Anda di halaman 1dari 15

Journal Reading I Kepada Yth.

Frekuensi dan Dampak Infark Serebri pada


Pasien dengan Meningitis Tuberkulosis

Oleh

Presentan : dr. Aulia Noza


Pembimbing : dr. Restu Susanti, Sp.S (K), M.Biomed
Moderator : dr. Fanny Adhy Putri, Sp.N
Opponent : dr. Rahmi Ulfa
dr. Yulia Trisna
Hari/Tanggal : Rabu, 6 Januari 2021

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS NEUROLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL
PADANG 2021
DAFTAR SINGKATAN

ADO : Obat Antidiabetik Oral


AOR : Adjusted Odds Ratio
CT : Computerized Tomography
FLAIR : Fluid Attenuated Inversion Recovery
HIV : Human Immunodeficiency Virus
LCS : Cairan serebrospinal atau Liquor Cerebrospinalis
MRA : Magnetic Resonance Angiogram
MRI : Magnetic Resonance Imaging
mRS : modified Rankin Scale
MRV : Magnetic Resonance Venogram
MTB : Meningitis Tuberkulosis
OAT : Obat Antituberkulosis
OR : Odds Ratio
USG : Ultrasonography

1
Frekuensi dan Dampak Infark Serebri pada Pasien dengan Meningitis Tuberkulosis
Wasay M, dkk. Stroke. 2018;49:2288-2293

Abstrak
Pendahuluan dan Tujuan: Infark serebri masih menjadi komplikasi pada kasus
meningitis tuberkulosis (MTB) dan memperberat luaran pasien. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengevaluasi faktor prediktor terjadinya infark serebri pada pasien MTB dan
menilai dampaknya terhadap mortalitas

Metode: Studi ini berdasarkan data retrospektif dari rekam medis seluruh pasien MTB
yang dirawat di rumah sakit tersier diantara tahun 2002 dan 2013. Data yang dikumpulkan
meliputi data demografi dasar (usia, jenis kelamin dll), faktor resiko vaskular, gambaran
radiologis, severitas MTB, dan luaran neurologis. Data dianalisis menggunakan SPSS versi
19.0. Regresi logistik biner digunakan untuk menentukan faktor prediktor infark serebri
dan mortalitas pada pasien MTB.

Hasil: Sebanyak 559 pasien dirawat dengan MTB selama masa penelitian. Rerata usia
pasien adalah 41,9 tahun (SD, 17,7 tahun) dan 47% adalah perempuan. Seperempat pasien
menderita MTB stadium III. Seratus empat puluh empat (25,8%) pasien mengalami infark
serebri pada pencitraan otak dimana tiga perempatnya bersifat akut atau subakut. Pasien
dengan infark serebri lebih cenderung berusia > 40 tahun (Adjusted Odds Ratio [AOR],
1,7; 95% CI, 1,1-2,7) memiliki hipertensi (AOR, 1,8; 95% CI, 1,1-2,8), dislipidemia
(AOR, 9,7; 95% CI, 3,8-24,8), dan diabetes melitus (AOR, 2,2; 95% CI, 1,3–3,6). Adanya
infark serebri merupakan prediktor independen dari mortalitas pada pasien dengan MTB
(AOR, 2.1; 95% CI, 1.22-3.5).

Kesimpulan: Infark serebri masih menjadi komplikasi pada sebagian besar kasus MTB.
Faktor risiko vaskular konvensional merupakan prediktor paling penting dari infark
serebri. Sehingga, upaya di masa depan perlu difokuskan pada pasien dengan resiko tinggi
ini untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas.

2
PENDAHULUAN
Tuberkulosis masih menjadi penyebab utama untuk morbiditas dan mortalitas di
seluruh dunia dan saat ini memiliki peringkat yang lebih tinggi dibandingkan HIV.1
Terdapat sekitar 10,4 juta kasus insiden tuberkulosis di seluruh dunia pada tahun 2016 dan
sekitar 1,7 juta kematian akibat tuberkulosis.2 Meskipun telah terjadi penurunan terkait
beban penyakit selama beberapa tahun terakhir, hingga saat ini hampir setengah dari
seluruh kasus tuberkulosis masih terjadi di Asia Tenggara. Pakistan menempati urutan
tertinggi kelima dalam beban tuberkulosis dan menyumbang 5% dari kasus tuberkulosis di
seluruh dunia.
Meningitis tuberkulosis (MTB) merupakan salah satu bentuk tuberkulosis (TB)
ekstra paru yang paling berat. Karena sulitnya diagnosis dan pelaporan yang kurang, beban
sebenarnya dari MTB masih belum diketahui. Namun, diperkirakan berkorelasi dengan
prevalensi tuberkulosis secara keseluruhan.3 Infark serebri merupakan komplikasi yang
banyak terjadi pada pasien ini, dengan perkiraan berkisar antara 6% dan 47% dari seluruh
kasus MTB.4 Kejadian infark serebri merupakan salah satu prediktor utama untuk
terjadinya disabilitas permanen pada pasien MTB.5 Dalam penelitian terbaru kami pada
404 kasus MTB, kami melaporkan luaran yang buruk terkait dengan adanya infark serebri
pada pencitraan.6
Mekanisme infark pada pasien MTB, hingga kini belum dipahami dengan baik.
Beberapa patogenesis berbeda diajukan termasuk adanya vaskulitis, trombosis arteri dan
proliferasi vaskular.7 Sehingga, meskipun infark serebri merupakan prediktor penting pada
luaran pasien MTB, tidak ada strategi terapeutik efektif yang disepakati untuk
pencegahannya. Pemberian kortikosteroid dan asam asetil salisilat telah dievaluasi dan
tidak ada yang terbukti efektif sebagai terapi preventif terhadap infark serebri.8,9
Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi faktor prediktor infark serebri pada pasien
MTB untuk lebih memahami mekanisme yang berpotensi menyebabkan stroke pada pasien
ini. Tujuan kedua adalah untuk mengevaluasi dampak infark serebri pada morbiditas dan
mortalitas pasien MTB dengan sampel yang lebih besar. Identifikasi mekanisme potensial
penyebab infark dapat membantu untuk menentukan pilihan terapi yang tepat.

METODE
3
Desain dan Subjek Penelitian
Penelitian ini merupakan studi analitik cross-sectional, berdasarkan data
retrospektif dari rekam medis. Semua pasien yang dirawat di rumah sakit Universitas Aga
Khan, Karachi, Pakistan, selama periode 12 tahun (2002-2013) dengan diagnosis MTB
dimasukkan dalam penelitian. Istilah pencarian dan kode International Classification of
Diaseases (ICD) berikut digunakan untuk mengidentifikasi kasus MTB dari rekam medis:
(tuberculosis meningitis), 01320 hingga 01326 (tuberculosis brain), 01330 hingga 01336
(tuberculous abscess of brain), 01380 hingga 01386 (other specified tuberculosis of
central nervous system), dan 01390 hingga 01396 (unspecified tuberculosis of central
nervous system). Setelah kasus didentifikasi, rekam medis diperiksa secara detail untuk
mengumpulkan informasi. Kriteria diagnostik untuk tuberkulosis Sistem Saraf Pusat (SSP)
yang digunakan pada telah dibahas dalam publikasi sebelumnya.6 Secara singkat, kami
memasukkan pasien jika terdapat hasil hapusan atau kultur cairan serebrospinal (LCS)
positif untuk tuberkulosis, atau biopsi lesi menunjukkan adanya Mycobacterium
tuberculosis atau nekrosis kaseosa dan granuloma, atau terdapat biopsi atau kultur yang
membuktikan adanya tuberkulosis ekstrakranial dengan hasil analisa LCS abnormal dan
lesi di otak pada pemeriksaan radiologis, atau jika terdapat hasil pemeriksaan LCS
abnormal atau lesi di otak yang memberikan respon terhadap pemberian terapi obat
antituberkulosis (OAT).

Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel


Data dikumpulkan pada variabel-variabel berikut:
 Data demografi dasar, usia, jenis kelamin
 Faktor risiko vaskular:
- Hipertensi: didefinisikan sebagai tekanan darah (TD) > 140 (sistolik) dan 90
(diastolik) pada pengukuran berulang selama rawat inap atau jika pasien menerima
obat antihipertensi selama dirawat di rumah sakit.
- Diabetes mellitus (DM): adanya riwayat DM yang dilaporkan sendiri oleh pasien
atau kadar gula darah puasa ≥ 120 mg/dL, atau jika pasien mendapat terapi obat
antidiabetik oral (ADO) atau insulin selama dirawat di rumah sakit.

4
- Dislipidemia: serum kolesterol total saat puasa ≥ 200 mg/dL, dan serum low-
density lipoproteins (LDL) ≥ 100 mg/dL, dan serum high-density lipoproteins ≤ 40
mg/dL, atau jika pasien mendapat terapi obat penurun kolesterol selama dirawat.
- Merokok: merokok dianggap sebagai faktor risiko jika pasien telah merokok ≥ 10
batang rokok setiap hari selama > 10 tahun.
 Status HIV pasien
 Infark didefinisikan sebagai area hipodens pada ≥ 1 teritori arteri pada pemeriksaan
Computerized Tomography (CT) scan kepala tanpa kontras. Pada Magnetic Resonance
Imaging (MRI), infark didefinisikan sebagai area dengan intensitas sinyal abnormal
pada ≥ 1 teritori vaskular tanpa efek massa. Lesi harus hipointens pada sekuens T1 serta
hiperintens pada sekuens T2 dan Fluid Attenuated Inversion Recovery (FLAIR).10

Seluruh hasil pencitraan diinterpretasikan oleh ahli radiologi dengan keahlian di bidang
neuroradiologi.
 Severitas MTB saat awal masuk rumah sakit diklasifikasikan berdasarkan kriteria
Modified British Research Council.11
 Disabilitas neurologis diukur dengan menggunakan modified Rankin Score (mRS) saat
pasien masuk dan keluar rumah sakit.12

Analisis Data
Data dianalisis menggunakan SPSS versi 19. Statistik deskriptif dilaporkan sebagai
median dengan rentang interkuartil untuk variabel kuantitatif dan sebagai frekuensi untuk
variabel kategori. Regresi logistik univariat digunakan untuk menilai hubungan antara
infark serebri dan berbagai faktor risiko, termasuk severitas MTB. Variabel dengan nilai P
< 0,2 dalam analisis univariat diikutkan dalam analisis regresi logistik multivariat. Regresi
logistik bertahap kemudian dilakukan untuk menentukan variabel yang berhubungan
secara independen dengan adanya infark pada pasien MTB. Analisis serupa dilakukan
untuk menentukan prediktor mortalitas pada pasien dengan infark serebri. Selain itu,
dilakukan analisis survival menggunakan uji log-rank. Nilai P < 0,05 dianggap signifikan
secara stastitik.
Seluruh pasien yang dirawat di Rumah Sakit Universitas Aga Khan telah
menandatangani persetujuan bahwa data mereka dapat digunakan untuk penelitian. Studi
ini telah disetujui oleh komite etik Universitas Aga Khan.

5
HASIL
Sebanyak 559 pasien dirawat di rumah sakit kami dengan diagnosis MTB diantara
Januari 2002 dan Desember 2013. Rerata usia pasien adalah 41,9 tahun (SD, 17,7 tahun)
dan 47% pasien adalah perempuan. Hanya 49 pasien yang menjalani pemeriksaan HIV
dan hanya 1 pasien dengan hasil yang positif.
Distribusi data berdasarkan severitas MTB hampir sama untuk stadium I dan II
(212, 37.9% dan 211, 37.7%). Sebanyak 136 (24,3%) pasien diklasifikasikan sebagai MTB
stadium III. Tuberkuloma ditemukan pada 206 (36,9%) pasien. Dua ratus empat belas
pasien (38,3%) mengalami defisit motorik saat awal masuk rumah sakit. Data karakteristik
pasien MTB dengan infark serebi dideskripsikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Pasien Meningitis Tuberkulosis dengan Infark Serebri (n=144)

Seluruh pasien mendapat 4 regimen OAT yang terdiri dari rifampisin, isoniazid,
etambutol, dan pirazinamid dalam dosis standar selama 3 sampai 4 bulan dan kemudian
dilanjutkan 3 regimen OAT (tidak termasuk etambutol atau pirazinamid) selama 9 sampai
12 bulan. Terapi OAT dihentikan sebagian atau seluruhnya pada 34 pasien, sebagian besar
diakibatkan oleh hepatotoksisitas. Lebih dari 90% pasien mendapat terapi OAT selama 1
tahun. Streptomisin digunakan pada 44 pasien dikombinasikan dengan OAT lainnya.

6
Gambaran Radiologis
Seluruh 559 pasien menjalani pemeriksaan pencitraan. Dokter neuroradiologi
terlatih melakukan interpretasi pada 661 pemeriksaan pertama (CT = 209; MRI = 452),
105 pemeriksaan kedua (CT = 52; MRI = 53), dan 21 pemeriksaan ketiga (CT = 14; MRI =
7). Magnetic Resonance Angiogram (MRA) dan Magnetic Resonance Venogram (MRV)
hanya dilakukan pada 67 pasien. Tidak ada pasien yang menjalani pemeriksaan CT
angiogram atau angiogram serebral.
Sebanyak 144 pasien (25,8%) mengalami infark serebri pada pencitraan otak.
Seratus lima pasien mengalami infark akut atau subakut, yang berarti infark terjadi saat
MTB aktif. Sisanya mengalami infark kronis. Pada 25 dari 105 pasien tidak terdapat infark
pada pemeriksaan CT atau MRI awal, tetapi infark ditemukan pada pemeriksaan lanjutan.
Dari 144 pasien dengan infark, lebih dari setengahnya memiliki infark multipel
pada pencitraan. Delapan puluh persen lesi terletak di regio supratentorial. Mayoritas
infark terletak di substansia alba subkortikal, dengan sekitar seperlima di antaranya terletak
di ganglia basalis/talamus dan batang otak/serebelum. Hanya 12,9% dari infark yang
berada di area lobus serebri. Tuberkuloma, hidrosefalus, dan penyengatan basal adalah
temuan umum lainnya pada pasien dengan infark (Tabel 2).

Tabel 2. Gambaran Radiologis pada Pasien MTB dengan Infark Serebri (n=144)

7
Prediktor Infark Serebri
Kami membandingkan karakteristik 144 pasien dengan infark pada pencitraan
dengan 415 pasien tanpa infark. Pasien dengan infark secara signifikan berusia lebih tua
(50 versus 35 tahun) dan secara signifikan lebih mungkin untuk memiliki faktor risiko
konvensional seperti diabetes mellitus, hipertensi, dan dislipidemia. Lima ratus dua belas
pasien (91% dari total kasus MTB) mendapat terapi steroid dalam jangka waktu 4 hingga 6
minggu.
Regresi logistik multivariat menunjukkan usia > 40 tahun, hipertensi (Adjusted
Odds Ratio [AOR] = 1,7; 95% CI, 1,1-2,8), dislipidemia (AOR = 9,7; 95% CI, 3,8-24,8),
dan diabetes mellitus (AOR = 2.2; 95% CI, 1.3–3.6) merupakan prediktor independen dari
infark serebri ketika variabel lain telah dikontrol (Tabel 3). Sebagian besar pasien (58%)
dengan infark serebri mengalami tuberkulosis paru aktif. Namun, hal ini menjadi tidak
signifikan setelah semua faktor lain disesuaikan. Selain itu, pemberian terapi steroid tidak
berpengaruh pada perkembangan infark serebri.

Tabel 3. Faktor yang Berhubungan dengan Infark Serebri pada Pasien MTB (n=144)

Prediktor Mortalitas
Dari 559 pasien, 77 (13,8%) meninggal selama dirawat di rumah sakit dan 35
pasien (45% dari jumlah total pasien meninggal) mengalami stroke saat pemeriksaan
pencitraan. Adanya infark serebri merupakan prediktor independen mortalitas pada pasien
dengan MTB (AOR, 2.1; 95% CI, 1.22-3.5).
Diabetes mellitus dan tuberkuloma merupakan prediktor independen mortalitas
pada pasien dengan infark serebri. Tidak ada satu pun dari gambaran radiologis, termasuk
lokasi infark, penyengatan basal, dan hidrosefalus berhubungan dengan mortalitas pada

8
pasien dengan infark (Tabel 4). Kami juga melakukan analisis survival menggunakan uji
log-rank tetapi tidak menemukan perbedaan yang signifikan antara waktu kelangsungan
hidup pasien dengan dan tanpa infark (Gambar 1).

Tabel 4. Faktor yang Berhubungan dengan Mortalitas pada Pasien MTB dengan Infark Serebri (n=144)

DISKUSI
Pada studi kami terhadap 559 kasus MTB, kami telah menunjukkan bahwa infark
serebri terjadi pada 26% pasien. Lokasi yang paling sering terkena adalah substansia alba
subkortikal diikuti oleh ganglia basalis dan talamus. Prediktor utama untuk infark pada
pasien kami adalah faktor risiko klasik meliputi usia, hipertensi, diabetes mellitus, dan
dislipidemia. Setelah mengontrol faktor prediktor lainnya, didapatkan bahwa infark serebri
berhubungan secara independen dengan luaran yang buruk dalam hal disabilitas fungsional
dan kematian. Tuberkuloma dan diabetes mellitus juga merupakan prediktor utama
mortalitas pada pasien dengan infark.
Beberapa mekanisme perkembangan infark telah diusulkan pada pasien yang
mengalami MTB. Eksudat basal dianggap sebagai penyebab utama iskemia. 13 Eksudat
inflamasi ini menyebabkan terjadinya vaskulitis, trombosis, serta vasospasme dan
strangulasi pembuluh darah yang melewati basis cranium.14 Terdapat beberapa bukti yang
mendukung pendapat bahwa stroke (infark) yang terjadi pada fase awal perjalanan
penyakit merupakan efek sekunder dari vasospasme dan vaskulitis, sementara infark yang
muncul kemudian disebabkan oleh proliferasi tunika intima. Mekanisme lain yang
diajukan adalah kondisi protrombotik yang terlihat lebih banyak terjadi pada pasien MTB
stadium III.16 Asam asetil salisilat telah dievaluasi sebagai terapi preventif potensial pada
kondisi ini.9
Area tertentu di otak juga menjadi predileksi untuk berkembangnya infark. Area ini
disebut sebagai zona tuberkulosis yang meliputi ganglia basalis, kapsula interna, dan
9
talamus.17 Pola ini terlihat karena eksudat MTB biasanya paling berat terjadi di area
sirkulus Willisi. Namun, temuan kami berbeda dengan laporan sebelumnya. Kami
menemukan jumlah infark terbanyak di substansia alba subkortikal dan hanya seperlima di
ganglia basalis dan talamus. Hal ini menunjukkan kemungkinan terdapat mekanisme
iskemia non-inflamasi lainnya pada kasus ini.15 Salah satu hipotesis yang mungkin adalah
bahwa inflamasi vaskulitis pada fase awal MTB diikuti oleh proses proliferatif pada tunika
intima, yang menyebabkan terjadinya stenosis dan iskemia. 18 Serta, kurang dari seperlima
pasien kami memiliki lesi di batang otak dan serebelum yang juga konsisten dengan
temuan dari beberapa penelitian lainnya.10.

Gambar 1. Analisis Survival pada Meningitis Tuberkulosis

Kami juga menganalisis prediktor infark pada populasi pasien ini dan menemukan
bahwa faktor risiko klasik, seperti usia, diabetes mellitus, hipertensi, dan dislipidemia,
merupakan determinan yang paling penting. Kami tidak berhasil menemukan adanya
hubungan faktor terkait MTB lainnya, seperti eksudat di basal, hidrosefalus, dan
tuberkuloma dengan kejadian stroke pada pasien. Temuan ini konsisten dengan sebuah
studi dari India dimana pada analisis univariat terdapat faktor yang berhubungan dengan
tuberkulosis, tetapi dalam analisis multivariat hanya usia yang bermakna signifikan.10 Usia
10
ditemukan sebagai satu-satunya prediktor stroke pada pasien MTB pada studi lainnya di
India.9
Namun studi lain yang mengevaluasi prediktor stroke pada pasien MTB
menemukan hubungan yang bermakna antara stroke dan hipertensi, stadium meningitis,
adanya hidrosefalus, dan eksudat. 13 Namun tidak satupun dari faktor tersebut signifikan.
setelah dilakukan analisis regresi multivariat. Temuan ini mungkin disebabkan ukuran
sampel penelitian yang lebih kecil dibandingkan dengan penelitian kami. Sebuah studi
pada 507 kasus MTB, mengembangkan model prediksi untuk luaran buruk pada MTB dan
menemukan perubahan kesadaran, diabetes mellitus, imunosupresi, defisit neurologis,
hidrosefalus, dan vaskulitis sebagai prediktor yang signifikan. 19 Pada studi ini infark tidak
dibuktikan secara radiologis, berbeda dengan kasus infark pada penelitian kami. Kami
tidak berhasil menemukan penelitian lain yang lebih besar yang mengevaluasi prediktor
infark serebri pada kasus MTB.
Penelitian kami juga menemukan bahwa infark serebri pada MTB merupakan
prediktor independen dari luaran fungsional yang buruk dan mortalitas pada pasien,
temuan ini juga didukung oleh beberapa penelitian sebelumnya.13,20,21
Pemeriksaan HIV dilakukan pada < 10% pasien dan hanya satu pasien yang
mendapat hasil positif. Frekuensi ini rendah tetapi tidak mengejutkan karena prevalensi
HIV sangat rendah pada pasien tuberkulosis di Pakistan. Sebuah penelitian berbasis
populasi besar pada 12.000 pasien tuberkulosis terkonfirmasi menemukan hanya 42
(0,34%) pasien dengan HIV positif.22 Hal ini kemungkinan menyebabkan status HIV tidak
dievaluasi pada sebagian besar pasien kami dengan meningitis tuberculosis.
Intervensi terapi untuk mengurangi komplikasi MTB termasuk infark meliputi
pemberian steroid dan antiplatelet. Saat ini sudah terbukti bahwa kortikosteroid dapat
menurunkan mortalitas pada pasien MTB.23 Namun, apakah kortikosteroid mengurangi
kejadian stroke belum sepenuhnya dievaluasi. Dua penelitian terbaru, 1 pada populasi
24
pediatri dan 1 pada orang dewasa, mengeksplorasi penggunaan tambahan asam asetil
salisilat pada pasien MTB.9 Hasil dari 2 penelitian ini tidak cukup konklusif untuk
mempengaruhi pedoman saat ini. Namun, terdapat kecenderungan kejadian stroke yang
lebih sedikit dengan pemberian aspirin pada populasi orang dewasa.
Data mengenai prediktor dan terapi tersebut mengarahkan kami untuk mengajukan
mekanisme yang lebih kompleks dalam perkembangan stroke pada MTB, di mana jalur
terakhir yang penting adalah percepatan terjadinya aterosklerosis. Hal ini mungkin tetap
11
diawali dengan vaskulitis yang terlihat pada MTB, tetapi kemudian terjadi proses
aterosklerotik yang lebih bergantung pada faktor risiko kardiovaskular konvensional. Hal
ini didukung oleh temuan pada studi kami, di mana prediktor utama terjadinya infark
maupun mortalitas adalah faktor risiko kardiovaskular, seperti diabetes mellitus dan
hipertensi. Hal ini juga dapat menjelaskan lokasi infark tebanyak terdapat pada substansia
alba subkortikal yang merupakan lokasi umum terjadinya aterosklerotik lakunar.
Sebuah tinjauan terbaru pada populasi Asia Selatan melaporkan faktor risiko
vaskular konvensional sangat umum ditemukan, namun faktor terkait infeksi juga
dinyatakan sebagai kontributor penting terjadinya stroke pada pasien MTB di wilayah
tersebut. Studi kami menunjukkan adanya tumpang tindih yang unik antara faktor risiko
infeksi dan non infeksi yang berkontribusi terhadap perkembangan infark pada pasien.25
Selain itu, pasien yang mengalami infark memiliki luaran yang lebih buruk
dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalami infark, terlepas dari stadium MTB.
Faktor risiko kardiovaskular konvensional sekali lagi menjadi prediktor mortalitas yang
lebih penting pada pasien MTB dengan infark. Luaran yang buruk juga ditemukan pada
penelitian lainnya. 10,13,20,21
Studi kami memiliki beberapa keterbatasan. Penelitian ini bersifat retrospektif,
berdasarkan tinjauan data rekam medis yang membawa semua keterbatasan pada sebuah
studi observasional. Apabila penelitian dilakukan secara prospektif, akan memungkinkan
kami untuk mengidentifikasi insidens stroke pada MTB dan menentukan pada stadium
berapa kemungkinan besar stroke akan terjadi. Hal ini dapat memberikan informasi lebih
lanjut mengenai perbedaan mekanisme stroke pada berbagai stadium MTB. Keterbatasan
lainnya adalah pemeriksaan MRI tidak dilakukan pada seluruh pasien. Modalitas
pencitraan yang berbeda dapat mempengaruhi sensitivitas diagnosis infark, terutama pada
area batang otak.26 Selain itu, pemeriksaan CT scan tidak dapat dijadikan patokan dalam
menentukan usia infark. Pemeriksaan CT angiografi juga hanya dilakukan pada beberapa
kasus, sehingga kami tidak dapat menyimpulkan mengenai adanya proses aterosklerotik
setidaknya pada pembuluh darah besar. Mayoritas pasien dengan infark tidak menjalani
pemeriksaan stroke dasar, termasuk USG karotis, echokardiografi, dan terkadang bahkan
pemeriksaan elektrokardiografi. Pemeriksaan fungsi koagulasi tidak dilakukan pada
seluruh pasien.
Meskipun infark serebri dilaporkan sebagai prediktor independen dari mortalitas
pada pasien dengan MTB, hal ini tidak berpengaruh pada survival pasien MTB dengan
12
infark serebri dibandingkan dengan pasien MTB tanpa infark berdasarkan analisis Kaplan-
Meier. Hasil dari kedua uji ini berbeda karena perbedaan teknik yang digunakan. Pada
Tabel 3 (regresi logistik biner) digunakan variabel yang bersifat dikotomis sebagai luaran
sedangkan pada analisis Kaplan-Meier luaran berupa waktu kelangsungan hidup (survival
time). Sehingga memungkinkan didapatkan hasil frekuensi mortalitas yang berbeda secara
statistik pada kedua kelompok (uji regresi logistik biner), sementara tidak didapatkan
perbedaan signifikan waktu kelangsungan hidup (survival time) pada kedua kelompok (uji
log-rank).
Terlepas dari keterbatasan ini, studi kami merupakan penelitian pada pasien MTB
dan stroke dengan MTB dengan jumlah data terbesar hingga saat ini. Meskipun telah
dilakukan penelitian sebelumnya untuk mengidentifikasi prediktor infark pada pasien
MTB, jumlah pasien MTB hanya sedikit yang menyebabkan data pasien MTB dengan
stroke bahkan lebih sedikit lagi. Akibatnya, tidak ada faktor resiko yang dievaluasi dalam
studi tersebut yang mencapai signifikansi statistik. Penelitian kami juga unik karena untuk
pertama kalinya didapatkan data ekstensif tentang faktor risiko lain untuk infark serebri
pada pasien MTB dan terbukti memiliki pengaruh yang signifikan tidak hanya pada
kejadian infark tetapi juga pada mortalitas. Studi kami menunjukkan bahwa pasien dengan
faktor risiko kardiovaskular konvensional harus ditatalaksana secara agresif sehubungan
dengan faktor risiko ini untuk menghindari perkembangan stroke.

KESIMPULAN DAN PENELITIAN LEBIH LANJUT


Penelitian kami menunjukkan bahwa infark serebri masih menjadi komplikasi pada
seperempat kasus MTB dan menyebabkan luaran yang buruk. Infark lebih mungkin terjadi
pada pasien dengan faktor risiko vaskular. Namun, perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut
mengenai peranan MTB itu sendiri sebagai penyebab infark melalui penelitian kasus
kontrol dengan matching pada faktor usia dan jenis kelamin. Untuk saat ini, kami
merekomendasikan identifikasi dan tatalaksana agresif faktor risiko ini pada seluruh pasien
dengan MTB. Selain itu, perlu dilakukan uji klinis acak pada populasi berisiko tinggi ini
untuk mengevaluasi peranan antiplatelet dalam pencegahan stroke pada pasien MTB.
Aspirin telah terbukti memiliki beberapa efek menguntungkan. Pemberian antiplatelet lain
seperti cilostazol, dengan komplikasi hemoragik yang lebih sedikit, juga berpotensi untuk
diteliti lebih lanjut.

13
14

Anda mungkin juga menyukai