Anda di halaman 1dari 20

ESAY GCS (GLASGOW COMA SCALE)

DAN
TRIASE KEGAWATDARURATAN

OLEH :

MUH. IKSAN
NIM : 1909200414901033

CI INSTITUSI CI RUMAH SAKIT

…………………………….. ……………………………..

INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN AVICENNA


PROGRAM STUDI PROFESI NERS
KONAWE
Latar Belakang
Sistem persarafan berfungsi sebagai pengatur berbagai aktivitas tubuh. Sistem
persarafan terdiri atas saraf pusat dan saraf perifer. Dalam pengkajian sistem
persarafan, pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan fungsi kesadaran, mental ,dan
gerakan sensasi. Pengkajian terhadap riwayat cedera kepala, pembedahan pada
persarafan, pingsan, maupun stroke perlu ditanyakan. Gangguan persarafan dapat
menyebabkan gangguan dalam beraktivitas. Dalam rangka menegakkan diagnosis
penyakit saraf diperlukan pemeriksaan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
mental dan laboratorium (penunjang). Pemeriksaan neurologis meliputi :pemeriksaan
kesadaran, rangsang selaput otak, saraf otak, sistemmotorik, sistem sensorik refleks
dan pemeriksaan mental.
Pemeriksaan kesadaran pasien dapat dikaji dengan menggunakan cara cara yang
mudah yaitu denggan menggunakan Glasglow Coma Scale (GCS). Agar pembaca lebih
memahami tentang pengkajian tingkat kesadaran maka makalah ini akan menguraikan
bagaimana cara mengukur tingkat kesadaran pasien menggunakan GCS.
Manfaat
Adapun tujuan yang ingin dicapai penulis dalam penyusunan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengertian dari tingkat kesadaran
2. Untuk mengetahui jenis-jenis tingkat kesadaran
3. Untuk mengetahui faktor apa saja yang dapat mempengaruhi tingkat kesadaran
4. Untuk mengetahui penyebab penurunan kesadaran
5. Untuk menjelaskan cara mengukur tingkat kesadaran
Analisis literatur
Kesadaran adalah pengetahuan penuh atas diri, lokasi dan waktu.
(Corwin, 2001). Kesadaran secara sederhana dapat dikatakan sebagai keadaan
dimana seseorang mengenal /mengetahui tentang dirinya maupun lingkungannya.
(Padmosantjojo, 2000).
Kesadaran yang sehat dan adekuat dikenal sebagai kewaspadaan, yaitu aksi dan
reaksi terhadap apa yang diserap (dilihat, didengar, dihidu, dikecap, dan seterusnya)
bersifat sesuai dan tepat. (Mutaqqin, 2008).
Berdasarkan pernyataan diatas dapat dikatakan bahwa tingkat kesadaran adalah
Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang terhadap
rangsangan dari lingkungan.
Jenis-jenis tingkat kesadaran
Berdasarkan penilaian kualitatif tingkat kesadaran dibagi menjadi :
1. Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat
menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya.
2. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan
sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
3. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak, berteriak-
teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
4. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang
lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah
dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.
5. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon
terhadap nyeri.
6. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap
rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga
tidak ada respon pupil terhadap cahaya).

Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Tingkat Kesadaran


Perubahan tingkat kesadaran dapat diakibatkan dari berbagai faktor, termasuk
perubahan dalam lingkungan kimia otak seperti keracunan, kekurangan oksigen karena
berkurangnya aliran darah ke otak, dan tekanan berlebihan di dalam rongga tulang
kepala. Adanya defisit tingkat kesadaran memberi kesan adanya hemiparese serebral
atau sistem aktivitas reticular mengalami injuri. Penurunan tingkat kesadaran
berhubungan dengan peningkatan angka morbiditas (kecacatan) dan mortalitas
(kematian). Jadi sangat penting dalam mengukur status neurologikal dan medis pasien.
Tingkat kesadaran ini bisa dijadikan salah satu bagian dari vital sign.
Penyebab Penurunan Kesadaran
Menurut Harsono, 1996 untuk memudahkan mengingat dan menelusuri kemungkinan –
kemungkinan penyebab penurunan kesadaran dengan istilah “ SEMENITE “ yaitu :
1. S : Sirkulasi
Meliputi stroke dan penyakit jantung, Syok (shock) adalah kondisi medis tubuh yang
mengancam jiwa yang diakibatkan oleh kegagalan sistem sirkulasi darah dalam
mempertahankan suplai darah yang memadai. Berkurangnya suplai darah
mengakibatkan berkurangnya suplai oksigen ke jaringan tubuh. Jika tidak teratasi
maka dapat menyebabkan kegagalan fungsi organ penting yang dapat
mengakibatkan kematian. Kegagalan sistem sirkulasi dapat disebabkan oleh
Kegagalan jantung memompa darah, terjadi pada serangan jantung.
2. E : Ensefalitis Dengan tetap mempertimbangkan adanya infeksi sistemik / sepsis
yang mungkin melatarbelakanginya atau muncul secara bersamaan.
3. M : Metabolik
Misalnya hiperglikemia, hipoglikemia, hipoksia, uremia, koma hepatikum. Etiologi
hipoglikemia pada DM yaitu hipoglikemia pada DM stadium dini, hipoglikemia dalm
rangka pengobatan DM yang berupa penggunaan insulin, penggunaan sulfonil urea,
bayi yang lahir dari ibu pasien DM, dan penyebab lainnya adalah hipoglikemia yang
tidak berkaitan dengan DM berupa hiperinsulinisme alimenter pos gastrektomi,
insulinoma, penyakit hati yang berat, tumor ekstrapankreatik, hipopitiutarism Gejala-
gejala yang timbul akibat hipoglikemia terdiri atas 2 fase. Fase 1 yaitu gejala-gejala
yang timbul akibat aktivasi pusat autonom di hipotalamus sehingga dilepaskannya
hormon efinefrin. Gejalanya berupa palpitasi, keluar banyak keringat, tremor,
ketakutan, rasa lapar dan mual. gejala ini timbul bila kadar glukosa darah turun
sampai 50% mg. Sedangkan Fase 2 yaitu gejala-gejala yang terjadi akibat mulai
terjadinya gangguan fungsi otak , karena itu dinamakan juga gejala neurologi.
Gejalanya berupa pusing, pandang kabur, ketajam mental menurun, hilangnya
keterampilan motorik halus, penurunan kesadaran, kejang-kejang dan koma.gejala
neurologi biasanya muncul jika kadar glukosa darah turun mendekati 20% mg.
4. E : Elektrolit
Misalnya diare dan muntah yang berlebihan. Diare akut karena infeksi dapat disertai
muntah-muntah, demam, tenesmus, hematoschezia, nyeri perut dan atau kejang
perut. Akibat paling fatal dari diare yang berlangsung lama tanpa rehidrasi yang
adekuat adalah kematian akibat dehidrasi yang menimbulkan renjatan hipovolemik
atau gangguan biokimiawi berupa asidosis metabolik yang berlanjut. Seseorang
yang kekurangan cairan akan merasa haus, berat badan berkurang, mata cekung,
lidah kering, tulang pipi tampak lebih menonjol, turgor kulit menurun serta suara
menjadi serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan oleh deplesi air yang isotonik.
Karena kehilangan bikarbonat (HCO3) maka perbandingannya dengan asam
karbonat berkurang mengakibatkan penurunan pH darah yang merangsang pusat
pernapasan sehingga frekuensi pernapasan meningkat dan lebih dalam
(pernapasan Kussmaul). Gangguan kardiovaskuler pada tahap hipovolemik yang
berat dapat berupa renjatan dengan tanda-tanda denyut nadi cepat (> 120 x/menit),
tekanan darah menurun sampai tidak terukur. Pasien mulai gelisah, muka pucat,
akral dingin dan kadang-kadang sianosis. Karena kekurangan kalium pada diare
akut juga dapat timbul aritmia jantung. Penurunan tekanan darah akan
menyebabkan perfusi ginjal menurun sampai timbul oliguria/anuria. Bila keadaan ini
tidak segera diatsi akan timbul penyulit nekrosis tubulus ginjal akut yang berarti
suatu keadaan gagal ginjal akut.
5. N : Neoplasma
Tumor otak baik primer maupun metastasis, Muntah : gejala muntah terdapat pada
30% kasus dan umumnya meyertai nyeri kepala. Lebih sering dijumpai pada tumor
di fossa posterior, umumnya muntah bersifat proyektil dan tak disertai dengan mual.
Kejang : bangkitan kejang dapat merupakan gejala awal dari tumor otak pada 25%
kasus, dan lebih dari 35% kasus pada stadium lanjut. Diperkirakan 2% penyebab
bangkitan kejang adalah tumor otak. Bangkitan kejang ditemui pada 70% tumor otak
di korteks, 50% pasien dengan astrositoma, 40% pada pasien meningioma, dan
25% pada glioblastoma.
6. Gejala Tekanan Tinggi Intrakranial (TTIK) : berupa keluhan nyeri kepala di daerah
frontal dan oksipital yang timbul pada pagi hari dan malam hari, muntah proyektil
dan penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan diketemukan papil udem.
7. I : Intoksikasi
Penurunan kesadaran disebabkan oleh gangguan pada korteks secara menyeluruh
misalnya pada gangguan metabolik, dan dapat pula disebabkan oleh gangguan
ARAS di batangotak, terhadap formasio retikularis di thalamus, hipotalamus maupun
mesensefalon Pada penurunan kesadaran, gangguan terbagi menjadi dua, yakni
gangguan derajat(kuantitas, arousal wake f ulness) kesadaran dan gangguan isi
(kualitas, awareness alertness kesadaran). Adanya lesi yang dapat mengganggu
interaksi ARAS dengan korteks serebri, apakahlesi supratentorial, subtentorial dan
metabolik akan mengakibatkan menurunnya kesadaran.
8. Intoksikasi berbagai macam obat maupun bahan kimia dapat menyebabkan
penurunan kesadaran, Menentukan kelainan neurologi perlu untuk evaluasi dan
manajemen penderita. Pada penderita dengan penurunan kesadaran, dapat
ditentukan apakah akibatkelainan struktur, toksik atau metabolik. Pada koma akibat
gangguan struktur mempengaruhi fungsi ARAS langsung atau tidak langsung.
ARAS merupakan kumpulanneuron polisinaptik yang terletak pada pusat medulla,
pons dan mesensefalon, sedangkan penurunan kesadaran karena kelainan
metabolik terjadi karena memengaruhi energi neuronal atau terputusnya aktivitas
membran neuronal atau multifaktor. Diagnosis banding dapat ditentukan melalui
pemeriksaan pernafasan, pergerakan spontan, evaluasisaraf kranial dan respons
motorik terhadap stimuli.
9. T : Trauma
Terutama trauma kapitis : komusio, kontusio, perdarahan epidural, perdarahan
subdural, dapat pula trauma abdomen dan dada. Cedera pada dada dapat
mengurangi oksigenasi dan ventilasi walaupun terdapat airway yang paten. Dada
pasien harus dalam keadaan terbuka sama sekali untuk memastikan ada ventilasi
cukup dan simetrik. Batang tenggorok (trachea) harus diperiksa dengan melakukan
rabaan untuk mengetahui adanya perbedaan dan jika terdapat emphysema dibawah
kulit. Lima kondisi yang mengancam jiwa secara sistematik harus diidentifikasi atau
ditiadakan (masing-masing akan didiskusikan secara rinci di Unit 6 - Trauma) adalah
tensi pneumothorax, pneumothorax terbuka, massive haemothorax, flail segment
dan cardiac tamponade.
10. E : Epilepsi
Pasca serangan Grand Mall atau pada status epileptikus dapat menyebabkan
penurunan kesadaran. ( Harsono , 1996 )
Cara Mengukur Tingkat Kesadaran (Pemeriksaan GCS)
GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang digunakan untuk menilai tingkat
kesadaran pasien, (apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak) dengan menilai
respon pasien terhadap rangsangan yang diberikan.
Kesimpulan
Pengkajian tingkat kesadaran diperlukan untuk mendapatkan data objektif tentang
tingkat kesadaran pasien. GCS adalah pengkuran yang cukup akurat sebagai
pemeriksaan penunjang dalam pemantauan kondisi pasien. Pengkajian dilakukan sat
pasien baru dan mengevaluasi perkembangan kondisi pasien.

TRIAGE
Latar Belakang

Penggunaan istilah triage ini sudah lama berkembang. Konsep awal triage modern
yang berkembang meniru konsep pada jaman Napoleon dimana Baron Dominique Jean
Larrey (1766 – 1842), seorang dokter bedah yang merawat tentara Napoleon,
mengembangkan dan melaksanakan sebuah system perawatan dalam kondisi yang
paling mendesak pada tentara yang datang tanpa memperhatikan urutan kedatangan
mereka. System tersebut memberikan perawatan awal pada luka ketika berada di
medan perang kemudian tentara diangkut ke rumah sakit/tempat perawatan yang
berlokasi di garis belakang. Sebelum Larrey menuangkan konsepnya, semua orang
yang terluka tetap berada di medan perang hingga perang usai baru kemudian
diberikan perawatan.
Pada tahun 1846, John Wilson memberikan kontribusi lanjutan bagi filosofi triase.
Dia mencatat bahwa, untuk penyelamatan hidup melalui tindakan pembedahan akan
efektif bila dilakukan pada pasien yang lebih memerlukan.
Pada perang dunia I, pasien akan dipisahkan di pusat pengumpulan korban secara
langsung akan dibawa ke tempat dengan fasilitas yang sesuai. Pada perang dunia II
diperkenalkan pendekatan triage dimana korban dirawat pertama kali dilapangan oleh
dokter dan kemudian dikeluarkan dari garis perang untuk perawatan yang lebih baik.
Pengelompokan pasien dengan tujuan untuk membedakan prioritas penanganan dalam
medan perang pada perang dunia I, maksud awalnya adalah untuk menangani luka
yang minimal pada tentara sehingga dapat segera kembali ke medan perang.
Penggunaan awal kata “trier” mengacu pada penampisan screening di medan
perang. Kini istilah tersebut lazim digunakan untuk menggambarkan suatu konsep
pengkajian yang cepat dan terfokus dengan suatu cara yang memungkinkan
pemanfaatan sumber daya manusia, peralatan serta fasilitas yang paling efisien
terhadap hamper 100 juta orang yang memerlukan pertolongan di unit gawat darurat
(UGD) setiap tahunnya. Berbagai system triage mulai dikembangkan pada akhir tahun
1950-an seiring jumlah kunjungan UGD yang telah melampaui kemampuan sumber
daya yang ada untuk melakukan penanganan segera. Tujuan triage adalah memilih
atau menggolongkan semua pasien yang datang ke UGD dan menetapkan prioritas
penanganan.
Triage adalah suatu konsep pengkajian yang cepat dan terfokus dengan suatu cara
yang memungkinkan pemanfaatan sumber daya manusia, peralatan serta fasilitas yang
paling efisien dengan tujuan untuk memilih atau menggolongkan semua pasien yang
memerlukan pertolongan dan menetapkan prioritas penanganannya (Kathleen dkk,
2008).
Triage adalah usaha pemilahan korban sebelum ditangani, berdasarkan tingkat
kegawatdaruratan trauma atau penyakit dengan mempertimbangkan prioritas
penanganan dan sumber daya yang ada.
Triage adalah suatu system pembagian/klasifikasi prioritas klien berdasarkan berat
ringannya kondisi klien/kegawatdaruratannya yang memerlukan tindakan segera.
Dalam triage, perawat dan dokter mempunyai batasan waktu (respon time) untuk
mengkaji keadaan dan memberikan intervensi secepatnya yaitu ≤ 10 menit.
Triase berasal dari bahasa Perancis trier dan bahasa inggris triage dan diturunkan
dalam bahasa Indonesia triase yang berarti sortir. Yaitu proses khusus memilah pasien
berdasar beratnya cidera/penyakit untuk menentukan jenis perawatan gawat darurat.
Kini istilah tersebut lazim digunakan untuk menggambarkan suatu konsep pengkajian
yang cepat dan berfokus dengan suatu cara yang memungkinkan pemanfaatan sumber
daya manusia, peralatan serta fasilitas yang paling efisien terhadap 100 juta orang yang
memerlukan perawatan di UGD setiap tahunnya (Pusponegoro, 2010).

Manfaat/Tujuan Triage

Tujuan utama adalah untuk mengidentifikasi kondisi mengancam nyawa. Tujuan


triage selanjutnya adalah untuk menetapkan tingkat atau drajat kegawatan yang
memerlukan pertolongan kedaruratan.
Dengan triage tenaga kesehatan akan mampu :
1. Menginisiasi atau melakukan intervensi yang cepat dan tepat kepada pasien
2. Menetapkan area yang paling tepat untuk dapat melaksanakan pengobatan
lanjutan
3. Memfasilitasi alur pasien melalui unit gawat darurat dalam proses
penanggulangan/pengobatan gawat darurat
4. Sistem Triage dipengaruhi oleh :
5. Jumlah tenaga profesional dan pola ketenagaan
6. Jumlah kunjungan pasien dan pola kunjungan pasien
7. Denah bangunan fisik unit gawat darurat
8. Terdapatnya klinik rawat jalan dan pelayanan medis
Analisis Literatur

“Time Saving is Life Saving (waktu keselamatan adalah keselamatan hidup), The Right
Patient, to The Right Place at The Right Time, with The Right Care Provider.
1.      Triase seharusnya dilakukan segera dan tepat waktu
Kemampuan berespon dengan cepat terhadap kemungkinan penyakit yang
mengancam kehidupan atau injuri adalah hal yang terpenting di departemen
kegawatdaruratan.
2.      Pengkajian seharusnya adekuat dan akurat
Ketelitian dan keakuratan adalah elemen yang terpenting dalam proses interview.
3.      Keputusan dibuat berdasarkan pengkajian
Keselamatan dan perawatan pasien yang efektif hanya dapat direncanakan bila
terdapat informasi yang adekuat serta data yang akurat.
4.      Melakukan intervensi berdasarkan keakutan dari kondisi
Tanggung jawab utama seorang perawat triase adalah mengkaji secara akurat
seorang pasien dan menetapkan prioritas tindakan untuk pasien tersebut. Hal
tersebut termasuk intervensi terapeutik, prosedur diagnostic dan tugas terhadap
suatu tempat yang diterima untuk suatu pengobatan.
5.      Tercapainya kepuasan pasien
         Perawat triase seharusnya memenuhi semua yang ada di atas saat menetapkan
hasil secara serempak dengan pasien
         Perawat membantu dalam menghindari keterlambatan penanganan yang dapat
menyebabkan keterpurukan status kesehatan pada seseorang yang sakit dengan
keadaan kritis.
         Perawat memberikan dukungan emosional kepada pasien dan keluarga atau
temannya.
Menurut Brooker, 2008. Dalam prinsip triase diberlakukan system prioritas,
prioritas adalah penentuan/penyeleksian mana yang harus didahulukan mengenai
penanganan yang mengacu pada tingkat ancaman jiwa yang timbul dengan
seleksi pasien berdasarkan :
         Ancaman jiwa yang dapat mematikan dalam hitungan menit
         Dapat mati dalam hitungan jam
         Trauma ringan
         Sudah meninggal
Pada umumnya penilaian korban dalam triage dapat dilakukan dengan :
a.       Menilai tanda vital dan kondisi umum korban
b.      Menilai kebutuhan medis
c.       Menilai kemungkinan bertahan hidup
d.      Menilai bantuan yang memungkinkan
e.       Memprioritaskan penanganan definitive
f.       Tag warna

TIPE TRIAGE DI RUMAH SAKIT


1)      Tipe 1 : Traffic Director or Non Nurse
a.       Hampir sebagian besar berdasarkan system triage
b.      Dilakukan oleh petugas yang tak berijasah
c.       Pengkajian minimal terbatas pada keluhan utama dan seberapa sakitnya
d.      Tidak ada dokumentasi
e.       Tidak menggunakan protocol
2)      Tipe 2 : Cek Triage Cepat
a. Pengkajian cepat dengan melihat yang dilakukan perawat beregistrasi atau
dokter
b. Termasuk riwayat kesehatan yang berhubungan dengan keluhan utama
c. Evaluasi terbatas
d. Tujuan untuk meyakinkan bahwa pasien yang lebih serius atau cedera
mendapat perawatan pertama
3)      Tipe 3 : Comprehensive Triage
a.       Dilakukan oleh perawat dengan pendidikan yang sesuai dan berpengalaman
b.      4 sampai  5 sistem kategori
c.       Sesuai protocol

Clinical Significant

Berdasarkan Oman (2008), pengambilan keputusan triage didasarkan pada


keluhan utama, riwayat medis, dan data objektif yang mencakup keadaan umum pasien
serta hasil pengkajian fisik yang terfokus. Menurut Comprehensive Speciality Standart,
ENA tahun 1999, penentuan triase didasarkan pada kebutuhan fisik, tumbuh kembang
dan psikososial selain pada factor-faktor yang mempengaruhi akses pelayanan
kesehatan serta alur pasien lewat system pelayanan kedaruratan. Hal-hal yang harus
dipertimbangkan mencakup setiap gejala ringan yang cenderung berulang atau
meningkat keparahannya.
Beberapa hal yang mendasari klasifikasi pasien dalam system triage adalah kondisi
klien yang meliputi :
a. Gawat, adalah suatu keadaan yang mengancam nyawa dan kecacatan yang
memerlukan penanganan dengan cepat dan tepat.
b. Darurat, adalah suatu keadaan yang tidak mengancam nyawa tapi memerlukan
penanganan cepat dan tepat seperti kegawatan.
c. Gawat darurat, adalah suatu keadaan yang mengancam jiwa disebabkan oleh
gangguan ABC (Airway /  jalan nafas, Breathing / Pernafasan, Circulation /
Sirkulasi), jika tidak ditolong segera maka dapat meninggal atau cacat (Wijaya,
2010)
Berdasarkan prioritas keperawatan dapat dibagi menjadi 4 klasifikasi :
Tabel 1. Klasifikasi Triage
KLASIFIKASI KETERANGAN
Gawat darurat (P1) Keadaan yang mengancam nyawa /
adanya gangguan ABC dan perlu
tindakan segera, misalnya cardiac
arrest, penurunan kesadaran, trauma
mayor dengan perdarahan hebat
Gawat tidak darurat (P2) Keadaan mengancam nyawa tetapi
tidak memerlukan tindakan darurat.
Setelah dilakukan resusitasi maka
ditindaklanjuti oleh dokter spesialis.
Misalnya : pasien kanker tahap lanjut,
fraktur, sickle cell dan lainnya
Darurat tidak gawat (P3) Keadaan yang tidak mengancam
nyawa tetapi memerlukan tindakan
darurat. Pasien sadar, tidak ada
gangguan ABC dan dapat langsung
diberikan terapi definitive. Untuk tindak
lanjut dapat ke poliklinik, misalnya
laserasi, fraktur minor /  tertutup, otitis
media dan lainnya
Tidak gawat tidak darurat (P4) Keadaan tidak mengancam nyawa dan
tidak memerlukan tindakan gawat.
Gejala dan tanda klinis ringan /
asimptomatis. Misalnya penyakit kulit,
batuk, flu, dan sebagainya.

Tabel 2. Klasifikasi berdasarkan Tingkat Prioritas (Labeling)


KLASIFIKASI KETERANGAN
Prioritas I (MERAH) Mengancam jiwa atau fungsi vital, perlu
resusitasi dan tindakan bedah segera,
mempunyai kesempatan hidup yang
besar. Penanganan dan pemindahan
bersifat segera yaitu gangguan pada
jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi.
Contohnya sumbatan jalan nafas,
tension pneumothorak, syok
hemoragik, luka terpotong pada tangan
dan kaki, combutio (luka bakar tingkat II
dan III > 25 %
Prioritas II (KUNING) Potensial mengancam nyawa atau
fungsi vital bila tidak segera ditangani
dalam jangka waktu singkat.
Penanganan dan pemindahan bersifat
jangan terlambat. Contoh : patah tulang
besar, combutio (luka bakar) tingkat II
dan III < 25 %, trauma thorak /
abdomen, laserasi luas, trauma bola
mata.
Prioritas III (HIJAU) Perlu penanganan seperti pelayanan
biasa, tidak perlu segera. Penanganan
dan pemindahan bersifat terakhir.
Contoh luka superficial, luka-luka
ringan.
Prioritas 0 (HITAM) Kemungkinan untuk hidup sangat kecil,
luka sangat parah. Hanya perlu terapi
suportif. Contoh henti jantung kritis,
trauma kepala kritis.

Tabel 3. Klasifikasi berdasarkan Tingkat Keakutan (Iyer, 2004).


TINGKAT KEAKUTAN KETERANGAN
Kelas I Pemeriksaan fisik rutin (misalnya
memar minor) dapat menunggu lama
tanpa bahaya
Kelas II Nonurgen / tidak mendesak (misalnya
ruam, gejala flu) dapat menunggu lama
tanpa bahaya
Kelas III Semi-urgen / semi mendesak (misalnya
otitis media) dapat menunggu sampai 2
jam sebelum pengobatan
Kelas IV Urgen / mendesak (misalnya fraktur
panggul, laserasi berat, asma); dapat
menunggu selama 1 jam
Kelas V Gawat darurat (misalnya henti jantung,
syok); tidak boleh ada keterlambatan
pengobatan ; situasi yang mengancam
hidup
Beberapa petunjuk tertentu yang harus diketahui oleh perawat triage yang
mengindikasikan kebutuhan untuk klasifikasi prioritas tinggi. Petunjuk tersebut meliputi :
1. Nyeri hebat
2. Perdarahan aktif
3. Stupor / mengantuk
4. Disorientasi
5. Gangguan emosi
6. Dispnea saat istirahat
7. Diaforesis yang ekstern
8. Sianosis
9. Tanda vital diluar batas normal (Iyer, 2004).

Proses triage dimulai ketika pasien masuk ke pintu UGD. Perawat triage harus
mulai memperkenalkan diri, kemudian menanyakan riwayat singkat dan melakukan
pengkajian, misalnya terlihat sekilas kearah pasien yang berada di brankar sebelumm
mengarahkan ke ruang perawatan yang tepat.
Pengumpulan data subjektif dan objektif harus dilakukan dengan cepat, tidak lebih
dari 5 menit karena pengkajian ini tidak termasuk pengkajian perawat utama. Perawat
triage bertanggung jawab untuk menempatkan pasien di area pengobatan yang tepat,
misalnya bagian trauma dengan peralatan khusus, bagian jantung dengan monitor
jantung dan tekanan darah, dll. Tanpa memikirkan dimana pasien pertama kali
ditempatkan setelah triage, setiap pasien tersebut harus dikaji ulang oleh perawat
utama sedikitnya sekali setiap 60 menit.
Untuk pasien yang dikategorikan sebagai pasien yang mendesak atau gawat
darurat, pengkajian dilakukan setiap 15 menit/lebih bila perlu. Setiap pengkajian ulang
harus didokumentasikan dalam rekam medis. Informasi baru dapat mengubah
kategorisasi keakutan dan lokasi pasien di area pengobatan. Misalnya kebutuhan untuk
memindahkan pasien yang awalnya berada di area pengobatan minor ke tempat tidur
bermonitor ketika pasien tampak mual atau mengalami sesak nafas, sinkope, atau
diaphoresis (Iyer, 2004).
Bila kondisi pasien ketika datang sudah tampak tanda-tanda objektif bahwa ia
mengalami gangguan pada airway, breathing, dan circulation, maka pasien ditangani
terlebih dahulu. Pengkajian awal hanya didasarkan atas data objektif dan data subjektif
sekunder dari pihak keluarga. Setelah keadaan pasien membaik, data pengkajian
kemudian dilengkapi dengan data subjektif yang berasal langsung dari pasien (data
primer)
Alur dalam proses Triage
1. Pasien datang diterima petugas / paramedic UGD
2. Diruang triase dilakukan anamneses dan pemeriksaan singkat dan cepat (selintas)
untuk menentukan derajat kegawatannya oleh perawat.
3. Bila jumlah penderita / korban yang ada lebih dari 50 orang, maka triase dapat
dilakukan di luar ruang triase (di depan gedung IGD)
4. Penderita dibedakan menurut kegawatannya dengan memberi kode warna :
a. Segera – Immediate (MERAH). Pasien mengalami cedera mengancam jiwa yang
kemungkinan besar dapat hidup bila ditolong segera. Misalnya : Tension
pneumothorax, distress pernafasan (RR<30x/menit), perdarahan internal, dsb
b. Tunda – Delayed (KUNING). Pasien memerlukan tindakan definitive tetapi tidak
ada ancaman jiwa segera. Misalnya : Perdarahan laserasi terkontrol, fraktur
tertutup pada ekstremitas dengan perdarahan terkontrol, luka bakar <25% luas
permukaan tubuh, dsb.
c. Minimal (HIJAU). Pasien mendapat cidera minimal, dapat berjalan dan menolong
diri sendiri atau mencari pertolongan. Misalnya : laserasi minor, memar dan
lecet, luka bakar superfisial.
d. Expextant (HITAM). Pasien mengalami cidera mematikan dan akan meninggal
meski mendapat pertolongan. Misalnya : luka bakar derajat 3 hampir diseluruh
tubuh, kerusakan organ vital, dsb.
e. Penderita/korban mendapatkan prioritas pelayanan dengan urutan warna :
merah, kuning, hijau, hitam.
f. Penderita/korban kategori triase merah dapat langsung diberikan pengobatan
diruang tindakan UGD. Tetapi bila memerlukan tindakan medis lebih lanjut,
penderita/korban dapat dipindahkan ke ruang operasi atau dirujuk ke rumah sakit
lain.
g. Penderita dengan kategori triase kuning yang memerlukan tindakan medis lebih
lanjut dapat dipindahkan ke ruang observasi dan menunggu giliran setelah
pasien dengan kategori triase merah selesai ditangani.
h. Penderita dengan kategori triase hijau dapat dipindahkan ke rawat jalan, atau
bila sudah memungkinkan untuk dipulangkan, maka penderita/korban dapat
diperbolehkan untuk pulang.
i. Penderita kategori triase hitam (meninggal) dapat langsung dipindahkan ke
kamar jenazah (Rowles, 2007).

Dokumentasi Triage
Dokumen adalah suatu catatan yang dapat dibuktikan atau dijadikan bukti dalam
persoalan hukum. Sedangkan pendokumentasian adalah pekerjaan mencatat atau
merekam peristiwa dan objek maupun aktifitas pemberian jasa (pelayanan) yang
dianggap berharga dan penting.
Dokumentasi yang berasal dari kebijakan yang mencerminkan standar nasional
berperan sebagai alat manajemen resiko bagi perawat UGD. Hal tersebut
memungkinkan peninjau yang objektif menyimpulkan bahwa perawat sudah melakukan
pemantauan dengan tepat dan mengkomunikasikan perkembangan pasien kepada tim
kesehatan. Pencatatan, baik dengan computer, catatan naratif, atau lembar alur harus
menunjukkan bahwa perawat gawat darurat telah melakukan pengkajian dan
komunikasi, perencanaan dan kolaborasi, implementasi dan evaluasi perawatan yang
diberikan, dan melaporkan data penting pada dokter selama situasi serius. Lebih jauh
lagi, catatan tersebut harus menunjukkan bahwa perawat gadar bertindak sebagai
advokat pasien ketika terjadi penyimpangan standar perawatan yang mengancam
keselamatan pasien (Anonimous, 2002).
Pada tahap pengkajian, pada proses triase yang mencakup dokumentasi :
1.      Waktu dan datangnya alat transportasi
2.      Keluhan utama
3.      Pengkodean prioritas atau keakutan perawatan
4.      Penentuan pemberi perawatan kesehatan yang tepat
5.      Penempatan di area pengobatan yang tepat (missal : cardiac versus trauma,
perawatan minor vs perawatan kritis)
6.      Permulaan intervensi (missal : balutan steril, es, pemakaian bidai, prosedur
diagnostic seperti pemeriksaan sinar X, EKG, GDA, dll
KOMPONEN DOKUMENTASI TRIAGE
         Tanda dan waktu tiba
         Umur pasien
         Waktu pengkajian
         Riwayat alergi
         Riwayat pengobatan
         Tingkat kegawatan pasien
         Tanda-tanda vital
         Pertolongan pertama yang diberikan
         Pengkajian ulang
         Pengkajian nyeri
         Keluhan utama
         Riwayat keluhan saat ini
         Data subjektif dan data objektif
         Periode menstruasi terakhir
         Imunisasi tetanus terakhir
         Pemeriksaan diagnostic
         Administrasi pengobatan
         Tanda tangan registered nurse

Rencana perawatan lebih sering tercermin dalam instruksi dokter serta


dokumentasi pengkajian dan intervensi keperawatan daripada dalam tulisan rencana
perawatan formal (dalam bentuk tulisan tersendiri). Oleh karena itu, dokumentasi oleh
perawat pada saat instruksi tersebut ditulis dan diimplementasikan secara berurutan,
serta pada saat terjadi perubahan status pasien atau informasi klinis yang
dikomunikasikan kepada dokter secara bersamaan akan membentuk “landasan”
perawatan yang mencerminkan ketaatan pada standar perawatan sebagai pedoman.
Dalam implementasi perawat gawat darurat harus mampu melakukan dan
mendokumentasikan tindakan medis dan keperawatan, termasuk waktu, sesuai dengan
standar yang disetujui. Perawat harus mengevaluasi secara continue perawatan pasien
berdasarkan hasil yang dapat diobservasi untuk menentukan perkembangan pasien
kea rah hasil dan tujuan dan harus mendokumentasikan respon pasien terhadap
intervensi pengobatan dan perkembangannya. Standar Joint Commision (1996)
menyatakan bahwa rekam medis menerima pasien yang sifatnya gawat darurat,
mendesak, dan segera harus mencantumkan kesimpulan pada saat terminasi
pengobatan, termasuk disposisi akhir, kondisi pada saat pemulangan, dan instruksi
perawatan tindak lanjut.

Proses dokumentasi triage menggunakan system SOAPIE, sebagai


berikut :
1.      S : data subjektif
2.      O : data objektif
3.      A : analisa data yang mendasari penentuan diagnosa keperawatan
4.      P : rencana keperawatan
5.      I : implementasi, termasuk didalamnya tes diagnostic
6.      E : evaluasi / pengkajian kembali keadaan / respon pasien terhadap
pengobatan dan perawatan yang diberikan (ENA, 2005)

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, 1999. Triage Officers Course. Singapore : Departement of Emergency


Medicine Singapore General Hospital
Anonimous, 2002. Disaster Medicine. Philadelphia USA : Lippincott Williams
ENA, 2005. Emergency Care. USA : WB Saunders Company
Iyer, P. 2004. Dokumentasi Keperawatan : Suatu Pendekatan Proses Keperawatan.
            Jakarta : EGC
Oman, Kathleen S. 2008. Panduan Belajar Keperawatan Emergensi. Jakarta : EGC
Wijaya,  S. 2010. Konsep Dasar Keperawatan Gawat Darurat. Denpasar : PSIK FK

Anda mungkin juga menyukai