Anda di halaman 1dari 7

1. Penjelasan Hipospadia(Etiologi,Epidemiologi,serta tatalaksana.

Jawab:

Etiologi

Sebagian besar kasus hipospadia belum diketahui etiologinya. kemungkinan


kombinasi faktor genetik dan lingkungan dianggap merupakan faktor yang
mempengaruhi. Bukti keterlibatan faktor genetik dibuktikan oleh meningkatnya mutasi
genetik, riwayat keturunan dan etnis.

Ketika pembentukan urethra laki-laki atau genitalia eksterna laki-laki selama


trimester pertama usia kehamilan, kecukupan kebutuhan androgen sangat dibutuhkan.
Oleh karena itu, hal tersebut menyatakan sebuah teori rasional yang menjelaskan bahwa
hipospadia merupakan sebuah kelainan abnormal pada jalur metabolism androgen.

Penutupan urethra secara normal terjadi selama minggu ke 8-14 usia kehamilan,
yang melibatkan sebuah proses kontinyu pada fusi ventral di proksimal menuju ke arah
distal. Proses tersebut membutuhkan sintesis testosterone menjadi dihydrotestosterone
(DHT), sebuah androgen yang lebih aktif yang memegang peran penting termasuk
pembentukan genitalia eksterna dan interna. Selanjutnya DHT terikat pada androgen
receptor (AR) dan terbentuk sinyal AR yang sesuai. Polimorfisme genetik pada gen
yang mengontrol aksi androgen dan biosintesis testosterone serta DHT merupakan gen
yang penting dalam etiologi hipospadia. Beberapa gen diantaranya yaitu HSD17B3,
Hydroxy--5-steroid dehydrogenase,3β and steroid -1 (HSD3B1), SRD5A2, dan
StAR-related lipid transfer Domain-3(STARD3). Gen-gen tersebut menunjukkan
berbagai aspek dalam sintesis hormon dan metabolisme selama pembentukan urethra
dan genitalia eksterna laki-laki.

Diperkirakan risiko hipospadia akibat riwayat keluarga akan meningkat 12-20 kali
terutama hipospadia derajat 1. Secara menarik, terdapat penelitian yang menunjukkan
bahwa anak yang memiliki riwayat keturunan hipospadia, mengalami kelainan
kongenital hipospadia dengan tipe yang lebih ringan. Penelitian tersebut menyatakan
bahwa kasus hipospadia yang terjadi dengan adanya riwayat keluarga, lebih sering
terjadi pada hipospadia derajat 1 dan hipospadia derajat 2 dibanding hipospadia derajat
3.

Faktor Lingkungan terhadap Hipospadia


Studi sebelumnya menyebutkan bahwa faktor lingkungan berperan penting
terhadap kejadian hipospadia. Penggunaan pestisida, kontrasepsi oral, dan obat-obatan
oleh ibu hamil dilaporkan berhubungan dengan terjadinya hipospadia.
Riwayat pekerjaan yang di bidang agrikultural dan penggunaan obat nyamuk
meningkatkan paparan pestisida yang selanjutnya akan meningkatkan risiko terjadinya
hipospadia. Zat kimia yang banyak terdapat di lingkungan tersebut telah dipelajari
mengandung bahan yang dapat mengganggu endokrin (endocrine disruptors). Endocrin
disruptors merupakan bahan kimia yang dapat menginterverensi hormonal. Menurut
bukti studi pada hewan menunjukkan bahwa endocrine disruptors tertentu dapat
menyebabkan terjadinya hipospadia melalui interferensi jalur sinyal androgen dan
estrogen selama diferensiasi seksual. Selain pestisida, fitoestrogen juga merupakan zat
yang termasuk endocrine disruptors yang dapat meningkatkan risiko terjadinya
hipospadia.

Sebuah penelitian telah mencatat bahwa peningkatan konsentrasi pestisida


organoklorin di jaringan adiposa berkorelasi dengan peningkatan usia ibu. Sumber
paparan kimia tersebut diperoleh dari produk makanan yang dikonsumsi. Pestisida
organoklorin tersebut dipercaya memiliki efek estrogenik. Studi lainnya menyatakan
bahwa peningkatan kerusakan sitogenik berhubungan dengan peningkatan usia
perempuan dengan paparan pekerjaan yang terkena pestisida.

Obat-obatan yang digunakan oleh ibu hamil diindikasikan sebagai paparan yang
berhubungan dengan terjadinya hipospadia, salah satunya adalah asamvalproat. Asam
valproate merupakan gonadotropin-releasing hormone-agonist yang telah dicatat
memiliki efek anti androgen, sehingga dapat mengganggu perkembangan embriologi
genitalia eksterna laki-laki. Obat lain yang dilaporkan berhubungan dengan peningkatan
risiko terjadinya hipospadia, tapi masih membutuhkan penelitian lebih lanjut yaitu
termasuk besi, loperamide, dan anti-retroviral. Beberapa obat seperti loratadin diduga
menyebabkan hipospadia, tetapi obat tersebut tidak terbukti pada penelitian pada
manusia.
Selain itu, penggunaan kontrasepsi oral pada maternal juga dihubungan dengan
terjadinya hipospadia.20 Paparan diethylstilbestrol (DES) pada sirkulasi uteroplasenta
dari ibu pada bayi laki-laki dikatakan berhubungan dengan hipospadia. DES merupakan
estrogen sintetis non steroid yang digunakan di untuk mencegah komplikasi kehamilan.

Faktor Maternal terhadap Hipospadia


Tingkat keparahan hipospadia dilaporkan berbanding lurus dengan peningkatan
usia ibu. Usia ibu yang lebih tua secara potensial akan memiliki paparan lebih panjang
terhadap ganguan endokrin, sehingga menimbulkan deformitas yang lebih serius.

Adanya penyakit ibu seperti infeksi virus selama hamil, hipertensi maternal dan
preeklamsia juga merupakan salah satu faktor risiko hipospadia, Hubungan antara
hipospadia dengan hipertensi maternal serta preeklamsia diduga akibat insufisiensi
plasenta yang merupakan salah satu faktor yang berperan terhadap terjadinya
hipospadia. Selain itu, adanya hormon endogen yangdipengaruhi oleh estradiol bebas
yang berhubungan dengan berat badan berlebih pada maternal, primiparitas, dan
kehamilan multipel juga dinyatakan berkontribusi terhadap kerentanan terjadinya
hipospadia.
Epidemiologi
Prevalensi hipospadia di duniasangat luas secara geografis dan bervariasi.
Insidensi kelainan ini berkisar 1:250 kelahiran bayi atau 1:300 kelahiran bayi. Di
Indonesia prevalensi hipospadia belum dketahui secara pasti. Limatahu et al menemukan
17 kasus di RSUP Prof. Dr. R. D. KandauManado pada periode Januari 2009Oktober
2010.Duarsa et al melakukan penelitian deskriptifterhadap kasus hipospadia pada Januari
2009 hingga april 2012 di RSSanglah Bali menemukan sebanyak 53 kasus.Tirtayasa et al
juga melakukan penelitian mengenai hasil luaran dari pembedahan urethroplasty pada
kasus hipospadiadi RS M. Djamil Padang pada rentang Januari 2012 - Januari 2014
denganjumlah 44 kasus. Hal ini menunjukkan bahwa pada daerah yang berbeda secara
etnis dan geografis hipospadia dapat ditemukan merata.

Klasifikasi Hipospadia
Hipospadia biasanya diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomi meatus urethra :
1) anterior atau hipospadia distal (meatus urethra terletak di gland penis), pada
hipospadia derajat pertama ini letak meatus urethra eksterna dapat dibagi menjadi 3
bagian yaitu hipospadial sine (curvatura ventral penis dengan letak meatus urethra
eksterna normal, jenis ini sering dianggap hipospadia yang bukan sebenarnya),
glandular (letak meatus ekterna hanya turun sedikit pada bagian ventral gland penis),
dan sub-coronal (letak meatus urethra eksterna terletak di sulcus coronal penis).
2) Middle shaft atau intermediate hipospadia, yang disebut hipospadia derajat dua, juga
dapat dibagi berdasar letak meatus urethra menjadi distal penis, mid-shaft, dan tipe
proksimal.
3) Hipospadia posterior atau proksimal atau derajat tiga dibagi menjadi penoscrotal
(meaturethra di antara pertemuan basis penis dan scrotum), scrotal (meatus urethra
eksterna di scrotum), dan perineal (meatus urethra eksterna di bawah scrotum dan
pada area perineum).

Hipospadia anterior/distal/derajat 1
1.Hipospadia sine
2.Glandular
3.Sub-coronal
Hipospadia media/derajat 2
4.Penis distal
5.Midshaft
6.Penis proksimal
Hipospadia posterior/proksimal/derajat3
7.Penoscrotal
8.Scrotal
9.Perineal

Gambar 1. Klasifikasi hipospadia berdasar letak anatomis meatus urethra.

Keterangan gambar : Hipospadia dibagi menjadi tiga berdasarkan letak anatomis meatus
eksterna menjadi hipospadia anterior/distal/derajat1, hipospadia media derajat 2,dan
hipospadia porterior/proksimal/derajat 3.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan adalah dengan cara operasi, dikenal banyak
teknik operasi hipospadia, yang umumnya terdiri dari beberapa tahap yaitu:
1. Operasi pelepasan chordee dan tunneling
Dilakukan pada usia satu setengah hingga dua tahun. Pada tahap ini dilakukan operasi
eksisi chordee dari muara uretra sampai ke glans penis. Setelah eksisi chordee maka penis
akan menjadi lurus akan tetapi meatus uretra masih terletak abnormal. Untuk melihat
keberhasilan setelah eksisi dilakukan tes ereksi buatan intraoperatif dengan menyuntikan
NaCl 0,9% ke dalam korpus kavernosum.
2. Operasi uretroplasti
Biasanya dilakukan 6 bulan setelah operasi pertama. Uretra dibuat dari kulit penis bagian
ventral yang diinsisi secara longitudinal paralel di kedua sisi.
3. Dan pada tahun-tahun terakhir ini, sudah mulai deterapkan operasi yang dilakukan hanya
satu tahap, akan tetapi operasi hanya dapat dilakukan pada hipospadia tipe distal dengan
ukuran penis yang cukup besar.

Tujuan pembedahan :
a. Membuat normal fungsi perkemihan dan fungsi sosial.
b. Perbaikan untuk kosmetik pada penis.

Sumber:

Daniel,M,K. M,A. 2017. Hipospadia : Bagaimana karakteristiknya di indonesia. Jurnal


Berkala Ilmiah Kedokteran DutaWacana vol 2(2). Diakses pada 25 Februari 2020 .
diakses dari bikdw.ukdw.ac.id › index.php › bikdw › article › download

Yosef, H . 2010. Dasar – dasar urologi . jakarta : CV agung seto

Gaol, L., Dkk,. 2017. Ilmu bedah anak : kasus harian UGD, bangsal dan kamar operasi.
Jakarta : EGC

2. Perbedaan hipospadia,epispadia,parafimosis,dan fimosis


Jawab:

HIPOSPADIA EPISPADIA
Muara uretra terletak di sebelah ventral Lubang uretra terdapat di punggung
penis dan sebelah proksimal ujung penis
penis
Anak berkemih duduk Uretra terbuka di posisi dorsal
Penis seperti berbalut Penis melengkung ke arah dorsal
Penis melengkung ke bawah Inkotinesia
Semprotan air seni yang keluar
abnormal

Fimosis
Ini ialah keadaan di mana didapatkan konstriksi atau penyempitan dari ujung kulit depan
(foreskin) penis. Fimosis bisa ditemukan karena faktor genetikal (bawaan sejak lahir)
atau juga bisa akibat peradangan lubang pada kulit penis.

Parafimosis
Parafimosis ialah kondisi saat kulup penis tidak dapat ditarik kembali ke kepala penis.
Dapat menyebabkan kulup penis membengkak dan tersangkut, sehingga mencegah
peredaran darah terjadi secara optimal pada penis.

Sumber:

Daniel,M,K. M,A. 2017. Hipospadia : Bagaimana karakteristiknya di indonesia. Jurnal


Berkala Ilmiah Kedokteran DutaWacana vol 2(2). Diakses pada 25 Februari 2020
diakses dari bikdw.ukdw.ac.id › index.php › bikdw › article › downloadSumber:

Prasetyo, B. 2018. Asupan Seng dan Penyembuhan Luka Sirkumsisi. JNH(Journal of


Nutrition and Health) Vol.6 No.2. Di akses pada tanggal 26 feb 2020. Diakses dari
http://google.scholler.ac.id.

Anda mungkin juga menyukai