Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Istilah etika berasal dari Bahasa Yunani ethos, artinya adat istiadat
atau kebiasaan balk. Menurut E. Sumaryono (1995:12), bertolak dari
pengertian adat istiadat (yang baik-pen.) kemudian etika berkembang menjadi
studi tentang kebiasaan-kebiasaan manusia yang terdapat di dalam konvensil
kebiasaan. Menurut Banning (dalam Pitono Soeparto, 2001:1), etika
menyangkut kelakuan/ perbuatan manusia yang ditimbang menurut baik
buruknya.
Landasan etika adalah nonna sebagai dasar penilaian perilaku
manusia. Etika mencari dan berusaha menunjukkan nilai-nilai kehidupan yang
benar secara manusiawi kepada setiap orang, Etika merupakan telaah dan
penilaian terhadap kelakuan manusia ditinjau dari kesusilaan dan kesopanannya;
terkandung unsur sifat-sifat budi pekerti luhur yang berupa pengorbanan,
dedikasi/pengabdian terhadap sesamanya. Norma-norma dalam etika
kedokteran berlaku sebagai petunjuk perilaku yang baik dalam menjalankan
profesi kedokteran. Dengan demikian dalam etika kedokteran terkandung
tentang penilaian untuk menentukan tentang baik atau buruknya suatu pelayanan
rnedis.
Setiap profesi memiliki kode moral atau kode etik tersendiri. Anggota
profesi yang melanggar kode etiknya dijatuhi sanksi oleh para anggota profesi
tersebut, yang biasanya diwakili oleh suatu dewan atau majelis yang ditunjuk
atau dipilih khusus oleh anggota profesi.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah kode etik kedokteran indonesia?


2. Bagaimanakah prinsip etika kedokteran?
3. Bagaimanakah jenis pelanggaran etika kedokteran?
4. Bagaimanakah sanksi pelanggaran etika?
5. Bagaimanakah pelanggaran peraturan perundang-undangan kode etik?
6. Bagaimanakah pihak yang berwenang menyelesaikan permasalahan kode
etik?

1.3 Tujuan Pembelajaran


1. Mahasiswa mampu mendeskripsikan tentang kode etik kedokteran
indonesia.
2. Mahasiswa mampu mendeskripsikan tentang prinsip etika kedokteran.
3. Mahasiswa mampu mendeskripsikan tentang jenis pelanggaran etika
kedokteran.
4. Mahasiswa mampu mendeskripsikan tentang faktor prediposisi impaksi
gigi.
5. Mahasiswa mampu mendeskripsikan tentang pelanggaran peraturan
perundang-undangan kode etik.
6. Mahasiswa mampu mendeskripsikan tentang pihak yang berwenang
menyelesaikan permasalahan kode etik.
BAB II

PEMBAHASAN

Skenario

Saya Lebih Oke

Seorang perempuan 23 tahun dating ke dokter gigi x dengan keluhan tambalan


sering lepas. Dokter gigi x melakukan penambalan sambil memberitahukan bahwa
prosedur yang dilakukan dokter gigi A salah. Dokter gigi X mengatakan bahwa
skill dan peralatan yang digunakan muhtahir dibandingkan dokter gigi A.

2.1 Step 1 (Klarifikasi Istilah)

1. Mutahhir
o Mutakhir adalah terakhir, terbaru, modern.
2. Skill
o Skill adalah kemampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang
sifatnya spesifik, fokus namun dinamis yang membutuhkan waktu
tertentu untuk mempelajarinya dan dapat dibuktikan.
2.2 Step II (Menentukan Permasalahan)
1. Apa jenis kesalahan dokter tersebut?
2. Apa sanksi yang didapatkan oleh dokter x?
3. Apa kewajiban yang dilakukan dokter dengan teman sejawat?
4. Bagaimana sikap dokter gigi x terhadap pasien atas perawatan dari dokter
gigi A?
5. Apa Tujuan etika profesi ?
6. Apa yang seharusnya dilakukan dokter gigi A agar sesuai dengan dokter
gigi X ?
7. Apa alasan membandingkan diri terhadap dokter lain ?
8. Apa saja pelanggaran kode etik kedokteran ?
9. Siapa yang berwewenang menyusun peraturan etika profesi ?
10. Apa dampak dokter gigi A atas perlakukan dokter gigi X?
11. Apa prinsip dasar etika kedokteran?
2.3 Step III (Brainstorming)

1. Apa jenis kesalahan dokter tersebut?


 Pelanggaran etika murni, dan melanggara kewajiban ke teman
sejawat

2. Apa sanksi yang didapatkan oleh dokter x?


 Sanksi tergantung ringan beratnya pelanggaran, dan sanksi yang di
dapatkan bisa seperti peringatan, teguran, sanksi sosial dan pidana.

3. Apa kewajiban yang dilakukan dokter dengan teman sejawat?


 Setiap dokter menghindari memuji diri sendiri (pasal 4),
memberitahu teman sejawat di sekitar apabila membuka praktek
dalam kawasan yang sama, bersikap jujur

4. Bagaimana sikap dokter gigi x terhadap pasien atas perawatan dari dokter
gigi A?
 Tetap menjaga nama teman sejawat, harus menelaah dengan bijak,
dan tidak menjatuhkan teman sejawat, tetap mendengar kan
keluhan pasien, dan tidak boleh mengomentari hasil kerja teman
sejawatnya, menghidari menyindiri te,man sejawatnya di depan
pasien

5. Apa Tujuan etika profesi ?


 Agar bekerja secara profesional, sepenuh hati melayani pasien,
terjalin organisasi yang kuat dan erat.

6. Apa yang seharusnya dilakukan dokter gigi A agar sesuai dengan dokter
gigi X ?
 Lebih mengikuti seminar atau pelatihan, mempertahankan
martabatnya dengan mengikuti organisasi sesuai dengan
bidangnya, seharusnya dokter gigi a haru meningkatkan standard
profesi

7. Apa alasan membandingkan diri terhadap dokter lain ?


 mungkin ingin terlihat skill lebih baik, dendam dengan yang lain
dan terprovokasi terhdap pasien tsb

8. Apa saja pelanggaran kode etik kedokteran ?


 Pelanggarannya adalah sumpah dokter, pelayanan dibawah
standard, penarikan imbalan yang tidak wajar

9. Siapa yang berwewenang menyusun peraturan etika profesi ?


 MKDKI, MKEK, dan PDGI

10. Apa dampak dokter gigi A atas perlakukan dokter gigi X?


 Sepi praktek, pencemaran nama baik
 Kerugian masyarakat atau drg sendiri.
 Lebih mengasah kemampuannya

11. Apa prinsip dasar etika kedokteran?


 Autonomy
 Justice
 Beneficence
 Non-maleficience
2.4 Step IV (Menganalisa Permasalahan)

Kode Etik

Pengertian Prinsip

Jenis Pelanggaran

Undang-undang

Yang Berwenang

sanksi
2.5 Step V (Tujuan Pembelajaran)
1. Mahasiswa mampu mendeskripsikan tentang kode etik kedokteran indonesia.
2. Mahasiswa mampu mendeskripsikan tentang prinsip etika kedokteran.
3. Mahasiswa mampu mendeskripsikan tentang jenis pelanggaran etika
kedokteran.
4. Mahasiswa mampu mendeskripsikan tentang faktor prediposisi impaksi gigi.
5. Mahasiswa mampu mendeskripsikan tentang pelanggaran peraturan
perundang-undangan kode etik.
6. Mahasiswa mampu mendeskripsikan tentang pihak yang berwenang
menyelesaikan permasalahan kode etik.

2.6 Step VI (Belajar Mandiri)


Dalam step ini kami melakukan belajar mandiri, yaitu dengan mencari
berbagai literature yang berhubungan dengan tujuan pembelajaran baik dari
internet, buku, maupun dari pakarnya langsung.

2.7 Step VII

Pada step ini kami mencurahkan referensi yang kami dapat, yaitu setelah
melalui step VI. Dari semua hasil mandiri yang kami lakukan sesuai dengan
tujuan pembelajaran yang hendak kami capai, maka kami menguraikannya seperti
berikut ini:

2.7.1 Kode Etik Kedokteran Indonesia

Kode Etik Kedokteran

Kode Etik adalah pedoman perilaku yang berisi garis-garis besar;


sedangkan menurut Pennenkes No. 554/Men.Kesl Per1X1I/1982,etik
kedokteran ialah nonna yang beriaku bagi dokter dan dokter gigi dalam
menjalankan profesinya sebagai tercantum dalam kode etik masing-masing
yang telah ditetapkan oleh menteri kese- hatan,
Kode Etik merupakan pemandu sikap dan perilaku. Kode Etik Kedokteran
menyangkut 2 (dua) hal yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Etik jabatan kedokteran (medical ethics), yaitu menyangkut masalah
yang berkaitan dengan sikap dokter terhadap teman sejawat, para pem-
bantunya serta terhadap masyarakat dan pemerintah;
2. Etik asuhan kedokteran (ethics of medical care), yaitu menyangkut
kehidupan sehari-hari dokter, yang berhubungan dengan sikap
dan tindakan seorang dokter terhadap penderita yang menjadi
tanggung jawabnya.
Dalam Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia dinyatakan, bahwa seorang
dokter gigi dalam menjalankan profesinya perlu membawa diri dalam sikap
dan tindakan yang terpuji. la harus bertindak dengan penuh kejujuran dan
tanggung jawab, baik dalam hubungannya ternadap penderita, masyarakat,
ternan sejawat, maupun profesinya.
Dalam Mukadimah Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia antara lain
dinyatakan, bahwa dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa serta didorong oleh
keinginan luhur untuk mewujudkan martabat, wibawa, dan kehormatan profesi
kedokteran gigi, maka dokter gigi yang tergabung dalam wadah Persatuan
Dokter Gigi Indonesia dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab
merumuskan Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia yang wajib dihayati,
ditaati, dan diamalkan, oleh setiap dokter gigi yang menjalankan
profesinya di wilayah hukum Indonesia.
.Dalam Kode Etik Kedokteran Gigi
Indonesia dinyatakan sebagai berikut:

1. Kewajiban umum: setiap dokter gigi

Indonesia:
 Menghayati, mentaati, dan mengamalkan Lafal Sumpah/Janji Dokter Gigi
Indonesia;
 Harus senantiasa menjalankan profesinya secara optimal; Menjunjung
tinggi norma-norma hidup yang luhur;
 Dalam menjafankan profesinya tidak dibenarkan melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan etik;
 Harus memberikan kesan dan keterangan atau pendapat yang dapat
dipertanggungjawabkan; Agar menjalin kerjasarna yang baik dengan
tenaga kesehatan; Sebagai sarjana kesehatan wajib bertindak sebagai
motivator dan pendidik masyarakat;
 Berupaya meningkatkan kesehatan gigi masyarakat dalam bidang
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
2. Kewajiban dokter gigi ternadap penderita:
 Memberikan pelayanan sebaik- baiknya kepada penderita dalam
menjalankan profesinya;
 Merujuk atau mengkonsultasikan kepada teman sejawat yang lebih ahli,
apabila tidak mampu menangani suatu kasus;
 Merahasiakan segala sesuatu yang ia ketahui tentang penderita, bahkan
juga setelah penderita meninggal dunia;
 Memberikan pertolongan daruratdalam batas-batas kemampuannya,
sebagai tugas perikemanusiaan, kecuali pada waktu itu ada orang lain
yang lebih mampu memberikan pertolongan.
3.Kewajiban dokter gigi terhadap teman sejawat:

 Harus memperiakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin


diperlakukan;
 Tidak dibenarkan mengambil alih penderita dari teman sejawatnya tanpa
persetujuannya.
4, Kewajiban dokter gigi terhadap diri sendiri:
 Mempertahankan dan meningkat- kan martabat dirinya sendiri; Mengikuti
secara aktif perkembangan ilmu pengetahuan;
 Harus memelihara kesehatannya supaya dapat bekerja dengan baik.
2.7.2 Prinsip Etika Kedokteran

Bioetika kedokteran merupakan salah satu etika khusus dan etika sosial
dalam kedokteran yang memenuhi kaidah praksiologik (praktis) dan filsafat
moral (normatif) yang berfungsi sebagai pedoman (das sollen) maupun sikap
kritis reflektif (das sein), yang bersumber pada 4 kaidah dasar moral
(kaidah dasar bioetika-KDB) beserta kaidah turunannya. Kaidah dasar moral
bersama dengan teori etika dan sistematika etika yang memuat nilai-nilai dasar
etika merupakan landasan etika profesi luhur kedokteran.
Dalam profesi kedokteran dikenal 4 prinsip moral utama, yaitu:
1. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak
pasien, terutama hak otonomi pasien (the rights to self determination),
2. Prinsip beneficience, yaitu prinsip moral yang mengutamakan
tindakan yang ditujukan ke kebaikan pasien;
3. Prinsip non maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan
yang memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai “primum
non nocere” atau “above all do no harm”,
4. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan
keadilan dalam mendistribusikan sumberdaya (distributive justice).

Prinsip Beneficence
Beneficence secara makna kata dapat berarti pengampunan,
kebaikan, kemurahan hati, mengutamakan kepentiang orang lain, mencintai
dan kemanusiaan. Beneficence dalam makna yang lebih luas berarti tindakan
yang dilakukan untuk kebaikan orang lain. Prinsip moral beneficence adalah
kewajiban moral untuk melakukan suatu tindakan demi kebaikan atau
kemanfaatan orang lain (pasien). Prinsip ini digambarkan sebagai alat
untuk memperjelas atau meyakinkan diri sendiri (self-evident) dan diterima
secara luas sebagai tujuan kedokteran yang tepat.
Penerapan prinsip beneficence tidak bersifat mutlak. Prinsip ini
bukanlah satu-satunya prinsip yang harus dipertimbangkan, melainkan satu
diantara beberapa prinsip lain yang juga harus dipertimbangkan. Prinsip ini
dibatasi keseimbangan manfaat, resiko, dan biaya (sebagai hasil dari tindakan)
serta tidak menentukan pencapaian keseluruhan kewajiban. Kritik yang sering
muncul terhadap penerapan prinsip ini adalah tentang kepentingan umum yang
diletakan di atas kepentingan pribadi. Sebagai contoh, dalam penelitian
kedokteran, atas dasar kemanfaatan untuk kepentingan umum sering prosedur
penelitian yang membahayakan individu subjek penelitian diperbolehkan.
Padahal, terdapat prinsip-prinsip lain yang semestinya juga dipertimbangkan.
Prinsip beneficence harus diterapkan baik untuk kebaikan individu seorang
pasien maupun kebaikan masyarakat keseluruhan.
Beberapa bentuk penerapan prinsip beneficence merupakan
komponen penting dalam moralitas. Karena luasnya cakupan kebaikan, maka
banyak ketentuan-ketentuan dalam praktek (kedokteran) yang baik lahir dari
prinsip beneficence ini. Beberapa contoh penerapan prinsip beneficence ini
adalah:
1. Melindungi dan menjaga hak orang lain.
2. Mencegah bahaya yang dapat menimpa orang lain.
3. Meniadakan kondisi yang dapat membahayakan orang lain.
4. Membantu orang dengan berbagai keterbatasan (kecacatan).
5. Menolong orang yang dalam kondisi bahaya.
Prinsip Non-maleficence
Prinsip non-maleficence, yaitu melarang tindakan yang
membahayakan ataumemperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai
“primum non nocere” atau “do no harm”. Prinsip ini berhubungan dengan
ungkapan Hipokrates yang menyatakan “saya akan menggunakan terapi untuk
membantu orang sakit berdasarkan kemampuan dan pendapat saya, tetapi
saya tidak akan pernah menggunakannya untuk merugikan atau mencelakakan
mereka”.
Prinsip non-maleficence sering menjadi pembahasan dalam bidang
kedokteran terutama kasus kontroversial terkait dengan kasus penyakit terminal,
penyakit serius dan luka serius. Prinsip ini memegang peranan penting dalam
pengambilan keputusan untuk mempertahankan atau mengakhiri kehidupan.
Penerapannya dapat dilakukan pada pasien yang kompeten maupun tidak
kompeten. Pada dasarnya, prinsip non-maleficence memberikan peluang
kepada pasien, walinya dan para tenaga kesehatan untuk menerima atau
menolak suatu tindakan atau terapi setelah menimbang manfaat dan
hambatannya dalam situasi atau kondisi tertentu.
Banyak filosof yang menjadikan prinsip non-maleficence sebagai satu
kesatuan dengan prinsip beneficence (mengutamakan tindakan untuk kebaikan
pasien). Namun, banyak juga yang membedakannya. Pertimbangannya antara
lain pemikiran bahwa kewajiban untuk tidak membahayakan atau
mencelakakan pasien, tentu berbeda dengan kewajiban untuk membantu pasien,
walaupun keduanya untuk kebaikan pasien.

Prinsip
Autonomy
Otonomi (Autonomy) berasal dari bahasa Yunani ”autos” yang berarti
sendiri dan”nomos” yang berarti peraturan atau pemerintahan atau hukum.
Awalnya otonomi dikaitkan dengan suatu wilayah dengan peraturan sendiri atau
pemerintahan sendiri atau hukum sendiri. Namun kemudian, otonomi juga
digunakan pada suatu kondisi individu yang maknanya bermacam-macam
seperti memerintah sendiri, hak untuk bebas, pilihan pribadi, kebebasan
berkeinginan dan menjadi diri sendiri. Makna utama otonomi individu adalah
aturan pribadi atau perseorangan dari diri sendiri yang bebas, baik bebas dari
campur tangan orang lain maupun dari keterbatasan yang dapat menghalangi
pilihan yang benar, seperti karena pemahaman yang tidak cukup. Seseorang
yang dibatasi otonominya adalah seseorang yang dikendalikan oleh orang lain
atau seseorang yang tidak mampu bertindak sesuai dengan hasrat dan
rencananya.
Terdapat berbagai pendapat tentang penerapan prinsip otonomi.
Meskipun demikian, secara umum ada beberapa cara menerapkan prinsip
otonomi, khususnya dalam praktek kedokteran. Cara-cara tersebut antara lain:
1. Menyampaikan kebenaran atau berita yang sesungguhnya (tell the
truth)
2. Menghormati hak pribadi orang lain (respect the privacy of others)
3. Melindungi informasi yang bersifat rahasia (protect confidential
information)
4. Mendapat persetujuan untuk melakukan tindakan terhadap pasien
(obtain consent for interventions with patients)
5. Membantu orang lain membuat keputusan yang penting (when
ask, help others make important decision)
Hal penting dalam menerapkan prinsip otonomi adalah menilai kompetensi
pasien. Para pakar meyakini belum ada satu definisi kompetensi pasien yang
dapat diterima semua pihak, sehingga begitu banyak defnisi tentang kompetensi
pasien. Salah satu definisi kompetensi pasien yang dapat diterima adalah
”kemampuan untuk melaksanakan atau perform suatu tugas atau perintah”.
Prinsip Justice
Prinsip Justice diterjemahkan sebagai menegakan keadilan atau
kesamaan hak kepada setiap orang (pasien). Definisi lainnya adalah
memperlakukan orang lain secara adil, layak dan tepat sesuai dengan
haknya. Situasi yang adil adalah seseorang mendapatkan mendapatkan
manfaat atau beban sesuai dengan hak atau kondisinya. Situasi yang tidak adil
adalah tindakan yang salah atau lalai berupa meniadakan manfaat kepada
seseorang yang memiliki hak atau pembagian beban yang tidak sama. Prinsip
justice lahir dari sebuah kesadaran bahwa jumlah benda dan jasa
(pelayanan) itu terbatas, sedangkan yang memerlukan seringkali melabihi
batasan tersebut. Prinsip justice kemudian diperlukan dalam pengambilan
keputusan tersebut.
Terdapat beberapa kriteria dalam penerapan prinsip justice, antara lain:
1. Untuk setiap orang ada pembagian yang merata (equal share)
2. Untuk setiap orang berdasarkan kebutuhan (need)
3. Untuk setiap orang berdasarkan usahanya (effort)
4. Untuk setiap orang berdasarkan kontribusinya (contribution)
5. Untuk setiap orang berdasarkan manfaat atau kegunaannya (merit)
6. Untuk setiap orang berdasarkan pertukaran pasar bebas (free-market
exchange)

2.7.3 Jenis Pelanggaran Etika Kedokteran

Dalam Lafal Sumpah Dokter dan KOOEKI ditentukan perbuatan


yang dinyatakan sebagai pelanggaran etik. Oi samping itu, ditentukan
pula tentang pelanggaran etik dan sekaJigus merupa- kan pelanggaran
hukum (etikolegel).
Perbuatan dokter yang ditentukan sebagai pelanggaran etik mumi
meliputi:
a. Menarik imbalan yang tidak wajar atau menarik imbalan jasa dari
keluarga sejawat dokter dan dokter gigi;
b. Mengambil aiih pasien tanpa persetujuan sejawatnya;
c. Memuji din sendiri di depan pasien;
d. Tidak pemah mengikuti pendidikan kedokteran secara
berkesinambungan;
e. Dokter mengabaikan kesehatannya sendiri.

Perbuatan dokter yang ditentukan sebagai pelanggaran etik


sekaligus pelanggaran hukum (etikolegal) meliputi:
a. Pelayanan kedokteran di bawah standar;
b. Menerbitkan surat keterangan palsu;
c. Membuka rahasia jabatan atau pekerjaan dokter;
d. Abortus provocatus;
e. Percabulan dan persetubuhan se- cara illegal.

Dari uraian tersebut di atas, haruslah dibedakan hal-hal yang


berupa pelanggaran etik, di samping itu pelang- garan etik yang
sekaligus merupakan pelanggaran hukum (elikolegal). Dalam
penanganannya, MKEK atau P3EK yang akan merekomendasikan,
jika terjadi etikolegal. Namun demikian, dalam praktek pelaksanaannya
jika terjadi pelanggaran hukum (dan/atau sekaligus pelanggaran etik),
maka penyelesaiannya diselesaikan melalui jalur hukum tanpa
menunggu lebih lanjut rekomendasi dari MKEK atau P3EK, karena
pada hakekatnya, pasien dan dokter merupakan subyek hukum sehingga
terhadap dokter berlaku juga ketentuan-ketentuan hukum umum sebagai
dasar pertanggungjawaban hukum dalam menjalankan profesinya.
Jalur hukum yang dapat ditempuh dalam hal terjadinya
etikolegal, adalah melalui mekanisme hukum perdata, hukum pidana
atau hukum administrasi. Namun demikian, tulisan ini hanya dibatasi
pembahasannya pada penyelesaian menurut etik kedokteran, dan tidak
dimaksudkan untuk membahas tentang penyelesaian melalui jalur
hukum.

2.7.4 Sanksi Pelanggaran Etika

Ketentuan Pemberian Sanksi


Pemberian sanksi secara umum dilakukan dengan tiga tahap:
Tahap pertama adalah merumuskan tujuan sanksi yang diberikan. Sanksi
harus bertujuan mendidik pelaku dengan nilai yang sesuai, mempertimbangkan
kondisi pelaku dan masyarakat secara luas. Pemberian sanksi juga harus disertai
penjelasan dan penegasan agar pelaku mengerti bahwa terdapat peraturan yang
harus ditaati. Sanksi juga harus diberikan secara spesifik dan menghindari
pertimbangan tidak relevan yang dapat mengalihkan perhatian dari pelanggaran
etik itu sendiri (non-issue).
Tahap kedua adalah menentukan berat ringannya sanksi berdasarkan
beberapa pertimbangan:jenispelanggaran,beratringannya pelanggaran
berdasarkan konsensus atau ketentuan yang berlaku, riwayat pelanggaran, dan
faktor-faktor penyerta lain. Selain itu harus dilakukan upaya menyeimbangkan
antara sanksi aktif dan pasif. Jenis pelanggaran yang dimaksud adalah
pemberian sanksi dengan penjelasan dan penegasan terhadap tindakan yang
dibuat, bukan terhadap suatu klausul peraturan semata, misalnya “Anda
melanggar karena Anda mencuri” bukan sekedar mengatakan “Anda melanggar
peraturan nomor 5” tanpa menjelaskan lebih rinci isi peraturan tersebut. Hal itu
bertujuan agar pelaku mengerti jenis pelanggaran dan dampak yang mungkin
timbul, bukan hanya menyebutkan klausul/peraturan pelanggaran yang terjadi.
Berat ringannya pelanggaran ditentukan berdasarkan konsensus atau
keputusan pihak berwenang dengan mempertimbangkan berbagai kondisi.
Keributan yang ditimbulkan seseorang di perpustakaan memiliki sanksi berbeda
dibandingkan dengan keributan di kelas. Bermain telepon genggam pada
saat pemeriksaan imigrasi memiliki dampak berbeda dibandingkan dengan
bermain telepon genggam di bioskop. Riwayat pelanggaran berkaitan dengan
jumlah pelanggaran sebelumnya yang pernah dilakukan pelaku, baik pelanggaran
serupa maupun tidak. Faktor penyerta yang perlu dipertimbangkan
misalnya niat, keadaan individu pada saat kejadian, tingkat kemudahan kerjasama
pelaku pada proses peradilan, pengaruh alkohol atau obat-obatan terlarang.
Sanksi juga perlu diberikan dengan mempertimbangkan kombinasi sanksi pasif
(berupa pembekuan hak) maupun aktif (berupa pemberian kewajiban) yang
dapat memberikan dampak positif terhadap pelaku dan masyarakat sekitarnya.
Tahap ketiga adalah pelaksanaan sanksi yang konkrit dan terawasi. Sanksi
yang telah diberikan harus dievaluasi bila terdapat pengulangan pelanggaran
atau hambatan ketika sanksi sedang dijalankan.
Mekanisme Pemberian Sanksi sesuai Pedoman Organisasi dan Tata
Laksana Kerja (ORTALA) MKEK
Dalam ORTALA MKEK, pemberian sanksi terhadap dokter
terhukum/pelanggar etik dapat berupa penasihatan, peringatan lisan,
peringatan tertulis, pembinaan perilaku, pendidikan ulang (re-schooling),
hingga pemecatan keanggotaan IDI, baik secara sementara atau pun permanen.
Pada umumnya sanksi etik tersebut bersifat pembinaan, kecuali pemecatan
keanggotaan yang bersifat permanen atau pencabutan keanggotaan seumur
hidup.
Mekanisme pemberian sanksi oleh MKEK diawali dari masuknya
pengaduan yang sah, dilanjutkan dengan proses penelaahan kasus yang
diadukan. Pada akhir penelaahan, Ketua MKEK menetapkan kelayakan kasus
untuk disidangkan oleh majelis pemeriksa yang akan melakukan sidang
kemahkamahan hingga tercapai keputusan MKEK. Bila terbukti terdapat bukti
pelanggaran etik, maka majelis akan menetapkan sanksi sesuai dengan berat
ringannya kesalahan dokter teradu. Pelaksanaan sangsi dilakukan oleh Divisi
Pembinaan Etika Profesi MKEK untuk dan atas nama pengurus IDI setingkat.
2.7.5 Pelanggaran Peraturan Perundang-undangan Kode Etik

A. kewajiban Umum (Bab I)

1. Setiap dokter gigi indonesia wajib menghayati, menaati, dan mengamalkan


Lafal Sumpah/Jandi Dokter Gigi Indonesia ( pasal 1)
2. Setiap dokter gigi gindonesia harus senatiasa menjalakan profesinya secara
optimal (pasal 2)
3. Setiap dokter gigi Indonesia wajib menjunjung tinggi norma-norma hidup
yang luhur ( pasal 3)
4. Dalam menjalakan profesinya setiap dokter gigi Indonesia tidak dibenarkan
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan etik (pasal 4)
5. Setiap dokter gigi Indonesia meberikan kesan dan keterangan atau pendapat
yang dapat dipertanggung jawabkan (pasal 5)
6. Setiap dokter gigi Indonesia agar menjemin kerjasama yang baik dengan
tenaga kesehatan lainnya (pasal 6)
7. Setiap dokter gigi Indonesia sebagai sarjana kesehatan wajib bertindak
sebagai motivator dan pendidik masyarakat (pasal 7)
8. Setiap dokter gigi Indonesia wajib berupaya untuk meningkatkan kesehatan
gigi masyarakat dalam bidang promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
(pasal 8)

B. Kewajiban Dokter Gigi terhadap Penderita (Bab II)

1. Dalam menjalankan profesinya, setiap dokter gigi Indonesia wajib


memberikan pelayanan yang sebaik mungkin kepada penderita (pasal 9)
2. Dalam hal ketidakmampuan menangani suatu kasus, maka setiap dokter gigi
Indonesia berkewajiban merujuk atau mengkonsultasikan kepada teman
sejawat yang lebih ahli (pasal 10)
3. Setiap dokter gigi Indonesia wajib merahasiakan segala sesuatu yang ia
ketahui tentang penderita, bahkan juga setelelah penderita meninggal dunia
(pasal 11)
4. Setiap dokter gigi Indonesia wajin memberikan pertolongan darurat dalam
batas-batas kemampuannya, sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali
pada waktu itu ada orang lain yang lebih mampu memberikan pertolongan
(pasal 12)

C. Kewajiban Dokter Gigi terhadap Teman Sejawat (BAB IV)

1. Setiap dokte gigi Indonesia harus memperlakukan teman sejawat


sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan (pasal 13)
2. Setiap dokter gigi Indonesia tidak dibenarkan mengambil alih penderita dari
teman sejawatnya tanpa persetujuannya (pasal 14)

D. Kewajiban Dokter Gigi terhadap Diri Sendidi (BAB V)

1. Setiap dokter gigi Indonesia wajib mempertahankan dan meningkatkan


martabar dirinya (pasal 15)
2. Setiap dokter gigi Indonesia wajib mengikuti secara aktif perkembangan ilmu
pengetahuan dan tegnologi ( pasal 16)
3. Setiap dokter gigi Indonesia harus memelihara kesehatannya supaya dapat
bekerja dengan baik (pasal 17).

2.7.6 Pihak yang Berwenang Menyelesaikan Permasalahan Kode Etik

Ada 2 (dua) tembaga yang memiliki kewenangan datam


menangani masalah etika kedokteran di i ndonesia, yaitu MKEK
(Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) dan P3EK (Panitia
Pertimbangan Penilaian Etik Kedokteran). Kedua tembaga tersebut
bertugas menyelesaikan setiap permasalahan yang berhubungan
dengan pelaksanaan profesi dokter. MKEK merupakan badan khusus
organisasi profesi IDI ; sedangkan P3EK merupakan badan
ekstra struktural dari Departemen Kesehatan.
Tetah ada konsensus bersama antara P3EK dan MKEK,
yang menentukan, jika ada pengaduan petanggaran etika pertama-
tama diselesaikan secara musyawarah antara pengadu dengan dokter
yang bersangkutan yang disaksikan oleh anggota IDI cabang. Jika tidak
dapat disetesaikan secara musyawarah, I D I witayah c.q. MKEK
propinsi. Jadi pada prinsipnya setiap petanggaran etika pertama-tama
disetesaikan oteh MKEK.

MKEK

MKEK adalah tembaga perlengkapan organisasi profesi IDI. Pasat 16 ayat (1)
Anggaran Rumah Tangga IDI menentukan, bahwa MKEK merupakan
badan khusus dalam bidang etika. Pasat 16 Ayat (2) Anggaran Rumah
Tangga IDI menentukan tugas dan wewenang MKEK, yaitu metiputi:

a) Melakukan tugas bimbingan pengawasan dan penitaian dalam


pelaksanaan etik kedokteran;
b) Memperjuangkan etik kedokteran agar dapat ditegakkan di
Indonesia;
c) Memberikan usul dan saran, diminta dan tidak diminta
kepada Dewan Pertimbangan dalam hubungan dengan
masalah etik kedokteran;
d) Membina hubungan baik dengan aparat etik yang ada, baik
pemerintah maupun organisasi profesi lain dengan sepengetahuan
Dewan Pertimbangan;
e) Bertanggungjawab kepada Muktamar atau rapat
pembentukan witayah metatui Dewan Pertimbangan.
Tugas pokok MKEK adalah rnelakukan tugas bimbingan, pengawasan
dan penilaian dalam pelaksanaan etika kedokteran seperti ditentukan
dalam butir a. Efektif atau tidaknya tugas MKEK dapat diukur dari
terlaksananya tugas dan wewenang seperti tersebut di atas.

P3EK

P3EK dibentuk berdasarkan Per- menkes RI No.


554lMen.Kes/PerlXlll 1982. Unsur-unsur P3EK Pusat meliputi Oepartemen
Kesehatan, Oepartemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Diknas) c.q.
Fakultas Kedokteran, Fakultas Kedokteran Gigi, Pengurus Besar IDI dan PDGI.

Latar belakang pemikiran pembentukan P3EK disebabkan seeara


organisasi IDI tidak mewajibkan setiap dokter untuk menjadi anggotanya. IDI
menganut sistem aktif dalam keanggotaannya, sehingga tidak setiap dokter di
Indonesia secara otomatis menjadi anggota IDI. Dengan demikian, keberadaan
MKEK sebagai badan khusus yang bertugas membimbing, mengawasi dan
menilai pelaksanaan kode etik kedokteran dari para dokter, tidak dapat
menjangkau para dokter yang bukan anggota IDI.

Berdasarkan Permenkes RI No. 554lMen. KeslPerlXi 111982,


menyatakan, bahwa P3EK berwenang untuk memanggil, memeriksa, dan
memutuskan bersalah atau tidaknya seorang dokter yang dituduh melanggar etika.
Sarna seperti MKEK, P3EK tidak terdapat di luar Jakarta dan ibu kota propinsi,
karena pembentukannya hanya pada tingkat pusat dan wilayah/ propinsi.

Tugas dan kewenangan P3EK Pusat adalah sebagai berikut:

a) Memberikan pertimbangan dan usul tentang pelaksanaan kode etik,


baik diminta maupun tidak;
b) Membina dan mengembangkan secara aktif KODEKI dan KODEKGI
dengan Cara bekerjasama dengan IDI dan PDGI;
c) Memberikan pertimbangan dan usul sanksi kepada yang
benwenang terhadap dokter atau dokter gigi yang melanggar etik;
d) Menyelesaikan persoalan yang tidak dapat diselesaikanoleh P3EK
propinsi;
e) Menyelesaikan rujukan terakhir dalam permasalahan pelanggaran
etik kedokteran atau etik kedokteran gigi;
f) Mengadakan konsultasi dengan instansi penegak hukum dan
ahli hukum yang mendalami hukum kedokteran serta instansi lain.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kode Etik merupakan pemandu sikap dan perilaku. Kode Etik


Kedokteran menyangkut 2 (dua) hal yang harus diperhatikan, yatu, etik
jabatan kedokteran (medical ethics), dan etik asuhan kedokteran
kedokteran (ethics of medical care).
Bioetika kedokteran merupakan salah satu etika khusus dan etika sosial
dalam kedokteran yang memenuhi kaidah praksiologik (praktis) dan filsafat
moral (normatif) yang berfungsi sebagai pedoman (das sollen) maupun sikap
kritis reflektif (das sein), yang bersumber pada 4 kaidah dasar moral (kaidah
dasar bioetika-KDB) beserta kaidah turunannya.
Ada 2 (dua) tembaga yang memiliki kewenangan datam
menangani masalah etika kedokteran di i ndonesia, yaitu MKEK (Majelis
Kehormatan Etik Kedokteran) dan P3EK (Panitia Pertimbangan
Penilaian Etik Kedokteran).

Anda mungkin juga menyukai