Referat Efek Samping Obat Antipsikotik
Referat Efek Samping Obat Antipsikotik
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Antipsikotik
Obat antipsikotik adalah obat-obatan yang menghambat reseptor dopamine tipe 2 (D2). Indikasi
utama untuk pemakaian obat adalah terapi skizofrenia dan gangguan psikotik lainnya. 2
Obat yang digunakan untuk psikosis memiliki banyak sebutan yaitu anti psikotik, neuroleptik
dan mayor transquilizer. Anti psikotik digunakan untuk mengatasi gejala akibat gangguan mental
yang berat seperti skizofrenia, gangguan delusional, gangguan afektif berat, dan gangguan
psikosis organik. Neuroleptika konvensional umumnya dapat mengurangi gejala positif, seperti :
halusinasi, waham, tidak kooperatif, dan gangguan alam berpikir seperti loncat pikir/ flight of
ideas maupun inkoherensi. Gejala positif skizofrenia tersebut bereaksi secara lebih responsif
terhadap obat anti psikotik, sedang gejala negatifnya, seperti : pendataran afek, apatis, anhedonia
dan blokade diri ternyata lebih sulit diatasi. Namun sekarang sudah ditemukan derivat baru untuk
mengatasi gejala negatif tersebut. Obat-obatan jenis ini dikelompokkan dalam “Neuroleptika-
aspesifik”.
2.2 Jenis - Jenis Antipsikotik
Berdasarkan rumus kimianya, obat-obat antipsikotik dibagi menjadi golongan fenotiazin
misalnya chlorpromazine, dan golongan nonfenotiazine contohnya haloperidol. Sedangkan
menurut cara kerjanya terhadap reseptor Dopamin dibagi menjadi Dopamine receptor Antagonist
(DA) dan Serotonine Dopamine Antagonist (SDA). Obat-obat DA juga sering disebut dengan
antipsikotik tipikal, dan obat-obat SDA disebut juga dengan antipsikotik atipikal. Golongan
fenotiazine disebut juga obat berpotensi rendah (low potency), sedangkan golongan non
fenotiazine disebut obat-obat potensi tinggi (high potency) karena hanya memerlukan dosis kecil
untuk memperoleh efek yang setara dengan Chlorpromazine 100 mg. Obat-obat SDA makin
berkembang dan makin menjadi pilihan karena efek klinis yang diperoleh setara dengan obat-
obat konvensional disertai dengan efek samping yang jauh lebih ringan. Obat-obat jenis ini
antara lain, Risperidon, Clozapine, Olanzapin, Quetiapin, Ziprazidon, dan aripripazol. Klasifikasi
kemudian dibuat lebih sederhana dengan membaginya menjadi antipsikotik generasi I (APG-I)
untuk obat-obat golongan antagonis Dopamin (DA) dan antipsikotik generasi II (APG-II) untuk
obat-obat golongan serotonin dopamin antagonis (SDA).
Obat-obat anti psikotik ini terbagi atas dua golongan besar, yaitu :
I. Obat anti psikotik tipikal
1. Phenothiazine
• Rantai aliphatic: CHLORPROMAZINE
LEVOMEPROMAZINE
• Rantai piperazine : PERPHENAZINE
TRIFLUOPERAZINE
FLUPHENAZINE
• Rantai piperidine : THIORIDAZINE
2. Butyrophenone : HALOPERIDOL
3. diphenyl-butyl-piperidine : PIMOZIDE
II. obat anti psikotik atipikal
1. Benzamide : SULPIRIDE
2. Dibenzodiazepine CLOZAPINE
OLANZAPINE
QUETIAPINE
3. Benzisoxazole : RISPERIDON
3. Efek Hematologis
Gangguan hematologis yang membahayakan yang dapat terjadi akibat pemakaian antipsikotik
tipikal seperti chlorpromazine, thioridazine dan pada hampir semua antipsikotik adalah
agranulositosis. Agranulositosis adalah suatu kumpulan gejala yang ditandai dengan penurunan
bermakna jumlah granulosit yang beredar, neutropeni berat yang menimbulkan lesi-lesi di
tenggorokan, selaput lendir lain, saluran cerna dan kulit. Pada kebanyakan kasus, gejala ini
disebabkan oleh sensitasi terhadap obat-obatan, zat kimia, radiasi yang mempengaruhi sumsum
tulang dan menekan granulopoiesis.
Agranulositosis paling sering terjadi selama tiga bulan pertama terapi dengan insidensi sekitar 5
dari 10.000 pasien yang diobati dengan antipsikotik. Jika pasien melaporkan adanya suatu nyeri
tenggorokan atau demam, hitung darah lengkap harus segera dilakukan untuk memeriksa
kemungkinan terjadinya agranulositosis. Jika indeks darah rendah, antipsikotik harus segera
dihentikan. Angka mortalitas dari komplikasi setinggi 30%. 1
5. Efek Endokrin
Penghambatan reseptor dopamine pada saluran tuberinfundibular menyebabkan peningkatan
sekresi prolaktin, yang dapat menyebabkan pembesaran payudara, galaktorea, impotensi pada
laki-laki, dan amenore serta penghambatan orgasme pada wanita. Untuk mengatasi efek samping
tersebut dapat dilakukan penggantian obat antipsikotik yang diberikan. Pada keadaan impotensi
sebagai efek obat dapat diberikan bromokriptin. Untuk gangguan pada orgasme maupun
penurunan libido dapat diberikan brompheniramine (bromfed), ephedrine (Primatene),
phenylpropanolamin (Comtrex), midrione, dan imipramin (tofranil). Priapisme dan laporan
orgasme yang nyeri juga dilaporkan, kemungkinan kedua hal tersebut terjadi akibat aktivitas
antagonis adrenergic α1. Peningkatan berat badan juga merupakan efek endokrin yang paling
sering terjadi akibat penggunaan antipsikotik tipikal. Peningkatan berat badan nantinya akan
menjadi resiko terjadinya DM tipe 2, hipertensi dan dislipidemia. Peningkatan berat badan juga
didapatkan karena adanya blok pada reseptor 5 HT2c1,5,8.
6. Efek Dermatologis
Dermatitis alergik dan fotosensitivitas dapat terjadi pada sejumlah kecil pasien, paling sering
terjadi pada mereka yang menggunakan antipsikotik tipikal potensi rendah, khusunya
chlorpromazine. Berbagai erupsi kulit seperti urtikaria, makulopapular, peteki, dan erupsi
edematous telah dilaporkan. Erupsi terjadi pada awal terapi, biasanya dalam minggu pertama dan
menghilang dengan spontan. Pasien harus diperingatkan tentang efek tersebut, yaitu agar tidak
berada dibawah sinar matahari lebih dari 30-60 menit, dan harus menggunakan tabir surya.
Penggunaan chlorpromazine juga disertai beberapa kasus diskolorasi biru-kelabu pada kulit pada
daerah yang terpapar dengan sinar matahari. 1
8. Ikterus
Ikterus obstruktif atau kolestatik adalah suatu efek samping yang relative jarang terjadi dalam
penggunaan antipsikotik tipikal. Biasanya ikterus muncul pada bulan pertama terapi dan ditandai
oleh nyeri abdomen bagian atas, mual, muntah, gejala mirip flu, demam, ruam, bilirubin pada
urin dan peningkatan bilirubin serum, alkali fosfatase dan transaminase hati. Jika ikterus terjadi,
maka terapi harus diberhentikan dan diganti. Ikterus dilaporkan terjadi pada penggunaan
promazine, thioridazine, dan sangat jarang terjadi pada fluphenazine dan trifluoperazine. 3
9. Overdosis Antipsikotik
Gejala overdosis antipsikotik berupa gejala ekstrapiramidal, midriasis, penurunan reflex tendon
dalam, takikardia, dan hipotensi. Gejala overdosis yang parah adalah delirium, koma, depresi
pernapasan, dan kejang. Terapi overdosis antipsikotik harus termasuk pemakaian arang aktif
(activated charcoal), jika memungkinkan lavage lambung dapat dipertimbangkan. Terapi kejang
dengan diazepam serta hipotensi dengan norepinefrin juga merupakan terapi overdosis
antipsikotik atipikal.1
4. Efek Epileptogenik
Pemberian antipsikotik ternyata menyebabkan perlambatan dan peningkatan sinkronisasi EEG.
Efek tersebut merupakan mekanisme dimana antipsikotik menurunkan ambang kejang.
Chlorpromazine dan antipsikotik potensi rendah lain diperkirakan lebih epileptogenik
dibandingkan obat potensi tinggi. 1,3,5
5. Sedasi
Sedasi terutama merupakan akibat dari penghambatan reseptor dopamine tipe-1. Chlorpromazine
adalah antipsikotik yang paling menimbulkan sedasi. Memberikan dosis antipsikotik harian
sebelum tidur biasanya menghilangkan masalah dari sedasi, dan toleransi untuk efek merugikan
tersebut dapat terjadi. 1,2
1. Mesokortikal Pathways
Antagonis 5HT2A tidak hanya akan menyebabkan berkurangnya blokade terhadap antagonis D2
tetapi juga menyebabkan terjadinya aktivitas dopamin pathways sehingga terjadi keseimbangan
antara keseimbangan antara serotonin dan dopamin. APG II lebih berpengaruh banyak dalam
memblok reseptor 5HT2A dengan demikian meningkatkan pelepasan dopamin dan dopamin
yang dilepas menang dari pada yang dihambat di jalur mesokortikal. Hal ini menyebabkan
berkurangnya gejala negatif maka tidak terjadi lagi penurunan dopamin di jalur mesokortikal dan
gejala negatif yang ada dapat diperbaiki.
APG II dapat memperbaiki gejala negatif jauh lebih baik dibandingkan APG I karena di jalur
mesokortikal reseptor 5HT2A jumlahnya lebih banyak dari reseptor D2, dan APG II lebih
banyak berkaitan dan memblok reseptor 5HT2A dan sedikti memblok reseptor D2 akibatnya
dopamin yang di lepas jumlahnya lebih banyak, karena itu defisit dopamin di jalur mesokrtikal
berkurang sehingga menyebabkan perbaikan gejala negatif skizofrenia.1,6,8
2. Mesolimbik Pathways
APG II di jalur mesolimbik, antagonis 5HT2A gagal untuk mengalahkan antagonis D2 di jalur
tersebut. jadi antagonsis 5HT2A tidak dapat mempengaruhi blokade reseptor D2 di mesolimbik,
sehingga blokade reseptor D2 menang. Hal ini yang menyababkan APG II dapat memperbaiki
gejala positif skizofrenia. Pada keadaan normal serotonin akan menghambat pelepasan dari
dopamin.1,6
3. Tuberoinfundibular Pathways
APG II di jalur tuberoinfundibular, antagonis reseptor 5HT2A dapat mengalahkan antagonis
reseptor D2. Hubungan antara neurotransmiter serotonin dan dopamin sifatnya antagonis dan
resiprokal dalam kontrol sekresi prolaktin dari hipofise. Dopamin akan menghambat
pengelepasan prolaktin, sedangkan serotonin menigkatkan pelepasan prolaktin. Pemberian APG
II dalam dosis terapi akan menghambat reseptor 5HT2A sehingga menyebabkan pelepasan
dopamin menigkat. Ini mengakibatkan pelepasan prolaktin menurun sehingga tidak terjadi
hiperprolaktinemia.1,6
4. Nigrostriatal Pathways
Jalur ini berproyeksi dari substansia nigra menuju ganglia basalis. Fungsi jalur nigrostriatal
adalah untuk mengontrol pergerakan. Bila jalur ini diblok, akan terjadi kelainan pergerakan
seperti pada Parkinson yang disebut extrapyramidal reaction (EPR). Gejala yang terjadi antara
lain akhatisia, dystonia (terutama pada wajah dan leher), rigiditas, dan akinesia atau bradikinesia.
APG II dalam klinis praktis, memiliki empat keuntungan, yaitu:
1. APG II menyebabkan EPS jauh lebih kecil dibandingkan APG I, umunya pada dosis terapi
sangat jarang terjadi EPS.
2. APG II dapat mengurangi gejala negatif dari skzofrenia dan tidak memperburuk gejala negatif
seperti yang terjadi pada pemberian APG II.
3. APG II menurunkan gejalan afektif dari skizofrenia dan sering digunakan untuk pengobatan
depresi dan gangguan bipolar yang resisten.
4. APG II menurunkan gejala kognitif pada pasien skizofrenia dan penyakit Alzheimer.1,6
Antipsikotik generasi kedua yang digunakan sebagai:
First line: Risperidone, Olanzapine, Quetiapine, Ziprasidone, Aripiprazole
Second line: Clozapine.
Keuntungan yang didapatkan dari pemakaian APG II selain efek samping yang minimal juga
dapat memperbaiki gejala negatif, kognitif dan mood sehingga mengurangi ketidaknyamanan
dan ketidakpatuhan pasien akibat pemakian obat antipsikotik. Pemakaian APG II dapat
meningkatkan angka remisi dan menigkatkan kualitas hidup penderita skizofrenia karena dapat
mengembalikan fungsinya dalam masyarakat.3
2.4.1 RISPERIDONE
Risperidone merupakan obat APG II yang kedua diterima oleh FDA (Food and Drug
Administration) sebagai antipsikotik setelah clozapine. Absorpsi risperidone di usus tidak di
pengaruhi oleh makanan dan efek terapeutik nya terjadi dalam dosis rendah, pada dosis tinggi
dapat terjadi EPS. Pemakaian risperidone yang teratur dapat mencegah terjadinya kekambuhan
dan menurunkan jumlah dan lama perawatan sehingga baik digunakan dalam dosis
pemeliharaan.1
Risperidone dapat memperbaiki skizofrenia yang gagal di terapi dengan APG I tetapi hasil
pengobatannya tidak sebaik clozapine. Obat ini juga dapat memperbaiki fungsi kognitif tidak
hanya pada skizofrenia tetapi juga pada penderita demensia misalnya demensia Alzheimer.
Metabolisme risperidone sebagian besar terjadi di hati oleh enzim CYP 2D6 menjadi 9-
hydroxyrisperidone dan sebagian kecil oleh enzim CYP 3A4. Hydroxyrisperiodne mempunyai
potensi afinitas terhadap reseptor dopamin yang setara dengan risperidone. Eksresi terutama
melalui urin. Metabolisme risperidone dihambat oleh antidepresan fluoxetine dan paroxetine,
karena antidepresan ini menghambat kerja dari enzim CYP 2D6 dan CYP 3A4 sehingga pada
pemberian bersama antidepresan ini, maka dosis risperidone harus dikurangi untuk
meminimalkan timbulnya efek samping dan toksik. Metabolisme obat ini dipercepat bila
diberikan bersamaan carbamazepin, karena menginduksi CYP 3A4 sehingga perlu peningkatan
dosis risperidone pada pemberiaan bersama carbamazepin disebabkan konsentrasi risperidone di
dalam plasma rendah. 1,3,7
Indikasi :
- Skizofrenia akut dan kronik dengan gejala positif dan negatif.
- Gejala afektif pada skizofrenia (skizoafektif).1,8
Dosis :
- Hari 1 : 1 mg, hari 2 : 2mg, hari 3 : 3 mg.
- Dosis optimal 2- 6 mg / hari dengan 2 x pemberian.
- Dosis anjuran 25-50mg (im) setiap 2 minggu.
- Sediannya tab 1-2-3 mg. vial 25 mg, 50 mg/cc
- Umunya perbaikan mulai terlihat dalam 8 minggu dari pengobatan awal, jika belum terlihat
respon perlu penilaian ulang.
- Kadar puncak plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral.1,3
Efek samping: 1,3
- EPS
- Peningkatan prolaktin (ditandai dengan gangguan menstruasi, galaktorea, disfungsi seksual)
- Sindroma neuroleptik malignan
- Peningkatan berat badan
- Sedasi
- Pusing
- Konstipasi
- Takikardi
2.4.2 CLOZAPINE
Merupakan APG II yang pertama dikenal, kurang menyebabkan timbulnya EPS, tidak
menyebabkan terjadinya tardice dyskinesia dan tidak terjadi peningkatan dari prolaktin.
Clozapine merupakan gold standard pada pasien yang telah resisten dengan obat antipsikotik
lainnya. Profil farmakoligiknya atipikal bila dibandingkan dengan antipsikotik lain.
Dibandingkan terhadap psikotropik yang lain, clozapine menunjukkan efek dopaminergik
rendah, tetapi dapat mempengaruhi fungsi saraf dopamin pada sistem mesolimbik-mesokortikal
otak, yang berhubungan dengan fungsi emosional dan mental yang lebih tinggi, yang berbeda
dari dopamin neuron di daerah nigrostriatal (darah gerak) dan tuberoinfundibular (daerah
neruendokrin). 1
Clozapine efektif untuk menggontrol gejala-gejala psikosis dan skizofrenia baik yang positif
(iritabilitias) maupun yang negatif (social disinterest dan incompetence, personal neatness). Efek
yang bermanfaat terlihat dalam waktu 2 minggu, diikuti perbaikan secara bertahap pada minggu-
minggu berikutnya. Obat ini berguna untuk pasien yang refrakter dan terganggu berat selam
pengobatan.1,3
Secara farmakokinetik, clozapine di absorpsi secara cepat dan sempurna pada pemberian per
oral. Kadar puncak plasma tercapai pada kira-kira 2 jam setelah pemberian obat, dengan waktu
paruh rata-rata 12 jam (antara 10-16 jam) sehingga pemberiannya dianjurkan 2 kali dalam sehari.
Distribusi dari clozapine dibandingkan obat antipsikotik lainnya lebih rendah. Umunya afinitas
dari clozapine rendah pada reseptor D2 dan tinggi pada reseptor 5HT2A sehingga cenderung
rendah untuk menyebabkan terjadinya efek samping EPS. 1,3,8
Dosis :1,3
- Hari 1 : 1 – 2 x 12,5 mg.
- Berikutnya ditingkatkan 25 – 50 mg / hari sp 300 – 450 mg / hari dengan pemberian terbagi.
- Dosis maksimal 150-600 mg / hari.
- Sediaan tablet 25 mg dan 100 mg
Efek samping : 1,3
- Granulositopeni, agranulositosis, trombositopeni, eosinofilia, leukositosis, leukemia.
- Ngantuk, lesu, lemah, tidur, sakit kepala, bingung, gelisah, agitasi, delirium.
- Mulut kering atau hipersalivasi, penglihatan kabur, takikardi, postural hipotensi, hipertensi.
Kontra indikasi :
- Ada riwayat toksik/hipersensitif.
- Gangguan fungsi Sumsum tulang.
- Psikosis alkoholik dan psikosis toksik lainnya.
- Koma.
- Depresi SSP.
- Ganguan jantung dan ginjal berat.
- Gangguan liver.
2.4.3 OLANZAPINE
Merupakan derivat dari clozapine dan dikelompokkan dalam golongan Thienobenzodiazepine.
Absorpsi tidak dipengaruhi oleh makanan. Plasma puncak olanzapine dicapai dalam waktu 5 jam
setalah pemberian oral, sedangkan pada pemberian intramuskular dapat dicapai setelah 15-45
menit dengn waktu paruh 31 jam (antara 21-54 jam) sehingga pemberian cukup 1 kali sehari. 1,3
Olanzapine merupaka antagonis monoaminergik selektif yang mempunyai afinitas yang kuat
terhadap reseptor dopamin (D1-D4), serotonin (5HT2A/2c), Histamin (H1) dan α1 adrenergik.
Afinitas sedang dengan reseptor kolinergik muskarinik (M1-5) dan serotonin (5HT3). Berikatan
lemah dengan reseptor GABAA, benzodiazepin dan β-adrenergik. Metabolisme olanzapine di
sitokrom P450 CYP 1A2 dan 2D6. Metabolisme akan meningkat pada penderita yang merokok
dan menurun bila diberikan bersama dengan antidepresan fluvoxamine atau antibiotik
ciprofloxacin. 1
Bila dibandingkan dengan clozapine, olanzapine memblok D2 lebih besar sehingga dosis tinggi
dapat menyebabkan peningkatan kadar prolactin dan efek pada EPS Olanzapine
Indikasi :1,3
- Sizofrenia atau psikosis lain dengan gejala positive dan negatif.
- Episode manik moderat dan severe.
- Pencegahan kekambuhan gangguan bipolar.
Dosis :1,3
- Dosis anjuran 10-20mg/ hari.
- Sedian tablet 5-10mg
- Untuk skizofrenia mulai dengan dosis 10 mg 1 x sehari.
- Untuk episode manik mulai dengan dosis 15 mg 1 x sehari.
- Untuk pecegahan kekambuhan gangguan bipolar 10 mg / hari.
Efek samping:
- Penigkatan berat badan
- Somnolen
- Hipotensi ortostatik berkaitan dengan blokade reseptor α1
- EPS dan kejang rendah
- Insiden tardive dyskinesia rendah
2.4.4 QUETIAPINE
Quetiapine merupakan antagonis reseptor serotonin (5HT1A dan 5HT2A), reseptor dopamin (D1
dan D2), reseptor histamin (H1), reseptor adrenergik α1 dan α2. Afinitasnya lemah pada reseptor
muskarinik (M1) dan reseptor benzodiazepin. Cleareance quetiapine menurun 40% pada
penderita usia lanjut, sehinga perlu penyesuaian dosis yang lebih rendah dan menurun 30%-50%
pada penderita yang mengalami gangguan fungsi hati. Cleareance quetiapine meningkat apabila
pemberiannya dilakukan bersamaan dengan antiepileptik fenitoin, barbiturat, carbamazepin dan
antijamur ketokonazole.1,2,3
Quetiapine dapat memperbaiki gejala positif, negatif, kognitif dan mood. Dapat juga
memperbaiki pasien yang resisten dengan antipsikotik generasi pertama tetapi hasilnya tidak
sebaik apabila di terapi dengan clozapine. Pemberian pada pasien pertama kali mendapat
quetiapine perlu dilakukan titrasi dosis untuk mencegah terjadinya sinkope dan hipotensi
postural.Waktu untuk konsentrasi penuh setelah pemberian oral adalah 2 jam dengan waktu
paruh berkisar 3-5 jam, setelah 8-12 jam reseptor masih diduduki. 1
Dosis anjuran 50-400mg/hari dan sediaannya 25-100mg dan 200mg dan 300mg tablet XR
(50mg, 300mg dan 400mg). Efek samping obat ini yang sering adalah somnolen, hipotensi
postural, pusing, peningkatan berat badan, takikardi, dan hipertensi. 1,3
2.4.5 ARIPIPRAZOLE
Merupakan antipsikotik generasi baru, yang bersifat partial agonis pada reseptor D2 dan reseptor
serptonin 5HT1A serta antagonis pada reseptor serotonin 5HT2A. Aripiprazole bekerja sebagai
dopamin sistem stabilizer artinya menghasilkan signal transmisi dopamin yang sama pada
keadaan hiper atau hipo-dopaminergik karena pada keadaan hiperdopaminergik aripiprazole
afinitasnya lebih kuat dari dopamin akan mengeser secara kompetitif neurotransmiter dopamin
dan berikatan dengan reseptor dopamin. Pada keadaan hipodopaminergik maka aripiprazole
dapat menggantikan peran neurotransmiter dopamin dan akan berikatan dengan reseptro
dopamin. 3,7,8
Aripiprazole di metabolisme di hati melaui isoenzim P450 pada CYP 2D6 dan CYP 3A4,
menjadi dehydro-aripiprazole. Afinitas dari hasil metabolisme ini mirip dengan aripiprazole pada
reseptor D2 dan berada di plasma sebesar 40% dari keseluruhan aripiprazole. Waktu paruh
berkisar antara 75-94 jam sehingga pemberian cukup 1 kali sehari. Absorpsi aripiprazole
mencapai konsentrasi plasma ouncak dalam waktu 3-5 jam setelah pemberian oral. Aripiprazole
sebaiknya diberikan sesudah makan, terutama pada pasien yang mempunyai keluhan dispepsia,
mual dan muntah.3,7
Indikasi : Skizofrenia.
Dosis : dosis anjuran 10—15mg/hari dan sedian tablet (5mg, 10mg dan 15mg). Pemberuannya
dapat 10 atau 15 mg 1 x sehari.
Efek samping :
- Sakit kepala.
- Mual, muntah.
- Konstipasi.
- Ansietas, insomnia, somnolens.
- Akhatisia.
• Pemilihan jenis obat anti-psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek
samping obat. Pergantian obat disesuaikan dengan dosis ekivalen.3
• Apabila obat anti-psikosis tidak memberikan respons klinis dalam dosis yang sudah optimal
setelah jangka waktu yang memadai, dapat diganti dengan obat anti-psikosis lain (sebaiknya dari
golongan yang tidak sama), dengan dosis ekivalen-nya, dimana profil efek samping belum tentu
sama.
• Apabila dalam riwayat penggunaan obat anti-psikosis sebelumnya, jenis obat anti-psikosis
tertentu yang sudah terbukti efektif dan ditolerir dengan baik efek samping-nya, dapat dipilih
kembali untuk pemakaian sekarang.
• Apabila gejala negatif (afek tumpul, penarikan diri, hipobulia, isi pikiran miskin) lebih
menonjol dari gejala positif (waham, halusinasi, bicara kacau, perilaku tak terkendali) pada
pasien Skizofrenia, pilihan obat antipsikosis – atipikal perlu dipertimbangkan. Khususnya pada
penderita Skizofrenia yang tidak dapat mentolerir efek samping ekstrapiramidal atau mempunyai
risiko medik dengan adanya gejala ekstrapiramidal (neuroleptic induced medical complication).3
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Amir N.Buku Ajar Psikiatri Fakultas Kedokteran Universias Indonesia. Edisi kedua. Jakarta :
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia. 2013.Bab 12. Skizofrenia; p. 173-95.
2. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock’s synopsis of psychiatry : Behavioral
sciences/clinical psychiatry.10 th edition. Philadelphia : Lippincott Williams and WOLTERS
Kluwer business.2007.Bab 13.Schizophrenia.;p.467-97.
3. Muslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik.Edisi ketiga. Jakarta : Bagian
Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.Bab 3. Penggolongan obat psikotropik; p.10-11.
4. Muslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik.Edisi ketiga. Jakarta : Bagian
Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.Bab 3. Obat antipsikosis; p.14-22.
5. Stahl SM. Psychopharmacology of Antipsychotic.United Kingdon : Martin Dunitz
Ltd.1999.Bab 4.Conventional Antipsychotic: the classical neuroleptics;p.35-47.
6. Stahl SM. Psychopharmacology of Antipsychotic.United Kingdon : Martin Dunitz
Ltd.1999.Bab 5.Atypical Antipsychotic and Seotonine-Dopamine Antagonism;p.50-62.
7. Stahl SM. Psychopharmacology of Antipsychotic.United Kingdon : Martin Dunitz
Ltd.1999.Bab 6. Beyond the serotonine-dopamine antagonism concept : how individual atypical
antipsychotic differ;p.63-96.
8. Ebert MH, Loosen PT, Nurcombe B. Current Diagnosis & Treatment in
PSYCHIATRY.Singapore : McGraw-Hill Book.2000.Bab III.Syndrome and their treatments in
adult psychiatric : schizophrenia and other psychotic disorders; p.260-89.