Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

SUMBER DALIL HUKUM ISLAM


TENTANG
Qaul Shahaby
Syar’u Man Qablana

Disusun Oleh:
Kelompok 13
MUTILA ANGGUN PERDANA 1913040099
MAHARANI ADYLIA PUTRI 1913040106
ARIF RAMADES 1913040115
Dosen pembimbing:
Dr. Muchlis Bahar Lc, M
Asnawi Harahap S.HI,MA

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARI`AH


FAKULTAS SYARI`AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI IMAM BONJOL PADANG
1442 H/ 2020 M
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah Swt. Tuhan yang telah menjadikan ilmu sebagai sifat
kesempurnaan tertinggi. Dialah tuhan yang menganugrahkan keistimewaan terhadap hamba-
hamba yang dikehendakinya dengan berbagai kelebihan ilmu. Solawat kepada nabi Muhammad
Saw yang diistimewakan dengan segala bentuk kesempurnaan, dan sebagai manusia paripurnna.
Somoga Allah Swt melimpahkan rahmatnya kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw.

Selanjutnya kami sebagai pemakalah menyampaikan rasa terimakasih yang sedalam-


dalamnya kepada bapak Dr. muchlis Bahar Lc.M dan bapak Asnawi Harahap S.HI,MA yang
telah menjadi dosen pembimbing matakuliah sumber dalil hukum islam ini.

Seterusnya kami menyadari bahwa makalah yang kami buat ini masih banyak kekurangan dan
mungkin kesalahan. Oleh karena itu kami mengharapkan saran dan kritik guna untuk
membangun dan menghasilkan makalah yang lebih baik untuk selanjutnya, dan makalah yang
kami buat ini semoga bisa memberikan manfaat bagi kita semua. Aamiin.

Batusangkar ,23 Desember 2020

Kelompok 13
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................
DAFTAR ISI........................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................
A. Latar Belakang........................................................................................................
B. Rumusan Masalah..................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................
A. Pengertian qaul shahaby.......................................................................................
B. Macam-macam qaul shahaby...............................................................................
C. Kedudukan qaul shahaby.......................................................................................
D.Pengertian syar’u man qablana...............................................................................
E. Kedudukan syar’u man
qablana.......................................................................................

BAB III PENUTUP...................................................................................................................


A. Kesimpulan..............................................................................................................
B. Saran........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Selain islam, tidak ada agama yang memiliki system hokum yang di dokumentasikan
dengan baik dalam berbagai karya yang sedemikian banyak. Berdasarkan telah ditetapkan bahwa
dalil syar’I yang dijadikan dasar pengambilan hokum yang berhubungan dengan perbuatan
manusia itu ada 4, yaitu al-quran , al-sunnah , al-ijma’ dan al-qiyas. Jumhur ulama telah sepakat
bahwa empat hal itu dapat digunakan sebagai dalil, juga sepakat bahwa urutan penggunaan dalil
tersebut adalah sbb pertama al-quran kedua al-sunnah ketiga al-ijma’ dan keempat al-qiyas.

Akan tetapi, ada dalil lain selain dari empat yang diatas, yang mana mayoritas ulama
islam tidak sepakat atas penggunaan dalil-dalil tersebut. Sebagian diantara mereka ada yang
menggunakan dalil-dalil ini sebagai alasan penetapan hokum syara’ dan sebagian yang lain
mengingkarinya. Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaanya sebagai hujjah dalam
menetapkan suatu hokum salah satunya mazhab qaul al-shahaby.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan qaul shahaby?
2. Apa macam macam qaul shahaby?
3. Apa kedudukan qaul shahaby?
4. Apa yang dimaksud dengan syar’u man qablana?
BAB II

PEMBAHASAN

A. QOUL SHAHABY

Pengertian Qaul Shahaby

Kata “Qaul” adalah mashdar dari qaala-yaquulu qaulan yang arti mashdar tersebut adalah
“perkataan”. Sedangkan kata “sahahabi” artinya adalah shahabat atau teman. Jadi yang di
maksud dengan “Qaulush shahabi” disini adalah pendapat, atau fatwa para shahabat nabi SAW,
tentang suatu kasus yang belum dijelaskan hukumnya secara tegas didalam al-quran dan sunnah.
Qaul shahabi juga Termasuk salah satu sumber pengambilan hukum islam setelah urutan
sumber-sumber utama yang disepakati, yaitu Al-Quran, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.

Yang dimaksud dengan qaul shahabi ialah pendapat sahabat Rasulullah SAW tentang


suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Alquran
dan sunnah Rasulullah.

Sedangkan yang dimaksud dengan sahabat Rasulullah, seperti dikemukakan oleh


Muhammad Ajjaj al-Khatib ahli hadis berkebangsaan Syiria, dalam karyanya Ushul al-
Hadist mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sahabat adalah setiap orang muslim yang
hidup bergaul dengan Rasulullah dalam waktu yang cukup lama serta menimba ilmu dari
Rasulullah. Seperti Umar ibn Khattab, ‘Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin
Umar bin Khattab, Aisyah, dan ‘Ali bin Abi Thalib. Mereka ini adalah di antara para sahabat
yang banyak berfatwa tentang hukum islam.

Macam-Macam Qaul Shahaby

 Perkataan sahabat terhadap hal-hal yang tidak termasuk objek ijtihad. Dalam hal ini para
ulama semuanya sepakat bahwa perkataan sahabat bisa dijadikan hujjah. Karena
kemungkinan sima’ dari Nabi SAW sangat besar, sehingga perkataan sahabat dalam hal
ini bisa termasuk dalam kategori al-Sunnah, meskipun perkataan ini adalah
hadits mauquf. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam as-Sarkhasi dan beliau memberikan
contoh perkataan sahabat dalam hal-hal yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad seperti,
perkataan Ali bahwa jumlah mahar yang terkecil adalah sepuluh dirham, perkataan Anas
bahwa paling sedikit haid seorang wanita adalah tiga hari sedangkan paling banyak
adalah sepuluh hari.
 Perkataan sahabat yang disepakati oleh sahabat yang lain. Dalam hal ini perkataan
sahabat adalah hujjah karena masuk dalam kategori ijma’.
 Perkataan sahabat yang tersebar di antara para sahabat yang lainnya dan tidak diketahui
ada sahabat yang mengingkarinya atau menolaknya. Dalam hal inipun bisa
dijadikan hujjah, karena ini merupakan ijma’ sukuti, bagi mereka yang berpandapat
bahwa ijma’ sukuti bisa dijadikan hujjah.
 Perkataan sahabat yang berasal dari pendapatnya atau ijtihadnya sendiri. Qaul al-
Shahabi yang seperti inilah yang menjadi perselisihan di antara para ulama mengenai
keabsahannya sebagai hujjah dalam fiqh Islam.

 Adapun Dr. Muhammad Sulaiman Abdullah al-Asyqar menambahkan beberapa poin


mengenai macam-macam qaul al-Shahabi ini, di antaranya:

 Perkataan Khulafa ar-Rasyidin dalam sebuah permasalahan. Dalam hal ini para ulama


sepakat untuk menjadikannya hujjah. Sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadits,
”Hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para Khulafa ar-Rasyidin setelahku”
 Perkataan seorang sahabat yang berlandaskan pemikirannya dan ditentang oleh sahabat
yang lainnya. Dalam hal ini sebagian ulama berpendapat bahwa perkataan sahabat ini
tidak bisa dijadikan hujjah.

Kedudukan Qaul Shahaby

Qaulush-shahabi adalah perkataan para shahabat nabi atas suatu hukum. Secara logika
nalar, seharusnya apa yang mereka katakan itu bersumber dari Rasulullah SAW juga. Namun
pendapat para shahabat itu terutama muncul manakala tidak ada nash yang sharih (eksplisit) dari
Rasulullah SAW tentang suatu masalah. Di situlah kemudian para shahabat mengeluarkan
pendapatnya. Selain itu, qaulush-shahabi biasanya berbentuk kesimpulan hukum yang lafadznya
tidak langsung dari ucapan nabi SAW, melainkan dari mulut para shahabat. Seperti seorang
shahabat berkata, "Rasulullah SAW memerintah kita untuk begini dan begini." Atau perkataan
seorang shahabat, "Rasulullah SAW melarang kita untuk begitu dan begitu."

Di antara para ulama yang berpegangan pada qaulush-shahabi adalah Al-Imam Malik
rahimahullah. Selain itu beliau juga berpegangan pada sumber istimbath lainnya seperti mafhum
mukhalafah, mafhum muwafakah, tanbih alal illah, ijma’, qiyas, amal ahlul madinah (perbuatan
penduduk Madinah), istihsan, saddudzarai’, muraatul khilaf, istishab, maslahah mursalah, syar'u
man qablana (syariat nabi terdahulu). Beliau yakin bahwa perkataan atau pendapat para shahabat
lebih utama untuk dipegang dan diikuti ketimbang ijtihad kita sendiri.

Sebab para shahabat itu pernah hidup bersama dengan Rasulullah SAW. Sehingga
mereka bisa dianggap barisan orang yang paling mengerti sunnah beliau, paling paham dengan
Islam langsung dari sumber aslinya, serta paling tahu seluk-beluk turunnya Al-Quran.
B. SYAR’U MAN QABLANA

Pengertian Syar’u Man Qablana

Syar’u Man Qablana adalah syari’at atau ajaran-ajaran nabi-nabi sebelum islam yang


berhubungan dengan hukum, seperti syari’at Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa as.

Secara etimologis syar’u man qablana adalah hukum-hukum yang disyariatkan oleh Allah
SWT, bagi umat-umat sebelum kita. Secara istilah ialah syari ‘at yang diturunkan Allah kepada
umat sebelum ummat Nabi Muhammad SAW, yaitu ajaran agama sebelum datangnya ajaran
agama Islam melalui perantara  nabi Muhammad SAW, seperti ajaran agama Nabi Musa, Isa,
Ibrahim, dan lain-lain.

Kedudukan Syar’u Man Qablana

Syari’at umat sebelum kita kedudukannya dapat menjadi syariat kita jika Al-Qur’an dan
sunnah telah menegaskan bahwasannya syari’at ini di wajibkan baik untuk mereka (orang yang
sebelum kita) dan juga kepada kita utuk mengamalkannya, seperti puasa dan qishas. Tetapi jika
seandainya  Al-Qur’an dan Sunnah Nabi menegaskan bahwa syariat orang sebelum kita telah di
nasakh       (di hapus) hukumnya maka tidak ada perselisihan lagi bahwa syari’at orang sebelum
kita itu bukan syari’at kita. Seperti syar’iat Nabi Musa, yang menghukum bahwa orang yang
berdosa tidak dapat menebus dosanya kecuali ia harus membunuh dirinya sendiri, pakaian yang
terkena  najis tidak dapat di sucikan kecuali memotong bagian bagian yang terkena najis. Dua
syari’at Nabi Musa tersebut di atas tidak berlaku bagi umat Muhammad. Allah mengharamkan
bagi orang Yahudi setiap binatang yang berkuku, sapi dan domba. Syari’at ini tidak berlaku bagi
umat Muhammad. Selin itu juga, terdapat beberapa perbedaan syari’at orang sebelum kita
dengan syari’at kita seperti format ibadah.
1. Menurut Abu Zahrah bberapa ketentuan yang harus di perhatikan dalam   melihat
syari’at orang. Sebelumkita dengan syari’at orang sebelum kita, sehingga syar’u
man qablana itu layak untuk diikuti atau d tinggalkan. Untukmemutuskan itu
sedikitnya ada tiga hal yang harus jadi pertimbangan :
2. 1.  Syari’at orang sebelum kita harus di ceritakan dengan berdasarkan kepada
sumber-sumber yang menjadi pedoman ajaran Islam. Yang tidak dinukil dari
sumber-sumber Islam, makatidak dapat di jadikan hujan bagi umat Islam. Demikian
hasil kesepakatan para fuqaha.
3. 2.  Apabila syari’at orang sebelum kita itu telah di naskh (di hapus), maka tidak
boleh di amalkan. Demikian juga jika terddapat dalil yang menunjukkan kekhususan
bagi umat terdahulu, maka syari’at itu khusus untuk mereka dan tidak berlaku bagi
kita seperti Allah sebagian daging bagi orang bani Israil.
4. 3.  Bahwa di lakukan syariat itu untuk mereka (umat sebelum kita) dan juga berlaku
untuk kita itu di dasari oleh nas islam bukan oleh cerita orang-orang terdahulu.
Seperti kewajiban berpuasa Ramadhan.
5. Sebagian sahabat abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian sahabat Imam
Syafi’i dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat mengatakan bahwa hukum-
hukum yang disebutkan dalam al-qur’an atau sunnah nabi meskipun
tidak  diharamkan untuk umat nabi Muhammad selama tidak ada penjelasan tentang
nasakhnya, maka berlaku pula untuk umat nabi Muhammad.
6. Jadi Syar’u man qablana berlaku bagi kita, apabila syari’at tersebut terdapat dalam
al-qur’an dan hadist-hadist yang shahih dengan alasan :
7. 1.  Dengan tercantumnya syar’u man qablana pada al-qur’an dan sunnah
yang         shahih, maka ia termasuk dalam syari’at samawi
8. 2.  Kebenarannya dalam al-qur’an dan sunnah tanpa diiringin dengan penolakan dan
tanpa nasakh menunjukkan bahwa ia juga berlaku sebagai syari’at nabi Muhmmmad
9. 3.  Sebagai implementasi dari pernyataan bahwa al-qur’an membenarkan kitab-kitab
taurat dan injil
BAB III

KESIMPULAN

Yang dimaksud dengan qaul shahabi ialah pendapat sahabat Rasulullah SAW tentang


suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Alquran
dan sunnah Rasulullah. Sedangkan yang dimaksud dengan sahabat Rasulullah, seperti
dikemukakan oleh Muhammad Ajjaj al-Khatib ahli hadis berkebangsaan Syiria, dalam
karyanya Ushul al-Hadist mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sahabat adalah setiap orang
muslim yang hidup bergaul dengan Rasulullah dalam waktu yang cukup lama serta menimba
ilmu dari Rasulullah.

Dr. Muhammad Sulaiman Abdullah al-Asyqar menambahkan beberapa poin mengenai


macam-macam qaul al-Shahabi ini, di antaranya:

 Perkataan Khulafa ar-Rasyidin dalam sebuah permasalahan. Dalam hal ini para ulama


sepakat untuk menjadikannya hujjah. Sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadits,
”Hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para Khulafa ar-Rasyidin setelahku”
 Perkataan seorang sahabat yang berlandaskan pemikirannya dan ditentang oleh sahabat
yang lainnya. Dalam hal ini sebagian ulama berpendapat bahwa perkataan sahabat ini
tidak bisa dijadikan hujjah.
DAFTAR PUSTAKA

Satria Effendi M. Zein,  Ushul Fiqh, ed. 1, cet. 2, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 169.

Khairul Umam, dkk, Ushul Fiqih I, cet. 2, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hal. 182.

Satria Effendi, ushul fiqh, Jakarta: Kencana, 2009, hlm. 162-163.

Satria Effendi,Ushul Fiqh[Jakarta:KENCANA:2012]Hal.162

Anda mungkin juga menyukai