Anda di halaman 1dari 5

Sistem Pembiayaan Layanan Kesehatan

Membahas tentang kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan suatu rumah sakit / dokter / tenaga
kesehatan lainnya, maka tidak akan terlepas dari bagaimana sistem pembayaran dan pendapatan
yang diterima oleh mereka, tentu saja kita tidak dapat menyalahkan hal tersebut karena saat ini
hampir semua orang membutuhkan pendapatan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, namun
yang perlu di catat ialah bahwasanya hal itu bukanlah segalanya dan bukanlah suatu hal yang
menjadi tujuan utama dari kegiatan seorang dokter, melainkan suatu hak yang didapatkan setelah
selesai menunaikan kewajibannya dalam membantu kesehatan masyarakat.
Di Indonesia sendiri, saat ini 70% mekanisme pembiayaan kesehatan berasal dari pihak swasta dan
hanya 30% nya yang berasal dari pemerintah.  Dan dari 70% tersebut, sebagian besar berasal dari
kantong masyarakat sendiri yang kita kenal dengan istilah Fee For Service dan hany sekitar 6% yang
berasal dari asuransi.

Saat ini kebanyakan masyarakat menggunakan sistem pembayaran kesehatan Fee For Service ,
sistem ini menggambarkan mekanisme pembayaran biaya kesehatan yang langsung berasal dari
dompet / kantong pasien (out of pocket).  Pada mekanisme ini, biasanya pasien datang ke salah satu
penyedia layanan kesehatan yang mereka pilih, lalu memeriksakan dirinya di dokter tersebut,
kemudian dokter akan menentukan jenis layanan kesehatan apa yang akan diberikan dan nanti sang
pasien akan membayar semacam "jasa" dari layanan kesehatan apa saja yang telah ia terima..

Pada dasarnya, ada 3 sistem pembiayaan jasa kesehatan yang ada saat ini, yaitu :
1.      Sistem Pembiayaan Fee For Service
Pada sistem pembiayaan fee for service, pembayaran jasa kesehatan berasal dari kantong orang itu
sendiri.  Seperti yang dijelaskan sebelumnya, pada mekanisme pembiayaan ini, pasien cendrung
berada di dalam posisi menerima sehingga sering terjadi penyimpangan seperti overutilisasi jasa
kesehatan dimana sang dokter memberikan banyak pelayanan yang pada dasarnya tidak dibutuhkan,
namun sengaja diberikan dengan tujuan agar semakin banyak layanan yang diberikan, maka
pendapatanyang didapat dari layanan tersebut juga akan semakin besar.

2. Sistem Pembiayaan Kapitasi

Kapitasi merupakan suatu sistem pembiayaan pelayanan kesehatan yang dilakukan di muka
berdasar jumlah tanggungan kepala per suatu daerah tertentu dalam kurun waktu tertentu tanpa
melihat frekuensi kunjungan tiap kepala tersebut.  Misalnya saja setiap kepala di desa A ditetapkan
biayanya sebesar Rp 10.000,- /bulan, bila sang dokter bertanggung jawab atas 500 kepala, maka ia
akan menerima Rp 10.000,- x 500 / bulannya yaitu Rp 5.000.000,- . Biaya sebesar Rp 5.000.000,-
inilah yang akan ia kelola untuk meningkatkan kualitas kesehatan di 500 warga tersebut, baik melaui
tindakan pencegahan (preventive), pengobatan (curative) maupun rehabilitasi. Sehingga semakin
banyak layanan kesehatan yang diberikan / semakin banyak pasien yang sakit dan butuh
pengobatan, biaya yang akan dipotong semakin banyak dan penghasilan sang dokter akan semakin
sedikit. Pada sistem ini, termasuk di dalamnya jaminan kesehatan yang dijalankan oleh PT.Askes
3.      Sistem Pembiayaan Berdasar Gaji 
Pada sistem ini, sang dokter akan menerima penghasilan tetap di tiap bulannya sebagai balas jasa
atas layanan kesehatan yang telah diberikan. Termasuk di dalamnya sistem pembayaran pada
penyedia layanan kesehatan yang bekerja di instansi dimana dokternya dibayarkan berdasar gaji
bulanan di instansi tersebut, bukan dari jenis layanan kesehatan yang diberikannya.
4.      Sistem reimbursement
Sistem penggantian biaya kesehatan oleh pihak perusahaan berdasar layanan kesehatan yang
dikeluarkan terhadap seorang pasien.  Metode ini pada dasarnya mirip dengan fee for service, hanya
saja dana yang dikeluarkan bukan oleh pasien, tapi pihak perusahaan yang menanggung biaya
kesehatan pasien, namun berbeda dengan kapitasi karena metode ini melihat jumlah kunjungan dan
jenis layanan yang diberikan oleh provider

Dari pembahasan ketiga sistem pembiayaan diatas, tentu saja setiap metodenya memiliki segi positif
dan negative masing – masing.  Hal tersebut dapat dirangkum sbb :

Sistem Pembiayaan Kelebihan Kekurangan


Fee For Service ·   Penanganan yang diberikan dokter ·     Sering terjadi moral hazard
cendrung lebih maksimal dan tidak dimana provider akan sengaja
terkesan terbatas – batas secara berlebihan member
layanan kesehatan dengan
tujuan meningkatkan
pendapatan dari layanan
tersebut
Kapitasi ·   Kepastian adanya pasien ·     Sering terjadi underutilisasi
·   Jaminan pendapatan di awal tahun / (pengurangan layanan yang
bulan diberikan)
·   Semakin efisien layanan, semakin ·     Kebanyakan dokter merasa
banyak pendapatan dirugikan
·   Dokter lebih taat prosedur ·     Bila peserta sedikit, dapat
·   Lebih menekankan pada merugikan dokter
pencegahan dan promosi kesehatan
Gaji ·  Dokter memperoleh pendapatan ·     Sering terjadi kerjasama
yang tetap tiap bulannya berdasar antara pihak provider dengan
upah minimal yang telah ditentukan bagian lain untuk memperoleh
pendapatan yang lebih banyak
·     Dokter cendrung melakukan
pelayanan kesehatan
seadanya dan kurang optimal
Reimbursement ·  Dokter akan melakukan penangan ·     Sering terjadi pemalsuan
dengan maksimal identitas dan dimanfaatkan
·  Biaya kesehatan datang dari pihak oleh pihak lain
perusahaan sehingga pasien tidak ·     Sering terjadi adanya
perlu mengeluarkan biaya selain overutilisasi dari penyedia
premi (bila ada premi) layanan kesehatan

Dari pembahasan diatas, bila kita perinci lagi, maka akan diperoleh bahwasanya permasalahan
seputar pembiayaan layanan kesehatan yang ada saat ini antara lain:

1. Kurangnya dana yang tersedia ; hal ini terjadi akibat pola pikir dimana biaya kesehatan
merupakan suatu hal yang bersifat konsumtif dan bukan produktif, sehingga cendrung
dikurangi.
2. Penyebaran dana yang tidak sesuai; hal ini terjadi saat pihak tertentu meminta bagian yang
lebih, misalnya satu jabatan yang lebih tinggi merasa berhak menerima layanan kesehatan
yang lebih baik pula, padahal hal tersebut lebih baik di alihkan kepada pihak lain yang lebih
membutuhkan, sehingga aliran dana kesehatan lebih merata.
3. Pemanfaatan dana yang tidak tepat ; adanya kesalahan pada pola pikir baik dari sisi penyedia
maupun pemakai layanan kesehatan menyebabkan kecendrungan pemanfaatan dana
kesehatan yang tidak tepat.  Misalnya meminta dilakukan pemeriksaan yang pada dasarnya
tidak perlu dilakukan.
4. Pengelolaan dana yang belum sempurna ; kurangnya keterampilan, pengetahuan dan moral
dari pihak pengelola dana kesehatan akan dapat berdampak pada sistem pengelolan dana
yang sudah ada, sehingga akan merugikan pihak – pihak lain yang terlibat di dalam sistem
tersebut, seperti dokterm maupun pasien.
5. Biaya kesehatan yang makin meningkat; Seiring dengan bertambahnya tahun, biaya
pelayanan kesehatan semakin meningkat.

Adanya peningkatan biaya kesehatan sendiri, biasanya disebabkan oleh :

1. Tingkat Inflasi : peningkatan biaya yang terjadi di masyarakat, akan berdampak pada
meningkatnya biaya investasi dan operasional kesehatan secara otomatis. Dan hal ini pada
akhirnya akan kembali dibebankan pada pengguna jasa kesehatan.
2. Tingkat Permintaan; Peningkatan kuantitas (jumlah) penduduk dan kualitas (tingkata
pendidikan dan pedapatan) penduduk akan menuntu penyediaan layanan kesehatan yang
lebih tinggi pula, sehingga biaya yang dibutuhkan juga akan semakin meningkat.
3. Kemajuan Ilmu dan Teknologi; Kemajuan ilmu dan teknologi akan mendorong peningkatan
biaya operasional sehingga akan meningkatkan beban pembiayaan kesehatan bagi
pengguna jasa kesehatan.
4.  Perubahan Pola Penyakit; Pergeseran pola penyakit dari akut menjadi kronis juga akan
meningkatkan biaya jasa layanan kesehatan.
5. Perubahan Pola Pelayanan Kesehatan; Adanya pelayanan kesehatan spesialisasi dan
subspesialisasi yang saat ini masih terkotak – kotak satu sama lain tanpa adanya
penghubung seperti dokter keluarga / gate keeper lainnya menyebabkan tumpang tindih dan
terjadinya pengulangan proses pemeriksaan yang sama, sehingga biaya kesehatan yang
dikeluarkan pun meningkat pula.
6. Perubahan Pola Hubungan Dokter-Pasien; Hilangnya hubungan kekeluargaan antar dokter –
pasien yang dulu ada menyebabkan hubungan antar dokter – pasien saat ini hanya seolah
sebatas penyedia jasa dan konsumen saja, dimana disatu pihak pasien meminta kepastian
akan kesehatan dan kondisinya, sementara itu sang dokter menganggap pasien sebagai
lading penghasilan sehingga sering timbul adanya overutilisasi dan rasa was – was akan
prosedur yang diberikan, sehingga semakin banyak dokter yang menggunakan asuransi
terhadap prosedur medis yang dilakukan, namun preminya tetap dibebankan ke pasien. 
Sehingga biaya yang harus dibayarpun meningkat pula.
7. Lemahnya Mekanisme Pengendalian Biaya; Kurangnya peraturan perundang-undangan yang
ditetapkan untuk mengatur dan membatasi pemakaian biaya pelayanan kesehatan
menyebabkan pemakaiannya sering tidak terkendali, yang akhirnya akan membebani
penanggung (perusahaan) dan masyarakat secara keseluruhan.
8. Penyalahgunaan Asuransi Kesehatan ; Penggunaan asuransi kesehatan dengan metode
reimbursement/penggantian biaya kesehatan perkunjungan sebagai ganti biaya layanan yang
dikeluarkan, seperti yang terjadi dahulu (sebelum adanya mekanisme kapitasi) malah akan
meningkatkan pengeluaran di bidang kesehatan karena bisa saja terjadi pemalsuan bukti
layanan kesehatan atau identitas.

Dari pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tiap sistem pembiayaan kesehatan
memiliki kelebihan dan kekurangannya masing – masing sehingga hal yang lebih perlu untuk
dilakukan ialah bagaimana menemukan jalan keluar dari tiap kekurangan yang ada dengan tetap
memaksimalkan kelebihan yang dapat diperoleh dari setiap sistem pembiayaan yang ada. Walaupun
demikian, saat ini beberapa daerah telah mengembangkan dan menganggap sistem KAPITASI
memiliki kelebihan lebih banyak dibandingkan dengan sistem lainnya.
Sumber :
MedisOnline. Sistem Pembiayaan Kesehatan . 2009
Djuhaeni. E., 2007. Asuransi Kesehatan dan Managd Care. Modul belajar mengajar. Bandung
Kuliah Kapitasi. Dr. Sigit Riyarto, M.Kes
Kuliah Payment for Physicians. Prof. Dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD.
Sistem Pembiayaan Kesehatan Indonesia
Sistem pembiayaan kesehatan Indonesia secara umum terbagi dalam 2 sistem yaitu:

1.      Fee for Service ( Out of Pocket )

Sistem ini secara singkat diartikan sebagai sistem pembayaran berdasarkan layanan, dimana
pencari layanan kesehatan berobat lalu membayar kepada pemberi pelayanan kesehatan (PPK). PPK
(dokter atau rumah sakit) mendapatkan pendapatan berdasarkan atas pelayanan yang diberikan,
semakin banyak yang dilayani, semakin banyak pula pendapatan yang diterima.

Sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini masih bergantung pada sistem


pembiayaan kesehatan secara Fee for Service ini. Dari laporan World Health
Organization di tahun 2006 sebagian besar (70%) masyarakat Indonesia masih
bergantung pada sistem, Fee for Service dan hanya 8,4% yang dapat mengikuti sistem
Health Insurance (WHO, 2009). Kelemahan sistem Fee for Service adalah terbukanya
peluang bagi pihak pemberi pelayanan kesehatan (PPK) untuk memanfaatkan hubungan
Agency Relationship , dimana PPK mendapat imbalan berupa uang jasa medik untuk
pelayanan yang diberikannya kepada pasien yang besar-kecilnya ditentukan dari
negosiasi. Semakin banyak jumlah pasien yang ditangani, semakin besar pula imbalan
yang akan didapat dari jasa medik yang ditagihkan ke pasien. Dengan demikian, secara
tidak langsung PPK didorong untuk meningkatkan volume pelayanannya pada pasien
untuk mendapatkan imbalan jasa yang lebih banyak.

2.      Health Insurance

Sistem ini diartikan sebagai sistem pembayaran yang dilakukan oleh pihak ketiga atau pihak
asuransi setelah pencari layanan kesehatan berobat. Sistem health insurance ini dapat berupa
system kapitasi dan system Diagnose Related Group (DRG system).

Sistem kapitasi merupakan metode pembayaran untuk jasa pelayanan kesehatan dimana PPK
menerima sejumlah tetap penghasilan per peserta untuk pelayanan yang telah ditentukkan per
periode waktu. Pembayaran bagi PPK dengan system kapitasi adalah pembayaran yang dilakukan
oleh suatu lembaga kepada PPK atas jasa pelayanan kesehatan dengan pembayaran di muka
sejumlah dana sebesar perkalian anggota dengan satuan biaya (unit cost) tertentu. Salah satu
lembaga di Indonesia adalah Badan Penyelenggara JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Masyarakat). Masyarakat yang telah menajdi peserta akan membayar iuran dimuka untuk
memperoleh pelayanan kesehatan paripurna dan berjenjang dengan pelayanan tingkat pertama
sebagai ujung tombak yang memenuhi kebutuhan utama kesehatan dengan mutu terjaga dan biaya
terjangkau.

Sistem kedua yaitu DRG (Diagnose Related Group) tidak berbeda jauh dengan system kapitasi di
atas. Pada system ini, pembayaran dilakukan dengan melihat diagnosis penyakit yang dialami pasien.
PPK telah mendapat dana dalam penanganan pasien dengan diagnosis tertentu dengan jumlah dana
yang berbeda pula tiap diagnosis penyakit. Jumlah dana yang diberikan ini, jika dapat dioptimalkan
penggunaannya demi kesehatan pasien, sisa dana akan menjadi pemasukan bagi PPK.

Kelemahan dari system Health Insurance adalah dapat terjadinya underutilization dimana dapat
terjadi penurunan kualitas dan fasilitas yang diberikan kepada pasien untuk memperoleh
keuntungan sebesar-besarnya. Selain itu, jika peserta tidak banyak bergabung dalam system ini,
maka resiko kerugian tidak dapat terhindarkan. Namun dibalik kelemahan, terdapat kelebihan
system ini berupa PPK mendapat jaminan adanya pasien (captive market), mendapat kepastian dana
di tiap awal periode waktu tertentu, PPK taat prosedur sehingga mengurangi terjadinya multidrug
dan multidiagnose. Dan system ini akan membuat PPK lebih kea rah preventif dan promotif
kesehatan.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menilai, pembiayaan kesehatan dengan sistem kapitasi dinilai lebih
efektif dan efisien menurunkan angka kesakitan dibandingkan sistem pembayaran berdasarkan
layanan (Fee for Service) yang selama ini berlaku. Namun, mengapa hal ini belum dapat dilakukan
sepenuhnya oleh Indonesia? Tentu saja masih ada hambatan dan tantangan, salah satunya adalah
sistem kapitasi yang belum dapat memberikan asuransi kesehatan bagi seluruh rakyat tanpa
terkecuali seperti yang disebutkan dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN). Sampai saat ini, perusahaan asuransi masih banyak memilah peserta asuransi
dimana peserta dengan resiko penyakit tinggi dan atau kemampuan bayar rendah tidaklah menjadi
target anggota asuransi. Untuk mencapai terjadinya pemerataan, dapat dilakukan universal coverage
yang bersifat wajib dimana penduduk yang mempunyai resiko kesehatan rendah akan membantu
mereka yang beresiko tinggi dan penduduk yang mempunyai kemampuan membayar lebih akan
membantu mereka yang lemah dalam pembayaran. Hal inilah yang masih menjadi pekerjaan rumah
bagi sistem kesehatan Indonesia.

Memang harus kita akui, bahwa tidak ada sistem kesehatan terutama dalam pembiayaan pelayanan
kesehatan yang sempurna, setiap sistem yang ada pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya
masing-masing. Namun sistem pembayaran pelayanan kesehatan ini harus bergerak dengan
pengawasan dan aturan dalam suatu sistem kesehatan yang komprehensif, yang dapat mengurangi
dampak buruk bagi pemberi dan pencari pelayanan kesehatan sehingga dapat terwujud sistem yang
lebih efektif dan efisien bagi pelayanan kesehatan di Indonesia.

Sumber: World Health Organization 2009

JPKM

Anda mungkin juga menyukai