Anda di halaman 1dari 14

LEARNING OBJECTIVE

SKENARIO 6
HORMON PARATIROID

Novita Wiratasia Parimpun


N101 18 114

Fakultas Kedokteran
Universitas Tadulako
2020
1. Hubungan gangguan kulit pasien dengan diagnosa pada kasus ?
Jawab:
Kelenjar paratiroid, yang terletak di bagian osterior kelenjar tiroid, bertanggung
jawab empertahankan konsentrasi kalsium serum dalam kadar normalnya. Kelenjar ini
menghasilkan hormon paratiroid (PTH) yang selanjutnya bekerja di tulang, ginjal dan
usus. PTH adalah pengendali utama keseimbangan kalsium Manifestasi kronis
hipokalsemia diantaranya adalah katarak lentis subkapsular, kulit kering, dermatitis
eksfoliatif, impetigo herpetiformis, psoriasis, alopesia (khususnya pada kasus paska
tindakan bedah), rambut kasar, kuku mudah patah, pruritus kronis, osifikasi ligamen
paravertebra serta poor dentition yang berisiko karies dan hipoplasia enamel gigi.
Perbaikan konsentrasi kalsium memperbaiki kelainan kulit yang
terjadi(Harjanto,2015)
Referensi:
Harjanto,D,D.,Saraswati,M,R.,Suastika,K.2015.Seorang Penderita Hipokalsemia
berat oleh karena Hipoparatiroidisme.Journal penyakit dalam.Vol.9(2).Diakses pada
24 maret 2020.Diakses dari https://ojs.unud.ac.id/index.php/jim/article/view/3859

2. Prognosis pada kasus.?


Jawab:
Jika hipoparatiroidisme diobati secara adekuat dengan kalsium dan vitamin D,
prospeknya (prognosis) baik. Namun, ini bergantung pada pasien minum obat setiap
hari seumur hidup. Pasien juga perlu melakukan tes darah secara teratur agar dosis
obat paisen dapat disesuaikan secara cermat sesuai kebutuhan.

Referensi :
Maeda, S. S., et al. 2018. Diagnosis and treatment of hypoparathyroidism: a position
statement from the Brazilian Society of Endocrinology and Metabolism. Arch.
Endocrinol. Metab. vol.62 (1). Diakses pada 24 September 2020. Diakses dari
https://www.scielo.br/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S2359-39972018000100106

3. Menjelaskan mekanisme regulasi hormon hipofise anterior, intermediat dan posterior.,


Jawab:
Rangsangan hormon pituitari dapat berasal dari dalam maupun luar tubuh. Otak akan
memberi sinyal ke kelenjar pituitari untuk meningkatkan atau menurunkan tingkat
sekresi hormon tertentu. Dengan demikian, otak berperan menghubungkan kelenjar
pituitari dengan peristiwa yang terjadi di luar atau di dalam tubuh, yang akan
berdampak pada tingkat sekresi hormone pituitari. Hubungan fungsional antara otak
dan kelenjar pituitari, dimana bagian hipotalamus memainkan peranan utama ini
disebut sebagai Aksis Hipotalamus-Pituitari. Hipotalamus akan membentuk hormon
yang akan disimpan dalam median eminence. Hormon neurosekretori hipotalamus
tersebut akan masuk ke pleksus kapiler primer yang nantinya akan mengalirkan
hormon tersebut ke vena porta hipofiseal. Vena porta hipofiseal akan mengalir ke
infundibulum dan berhubungan dengan pleksus kapiler sekunder di daerah lobus
anterior. Hormon neurosekretori akan meninggalkan pembuluh darah untuk
merangsang atau menghambat sel parenkim di daerah lobus anterior.
Dapat dikatakan bahwa sistem portal hipofiseal adalah sistem pembuluh darah
yang berfungsi pada regulasi hormon pars distal oleh hipotalamus. Akson neuron
yang berasal dari berbagai bagian hipotalamus akan berakhir di sekitar pleksus kapiler
primer. Ujung akson ini berbeda dari akson lain seluruh tubuh. Akson ini selain
berfungsi mengirimkan sinyal, juga mampu melepaskan inhibiting hormone (factor)
atau releasing hormone langsung ke dalam pleksus kapiler primer. Hormon-hormon
ini akan masuk ke sistem portal hipofiseal yang nantinya akan dibawa ke pleksus
kapiler sekunder pars distalis. Hormon-hormon ini akan mengatur sekresi berbagai
macam hormone pituitari anterior. Releasing hormone dan inhibiting hormone (factor)
diantaranya adalah :
1. TRH (Thyrotropin Releasing Hormone) atau ThyroidStimulating Hormone-
Releasing Hormone, hormon ini berfungsi merangsang keluarnya TSH (Tiroid
Stimulating Hormone)
2. CRH (Corticotropin Releasing Hormone),hormon ini berfungsi merangsang
keluarnya adrenocorticotropin.
3. SRH (Somatotropin Releasing Hormone), hormon ini berfungsi merangsang
keluarnya somatotropin (Growth Hormone)
4. GnRH (Gonadotropin Releasing Hormone)/ LHRH (LuteinizingHormone
Releasing Hormone), hormon ini berfungsi merangsang keluarnya Luteinizing
Hormone (LH) dan FSH (Follicle Stimulating Hormone)
5. PRH (Prolactin Releasing Hormone), hormon ini berfungsi merangsang keluarnya
prolaktin.
6.PIF (Prolactin Inhibitory Factor), hormon ini berfungsi menghambat sekresi
prolaktin
7. Somatostatin, hormon ini berfungsi menghambat sekresi Growth Hormone.
Hormon pituitari terlibat dalam pengaturan volume dan komposisi cairan tubuh.
Hormon pituitari juga terlibat dalam perubahan fungsi tubuh, sehubungan dengan
pertumbuhan, reproduksi, dan respon yang tepat terhadap stress dan trauma. Hormon
pituitari menimbulkan efek fisiologis dengan cara langsung berpengaruh ke sel target,
atau bisa juga merangsang kelenjar endokrin lain untuk mensekresikan hormon, yang
kemudian akan mengakibatkan perubahan fungsi tubuh.
Referensi:
J. Gordon Betts, Kelly A. Young, James A. Wise, Eddie Johnson, Brandon Poe, Dean
H. Kruse, Oksana Korol, Jody E. Johnson, Mark Womble, Peter DeSaix. 2013.
Anatomy and Physiology. OpenStax : https://openstax.org/books/anatomy-and-
physiology/pages/1-introduction

4. Menjelaskan perbedaan hiperparatiroid dan hipoparatiroid.


Jawab:
PTH, bersama dengan vitamin D adalah pengatur hormonal utama
homeostasis kalsium dalam tubuh manusia. PTH mencapai ini dengan efek langsung
pada ginjal & tulang dan efek tidak langsung pada saluran pencernaan melalui
produksi Vit D1,25OH yang diaktifkan di ginjal. Sekresi PTH diatur oleh reseptor
penginderaan kalsium (CaSR) yang terletak di sel paratiroid dan di tubulus ginjal.
Ketika CaSR dirangsang oleh tingkat kalsium yang rendah, PT disekresikan dan
meningkatkan ketersediaan kalsium dalam tubuh. PTH memobilisasi kalsium dari
kerangka dan memfasilitasi produksi Vit D1,25OH oleh ginjal, yang menyebabkan
peningkatan penyerapan kalsium usus. Selain itu, di tingkat ginjal, PTH merangsang
reabsorpsi kalsium tubulus ginjal dan ekskresi fosfat oleh ginjal. Ketika sekresi PTH
tidak adekuat atau tidak ada, hipokalsemia dan hiperfosfatemia berkembang dan
menunjukkan kelainan elektrolit yang khas dari gangguan ini. Hipoparatiroidisme
fungsional, berhubungan dengan hipomagnesemia berat, menyebabkan gangguan
sekresi dan tindakan PTH. Ini adalah penyebab hipokalsemia yang dapat diperbaiki
terkait dengan tingkat PTH yang rendah. Pseudohypoparathyroidism adalah kelainan
bawaan langka dari resistensi PTH pada tingkat ginjal yang dapat menyebabkan
hipokalsemia. Ini dibedakan dari hipoparatiroidisme kronis dengan tingkat PTH yang
tinggi (Sinnot, 2018).
Hiperparatiorid
Hiperparatiroidisme sekunder terjadi karena penumpukan fosfat dalam tubuh
akibat terhambatnya pengeluaran fosfat melalui ginjal,serta penurunan kadar kalsitriol
akibat berkurangnya massa ginjal pada gagal ginjal kronik. Peningkatan kadar fosfat
dalam darah, yang sebagian besar dalam bentuk fosfat inorganik, mengakibatkan tiga
hal yaitu: 1) hipokalsemia sebagai akibat dari gangguan fisikokimiawi, 2) secara
langsung merangsang kelenjar paratiroid untuk mensekresikan hormone paratiroid
(Parathyroid hormone/PTH), 3) meningkatkan pelepasan fibroblast growth factor 23
(FGF 23) oleh osteosit dan osteoblast tulang skelet. Selanjutnya FGF 23 ini
menstimulus kelenjar paratiroid untuk mensekresikan PTH. Peningkatan kadar FGF
23 juga akan menghambat Na-Pi co-transport di ginjal dan mengakibatkan fosfaturia,
menghambat 1-α vit D3 hidroksilase yang akan mengakibatkan penghambatan
resorbsi fosfat inorganik (Pi) dan
kalsium di saluran cerna. Sementara itu, kondisi hipokalsemia mengakibatkan
peningkatan aktifitas calcium sensing receptor (CaSR) pada kelenjar paratiroid, yang
selanjutnya mengakibatkan sintesis PTH melalui transkripsi gen pre/pro serta
meningkatkan proliferasi sel kelenjar paratiroid yang pada akhirnya akan memicu
peningkatan sekresi PTH. Disisi lain, hipokalsitriolemia akan menstimulus reseptor
vitamin D (vitamin D receptor,VDR) yang selanjutnya akan menstimulus kelenjar
paratiroid mensekresikan PTH. Hasil akhir dari semua proses di atas adalah
peningkatan sekresi PTH yang dikenal dengan “hiperparatiroidisme sekunder atau
secondary hyperparathyroidism” (Tola,2018)
Hiperfosfatemia dapat meng-akibatkan hipokalsemia akibat gangguan
keseimbangan fisikokimiawi. Peningkatan kadar fosfat akan selalu dikompensasi
dengan penurunan kadar kalsium tetapi peningkatan kadar ion kalsium tidak
dikompensasi dengan penurunan fosfat sehingga terbentuk garam kalsium fosfat
(CaPO4) yang mudah mengendap dan mengakibatkan kalsifikasi (Tola,2018)
Referensi
Sinnot, B.P. 2018. Hypoparathyroidism – Review of the Literature 2018. Journal of
Rare Disorders: Diagnosis & Therapy. Vol 4(3). Diakses pada 25 Septmber 2020.
Diakses dari https://raredisorders.imedpub.com/hypoparathyroidism-review-of-the-
literature-2018.pdf
Tola, S.M. 2018. Efektivitas Etelcalcitide terhadap Hiperparatiroidisme Sekunder
Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik. Majalah Kesehatan PharmaMedika 2018, Vol. 10
No. 1. Diakses pada 25 Septmber 2020. Diakses dari
http://academicjournal.yarsi.ac.id/index.php/majalah-
Pharamedika/article/download/688/416

5. Komplikasi akibat gangguan hormon kelenjar tiroid dan keenjar paratiroid.


Jawab:
 Hipoparatiroid

Komplikasi kronis hipoparatiroidisme berhubungan dengan perkembangan


penyakit dan terapi yang diterapkan dan termasuk komorbiditas klinis dengan
berbagai tingkat keparahan. Karena selama bertahun-tahun hipoparatiroidisme
tetap menjadi penyakit yang terabaikan, data tentang komplikasi jangka panjang
dari kondisi ini jarang ditemukan (Maeda,2018).
1) Komplikasi ginjal timbul dari hipokalsemia kronis dan hiperfosfatemia
akibat hilangnya regulasi metabolisme kalsium dan fosfor. Pengobatan
dengan sejumlah besar kalsium dan vitamin D aktif (kalsitriol)
menyebabkan hiperkalsiuria, selain meningkatkan penyerapan fosfor di
usus, meningkatkan hiperfosfatemia dan meningkatkan produk kalsium-
fosfor dan menjadi predisposisi nefrolitiasis dan nefrokalsinosis. pada
pasien dengan hipoparatiroidisme, kadar kalsium serum yang lebih tinggi
dikaitkan dengan nilai kalsium urin yang lebih tinggi, prevalensi 38%,
sedangkan litiasis dan nefrokalsinosis diamati pada 31% pasien. Fungsi
ginjal menurun pada 52% pasien dan dikaitkan dengan usia, durasi
penyakit, dan proporsi waktu dengan hiperkalsemia relative. Prevalensi
komplikasi ginjal pada pasien dengan hipoparatiroidisme adalah 25%;
meskipun kadar kalsium urin berada dalam kisaran normal di sebagian
besar kohort, kadar pada kelompok dengan komplikasi ginjal lebih tinggi
(sekitar 3,3 mg / kg / hari). Manifestasi ginjal terjadi secara independen
dari etiologi hipoparatiroidisme dan sudah ada sejak lahir pada anak yang
terkena gangguan ini.
2) Manifestasi kardiovaskular. Dua penelitian dengan kohort historis dan
terkontrol pada pasien dengan hipoparatiroidisme nonsurgical dan
hipoparatiroidisme pascaoperasi telah membahas terjadinya komplikasi
kardiovaskular. Meskipun mortalitas umum pada kelompok ini tidak
meningkat, penyakit jantung iskemik, stroke, dan aritmia lebih sering
terjadi pada pasien dengan hipoparatiroidisme nonsurgical dibandingkan
dengan populasi umum. Komplikasi ini harus dipantau secara individual,
dan tidak ada rutinitas yang telah direkomendasikan.
3) Manifestasi okuler. Studi epidemiologi telah menunjukkan bahwa pasien
dengan hipoparatiroidisme nonsurgical memiliki peningkatan risiko empat
kali lipat dan onset katarak lebih awal jika dibandingkan dengan populasi
umum. Pemantauan klinis tahunan dan kontrol metabolik
direkomendasikan, meskipun kurangnya penelitian yang
mengkonfirmasikan keuntungan dari penilaian rutin pada pasien dengan
hipoparatiroidisme
4) Manifestasi neuropsikiatri. Komplikasi kronis hipoparatiroidisme
mempengaruhi sistem saraf pusat dan termasuk kalsifikasi otak, penurunan
ambang kejang, kejang, depresi, dan penurunan kualitas hidup. Prevalensi
kalsifikasi serebral bervariasi dari 12% sampai 74% dan berhubungan
dengan durasi hipokalsemia. Terlepas dari etiologi hipoparatiroidisme,
kejang sering terjadi dan dikaitkan dengan risiko rawat inap yang lebih
besar. Oleh karena itu, penentuan kalsium serum dianjurkan selama
pemeriksaan etiologi pada semua pasien epilepsi.
5) Manifestasi musculoskeletal. Tidak adanya PTH menyebabkan
penurunan remodeling pada tulang trabekuler dan kortikal dan akibatnya
peningkatan BMD. Computed tomography kuantitatif perifer
menunjukkan peningkatan volume kortikal dan trabekuler serta penurunan
porositas kortikal, tanpa bukti adanya perubahan dalam kekuatan tulang.
Histomorfometri menunjukkan peningkatan volume dan lebar trabekuler,
dengan pemeliharaan jumlah dan jarak trabekuler, penurunan
pembentukan tulang, dan laju resorpsi tulang yang lebih rendah, yang
menunjukkan penurunan yang dalam pada laju pergantian tulang pada
hipoparatiroidisme. Studi epidemiologi retrospektif telah menunjukkan
hasil yang bertentangan mengenai fraktur ekstremitas superior, yang
menunjukkan risiko yang lebih rendah dari fraktur humerus proksimal
pada hipoparatiroidisme pascaoperasi dan peningkatan risiko fraktur
lengan bawah pada hipoparatiroidisme non bedah. Risiko patah tulang,
secara umum, dapat dibandingkan dengan risiko pada populasi kontrol.
Sebuah studi prospektif perintis dengan penilaian radiologi dari patah
tulang belakang telah menunjukkan peningkatan patah tulang morfometri
pada wanita dengan hipoparatiroidisme pasca operasi, sebuah temuan yang
dikonfirmasi oleh penulis lain. Pemantauan massa tulang menggunakan
dual-energy X-ray absorptiometry (DXA) memiliki nilai yang kecil selama
tindak lanjut jangka panjang dari pasien dengan hipoparatiroidisme,
dengan mencatat bahwa BMD cenderung meningkat seiring dengan durasi
penyakit. Dengan temuan baru-baru ini tentang prevalensi fraktur vertebra
morfometrik yang lebih tinggi pada pasien dengan hipoparatiroidisme,
pemantauan radiologis periodik pada tulang belakang direkomendasikan
pada pasien yang berisik (Maeda,2018).
 Hiperparatiroid
Komplikasi hiperparatiroidisme terutama terkait dengan efek jangka
panjang dari terlalu sedikit kalsium di tulang Anda dan terlalu banyak kalsium
dalam aliran darah Anda. Komplikasi umum meliputi:
 Osteoporosis. Hilangnya kalsium sering kali mengakibatkan tulang lemah
dan rapuh yang mudah patah (osteoporosis).
 Batu ginjal. Terlalu banyak kalsium dalam darah Anda dapat
menyebabkan terlalu banyak kalsium dalam urin Anda, yang dapat
menyebabkan timbunan kecil kalsium dan zat lain yang keras terbentuk di
ginjal Anda. Batu ginjal biasanya menyebabkan rasa sakit yang hebat saat
melewati saluran kemih.
 Penyakit kardiovaskular. Meskipun hubungan sebab-akibat yang tepat
tidak jelas, kadar kalsium yang tinggi dikaitkan dengan kondisi
kardiovaskular, seperti tekanan darah tinggi dan jenis penyakit jantung
tertentu.
 Hipoparatiroidisme neonatal. Hiperparatiroidisme yang parah dan tidak
diobati pada wanita hamil dapat menyebabkan kadar kalsium yang sangat
rendah pada bayi baru lahir
Referensi :
Maeda, S. S., et al. 2018. Diagnosis and treatment of hypoparathyroidism: a position
statement from the Brazilian Society of Endocrinology and Metabolism. Arch.
Endocrinol. Metab. vol.62 (1). Diakses pada 24 September 2020. Diakses dari
https://www.scielo.br/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S2359-39972018000100106

6. Perbedaan gejala dan komplikasi hasil lab antara hiperparatiroid dan hipoparatiroid.,
Jawab:
Hiperparatiroid didefinisikan sebagai keadaan terdapatnya kadar kalsium serum yang
tinggi dengan kadar hormon paratiroid yang tidak tersupresi (tinggi atau
inappropriately normal). Prevalensi hiperparatiroid di Amerika Serikat adalah 23
kasus dalam 10.000 perempuan dan 8 kasus dalam 10.000 laki – laki, sedangkan
insidennya sebesar 66 kasus baru dalam 100.000 perempuan setiap tahun dan 25
kasus baru dalam 100.000 laki – laki setiap tahun. Di negara maju, 85% pasien
hiperparatiroid dalam keadaan tidak bergejala. Hal ini disebabkan karena pemeriksaan
laboratorium skrining rutin dilaksanakan. Hanya 20% yang datang dengan gejala.
Gejala yang sering ditemukan pada pasien dengan hiperparatiroid primer adalah
gejala akibat terdapat komplikasi baik pada ginjal (batu ginjal), maupun pada tulang
(fraktur, osteitis fibrosa cystica, nyeri tulang) atau gejala akibat hiperkalsemia.
Sedangkan di negara sedang berkembang, mayoritas pasien datang dalam keadaan
bergejala (Insogna, 2018).
Langkah untuk menegakkan diagnosis hiperparatiroid primer dapat menggunakan alur
diagnosis hiperkalsemia. Pada pasien dengan kadar serum kalsium yang tinggi (kadar
serum kalsium diatas 10,5 mg/dL) dapat dilakukan pemeriksaan hormon paratiroid
intak. Kadar hormon paratiroid yang rendah dapat ditemukan pada penyakit
keganasan, granulomatosa (tuberkulosis, sarkoidosis) dan keadaan dimana terdapat
lisis tulang yang berlebih (kanker metastasis, multiple mieloma), sedangkan kadar
hormon paratiroid yang tinggi dapat ditemukan pada familial hypocalciuric
hypercalcemia (FHH) dan hiperparatiroid baik primer dan tersier. Untuk membedakan
FHH dengan hiperparatiroid dapat melalui ekskresi kalsium urin selama 24 jam dan
rasio kalsium dibanding bersihan kreatinin. Pada FHH, ekskresi kalsium urin rendah.
Selain itu, rasio kalsium dibanding bersihan kreatinin pada FHH juga rendah, yaitu
kurang dari 0,02. Sebagian besar pasien FHH (80%), mempunyai rasio kurang dari
0,01. Pada FHH juga dapat ditemukan riwayat penyakit yang sama pada keluarga.
Berbeda dengan FHH, pada hiperparatiroid primer dan tersier ekskresi kalsium urin
dan rasio kalsium dibandingkan 28 bersihan kreatinin tinggi. Hiperparatiroid tersier
disebabkan karena kadar fosfat serum yang tinggi dan vitamin D yang rendah
berkepanjangan. Keadaan ini menyebabkan peningkatan sekresi hormon paratiroid
yang pada akhirnya menyebabkan hiperkalsemia. Hiperparatiroid tersier dapat
ditemukan pada penyakit ginjal kronik. Berbeda dengan hiperparatiroid tersier, pada
hiperparatiroid primer kadar fosfat serum normal (Reagan,2014).

hipoparatiroidisme diagnosisnya didasarkan pada tes laboratorium yang


menunjukkan kadar PTH rendah yang tidak tepat dengan adanya hipokalsemia. Dari
catatan, nilai kalsium dan PTH yang pasti untuk diagnosis hipoparatiroidisme belum
ditentukan. Diagnosis hipoparatiroidisme harus memperhitungkan adanya manifestasi
klinis sugestif, riwayat operasi atau iradiasi serviks, dan faktor yang mungkin
menunjukkan etiologi penyakit, seperti kondisi autoimun yang terjadi bersamaan atau
manifestasi sindromik. Pemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaan yang cermat
pada daerah serviks untuk mencari tanda-tanda pembedahan sebelumnya dan
penilaian tanda-tanda Chvostek dan Trousseau (Maeda,2018).
Evaluasi laboratorium harus mencakup pengukuran serum kalsium total yang
dikoreksi untuk albumin, PTH, fosfor, magnesium, kreatinin, dan 25 (OH) D, selain
kalsium urin 24 jam. Beberapa gambaran laboratorium dari hipoparatiroidisme patut
diperhatikan. Meskipun kalsium terionisasi adalah fraksi kalsium yang aktif secara
fisiologis, pengukurannya memerlukan pengumpulan darah standar dan perawatan
pra-analisis, yang keduanya tidak selalu diikuti. Dalam praktik klinis, alternatif paling
andal untuk pengukuran kalsium terionisasi adalah penentuan total kalsium yang
dikoreksi untuk albumin, yang dihitung dengan menambahkan 0,8 mg / dL untuk
setiap penurunan 1,0 g / dL pada tingkat albumin di bawah 4,0 g / dL. Diagnosis
hipokalsemia ditegakkan dengan adanya kadar kalsium di bawah kisaran normal,
tetapi pada hipoparatiroidisme, kadar biasanya di bawah 7,5 mg / dL. Dalam kasus
perkembangan yang cepat, gejala mungkin mendahului hipokalsemia (Maeda,2018).
Nilai PTH utuh rendah atau tidak terdeteksi. Dengan adanya hipokalsemia,
nilai di bawah 20 ng / mL merupakan diagnostik hipoparatiroidisme. Pengukuran
PTH memerlukan perawatan tertentu dengan pengumpulan dan penyimpanan darah.
Kadar fosfor pada hipoparatiroidisme kronis biasanya meningkat, tetapi dengan
adanya sindrom tulang lapar yang terjadi secara bersamaan, mungkin berada dalam
kisaran normal atau menurun. Pengukuran kadar magnesium penting untuk
menyingkirkan hipoparatiroidisme fungsional. Penentuan kadar kreatinin serum dan
25 (OH) D berguna selama masa tindak lanjut (Maeda,2018).

Referensi:
Insogna, K. L. 2018. Primary Hyperparathyroidism. New England Journal of
Medicine, vol.379(11),Diakses pada 24 https://doi.org/0.1056/NEJMcp1714213
Maeda, S. S., et al. 2018. Diagnosis and treatment of hypoparathyroidism: a position
statement from the Brazilian Society of Endocrinology and Metabolism. Arch.
Endocrinol. Metab. vol.62 (1). Diakses pada 24 September 2020. Diakses dari
https://www.scielo.br/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S2359-39972018000100106
Reagan, P., Pani, A., & Rosner, M. H. 2014. Approach to diagnosis and treatment of
hypercalcemia in a patient with malignancy. American Journal of Kidney Diseases,
63(1), 141–147. https://doi.org/10.1053/j.ajkd.2013.06.025

7. .Mekanisme kerja hormon kortisol dan target organ serta target selnya.
Jawab:
Kortisol adalah hormon steroid dari golongan glukokortikoid yang
umumnyadiproduksi oleh sel di dalam zona fasikulata pada kelenjar adrenal. Kortisol
dihasilkansebagai respon terhadap stimulasi hormon ACTH yang disekresi oleh
kelenjarhipofisis. Kerja fisiologis utama dari kortisol adalah sebagai berikut:
a) Mempengaruhi metabolisme karbohidrat, lemak dan protein, yaitu
memacuglikogenolisis, ketogenesis, dan katabolisme protein.
b) Memiliki kerja anti insulin, dimana glukokortikoid menaikkan glukosa, asamlemak
dan asam amino dalam sirkulasi.
c) Terhadap pembuluh darah meningkatkan respon terhadap katekolamin.
d) Terhadap jantung memacu kekuatan kontraksi (inotropik positif).
e) Terhadap saluran cerna meningkatkan sekresi asam lambung dan absorbsilemak,
menyebabkan erosi selaput lendir.
f) Terhadap tulang menyebabkan terjadinya osteoporosis, oleh karenamenghambat
aktifitas osteoblast dan absorbsi kalsium di usus.
g) Meningkatkan aliran darah ginjal dan memacu ekskresi air oleh ginjal
h) Pada konsentrasi tinggi glukokortikoid menurunkan reaksi pertahanan selulerdan
khususnya memperlambat migrasi leukosit ke dalam daerah trauma.
i) Glukokortikoid menambah pembentukan surfaktan dalam paru-paru dan
telahdigunakan untuk mencegah sindroma respiratory distress pada bayipremature.

Referensi:
Suastika, K.; Budhiarta, A.D.; Gotera, W.; Saraswati, M.R.; andDwipayana, P.M.
2017. Bali Endocrine Update “Improving ManagementOf Endocrine Disorder In
Clinical Practice”. Bali: Percetakan Bali.

8. Bagaimana cara melakukan pemeriksaan vhovsek sign dan troseaue sign pada
individu yang mengalami gangguan hormonal ? & Apakah berlaku bagi semua
gangguan hormonal atau hanya untuk hipertiroid? Atau juga untuk hipotiroid?
Jawab:
Pemeriksaan klinis spasmofilia di antaranya dengan tanda Chvostek dan tanda
Trousseau. Dua cara untuk menimbulkan tanda Chvostek, versi yang paling sering
dikenal dengan fenomena Chvostek I dideskripsikan dengan twitching dan/atau
kontraktur otot fasial pada stimulasi langsung dengan mengetuk nervus fasialis di
sebuah titik spesifik di wajah (Gambar1).

Titik ini berlokasi 0,5 cm-1 cm di bawah prosesus zigomatikus, 2 cm anterior lobus
aurikularis, dan segaris dengan angulus mandibularis. Respons lain yang lebih jarang
diketahui ialah fenomena Chvostek II yang dapat dimunculkan dengan mengetuk
daerah wajah lain. Titik ini berlokasi pada garis antara prominensia zigomatikum dan
sudut mulut, sekitar sepertiga jarak melalui zigoma. Fitur utama berupa respons
twitching (kedutan) yang dapat melibatkan beberapa otot yang dipersarafi nervus
fasialis, termasuk M. Orbikularis oris dan M. Orbikularis okuli. Apabila tanda
Chvostek meragukan, dapat dilakukan hiperventilasi sebelumnya selama 3 menit.
Penilaian tanda Chvostek terdiri dari 3 tingkat, yaitu:
+1 = reaksi terjadi pada ujung bibir
+2 = reaksi menjalar ke ujung hidung
+3 = reaksi meliputi sesisi wajah
Patofisiologi tanda Chvostek belum jelas, beberapa teori melibatkan stimulasi
mekanis langsung serabut motorik nervus fasialis. Sebelumnya, tanda Chvostek
dianggap refleks fisiologis, namun hanya sekitar 10% populasi memiliki tanda
Chvostek fisiologis. Tanda Chvostek merupakan signifikansi klasik hipokalsemiaa
dan dapat dijumpai pada beberapa orang yang diketahui tidak memiliki kelainan
fisiologis spesifik, sehingga tanda ini hanya penanda kasar suatu iritabilitas
neuromuskuler dan tidak dapat dijadikan indikator tunggal hipokalsemia.
Tanda Trousseau dipercaya lebih konsisten dibandingkan tanda Chvostek. Tanda
Trousseau adalah fenomena spasme karpopedal setelah inflasi lengan atas selama
beberapa menit menggunakan sfigmomanometer dengan tekanan di atas sistolik.
Oklusi arteri brachialis akan menyebabkan fleksi pergelangan tangan dan sendi
metakarpofalangeal, hiperekstensi jari, dan fleksi ibu jari menuju telapak tangan,
sehingga menimbulkan postur karakteristik main d’accoucheur (hand of obstetrician).
Tanda Trousseau sensitif dan spesifik terhadap etani hipokalsemiak.
Tanda Trousseau positif uga dapat disertai parestesia jari - jari, fasikulasi, an
twitching diikuti sensasi kram dan kaku Gambar 2). Mekanisme patofisiologi
tandaTrousseau ialah peningkatan eksitabilitas saraflengan dan tangan disebabkan
hipokalsemiayang menurunkan ambang kontraktibilitassaraf tangan dan lengan yang
pada akhirnyamenyebabkan kontraksi otot.
Referensi:
Erwin,I.,Fithrie,A.2017.Spasmofilia.Laporan kasus CDK.Vol. 44(12).Diakses pada 24
September 2020.Diakses dari
http://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/download/692/456

Anda mungkin juga menyukai