Anda di halaman 1dari 2

SIKAP DAN PERILAKU PROFESIONAL DOKTER

Menurut Oxford Advanced Learner Dictionary mencantumkan bahwa sikap (attitude)


berasal dari bahasa Italia attitudine yaitu “Manner of placing or holding the body, dan way of
feeling, thinking or behaving”. Campbel (1950) dalam buku Notoadmodjo (2003, p.29)
mengemukakan bahwa sikap adalah “A syndrome of response consistency with regard to social
objects”. Artinya sikap adalah sekumpulan respon yang konsisten terhadap obyek sosial. Dalam
buku Notoadmodjo (2003, p.124) mengemukakan bahwa sikap (attitude) adalah merupakan
reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus atau obyek.[1]
Dalam hal ini sikap dan etika yang baik dari seorang dokter merupakan hal yang mutlak
dimiliki oleh seluruh dokter karena ini juga tentunya terkait dengan tingkat profesionalisme
dokter itu sendiri karena tentunya sikap, etika, dan profesionalisme dokter terutama di Indonesia
sudah mempunyai hukum sendiri yang harus dipatuhi oleh seluruh dokter dan tenaga medis di
Indonesia, dan ini semua telah dimuat dalam Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan Kode Etik
Kedokteran Indonesia. Dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) yang telah disahkan
oleh Konsil Kedokteran Indonesia yang tujuannya adalah : Lulusan dokter mampu bersikap dan
berperilaku sesuai dengan standar nilai moral yang luhur dalam praktik kedokteran, mampu
bersikap sesuai dengan prinsip dasar etika kedokteran dan kode etik kedokteran Indonesia,
mampu mengambil keputusan terhadap dilemma etik yang terjadi pada pelayanan kesehatan
individu, keluarga, dan masyarakat, serta mampu bersikap disiplin dalam menjalankan praktik
kedokteran dan bermasyarakat.[2]
Selain dalam Konsil Kedokteran Indonesia, sikap, etika, dan profesionalisme dokter
Indonesia mempunyai Kode Etik yang dimuat dalam Undang-Undang Kode Etik Kedokteran
Indonesia Pasal 8 yang berbunyi “Seorang dokter wajib, dalam setiap praktik medisnya,
memberikan pelayanan secara berkompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya,
disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia”.

Dari bunyi pasal 8 diatas adapun penjelasan pasalnya :


 Untuk menjalankan praktek profesi yang bertanggungjawab dan bermutu, diperlukan
bekal diri dokter yang cukup banyak. Ada 3 tanggung jawab profesi yakni : (a)
kepada diri sendiri (responsibility) dalam rangka menjalankan kebebasan teknis profesi
berdasar kompetensi
masing-masing, (b) kepada teman sejawat dan lingkungan kerja (accountability) dan
(c) kepada klien/pasien sebagai pihak ketiga (liability). Profesionalisme dihasilkan dari
tanggung jawab moral sepenuhnya, adanya kasih sayang dan penghormatan hak asasi
manusia karena pasien merupakan wujud insan bermartabat.
Adapun beberapa cakupan pasalnya yaitu :
1) Seorang dokter yang akan menjalankan praktek wajib memiliki kompetensi dan
kewenangan sesuai ketentuan yang berlaku sebagai prasyarat sekaligus kesinambungan
profesionalisme.
2) Setiap dokter seharusnya menyadari bahwa penyimpangan etika sudah dimulai sejak
dirinya menjadi dokter bermasalah.
3) Setiap dokter bermasalah wajib memahami bahwa kekurangan tanggung jawab dirinya
berpeluang menjadi konflik etikolegal dengan teman sejawat sesame profesional di
fasilitan pelayanan kesehatan.

Penjelasan dari cakupan pasal diatas :


1) Urutan kontinum profesionalisme dokter dalam pelayanan profesinya dimulai dari
diperolehnya kompetensi sebagai hasil pendidikan dan pelatihan, kredensial dan
peningkatan mutu yang senantiasa berkembang sesuai dinamika kebutuhan
masyarakat. Diikuti
perolehan kewenangan yang diberikan negara sebagai bentuk pengaturan perijinan
profesi untuk dilapis oleh “pakaian” profesionalisme dalam pelaksanaan profesi.
Profesionalisme
hakekatnya adalah cerminan etika sebagai tekad profesi untuk melayani yang terbaik
bagi pasien, menuju trias keluaran system etikolegal yakni tujuan medik, keselamatan
pasien dan terjaganya martabat profesi.

2) Dokter bermasalah adalah sejawat yang mengalami kelainan kepribadian, menderita


sakit/gangguan kesehatan, mengalami tekanan kerja, kurang trampil dan faktor lain yang
mempengaruhi kinerja/tanggungjawab dirinya.

3) Konfik etikolegal adalah ketidaksepahaman berdimensi etik akibat perbedaan


kepentingan atau kewenangan antar dokter, antar dokter - perangkat dan jajaran IDI atau
antar dokter – tenaga kesehatan lainnya yang belum atau tidak melibatkan pasien/klien
dalam hubungan dokter - pasien, yang dianggap akan berkepanjangan dan berpotensi
menurunkan citra dan keluhuran profesi kedokteran atau kondisi sengketa profesi yang
memerlukan kepastian pedoman etika,
fatwa dan atau hukum profesi.[3]

Sumber :

1. Pengertian sikap (Attitude), http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/121/jtptunimus-gdl-


kikaaldela-6006-2-babii.pdf (Akses 10 September 2016).
2. Konsil Kedokteran Indonesia, http://fk.uns.ac.id/index.php/download/file/76 (Akses 10
September 2016).
3. Kode Etik Kedokteran Indonesia 2012,
https://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=4&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwiI6PbW-
oTPAhVFvY8KHdt7CMwQFggtMAM&url=http%3A%2F%2Fwww.perdoki.or.id
%2Fhome%2Findex.php%3Foption%3Dcom_joomdoc%26view%3Ddownload%26gid
%3D6%26task%3Ddoc_download%26Itemid
%3D121&usg=AFQjCNHQDx3jrc7zeeo8ntT1YAJYKoQGRg. (Akses 10 September
2016).

Anda mungkin juga menyukai