dan mixer. Sehingga bisa dibilang bahwa

metode ini akan memerlukan biaya yang lebih murah jika dibandingkan dengan

PMB. Akan tetapi minimnya data penelitian dengan metode ini membuat

kinerjanya susah untuk dilihat secara jelas.

Gambar 2.20 Perbedaan proses wet mix (PMB) dan dry mix (PMA)
(Sumber: Blümich et al.,2019)

Tentu, metode PMB maupun PMA memiliki kelebihan dan kekurangannya

tersendiri. Metode PMB yang memberikan ketahanan terhadap rutting dan

ketahanan retak yang lebih baik nyatanya memerlukan biaya yang lebih tinggi

dalam proses pembuatannya. Selain itu, campuran aspal dengan polimer yang

ditambahkan cenderung menjadi heterogen sehingga merusak campuran. Metode

PMA menjadi alternatif metode yang lebih ekonomis. Walaupun kinerja campuran

67
terbukti tidak sebagus dengan metode PMB, akan tetapi dengan perkembangan

yang dilakukan serta penelitian yang dilakukan diharapkan agar campuran PMA

memiliki kualitas campuran yang sama bahkan melebihi PMB. Oleh karena itu,

penelitian dilakukan dengan metode PMA dengan harapan penelitian terkait dengan

hasil dari penelitian dapat mengembangkan metode PMA.

2.5 Pengujian WMA

Pengujian WMA dilakukan dengan langkah pertama yakni menentukan kadar

aspal optimum rencana, kemudian setelah didapatkan kadar aspal optimum yang

direncanakan, dilanjutkan dengan pembuatan benda uji marshall terhadap tiga

kadar aspal disekitar kadar aspal optimum (KAO). Tiga kadar aspal yang diuji

dengan marshall kemudian dianalisis untuk dicari nilai aktual kadar aspal optimum.

Dan setelah itu dilakukan analisis sifat mekanis campuran menggunakan uji Semi

Circular Bending (SCB).

2.5.1 Perhitungan Kadar Aspal Optimum (KAO) Rencana

Parameter utama sebelum pembuatan benda uji SCB, perlu dilakukan

perhitungan kadar aspal optimum yang akan dipakai. Perhitungan kadar aspal

optimum berdasarkan perhitungan kadar aspal rencana dan kemudian dianalisis

dengan percobaan tiga kadar yang mendekati kadar aspal optimum dengan

menggunakan uji coba marshall. Perhitungan kadar aspal rencana yakni:

Pb = 0,035(%CA) + 0,045(%PA) + 0,18(%𝑓𝑖𝑙𝑙𝑒𝑟) + K (10)

Keterangan:

Pb : kadar aspal optimum rencana terhadap berat agregat (%)

68
CA : jumlah dari agregat yang tertahan pada saringan No.8 (%)

FA : jumlah dari agregat yang lolos saringan no.8 dan tertahan saringan No.200

(%)

Filler : jumlah dari agregat lolos saringan no.200

K : konstanta (0,5 – 1 untuk laston, 2 – 3 untuk lataston, 1 – 2,5 untuk

campuran lain)

2.5.2 Pengujian Marshall

Pengujian marshall adalah pengujian secara tekan yang dilakukan dengan

alat marshall. Alat marshall dilengkapi dengan proving ring (cincin penguji) yang

digunakan untuk mengukur besaran stabilitas dari benda uji dan dilengkapi juga

dengan flowmeter yang digunakan untuk mengukur besaran kelelehan (flow).

Stabilitas berarti kemampuan suatu campuran aspal untuk menerima beban sampai

terjadi alir (flow), dinyatakan dalam bentuk kg dan alir (flow) merupakan perubahan

bentuk campuran akibat suatu beban dan dinyatakan dalam mm.

Pengujian marshall didasarkan pada SNI 06-2489-1991, atau AASHTO T

245-90 atau ASTM D 1559-76 dengan besaran benda uji 10.2 cm diameter dan 7,62

cm tinggi yang telah dipadatkan dengan mesin penumbuk. Dan ketika benda uji

hendak diuji dengan marshall maka terlebih dahulu benda uji dimasukan kedalam

waterbath untuk direndam selama 30 menit dengan suhu 60°C.

69
Gambar 2.21 Set up pengujian marshall
(Sumber: Ahbimanyu, 2021)

Pada pembuatan benda uji marshall, parameter yang dapat diuji terhadap

benda uji (spesimen) yakni pengukuran terhadap densitas, VIM, VMA, dan VFB.

Dimana cara mencari berbagai parameter volumetrik tersebut telah dijelaskan pada

sub bab 2.2.3. Adapun terhadap uji marshal, parameter yang diuji antara lain:

1. Stabilitas

Stabilitas campuran beraspal merupakan kemampuan campuran beraspal dalam

menahan deformasi akibat beban maksimum hingga terjadi keruntuhan.

Stabilitas merupakan nilai yang ditunjukan oleh dial alat marshall yang

dikalikan dengan nilai kalibrasi proving ring. Stabilitas dihitung dengan:

MS = p x q x r (11)

Keterangan

MS = stabilitas marshall (kg)

p = nilai kalibrasi pada proving ring (tercantum pada Lampiran B)

q = nilai pembacaan dial (1 lbf = 0,454 kg)

r = angka koreksi berdasarkan isi benda uji (tercantum pada Lampiran C)

70
2. Flow

Menunjukan perubahan bentuk benda uji ketika terjadi keruntuhan. Nilai flow

seperti halnya stabilitas, di cari dengan melihat dial alat marshall yang biasa

dintayakan dalam mm.

3. Marshall Quotient (MQ)

Menunjukan rasio dari nilai stabilitas dengan MQ. Dimana semakin tinggi nilai

MQ maka semakin kaku campuran aspal, dan sebaliknya. MQ dihitung dengan:

𝑠
MQ = (12)
f

Keterangan:

MQ = Marshall Quotient (kg/mm)

S = nilai stabilitas (kg)

F = nilai flow (mm)

Pada hasil pengujian marshal kemudian bisa dianalisis secara stabilitas, flow,

dan MQ untuk menentukan nilai kadar aspal optimum secara percobaan.

2.5.3 Pengujian Semi Circular Bending (SCB)

Pada perkembangannya, SCB digunakan dalam mempelajari fraktur pada

batu, tetapi belakangan pengujian SCB mulai dimanfaatkan dalam penelitian

terhadap fracture dan crack resistance dalam campuran aspal. Dalam studi yang

dilakukan oleh Louisiana Transportation Research Cente, disimpulkan bahwa

pemberian notch pada benda uji campuran aspal menjadi salah satu kunci utama

untuk kemudian SCB bisa digunakan dalam mengukur atribut keretakan dalam

71
campuran aspal. Pemberian notch tepatnya ditengah benda uji dimaksudkan agar

retak terjadi tepat ditengah benda uji berdampak pada bidang retak yang dihasilkan

dapat simetris, sehingga pengukuran fracture toughness dapat dilakukan dengan

akurat.

Dalam meneliti fraktur terhadap benda uji dengan SCB, keuntungan yang

dapat diperoleh yakni pengujian tergolong cukup sederhana dan cepat dalam

menentukan atribut keretakan campuran aspal. Akan tetapi, SCB sangat rentang

terhadap ketidakseragaman benda uji yang dihasilkan dari pemotongan benda uji

dan pemberian notch. Kedalaman pemberian notch dan kemiringan dari

pemotongan terhadap benda uji akan membuat data SCB yang dihasilkan memiliki

nilai variasi yang sangat tinggi.

Gambar 2.22 Urutan persiapan benda uji SCB dan pelaksanaan uji SCB
(Sumber: Gourab Saha, 2016)

Pada pengujian SCB, konfigurasi yang baik dalam pengujian adalah sebagai

berikut:

72
Gambar 2.23 konfigurasi pengujian SCB pada campuran aspal

(Sumber: Gabriel Nsengiyumva, 2015)

Pengujian dilakukan dengan memberi notch pada tepat tengah benda uji

yang dimana kedalaman notch dapat dibuat beragam. Tetapi berdasarkan penelitian

sebelumnya yang dilakukan Intan di Universitas Pelita Harapan menunjukan bahwa

kedalaman notch 10 mm dirasa telah cukup untuk membuat patahan berada

ditengah benda uji.

Adapun parameter yang digunakan dalam pengujian Semi Circular Bending

(SCB) antara lain:

1. Fracture Energy (Gf)

Fracture energy adalah satu parameter yang bisa didapat dari uji Semi Circular

Bending (SCB). Fracture energy bisa dihitung dengan menghitung luasan work

of fracture (Wf) berdasarkan hasil data yang didapat dari output uji tekan mesin

UTM dengan ligament area yang merupakan area terjadinya retak pada

spesimen. Fracture energy dapat digunakan untuk mengukur resistensi dari

73
campuran laston terhadap retak, sehingga bisa dibilang fracture energy

merupakan jumlah energi yang dibutuhkan untuk memulai retakan dan

menyebarkannya.

Gambar 2.24 (a) fracture work (Wf) dan (b) Ligamen area (ALig)
(Sumber: Gabriel Nsengiyumva, 2015)

Sehingga bisa dirumuskan sebagai berikut:

𝑊𝑓
𝐺𝑓 = 103 𝑥 𝐽/𝑚2 (13)
𝐴𝑙𝑖𝑔
𝐴𝑙𝑖𝑔 = (𝑟 − 𝑎)𝑡 = 𝑡 𝑥 𝐿 (14)

Keterangan:

Wf : work of fracture (Nmm)

Alig : ligament area (mm2)

r : radius atau jari-jari benda uji (mm)

a : kedalaman notch (mm)

t : tebal benda uji (mm)

L : panjang ligamen (mm)

Terlihat bahwa fracture energy bergantung pada nilai puncak load / force dan

displacement, yang dimana kenaikannya akan berbanding lurus dengan

74
ketinggian nilai puncak load dan displacement. Jadi, secara langsung fracture

energy akan berkaitan dengan nilai kekuatan campuran serta daktilitas

campuran., dimana semakin tinggi kekakuan campuran maka akan memiliki

nilai fraktur yang tinggi.

2. Fracture Toughness (KIC)

Ketika adanya keretakan, nilai faktor pertama yang mampu mempresentasikan

keadaan tegangan terjadi adalah faktor intensitas tegangan. Faktor ini

menggambarkan daerah tegangan pada ujung retakan. Ketika faktor intensitas

tegangan mencapai nilai kritisnya maka akan menyatakan tegangan ketika

terjadinya fraktur. Pada kondisi inilah kemudian disebut sebagai Fracture

Toughness (KIC)

Sehingga bisa dirumuskan sebagai berikut:

𝐾𝐼𝐶 = 𝑌𝐼(0.8) 𝜎𝑚𝑎𝑥 √𝜋𝑎 𝑁/𝑚1,5 (15)


𝑎 𝑎
𝑌𝐼(0.8) = 4,782 − 1,219 ( ) + 0,063𝑒𝑥𝑝 [7,045 ( )] (16)
𝑟 𝑟
𝑃𝑚𝑎𝑥
𝜎𝑚𝑎𝑥 = (17)
2𝑟𝑡

Keterangan:

YI(0.8) :dimensionless geometric factor (hasil normalisasi faktor intensitas

tegangan, untuk rasio s/r = 0,8) (jarak tumpuan ke titik tengah (s)

dengan radius sampel (r) adalah 0,8)

a : kedalaman notch (mm)

σmax : tegangan pada beban maksimum yang diterima (N/mm2)

75
Pmax : beban maksimum yang diaplikasikan (N)

r : jari-jari benda uji (mm)

t : tebal benda uji (mm)

3. Flexibility Index (FI)

Flexibility Index (FI) merupakan parameter yang dapat menjelaskan mengenai

performa dari suatu keretakan. Parameter ini memperhatikan kecepatan

kerusakan terjadi dengan meninjau kemiringan kurva setelah puncak (post-peak

slope), artinya flexibility index didapat dengan membagi besaran fracture

Energy (Gf) dengan gradien dari kemiringan kurva beban setelah nilai puncak.

Sehingga flexibility index dirumuskan sebagai berikut:

𝐺𝑓
𝐹𝐼 = 𝑥 0,01 (18)
|𝑚|
Keterangan:

|m| : slope at post-peak point of inflection (kN/mm)

Gf : fracture energy (J/m2)

0,01 : koefisien koreksi

Gambar 2.25 Parameter slope pada grafik force vs displacement


(Sumber: Gabriel Nsengiyumva, 2015)

76
Pada kegunaannya terhadap analisis sifat campuran, nilai dari flexibility index

(FI) yang tinggi menandakan bahwa campuran akan memiliki kemampuan

untuk berdeformasi yang baik sehingga keruntuhan yang terjadi akan lebih

daktail, sedangkan nilai dari flexibility index (FI) yang rendah akan mengalami

kemampuan untuk berdeformasi yang kurang baik sehingga keruntuhan yang

terjadi akan lebih brittle.

4. Crack Resistance Index (CRI)

Crack Resistance Index (CRI) merupakan suatu indeks yang menyatakan

ketahanan terhadap retak. Menurut Kaseer et al (2018), “CRI atau indeks

ketahanan retak merupakan parameter indikasi yang memberikan kualifikasi

respon mekanik hubungan suatu campuran aspal dalam kebutuhan energi yang

dibutuhkan sehingga terjadi retak pada benda uji (Gf) dengan kekuatan pada

campuran aspal (Pmax)”

Sehingga dapat disimpulkan bahwa, CRI merupakan suatu indeks yang

menyatakan energi dibutuhkan untuk mencapai retak terhadap dengan kekuatan

campuran aspal yang dinyatakan dalam beban puncak (Pmaks). Sehingga dapat

dirumuskan:

𝐺𝑓
𝐶𝑅𝐼 = (19)
𝑃𝑚𝑎𝑥

Dimana:

𝐺𝑓 : fracture energy (Joules/m2)

𝑃𝑚𝑎𝑥 : beban maksimum (N)

77
Artinya, semakin tinggi nilai CRI akan menyatakan bahwa campuran memiliki

ketahanan yang lebih baik untuk resistensi terhadap retakan, dan sebaliknya.

78
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Umum

Penelitian dilakukan untuk menganalisis perkerasan jalan laston hangat

(WMA) yang dimodifikasi dengan penambahan polimer dalam melihat parameter

mekanisnya terhadap pengaruh ageing. Untuk mensimulasikan efek ageing

digunakan panduan berdasarkan ASTM R30-02 dengan variasi oven-ageing

conditioning untuk mensimulasikan efek short term ageing dan long term ageing.

Spesimen benda uji akan disimpan dalam oven bersuhu 135°C selama 4 jam untuk

mensimulasikan efek short term ageing dan dilanjutkan penyimpanan oven suhu

85°C dengan variasi 2 dan 8 hari untuk mensimulasikan efek long term ageing.

Dimana dengan pengondisian campuran jangka panjang tersebut dirancang

menurut ASTM R30-02 untuk menyederhanakan penuaan campuran kompaksi

yang akan dialami selama 5 hingga 10 tahun layanan. Sedangkan pada penelitian

terbaru dengan metode ASTM R30-02, didapat bahwa 3 hari ageing ekuivalen

dengan 7 bulan servis di iklim yang lebih hangat dan 12 bulan untuk servis di iklim

yang lebih dingin. Serta untuk 5 hari ageing ekuivalen dengan 12 bulan untuk servis

di iklim yang lebih hangat dan 23 bulan untuk iklim yang lebih dingin. Sehingga

pada penelitian ini akan didapatkan nilai pengaruh ageing saja, karena butuh

penelitian lanjutan untuk menjelaskan mengenai ekuivalen terhadap tahun kondisi

di lapangan secara real.

Diharapkan, dapat dicapai kesimpulan akhir berupa penjelasan mendetail

terhadap pengaruh penuaan (ageing) melalui hasil perubahan sifat mekanis

79
campuran aspal hangat, serta dampak positif yang dihasilkan oleh polimer dalam

upaya meminimalisir pengaruh penuaan (ageing).

Adapun pada bab ini akan diuraikan mengenai diagram alur penelitian, lokasi

dan waktu penelitian, variabel penelitian, material dan peralatan yang digunakan,

mix design serta tahapan dalam pembuatan benda uji, serta prosedur pengujian pada

benda uji.

Gambar 3.1 Diagram alir penelitian

80
3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan terhitung tiga bulan dari bulan Maret 2021 hingga bulan

Mei 2021. Penelitian dilakukan di Universitas Pelita Harapan, tepatnya penelitian

dilakukan pada Laboratorium Perkerasan Jalan, Laboratorium Mekanika Tanah

serta Laboratorium Penelitian Beton.

3.3 Variabel Penelitian

Variabel pada penelitian terbagi atas tiga variabel, variabel bebas, variabel

terikat, dan variabel kontrol. Variabel bebas pada penelitian ini meliputi material

yang dipakai (agregat, filler berupa semen, bitumen penetrasi 60/70, serta variasi

kadar penambahan polimer sebesar 0%,4%,5%,6%) dan penentuan kadar aspal

optimum dengan pengujian marshall.

Yang termasuk dalam variabel terikat akibat variabel bebas tersebut meliputi

stabilitas, flow, VIM, VMA, VFA, densitas, Marshall Quotient (MQ) serta variabel-

variabel terikat pada pengujian SCB berupa tensile strength, toughness, crack

resistance index, strain energy, flexibility index.

3.4 Material Penelitian

Pada penelitian akan dibuat campuran laston hangat, oleh karenanya material

yang digunakan pada penelitian kali ini adalah agregat kasar dan halus,

aspal/bitumen, filler, zat aditif kimia, serta polimer.

3.4.1 Agregat Kasar

Agregat kasar yang dipakai pada penelitian ini adalah agregat yang tertahan

pada ayakan No.4, 3/8 inch, ½ inch, dan ¾ inch dengan pengujian terhadap material

81
yang dipakai adalah pengujian terhadap berat jenis, analisis ayakan serta

penyerapan air agregat kasar.

Gambar 3.2 Agregat kasar

3.4.2 Agregat Halus

Agregat halus yang dipakai pada penelitian ini adalah agregat yang lolos dari

ayakan no.4, meliputi ayakan Nomor 8,16,30,50,100, dan 200. Pengujian yang

dilakukan terhadap agregat halus sama seperti pengujian yang dilakukan pada

agregat kasar.

Gambar 3.3 Agregat Halus

82
3.4.3 Aspal / Bitumen

Pada campuran laston hangat digunakan aspal buatan PT Shell Indonesia.

Aspal yang digunakan merupakan aspal keras dengan penetrasi 60/70. Adapun

spesifikasi dari aspal buatan PT Shell Indonesia yakni:

Tabel 3.1 Spesifikasi aspal pen. 60/70 PT Shell Indonesia

No. Jenis Pengujian Metode Pengujian Hasil Uji


1 Penetrasi pada 25°C 100 SNI 2456:2011 67
gram. 5 detik (0,1 mm) (ASTM D5)
2 Viskositas pada 135°C SNI 6441:2000 435
(ASTM D4402)
3 Titik Lembek SNI 2434:2011 51,2
(ASTM D36)
4 Daktilitas pada 25°C (cm) SNI 2432:2011 >140
(ASTM D113)
5 Titik nyala (°C) SNI 2433:2011 295
(ASTM D92)
6 Kelarutan dalam SNI 2438:2011 99,5
Trichloroethylene (%) (ASTM D2042)
7 Berat Jenis SNI 2441:2011 1,033
(ASTM D-70)
(Sumber: shell.co.id, 2021)

Gambar 3.4 Aspal pen.60/70 PT Shell Indonesia

Pengujian yang dilakukan terhadap aspal meliputi uji penetrasi, titik lembek,

titik nyala dan titik bakar, serta berat jenis.

83
3.4.4 Filler

Filler dalam penelitian ini digunakan semen Portland merek Semen Tiga

Roda buatan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. Pengujian yang dilakukan

terhadap filler adalah pengujian berat jenis.

Gambar 3.5 Semen Tiga Roda

3.4.5 Zat Aditif Kimia

Bahan aditif kimia yang dipakai dalam penelitian merupakan jenis rediset LQ.

Penambahan rediset LQ dengan tujuan menurunkan tegangan permukaan atau

tegangan antar muka (surfaktan) sehingga dapat mengurangi gesekan internal

antara agregat dan partikel pengikat pada proses pencampuran dan pemadatan.

Sehingga bisa menghasilkan campuran dengan suhu hangat (WMA). Spesifikasi

dari rediset LQ yang dipakai dalam penelitian ini:

84
Tabel 3.2 Spesifikasi Rediset LQ

No. Spesifikasi Nilai

1 Kadar penggunaan (untuk HMA dan WMA) 0,3 – 1,0 % berat binder

2 Kandungan amine value, mgKOH/g 540-640

3 Kandungan air, % Maks. 1

4 Wujud pada 25°C Cairan

5 Titik tuang cairan, °C 2°C

6 Titik nyala, °C 165°C

7 Viskositas, mPa.s (cP) pada suhu 20℃ (68℉) 1700

8 Densitas, g/cc pada suhu 20℃ (68℉) 1,00

9 Densitas, lb/U.S.gal 8,37

Gambar 3.6 Rediset LQ

3.4.6 Polimer

Polimer yang dipakai dalam penelitian ini merupakan polimer superplast

buatan Iterchemica. Tujuan penambahan polimer dalam campuran yakni

mengurangi potensi cracking karena aspal akan lebih lunak pada temperatur yang

85
rendah, mengurangi potensi rutting karena aspal akan lebih kuat pada suhu tinggi,

meningkatkan kekuatan serta stabilitas dari campuran, mengurangi pengaruh

ageing karena campuran akan lebih tahan terhadap oksidasi. Dalam penelitian ini

digunakan modifikasi pada jumlah polimer yang dipakai yakni 0%, 4%, 5% dan 6%

untuk mencari nilai polimer yang optimum. Spesifikasi dari polimer superplast

yang dipakai:

Tabel 3.3 Spesifikasi polimer superplast iterchemica

No. Spesifikasi Nilai

1 Bentuk Butiran hitam

2 Titik lembek 150-160°C

3 Titik leleh 180°C

4 Melt Index 1-5

5 Apparent density (25℃) 0,55 – 0,65 gr/cm3

6 Density (20℃) 0,9 – 0,98 gr/cm3

Gambar 3.7 Polimer Iterchemica

86
3.5 Peralatan

Alat yang digunakan dalam penelitian dari proses persiapan hingga

pengujian, antara lain:

3.5.1 Saringan dan Mesin Pengayak

Digunakan saringan dan mesin pengayak untuk analisis ukuran agregat serta

untuk memisahkan agregat terhadap ukurannya masing-masing. Ukuran ayakan

yang dipakai adalah nomor ½” (12,5 mm), 3/8” (9,5 mm), 4 (4,75 mm), 8 (2,36

mm), 16 (1,18 mm), 30 (0,6 mm), 50 (0,3 mm),100 (0,15 mm), dan 200 (0,075

mm).

Gambar 3.8 Saringan dan Mesin Pengayak

3.5.2 Timbangan

Digunakan timbangan dengan kapasitas 6 kg dengan ketelitian 0,1 gram.

Timbangan digunakan untuk menimbang material, menimbang kebutuhan sesuai

dengan mix design, atau pun untuk menimbang spesimen benda uji.

87
Gambar 3.9 Timbangan

3.5.3 Oven

Digunakan oven listrik yang dilengkapi dengan timer. Oven digunakan untuk

mengeringkan material, membantu proses pembuatan benda uji (memanaskan

aspal) ataupun untuk melakukan pengujian ageing.

Gambar 3.10 Oven

88
3.5.4 Mixer

Digunakan untuk proses pencampuran (mixing) terhadap material campuran

seperti agregat panas, filler, aspal, aditif serta polimer.

Gambar 3.11 Mixer

3.5.5 Penemometer

Digunakan untuk proses pengujian terhadap penetrasi aspal yang digunakan,

untuk mengecek terhadap spesifikasi teknis yang tertera.

Gambar 3.12 Penemometer

89
3.5.6 Waterbath

Merupakan alat untuk menciptakan suhu air konstan pada suhu yang

diinginkan. Alat ini digunakan untuk merendam benda uji marshall pada suhu stabil

60°C.

Gambar 3.13 Waterbath

3.5.7 Cetakan Marshall dan Cantabro Loss

Merupakan alat cetakan untuk dilakukannya kompaksi pada benda uji

marshall dan SCB. Cetakan marshall untuk pembuatan benda uji marshall memiliki

diameter kisaran pada 10,2 cm dan tinggi 7,62 cm. Cetakan Cantabro loss

digunakan untuk pembuatan benda uji SCB dengan spesifikasi diameter sebesar 15

cm.

Gambar 3.14 Cetakan marshall (kiri) dan cantabro loss (kanan)

90
3.5.8 Mesin Kompaksi

Merupakan alat yang digunakan untuk melakukan pemadatan pada benda uji

marshall dan benda uji SCB. Mesin kompaksi disertai dengan sensor untuk

membantu perhitungan secara otomatis. Pada penelitian ini digunakan 75 kali

kompaksi pada setiap sisi benda uji dikarenakan digunakan campuran didesain

untuk laston.

Gambar 3.15 Mesin kompaksi

3.5.9 Alat Marshall

Alat marshall dilengkapi dengan proving ring (cincin penguji) yang

digunakan untuk mengukur besaran stabilitas dari benda uji dan dilengkapi juga

dengan flowmeter yang digunakan untuk mengukur besaran kelelehan (flow). Alat

yang dipakai untuk marshall yakni alat dengan kapasitas 6000 lbf.

Gambar 3.16 Alat marshall

91
3.5.10 Universal Testing Machine (UTM)

Alat yang dipakai untuk pengujian SCB. Alat UTM yang dipakai memiliki

beban maksimal pada alat yang digunakan sebesar 10 KN.

Gambar 3.17 Mesin UTM

3.6 Pengujian Material Campuran

Langkah utama yang dilakukan dalam penelitian adalah tahap

mempersiapkan material campuran. Persiapan material campuran dilakukan dengan

menentukan karakteristik dari setiap material yang digunakan sesuai dengan

persyaratan SNI, ASTM, AASHTO, serta peraturan Binamarga sehingga didapat

karakteristik dari masing-masing material untuk kemudian dipakai sebagai dasar

perhitungan mix design campuran.

3.6.1 Berat Jenis Agregat Kasar

Terhadap agregat kasar yang ingin digunakan dalam campuran perkerasan,

dilakukan uji terhadap berat jenis dan penyerapan sesuai dengan SNI 03-1969-

2008. Dimana pengujian dilakukan sebanyak empat kali percobaan.

Pengujian terhadap berat jenis dan penyerapan dilakukan dengan memasukan

sampel agregat kasar kedalam oven dengan suhu 110 ± 5°C selama 24 jam

92
kemudian melewati proses perendaman dalam air selama 24 ± 4 jam. Setelah

melewati proses perendaman, kemudian dicari berat sampel pada kondisi SSD

(surface dry) dengan mengeluarkan agregat yang direndam dan dikeringkan dengan

bantuan kipas dan kain. Setelah kondisi berat pada kondisi SSD dicatat, kemudian

dilakukan penimbangan sampel didalam air dan kembali dikeringkan untuk

kemudian didapat hasil sebagai berat kering.

3.6.2 Berat Jenis Agregat Halus

Terhadap agregat halus yang digunakan dalam campuran perkerasan,

dilakukan uji terhadap berat jenis dan penyerapan sesuai dengan SNI 03-1970-

1990. Pengujian dilakukan dengan enam kali percobaan.

Pengujian dilakukan dengan mengeringkan sampel pada kering oven suhu

110 ± 5°C dan kemudian direndam selama 24 ± 4 jam. Setelah perendaman

dilakukan, kemudian sampel dicari berat SSD (surface dry) dengan menebar

agregat halus dengan alas koran dan dianginkan dengan bantuan kipas. Kondisi

SSD tercapai apabila pengujian sampel yang dilakukan sand cone dengan kerucut

mengalami keruntuhan. Pengujian sand cone dilakukan dengan memasukan agregat

per 1/3 kerucut besi dan dipadatkan dengan penumbuk logam dengan ketinggian 5

mm diatas kerucut sebanyak total 25 kali.

Setelah kondisi SSD tercapai, diambil sampel sebanyak 500 ± 10 gram untuk

tiap sampel dan dilakukan pengujian dengan memasukan kedalam gelas ukur yang

ditambah air hingga 90% kapasitas gelas ukur tercapai. Lakukan pengadukan

selama 20 menit hingga gelembung udara hilang dan diamkan atau rendam gelas

93
ukur hingga tercapai suhu 23 ± 1,7°C. Dan dicatat berat agregat dan air, lalu

kembali tuangkan dicawan untuk dioven selama 24 jam.

3.6.3 Berat jenis Filler

Uji terhadap berat jenis filler dilakukan sesuai dengan SNI 15-2531-1991.

Pengujian dilakukan dengan empat kali percobaan. Pengujian dilakukan dengan

mengisi botol le chatelier dengan kerosin diantara skala 0 dan 1, kemudian rendam

botol didalam air hingga suhu keduanya tidak berbeda terpaut lebih dari 0,2.

Sesudah itu, dimasukan semen dengan berat 64 gram dan diaduk secara perlahan

hingga gelembung hilang. Lakukan kembali perendaman botol dalam air dan

kemudian baca skala di bacaan kedua.

3.6.4 Berat Jenis Aspal / Bitumen

Pengujian dilakukan sesuai dengan SNI 2441: 2011. Pengujian dilakukan

sebanyak enam kali percobaan. Pengujian dilakukan dengan menimbang berat awal

piknometer dalam keadaan kosong, dan kemudian isi piknometer dengan air suling

hingga penuh untuk kemudian direndam dalam waterbath dengan suhu 30°C

selama 30 menit. Timbang piknometer yang telah direndam, lalu bersihkan

piknometer untuk kemudian dimasukan aspal dengan pemanasan tidak lebih dari

30 menit sebanyak ¾ bagian piknometer. Setelah dicatat, kemudian dilakukan

pengisian penuh piknometer dengan air suling dan dilakukan kembali perendaman

dalam waterbath suhu 30°C selama 30 menit.

94
3.6.5 Kadar Lumpur Agregat Halus

Pengujian dilakukan sesuai dengan SNI S-04-1989-F dimana dilakukan tiga

kali percobaan terhadap kadar lumpur dengan spesifikasi maksimal kadar lumpur

sebesar 5%.

Pengujian dilakukan dengan secara volume dan secara berat. Dilakukan

secara volume berarti dengan memasukan agregat kedalam gelas ukur sebanyak

250 mL dan dilakukan pengocokan selama kurang lebih 30 menit untuk kemudian

didiamkan selama 24 jam sehingga lumpur akan mengendap dan dapat dicatat.

Pengujian secara berat dilakukan dengan menggunakan agregat yang telah

dikeringkan oven selama 24 jam dengan suhu 110 ± 5°C dan diambil 300 gram

untuk kemudian dicuci hingga bersih (air penyucian menjadi bening). Dan setelah

air bening, kemudian dilakukan pengovenan kembali untuk mendapatkan berat

agregat tanpa lumpur.

3.6.6 Gradasi Ayakan Agregat Halus dan Kasar

Pengujian dilakukan sesuai dengan SNI 03-2461-1991. Perbedaan untuk

analisis ayakan keduanya berada pada urutan saring yang dipakai. Agregat kasar

menggunakan urutan saringan: 11/2” (37,5 mm), 1” (25 mm), 3/4” (19 mm), 1/2”

(12,5 mm), 3/8” (9,5 mm), No.4 (4,75 mm), No.8 (2,36 mm), pan. Sedangkan

agregat halus menggunakan urutan saringan: 3/8” (9,5 mm), No.4 (4,75 mm), No.8

(2,36 mm), No.16 (1,18 mm), No.30 (0,6 mm), No.50 (0,3 mm), No.100 (0,15 mm),

pan.

95
Pengujian dilakukan dengan kondisi awal agregat kering oven, dengan berat

awal pengujian agregat halus diambil 300 gram dan agregat kasar 2000 gram.

Sampel agregat kemudian dimasukan kedalam masing-masing urutan ayakan untuk

kemudian dilakukan pengayakan dengan mesin pengayak. Dilakukan 6 menit

pengayakan dan timbang untuk berat masing-masing agregat pada masing-masing

ukuran saringan.

3.6.7 Penetrasi Aspal/Bitumen

Pengujian dilakukan sesuai dengan SNI 2456: 2011. Pengujian dilakukan

dengan menggunakan alat penemometer dimana disini merupakan nilai kedalaman

jarum dengan beban 100 gram kedalam sampel aspal selama lima detik dengan

temperatur sampel 25°C.

3.6.8 Titik Nyala dan Bakar Aspal

Pengujian dilakukan sesuai dengan SNI 2433:2011. Pengujian dilakukan

mengunakan alat Cleveland Open Cup, dengan memperhatikan disetiap kenaikan

lima derajat untuk melihat titik nyala dari aspal (ditunjukan dengan tanda bahwa

aspal mengeluarkan percikan ketika diberikan api) dan diperhatikan setiap kenaikan

dua derajat untuk melihat titik bakar (ditunjukan bahwa aspal akan ikut terbakar

setelah diberikan api).

3.6.9 Titik Lembek Aspal

Pengujian dilakukan sesuai dengan SNI 2434: 2011 dengan memanaskan

aspal pada suatu wadah cincin kuningan dengan bola. Ketika bola menyentuh dasar

dari pelat, suhu inilah yang merupakan titik lembek dari aspal.

96
3.7 Penetapan Kadar Aspal Optimum

Kadar aspal optimum pertama dihitung dengan cara perhitungan teoritis.

Perhitungan teoritis kadar aspal optimum rencana didasarkan atas gradasi agregat

gabungan dengan jarak terhadap batas seperti yang ditunjukan pada tabel 2.12

kemudian diambil nilai tengah. Sehingga didapat gradasi rencana:

Gambar 3.18 Gradasi rencana campuran

Sehingga dari gradasi rencana campuran kemudian dihitung dengan

persamaan (10) yang dilampirkan pada lampiran D didapat bahwa nilai kadar aspal

optimum rencana adalah sebesar 6% terhadap berat agregat. Oleh dasar perhitungan

ini kemudian dilakukan percobaan dengan variasi kadar 5,6%, 6,1% dan 6,5%

untuk dicari nilai optimumnya.

3.7.1 Perencanaan Campuran

Dari variasi kadar yang didapat, kemudian dihitung keperluan material yang

diperlukan dengan ketentuan nilai rongga rencana sebesar 4%. Campuran akan

97
dikerjakan secara campuran hangat (WMA) dengan menggunakan aditif kimia

Rediset LQ sebesar 1% dari berat aspal. Mix design direncanakan untuk benda uji

dengan diameter 10,2 cm dan tinggi 7,62 cm.

Hasil mix design campuran kemudian dipakai untuk dibuat benda uji yang

akan diuji dengan marshall. Pengujian dilakukan untuk mencari nilai valid dari

kadar aspal optimum berdasarkan percobaan yang dilakukan. Total rencana benda

uji yang akan dibuat untuk pengujian yakni:

Tabel 3.4 Jumlah benda uji marshall

Kadar aspal 5,6% 6,1% 6,5% Total

Jumlah 3 3 3 9

3.7.2 Pembuatan Benda Uji Marshall

Pembuatan benda uji didasarkan oleh hasil rencana mix design yang dibuat

dengan hasil uji karakteristik material. Kondisi agregat dipastikan untuk kering

secara sempurna dan material lain seperti bitumen dan cairan aditif kimia untuk

dijaga kondisinya dengan menutup rapat wadah penyimpanan. Digunakan carian

aditif kimia mengingat campuran yang akan dibuat menggunakan campuran aspal

hangat (WMA).

Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan mempersiapkan berat dari

masing-masing material sesuai dengan rencana mix design. Dimulai dengan

persiapan terhadap gradasi agregat yang dibutuhkan serta berat aspal. Karena

pencampuran dilakukan dengan campuran hangat (WMA), maka dilakukan terlebih

dahulu pemanasan terpisah terhadap agregat di suhu 135°C dan aspal disuhu 160°C

98
selama 40 menit. Kemudian aspal dicampurkan dengan bahan aditif rediset LQ

sebanyak 1% dari kadar aspal lalu diaduk, dan kemudian campuran aspal dengan

rediset LQ dimasukan kedalam oven tempat agregat diletakan yakni dengan suhu

135°C selama 30 menit.

Selama agregat dan aspal dipanaskan, kemudian dilakukan persiapan

terhadap cetakan benda uji berupa pelumasan cetakan benda uji marshall dengan

menggunakan vaseline dan melapisi permukaan alas dengan kertas pori untuk

mencegah benda uji menempel pada cetakan.

Setelah persiapan dilakukan kemudian dilakukan proses mixing dengan alat

mixer, proses mixing dilakukan dengan waktu 10 menit hingga agregat, aspal dan

additif diaduk secara merata (ditunjukan dengan warna campuran yang hitam pekat,

pertanda aspal menyelimuti agregat). Hasil dari mixing kemudian dimasukan

kembali kedalam oven dengan suhu 135°C untuk menjaga kestabilan suhu WMA

kembali pada suhu tersebut. Setelah suhu dicapai, kemudian dilakukan kompaksi

dengan alat kompaksi otomatis dengan ketentuan jumlah kompaksi 75 kali di

masing-masing sisi karena campuran merupakan campuran laston untuk lalu lintas

berat. Dan kemudian benda uji dikeluarkan dari cetakan setelah didiamkan disuhu

ruangan selama 24 jam.

3.7.3 Perhitungan Volumetrik Benda Uji

Benda uji yang telah dikeluarkan dari cetakan kemudian dianalisis secara

volumetric dengan menghitung berat kering, berat air dan berat secara SSD untuk

kemudian dicari nilai VIM, VMA, VFB serta densitasnya dengan menggunakan

persamaan pada subbab 2.2.3.

99
3.7.4 Pengujian Marshall

Setelah perhitungan volumetrik, dilakukan pengujian dengan alat marshall

dengan standard ASTM D6927-06. Dilakukan terlebih dahulu persiapan terhadap

benda uji dengan merendam benda uji di suhu 60°C selama 40 menit dan kemudian

diuji dengan alat marshal dengan bantuan kamera handphone untuk mencatat

pembacaan dial proving ring dan dial flow. Pengujian dilakukan dengan alat

berkapasitas 6000 lbf dengan kecepatan pembebanan 50 mm/menit. Pengujian

dilakukan hingga tercapai bacaan dial maksimum, dimana akan berhenti dilakukan

ketika pembacaan dial sudah menurun.

Hasil dari pengujian kemudian dilakukan analisis terhadap parameter

stabilitas, flow, serta MQ untuk kemudian didapatkan nilai dari kadar aspal

optimum yang akan dipakai untuk pembuatan benda uji SCB.

3.8 Pengujian Ageing dengan Uji Semi Circular Bending (SCB)

Pengujian terhadap ageing mengacu pada AASHTO R30-02 yakni melihat

efek ageing dengan variasi oven-ageing conditioning untuk mensimulasikan short

term ageing dan long term ageing. Spesimen benda uji akan disimpan dalam oven

bersuhu 135°C selama 4 jam untuk mensimulasikan efek short term ageing yang

terjadi selama proses prakompaksi dari konstruksi dan dilanjutkan penyimpanan

oven suhu 85°C dengan variasi 2 dan 8 hari untuk mensimulasikan efek long term

ageing yang terjadi selama umur layanan perkerasan. Setelah dilakukan ageing

kemudian benda uji akan di uji secara SCB dengan mesin UTM dengan mengacu

kepada NEN-EN 12697-44. Langkah yang dilakukan untuk pengujian ageing

dengan SCB antara lain:

100
3.8.1 Perencanaan Campuran

Untuk campuran benda uji SCB, digunakan hasil kadar aspal optimum yang

telah didapatkan dan dianalisis berdasarkan uji marshall. Beberapa ketentuan untuk

mix desain kurang lebih mirip dengan pengujian marshall. Untuk gradasi agregat

yang digunakan sama seperti gradasi untuk pengujian marshall. Nilai rongga

rencana juga sama seperti pengujian marshall yakni diangka 4%. Campuran SCB

juga akan dibuat dengan campuran hangat (WMA) dengan menggunakan aditif

Rediset LQ sebesar 1% dari berat aspal.

Pembeda antar uji marshal dan uji SCB yang dilakukan adalah, benda uji akan

dicetak dengan ukuran diameter 150 mm dan tebal 50 mm. Selain itu, maksud dari

uji SCB juga ditujukan untuk melihat pengaruh ageing dengan SCB sehingga pada

campuran juga akan dipakai polimer untuk mengetahui pengaruh polimer terhadap

ageing.

Polimer akan dicoba bervariasi pada campuran. Terdapat 4 kadar polimer

yang akan dicoba untuk mengetahui pengaruh pertambahan polimer terhadap

ageing. Kadar polimer yang akan dibuat antara lain 0%,4%,5% dan 6% untuk benda

uji 2 hari dan 8 hari yang direncanakan dengan masing-masing kadar dibuat 6 benda

uji. Penambahan polimer dalam campuran akan dilakukan secara PMA / secara dry

mix.

101
Tabel 3.5 Jumlah benda uji SCB
Hari ageing 2 Hari 5 Hari 8 Hari

Polimer (%) 0% 4% 5% 6% 0% 4% 5% 6% 0% 4% 5% 6%

Jumlah 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6

TOTAL 72

3.8.2 Pembuatan Benda Uji SCB

Pembuatan benda uji SCB berdasarkan rencana mix design dari hasil uji

karakteristik material seperti pada pengujian marshall, yang membedakan adalah

adanya penambahan polimer dan ukurannya. Pembuatan tetap akan dibuat secara

WMA dengan menambahkan cairan aditif kimia Rediset LQ

Pada pembuatan SCB, akan dilakukan pencampuran polimer secara dry mix.

Artinya bahwa polimer akan dicampur dengan agregat untuk masuk pemanasan

oven dengan suhu 135°C dan aspal disuhu 160°C selama 40 menit. Kemudian aspal

dicampurkan dengan bahan aditif rediset LQ sebanyak 1% dari kadar aspal lalu

diaduk, dan kemudian campuran aspal dengan rediset LQ dimasukan kedalam oven

tempat agregat diletakan yakni dengan suhu 135°C selama 30 menit. Selanjutnya

Langkah persiapan terhadap cetakan, mixing, kompaksi, dan pengeluaran benda uji

akan dilakukan dengan hal yang serupa dengan pembuatan benda uji marshall,

hanya berbeda pada ukurannya, yakni menggunakan ukuran diameter 150 mm dan

tinggi 50 mm.

Setelah dikeluarkan dari cetakan, maka benda uji dengan diameter 150 mm

bisa dipotong untuk menjadi dua benda uji SCB dengan masing-masing jari-jari 75

mm dengan menggunakan gerinda. Adapun benda uji diberikan notch pada bagian

102
tengah benda uji sedalam 10 mm dengan tujuan patahan berada pada bagian tengah

benda uji.

Gambar 3.19 Benda uji SCB yang telah dipotong menjadi dua (kiri), benda uji yang telah
dipotong dan diberi notch (kanan)

3.8.3 Perhitungan Volumetrik

Setelah benda uji dipotong dan diberi notch, kemudian dianalisis secara

volumetrik dengan menghitung berat kering, berat air dan berat secara SSD untuk

kemudian dicari nilai VIM, VMA, VFB serta densitasnya dengan menggunakan

persamaan pada subbab 2.2.3.

3.8.4 Pengadaan Ageing

Spesimen benda uji akan disimpan dalam oven bersuhu 135°C selama 4 jam

untuk mensimulasikan efek short term ageing yang terjadi selama proses

prakompaksi dari konstruksi dan dilanjutkan penyimpanan oven suhu 85°C dengan

variasi 2 dan 8 hari untuk mensimulasikan efek long term ageing yang terjadi

selama umur layanan perkerasan.

103
3.8.5 Pelaksanaan Uji Semi Circular Bending (SCB)

Benda uji yang selesai diberikan kondisi ageing oven selama durasi yang

ditentukan, kemudian dikeluarkan dari oven dan dibiarkan hingga kering sampai

suhunya turun menjadi sama dengan suhu ruangan. Hingga selanjutnya dilakukan

pengujian secara SCB dengan menggunakan mesin UTM.

Benda uji kemudian diatur sesuai dengan konfigurasi peletakan yang

dijelaskan pada subbab 2.5.3. Peletakan benda uji menjadi pengaruh penting dalam

pengujian, dimana komponen penekan tepat ditengah benda uji dan berada satu

garis lurus dengan notch yang telah dibuat. Dan setelah benda uji terpasang dengan

baik, maka dilakukan pengaturan alat UTM untuk pengujian tekan dengan

kecepatan penurunan sebesar 5 mm/menit.

Gambar 3.20 Pengujian SCB dengan mesin UTM

Hasil data kemudian akan berupa data atau grafik load berbanding dengan

displacement.

104
BAB IV
HASIL DATA DAN PEMBAHASAN
4.1 Umum

Pada bab ini akan diuraikan mengenai hasil data dari pengujian karakteristik

material, hasil kadar aspal optimum rencana yang diperhitungkan, pengujian benda

uji secara marshall untuk mencari kadar aspal optimum berdasarkan percobaan,

serta pengujian ageing secara SCB.

Pada bab ini juga akan dijelaskan mengenai pembahasan dan analisis terkait

didasari peraturan dan teori pendukung pada BAB II dan BAB III dengan rumusan

masalah sehingga diharapkan dijadikan landasan kuat untuk mengambil

kesimpulan dan menjawab rumusan masalah yang ada.

4.2 Hasil dan Pembahasan Data Pengujian Karakteristik Material

Hasil data yang ditampilkan merupakan hasil dari perhitungan yang

dilampirkan dalam lampiran-lampiran terkait.

4.2.1 Aspal / Bitumen

Pengujian terhadap aspal / bitumen dilakukan terhadap pengujian berat jenis,

penetrasi, titik lembek, titik nyala, dan titik bakar. Perhitungan mengenai

perhitungan karakteristik aspal dilampirkan dalam lampiran E dan hasil dari

pengujian serta syarat pada Spesifikasi Umum Binamarga (2018) untuk campuran

laston hangat adalah sebagai berikut:

Tabel 4.1 Hasil dan syarat pengujian karakteristik aspal

No. Pengujian Hasil Syarat


1 Berat Jenis (gr/cc) 1,085 Min. 1
2 Penetrasi pada 25C 100 gram 5
60,83 60-70
detik (0,1 mm)

105
No. Pengujian Hasil Syarat
3 Titik Nyala (°C) 338 Min. 232
4 Titik Bakar (°C) 348 -
5 Titik Lembek (°C) 42 Min.48

Dengan grafik titik nyala, bakar dan lembek:

TITIK NYALA DAN BAKAR


365
340
315
Temperatur (°C)

290
265
240
215
190
165
0 5 10 15 20
Waktu (menit)

Gambar 4.1 Grafik titik nyala dan bakar aspal

TITIK LEMBEK ASPAL


45
40
35
Temperatur (C)

30
25
20
15
10
5
0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (menit)

Gambar 4.2 Grafik titik lembek aspal

106
Berdasarkan hasil data yang diperoleh, terlihat bahwa pengujian tidak

sepenuhnya memenuhi persyaratan dari Spesifikasi Umum Binamarga (2018)

untuk campuran laston hangat. Nilai titik lembek yang dibawah spesifikasi yang

diisyaratkan menandakan bahwa aspal akan lebih mudah untuk lembek jika

dibandingkan dengan syarat yang ada.

Selain nilai titik lembek, pengujian karakteristik aspal lainnya sudah

memenuhi persyaratan dari Spesifikasi Umum Binamarga (2018) untuk campuran

laston hangat.

4.2.2 Agregat

Agregat meliputi agregat kasar, agregat halus, serta filler berupa semen.

Perhitungan karakteristik agregat akan dilampirkan dalam lampiran F dan hasil dari

pengujian serta syarat pada Spesifikasi Umum Binamarga (2018) untuk campuran

laston hangat adalah sebagai berikut:

1. Kadar lumpur

Dilakukan pengujian terhadap kadar lumpur agregat halus, didapat bahwa:

Tabel 4.2 Kadar lumpur agregat halus

Kadar lumpur gregat halus


Secara volume (%) Secara berat (%)
Hasil Syarat Hasil Syarat
19,3 Max. 5 2 Max. 5

Terlihat bahwa hasil kadar lumpur agregat halus berdasarkan volume melebihi

persyaratan yang ada. Perhitungan kadar lumpur agregat halus secara volume

didasarkan pada pengujian terhadap murni kondisi awal agregat yang dikocok

107
pada gelas ukur. Dan perhitungan kadar lumpur agregat halus berdasarkan berat

menunjukan bahwa agregat mengalami pencucian terhadap pengaruh lumpur.

Oleh karena itu diambil kesimpulan bahwa terhadap agregat halus dan agregat

kasar yang dipakai untuk campuran laston harus benar-benar dicuci hingga

kadar lumpur <5 %, artinya dengan indikasi bahwa agregat harus dicuci dengan

air hingga air cucian agregat bening.

2. Berat jenis dan penyerapan agregat

Dilakukan pengujian berat jenis terhadap agregat, meliputi agregat halus,

agregat kasar serta filler berupa semen, dan uji penyerapan terhadap agregat

kasar dan halus, sehingga didapat:

Tabel 4.3 Berat jenis dan penyerapan agregat

No. Material Pengujian Hasil Syarat

Berat jenis bulk (gr/cc) 2,393 -

1 Agregat Kasar Berat jenis apparent (gr/cc) 2,491 -

Penyerapan (%) 1,684 Max. 3

Berat jenis bulk (gr/cc) 2,585 -

2 Agregat Halus Berat jenis apparent (gr/cc) 2,690 -

Penyerapan (%) 1,463 Max. 3

3 Filler Berat jenis (gr/cc) 2,946 -

Adapun ketentuan Spesifikasi Umum Binamarga (2018) untuk campuran laston

hangat menyatakan bahwa berat jenis agregat kasar dan halus tidak boleh

berbeda lebih dari 0,2. Dan pada pengujian yang dilakukan, masing-masing

108
berat jenis agregat kasar masih berada pada rentang selisih sekitar 0,2 dari

persyaratan.

3. Analisis gradasi ayakan

Dilakukan untuk mengetahui gradasi dari masing-masing agregat:

a. Agregat halus

Tabel 4.4 Analisis gradasi ayakan agregat halus

Agregat Halus
Ukuran Saringan (mm) % lolos
9,5 99,74
4,75 98,95
2,36 94,06
1,18 88,24
0,6 64,24
0,3 29,94
0,15 4,18
0 0

Dengan grafik gradasi sebagai berikut:

Gradasi Agregat Halus


120.00

100.00

80.00
% Lolos

60.00

40.00

20.00

0.00
0 1.5 3 4.5 6 7.5 9 10.5
Ukuran Saringan (mm)

Gambar 4.3 Grafik analisis gradasi ayakan agregat halus

109
b. Agregat kasar

Agregat Kasar
Ukuran Saringan (mm) % Lolos
37,5 100,00
25 92,29
19 75,60
12,5 44,39
9,5 30,38
4,75 5,86
2,36 0,84
0 0,00

Dengan grafik gradasi sebagai berikut:

Gradasi Agregat Kasar


120.00

100.00

80.00
% Lolos

60.00

40.00

20.00

0.00
0 5 10 15 20 25 30 35 40
Ukuran Saringan (mm)

Gambar 4.4 Grafik analisis gradasi ayakan agregat kasar

110
4.3 Perhitungan kadar aspal optimum rencana

Dengan memperhatikan syarat batas atas dan batas bawah pada Kumulatif Berat

Lolos Terhadap Total Agregat (%) untuk campuran laston hangat sesuai dengan

spesifikasi umum binamarga (2018) kemudian diambil gradasi rencana (seperti

pada subbab 3.7 pada gambar 3.18) untuk kemudian mempengaruhi terhadap

kadar aspal optimum rencana.

Tabel 4.5 Gradasi rencana untuk laston hangat

Kumulatif Berat Lolos Terhadap Total Agregat (%)


Ukuran Ayakan
(Spesifikasi) (Rencana)
ASTM (mm) Batas Bawah Batas Atas Lolos Tertahan
3/4" 19 100 100 100 0
1/2" 12,5 90 100 95 5
3/8" 9,5 77 90 83,5 11,5
No. 4 4,75 53 69 61 22,5
No. 8 2,36 33 53 43 18
No. 16 1,18 21 40 30,5 12,5
No. 30 0,6 14 30 22 8,5
No. 50 0,3 9 22 15,5 6,5
No. 100 0,15 6 15 10,5 5
No. 200 0,075 4 9 6.5 4
Filler - - 0 6,5

Total (%) agregat kasar rencana tertahan / CA = 0+5+11,5+22,5 = 39 %

Total (%) agregat halus rencana tertahan / FA = 18+12,5+8,5+6,5+5+4 = 54,5%

Total (%) filler rencana tertahan = 6,5%

111
Dan kemudian dihitung kadar aspal optimum untuk laston hangat dengan rumus

perhitungan kadar aspal optimum rencana pada persamaan (10) di subbab 2.3.1:

Kadar aspal terhadap berat agregat = 0,035 (CA) + 0,045 (FA) + 0,18 (filler) + 1

= 0,035 (39) + 0,045 (54,5) + 0,18 (6,5) + 1

= 5,9875% atau sekitar 6%

Oleh karena sesuai dengan perhitungan kadar aspal optimum rencana didapat nilai

kadar aspal terhadap berat agregat disekitar 6%, maka untuk pengujian kadar aspal

optimum secara uji coba marshal digunakan nilai kadar aspal terhadap berat agregat

dengan variasi nilai 5,6%, 6,1% dan 6,5%.

Alasan kenapa variasi yang diambil kemudian 6,1% bukan 6% adalah dengan

alasan bahwa ketika pengujian berlangsung, pada proses pembuatan benda uji

tepatnya pada saat mixing, aspal cenderung menempel pada cawan, sehingga nilai

variasi aspal dilebihi 0,1%. Nilai variasi 5,6% serta 6,5% merupakan nilai variasi

acak yang diambil disekitar nilai kadar aspal optimum rencana.

4.4 Perhitungan Mix Design Benda Uji Marshall

Perhitungan mix design benda uji dilampirkan dalam lampiran G dengan penetapan

awal desain rencana rongga campuran sebesar 4% untuk benda uji marshall dengan

ukuran tinggi 7,62 dan diameter 10,2. Dan dikarenakan pencampuran dilakukan

secara hangat (WMA) maka kemudian dipakai aditif Rediset LQ sebanyak 1% dari

berat aspal. Pada perhitungan mix design, berat jenis agregat kasar dan halus yang

digunakan adalah berat jenis bulk. Sehingga didapat kebutuhan campuran untuk

masing-masing kadar aspal:

112
Tabel 4.6 Kebutuhan material untuk campuran laston dengan kadar aspal berbeda

Jenis Ukuran Berat (gr)


No. Saringan
material ayakan (mm)
5.6% 6.1% 6.5%
3/4" 19 0 0 0
1/2" 12,5 71,97 71,25 70,69
Agregat kasar
3/8" 9,5 165,53 163,88 162,58
4 4,75 323,87 320,64 318,10
Total agregat kasar 561,37 555,77 551,37
8 2,36 259,10 256,51 254,48
16 1,18 179,93 178,13 176,72
30 0,6 122,35 121,13 120,17
Agregat Halus
50 0,3 93,56 92,63 91,89
100 0,15 71,97 71,25 70,69
200 0,075 57,58 57,00 56,55
Total agregat halus 784,49 776,65 770,50
filler - <0.075 93,56 92,63 91,89
Aspal pen 80,61 86,93 91,89
- -
60/70
Rediset LQ - - 0,81 0,87 0,92

Dan oleh karena keterbatasan dari material pengujian, maka untuk agregat No.

saringan 3/4" sampai dengan No.16 digunakan kerikil dengan berat jenis bulk 2,393

gr/cc dan agregat No.200 dengan berat jenis bulk 2,585 gr/cc.

113
Dengan berat jenis rencana masing-masing campuran:

Tabel 4.7 Berat jenis rencana campuran laston dengan kadar aspal berbeda

Berat jenis campuran (gr/cm3)

5,6% 6,1% 6,5%

2218,41 2206,65 2197,42

4.5 Hasil dan Analisis Kadar Aspal Optimum dengan Uji Marshall

Perhitungan hasil pengujian dihitung dengan persamaan (1) sampai (9) pada

subbab 2.2.3 dan persamaan (10) dan (12) pada subbab 2.5.2. Perhitungan akan

dilampirkan pada lampiran H

Berikut hasil rata-rata sifat volumetrik (density, VIM, VMA, VFB) campuran

laston dan parameter uji lain seperti stabilitas, flow, dan MQ:

Tabel 4.8 Hasil rata-rata uji marshal


Kadar aspal terhadap berat agregat
No. Parameter Syarat
5,6 % 6,1% 6,5%

1 Densitas (kg/m3) 2075,242 2122,244 2100,765 -

2 VIM (%) 6,454 4,335 5,303 3 – 5,5

3 VMA (%) 22,864 21,117 21,916 Min. 15

4 VFB (%) 71,858 79,517 75,921 Min. 65

5 Stabilitas (kg) 986,71 1179,95 1092,11 Min. 800

6 Flow (mm) 3,31 3,68 3,96 2-4

7 MQ (kg/mm) 298,92 321,25 276,09 Min. 250

114
Hasil dari pengujian kemudian dianalisis untuk kemudian didapatkan nilai

kadar aspal optimum berdasarkan percobaan:

1. Densitas

Berikut merupakan hasil dari densitas dari tiga kadar aspal berbeda yang didapat

dengan menimbang benda uji pada berat kering,berat SSD dan berat air.

Densitas
2160.0

2140.0

2120.0

2100.0
Kg/cm3

2080.0

2060.0

2040.0

2020.0

2000.0
5.6% 6.1% 6.5%

Gambar 4.5 Grafik densitas dengan kadar aspal

Pada grafik terlihat bahwa kadar aspal 6,1% mempunyai nilai densitas paling

tinggi yakni berada pada nilai 2122,244 kg/m3 dan dengan nilai standar deviasi

yang terkecil. Densitas erat kaitannya dengan beban yang dapat dipikul oleh

campuran, sehingga bisa dibilang bahwa kadar aspal 6,1% memiliki

kemampuan untuk memikul yang paling besar.

2. Volume rongga campuran / void in mixture (VIM)

Berikut merupakan hasil dari VIM dari tiga kadar aspal berbeda yang telah diuji

secara volumetrik:

115
VIM
8.0

7.0

6.0

5.0

4.0
%

3.0

2.0

1.0

0.0
5.6% 6.1% 6.5%

Gambar 4.6 Grafik VIM dengan kadar aspal

Terlihat dari hasil VIM yang ditampilkan, bahwa nilai VIM pada 5,6% ke 6,1%

mengalami penurunan dan kembali mengalami kenaikan pada kadar 6,5%. Nilai

VIM yang semakin besar menandakan bahwa terlalu banyak rongga pada

lapisan campuran sehingga campuran cenderung menjadi mudah untuk

mengalami kerusakan strukturan berupa pelepasan butiran. Pada percobaan kali

ini, terlihat bahwa kadar 6,1% mempunyai nilai optimum dari segi VIM karena

memiliki nilai VIM dikarenakan hasil dari kadar 6,1% merupakan hasil yang

paling mendekati nilai rongga rencana sebesar 4%. Selain itu, nilai VIM pada

kadar 6,1% terlihat memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Binamarga yakni di

sekitar 3% – 5,5%.

116
3. Volume rongga antar agregat / void in the mineral agregat (VMA)

Berikut merupakan hasil dari VMA dari tiga kadar aspal berbeda yang telah

diuji secara volumetrik:

VMA
24.0

23.0

22.0
%

21.0

20.0

19.0
5.6% 6.1% 6.5%

Gambar 4.7 Grafik VMA dengan kadar aspal

Dengan nilai standar VMA yang disyaratkan Binamarga minimal 15%, ketiga

kadar aspal terlihat memenuhi syarat tersebut. Terlihat bahwa pada grafik nilai

VMA pada 5,6% ke 6,1% mengalami penurunan dan kembali mengalami

kenaikan pada kadar 6,5%. Hal ini mengisyaratkan bahwa nilai VMA yang

minimum tentu memberikan ruang yang cukup bagi bitumen untuk melekat

dengan agregat, sehingga kadar aspal 6,1% memberikan nilai VMA paling

optimal.

117
4. Volume rongga terisi aspal / void filled with bitumen (VFB)

Berikut merupakan hasil dari VMA dari tiga kadar aspal berbeda yang telah

diuji secara volumetrik:

VFB
84.0

80.0

76.0

72.0
%

68.0

64.0

60.0
5.6% 6.1% 6.5%

Gambar 4.8 Grafik VFB dengan kadar aspal

Dengan nilai standar VFB yang disyaratkan Binamarga minimal 65%, ketiga

kadar aspal terlihat memenuhi syarat tersebut. Terlihat bahwa pada grafik nilai

VMA pada 5,6% ke 6,1% mengalami kenaikan dan kembali mengalami

penurunan pada kadar 6,5%. Nilai VFB menyatakan nilai rongga yang dapat

diisi dengan aspal, semakin tinggi nilai VFB maka akan semakin banyak rongga

yang dapat diisi. Oleh karena itu disini nilai kadar 6,1% merupakan nilai kadar

yang menghasilkan VFB paling optimal.

118
5. Stabilitas

Berikut merupakan hasil terkalibrasi dari stabilitas dari tiga kadar aspal berbeda

yang telah diuji dengan menggunakan alat marshall:

Stabilitas
1300.0

1200.0

1100.0
Kg

1000.0

900.0

800.0
5.6% 6.1% 6.5%

Gambar 4.9 Grafik stabilitas dengan kadar aspal

Dengan nilai standar stabilitas yang disyaratkan Binamarga minimal 800kg,

ketiga kadar aspal terlihat memenuhi syarat tersebut. Terlihat bahwa pada grafik

nilai stabilitas pada 5,6% ke 6,1% mengalami kenaikan dan kembali mengalami

penurunan pada kadar 6,5%. Nilai stabilitas menunjukan kemampuan campuran

perkerasan untuk menahan deformasi, dimana semakin besar stabilitas maka

akan semakin kuat untuk campuran menahan deformasi yang ada. Oleh karena

itu karena campuran didesain untuk perkerasan laston untuk lalu lintas padat,

nilai stabilitas yang dihasilkan dari kadar aspal 6,1% dianggap nilai optimal

dengan stabilitas tertinggi.

119
6. Flow

Berikut merupakan hasil dari nilai flow dari tiga kadar aspal berbeda yang telah

diuji dengan menggunakan alat marshall:

Flow
5.0
4.5
4.0
3.5
3.0
mm

2.5
2.0
1.5
1.0
0.5
0.0
5.6% 6.1% 6.5%

Gambar 4.10 Grafik flow dengan kadar aspal

Dengan nilai standar stabilitas yang disyaratkan Binamarga dengan rentang

nilai 2-4 mm, ketiga kadar aspal terlihat memenuhi syarat tersebut. Terlihat

bahwa pada grafik nilai flow menunjukan kenaikan disetiap peningkatan kadar

aspal. Nilai flow menandakan besarnya deformasi yang terjadi, dimana nilai

flow yang tinggi menunjukan campuran memiliki flexibilitas yang tinggi dan

flow yang rendah menunjukan campuran memiliki sifat yang kaku. Dalam hal

ini 6,1% menunjukan nilai flow diantara yang membuat campuran tidak terlalu

fleksibel dan tidak terlalu kaku.

120
7. Marshal Quotient (MQ)

Berikut merupakan hasil dari nilai MQ dari tiga kadar aspal berbeda yang telah

dihitung berdasarkan nilai stabilitas dan flow:

MQ
340.0

320.0

300.0
Kg / mm

280.0

260.0

240.0

220.0

200.0
5.6% 6.1% 6.5%

Gambar 4.11 Grafik nilai MQ dengan kadar aspal

Dengan nilai standar MQ yang disyaratkan Binamarga dengan nilai minimal

250 kg/mm, ketiga kadar aspal terlihat memenuhi syarat tersebut. Terlihat

bahwa pada grafik nilai MQ pada 5,6% ke 6,1% mengalami kenaikan dan

kembali mengalami penurunan pada kadar 6,5%. Nilai MQ menandakan hasil

bagi antara stabilitas dan flow yang ada, disini diambil nilai optimum rencana

6,1% dikarenakan nilai MQ pada kadar ini memiliki stabilitas yang paling besar

dengan flow yang optimum

121
Oleh karena hasil data perhitungan dan analisis yang telah dilakukan pada

masing-masing parameter, sehingga diambil kesimpulan bahwa campuran optimum

adalah campuran dengan nilai kadar aspal 6,1%. Sehingga untuk pengujian SCB

diambil nilai kadar aspal 6,1% terhadap berat agregat sebagai nilai Kadar Aspal

Optimum (KAO).

4.6 Hasil Pengujian Spesimen untuk Uji Semi Circular Bending (SCB)

4.6.1 Sebelum Uji SCB

Benda uji untuk uji SCB dianalisis secara volumetrik sebelum dilakukan

variabel ageing secara AASHTO R30-02. Perhitungan hasil pengujian dihitung

dengan persamaan (1) sampai (9) pada subbab 2.2.3 dan dilampirkan dalam

lampiran I. Hasil pengujian tersebut antara lain:

Tabel 4.9 Hasil pengujian volumetrik terhadap benda uji yang akan diageing selama 2 hari

Penambahan polimer
No. Parameter Syarat
0% 4% 5% 6%

1 Densitas (kg/m3) 2080,779 2086,212 2092,640 2090,801 -

2 VIM (%) 5,704 5,458 5,257 5,333 3 – 5,5

3 VMA (%) 18,071 17,857 17,682 17,748 Min. 15

4 VFB (%) 68,475 69,444 70,273 69,966 Min. 65

Dilihat bahwa nilai penambahan polimer menyebabkan nilai VIM turun

pada penambahan 4% dan 5% tetapi naik kembali dipenambahan sebanyak 6%.

Terlihat juga penambahan polimer mengakibatkan nilai densitas bertambah di

penambahan 4% dan 5% tetapi kembali turun di penambahan 6%.

122
Tabel 4.10 Hasil pengujian volumetrik terhadap benda uji yang akan diageing selama 8 hari

Penambahan polimer
No. Parameter Syarat
0% 4% 5% 6%

1 Densitas (kg/m3) 2080,509 2081,133 2087,470 2081,904 -

2 VIM (%) 5,717 5,688 5,401 5,653 3 – 5,5

3 VMA (%) 18,081 18,057 17,807 18,026 Min. 15

4 VFB (%) 68,405 68,514 69,673 68,653 Min. 65

Pada spesimen untuk uji ageing 8 hari juga ditemukan karakteristik volumetrik

yang sama dengan spesimen untuk uji ageing 2 hari, yakni: penambahan polimer

menyebabkan nilai VIM turun pada penambahan 4% dan 5% tetapi naik kembali

dipenambahan sebanyak 6% serta penambahan polimer mengakibatkan nilai

densitas bertambah di penambahan 4% dan 5% tetapi kembali turun di penambahan

6%.

Terlihat bahwa berdasarkan hasil tabel pengujian volumetrik pada sampel yang

akan diuji ageing, dari masing-masing kadar polimer yang berbeda menghasilkan

nilai densitas, VIM, VMA dan VFB yang tidak terpaut jauh bedanya atau bisa

dikatakan mirip antara kadar polimer yang satu dan yang lainnya. Artinya dari hasil

ini, bisa mengindikasikan bahwa pengaruh volumetrik tidak akan berpengaruh

begitu jauh pada antar masing-masing sampel yang berbeda kadar polimer.

Sehingga cakupan penelitian ageing yang akan dilakukan, hasil yang diperoleh

dapat berfokus pada analisis efek polimer terhadap campuran saja, tidak

terpengaruh oleh hasil volumetrik.

123
4.6.2 Hasil Data dan Analisis SCB

Setelah dilakukan ageing secara AASHTO R30-02 (yakni spesimen benda uji

disimpan dalam oven bersuhu 135°C selama 4 jam untuk mensimulasikan efek

short term ageing dan dilanjutkan penyimpanan oven suhu 85°C dengan variasi 2

dan 8 hari untuk mensimulasikan efek long term ageing) kemudian spesimen diuji

dengan SCB.

Perhitungan hasil pengujian dihitung dengan persamaan (13) sampai (19)

pada subbab 2.5.3. Perhitungan akan dilampirkan pada lampiran J. Secara umum,

grafik sifat mekanis dari 2 dan 8 hari ageing dengan penambahan polimer adalah

sebagai berikut:

4.6.2.1 Ditinjau Pengaruh Polimer

Gambar 4.12 Beban maksimum, fracture energy, crack resistance index, flexibility index 2
hari ageing dengan penambahan kadar polimer berbeda

124
Gambar 4.13 Tegangan maksimum dan fracture toughness 2 hari ageing dengan
penambahan kadar polimer berbeda

Gambar 4.14 Beban maksimum, fracture energy, crack resistance index, flexibility index 8
hari ageing dengan penambahan kadar polimer berbeda

Gambar 4.15 Tegangan maksimum dan fracture toughness 2 hari ageing dengan
penambahan kadar polimer berbeda

125
4.6.2.1.1 Maximum Stress (𝝈𝒎𝒂𝒙 )

Berikut merupakan hasil grafik dari maximum stress/tegangan maksimal

benda uji pada 2 hari ageing dan 8 hari ageing dengan penambahan polimer yang

berbeda:

Gambar 4.16 Maximum stress / tegangan maksimal 2 hari ageing dengan penambahan kadar
polimer berbeda

Gambar 4.17 Maximum stress / tegangan maksimal 8 hari ageing dengan penambahan kadar
polimer berbeda

Secara garis besar, terlihat bahwa pada 2 hari ageing dan 8 hari ageing,

masing-masing mengalami peningkatan tegangan maksimum ketika adanya

penambahan polimer superplast. Efek dari penambahan polimer meningkatkan

126
tegangan maksimal lebih dari 9,2%. Pada 2 hari ageing terjadi peningkatan

maksimal sebesar 34,6% pada penambahan polimer 4% terhadap benda uji yang

tidak menggunakan polimer. Dan pada 8 hari ageing terjadi peningkatan maksimal

sebesar 28,4%.

Peningkatan tegangan maksimum pada penambahan polimer tidak lepas dari

peningkatan beban maksimal (Pmax) yang dapat ditahan, dimana peningkatan

tegangan maksimum sebanding dengan peningkatan beban maksimal yang dapat

ditahan (Pmax). Artinya lewat peningkatan tegangan maksimum pada benda uji

yang diberikan polimer dapat mengindikasikan bahwa polimer dalam campuran

aspal mengalami deformasi plastis pada saat proses pemanasan serta pencampuran

sehingga polimer bekerja sebagai bonding agent dan melekat bersama hasil

campuran yang lain. Hal ini mengakibatkan kenaikan daya lekat antara agregat serta

bitumen dan berdampak pada semakin kuatnya campuran dalam menahan beban.

4.6.2.1.2 Fracture Toughness (KIC)

Berikut merupakan hasil grafik dari fracture toughness benda uji pada 2 hari

ageing dan 8 hari ageing dengan penambahan polimer yang berbeda:

Gambar 4.18 Fracture toughness 2 hari ageing dengan penambahan kadar polimer berbeda

127
Gambar 4.19 Fracture toughness 8 hari ageing dengan penambahan kadar polimer berbeda

Secara garis besar, terlihat bahwa pada 2 hari ageing dan 8 hari ageing,

masing-masing mengalami peningkatan nilai fracture toughness ketika adanya

penambahan kadar polimer yang berbeda. Peningkatan nilai fracture toughness

dengan penambahan polimer pada campuran lebih dari 9,2%. Pada 2 hari ageing

terjadi peningkatan maksimal sebesar 34,6% pada penambahan polimer 4%

terhadap benda uji yang tidak menggunakan polimer. Dan pada 8 hari ageing terjadi

peningkatan maksimal sebesar 28,4%.

Nilai fracture toughness menyatakan nilai tegangan ketika terjadinya fraktur.

Selain dipengaruhi oleh tegangan ketika terjadinya fraktur, nilai ini juga

dipengaruhi oleh faktor geometrik yakni tebal dari spesimen. Terlihat dari grafik

bahwa pola yang dihasilkan dari fracture toughness memiliki pola yang tetap sama

seperti grafik tegangan maksimal, dimana persentase kenaikan dari spesimen yang

tidak diberikan polimer tetap sama. Artinya bahwa yang berpengaruh hanya pada

tegangan maksimal, perbedaan nilai geometrik tidak berpengaruh pada hasil

128
penelitian. Sehingga analisis bisa lebih berfokus kepada hasil dari efek polimer

dengan mengabaikan efek geometrik dan volumetrik.

Dari hasil data ini bisa diindikasikan bahwa semakin besarnya nilai fracture

toughness akibat penambahan polimer superplast maka akan semakin besar

tegangan yang dibutuhkan untuk suatu campuran mencapai keretakan/fraktur. Bisa

juga dibilang bahwa dibutuhkan nilai beban yang lebih besar untuk suatu campuran

dengan tambahan polimer dapat retak.

4.6.2.1.3 Fracture Energy (Gf)

Berikut merupakan grafik dari parameter fracture energy terhadap spesimen

yang telah dilakukan ageing selama 2 dan 8 hari dengan penambahan kadar polimer

yang berbeda:

Gambar 4.20 Fracture energy ageing 2 hari dengan penambahan kadar polimer berbeda

129
Gambar 4.21 Fracture energy ageing 8 hari dengan penambahan kadar polimer berbeda

Secara garis besar, terlihat bahwa pada 2 hari ageing dan 8 hari ageing,

masing-masing mengalami peningkatan nilai fracture energy ketika adanya

penambahan kadar polimer yang berbeda. Peningkatan nilai fracture energy dengan

penambahan polimer pada campuran lebih dari 18,3%. Pada 2 hari ageing terjadi

peningkatan maksimal sebesar 52,3% pada penambahan polimer 4% terhadap

benda uji yang tidak menggunakan polimer. Dan pada 8 hari ageing terjadi

peningkatan maksimal sebesar 43,4% pada penambahan polimer 5%.

Nilai fracture energy menyatakan jumlah energi yang dibutuhkan untuk

menyebarkan keretakan yang terjadi atau bisa dibilang nilai ini menyatakan

resistensi material terhadap perambatan atau penyebaran retak. Nilai ini didapat

dengan menghitung normalisasi area kurva beban-perpindahan dibagi dengan

luasan ligamen, sehingga dipengaruhi oleh besaran ketinggian nilai titik puncak

beban yang dapat ditampung (Pmax) dengan kapasitas deformasi yang dihasilkan

(kemiringan kurva setelah titik puncak) dan dipengaruhi oleh tebal benda uji dan

notch.

130
Terlihat dari grafik adanya peningkatan persentase hasil nilai fracture energy

spesimen yang menggunakan polimer dibanding dengan pada grafik fracture

toughness dan maximum stress yang menggunakan polimer. Dan mengingat

pengaruh geometrik tidak berperan maka yang benar-benar mempengaruhi adalah

area kurva beban-perpindahan, atau dengan kata lain yang sangat berpengaruh

adalah beban maksimal yang dapat ditahan (Pmax) dengan adanya kapasitas

deformasi yang dihasilkan (kemiringan kurva setelah titik puncak). Sehingga, hasil

ini bisa dilihat bahwa deformasi dan kemiringan kurva setelah titik puncak juga

terpengaruh dengan adanya penambahan polimer.

Dari hasil ini juga bisa diindikasikan bahwa nilai fracture energy yang

meningkat akibat penambahan polimer superplast menyebabkan campuran menjadi

dapat lebih baik dalam menahan terjadinya retakan serta menyebarnya suatu

retakan. Dikarenakan campuran dengan tambahan polimer akan membutuhkan

energi yang lebih besar untuk retakan bisa menyebar menjadi lebih besar.

4.6.2.1.4 Crack Resistance Index (CRI)

Berikut merupakan grafik dari parameter CRI terhadap spesimen yang telah

dilakukan ageing selama 2 dan 8 hari dengan penambahan kadar polimer yang

berbeda:

131
Gambar 4.22 CRI ageing 2 hari dengan penambahan kadar polimer berbeda

Gambar 4.23 CRI ageing 8 hari dengan penambahan kadar polimer berbeda

Secara umum baik pada 2 hari ageing dan pada 8 hari ageing, penambahan

polimer cenderung meningkatkan nilai Crack Resistance Index (CRI) yang dapat

ditanggung oleh benda uji. Penambahan polimer 4%,5% dan 6% menghasilkan

peningkatan CRI yang dapat ditanggung hingga lebih dari 8,7%. Pada 2 hari ageing

terlihat penambahan polimer sebesar 4% menghasilkan peningkatan beban

maksimal terbesar yakni sebesar 20,5% terhadap benda uji yang tidak memakai

polimer. Dan pada 8 hari ageing terlihat penambahan polimer sebesar 6%

132
menghasilkan peningkatan beban maksimal terbesar yakni sebesar 19.3% terhadap

benda uji yang tidak memakai polimer.

Hal ini dapat menyatakan bahwa penambahan polimer superplast pada

campuran aspal hangat (WMA) terbukti meningkatkan CRI hasil campurannya.

CRI merupakan suatu indeks yang menyatakan energi dibutuhkan untuk mencapai

retak terhadap kekuatan campuran aspal yang dinyatakan dalam beban puncak

(Pmaks). Sehingga bisa diindikasikan bahwa pada campuran yang dicampur dengan

polimer superplast menghasilkan campuran yang memiliki ketahanan retak yang

lebih baik.

4.6.2.1.5 Flexibility Index (FI)

Berikut merupakan grafik dari parameter FI terhadap spesimen yang telah

dilakukan ageing selama 2 dan 8 hari dengan penambahan kadar polimer yang

berbeda:

Gambar 4.24 Flexibility index ageing 2 hari dengan penambahan kadar polimer berbeda

133
Gambar 4.25 Flexibility index ageing 8 hari dengan penambahan kadar polimer berbeda

Secara garis besar, terlihat bahwa pada 2 hari ageing dan 8 hari ageing,

penambahan polimer superplast dapat meningkatkan atau menurunkan nilai

flexibility index. Pada 2 hari ageing terlihat bahwa pada penambahan kadar polimer

4% dan 6% meningkatkan nilai FI dengan kenaikan maksimal sebesar 108,7% akan

tetapi pada kadar 5% malah dapat menurunkan nilai FI sebesar -11,4%. Pada 8 hari

ageing terlihat bahwa pada penambahan kadar polimer 4% dan 6% meningkatkan

nilai FI dengan kenaikan maksimal sebesar 123,2%, sedangkan dengan

penambahan polimer 5% malah dapat menurunkan nilai FI sebesar -1,4%.

Nilai FI menyatakan kemampuan untuk berdeformasi terlebih ketika telah

terjadi suatu retakan atau suatu campuran telah melewati puncak beban yang dapat

ditahan. Nilai FI yang semakin besar menandakan bahwa campuran memiliki

kemampuan deformasi yang baik/dapat mempertahankan bonding dengan lebih

baik, artinya bahwa setelah retakan terjadi maka campuran tidak langsung

runtuh/benar-benar kehilangan kekuatannya memikul beban.

Pada penelitian kali ini, terlihat bahwa perlu diadakan penambahan polimer

yang sesuai, dikarenakan penambahan polimer superplast justru dapat

134
memperburuk campuran dimana nilai FI menjadi lebih kecil dimana pada kedua

hari ageing terlihat bahwa penambahan 4% berbanding dengan 5% menimbulkan

efek campuran yang jauh berbeda. Sehingga bisa dibilang penambahan kadar

polimer 4% pada campuran akan menghasilkan campuran yang paling baik, karena

dapat memiliki kemampuan deformasi yang lebih baik/dapat mempertahankan

bonding dengan lebih baik.

4.6.2.2 Ditinjau Pengaruh Ageing dan Efek Polimer Terhadap Ageing

Untuk meninjau dari pengaruh ageing, kemudian dibandingkan data 2 hari

dan 8 hari ageing yang telah dilakukan dengan penambahan polimer 4%,5%, dan

6%.

4.6.2.2.1 Maximum Stress (𝝈𝒎𝒂𝒙 )

Berikut merupakan data dari hasil penelitian benda uji yang telah diberikan

kondisi ageing selama 2 hari dan 8 hari untuk kadar polimer 0%,4%, 5% dan 6%:

Gambar 4.26 Maximum stress pada 2 hari dan 8 hari ageing serta selisihnya dengan
penambahan kadar polimer 4%,5% dan 6%

135
Dari grafik bisa dilihat bahwa pada semua kadar penambahan polimer

mengalami kenaikan maximum stress ketika diberikan kondisi ageing dari 2 hari

ageing menjadi 8 hari ageing. Terlihat pada grafik, bahwa penambahan polimer 4%

menghasilkan peningkatan maximum stress terendah sedangkan kadar polimer 5%

menghasilkan peningkatan maximum stress tertinggi. Tentu maximum stress

dipengaruhi oleh beban maksimal yang dapat ditanggung, dimana semakin besar

beban maksimal yang dapat ditanggung maka akan semakin besar maximum stress.

Oleh karena hal tersebut, bisa dikatakan bahwa peningkatan maximum stress

mengindikasikan adanya kegiatan oksidasi ageing yang menimbulkan kekakuan

terhadap campuran sehingga beban maksimal yang dapat ditanggung menjadi lebih

tinggi dan membuat nilai maximum stress meningkat.

4.6.2.1.6 Fracture Toughness (KIC)

Berikut merupakan data dari hasil penelitian benda uji yang telah diberikan

kondisi ageing selama 2 hari dan 8 hari untuk kadar polimer 0%,4%, 5% dan 6%:

Gambar 4.27 Fracture toughness pada 2 hari dan 8 hari ageing serta selisihnya dengan
penambahan kadar polimer 4%,5% dan 6%

136
Pada grafik terlihat bahwa nilai fracture toughness meningkat seiring

dengan pertambahan hari ageing pada semua kadar polimer dalam percobaan.

Terlihat bahwa pengaruh ageing membuat nilai fracture toughness meningkat, yang

artinya bahwa ageing membuat suatu benda uji membutuhkan nilai tegangan yang

lebih besar untuk bisa retak/fraktur. Hal ini berkaitan dengan proses oksidasi ageing

yang membuat semakin lama ageing, membuat benda uji menjadi semakin kaku

karena perubahan fraksi penyusunnya, sehingga butuh tegangan yang lebih besar

agar benda uji dapat mencapai kondisi fraktur.

4.6.2.2.2 Fracture Energy (Gf)

Berikut merupakan data dari hasil penelitian benda uji yang telah diberikan

kondisi ageing selama 2 hari dan 8 hari untuk kadar polimer 0%,4%, 5% dan 6%:

Gambar 4.28 Fracture energy pada 2 hari dan 8 hari ageing serta selisihnya dengan
penambahan kadar polimer 4%,5% dan 6%

Terlihat bahwa nilai fracture energy meningkat pada semua kadar

penambahan polimer ketika diberikan pengaruh ageing dari 2 hari ageing terhadap

8 hari ageing. Nilai fracture energy menyatakan jumlah energi yang dibutuhkan

untuk memulai suatu fraktur/retakan dan menyebarkannya. Pengaruh dari ageing

137
dimana membuat benda uji menjadi semakin kaku karena perubahan fraksi

penyusunnya akibat proses oksidasi ageing, membuat campuran akan lebih sulit

untuk retak karena lebih kaku.

4.6.2.2.3 Crack Resistance Index (CRI)

Berikut merupakan data dari hasil penelitian benda uji yang telah diberikan

kondisi ageing selama 2 hari dan 8 hari untuk kadar polimer 0%,4%, 5% dan 6%:

Gambar 4.29 Crack Resistance Index pada 2 hari dan 8 hari ageing serta selisihnya dengan
penambahan kadar polimer 4%,5% dan 6%

Secara garis besar, terlihat pada grafik bahwa nilai CRI cenderung naik

ketika diberikan kondisi ageing 2 hari ke 8 hari pada semua nilai kadar polimer.

CRI merupakan suatu indeks yang menyatakan energi dibutuhkan untuk mencapai

retak terhadap kekuatan campuran aspal yang dinyatakan dalam beban puncak

(Pmaks). Dalam hal ini, peranan ageing bisa dibilang meningkatkan ketahanan

terhadap retak terhadap kekuatan campuran aspal, dikarenakan lagi-lagi karena

pengaruh dari ageing dimana membuat benda uji menjadi semakin kaku karena

perubahan fraksi penyusunnya akibat proses oksidasi ageing, membuat campuran

akan lebih sulit untuk retak karena lebih kaku.

138
4.6.2.2.4 Flexibility Index (FI)

Berikut merupakan data dari hasil penelitian benda uji yang telah diberikan

kondisi ageing selama 2 hari dan 8 hari untuk kadar polimer 0%,4%, 5% dan 6%:

Gambar 4.30 Flexibility index pada 2 hari dan 8 hari ageing serta selisihnya dengan
penambahan kadar polimer 4%,5% dan 6%

Secara garis besar, terlihat pada grafik bahwa nilai flexibility index menurun

seiring dengan pertambahan hari ageing. Nilai flexibility index menandakan

kemampuan untuk berdeformasi terlebih ketika telah terjadi suatu retakan atau

suatu campuran telah melewati puncak beban yang dapat ditahan. Sehingga bisa

dibilang bahwa semakin kecil nilai FI menandakan bahwa campuran memiliki

kekuatan bonding yang semakin buruk. Dalam hal ini, peranan ageing berperan

dalam merubah fraksi penyusun aspal/bitumen sehingga kemampuannya sebagai

bonding agent berkurang.

4.6.2.3 Ditinjau Secara Keseluruhan

Penambahan polimer ditujukan agar campuran aspal dapat bekerja lebih baik.

Dalam artian peranannya terkait dengan ageing, polimer khususnya polimer

superplast ditambahkan ke campuran aspal diharapkan mampu meminimalisir efek

139
dari ageing yang dimana cenderung mengurangi potensi cracking dan rutting serta

menaikan stabilitas dari campuran. Adapun peranan lain polimer yakni memberi

adhesi yang lebih baik ke agregat sehingga mengurangi risiko pengupasan agregat.

Oleh karena konsep awal yang demikian, dilakukan modifikasi dengan

menambahkan polimer dengan kadar 4%, 5%, dan 6% pada campuran aspal untuk

mensimulasikan efek ageing spesimen SCB disimpan dalam oven dengan

mengikuti standard AASHTO R30-02 untuk kemudian diuji secara SCB. Adapun

pengaruh penambahan polimer yang berbeda membuat nilai volumetrik (densitas,

VIM, VMA, dan VFB) menjadi bervariasi walaupun rentang diantaranya juga

begitu kecil nilainya. Sehingga bisa dibilang bahwa hasil pengujian SCB yang akan

diperoleh tidak dipengaruhi perbedaan sifat volumetriknya. Dimulai dengan

maximum stress, dimana hasil menyatakan adanya kenaikan, artinya bahwa adanya

kenaikan kekuatan spesimen dalam menahan beban maksimalnya. Sehingga ada

indikasi bahwa polimer yang dipanaskan dan dicampurkan kedalam campuran aspal

hangat (WMA) mengalami deformasi plastis yang membuat polimer menyatu

dengan agregat serta bitumen dan kemudian bekerja sebagai bonding agent yang

membantu sampel dalam menahan beban yang lebih tinggi. Kemudian, nilai

fracture toughness juga mengalami kenaikan dengan besaran persentase yang sama

seperti dengan maximum stress. Karena kenaikan besaran persentase fracture

toughness sama dengan maksimum stress dan fracture toughness dipengaruhi

tegangan dan geometrik (tebal sampel), maka menguatkan argument bahwa efek

dari geometrik yang berbeda (yakni perbedaan akibat akurasi pada saat pemotongan

sampel SCB menjadi setengah lingkaran serta pada pemberian notch) dapat

140
diabaikan sehingga benar adanya bahwa efek polimer ialah mampu untuk

meningkatkan nilai beban yang dapat ditanggung sehingga tegangan naik.

Selanjutnya, terlihat besaran hasil peningkatan persentase fracture energy lebih

besar dibandingkan dengan fracture toughness serta maximum stress. Karena

fracture energy dipengaruhi oleh area kurva beban-perpindahan serta geometrik

tebal. Oleh karena geometrik tebal tidak berpengaruh, maka yang bisa diindikasikan

adalah bahwa efek polimer dapat mempengaruhi besaran area kurva beban-

perpindahan atau bisa dibilang selain Pmax yang meningkat maka

kemampuan/ketahanan deformasi juga semakin meningkat. Selain itu, polimer juga

meningkatkan persentase kenaikan nilai Crack Resistance Index (CRI), hal ini

mengindikasikan bahwa campuran memiliki ketahanan retak yang lebih baik serta

nilai flexibility index yang meningkat menandakan kemampuan berdeformasi yang

lebih baik ketika sampel telah melewati beban puncaknya/bisa lebih

mempertahankan bonding sesaat fraktur telah terjadi.

Sehingga secara singkat, efek polimer nyata adanya meningkatkan sifat

mekanis dari campuran aspal hangat. Mulai dari meningkatkan beban yang dapat

ditanggung, kemampuan/ketahanan deformasi yang lebih baik, serta membuat

ketahanan retak yang lebih baik pada campuran. Akan tetapi disini, dilihat bahwa

pengaruh ageing juga bisa dilihat pada perkembangan data antara 2 hari dengan 8

hari ageing dimana disini juga terlihat adanya kenaikan pada maximum stress,

fracture toughness, fracture energy, crack resistance index, flexibility index

diakibatkan bahwa pada saat proses ageing komponen mengalami oksidasi

sehingga fraksi penyusunnya mengalami perubahan yang mengakibatkan sampel

141
menjadi lebih kaku dan terutama kemampuan bitumen menjadi bonding agent

berkurang. Pengaruh polimer pun pada perkembangan antara 2 hari dengan 8 hari

ageing terbukti adanya, dimana polimer bekerja meningkatkan nilai maximum

stress, fracture toughness, fracture energy, crack resistance index serta dapat

mempertahankan dan meningkatkan nilai flexibility index jika dibandingkan dengan

campuran yang tidak memakai polimer. Sehingga disini terbukti adanya bahwa

polimer bekerja meningkatkan kinerja campuran aspal yang telah mengalami proses

ageing. Polimer tidak mengatasi adanya ageing, tetapi hanya meningkatkan sifat

mekanisnya ketika mengalami ageing.

142
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Umum

Pada bab ini akan diuraikan mengenai kesimpulan dari penelitian dan hasil

analisis yang telah dilakukan pada BAB IV untuk kemudian diharapkan mampu

menjawab rumusan masalah yang ada, sehingga hasil evaluasi campuran WMA

dengan modifikasi polimer dapat digunakan untuk perkembangan campuran serupa

dimasa mendatang.

5.2 Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Penambahan produk polimer superplast terbukti dapat memberikan efek yang

positif terhadap campuran aspal, dimana diantaranya dapat meningkatkan nilai

beban maksimal, tegangan maksimal, dan juga ketahanan terhadap retak yang

lebih baik jika dibandingkan dengan spesimen yang tidak menggunakan

polimer. Akan tetapi, penambahan produk polimer memiliki nilai optimalnya

yang jika berlebih akan malah berdampak negatif terhadap nilai flexibility index,

yakni berdampak pada berkurangnya bonding pada campuran setelah

mengalami keretakan.

Dalam hal ini terlihat bahwa polimer dapat terbukti meningkatkan sifat mekanis

pada campuran aspal hangat.

2. Didapat kadar optimal penambahan polimer superplast untuk mengatasi

permasalahan ageing yakni sebesar 4% kadar polimer. Karena terbukti bahwa

selain stabil dalam meningkatkan beban maksimal, tegangan maksimal, dan

143
juga ketahanan terhadap retak yang lebih baik, kadar polimer ini juga terbukti

meningkatkan nilai flexibility index terutama pada spesimen yang diberikan

pengaruh oven ageing terlama yakni 8 hari ageing dimana sedangkan kadar lain

tidak mampu memberikan hasil nilai FI sebagus kadar 4%

3. Terlihat bahwa efek yang dihasilkan dari ageing, meningkatkan nilai maximum

stress, fracture toughness, fracture energy, crack resistance index yang

mengindikasikan bahwa ageing membuat campuran memiliki ketahanan yang

lebih baik terhadap keretakan. Akan tetapi, mengakibatkan penurunan kualitas

campuran dalam hal bonding setelah terjadinya keretakan. Terlihat dengan

penurunan nilai flexibility index pada semua hari ageing, terutama ageing

dengan jangka waktu terlama yakni pada 8 hari, ada perubahan yang signifikan

penurunannya jika tidak menggunakan polimer. Akan tetapi hasil perlu

dilakukan penelitian lebih lanjut untuk didapat nilai ekuivalen terhadap kondisi

asli ageing klimatik pada lapangan.

Pengaruh polimer pun pada perkembangan antara 2 hari dengan 8 hari ageing

terbukti adanya, dimana polimer bekerja meningkatkan nilai maximum stress,

fracture toughness, fracture energy, crack resistance index serta dapat

mempertahankan dan meningkatkan nilai flexibility index jika dibandingkan

dengan campuran yang tidak memakai polimer. Sehingga disini terbukti adanya

bahwa polimer bekerja dalam meningkatkan kinerja campuran aspal yang telah

mengalami ageing bukan mengatasi permasalahan ageing karena pengaruh

ageing tetap ada.

144
5.3 Saran
Bagi mahasiswa dan mahasiswi angkatan bawah yang ingin melanjutkan atau

melakukan topik baru pada penelitian aspal, disarankan agar bisa mulai lebih cepat

dalam pemesanan bahan serta persiapan bahan. Dikarenakan, proses persiapan

membutuhkan waktu yang cukup lama.

145
DAFTAR PUSTAKA

AASHTO. (2002). Standard Practice for Mixture Conditioning of Hot Mix Asphalt

(HMA), AASHTO R30, Washington, D.C., U.S.A.

AASHTO. (2013). T105-13 Standard Method of Test for Determining the Fracture

Energy of Asphalt Mixtures Using the Semi Circular Bend Geometry

Proposed Test Method to be reviewed by the FHWA Mixture ETG Standard

Method of Test for Determining the Fracture Energy of Asphal. American

Association of State and Highway Transportation Officials.

AASHTO Guide for Design of Pavement Structures. (2010). The American

Association of State Highway and Transportation Officials, Washington, D.

C., USA.

AASHTO PP2 (1999). Standard practice for mixture conditioning of hot mix

asphalt (HMA) The American Association of State Highway and

Transportation Officials, Washington, D. C., USA.

Allen, D. H., et al. (2009). "Determining Representative Volume Elements of

Asphalt Concrete Mixtures Without Damage." Transportation Research

Record: Journal of the Transportation Research Board 2127(-1): 52-59.

Aragão, F. and Y.-R. Kim (2012). "Mode I fracture characterization of bituminous

paving mixtures at intermediate service temperatures." Experimental

Mechanics 52(9): 1423- 1434.

146
Biligiri, K. P., et al. (2012). "Asphalt Mixtures' Crack Propagation Assessment

using Semi-Circular Bending Tests." International Journal of Pavement

Research and Technology 5(4): 209

Brühwiler, E., et al. (1990). "Fracture of AAC as influenced by spesimen

dimension and moisture." Journal of Materials in Civil Engineering 2(3):

136-146.

Brown, B. D. C. (2008). Warm Mix : the Lights are Green. HMAT: Hot Mix

Asphalt Technology, 13, 20–32.

Chong, K. and M. Kuruppu (1984). "New spesimen for fracture toughness

determination for rock and other materials." International Journal of

Fracture 26(2): R59-R62.

Croney, D, and Croney, P. (1992). The Design and Performance of Road

Pavement. McGraw – Hill Book Company. New York, NY.

D’Angelo et al. (2008). Warm-mix asphalt: European practice. Washington, DC,

United States. No. FHWA-PL-08-007.

http://international.fhwa.dot.gov/pubs/pl08007/pl08007.pdf%0Awww.inte

rnational.fhwa.dot.gov

EAPA. (2013). The use of warm mix asphalt. Brussels: European Asphalt

Pavement Association-position paper.

Federal Highway Administration. (2010). EDC-1: Warm Mix Asphalt.

Washington, DC: FHWA.

147
Glenn, R. Kemp and Nelson, H. Predoehl. (1981). A Comparasion of Field and

Laboratory Environments on Asphalt Durability. Proceeding of Association

of Asphalt Paving Technologies, Vol. 50. pp. 492-537. San Diego, CA.

Hugo, F and T. W. Kennedy. (1985). Surface Cracking on Asphalt Mixtures in

Southern Africa. Proceeding of Association of Asphalt Paving

Technologies, Vol. 54. pp. 454-501.

Kuang, Y. (2012). Evaluation of Evotherm as a WMA Technology Compaction

and Anti-strip Additive. Master Thesis. Iowa State University, USA, 155.

Monismith, C. L. (1981). Fatigue Characteristics of Asphalt Paving Mixtures and

Their Use in Pavement Design. Proceeding of the 18th Paving Conferance

University of New Mexico, Albuquerque. NM

Nur Naqibah Kamarudin, S., Rosli Hainin, M., Khairul Idham Mohd Satar, M., &

Naqiuddin Bin Mohd Warid, M. (2018). Comparison of Performance

between Hot and Warm Mix Asphalt as Related to Compaction Design.

Journal of Physics: Conference Series, 1049(1).

https://doi.org/10.1088/1742-6596/1049/1/012036.

Otto, Intan. (2021). Analisis terhadap sifat mekanis aspal menggunakan uji semi

circular bending pada polymer modified asphalt.Tangerang:Universitas

Pelita Harapan.

148
Sarsam, Saad Issa. (2014). Impact of Aging on Shear, Tensile Strength and

Permanent Deformation of Superpave Asphalt Concrete. International

Journal of Scientific Research in Knowledge, 2(10), pp. 487-496, 2014.

Sukirman, Silvia. (2003). Buku Beton Aspal Campuran Panas.Edisi ke-1. Jakarta :

Granit.

Silvia, Sukirman. (1999). “Perkerasan Lentur Jalan Raya”. Bandung: NOVA

Ullidtz, P. (1987). Pavement Analysis. Elsevier, Amsterdam-Oxford-New York-

Tokyo.

Wirahadikusumah, R. D., & Sahana, H. P. (2012). Estimasi Konsumsi Energi dan

Emisi Gas Rumah Kaca pada Pekerjaan Pengaspalan Jalan. Jurnal Teknik

Sipil, 19(1), 25. https://doi.org/10.5614/jts.2012.19.1.3

Yin Fan, Edith Arámbula-Mercado, Amy Epps Martin, David Newcomb & Nam

Tran. (2017). Long-term ageing of asphalt mixtures, Road Materials and

Pavement Design, 18:sup1, 2-27, DOI: 10.1080/14680629.2016.1266739

Zaumanis, M (2014). Warm mix asphalt. International Journal of Pavement ✓


Engineering.

Zaumanis M., Mallick R.B (2013). Review of very high-content reclaimed asphalt

use in plant-produced pavement:state of the art. International Journal of

Pavement Engineering.

149
LAMPIRAN A

TABEL BERAT JENIS AIR BERDASARKAN SUHU


(Sumber: Abdilah, 2020)

A-1
LAMPIRAN B

KALIBRASI PROVING RING MARSHALL


B-1
B-2
LAMPIRAN C

ANGKA KOREKSI UNTUK BENDA UJI MARSHAL


C-1
LAMPIRAN D

PERHITUNGAN KADAR ASPAL OPTIMUM RENCANA


D-1
LAMPIRAN E

DATA PERHITUNGAN KARAKTERISTIK ASPAL


1. Berat jenis aspal

No Parameter I II III IV V VI Satuan


1 Berat Piknometer 29.84 44 43.18 26.35 36.7 29.31 gr
2 Piknometer + Air 52.96 68.68 67.7 52.69 60.43 54.25 gr
3 Air 23.12 24.68 24.52 26.34 23.73 24.94 ml
4 Volume Piknometer 24 24 24 24 24 24 ml
5 Berat Piknometer + Benda Uji 46.5 60.49 60.96 43.78 53.29 43.94 gr
6 Berat Benda Uji 16.66 16.49 17.78 17.43 16.59 14.63 gr
7 Berat Piknometer + Air + Benda Uji 55.16 69.24 68.15 52.27 61.62 54.65 gr
8 Berat Air 8.66 8.75 7.19 8.49 8.33 10.71 gr
9 Isi Bitumen 15.34 15.25 16.81 15.51 15.67 13.29 gr
10 Berat Jenis 1.086 1.081 1.058 1.124 1.059 1.101
11 BJ Rata rata 1.085

E-1
2. Penetrasi aspal

No Keterangan I II III Satuan


1 berat Cawan 9.8 10.4 10.8 gr
2 berat Cawan + benda uji (25°C) 70.34 72.4 73.1 gr
3 berat benda uji (25°C) 60.54 62 62.3 gr
4 penetrasi suhu 25°C 60 62 60 62 60 61 61 62 60
5 Penetrasi Rata-rata 60.67 61.00 61.00
6 Penetrasi rata-rata 60.83

3. Titik lembek

Waktu
N Suhu yang diamati
pemanasan Keterangan
o °C
detik menit
1 5 0 0 -
2 10 5.32 -
3 15 7.40 -
4 20 10.01 -
5 25 12.30 -
6 30 15.13 Bola baja sudah mulai turun
7 35 18.30 Aspal mulai melendud
8 40 21.20 Bola baja sudah mulau tenggelam
Bola baja sudah tenggelam
9 42 22.50
seluruhnya

E-2
4. Titik nyala dan bakar

Suhu
waktu
dibawah Suhu
No (menit, Keterangan
titik bakar (°C)
detik)
(°C)
1 127 0 220 Tidak Nyala
2 122 29" 225 Tidak Nyala
3 117 47" 230 Tidak Nyala
4 112 1'10" 235 Tidak Nyala
5 107 1'37" 240 Tidak Nyala
6 102 2'4" 245 Tidak Nyala
7 97 2'18" 250 Tidak Nyala
8 92 2'48" 255 Tidak Nyala
9 87 3'12" 260 Tidak Nyala
10 82 3'41" 265 Tidak Nyala
11 77 4'2" 270 Tidak Nyala
12 72 4'37" 275 Tidak Nyala
13 67 5'11" 280 Tidak Nyala
14 62 5'53" 285 Tidak Nyala
15 57 6'27" 290 Tidak Nyala
16 52 7'19" 295 Tidak Nyala
17 47 7'55" 300 Tidak Nyala
18 42 8'46" 305 Tidak Nyala
19 37 9'43" 310 Tidak Nyala
20 32 10'53" 315 Tidak Nyala
21 27 11'46" 320 Tidak Nyala
22 22 13'8" 325 Tidak Nyala
23 17 14'30" 330 Tidak Nyala
24 12 15'46" 335 mulai percikan api
25 7 17'26" 340 nyala
26 2 18'35" 345 nyala
27 0 19'3" 347 bakar

E-3
LAMPIRAN F

DATA PERHITUNGAN KARAKTERISTIK AGREGAT


1. Kadar lumpur agregat halus secara volume

No Parameter I II III Satuan


1 volume agregat + lumpur 250 250 250 mL
2 volume agregat 195 220 190 mL
3 kadar lumpur 22 12 24 %
4 kadar lumpur rata-rata 19.33333333 %

2. Kadar lumpur agregat halus secara berat

No Parameter I II III IV V Satuan


1 cawan 69.5 73.8 75.8 71.3 71 gr
2 cawan + agregat kering + lumpur 369.5 373.8 375.8 371.3 371 gr
3 agregat kering + lumpur 300 300 300 300 300 gr
4 cawan +agregat kering 363.9 367.4 371.4 365.5 363.2 gr
5 agregat kering 294.4 293.6 295.6 294.2 292.2 gr
6 kadar lumpur 1.867 2.133 1.467 1.933 2.600 %
7 kadar lumpur rata2 2.000 %

3. Berat jenis filler

No Parameter I II III IV Satuan


1 Berat semen 64 64 64 64 gr
2 Volume 1 0.5 0.5 0.5 0.6 ml
3 suhu 28 28 28 28 °C
4 density air 1.0000
5 Volume 2 22.5 22 22 22.5 ml
6 Berat Jenis 2.909 2.977 2.977 2.922
7 Berat Jenis Rata2 2.946

F-1
4. Berat jenis dan penyerapan agregat halus

No Parameter I II III IV V VI Rata-rata Satuan


1 Cawan 120.1 113.7 102.5 117.7 108.3 104.7 gr
2 Cawan + Agregat 604.3 609.1 594.9 605.6 607.6 602.6 gr
3 Agregat 484.2 495.4 492.4 487.9 499.3 497.9 gr
4 Berat SSD 500 500 500 500 500 500 gr
5 gelas ukur + air 799.2 802.3 900.4 799.2 802.3 900.4 gr
6 gelas ukur + air + agregat 1112.8 1110.8 1210.6 1111.8 1105.8 1207.8 gr
7 Bulk Specific gravity 2.598 2.587 2.594 2.604 2.541 2.585 2.585 gr
8 Bulk Specific gravity (SSD) 2.682 2.611 2.634 2.668 2.545 2.596 2.623 gr
9 Apparent specific gravity 2.838 2.651 2.703 2.783 2.550 2.614 2.690 gr
10 % absorbsi 3.263 0.929 1.543 2.480 0.140 0.422 1.463 %

F-2
5. Berat jenis dan penyerapan agregat kasar

No. Parameter I II III IV Rata-rata Satuan


1 Cawan 247.1 147.2 171.4 159.2 gr
2 Cawan + Agregat 2247.1 2147.2 2171.4 2159.2 gr
3 Agregat Kering 2000 2000 2000 2000 gr
4 Berat SSD 2027.5 2002.4 2058 2046.8 gr
5 Berat Sampel dalam air 1198.9 1205.6 1218.1 1164.5 gr
6 Bulk Specific gravity 2.414 2.510 2.381 2.267 2.393 gr
7 Bulk Specific gravity (SSD) 2.447 2.513 2.450 2.320 2.433 gr
8 Apparent specific gravity 2.497 2.518 2.558 2.394 2.491 gr
9 % absorbsi 1.375 0.120 2.900 2.340 1.684 %

F-3
6. Gradasi ayakan agregat kasar

Berat Tertahan % % kumulatif


No Saringan Ukuran Saringan (mm)
I II III Rata2 tertahan Tertahan Lolos
1 1/2" 37.5 0 0 0 0 0 0 100
1" 25 234.8 157.8 69.6 154.07 7.71 7.71 92.29
3/4" 19 308.2 292.3 400.8 333.77 16.69 24.40 75.60
1/2" 12.5 567 649.6 655.7 624.10 31.21 55.61 44.39
3/8" 9.5 283.2 251.4 305.5 280.03 14.01 69.62 30.38
4 4.75 503.2 492.3 475.2 490.2 24.52 94.14 5.86
8 2.36 86.1 132.7 82.4 100.4 5.02 99.16 0.84
Pan - 17.1 23.1 10.1 16.77 0.84 100 0
Berat Akhir (gr) 1999.6 1999.2 1999.3 1999.37
Berat Awal (gr) 2000 2000 2000 2000
% Hilang 0.02% 0.04% 0.04% 0.03%

F-4
7. Gradasi ayakan agregat halus

No Berat Tertahan % % Kumulatif


Ukuran Saringan
Saringan I II III Rata2 tertahan Tertahan Lolos
3/8" 9.5 0 2.3 0 0.77 0.26 0.26 99.74
4 4.75 2.2 3.9 1 2.37 0.79 1.05 98.95
8 2.36 13.3 15.7 14.9 14.63 4.89 5.94 94.06
16 1.18 16.8 19.1 16.4 17.43 5.82 11.76 88.24
30 0.6 72.2 72.9 70.4 71.83 24.00 35.76 64.24
50 0.3 107.1 96.6 104.3 102.67 34.30 70.06 29.94
100 0.15 74.8 76.4 80.1 77.1 25.76 95.82 4.18
Pan - 12.9 12.3 12.3 12.50 4.18 100.0 0
Berat Akhir (gr) 299.3 299.2 299.4 299.30
Berat Awal (gr) 300 300 300 300.00
% Hilang 0.23% 0.27% 0.20% 0.23%

F-5
LAMPIRAN G

MIX DESIGN BENDA UJI MARSHALL


Cumulati Cumulati % of aggregate Weight (gr) Weight % of aggregate Weight
Ukuran Spesifikasi % of aggregate retained Weight Weight
No. ve % of ve % of retained on each Weight (with Kadar Aspal Kadar Aspal retained on each Kadar Aspal
Ayakan Persen Berat on each sieve +% of (with bit) (with bit)
Saringan aggregate aggregate sieve +% of bitumen bit) [%] sieve +% of bitumen
(mm) Lolos AC-WC passing retained used 5.60% bitumen used [%] 6.10% used
[%] 6.50%
3/4" 19 100 100 0 0 0.0 0 2.393 0 0 0 0 2.393 0 0 0 0 2.393 0
Agregat
Kasar

1/2" 12.5 90 — 100 95 5 5 4.7 71.97 2.393 1.98E-05 5 4.7 71.25 2.393 1.969E-05 5 4.7 70.69 2.393 1.96195E-05
3/8" 9.5 77 — 90 83.5 16.5 11.5 10.9 165.53 2.393 4.55E-05 11.5 10.8 163.88 2.393 4.529E-05 11.5 10.8 162.58 2.393 4.51248E-05
4 4.75 53 — 69 61 39 22.5 21.3 323.87 2.393 8.9E-05 22.5 21.2 320.64 2.393 8.862E-05 22.5 21.1 318.10 2.393 8.82876E-05
8 2.36 33 — 53 43 57 18 17.0 259.10 2.393 7.12E-05 18 17.0 256.51 2.393 7.09E-05 18 16.9 254.48 2.393 7.06301E-05
Agregat Halus

16 1.18 21 — 40 30.5 69.5 12.5 11.8 179.93 2.393 4.95E-05 12.5 11.8 178.13 2.393 4.923E-05 12.5 11.7 176.72 2.393 4.90487E-05
30 0.6 14 — 30 22 78 8.5 8.0 122.35 2.585 3.11E-05 8.5 8.0 121.13 2.585 3.099E-05 8.5 8.0 120.17 2.585 3.0878E-05
50 0.3 9 — 22 15.5 84.5 6.5 6.2 93.56 2.585 2.38E-05 6.5 6.1 92.63 2.585 2.37E-05 6.5 6.1 91.89 2.585 2.36126E-05
100 0.15 6 — 15 10.5 89.5 5 4.7 71.97 2.585 1.83E-05 5 4.7 71.25 2.585 1.823E-05 5 4.7 70.69 2.585 1.81636E-05
200 0.075 4—9 6.5 93.5 4 3.8 57.58 2.585 1.47E-05 4 3.8 57.00 2.585 1.459E-05 4 3.8 56.55 2.585 1.45308E-05
filler - <0,075 0 100 6.5 6.2 93.56 2.946 2.09E-05 6.5 6.1 92.63 2.946 2.079E-05 6.5 6.1 91.89 2.946 2.07155E-05
Bitumen/total aggeragate (60/70) 5.6 5.3 80.61 1.085 4.89E-05 6.1 5.7 86.93 1.085 5.3E-05 6.5 6.1 91.89 1.085 5.62654E-05
Total 105.6 100 1520.035 - 0.000433 106.1 100 1511.981 - 0.000435 106.5 100 1505.653 - 0.000436877

*tambahan untuk WMA :


Rediset LQ 1% - 0.86 - - 0.92 - - 0.97 -
ρ max = 2310.84 ρ max = 2298.5964 ρ max = 2288.98

Untuk KAO 5.6% : Untuk KAO 6.1% : Untuk KAO 6.5% :

Diameter = 107 mm Diameter = 107 mm Diameter = 107 mm


Tinggi = 76.2 mm Tinggi = 76.2 mm Tinggi = 76.2 mm
3 3 3
Volume = 685192.1962 mm Volume = 685192.196 mm Volume = 685192.196 mm
ρ max = 2310.840389 kg/m3 ρ max = 2298.59639 kg/m3 ρ max = 2288.97586 kg/m3
ρd = 2218.406774 kg/m3 ρd = 2206.65253 kg/m3 ρd = 2197.41682 kg/m3
Expect. Void ratio = 4 % Expect. Void ratio = 4 % Expect. Void ratio = 4 %
Mass = 1520.035009 gr Mass = 1511.98109 gr Mass = 1505.65286 gr

G-1
LAMPIRAN H

PERHITUNGAN UJI MARSHALL


Pengujian pada agregat
No Material Jenis Pemeriksaan Hasil
bulk 2.393
1 Agregat Kasar apparent (semu) 2.491
absorbsi 1.68%
bulk 2.585
2 Agregat Halus apparent (semu) 2.690
absorbsi 1.46%
3 Semen 2.946

BJ AGREGAT RATA-RATA:
1 BJ RATA-RATA AGREGAT HALUS = 2.442
2 BJ RATA-RATA AGREGAT KASAR = 2.637

maka BJ agregat rata-rata = 2.5397

H-1
Jenis Aspal = AC WC
Penetration = 60/70
Kalibrasi Proving Ring = 11.55753359 kg
Kalibrasi tebal benda uji = 0.76
Nilai kalibrasi stabilitas =
8.783725527
(kalibrasi ring x kalibrasi benda uji)
Berat jenis agregat camp. = 2539.719 kg/m3
Berat (gr) Rongga Stabilitas (Kg)
Kadar BJ Campuran Aspal Density Air Density Rongga Rongga Terisi Kelelehan atau
No Agregate MQ
Aspal [%] Teoritis [kg/m3] [kg/m3] suhu 28 [kg/m3] Udara (VIM) Aspal (VFB) flow (mm)
Air SSD Kering (VMA) Bacaan Hasil

774.6 1479.3 1477.7 2089.162 5.826 22.347 73.929 105.00 922.29 3.20 288.22
747.1 1445.8 1436.9 2048.924 7.640 23.843 67.957 114.00 1001.34 3.10 323.01
1 5.6 2218.41 996.300
753.7 1437.2 1432.2 2087.638 5.895 22.404 73.689 118.00 1036.48 3.63 285.53
RATA-RATA 2075.242 6.454 22.864 71.858 - 986.71 3.31 298.92
766.9 1454.6 1453.6 2105.892 5.072 21.725 76.654 131.00 1150.67 3.80 302.81
805.6 1514.6 1513.6 2126.939 4.123 20.943 80.312 132.00 1159.45 3.50 331.27
2 6.1 2206.65 996.300
823.8 1543.7 1541.9 2133.901 3.809 20.684 81.583 140.00 1229.72 3.73 329.68
RATA-RATA 2122.244 4.335 21.117 79.517 - 1179.95 3.68 321.25
792.9 1493.1 1491.6 2122.367 4.329 21.113 79.495 126.00 1106.75 3.84 288.22
783.6 1506.8 1504.7 2072.916 6.558 22.951 71.424 122.00 1071.61 4.10 261.37
3 6.5 2197.42 996.300
784.7 1488.3 1488 2107.013 5.021 21.683 76.843 125.00 1097.97 3.94 278.67
RATA-RATA 2100.765 5.303 21.916 75.921 - 1092.11 3.96 276.09

H-2
LAMPIRAN I

VOLUMETRIK BENDA UJI SCB SEBELUM AGEING


1. Untuk benda uji yang akan di-ageing selama 2 hari

Berat (gr) Rongga


Kadar BJ Campuran Aspal Density Air Density Rongga Rongga Terisi
No 3 3 3 Agregate Tinggi Jari-jari Diameter
Aspal [%] Teoritis [kg/m ] [kg/m ] [kg/m ] Udara (VIM) Aspal (VFB)
Air SSD Kering (VMA)

496.7 949.1 948.3 2088.398 5.359 17.771 69.843 5.2 7.5 15.2
521.6 992.1 989.9 2096.147 5.008 17.465 71.327 5.2 7.5 15.2
476.2 909.8 907 2084.050 5.556 17.942 69.033 5.1 7.5 15.2
1 0 2206.65 996.300 512.9 984.6 981.8 2073.706 6.025 18.349 67.166 5.1 7.5 15.2
519 1000.6 998 2064.592 6.438 18.708 65.588 5.1 7.7 15.2
466.1 894.2 892.8 2077.778 5.840 18.189 67.891 5.1 7.3 15.2
RATA-RATA 2080.779 5.704 18.071 68.475 - - -
494.4 942.7 941.6 2092.608 5.168 17.605 70.643 5.1 7.5 15.2
509.6 976.4 973.1 2076.906 5.880 18.223 67.734 5.1 7.5 15.2
512.7 980.3 979 2085.923 5.471 17.868 69.380 5 7.5 15.2
2 4 2206.65 996.300 491.1 934.4 929.5 2089.016 5.331 17.746 69.960 5 7.5 15.2
484.2 923.6 921.2 2088.738 5.344 17.757 69.907 5 7.5 15.2
512.9 980.1 977.3 2084.084 5.555 17.940 69.039 5 7.5 15.2
RATA-RATA 2086.212 5.458 17.857 69.444 - - -
546.1 1040.7 1039.6 2094.123 5.100 17.545 70.935 5.3 7.5 15.2
501.4 956.9 955.9 2090.808 5.250 17.676 70.299 5.3 7.5 15.2
495.5 942.1 938.2 2092.988 5.151 17.590 70.716 5.1 7.5 15.2
3 5 2206.65 996.300 522.7 995.4 992.5 2091.872 5.202 17.634 70.502 5.1 7.5 15.2
478.4 908.9 901.5 2086.329 5.453 17.852 69.456 5 7.5 15.2
476.1 903.1 894.8 2087.797 5.386 17.794 69.730 5 7.5 15.2
RATA-RATA 2092.640 5.257 17.682 70.273 - - -
493.3 935.2 926.1 2087.969 5.378 17.787 69.763 5.2 7.5 15.2
518.1 988 985.6 2089.707 5.300 17.719 70.090 5.2 7.5 15.2
503.2 957.8 955.8 2094.728 5.072 17.521 71.052 5 7.5 15.2
4 6 2206.65 996.300 503.6 958.5 953.6 2088.529 5.353 17.765 69.868 5 7.5 15.2
502.4 954.6 951.4 2096.152 5.008 17.465 71.328 5 7.5 15.2
499.2 957.7 955.7 2076.693 5.889 18.231 67.696 5 7.5 15.2
RATA-RATA 2090.801 5.333 17.748 69.966 - - -

I-1
2. Untuk benda uji yang akan di-ageing selama 8 hari
Berat (gr) Rongga
Kadar BJ Campuran Aspal Density Air Density Rongga Rongga Terisi
No 3 3 3 Agregate Tinggi Jari-jari Diameter
Aspal [%] Teoritis [kg/m ] [kg/m ] [kg/m ] Udara (VIM) Aspal (VFB)
Air SSD Kering (VMA)

517.6 987 979 2077.924 5.834 18.183 67.917 5.1 7.5 15.2
499.1 943.7 933.3 2091.423 5.222 17.651 70.416 5.1 7.5 15.2
501.3 962.1 959.1 2073.679 6.026 18.350 67.161 5 7.5 15.2
1 0 2206.65 996.300 494.9 943.5 940.9 2089.654 5.302 17.721 70.080 5 7.5 15.2
497.2 953.6 950.9 2075.771 5.931 18.268 67.532 5 7.5 15.2
502.3 965.2 963.9 2074.603 5.984 18.314 67.324 5 7.5 15.2
RATA-RATA 2080.509 5.717 18.081 68.405 - - -
519.5 991.5 986.4 2082.098 5.644 18.019 68.674 5 7.5 15.2
492.5 943.1 937.7 2073.303 6.043 18.365 67.094 5 7.5 15.2
518.9 987.2 977.6 2079.827 5.747 18.108 68.260 5.1 7.5 15.2
2 4 2206.65 996.300 488.6 927.3 921.1 2091.844 5.203 17.635 70.497 5.1 7.5 15.2
521.4 995 991.2 2085.162 5.506 17.898 69.239 5.1 7.5 15.2
495.1 948.5 944.1 2074.563 5.986 18.315 67.317 5.1 7.5 15.2
RATA-RATA 2081.133 5.688 18.057 68.514 - - -
523 993.2 986.6 2090.493 5.264 17.688 70.239 5.1 7.5 15.2
485.5 925.2 921.2 2087.313 5.408 17.813 69.640 5.1 7.5 15.2
517.3 988.5 984.4 2081.404 5.676 18.046 68.547 5.1 7.5 15.2
3 5 2206.65 996.300 498.1 951.1 948.7 2086.512 5.444 17.845 69.490 5.1 7.5 15.2
516.2 985 982.9 2088.872 5.338 17.752 69.933 5 7.5 15.2
489.6 932.5 929.2 2090.228 5.276 17.698 70.189 5 7.5 15.2
RATA-RATA 2087.470 5.401 17.807 69.673 - - -
512.2 965.8 951.2 2089.243 5.321 17.737 70.003 5.3 7.5 15.2
514 975.7 961.6 2075.032 5.965 18.297 67.400 5.3 7.5 15.2
502.3 955.8 949.1 2085.090 5.509 17.901 69.225 5.1 7.5 15.2
4 6 2206.65 996.300 511.3 977.6 970.2 2072.936 6.060 18.379 67.030 5.1 7.5 15.2
519.9 993 988.9 2082.522 5.625 18.002 68.752 5 7.5 15.2
488.6 929.5 923.4 2086.603 5.440 17.841 69.507 5 7.5 15.2
RATA-RATA 2081.904 5.653 18.026 68.653 - - -

I-2
LAMPIRAN J

PERHITUNGAN PARAMETER SCB


1. Untuk 2 hari ageing

Pmax tebal Δ(Pmax) σ_max K_ic |m| Wf Alig Gf FI CRI


(N) mm mm Mpa Mpa/m^0.6 N/m J m^2 J/m^2 - -
Nama
(4.263*Pmax) gradien of Area dibawah
t displacement (Pmax/2PI75)*(akar(PI*10))*(Yi) (65*t) Wf/Alig Gf/|m| Gf/Pmax
/(150*t) tangent line kurva
0% (2) 607.278 52 2.077 0.33190 2.086189437 0.20761975 1.28734 0.00338 380.8698225 18.34459 627.1754
0% (3) 473.3403 51 2.381 0.26377 1.657955399 0.155890225 1.197855 0.003315 361.3438914 23.17938 763.3914
0% (5) 656.003 51 3.103 0.36556 2.297762763 0.142867525 2.308859 0.003315 696.4883861 48.75064 1061.715
0% (6) 691.1358 51 2.176 0.38514 2.420821407 0.10414275 2.295139 0.003315 692.3496229 66.48083 1001.756
Rata-rata 606.9393 0.33659 2.115682251 532.7629307 39.18886 863.5096
4% (3) 564.6216 50 3.316 0.32093 2.017237412 0.07565 2.41119 0.00325 741.9046154 98.07067 1313.986
4% (4) 728.881 50 2.5835 0.41430 2.604091037 0.1545365 2.081412 0.00325 640.4344615 41.44228 878.6544
4% (5) 882.5751 50 2.800 0.50166 3.153197756 0.05646 2.833156 0.00325 871.7403077 154.3996 987.7236
4% (6) 1011.092 50 3.112 0.57470 3.612353203 0.2987 3.224574 0.00325 992.1766154 33.21649 981.2921
Rata-rata 796.7924 0.45290 2.846719852 811.564 81.78227 1040.414
5% (1) 843.43 53 3.010 0.45227 2.842776473 0.2700855 2.13152 0.003445 618.7285922 22.90862 733.5862
5% (3) 710.238 51 4.208 0.39578 2.487730131 0.142508775 2.546498 0.003315 768.174359 53.90365 1081.573
5% (4) 743.545 51 3.529 0.41434 2.604393598 0.190733 2.280092 0.003315 687.8105581 36.06143 925.0423
5% (6) 584.989 50 3.652 0.33251 2.090004557 0.28385 2.405841 0.00325 740.2587692 26.07922 1265.423
Rata-rata 720.5505 0.39873 2.50622619 703.7430696 34.73823 1001.406
6% (2) 637.143 52 3.6208 0.34822 2.188785032 0.1427965 1.981691 0.00338 586.2991124 41.05837 920.2002
6% (3) 778.028 50 2.700 0.44223 2.77967973 0.16228 1.815953 0.00325 558.7547692 34.43152 718.1679
6% (4) 682.195 50 3.059 0.38776 2.437294819 0.1196425 2.424078 0.00325 745.8701538 62.34157 1093.339
6% (5) 616.94 50 2.2773 0.35067 2.204156679 0.144815 2.047852 0.00325 630.1083077 43.51126 1021.345
Rata-rata 678.5765 0.38222 2.402479065 630.2580858 45.33568 938.2628

J-1
2. Untuk 8 hari ageing

Pmax tebal Δ(Pmax) σ_max K_ic |m| Wf Alig Gf FI CRI


(N) mm mm Mpa Mpa/m^0.6 N/m J m^2 J/m^2 - -
Nama
(4.263*Pmax) gradien of Area dibawah
t displacement (Pmax/2PI75)*(akar(PI*10))*(Yi) (65*t) Wf/Alig Gf/|m| Gf/Pmax
/(150*t) tangent line kurva
0% (1) 880.497 51 5.979 0.4907 3.084091413 0.043625 2.917141 0.003315 879.9822021 61.26943 999.4153
0% (4) 988.991 50 2.382 0.5621 3.533392418 0.2435075 3.353325 0.00325 1031.792308 30.03697 1043.278
0% (5) 958.8617 50 3.315 0.5450 3.42574855 0.32165 2.777918 0.00325 854.744 20.27141 891.4154
0% (6) 1160.08 50 1.982 0.6594 4.144646287 0.2898425 3.495878 0.00325 1075.654769 27.59203 927.2246
Rata-rata 997.1074 0.5643 3.546969667 960.5433198 34.79246 965.3333
4%(3) 1097.441 51 3.642 0.6116 3.843974897 0.00082825 3.859171 0.003315 1164.154148 96.34784 1060.79
4% (4) 1227.014 51 3.3304697 0.6838 4.297826502 0.134125 4.124052 0.003315 1244.057919 53.13648 1013.891
4% (5) 1319.337 51 4.033 0.7352 4.621203608 0.03815 4.54283 0.003315 1370.386124 99.19552 1038.693
4% (6) 1242.127 51 3.657 0.6922 4.350762371 0.14775 5.087761 0.003315 1534.769532 61.94832 1235.598
Rata-rata 1221.48 0.6807 4.278441844 1328.341931 77.65704 1087.243
5% (2) 1260.33 53 2.706 0.6758 4.247935776 0.2008575 4.990309 0.003445 1448.565747 36.13668 1149.354
5% (3) 1437.583 51 4.292 0.8011 5.035380457 0.3454 4.560239 0.003315 1375.637707 27.76822 956.9101
5% (5) 1200.864 50 4.863 0.6826 4.206231652 0.2383775 3.93792 0.003315 1187.909502 31.19819 989.2124
5% (6) 1299.65 50 4.791 0.7387 4.643291452 0.199665 4.787316 0.00325 1473.020308 42.12662 1133.398
Rata-rata 1299.607 0.7246 4.533209834 1371.283316 34.30743 1057.219
6% (2) 938.478 53 2.915508928 0.5032 3.163135267 0.10912325 4.416541 0.003445 1282.014804 61.30427 1366.057
6% (3) 1234.45 51 4.789 0.6879 4.323872364 0.2095 3.846504 0.003315 1160.333032 37.49057 939.9595
6% (5) 1001.91 50 5.093 0.5695 3.579548446 0.1638425 2.527375 0.00325 777.6538462 29.47417 776.1714
6% (6) 1239.109 50 5.26473746 0.7043 4.426995135 0.30858 6.133394 0.00325 1887.198154 46.1892 1523.028
Rata-rata 1103.487 0.6162 3.873387803 1276.799959 43.61455 1151.304

J-2

Anda mungkin juga menyukai