Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) merupakan penyakit


epidemi meningkat di seluruh dunia tanpa perawatan pasti. AIDS pertama kali
ditemukan pada tahun 1981 di Los Angeles, namun secara resmi Centers for
Disease Control (CDC) baru mengumumkan istilah tersebut pada tahun 1982
dimana telah terdapat 593 kasus. Kasus pertama AIDS di Indonesia ditemukan
pada tahun 1987 di Bali, tetapi penyebaran HIV di Indonesia meningkat setelah
tahun 1995. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, pada tahun 2012
ditemukan kasus HIV sebanyak 21.511 orang dan AIDS sebanyak 5.686 orang
serta jumlah penderita yang meninggal dunia sebanyak 1.146 orang. AIDS
merupakan penyakit baru dengan angka kematian yang tinggi, karena jumlah
penderita meningkat dalam waktu singkat dan sampai sekarang belum dapat
ditanggulangi dengan tuntas (Kahabuka, 2007).
Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah suatu penyakit
menular yang disebabkan oleh Human Immuno Deficiency Virus yang dahulu
disebut Lymphadenopaty Associated Virus (LAV) yang kemudian di Amerika
Serikat bernama Human T-Cell Leukemia Virus III (HTLV-III). HTLV-III disebut
juga Human T-Cell Lymphotrophic Virus (suatu retrovirus). Setelah melalui
perdebatan yang panjang, penyebab AIDS kemudian ditetapkan sebagai HIV
untuk menggantikan LAV dan HTLV. Sampai saat ini telah ditemukan 2 subtipe
HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2. Kedua virus tersebut dapat menyebabkan AIDS,
namun perjalanan penyakit yang disebabkan oleh HIV-2 berlangsung lebih lama.
Virus tersebut menyebar di dalam darah, air mata, saliva, air susu, cairan spinal,
sekresi vagina dan cairan semen dari orang yang terinfeksi dan menyebar terutama
melalui kontak seksual, darah, atau produk-produk darah, transplantasi organ, atau
secara perinatal. Virus HIV dikenal sebagai virus limfadenopati atau virus
limfotropik sel T. HIV mempunyai kemampuan melekat dan membunuh limfosit
CD4 sehingga mengurangi imunitas humoral dan imunitas yang diperantarai sel.
Untuk berada dalam tubuh manusia HIV harus langsung masuk ke dalam aliran

1
darah. Di luar tubuh manusia HIV cepat mati oleh air panas, sabun, dan bahan
pencuci hama. Jangka waktu antara kontak awal sampai munculnya infekksi
bervariasi. Umumnya berkisar antara 3-6 bulan setelah terpapar. Orang-orang
yang terinfeksi HIV biasanya menunjukkan limfadenopati menyeluruh dan
menetap yang kemudian diikuti oleh AIDSrelated complex (ARC). Hal tersebut
ditandai oleh limfadenopati, kelelahan , penurunan berat badan, demam, diare,
alergi kulit, kandidiasis oral, hairy leukoplakia, dan virus herpes rekuren. Melihat
jumlah penderita HIV/AIDS yang makin meningkat, dokter gigi memiliki
kemungkinan besar untuk menjumpai penderita HIV/AIDS yang belum
terdiagnosis selama memberikan pelayanan kesehatan gigi. Manifestasi oral pada
penderita HIV/AIDS ini sangat penting untuk diketahui karena seringkali
merupakan indikasi klinis pertama bahwa seseorang terinfeksi HIV atau anggota
keluarga lainnya telah terinfeksi HIV (Kahabuka, 2007).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimanakah imunologi virus?
2. Bagaimanakah mekanisme patogenesis infeksi virus?
3. Bagaimanakah morfologi, sifat, dan jenis virus?
4. Bagaimanakah macam-macam infeksi virus di rongga mulut?
5. Bagaimanakah pemeriksaan laboratorium pada kasus infeksi virus?
6. Bagaimanakah tatalaksana dental pada infeksi virus
1.3 Tujuan Makalah
1 Mendeskripsikan imunologi virus.
2 Mendeskripsikan mekanisme patogenesis infeksi virus.
3 Mendeskripsikan morfologi, sifat, dan jenis virus.
4 Mendeskripsikan macam-macam infeksi virus di rongga mulut.
5 Mendeskripsikan pemeriksaan laboratorium pada kasus infeksi virus.
6 Mendeskripsikan tatalaksana dental pada infeksi virus.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Skenario

Seorang laki-laki berusia 40 tahun datang ke RSGM Baiturrahmah dengan


keluhan lidah putih dan sakit. Dari anamnesis sering berganti pasangan, diare
hampir 1 bulan, berat badan makin berkurang dengan demam berkepanjangan.
Pemerikasaan intra oral terdapat lesi putih di dorsum lidah, bisa dikerok
meninggalkan daerah merah dan berdarah. Pemeriksaan laboratorium
menunjukkan limfopenia dengan jumlah CD4 yang rendah, viral load meningkat
dan ditemukan Pneumocistis jerovecii.

2.2 Terminologi

Viral load

 Viral load adalah jumlah partikel virus dalam 1 mm kubik darah.


Semakin banyak jumlah partikel virus dajlam darah berarti semakin
besar kerusakan Sel CD4, makin rentan untuk terjadi infeksi
oportunistik dan perjalanan dari HIV positif menjadi AIDS pun
menjadi semakin cepat

Pneumocistis jerocevii

 Pneumocistis jerocevii adalah

Limfopenia.

 Limfopenia adalah bentuk pneumonia yang disebabkan


oleh fungi Pneumocystis jirovecii.

Lesi putih

 Lesi putih adalah suatu bentuk yang beruwujud seperti pucar berwarna
putih (KBBI)

3
Diare

 Diare adalah penyakit dengan gejala berak-berak, menceret(KBBI)

CD4

 CD4 adalah sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan


sel-sel darah putih manusia, terutama sel-sel limfosit. 

Dorsum :

 Dorsum adalah bagian belakang lidah sesudah daun lidah (KBBI)

2.3 Pembahasan

2.3.1 Imunologi Virus.

Virus merupakan obligat, umumnya terdiri atas potongan DNA atau RNA
yang diselubungi mantel dari protein atau lipoprotein. Respon imun terhadap
protein virus melibatkan sel T dan sel B. Antigen virus yang menginduksi
antibodi dapat menetralkan virus dan sel T sitotoksik yang spesifik merupakan
imunitas paling efisien pada imunitas proteksi terhadap virus.

Gambar 1: Morfologi Virus

4
Virus merupakan obligat intraselular yang berkembang biak di dalam sel,
sering menggunkana mesin sintesis asam nukleat dan protein penjamu. Dengan
reseptor permukaan sel, virus masuk ke dalam sel dan menimbulkan kerusakan
dan penyakit melalui berbagai mekanisme. Hal tersebut disebabkan oleh replikasi
virus yang mengganggu sintesis protein dan fungsi sel normal serta efek sitopatik
virus. Virus nonsitopatik dapat menimbulkan infeksi laten dan DNA virus
menetap dalam sel penjamu dan memproduksi protein ang dapat atau tidak
mengganggu fungsi sel. Mekanisme infeksi sel penjamu oleh virus adalah virus
memasuki sel penjamu setelah menempel pada sel tersebut melalui berbagai cara :

1) Translokasi, virus menembus membran sel yang utuh


2) Insersi genom, virus yang menempel menginjeksi material genetik direk ke
dalam sitoplasma
3) Fusi membran, isi genom virus dimasukkan ke dalam sitoplasma sel penjamu
4) Endositosis yang diatur oleh reseptor permukaan yang mengikat dan transpor
melalui klatrin, kadang menimbulkan fusi ke dalam endosom intraselular.

5
Gambar 2: Mekanisme Infeksi Sel Penjamu Oleh Virus

a) Imunitas Nonsepesifik Humoral dan Selular

Prinsip mekanisme imunitas nonspesifik terhadap virus adalah mencegah


infeksi. Efektor yang berperan adalah IFN tipe I dan sel NK dan yang
membunuh sel terinfeksi. Infeksi banyak virus disertai produksi RNA yang
merangsang sel terinfeksi untuk sekresi IFN tipe 1, mungkin melalui ikatan
dengan TLR. IFN Tipe I mencegah replikasi virus dalam sel terinfeksi dan sel
sekitarnya yang menginduksi lingkungan anti viral. IFNα dan IFNβ
mencegah replikasi virus dalam sel yang terinfeksi.

Sel NK membunuh sel yang terinfeksi oleh berbagai jenis virus dan
merupakan efektor imunitas penting terhadap infeksi dini virus, sebelum
respon imun spesifik bekerja. Sel NK mengenal sel terinfeksi yang tidak
mengekresikan MHC-I. Untuk membunuh virus, sel NK tidak memerlukan
bantuan molekul MHC-I.

b) Imunitas Spesifik
1) Imunitas Spesifik Humoral
Respon imun terhadap virus tergantung dari lokasi virus dalam
penjamu. Antibodi merupakan efektor dalam imunitas spesifik
humoralterhadap infeksi virus. Antibodi diproduksi dan hanya efektif
terhadap virus dalam fase ekstraselular. Virus dapat ditemukan
ekstraseluler pada saat awal infeksi sebelum virus masuk kedalam sel atau
bila dilepas oleh sel terinfeksi yang dihancurkan (khusus untuk virus
sitopatik). Antibodi dapat menetralkan virus, mencegah virus menempel
pada sel dan masuk kedalam sel penjamu.
Antibodi dapat berperan sebagai opsonin yang meningkatkan
eliminasi partikel virus oleh fagosit. Aktivitas komplemen juga ikut
berperan dalam meningkatkan fagositosis dan menghancurkan virus
dengan envelop lipid secara langsung. IgA yang disekresi di mukosa
berperan terhadap virus yang masuk tubuh melalui mukosa saluran napas

6
dan cerna. Imunisasi oral terhadap virus polio bekerja untuk menginduksi
imunitas mukosa tersebut.

2) Imunitas Spesifik Selular


Virus yang berhasil masuk kedalam sel, tidak lagi rentan terhadap
efek antibodi. Respon imun terhadap virus intraselular terutama tergantung
dari sel CD8+/CTL (Cytotoxic T Lymphocyyte) yang membunuh sel
terinfeksi. Fungsi fisiologik utama CTL ialah pemantauan terhadap infeksi
virus. Kebanyakan CTL yang spesifik untuk virus mengenal antigen virus
yang sudah dicerna dalam sitosol, biasanya disintesis endogen yang
berhubungan dengan MHC-I dalam setiap sel yang bernukleus. Untuk
diferensiasi penuh, CD8+ memerlukan sitokin yang diproduksi sel CD4+ Th
dan kostimulator yang diekspresikan pada sel terinfeksi. Bila sel terinfeksi
adalah sel jaringan dan bukan APC, sel terinfeksi dapat dimakan oleh APC
profesional seperti sel dendritik yang selnjutnya memproses antigen virus
dan mempresentasikannya bersama molekul MHC-I ke sel CD8 + naif di
kelenjar getah bening. Sel yang akhir akan berproliferasi secara masif yang
kebanyakan merupakan sel spesifik untuk beberapa peptida virus. Sel
CD8+ naif yang diaktifkan berdiferensiasi menjadi sel CTL efektor yang
dapat membunuh setiap sel bernukleus yang terinfeksi. Efek antivirus
utama CTL adalah membunuh sel terinfeksi.
Patologi yang diindikasi virus merupakan efek direk yang
menimbulkan kematian sel penjamu dan kerusakan jaringan. Hampir
semua virus tanpa envelop menimbulkan infeksi akut dan kerusakan. Lisis
sel terjadi selama replikasi dan penyebaran virus ke sel sekitar. Kerusakan
patologi sebetulnya sering lebih merupakan akibat respon imun aktif
terhadap antigen virus dan epitopnya pada permukaan sel terinfeksi.

Tabel 1: Mekanisme Respons Imun Humoral dan Selular

7
Jenis
Molekul atau sel
Respon Aktivitas
efektor
s

Antibodi (terutama IgA Menghambat ikatan virus pada sel


sekretori) penjamu, sehingga mencegah
infeksi atau reinfeksi

Antibodi IgG, IgM dan Menghambat fusi envelop virus


IgA dengan membran plasma sel

Humora penjamu

l Antibodi IgG dam IgM Memacu fagositosis partikel virus


(opsonisasi)

Antibodi IgM Aglutinasi partikel virus

Komplemen yang Mediator opsonisasi oleh C3b dan


diaktifkan oleh antibodi lisis partikel envelop virus oleh
IgG atau IgM MAC

IFN-γ yang disekresi Aktivitas antiviral direk


Th atau Tc

CTL (Cytotoxic T Memusnahkan sel self yang


Selular
Lymphocyyte) terinfeksi virus

Sel NK dan makrofag Memusnahkan sel terinfeksi virus


melalui ADCC

Sumber : Baratawidjaja & Rengganis, 2012

Mekanisme Virus menghindari Respon Imun

Virus dapat menghindar dari pengawasan sistem imun melalui berbagai


mekanisme sebagai berikut:

1) Virus mengubah antigen (mutasi)

Antigen yang merupakan sasaran antibodi atau sel T berjumlah sangat


besar yang terdiri atas galur yang berbeda genetiknya. Variasi antigen tersebut

8
menjdaikan virus dapat menjadi resisten terhadap respon imun yang ditimbulkan
oleh infeksi terdahulu, misalnya pandemi influenza. Juga ditemukan sejumlah
besar epitop virus rino sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan vaksinasi
spesifik terhadap virus tersebut. HIV-I yang merupakan penyebab AIDS juga
menunjukkan sejumlah variasi antigen.

2) Beberapa virus menghambat presentasi antigen protein sitosolik yang


berhubungan dengan molekul MHC-I. Akibatnya, sel terinfeksi virus tidak
dapat dikenal dan dibunuh CD8+/CTL. Sel NK mungkin masih akan
membunuh sel terinfeksi dengan virus teradaptasi tersebut, mengingat sel NK
dapat diaktifkan tanpa bantuan molekul MHC-I
3) Beberapa jenis virus diproduksi molekul yang mencegah imunitas nonspesifik
dan spesifik. Virus pox menyandi molekul yang dapat mengikat beberapa
sitokin seperti IFN-γ, TNF, IL-1 dan IL-18 dan kemokin dan molekul-molekul
tersebut dilepas oleh sel terinfeksi. Protein-protein yang mengikat sitokin-
sitokin yang dilepas berfungsi sebagai antigonis sitokin. Virus sitomegalo
memproduksi molekul yang homolog dengan protein MHC-I dan dapat
berfungsi kompetitif untuk mengikat dan mempresentasikan antigen peptida.
4) Virus dapat menginfeksi, membunuh atau mengaktifkan sel imunokompeten
5) HIV dapat tetap hidup dengan menginfeksi dan mengeliminasi sel T CD4 +
yang merupakan sel kunci regulator respons imun terhadap antigen protein
(Baratawidjaja & Rengganis, 2012).

2.3.2 Mekanisme Patogenesis Infeksi Virus.

A.Tinjauan perjalanan infeksi HIV.

Perjalanan infeksi HIV yang khas menghabiskan waktu sekitar satu dasawarsa.
Stadium-stadium yang terjadi antara lain infeksi primer,penyebaran virus ke
organ-organ limfoid, masa laten klinik, timbulnya ekspresi HIV, penyalit klinik
dan kematian. Lama waktu antara infeksi promer dan perkembangan penyakit
klinik rata-rata sekitar 10 tahun .kematian biasanya terjadi dalam 2 tahun setelah
mula timbul gejala klinik (Meurman, 2007).

9
B.Penurunan limfosit T CD4.

Gambaran utama infeksi HIV adalah penurunan limfosit yang menginduksi


T_helper akibat tropisme HIV untuk populasi limfosit ini yang mengekspresikan
penanda fenotipik CD4 yang permukaannya. Molekul CD4 adalah reseptor utama
untuk HIV; molekul ini memiliki afinitas tinggi terhadap selubung virus. infeksi
dapat dihambat melalui antibody monoklinal terhadap CD4 dan melalui
rekombinan CD4 terlarut. Subset tertentu dari monosit dan makrofag juga
mengekspresikan molekul CD4 dan sel-sel ini dapat berikatan dan diinfeksi oleh
HIV (Meurman, 2007).

2.3.3 Morfologi Virus.

Struktur virus terdiri atas kapsid yang melindungi bahan genetic. Bahan
genetik dan kapsid disebut nukleokapsel. Peran kapsid adalah melindungi bahan
genetic virus terhadap nuclease asal pejamu. Kapsid terdiri dari protein yang
dijadikan bentuk sederhana dan has berbentuk heliks, isometric atau berbentuk
kerucut dengan kekecualian kapsid virus yang memiliki struktur yang lebih
kompleks.

Pada beberapa virus, kapsid diselubungi oleh lapisan ganda fosfolipid


yang diperoleh dari sel pejamu bila virus membentuk budding. Envelop
memberikan proteksi terhadap protease. Envelop virus dapat berasal dari
sitoplasma atau membran nukleus sel penjamu. Replikasi virus herpes terjadi
dalam nucleus tetapi nukleokapsid dibentuk atau diasembel di luar nucleus. Bila
virus melepaskan diri dari sel, akan membentuk envelop. Pada beberapa virus,
protein sel penjamu ditemukan pada permukaan envelop virus.

Antigen envelop virus dapat dijadikan sasaran antibody yang dapat


mencegah infeksi pejamu atau memacu pembunuhan virus bebas dengan bantuan
komplemen. Infeks sel pejamu oleh virus akan menimbulkan produksi protein
virus dalam sel terinfeksi. Beberapa dari protein virus tersebut diproses dan
dipresentasikan ke sel Tc/CTC melalui MHC-I. Infeksi dapat juga menginduksi
produksi berlebihan protein pejamu seperti protein respons strees atau mengubah
produksi atau peptide yang diikat MHC-I yang mengakibatkan matinya sel

10
terinfeksi oleh sel Tc atau sel NK. Akhirnya, protein envelop virus diekspresikan
pada membrane sel yang terinfeksi sehingga menjadi sasaran ADCC atau
dihancurkan melalui bantuan komplemen.

Anti bodi berperan terhadap virus ekstraseluler dan imunitas seluler


terhadap virus intraseluler. Antibody local dan sistemik dapat mencegah
penyebaran virus atau virus sitolitik yag dilepaskan dari sel pejamu yang baru
dibunuhnya. Antibody sendiri pada umumnya tidak cukup untuk mengontrol virus
yang dilepas dari permukaan sel terinfeksi, oleh karena dapat menyebar ke sel
bersebelahan tanpa terpajan antibody (Baratawidjaja & Rengganis, 2012)

2.34 Macam-macam Infeksi Virus di Rongga Mulut.

2.2.4.1 Candida albicans.

Candida albicans adalah patogen oportunistik yang biasanya berkolonisasi


pada permukaan mukosa manusia seperti rongga mulut. Dalam keadaan tertentu,
biasanya berkaitan dengan sistem kekebalan tubuh, C. albicans menyebabkan
infeksi yang dapat terbatas pada mukosa atau, dalam kasus immunodepresi,
berkembang ke invasi sistemik (Meurman,2007).

Candida albicans terdapat dalam 3 bentuk morfologi, yaitu yeast-like cell,


berupa kumpulan sel berbentuk bulat atau oval, lebar 2-8 Mm, panjang 3-4 Mm,
berbentuk hifa, berupa sel berbentuk panjang yang mudah tumbuh dalam
lingkungan yang menguntungkan, seperti serum manusia atau hewan,
klamidospora berupa sel berbentuk bulat, berdinding tebal, dengan diameter 8-12
Mm, mudah ditemukan dalam media yang tidak memngkinkan terjadinya
pertumbuhan optimal. Candida albicans dianggap sebagai spesies yang paling
patogen dan merupaka etiologi bagi candidiasis rongga mulut.

11
Infeksi Candida albicans hadir dalam empat bentuk: kandidiasis
pseudomembran,kandidiasis hiperplastik, kandidiasis eritematosa dan angular
cheilitis. Pasien mungkin menunjukkan salah satu atau kombinasi dari berbagai
presentasi ini (Meurman,2007).
Kandidiasis oral merupakan infeksi oportunistik umum di populasi. C.
albicans masih dianggap sebagai agen etiologi utama dalam infeksi ini dan
menyumbang 70% sampai 80% dari organisme yang terisolasi dari lesi mukosa
mulut. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, C. Glabrata telah muncul sebagai
agen patogen penting pada mukosa mulut, baik sebagai agen co-menginfeksi
dengan C. albicans atau sebagai spesies terdeteksi tunggal dari lesi oral
(Meurman,2007)

2.2.4.2 Candida tropicalis.

C. tropicalis adalah yang paling virulen dari spesies NCAC (Non-candida


albicans candida). Hal ini mungkin karena kemampuannya untuk melekat pada
sel epitel in vitro dan kemampuannya untuk mengeluarkan tingkat moderat
proteinase.Candida tropicalis biasanya terisolasi dari rongga mulut dan kulit.
Candida tropicalis juga dapat menyebabkan infeksi kerongkongan. kasus terakhir,
telah terbukti berhubungan dengan penyakit sistemik, dengan kata lain, kesehatan
umum yang buruk membuat besar kemungkinan pasien untuk candidemia
disebabkan oleh strain ini (Raju, 2011).

2.2.4.3 Candida glabrata.


Sebelumnya C. glabrata dianggap sebagai patogen yang menyebabkan
infeksi hanya bila terdeteksi dengan C. albicans.Namun ada beberapa laporan
tentang infeksi Candida orofaringeal (OPC) hanya untuk C.glabrata dan sekarang
muncul sebagai patogen penting, baik infeksi dalam mukosa dan aliran darah. Hal
ini umumnya terisolasi dari rongga mulut yang terinfeksi HIV. C.
glabrata adalah agen kedua yang paling umum dari candidemia di Amerika
serikat sejak awal 1990-an .Hal ini dianggap bahwa C. glabrata terkait OPC
infeksi HIV-dan pasien kanker lebih parah dan lebih sulit untuk diobati. Hal ini
terutama disebabkan kemampuan C. glabrata dengan cepat mengembangkan

12
ketahanan terhadap flukonazol. Cross resisten terhadap azoles baru telah
ditemukan .Perlawanan dapat menjadi baik bawaan dan diperoleh. Infeksi C.
glabrata sulit untuk diobati dan yang terkait dengan infeksi sistemik memiliki
tingkat kematian yang tinggi. C. glabrata kapasitas keratinocyteadherence mulut
lebih rendah dibandingkan dengan C. albicans. Faktor-faktor virulensi dan host-
parasit interaksi C. glabrata tidak diketahui (Sufiawati, 1987).

2.2.4.4 Candida parapsilosis.

Dalam beberapa tahun terakhir, spesies non-Candida albicans seperti


Candida parapsilosis semakin terlibat dalam infeksi nosokomial, terutama pada
pasien bedah jantung dan neonatus (Raju, 2011).

2.2.4.5 Candida krusei.


C. krusei menyebabkan infeksi terutama pada pasien penyakit kritis dan
yang paling sering terisolasi di hematologi pasien dengan neutropenia berat. Ini
adalah patogen yang jarang menyebabkan candidemia. Isolat telah dilaporkan
tahan terhadap flukonazol dan itrakonazol,ada juga beberapa laporan strain yang
resisten terhadap amfoterisin B . Meluasnya penggunaan flukonazol untuk
mencegah infeksi jamur pada pasien terinfeksi HIV telah menyebabkan
peningkatan yang signifikan dalam infeksi C. Krusei (Raju, 2011).

2.2.4.6 Candida guilliemondi.


C. guilliermondii telah dikaitkan dengan hasil klinis yang buruk dan
keganasan hematologi. Ini dapat ditemukan pada kulit manusia dan sebagai
bagian dari flora saluran genitourinari dan gastrointestinal. Ini telah
didokumentasikan yang menyebabkan infeksi pada pasien yang menjalani
prosedur bedah, endokarditis di intravena pengguna narkoba dan fungemia pada
pasien immunocompromised. C. guilliermondii juga telah diisolasi dalam infeksi
saluran kemih. Ini mungkin mengembangkan resistansi terhadap amfoterisin B
(Raju, 2011).

2.2.4.7 Candida dubliniensis

13
C. dubliniensis pertama kali dijelaskan pada tahun 1995. Ini adalah spesies
yang berhubungan dengan lesi oral individu yang terinfeksi HIV dan itu adalah
fenotipik dan genotypically terkait erat dengan C. albicans. Penelitian in vitro
fenotipik telah menunjukkan bahwa C.dubliniensis memiliki beberapa
karakteristik yang membedakannya dari C. albicans. Keduanya memproduksi
tabung sel dan chlamydospores. Tidak seperti C. Albicans, isolat C.
dubliniensis.tumbuh buruk pada 42 ° C. Meskipun kesamaan dengan C. albicans,
C. dubliniensis bukan konstituen umum dari mikroflora oral dan hanya sekitar
3,5% dari orang sehat membawa C.dubliniensis di rongga mulut. Sebuah
prevalensi 15-30% dari C. dubliniensis dalam rongga mulut yang terinfeksi HIV
dan AIDS telah dilaporkan. Ini bukan penyebab umum dari infeksi aliran darah
dan kejadian infeksi sistemik rendah. Alasan ini tampaknya menjadi virulensi
rendah dari C. dubliniensis dibandingkan dengan virulensi C. albicans. Ia telah
mengemukakan bahwa alasan untuk virulensi relatif rendah adalah
kemampuannya lebih rendah untuk membentuk hifa compred ke C. albicans.
Namun C.dubliniensis, hanya spesies Candida selain C. albicans yang
membentuk hifa benar. Penurunan kerentanan atau ketahanan telah dilaporkan
pada isolat pulih dari HIV-pasien menerima terapi flukonazol. C. dubliniensis
telah diisolasi dari berbagai geografis (Raju, 2011)

2.2.4.8 Candida lusitaniae.


C. lusitaniae pertama kali dijelaskan pada tahun 1959 yang umum
mengisolasi saluran gastrointestinal dan laporan pertama pada kasus infeksi
manusia yang disebabkan oleh C. lusitaniae berada di 1979. Ini adalah patogen
yang jarang. Ini adalah patogen yang kurang dari pada C. tropicalis dan
C.parapsilosis dan penyebab infeksi utama pada host immunocompressed dengan
penggunaan antibiotik spektrum luas yang berkepanjangan ,berobat dirumah sakit
yang lama, terapi sitotoksik atau kortikosteroid, atau granulositopenia. Hal ini
juga ditemukan sebagai penyebab infeksii pada kelahiran rendah pada neonatals.
C. lusitaniae mungkin berkembang resistansi terhadap amfoterisin B, namun data
bertentangan (Raju, 2011).

14
2.3.5 Pemeriksaan Laboratorium pada Kasus Infeksi Virus.

 Identifikasi spesies candida adalah suatu tes biokimia yang dilakukan


dengan menggunakan glukosa, sukrosa, maltose dan laktosa dengan tujuan
untuk membedakan spesies candida.
 Penderita HIV/AIDS adalah seseorang yang terserang virus HIV (human
immunodeficiency Virus). HIV terutama menginfeksi dan menghancurkan
sel-sel dalam sistem kekebalan tubuh, terutama CD4 + T-limfosit. Sistem
kekebalan tubuh tidak mampu menghilangkan virus HIV, meskipun dapat
mengontrol replikasi virus ke tingkat tertentu melalui respon imun
humoral dan seluler(epidemiology).

2.3.6 Tatalaksana Dental pada Infeksi Virus.

Pertimbangan Perawatan gigi


Sebagai seorang dokter gigi pertimbangan utama dalam perawatan dental adalah
untuk meminimalisasi kemungkinan penularan HIV dari pasien yang terinfeksi
kepada mereka sendiri, para staf, dan pasien lain.
1. Meskipun saliva tidak menimbulkan penularan virus, namun potensi itu tetap
ada. Prosedur dental yang bersinggungan dengan jaringan lunak dapat
menyebabkan saliva bercampur darah, yang merupakan tempat penularan HIV.
2. Rencana perawatan untuk pasien HIV sama dengan pengobatan pasien
kompleks lainnya dengan potensial terjadinya kerusakan fatal. 4 (empat)
parameter yang perlu dipertimbangkan untuk formulasi rencana perawatan yang
tepat pada pasien ini adalah:
a. Kondisi kesehatan pasien menentukan kemampuannya untuk bertahan pada
kunjungan perawatan dental.
b. Hal yang penting untuk memperbaiki fungsipenyembuhan pasien.
c. Prognosis pasien, dan
d. Keadaan keuangan.

15
Pencegahan
Mengingat cara transmisi virus AIDS berlangsung melalui hubungan seksual,
menggunakan jarum suntik bersama dan sebagian kecil melalui transfusi darah
maupun komponen darah. Oleh karena itu ada beberapa cara yang dapat di
tempuh untuk mengurangi penularan penyakit (Samaranayake,2008) :
1. Kontak seksual harus dihindari dengan orang yang diketahui menderita AIDS
dan orang yang sering menggunakan obat bius secara intravena.
2. Mitra seksual multipel atau hubungan seksual dengan orang yang mempunyai
banyak teman kencan seksual, memberikan kemungkinan besar tertular AIDS.
3. Cara hubungan seksual yang dapat merusak selaput lendir rektal, dapat
memperbesar kemungkinan mendapat AIDS.
4. Dianjurkan untuk menggunakan kondom.
5. Kasus AIDS pada orang yang menggunakan obat bius intravena dapat
dikurangi dengan cara memberantas kebiasaan buruk tersebut dan melarang
penggunaan jarum suntik bersama.
6. Semua orang yang tergolong beresiko tinggi AIDS seharusnya tidak menjadi
donor. Di Amerika masalah ini dapat dipecahkan dengan adanya penentuan zat
anti-AIDS dalam darah melalui cara Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay
(ELISA).
7. Para dokter harus ketat mengenai indikasi medis transfusi darah autolog yang
dianjurkan untuk dipakai.

BAB III

PENUTUP

16
Kesimpulan

Berbagai manifestasi oral di atas yang sering ditemukan pada pasien yang
terinfeksi HIV berhubungan langsung dengan tingkat imunosupresinya, yang
dapat menjadi indikator infeksi HIV dan prediksi perkembangan infeksinya
menjadi AIDS. Penatalaksanaannya meliputi pengobatan anti jamur, anti virus,
dan antibiotik, serta perawatan terhadap gigi dan jaringan pendukungnya, dengan
mempertimbangkan status imunologi. Pencegahan dan pemeriksaan gigi dan
mulut secara rutin juga diperlukan, untuk mempertahankan kesehatan dan
mencapai kualitas hidup pasien yang terinfeksi yang lebih baik. Dokter gigi
hendaknya mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai manifestasi oral dari
infeksi HIV sehingga dapat mendeteksi secara dini dan melakukan
penatalaksanaannya dengan tepat.
Saran

Dalam makalah ini tentunya ada banyak sekali koreksi dari pembaca, karena
kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Maka dari itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca yang dengan itu
semua kami harapkan makalah ini akan menjadi lebih baik lagi.

17

Anda mungkin juga menyukai

  • Cover
    Cover
    Dokumen2 halaman
    Cover
    Eko Wahyu Hidayat
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Dokumen1 halaman
    Daftar Pustaka
    Eko Wahyu Hidayat
    Belum ada peringkat
  • Isi Hal 1
    Isi Hal 1
    Dokumen21 halaman
    Isi Hal 1
    Eko Wahyu Hidayat
    Belum ada peringkat
  • Skenario 3
    Skenario 3
    Dokumen14 halaman
    Skenario 3
    Eko Wahyu Hidayat
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen2 halaman
    Cover
    Eko Wahyu Hidayat
    Belum ada peringkat