BAB 1. PENDAHULUAN
melainkan mengutamakan orang lain, mengobati orang sakit (altruism). Seorang dokter
harus memiliki intellectual quotient (IQ), emotional quotient (EQ), dan sepiritual
qouotient (SQ) yang tinggi dan berimbang.
Tujuan pendidikan etika dalam pendidikan dokter adalah untuk menjadikan calon
dokter lebih manusiawi dengan memiliki kematangan intelektual dan emosional. Etik
profesi kedokteran merupakan seperangkat perilaku para dokter dan dokter gigi dalam
hubungannya dengan pasien, keluarga, masyarakat, ternan sejawat dan mitra kerja.
Rumusan perilaku para anggota profesi disusun oleh organisasi profesi bersama-
sama pemerintah menjadi suatu kode etik profesi yang bersagkutan. Tiap-tiap jenis
tenaga kesehatan telah memiliki kode etiknya, namun kode etik tenaga
kesehatan tersebut mengacu pada kode etik kedokteran indonesia.
1.3 Tujuan
1. Mahasiswa mampu mengkaji beneficence dalam etika kedokteran?
3
2.1 Etika
Secara etimologi kata “etika” berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari dua kata
yaitu Ethos dan ethikos. Ethos berarti sifat, watak kebiasaan, tempat yang biasa. Ethikos
berarti susila, keadaban, kelakuan dan perbuatan yang baik. Istilah moral berasal dari
kata latin yaitu mores, yang merupakan bentuk jama‟ dari mos, yang berarti adat istiadat
atau kebiasaan watak, kelakuan, tabiat, dan cara hidup. Sedangkan dalam bahasa Arab
kata etika dikenal dengan istilah akhlak, artinya budi pekerti. Sedangkan dalam bahasa
Indonesia disebut tata susila.
Etika sering diidentikkan dengan moral (atau moralitas). Namun, meskipun sama-
sama terkait dengan baik-buruk tindakan manusia, etika dan moral memiliki perbedaan
pengertian. Moralitas lebih condong pada pengertian nilai baik dan buruk dari setiap
perbuatan manusia itu sendiri, sedangkan etika berarti ilmu yang mempelajari tentang
baik dan buruk. Jadi bisa dikatakan, etika berfungsi sebagai teori tentang perbuatan baik
dan buruk. Dalam filsafat terkadang etika disamakan dengan filsafat moral.
2.1 Etika Kedokteran
Kodeki (Kode Etik Kedokteran Indonesia) atau disebut juga etika profesi
dokter adalah merupakan pedoman bagi dokter Indonesia dalam melaksanakan praktik
kedokteran. Dasar dari adanya Kodeki ini dapat kita lihat pada penjelasan Pasal 8 huruf
f UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (“UU Praktik Kedokteran”) dan
Pasal 24 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”).
1. Dalam Pasal 8 Huruf f UU Praktik Kedokteran
a. Etika profesi adalah kode etik dokter dan kode etik dokter gigi
yang disusun oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan
Dokter Gigi Indonesia (PDGI).
4
j. Sabar menunggu keputusan yang akan diambil pasien pada kasus non
emergensi.
k. Tidak berbohong kepada pasien meskipun demi kebaikan pasien.
l. Mejaga hubungan atau kontrak.
BAB 3. PEMBAHASAN
Asas-asas etika tradisional yang paling pokok dan masih berlaku sampai
sekarang adalah asas beneficence, dokter akan berbuat kebaikan atau kebajikan terhadap
pasien, dan asas non maleficence yaitu dokter tidak akan menimbulkan mudharat kepada
pasien. Asas-asas yang lain adalah ”turunan” atau terkait dengan salah satu asas atau
kaidah dasar moral diatas. Namun demikian, ”dokter juga manusia”, yang tidak luput
dari segala kelemahan dan godaan. Dari pengalaman diketahui bahwa banyak juga
kasus-kasus pelanggaran moral dan etika dalam hubungan dokter-pasien tersebut.
Beneficence secara makna kata dapat berarti pengampunan, kebaikan, kemurahan
hati, mengutamakan kepentiang orang lain, mencintai dan kemanusiaan. Beneficence
dalam makna yang lebih luas berarti tindakan yang dilakukan untuk kebaikan orang lain.
Prinsip moral beneficence adalah kewajiban moral untuk melakukan suatu tindakan
demi kebaikan atau kemanfaatan orang lain (pasien). Prinsip ini digambarkan sebagai
alat untuk memperjelas atau meyakinkan diri sendiri (self-evident) dan diterima secara
luas sebagai tujuan kedokteran yang tepat.
Beuchamp dan Childress menulis: “dalam bentuk yang umum, dasar dasar
beneficence mempunyai tujuan membantu orang lain melebihi kepentingan dan minat
mereka”. Dasar beneficence mempunyai dua elemen, yang pertama keharusan secara
aktif untuk kebaikan berikutnya dan tuntutan seberapa banyak aksi kebaikan berikutnya
dan kekerasan yang terlibat.
Penerapan prinsip beneficence tidak bersifat mutlak. Prinsip ini bukanlah satu-
satunya prinsip yang harus dipertimbangkan, melainkan satu diantara beberapa prinsip
lain yang juga harus dipertimbangkan. Prinsip ini dibatasi keseimbangan manfaat,
resiko, dan biaya (sebagai hasil dari tindakan) serta tidak menentukan pencapaian
keseluruhan kewajiban. Kritik yang sering muncul terhadap penerapan prinsip ini adalah
tentang kepentingan umum yang diletakan di atas kepentingan pribadi. Sebagai contoh,
dalam penelitian kedokteran, atas dasar kemanfaatan untuk kepentingan umum sering
8
teratur, dan memberikan resep. Si anak bertanya lagi tentang cara minum obat,
tapi dokter Raffi menyarankan bertanya pada tugas apotek tempat mengambil
obat. Merasa diremehkan, sang ayah dan anaknya keluar dari kamar dokter tanpa
mengucapkan salam. Wajah mereka tampak tidak puas.
10
BAB 4. KESIMPULAN
Secara etimologi kata “etika” berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari dua kata
yaitu Ethos dan ethikos. Ethos berarti sifat, watak kebiasaan, tempat yang biasa. Ethikos
berarti susila, keadaban, kelakuan dan perbuatan yang baik. Sedangkan etika kedokteran
adalah pedoman bagi dokter untuk melaksanakan praktik kedokteran. Dalam etika
kedokteran terdapat beberapa asas penting, diantaranya seperti beneficence, non-
malficience, autonomy, dan justice. Salah satu asas yang penting dan dijadikan serapan
dalam asas-asas lain adalah beneficence. Beneficence artinya melakukan hal yang baik.
Ada istilah to do good, not harm yang berarti berbuat baik dan tidak menyakiti. Sudah
sepantasnya asas beneficence ini di pegang teguh semua dokter/dokter gigi dalam
menjalankan praktik kedokteran di Indonesia.
11
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, Dedi. 2017. Kaidah Dasar Bioetika dalam Pengambilan Keputusan Klinis
yang Etis. Majalah Kedokteran Andalas. Kedokteran Forensik dan Medikolegal.
Fakultas Kedokteran Universitas Riau. 40(2): 111-121.
Hanafiah, J., Amri amir. 2009. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan (4th ed).
Jakarta: EGC.
Pefalu, Julius. 2015. Pelaksanaan Penegakan Kode Etik Kedokteran. Jurnal Lex
Crimen. 4(3): 43-49.