100%(2)100% menganggap dokumen ini bermanfaat (2 suara)
3K tayangan10 halaman
Konsep legal dan etik keperawatan gerontik membahas prinsip-prinsip etika seperti respek, otonomi, beneficensi, non-maleficensi, kerahasiaan, dan keadilan dalam pelayanan kesehatan lanjut usia. Dokumen ini juga membahas prioritas penelitian bidang keperawatan gerontik serta area prioritas seperti pelayanan dan evaluasi intervensi, parameter hasil klinis, faktor organisasi dan sosial yang berdampak pada kesehatan lanj
Konsep legal dan etik keperawatan gerontik membahas prinsip-prinsip etika seperti respek, otonomi, beneficensi, non-maleficensi, kerahasiaan, dan keadilan dalam pelayanan kesehatan lanjut usia. Dokumen ini juga membahas prioritas penelitian bidang keperawatan gerontik serta area prioritas seperti pelayanan dan evaluasi intervensi, parameter hasil klinis, faktor organisasi dan sosial yang berdampak pada kesehatan lanj
Konsep legal dan etik keperawatan gerontik membahas prinsip-prinsip etika seperti respek, otonomi, beneficensi, non-maleficensi, kerahasiaan, dan keadilan dalam pelayanan kesehatan lanjut usia. Dokumen ini juga membahas prioritas penelitian bidang keperawatan gerontik serta area prioritas seperti pelayanan dan evaluasi intervensi, parameter hasil klinis, faktor organisasi dan sosial yang berdampak pada kesehatan lanj
1. Prinsip etik a. Respect (Hak untuk dihormati) b. Autonomy (hak pasien memilih) c. Beneficence (Bertindak untuk keuntungan orang lain/pasien) d. Non-Maleficence (utamakan-tidak mencederai orang lain) e. Confidentiality (hak kerahasiaan) f. Justice (keadilan) g. Fidelity (loyalty/ketaatan) 1) Kewajiban untuk setia terhadap kesepakatan dan bertanggungjawab terhadap kesepakatan yang telah diambil. 2) Era modern, pelayanan kesehatan : Upaya Tim (tanggungjawab tidak hanya pada satu profesi). 80% kebutuhan dipenuhi perawat. 3) 1.1.7.3. Masing-masing profesi memiliki aturan tersendiri yang berlaku 4) Memiliki keterbatasan peran dan berpraktik dengan menurut aturan yang disepakati. h. Veracity (Truthfullness & honesty) Kewajiban untuk mengatakan kebenaran 1) Terkait erat dengan prinsip otonomi, khususnya terkait informed- consent 2) Prinsip veracity mengikat pasien dan perawat untuk selalu mengutarakan kebenaran 2. Pemecahan masalah etik a. Identifikasi masalah etik b. Kumpulkan fakta-fakta c. Evaluasi tindakan alternatif dari berbagai perspektif etik. d. Buat keputusan dan uji cobakan e. Bertindaklah, dan kemudian refleksikan pada keputusan tsb 3. Prioritas Penelitian Bidang Keperawatan Gerontik Keperawatan gerontik secara holistik menggabungkan aspek pengetahuan dan keterampilan dari berbagai macam disiplin ilmu dalam mempertahankan kondisi kesehatan fisik, mental, sosial, dan spiritual lansia. Hal ini diupayakan untuk memfasilitasi lansia kearah perkembangan kesehatan yang lebih optimum, dengan pendekatan pada pemulihan kesehatan, maksimalkan kualitas hidup lansia baik dalam kondisi sehat, sakit, maupun kelemahan serta memberikan rasa aman, nyaman, terutama dalam menghadapi kematian. Penelitian keperawatan gerontik diharapkan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pengem- bangan teknik maupun mutu pelayanan dengan berbagai pendekatan di atas. Namun, dalam menyusun prioritas penelitian, perlu diseimbangkan antara kebutuhan untuk menambah ilmu dan wawasan baru dengan kebutuhan untuk meningkatkan kualitas, efektivitas, efisiensi, dan kepatuhan pelayanan. Dalam mengembangkan penelitian tersebut, kita terlebih dahulu perlu mengetahui aspek- aspek kritis yang ada dalam keperawatan gerontik. 4. Area Prioritas a. Pelayanan, evaluasi dan efektivitas intervensi terhadap individu atau kelompok atau metode baru dalam pelayanan keperawatan. sub area prioritas: ventilasi dan sirkulasi, nutrisi, ekskresi, aktivitas dan istirahat, stimulasi mental, tidur, masalah kardiovaskuler, masalah penyakit vaskularisasi periver, masalah respiratori, masalah gastrointestinal, 3 masalah diabetes, masalah muskulusskeletal, masalah genitourinary, masalah neurology, masalah menurunnya fungsi sensorik, masalah dermatologi, masalah kesehatan mental, tindakan operatif dan dampaknya, palliative care, manajemen nyeri, rehabilitasi, perawatan diri dan higienitas, pengawasan menelan obat. b. Parameter dan hasil (out come) intervensi klinik yang spesifik. Subarea prioritas:diagnosis keperawatan yang spesifik, pengembangan alat ukur geriatric. c. Factor-faktor organisasi yang berdampak pada system pelayanan dan kinerja, sub area prioritas : peran kolaborasi, model keperawatan di rumah (home care), model perawatan di rumah sakit (hospital care), model perawatan di panti jompo (institutional care), model perawatan jangka panjang (long-term care), nursing agency, team work. 1) Factor-faktor sosial yang berdampak pada tingkat kesehatan lansia. Sub area prioritas : aspek legal:kebijakan dan regulasi, kelenturan kesehatan yang berbasis budaya dan kepercayaan, sosial ekonomi, konsep-konsep gerontology (aspek kesehatan, aspek spiritual, aspek etika dan moral, aspek nutrisi, aspek psikologis, aspek fisiologis dan aspek social). 2) Kualitas hidup (quality of life) dan intervensi kesehatan psiko social. Sub area prioritas:penilaian status fungsional, psikologis, senile demensia, olah raga, rekreasi, upaya preventif terhadap risiko kecelakaan, interaksi social, spiritual, manajemen stress, sakaratul maut, support keluarga, aktivitas dan disfungsi seksual. 3) Promosi kesehatan. Sub area prioritas:pesan, teknologi. B. Prinsip Etika Pelayanan Kesehatan pada Lansia Beberapa prinsip etika yang harus dijalankan dalam pelayanan pada penderita usia lanjut adalah (Kane et al, 1994, Reuben et al, 1996) : 1. Empati : istilah empati menyangkut pengertian : “Simpati atas dasar pengertian yang dalam”. Dalam istilah ini diharapkan upaya pelayanan geriatri harus memandang seorang lansia yang sakit denagn pengertian, kasih sayang dan memahami rasa penderitaan yang dialami oleh penderita tersebut. 2. Tindakan empati harus dilaksanakan dengan wajar, tidak berlebihan, sehingga tidak memberi kesan over-protective dan belas-kasihan. Oleh karena itu semua petugas geriatrik harus memahami peroses fisiologis dan patologik dari penderita lansia. 3. Yang harus dan yang ”jangan” : prinsip ini sering dikemukakan sebagai non- maleficence dan beneficence. Pelayanan geriatri selalu didasarkan pada keharusan untuka mngerjakan yang baik untuk pnderita dan harus menghindari tindakan yang menambah penderita (harm) bagi penderita. Terdapat adagium primum non nocere (”yang penting jangan membuat seseorang menderita”). Dalam pengertian ini, upaya pemberian posisi baring yang tepat untuk menghindari rasa nyeri, pemberian analgesik (kalau perlu dengan derivat morfina) yang cukup, pengucapan kata-kata hiburan merupakan contoh berbagai hal yang mungkin mudah dan praktis untuk dikerjakan. 4. Otonomi : yaitu suatu prinsip bahwa seorang inidividu mempunyai hak untuk menentukan nasibnya, dan mengemukakan keinginannya sendiri. Tentu saja hak tersebut mempunyai batasan, akan tetapi di bidang geriatri hal tersebut berdasar pada keadaan, apakah penderita dapat membuat putusan secara mandiri dan bebas. Dalam etika ketimuran, seringakali hal ini dibantu (atau menjadi semakin rumit ?) oleh pendapat keluarga dekat. Jadi secara hakiki, prinsip otonomi berupaya untuk melindungi penderita yang fungsional masih kapabel (sedanagkan non-maleficence dan beneficence lebih bersifat melindungi penderita yang inkapabel). Dalam berbagai hal aspek etik ini seolah-olah memakai prinsip paternalisme, dimana seseorang menjadi wakil dari orang lain untuk membuat suatu keputusan (mis. Seorang ayah membuat keuitusan bagi anaknya yang belum dewasa). 5. Keadilan : yaitu prinsip pelayanan geriatri harus memberikan perlakuan yang sama bagi semua penderita. Kewajiban untuk memperlakukan seorang penderita secara wajar dan tidak mengadakan pembedaan atas dasar karakteristik yang tidak relevan. 6. Kesungguhan Hati : yaitu suatu prinsip untuk selalu memenuhi semua janji yang diberikan pada seorang penderita. Mengenai keharusan untuk berbuat baik dan otonomi, Meier dan Cassel menulis sebagai berikut : ”..............although the medical community has ferquently been attacked for its attitude toward patients, it is usually conceded that paternalism can be justified if certain criteria are met; if the dangers averted or benefits gained for the person outweigh the loss of autonomy resulting from intervention; if the person is too ill to choose the same intervention…………………………”. Dengan melihat prinsip diatas tersebut, aspek etika pada pelayanan geriatric berdasarkan prinsip otonomi kemudian di titik beratkan pada berbagai hal sebagai berikut : a) Penderita harus ikut berpartisipasi dalam prosea pengambilan keutusan dan pembuatan keputusan. Pada akhirnya pengambilan keputusan harus bersifat sukarela. b) Keputusan harus telah mendapat penjelasan cukup tentang tindakan atau keputusan yang akan diambil secara lengkap dan jelas. c) Keputuan yang diambil hanya dianggap sah bial penderita secara mental dianggap kapabel. Atas dasar hal diatas maka aspek etika tentang otonomi ini kemudian ituangkan dalam bentuk hukum sebagai persetujuan tindakan meik (pertindik) atau informed consent. Dalam hal seperti diatas, maka penderita berha menolak tindakan medik yang disarankan oleh dokter, tetapi tidak berarti boleh memilih tindakan, apabila berdasarkan pertimbangan dokter yang bersangkutan tindakan yang dipilih tersebut tidak berguan (useless) atau bahkan berbahaya (harmful). Kapasitas untuk mengambil keputusan, merupakan aspek etik dan hukum yang sangat rumit. Dasar dari penilaian kapasitas pengambilan keputusan penderita tersebut haruslah dari kapasitas fungsional penderita dan bukan atas dasar label diagnosis, antara lain terlihat dari : 1) Apakah penderita bisa buat/tunjukan keinginan secara benar? 2) Dapatkah penderita memberi alasan tentang pilihan yang dibuat? 3) Apakah alasan penderita tersebut rasional (artinya setelah penderita mendapatkan penjelasan yang lengkap dan benar)? C. Aspek Hukum dan Etika Produk hukum tentang Lanjut Usia dan penerapannya disuatu negara merupakan gambaran sampai berapa jauh perhatian negara terhadap para Lanjut Usianya. Baru sejak tahun 1965 di indonesia diletakkan landasan hukum, yaitu Undang-Undang nomor 4 tahun 1965 tentang Bantuan bagi Orang Jompo. Bila dibandingkan dengan keadaan di negara maju, di negara berkembang perhatian terhadap Lanjut Usia belum begitu besar. Di Australia, misalnya, telah diundangkan Aged Person Home Act (1954), Home Nursing Subsidy Act (1956), The Home and Community Care Program (1985), Bureau for the Aged (1986), Outcome Standards of Residential Care (1992), Charter for Resident’s Right (1992), Community Option Program (1994), dan Aged Care Reform Strategy (1996). Di Amerika Serikat diundangkan Social Security Act yang meliputi older American Act (Title III), Medicaid (Title VII), Medicare (Title XIX, 1965), Social Service block Plan (Title XX) dan Supplemental Security Income (Title XVI). Selanjutnya diterbitkan Tax Equity and Fiscal Responsibility Act (1982), Omnibus Budget Reconcilliation Act (OBRA, 1987), The Continuun of Long- term Care (1987) dan Program of All Care of the Elderly (PACE, 1990). Di Inggris di undangkan National Assistence Act, Section 47 (1948) dan telah ditetapkan standardisasi pelayanan di rumah sakit serta di masyarakat. Juga telah ditentukan ratio tempat tidur per lanjut usia dan continuing care. Di Singapura dibentuk Advisory Council on the Aged, Singapore Action Group of Elders (SAGE) dan The Elders’ Village. D. Landasan Hukum di Indonesia Berbagai produk hukum dan perundang-undangan yang langsung mengenai Lanjut Usia atau yang tidak langsung terkai dengan kesejahteraan Lanjut Usia telah diterbitkan sejak 1965. beberapa di antaranya adalah : 1. Undang-undang nomor 4 tahun 1965 tentang Pemberian bantuan bagi Orang Jompo (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1965 nomor 32 dan tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 2747). 2. Undang-undang Nomor 14 tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja. 3. Undang-undang Nomor 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. 4. Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. 5. Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan nasional. 6. Undang-undang Nomor 2 tahun 1982 tentang Usaha Perasuransian. 7. Undang-undang Nomor 3 tahun 1982 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. 8. Undang-undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman. 9. Undang-undang Nomor 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan keluarga Sejahtera. 10. Undang-undang Nomor 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun. 11. Undang-undang Nomor 23 tentang Kesehatan. 12. Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 1994 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera. 13. Peraturan Pemerintah Nomor 27 ahun 1994 tentang Pengelolaan Perkembangan Kependudukan. 14. Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia (Tambahan lembaran Negara nomor 3796), sebagai pengganti undang- Undang nomor 4 tahun 1965 tentang Pemberian bantuan bagi Orang jompo. 15. Pasal 27 UUD 45 Segala warga negara bersamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjungnya hukum dan pemerinahannya itu dengan tidak ada kecualinya. Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaannya dan penghidupannya yang layak bagi kemanusiaan. 16. Pasal 34 UUD 45 Fakir miskin dan anak–anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Berpedoman pada hukum tersebut, sebagai perawat kesehatan masyarakat bertanggung jawab dalam mencegah penganiayaan. Penganiayaan yang dimaksud dapat berupa : penyianyiaan, penganiayaan yang disengaja dan eksploitasi. Sedangkan pencegahan yang dapat dilakukan adalah berupa perlindungan di rumah, perlindungan hukum dan perawatan di rumah. Jenis-jenis penyiksaan (Gelles & Straus, 1988) 1. Penyiksaan suami-istri 2. Penyiksaan terhadap anak fisik dan seksual 3. Penyiksaan terhadap lansia 4. Peniksaan terhadap orang tua 5. Penyiksaan terhadap sibling 17. Undang-undang No.6 Tahun 1974 tentang Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. 18. UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan pasal 19: Kesehatan manusia usia lanjut diarahkan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan agar tetap produktif dengan bantuan pemerintah dalam upaya penyelenggaraannya. 19. UU No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan usia lanjut pasal 14 : Pelayanan kesehatan dimaksudkan untuk memelihara dan meningkatkan derajad kesehatan dan kemampuan usia lanjut agar kondisi fisik, mental, dan sosialnya dapat berfungsi secara wajar melalui upaya penyuluhan, penyembuhan, dan pengembangan lembaga. 20. Undang-undang No.13 tahun 1998 mengamanatkan bahwa pemerintah dan masyarakat berkewajiban memberikan pelayanan sosial kepada lanjut usia. Pemberikan pelayanan berlandaskan pada filosofi dan nilai budaya masyarakat Indonesia yang berasas Three Generation in One Roof yang mengandung arti yaitu adanya pertautan yang bernuansa antar 3 generasi, yaitu: anak, orang tua dan kakek/nenek. 21. UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Seseorang yang telah lulus dan mendapatkan ijasah dari pendidikan kesehatan yang diakui pemerintah. Tenaga keperawatan adalah perawat dan bidan. 22. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah Kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 4.23. UU No. 23 Tahun 1999 tentang Kesehatan. E. Permasalahan Permasalahan yang masih terdapat pada Lanjut Usia, bila ditinjau dari aspek hukum dan etika, dapat disebabkan ole factor, seperti berikut : 1. Produk Hukum Walaupun telah diterbitkan dalam jumlah banyak, belum semua produk hukum dan perundang-undangan mempunyai Peraturan Pelakisanaan. Begitu pula, belum diterbirkan Peraturan Daerah, Petunjuk Pelaksanaan serta Ptunjuk Teknisnya, sehingga penerapannya di lapangan sering menimbulkan permasalahan. Undang-undang terakhir yang diterbitkan yaitu Undang-undang Nomor 13 tahun 1998, baru mengatur kesejahteraan sosial Lanjut Usia, sehingga perlu dipertimbangkan diterbitkannya undang-undang lainnya yang dapat mengatasi permasalahan Lanjut Usia secara spesifik. 2. Keterbatasan prasarana Prasarana pelayanan terhadap Lanjut Usia yang terbatas di tingkat masyarakat, pelayanan tingkat dasar, pelayanan rujuikan tingkat I dan tingkat II, sering menimbulkanpermasalahan bagi para Lanjut Usia. Demikian pula, lembaga sosial masyarakat dan ortganisasi sosial dan kemsyarakatan lainnya yang menaruh minat pada permasalahan ini terbatas jumlahnya. Hal ini mengakibatkan para Lanjut Usia tak dapat diberi pelayanan sedini mungkin, sehingga persoalannya menjadi berat pada saat diberikan pelayanan. 3. Keterbatasan sumber daya manusia Terbatasnya kuantitas dan kualitas tenaga yang dapat memberi pelayanan serta perawatan kepada Lanjut Usia secara bermutu dan berkelanjutan mengakibatkan keterlambatan dalam mengetahui tanda-tanda dini adanya suatu permasalahan hukum dan etika yang sedang terjadi. Dengan demikian, upaya mengatasinya secara benar oleh tenaga yang berkompeten sering dilakukan terlambat dan permasalahan sudah berlarut. Tenaga yang dimaksud berasal dari berbagai disiplin ilmu, antara lain : a) Tenaga ahli gerontology. b) Tenaga kesehatan : dokter spesalis geriatric, psikogeriatri, neurogeriatri, dokter spesialis dan dokter umum terlatih, fisioterapis, speech therapist, perawat terlatih. c) Tebaga sosisal : sosiolog, petuga syang mengorganisasi kegiatan (case managers), petugas sosial masyarakat, konselor. d) Ahli hukum: sarjana hukum terlatih dalam gerontology, pengacara terlatih, jaksa penunutut umum, hakim terlatih. e) Ahli psikolog : psikolog terlatih dalam gerontology, konselor. f) Tenaga relawan : kelompok masyarakat terlatih seperti sarjana, mahasiswa, pramuka, pemuda, ibu rumah tangga, pengurus lembaga ketahanan masyarakat desa, Rukun Warga/RW, Rukun Tetangga/RT terlatih. 4. Hubungan Lanjut Usia dengan Keluarga Menurut Mary Ann Christ, et al. (1993), berbagai isu hukum dan etika yang sering terjadi pada hubungan Lanjut Usia dengan keluarganya adalah : a) Pelecehan dan ditentarkan (abuse and neglect) b) Tindak kejahatan (crime) c) Pelayanan perlindungan (protective services) d) Persetujuan tertulis (informed consent) e) Kualitas kehidupan dan isu etika (quality of life and related ethical issues)