Mungkin tidak jarang dari kita melihat sebagian dari saudara-saudara kita kalangan kaum
muslimin yang masih asing dengan istilah tayammum atau pada sebagian lainnya hal ini tidak
asing lagi akan tetapi belum mengetahui bagaimana tayammum yang Nabi shollallahu ‘alaihi
was sallam ajarkan serta yang diinginkan oleh syari’at kita. Maka penulis mengajak pembaca
sekalian untuk meluangkan waktu barang 5 menit untuk bersama mempelajari hal ini sehingga
ketika tiba waktunya untuk diamalkan sudah dapat beramal dengan ilmu.
Pengertian Tayammum
Tayammum disyari’atkan dalam islam berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’
(konsensus) kaum muslimin[3]. Adapun dalil dari Al Qur’an adalah firman Allah ‘Azza wa
Jalla,
َ ضى أَوْ َعلَى َسفَ ٍر أَوْ َجا َء أَ َح ٌد ِم ْن ُك ْم ِمنَ ْالغَائِ ِط أَوْ اَل َم ْستُ ُم النِّ َسا َء فَلَ ْم تَ ِجدُوا َما ًء فَتَيَ َّم ُموا
َ ص ِعيدًا
طيِّبًا فَا ْم َسحُوا َ َْوإِ ْن ُك ْنتُ ْم َمر
ُْبِ ُوجُو ِه ُك ْم َوأَ ْي ِدي ُك ْم ِمنه
“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air
atau berhubungan badan dengan perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka
bertayammumlah dengan permukaan bumi yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu
dengan tanah itu”. (QS. Al Maidah [5] : 6).
Adapun dalil dari As Sunnah adalah sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi was sallam dari
sahabat Hudzaifah Ibnul Yaman rodhiyallahu ‘anhu,
Media yang dapat digunakan untuk bertayammum adalah seluruh permukaan bumi yang
bersih baik itu berupa pasir, bebatuan, tanah yang berair, lembab ataupun kering. Hal ini
berdasarkan hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat Hudzaifah Ibnul
Yaman rodhiyallahu ‘anhu di atas dan secara khusus,
“Dijadikan (permukaan, pent.) bumi seluruhnya bagiku (Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam)
dan ummatku sebagai tempat untuk sujud dan sesuatu yang digunakan untuk bersuci”.[6]
Jika ada orang yang mengatakan bukankah dalam sebuah hadits Hudzaifah ibnul Yaman[7] Nabi
mengatakan tanah?! Maka kita katakan sebagaimana yang dikatakan oleh Ash
Shon’ani rohimahullah, “Penyebutan sebagian anggota lafadz umum bukanlah
pengkhususan”[8]. Hal ini merupakan pendapat Al Auzaa’i, Sufyan Ats Tsauri Imam Malik,
Imam Abu Hanifah[9] demikian juga hal ini merupakan pendapat Al Amir Ashon’ani[10],
Syaikh Al Albani[11], Syaikh Abullah Alu Bassaam[12] –rohimahumullah-, Syaikh DR. Sholeh
bin Fauzan Al Fauzan[13] dan Syaikh DR. Abdul Adzim bin Badawiy Al
Kholafiy hafidzahumallah[14].
Jika tidak ada air baik dalam keadaan safar/dalam perjalanan ataupun tidak[15].
Terdapat air (dalam jumlah terbatas pent.) bersamaan dengan adanya kebutuhan lain yang
memerlukan air tersebut semisal untuk minum dan memasak.
o Adanya kekhawatiran jika bersuci dengan air akan membahayakan badan atau
semakin lama sembuh dari sakit.
o Ketidakmapuan menggunakan air untuk berwudhu dikarenakan sakit dan tidak
mampu bergerak untuk mengambil air wudhu dan tidak adanya orang yang
mampu membantu untuk berwudhu bersamaan dengan kekhawatiran habisnya
waktu sholat.
o Khawatir kedinginan jika bersuci dengan air dan tidak adanya yang dapat
menghangatkan air tersebut.
Tata cara tayammum Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dijelaskan hadits ‘Ammar bin
Yasir rodhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam mengutusku untuk suatu keperluan, kemudian aku
mengalami junub dan aku tidak menemukan air. Maka aku berguling-guling di tanah
sebagaimana layaknya hewan yang berguling-guling di tanah. Kemudian aku ceritakan hal
tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam. Lantas beliau mengatakan, “Sesungguhnya
cukuplah engkau melakukannya seperti ini”. Seraya beliau memukulkan telapak tangannya ke
permukaan bumi sekali pukulan lalu meniupnya. Kemudian beliau mengusap punggung telapak
tangan (kanan)nya dengan tangan kirinya dan mengusap punggung telapak tangan (kiri)nya
dengan tangan kanannya, lalu beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.[16]
“Dan beliau mengusap wajahnya dan kedua telapak tangannya dengan sekali usapan”.
Berdasarkan hadits di atas kita dapat simpulkan bahwa tata cara tayammum beliau shallallahu
‘alaihi was sallam adalah sebagai berikut.
Pembatal Tayammum
Pembatal tayammum sebagaimana pembatal wudhu. Demikian juga tayammum tidak dibolehkan
lagi apa bila telah ditemukan air bagi orang yang bertayammum karena ketidakadaan air dan
telah adanya kemampuan menggunakan air atau tidak sakit lagi bagi orang yang bertayammum
karena ketidakmampuan menggunakan air[18]. Akan tetapi shalat atau ibadah lainnya[19] yang
telah ia kerjakan sebelumnya sah dan tidak perlu mengulanginya. Hal ini berdasarkan hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu,
فَأَعَا َد، تِ ثُ َّم َو َجدَا ْال َما َء فِي ْال َو ْق، صلَّيَاَ َ ف، طيِّبًا َ ص ِعيدًا َ صاَل ةُ – َولَي
َ ْس َم َعهُ َما َما ٌء – فَتَيَ َّم َما ْ ض َر
َّ ت ال َ فَ َح، َخ َر َج َر ُجاَل ِن فِي َسفَ ٍر
صبْت َ ْ َ َّ َ َ
َ أ: فقا َل لِل ِذي ل ْم ي ُِعد، ُك له َ َ َ َ َّ َ
َ ِصلى ُ َعل ْي ِه َو َسل َم فذ َك َرا ذلهَّللا َّ َ ِ ث َّم أتَيَا َرسُو َل، َول ْم يُ ِعد ا َخ ُر، صاَل ةَ َو ْال ُوضُو َء
هَّللا َ ُ آْل ْ َ َّ أَ َح ُدهُ َما ال
لَك اأْل َجْ ُر َم َّرتَ ْي ِن: صاَل تُك َوقَا َل ِلآْل َخ ِرَ ال ُّسنَّةَ َوأَجْ َزأَ ْتك
Dua orang lelaki keluar untuk safar. Kemudian tibalah waktu shalat dan tidak ada air di sekitar
mereka. Kemudian keduanya bertayammum dengan permukaan bumi yang suci lalu keduanya
shalat. Setelah itu keduanya menemukan air sedangkan saat itu masih dalam waktu yang
dibolehkan shalat yang telah mereka kerjakan tadi. Lalu salah seorang dari mereka berwudhu
dan mengulangi shalat sedangkan yang lainnya tidak mengulangi shalatnya. Keduanya lalu
menemui Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dan menceritakan yang mereka alami. Maka
beliau shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan kepada orang yang tidak mengulang
shalatnya, “Apa yang kamu lakukan telah sesuai dengan sunnah dan kamu telah
mendapatkan pahala shalatmu”. Beliau mengatakan kepada yang mengulangi shalatnya,
“Untukmu dua pahala[20]”[21].
Juga hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu,
Sebagai penutup kami sampaikan hikmah dan tujuan disyari’atkannya tayyamum adalah untuk
menyucikan diri kita dan agar kita bersyukur dengan syari’at ini serta tidaklah sama sekali untuk
memberatkan kita, sebagaimana akhir firman Allah dalam surat Al Maidah ayat 6,
َج َولَ ِك ْن ي ُِري ُد لِيُطَه َِّر ُك ْم َولِيُتِ َّم نِ ْع َمتَهُ َعلَ ْي ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكرُون
ٍ َما ي ُِري ُد هَّللا ُ لِيَجْ َع َل َعلَ ْي ُك ْم ِم ْن َح َر
“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak menyucikan kamu dan
menyempurnakan nikmatNya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Maidah: 6).
Kedua, nikmat berupa hidayah kepada iman, sempurnanya agama, ini merupakan pendapat Ibnu
Zaid rohimahullah.
Ketiga, nikmat berupa keringanan untuk tayammum, ini merupakan pendapat Maqotil dan
Sulaiman.
Keempat, nikmat berupa penjelasan hukum syari’at, ini merupakan pendapat sebagian ahli
tafsir[25].
Demikianlah akhir tulisan ini mudah-mudahan menjadi tambahan ‘amal bagi penulis dan
tambahan ilmu bagi pembaca sekalian. Allahumma Amiin.
Artikel www.muslim.or.id
[1] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al
‘Utsaimin rohimahullah hal. 231/I, terbitan Al Kitabul ‘Alimiy, Beirut, Lebanon.
[2] Kami ringkas dengan penyesuaian redaksi dari Lisanul ‘Arob oleh Muhammad Al
Mishriy rohimahullah hal. 251/III, terbitan Darush Shodir, Beirut, Lebanon.
[3] Sebagaimana dikatakan oleh An Nawawi Asy Syafi’i rohimahullah. [Lihat Al Minhaaj Syarh
Shohih Muslim oleh An Nawawi rohimahullah hal. 279/IV cetakan Darul Ma’rifah, Beirut
dengan tahqiq dari Syaikh Kholil Ma’mun Syihaa].
[4] Lihat Taudhihul Ahkam min Bulughil Maroom oleh Syaikh Abdullah Alu
Bassaam rohimahullah hal. 412/I terbitan Maktabah Asaadiy, Mekkah, KSA.
[6] HR. Ahmad no. 22190, dinyatakan shohih lighoirihi oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam
Ta’liq beliau untuk Musnad Imam Ahmad, terbitan Muasa’sah Qurthubah, Kairo, Mesir.
Demikian juga hadits dari sahabat ‘Ali yang diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnadnya no.
774 dinyatakan Shohih oleh Syaikh Ahmad Syakir,
[8] Lihat Subulus Salaam Al Mausulatu ilaa Bulughil Maroom oleh Al ‘Amir Ash
Shon’ani rohimahullah hal. 354/I dengan tahqiq dari Syaikh Muhammad Shubhi Hasan Halaaq
cetakan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA.
[11] Lihat Ats Tsamrul Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitaab oleh Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al Albani rohimahullah hal. 31/I cetakan Ghiroos, Kuwait.
[13] Lihat Al Mulakhoshul Fiqhiy hal. 38 oleh Syaikh DR. Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al
Fauzan hafidzahullah cetakan Dar Ibnul Jauziy Riyadh.
[14] Lihat Al Wajiz fi Fiqhil Kitab was Sunnah oleh Syaikh DR. Abdul Adhim bin Badawiy Al
Kholafiy hafidzahullah hal. 56 Dar Ibnu Rojab Kairo, Mesir.
[15] Asy Syaukani menambahkan keadaan yang dapat menyebabkan seseorang bersuci dengan
tayammum dengan jauhnya air, kemudian beliau menambahkan batasan suatu jarak dikatakan
tidak jauh dalam hal ini dengan adanya kemungkinan seseorang dapat mendapatkan air
kemudian berwudhu dengannya dan dapat sholat pada waktunya. [lihat As Saylul Jaror oleh Asy
Syaukani rohimahullah hal. 129/I, terbitan Darul Kutub ‘Ilmiyah, Beirut, Lebanon.] namun
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin mengatakan bahwa batasan dikatakan tidak jauh
itu adalah urf/penilaian masyarakat [lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 235/I ].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “…. Akan tetapi, mereka juga boleh cukup dengan
tayamum jika memang harus memperoleh air yang tempatnya jauh. Mereka nanti bertayamum
dan mengerjakan shalat di waktunya masing-masing. Namun yang lebih baik adalah melakukan
jama’ suri seperti tadi dan tetap berwudhu dengan air, ini yang lebih afdhol (lebih utama).
Walhamdulillah.”[ Majmu’ Al Fatawa, hal. 458/XXI.]
[17] Kami katakan demikian karena kemutlakan yang ada dalam ayat tayammum ( َوأَ ْي ِدي ُك ْم ,”Dan
sapulah tanganmu”. [QS. Al Maidah (5) : 6]) tidak bisa di dimuqoyyadkan dengan ayat wudhu (
ِ ِ َوأَ ْي ِديَ ُك ْم إِلَى ا ْل َم َراف, “Dan basuhlah tanganmu sampai dengan siku” [QS. Al Maidah (5) : 6]), karena
ق
hukum kedua masalah ini berbeda (yang satu masalah tayammum yang lainnya wudhu)
walaupun sebabnya sama, hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin
Sholeh Al ‘Utsaimin rohimahullah dalam Syarh Nadzmul Waroqot hal. 123, terbitan Dar Ibnul
Jauziy, Riyadh dan lihat juga Ma’alim Ushul Fiqh oleh Syaikh Muhammad Husain bin Hasan
Al Jaizaniy, hal. 441, terbitan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh.
[19] Karena tayammum merupakan badal/pengganti dari wudhu. Sehingga apa yang dibolehkan
dengan berwudhu dibolehkan juga dengan tayammum. [Lihat Subulus Salaam Al Mausulatu ilaa
Bulughil Maroom hal. 360/I ].
[20] Yaitu satu pahala untuk sholat yang pertama dan satu pahala untuk sholat yang kedua.
[Lihat Subulus Salaam Al Mausulatu ilaa Bulughil Maroom hal. 362/I, Taudhihul Ahkam
min Bulughil Maroom hal. 426/I].
[21] HR. Abu Dawud no. 338, An Nasa’i no. 433. Dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam
Shohihul Jami’ no. 3861.
[23] HR. Ahmad no. 21408, Tirmidzi no. 124, Abu Dawud no. 333, An Nasa’i no. 420, dan lain-
lain. Hadits ini dinyatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dan dinyatakan shohih lighoirihi oleh
Syaikh Syu’aib Al Arnauth.
Sumber: https://muslim.or.id/1918-panduan-tata-cara-tayammum.html