Anda di halaman 1dari 10

3.6.

Patofisiologi
Anemia pada ibu hamil merupakan kondisi fisiologis dimana darah
mengalami peristiwa hemodilusi yaitu terjadinya penambahan volume plasma
darah yang tidak diimbangi dengan penambahan jumlah sel darah, sehingga
terjadi pengenceran atau dilusi darah dalam kehamilan sebagian besar disebabkan
oleh defisiensi besi dan pendarahan akut atau keduanya saling mempengaruhi
dengan kata lain anemia dalam kehamilan berkembang ketika perubahan fisiologis
menurunkan konsentrasi Hb. Peningkatan produksi sel darah merah terjadi sesuai
dengan proses perkembangan dan pertumbuhan masa janin yang ditandai dengan
pertumbuhan tubuh yang cepat dan penyempurnaan susunan organ tubuh. Sel
darah merah semakin meningkat jumlahnya untuk mengimbangi pertumbuhan
janin dalam rahim, tetapi pertambahan sel darah merah tidak seimbang dengan
peningkatan volume darah sehingga terjadi hemodilusi yang disertai anemia
fisiologis. Pertambahan tersebut yaitu volume plasma 30%, sel darah 18%, dan

hemoglobin 19%.23
Adanya kenaikan volume darah pada saat kehamilan akan meningkatkan
kebutuhan zat besi. Pada trimester pertama kehamilan, zat besi yang dibutuhkan
sedikit karena peningkatan produksi eritropoietin sedikit, oleh karena tidak terjadi
menstruasi dan pertumbuhan janin masih lambat. Sedangkan pada awal trimester
kedua pertumbuhan janin meningkat, akibatnya, kebutuhan zat besi semakin
meningkat untuk mengimbangi peningkatan produksi eritrosit dan karena itu

rentan untuk terjadinya anemia terutama anemia defisiensi besi.24


Dari perkiraan 1000 mg zat besi yang dibutuhkan untuk kehamilan normal, sekitar
300 mg secara aktif ditransfer ke janin dan plasenta, dan 200 mg lainnya hilang
melalui berbagai jalur ekskresi normal, terutama saluran pencernaan. Peningkatan
rata-rata total volume eritrosit yang bersirkulasi sekitar 450 mL membutuhkan
500 mg zat besi. Tanpa zat besi tambahan, peningkatan optimal volume eritrosit
ibu tidak akan berkembang, dan konsentrasi hemoglobin serta hematokrit akan
turun dengan sendirinya seiring peningkatan volume plasma. Pada saat yang
sama, produksi sel darah merah janin tidak terganggu karena plasenta mentransfer
zat besi meskipun ibunya mengalami anemia defisiensi besi yang parah.24

1
Hemodilusi dianggap sebagai penyesuaian diri yang fisiologis dalam kehamilan

dan bermanfaat pada wanita untuk meringankan beban jantung yang harus bekerja

lebih berat semasa hamil karena sebagai akibat hipervolemi cardiac output

meningkat. Kerja jantung akan lebih ringan apabila viskositas darah rendah dan
resistensi perifer berkurang sehingga tekanan darah tidak meningkat. Secara
fisiologis, hemodilusi ini membantu si ibu mempertahankan sirkulasi normal

dengan mengurangi beban jantung.24

3.7. Diagnosis23
Diagnosis anemia ditegakkan berdasarkan beberapa pemeriksaan. Secara
umum, alur diagnosis anemia dirangkum pada Gambar 1.
1. Anamnesis untuk mencari faktor predisposisi dan etiologi
2. Pemeriksaan fisik
Adanya gejala pucat menahun tanpa disertai adanya organomegali, seperti
hepatomegaly dan splenomegaly, lemah, letih
3. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan laboratorium darah
Pemeriksaan laboratorium merupakan penunjang diagnostik pokok
dalam diagnosis anemia. Pemeriksaan ini terdiri dari pemeriksaan darah
rutin seperti Hb, PCV (Packed Cell Volume), leukosit, trombosit ditambah
pemeriksaan indeks eritrosit, retikulosit, saturasi morfologi darah tepi dan
pemeriksaan status besi (Fe serum, TIBC, transferrin, Free Erythrocyte
Protoporphyrin(FEP), ferritin).
b. Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya pada:

1) Anemia defisiensi besi: serum iron, TBC (total iron binding


acapacity), saturasi tranferin, protoporfirin eritrosit, feritin serum,
reseptor transferin dan pengecatan besi pada sumsum tulang. Pada
ADB nilai indeks eritrosit MCV, MCH akan menurun, MCHC akan
menurun pada keadan berat, dan RDW akan meningkat. Gambaran
morfologi darah tepi ditemukan keadaan hipokrom mikrositik.
2) Anemia megaloblastik: folat serum, vitamin B12 serum, tes supresi
deoksiuridin dan tes Schiling.
3) Anemia hemolitik: bilirubin serum, test Coomb, elektroforesis
hemoglobin dan lain-lain.
4) Anemia aplastik: biopsi sumsum tulang.
Juga diperlukan pemeriksaan non-hemtologik tertentu seperti misalnya
pemeriksaan faal hati, faal ginjal atau faal tiroid.
c. Pemeriksaan sumsum tulang
Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi yang sangat berharga
mengenai keadaan sistem hematopoiesis. Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk
diagnosis definitif pada beberapa jenis anemia. Pemeriksaan sumsum tulang
mutlak diperlukan untuk diagnosis anemia aplastik, anemia megaloblastik,
serta pada kelainan hematologik yang dapat mensupresi sistem eritroid.

Gambar 1. Alur diagnosis kehamilan dengan anemia23


3.8. Tatalaksana25
1. Tata laksana umum
a. Lakukan penilaian pertumbuhan dan kesejahteraan janin dengan
memantau pertambahan ukuran janin.
b. Bila pemeriksaan apusan darah tepi tidak tersedia, berikan tablet tambah
darah yang berisi 60 mg besi elemental dan 250 μg asam folat. Pada ibu
hamil dengan anemia, tablet besi diberikan 3 kali sehari. Bila dalam 90
hari muncul perbaikan, lanjutkan pemberian tablet sampai 42 hari
pascasalin. Apabila setelah 90 hari pemberian tablet besi dan asam folat
kadar hemoglobin tidak meningkat, rujuk pasien ke pusat pelayanan yang
lebih tinggi untuk mencari penyebab anemia.
c. Bila tersedia fasilitas pemeriksaan penunjang, tentukan penyebab anemia
berdasarkan hasil pemeriksaan darah perifer lengkap dan apus darah tepi.
Bila tidak tersedia, pasien bisa di rujuk ke pelayanan sekunder untuk
penentuan jenis anemia dan pengobatan awal.

Tabel 1. Kandungan besi elemental dalam berbagai sediaan besi

Kandungan besi Dosis mengandung 60


Sediaan
elemental (%) mg besi elemental (mg)
Fe fumarat 30 200
Fe glukonat 11 550
Fe sulfat 20 300

2. Tatalaksana Khusus
a. Anemia mikrositik hipokrom dapat ditemukan pada keadaan:
1) Defisiensi besi: lakukan pemeriksaan ferritin. Apabila ditemukan
kadar ferritin <15 ng/ml, berikan terapi besi dengan dosis setara 180
mg besi elemental per hari. Apabila kadar ferritin normal, lakukan
pemeriksaan SI dan TIBC.
2) Thalassemia: pasien dengan kecurigaan thalassemia perlu dilakukan
tatalaksana bersama dokter spesialis penyakit dalam untuk perawatan
yang lebih spesifik.
b. Anemia normositik normokrom dapat ditemukan pada keadaan:
1) Perdarahan: tanyakan riwayat dan cari tanda dan gejala aborsi, mola,
kehamilan ektopik, atau perdarahan pasca persalinan
2) Infeksi kronik
3) Anemia makrositik hiperkrom:
 Defisiensi asam folat dan vitamin B12: berikan asam folat 1x2mg
dan vitamin B12 1 x 250-1000 μg
 Jika preparat oral tidak bisa ditoleransi (pada trimester II, Hb
pasien <8 g/dL, ferritin serum <15 ng/mL), bisa diberikan secara
IV: fero sukrosa/fero dekstran. Preparat intravena juga diberikan
pada pasien anemia berat (Hb <8 g/dL). Preparat intravena
cenderung lebih efektif untuk digunakan pada anemia di trimester
III jika fasilitas kesehatan tersedia.
c. Transfusi untuk anemia dilakukan pada pasien dengan kondisi berikut:
1) Kadar Hb <7 g/dl atau kadar hematocrit <20%
2) Kadar Hb >7 g/dl dengan gejala klinis: pusing, pandangan berkunang-
kunang, atau takikardia (frekuensi nadi >100x/menit)
3) Lakukan penilaian pertumbuhan dan kesejahteraan janin dengan
memantau pertambahan tinggi fundus, melakukan USG, dan
memeriksa denyut jantung janin secara berkala.
4) Pemberian tablet vitamin C
3. Transfusi
Transfusi sel darah merah jarang diindikasikan kecuali jika terjadi
hipovolemia akibat kehilangan darah atau persalinan operatif harus dilakukan
pada pasien dengan anemia. Kebutuhan transfusi pada wanita dengan
komplikasi antepartum dapat diprediksi hanya pada 24% dari mereka yang
pada akhirnya membutuhkan produk darah. Diagnosis paling umum yang
terkait dengan transfusi termasuk trauma yang disebabkan oleh pengiriman
instrumentasi, atonia uterus, plasenta previa, produk konsepsi yang tertinggal,
solusio plasenta, dan koagulopati (misalnya, sindrom hemolisis, peningkatan
enzim hati, dan jumlah trombosit yang rendah [HELLP]). Adanya diagnosis
ini pada pasien dengan anemia harus segera mempertimbangkan transfusi,
terutama dengan adanya tanda-tanda vital yang tidak stabil.
Anemia berat dengan kadar Hgb ibu kurang dari 6 g/dL telah dikaitkan dengan
oksigenasi janin yang abnormal, mengakibatkan pola denyut jantung janin
yang tidak meyakinkan, penurunan volume cairan ketuban, vasodilatasi otak
janin, dan kematian janin. Oleh karena itu, transfusi ibu harus
dipertimbangkan untuk indikasi janin pada kasus anemia berat.
Zat besi parenteral digunakan pada pasien langka yang tidak dapat mentolerir
atau tidak mau mengonsumsi zat besi oral dalam dosis sedang. Pasien dengan
sindrom malabsorpsi dan anemia defisiensi besi berat dapat memperoleh
manfaat dari terapi parenteral. Reaksi anafilaksis telah dilaporkan pada 1%
pasien yang menerima dekstran besi parenteral. Dibandingkan dengan pasien
yang menggunakan dekstran besi, pasien yang mengonsumsi sukrosa besi
memiliki reaksi alergi yang lebih sedikit (8,7 versus 3,3 kejadian alergi per
1.000.000 dosis) dan tingkat kematian yang jauh lebih rendah (31 versus 0, P
<0,001). Dalam uji coba acak baru-baru ini tentang penggunaan sukrosa besi
oral versus intravena untuk anemia pascapartum, wanita yang diobati dengan
zat besi intravena memiliki kadar Hgb yang secara signifikan lebih tinggi pada
hari ke 5 dan 14 daripada wanita yang diobati dengan suplemen oral. Namun,
pada hari ke-40, tidak ada perbedaan yang signifikan antara tingkat Hgb dari
kedua kelompok. Jadi, dalam kebanyakan keadaan klinis, sediaan oral sudah
sesuai dan cukup.
Beberapa penelitian telah meneliti peran eritropoi etin pada pasien hamil
dengan anemia. Dalam uji coba terkontrol secara acak yang memeriksa waktu
untuk mencapai nilai Hgb yang ditargetkan dan perubahan dalam pengukuran
kemanjuran, termasuk jumlah retikulosit dan kadar Hct, penggunaan besi
parenteral dan besi parenteral ditambah eritropoetin meningkatkan parameter
yang diukur. Namun, penggunaan eritropoietin ajuvan saja dikaitkan dengan
waktu yang lebih singkat secara signifikan ke tingkat hemoglobin yang
ditargetkan dan indeks yang lebih baik (jumlah retikulosit, kadar Hct) dalam
waktu kurang dari 2 minggu setelah pengobatan dimulai. Tidak ada perbedaan
dalam parameter keamanan ibu-janin yang dilaporkan. Sebaliknya, uji coba
secara acak pada wanita dengan anemia pascapartum tidak menunjukkan
manfaat tambahan dari penggunaan eritropoietin dan zat besi dibandingkan
dengan zat besi saja.
4. Kesimpulan Terapi
Suplementasi zat besi menurunkan prevalensi anemia ibu saat melahirkan.
Anemia defisiensi besi selama kehamilan telah dikaitkan dengan peningkatan
risiko berat badan lahir rendah, persalinan prematur, dan kematian perinatal.
Anemia berat dengan kadar Hgb ibu kurang dari 6 g/dL telah dikaitkan dengan
oksigenasi janin yang abnormal yang mengakibatkan pola denyut jantung janin
yang tidak meyakinkan, volume cairan ketuban yang berkurang, vasodilatasi otak
janin, dan kematian janin. Oleh karena itu, transfusi ibu harus dipertimbangkan
untuk indikasi janin. Semua wanita hamil harus diskrining terhadap anemia, dan
mereka yang mengalami anemia defisiensi zat besi harus diobati dengan zat besi
tambahan, selain vitamin kehamilan. Pasien dengan anemia selain anemia
defisiensi besi harus dievaluasi lebih lanjut. Kegagalan untuk merespon terapi besi
harus segera dilakukan penyelidikan lebih lanjut dan mungkin menunjukkan
diagnosis yang salah, penyakit yang hidup berdampingan, malabsorpsi,
ketidakpatuhan, atau kehilangan darah.

3.9. Komplikasi
Anemia yang berat dapat berdampak buruk pada ibu dan janin. Anemia
dengan kadar hemoglobin kurang dari 6 gr/dl dikaitkan dengan hasil akhir
kehamilan yang buruk. Peningkatan kejadian bayi berat lahir rendah terlihat jika
ibunya mengalami anemia pada trimester ketiga. Peningkatan insiden kelahiran
prematur terlihat jika ibu mengalami anemia pada trimester kedua dan ketiga.26,27
Selain itu, anemia pada ibu hamil juga meningkatkan risiko kematian selama dan
setelah melahirkan. Anemia berat dilaporkan menyebabkan dekompensasi
peredaran darah, peningkatan curah jantung, meningkatkan risiko perdarahan
postpartum, dan menurunkan kemampuan untuk mentolerir kehilangan darah,
yang menyebabkan syok peredaran darah dan kematian.28

3.10. Pencegahan29
Dalam mengatasi anemia pada ibu hamil diantaranya dengan meningkatkan
pengetahuan ibu hamil tentang pentingnya asupan gizi yang cukup untuk
perkembangan bayi, yaitu:
1. Melakukan antenatal care minimal empat kali selama hamil atau jika
memungkinkan mengikut jadwal yang disarankan WHO pada tahun 2016,
yaitu terlihat pada tabel 2, yaitu sebanyak 8 kali.
Tabel 2. Jadwal ANC berdasarkan WHO

Pertemuan Usia Kehamilan


Trimester Pertama
Pertama Awal hingga minggu ke-12 kehamilan
Trimester Kedua
Ke-2 Minggu ke-20
Ke-3 Minggu ke-26
Trimester Ketiga
Ke-4 Minggu ke-30
Ke-5 Minggu ke-34
Ke-6 Minggu ke-36
Ke-7 Minggu ke-38
Ke-8 Minggu ke-40

2. Suplementasi zat besi dan asam folat oral setiap hari dengan 30-60 mg zat
besi dan 400 g (0,4 mg) asam folat.
3. Melakukan pemeriksaan darah rutin ibu hamil pada ANC minggu kehamilan
ke 12 (trimester pertama), 26 (trimester kedua), dan 36 (trimester ketiga).
4. Segera memeriksakan diri jika ada keluhan yang di luar kebiasaan
5. Meningkatkan kemampuan ibu hamil dan keluarga dalam menyediakan
pangan yang sesuai dengan kebutuhan ibu hamil
6. Meningkatkan pengetahuan dan perilaku ibu hamil dan keluarga dalam
memilih, mengolah dan membagi makanan di tingkat rumah tangga
7. Meningkatkan ketersediaan dan aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan
dan gizi masyarakat yang berkualitas.

3.11. Prognosis
Anemia ringan saat hamil adalah hal yang normal dialami pada ibu hamil.
Namun anemia yang parah dapat meningkatkan risiko komplikasi serius bagi ibu
seperti perdarahan postpartum, dan pada janin seperti kelahiran prematur dan
berat badan lahir rendah.

DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham FG, Hauth JC, Bloom SL, et al. 2014. Hematological
disorders. Dalam: William obstetrics, Edisi 25. New York: Mc-Graw
Hill Medical Publishing Division. p. 1101-20
2. Citrakesumasari. 2012. Anemia Gizi Masalah dan Pencegahannya.
Kaliaka: Yogyakarta
3. Defrin H. 2015. Anemia dalam Kehamilan dan Persalinan.
Disampaikan pada Seminar Nasional Kelainan Medik pada
Kehamilan dan Persalinan. Jakarta, 11 April 2015.
4. Sifakis, S., & Pharmakides, G. 2000. Anemia in pregnancy. Annals
of the New York Academy of Sciences, 900, 125–136.
5. Kumar KJ, Asha N, Murthy DS, Sujatha MS, Manjunath VG. 2013.
Maternal anemia in various trimesters and its effect on newborn
weight and maturity: an observational study. Int J Prev Med., 4(2),
193–199.
6. Young M. F. 2018. Maternal anaemia and risk of mortality: a call for
action. The Lancet. Global health, 6(5), e479–e480.
7. World Health Organization (WHO). 2018. WHO Recommendations
on Antenatal Care for a Positive Pregnancy Experience: Summary.
Geneva, Switzerland: WHO.
8. Daru J, Zamora J, Fernández-Félix BM, Vogel J, Oladapo OT,
Morisaki N, Tunçalp Ö, Torloni MR, Mittal S, Jayaratne K,
Lumbiganon P, Togoobaatar G, Thangaratinam S, Khan KS. 2018.
Risk of maternal mortality in women with severe anaemia during
pregnancy and post partum: a multilevel analysis. Lancet Glob
Health, 6(5), 548-54.

Anda mungkin juga menyukai