KELOMPOK 1
Respon imun yang muncul dalam reaksi alergi melalui dua tahap
yaitu tahap sensitisasi alergen dan tahap elisitasi.
a. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih,
stress) atau beban latihan (lari, olah raga).
b. Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut
prevalensinya: ikan 15,4%; telur 12,7%; susu 12,2%; kacang 5,3% dll.
c. c. Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat
menimbulkan reaksi alergi.
Faktor Risiko
a. Riwayat keluarga.
b. Alergi makanan masa lalu. Pada masa anak-anak mungkin seseorang dapat
mengatasi gangguan alergi makanan, namun dalam beberapa kasus, gangguan ini
kembali di kemudian hari.
c. Alergi lain. Jika sudah alergi terhadap satu makanan, mungkin mempunyai risiko
alergi terhadap makanan lainnya. Demikian juga, jika memiliki jenis reaksi alergi
yang lain,seperti demam atau eksim, risiko mengalami alergi makanan lebih besar.
d. Usia. Alergi makanan yang palingumum terjadi pada anak-anak, terutama balita
dan bayi. Ketika bertambah tua, tubuh cenderung untuk menyerap komponen
makanan atau makanan yang memicu alergi. Untungnya, anakanak biasanya
dapat mengatasi alergi terhadap susu, gandum kedelai, dan telur. Alergi parah dan
alergi terhadap kacang-kacangan dan kerang mungkin dapat diderita seumur
hidup.
e. Asma. Asma dan alergi makanan biasanya terjadi bersama-sama. Ketika terjadi,
baik alergi makanan dan atau gejala asma, bisa menjadi lebih parah
KLASIFIKASI ALERGI
Hipersensitifitas tipe I
Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau anafilaktik.
Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan saluran
gastrointestinal.
Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan
kecil hingga kematian. Waktu reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar antigen,
namun terkadang juga dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam.
Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler
utama pada reaksi ini adalah mastosit atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh
keping darah, neutrofil, dan eosinofil.
Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I adalah
tes kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total dan antibodi IgE
spesifik untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi) yang dicurigai. Peningkatan
kadar IgE merupakan salah satu penanda terjadinya alergi akibat hipersensitivitas pada bagian
yang tidak terpapar langsung oleh alergen). Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan
beberapa penyakit nonatopik seperti infeksi cacing, mieloma, dll.
Pengobatan yang dapat ditempuh untuk mengatasi hipersensitivitas tipe I adalah
menggunakan anti-histamin untuk memblokir reseptor histamin, penggunaan Imunoglobulin G
(IgG), hyposensitization (imunoterapi atau desensitization) untuk beberapa alergi tertentu.
Hipersensitifitas tipe II
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi
berupa imunoglobulin G (IgG) dan imunoglobulin E (IgE)
untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks
ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada
sel atau jaringan yang langsung berhubungan dengan
antigen tersebut.
Pada umumnya, antibodi yang langsung
berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat
patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target sel.
Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen
(atau reaksi silang) yang berikatan dengan antibodi sel
sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan.
Hipersensitifitas tipe III
Hipersensitivitas tipe III merupakan
hipersensitivitas kompleks imun. Hal ini disebabkan
adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang
kecil dan terlarut di dalam jaringan. Hal ini ditandai dengan
timbulnya inflamasi atau peradangan.
Pada kondisi normal, kompleks antigen-antibodi
yang diproduksi dalam jumlah besar dan seimbang akan
dibersihkan dengan adanya fagosit. Namun, kadang-
kadang, kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau antigen
(spora fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang persisten
akan membuat tubuh secara otomatis memproduksi
antibodi terhadap senyawa asing tersebut sehingga terjadi
pengendapan kompleks antigen-antibodi secara terus-
menerus.
Hipersensitifitas tipe IV
Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai
hipersensitivitas yang diperantarai sel atau tipe lambat
(delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan
jaringan oleh sel T dan makrofag. Waktu cukup lama
dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi dan diferensiasi
sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag
dan leukosit lain pada daerah yang terkena paparan.
Beberapa contoh umum dari hipersensitivitas tipe IV
adalah hipersensitivitas pneumonitis, hipersensitivitas
kontak (kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe
lambat kronis (delayed type hipersensitivity, DTH).
TERAPI
Penanganan gangguan alergi berlandaskan pada empat dasar:
1. Menghindari allergen
2. Terapi farmakologis
a. Adrenergik Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah
katelokamin ( epinefrin, isoetarin, isoproterenol, bitolterol ) dan
nonkatelomin ( efedrin, albuterol, metaproterenol, salmeterol,
terbutalin, pributerol, prokaterol dan fenoterol ). Inhalasi dosis
tunggal salmeterol dapat menimbulkan bronkodilatasi
sedikitnya selam 12 jam, menghambat reaksi fase cepat
maupun lambat terhadap alergen inhalen, dan menghambat
hiperesponsivitas bronkial akibat alergen selama 34 jam.
b. Antihistamin Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing
dengan histamin pada reseptor di berbagai jaringan. Karena
antihistamin berperan sebagai antagonis kompetitif mereka
lebih efektif dalam mencegah daripada melawan kerja
histamine.
C. Kromolin Sodium Kromolin sodium adalah garam disodium
1,3-bis-2-hidroksipropan. Zat ini merupakan analog kimia obat
khellin yang mempunyai sifat merelaksasikan otot polos. Obat ini
tidak mempunyai sifat bronkodilator karenanya obat ini tidak
efektif unutk pengobatan asma akut. Kromolin paling bermanfaat
pada asma alergika atau ekstrinsik.