Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN KASUS RAWAT INAP

Demam Berdarah Dengue

RSUD CILEUNGSI

DPJP : dr. Nilam, Sp.PD

Pedamping : dr. Nanik Setyaningsih

Disusun Oleh :

dr. Novena Jean Resti Zagoto


BAB I
LAPORAN KASUS

A. Anamnesis
Identitas Pasien
Nama : Asep lukmansyah
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 48 tahun
BB : 55 kg
TB : 160 cm
Pendidikan : SMA
Alamat : Kp.rawa makmur
Masuk RS : 1 Juli 2019

Keluhan Utama : Demam


Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke rumah sakit dengan demam tinggi kurang lebih satu minggu. Panas
dirasakan mendadak tinggi yang terus-menerus, siang sama dengan malam.

Selain itu pasien juga mengeluh sakit di bagian ulu hati, mual, kurang nafsu makan dan sakit
kepala. Dua hari setelah timbul panas, timbul bintik – bintik merah di kulit yang tidak terasa
gatal pada tangan dan kaki. Keluhan pegal-pegal, sakit pada otot badan dan sendi dirasakan
pasien namun tidak begitu hebat. Belum BAB sejak 3 hari yang lalu, BAK tidak ada keluhan.

Pasien baru pertama kali menderita sakit seperti ini,sebelumnya pasien sebelumnya sudah
berobat tetapi keluhan tidak berkurang.

Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya

Riwayat Penyakit Keluarga dan Lingkungan


Tidak ada yang mengalami keluhan serupa.
B. Pemeriksaan fisik
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : composmentis
Tanda vital :
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Nadi : 85 x/menit
RR : 24 x / menit
Suhu : 38,3 °C
Pemeriksaan status generalis :
Kepala : tidak tampak kelainan
Mata : konjungtiva anemis (-),sclera ikterik (-)
THT : faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1
Leher : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Thorax : bentuk normal.
Paru :
Inspeksi : dalam keadaan statis simetris, dalam keadaan dinamis tidak
ada ketinggalan gerak.
Palpasi : stem fremitus paru kanan sama dengan paru kiri
Perkusi : sonor di kedua lapang paru, batas paru normal
Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronkhi (-)
Jantung :
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : S1,S2 tunggal, regular, gallop(-), murmur (-)
Abdomen : bentuk datar, nyeri tekan epigastrium (-), turgor baik (<3
detik), bising usus normal tidak meningkat
Inspeksi : datar
Palpasi : nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien tidak teraba,
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus normal
Ekstremitas : akral hangat, petekie (-), CR <2 detik
C. Diagnosis : Demam Berdarah Dengue

D. Usulan pemeriksaan penunjang

Hb : 10

Ht : 37

Leukosit : 9700

Trombosit : 97000

GDS : 105

S.partyphi CH : 1/160

S.partyphi AO : 1/160

Ur : 33

Cr : 1.0

SGOT : 121

SGPT : 183

Na : 144

K : 3.6

Cl : 104

E. Penatalaksanaan
IVFD RL /6 jam
Paacetamol 3x500 mg
Omeperazole 1x20 mg
Ranitidin inj
Pendahuluan

Demam dengue ( dengue fever, selanjutnya disingkat DF) adalah penyakit yang terutama
terdapat pada anak remaja atau dewasa, dengan tanda-tanda klinis demam nyeri otot atau dan
nyeri sendi yang disertai leucopenia, dengan/tanpa ruam (rash) dan limfadenopati, demam
bifasik, sakit kepala yang hebat, nyeri pada pergerakan bola mata, rasa mengecap terganggu,
trombositopenia ringan dan bintik-bintik perdarahan (petekie) spontan.

Demam berdarah dengue (dengue hemoragic fever (DHF)) ialah penyakit yang terdapat pada
anak dan dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi, yang biasanya
memburuk setelah dua hari pertama. Uji tourniquet akan positif dengan/tanpa ruam disertai
beberapa atau semua gejala perdarahan seperti petekie spontan yang timbul serentak, purpura,
ekimosis, epistaksis, hematemesis, melena, trombositopenia, masa perdarahan dan masa
protrombin memanjang, hematokrit meningkat dan gangguan maturasi megakariosit. Sindrom
rejatan dengue adalah penyakit DHF yang disertai rejatan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD sangat kompleks,
yaitu :
1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi
2. Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali
3. Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis
4. Peningkatan sarana transportasi

Epidemiologi

Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke 18, seperti yang dilaporkan oleh
David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu infeksi virus dengue
menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam lima hari (vijfdaagse koorts)
kadang-kadang disebut juga sebagai demam sendi (knokel koorts)1. Disebut demikian karena
demam yang terjadi menghilang dalam lima hari, disertai nyeri pada sendi, nyeri otot, dan
nyeri kepala. Sejak tahun 1952 infeksi virus dengue menimbulkan penyakit dengan
manifestasi klinis yang berat, yaitu DBD yang ditemukan di Manila, Filipina1. Dan pada
tahun 1954 Qiuntos dan kawan-kawan di Manila menemukan DBD yang menyerang pada
anak-anak2. Kemudian hal ini menyebar ke negara lain seperti Thailand, Vietnam, Malaysia,
dan Indonesia. Pada tahun 1968 penyakit DBD dilaporkan di Surabaya dan Jakarta dengan
jumlah kematian yang sangat tinggi1, akan tetapi kepastian serologik baru diperoleh pada
tahun 1972.

Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai faktor antara lain status
imunitas pejamu, kepadata vektor nyamuk, transmisi virus dengue, keganasan (virulensi)
virus dengue, dan kondisi geografis setempat. Sampai saat ini DBD telah ditemukan di
seluruh propinsi di Indonesia, dan 200 kota telah melaporkan adanya kejadian luar biasa1,3.
Insidince rate meningkat dari 0,005 per 100.000 penduduk pada tahun 1968 menjadi berkisar
antara 6-27 per 100.000 penduduk1. Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh
iklim dan kelembaban udara. Di Indonesia, karena suhu udara dan kelembaban tidak sama di
setiap tempat, maka pola waktu terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap tempat.
Etiologi

Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh virus dengue yang termasuk kelompok B
Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus , famili
Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu ; DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 .
Di Indonesia serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak
yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat4,5 .Di indonesia vektor utamanya adala
nyamuk Aedes aegypti, di samping itu pula ada nyamuk Aedes albopictus. Vektor ini
bersarang di bejana-bejana yang berisi air jernih dan tawar seperti bak mandi, drum
penampungan air, kaleng bekas, dan lainnya.

VEKTOR DBD dan CARA PENULARAN

Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue, yaitu
manusia, virus dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan
nyamuk Aedes aegypti6,7. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesienesis dan beberapa
spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang kurang
banyak berperan. Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat
menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar
liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat
ditularkan kembali kepada manusia pada gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk
betina dapat ditularkan kepada telurnya (transovarian transmission), namun peranannya
dalam virus tidak terlalu penting. Sekali virus dapat masuk dan berkembang biak di dalam
tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif).
Didalam tubuh manusia , virus memerlukan waktu masa tunas 4-6 hari (intrinsic incubation
period) sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat
terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum
panas sampai 5 hari setelah demam timbul.

Tidak semua orang yang digigit nyamuk Aedes aegypti yang membawa virus dengue, akan
terserang penyakit demam berdarah. Orang yang mempunyai kekebalan yang cukup terhadap
virus dengue, tidak akan terserang penyakit ini, meskipun dalam darahnya terdapat virus itu6.
Sebaliknya pada orang yang tidak mempunyai kekebalan yang cukup terhadap virus dengue,
dia akan sakit demam ringan atau bahkan sakit berat, yaitu demam tinggi disertai perdarahan
bahkan syok, tergantung dari tingkat kekebalan tubuh yang dimilikinya.

Ada 2 teori tentang terjadinya manifestasi yang lebih berat itu yang dikemukakan oleh pakar
demam berdarah dunia.
1. Teori infeksi primer/teori virulensi : yaitu munculnya manifestasi itu disebabkan karena
adanya mutasi dari virus dengue menjadi lebih virulen.
2. Teori infeksi sekunder : yaitu munculnya manifestasi berat bila terjadi infeksi ulangan oleh
virus dengue yang serotipenya berbeda dengan infeksi sebelumnya.
PATOGENESIS

Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk dan infeksi pertama
kali mungkin memberi gejala DF. Reaksi tubuh merupakan reaksi yang biasa terlihat pada
infeksi oleh virus. Reaksi yang amat berbeda akan tampak, bila seseorang mendapat infeksi
berulang dengan tipe virus yang berlainan. Berdasarkan hal ini timbullah yang disebut
dengan the secondary heterologous infection atau the sequential infection hypothesis yang
dianut oleh sebagian besar pakar dewasa ini8. Hipotesis ini menyatakan bahwa DBD dapat
terjadi bila seseorang setelah terinfeksi virus dengue pertama kali, mendapat infeksi berulang
virus dengue lainnya. Re-infeksi ini akan menyebabkan suatu reaksi anamnestik antibodi,
sehingga menimbulkan konsentrasi kompleks antigen-antibodi (kompleks virus-antibodi)
yang tinggi.

Terdapatnya kompleks virus-antibodi dalam sirkulasi darah dapat mengakibatkan beberapa


hal, yaitu yang pertama, kompleks virus-antibodi akan mengaktivasi sistem komplemen, yang
berakibat dilepaskannya anafilatoksin C3a dan C5a. C5a menyebabkan meningginya
permeabilitas dinding pembuluh darah dan menghilangnya plasma melalui endotel dinding
tersebut, suatu keadaan yang amat berperan dalam terjadinya renjatan.

Kemudian yang berikutnya yang kedua, timbulnya agregasi trombosit yang melepaskan ADP
akan mengalami kerusakan metamorfosis akan dimusnahkan oleh sistem retikuloendotelial
dengan akibat trombositopenia hebat dan perdarahan. Pada keadaan agregasi, trombosit akan
melepaskan amin vasoaktif (histamin dan serotonin) yang bersifat meninggikan permeabilitas
kapiler dan melepaskan trombosit faktor 3 yang merangsang koagulasi intravaskular.
Dan yang ketiga ialah,terjadinya aktivasi faktor Hageman (faktor XII) dengan akibat akhir
terjadinya pembekuan intravaskular yang meluas. Dalam proses aktivasi ini, plasminogen
akan menjadi plasmin yang berperan dalam pembentukan anafilatoksin dan penghancuran
fibrin menjadi fibrin degradation product. Disamping itu aktivasi akan merangsang sistem
kinin yang berperan dalam proses meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah.

PATOFISIOLOGI

Setelah virus dengue masuk kedalam tubuh, pasien akan mengalami keluhan dan gejala
karena viremia, seperti demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal seluruh badan, hiperemia
di tenggorok, timbulnya ruam dan kelainan yang mungkin terjadi pada sistem
retikuloendotelial seperti pembesaran kelenjar-kelenjar getah bening, hati dan limpa. Ruam
pada DF disebabkan oleh kongesti pembuluh darah di bawah kulit.
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit dan membedakan DF dengan
DBD ialah meningginya permeabilitas dinding kapiler karena penglepasan zat anafilatoksin,
histamin dan serotonin serta aktivasi sistem kalikrein yang berakibat ekstravasasi cairan
intravaskular. Hal ini berakibat mengurangnya volume plasma, terjadinya hipotensi,
hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi dan renjatan. Plasma merembes selama perjalanan
penyakit mulai dari saat permulaam demam dan mencapai puncaknya pada saat renjatan.
Pada pasien dengan renjatan berat volume plasma dapat menurun sampai lebih dari 30 %.

Adanya kebocoran plasma ke daerah ekstravaskuler dibuktikan dengan ditemukannya cairan


dalam rongga serosa, yaitu rongga peritoneum, pleura dan perikard yang pada autopsi
ternyata melebihi jumlah cairan yang telah diberikan sebelumnya melalui infus. Renjatan
hipovolemik yang terjadi sebagai akibat dari kehilangan plasma, bila tidak segera diatasi
dapat berakibat anoksia jaringan, asidosis metabolik dan kematian.

Renjatan yang terjadi akut dan perbaikan klinis yang drastis setelah pemberian
plasma/ekspander plasma yang efektif, sedangkan pada autopsi tidak ditemukan kerusakan
dinding pembuluh darah yang destruktif atau akibat radang, menimbulkan dugaan bahwa
perubahan fungsional pembuluh darah mungkin disebabkan mediator farmakologis yang
bekerja singkat. Sebab lain kematian pada DBD adalah perdarahan hebat, yang biasanya
timbul setelah renjatan berlangsung lama dan tidak teratasi. Perdarahan pada DBD umumnya
dihubungkan dengan trombositopenia, gangguan fungsi trombosit dan kelainan sistem
koagulasi.

Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sum-


sum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit menimbulkan dugaan meningkatnya
destruksi trombosit. Penyidikan dengan radioisotop membuktikan bahwa penghancuran
trombosit terjadinya dalam sistem retikuloendotelial.

Fungsi agregasi trombosit menurun mungkin disebabkan proses imunologis terbukti dengan
terdapatnya kompleks imun dalam peredaran darah. Kelainan sistem koagulasi disebabkan di
antaranya oleh kerusakan hati yang fungsinya memang terbukti terganggu oleh aktivasi
sistem koagulasi. Masalah terjadi tidaknya DIC pada DBD/DSS, terutama pada pasien
dengan perdarahan hebat, sejak lama telah menjadi perdebatan.

Telah dibuktikan bahwa DIC secara potensial dapat terjadi juga pada pasien DBD tanpa
renjatan. Dikatakan pada masa dini DBD, peran DIC tidak menonjol dibandingkan dengan
perembesan plasma, tetapi bila penyakit memburuk dengan terjadinya asidosis dan renjatan,
maka renjatan akan memperberat DIC sehingga perannya akan menonjol.

GAMBARAN KLINIS

Gambaran klinis amat bervariasi, dari yang amat ringan (silent dengue infection) hingga yang
sedang seperti DF, sampai ke DBD dengan manifestasi demam akut, perdarahan serta
kecenderungan terjadi renjatan yang dapat berakibat fatal. Masa inkubasi dengue antara 3-15
hari, rata-rata 5-8 hari10.

Pada DF, suhu meningkat tiba-tiba, disertai sakit kepala, nyeri yang hebat pada otot dan
tulang (break bone fever), mual, kadang-kadang muntah dan batuk ringan. Sakit kepala dapat
menyeluruh atau berpusat pada daerah supraorbita atau retroorbital. Nyeri di bagian otot
terutama dirasakan bila tendon dan otot perut ditekan. Sekitar mata mungkin ditemukan
pembengkakan, injeksi konjungtiva, lakrimasi dan fotofobia. Otot-otot sekitar mata terasa
pegal.
Eksantem yang klasik ditemukan dalam 2 fase, mula-mula pada awal demam (intial rash)
terlihat jelas pada muka dan dada, berlangsung selama beberapa jam dan biasanya tidak
diperhatikan oleh pasien. Ruam berikutnya (terminal rash) mulai antara hari ke 3-6, mula-
mula berbentuk makula-makula besar yang kemudian timbul bercak-bercak petechiae pada
dasarnya. Hal ini terlihat pada lengan dan kaki, kemudian menjalar cepat ke seluruh tubuh.
Pada saat suhu turun ke normal, ruam ini berkurang dan cepat menghilang, bekas-bekasnya
kadang-kadang terasa gatal.
Pada sebagian pasien ditemukan kurva suhu yang bifasik (saddle back fever). Pemeriksaan
fisis pasien DF hampir tidak ditemukan kelainan. Nadi pasien mula-mula cepat dan menjadi
normal atau lebih lambat pada hari ke-4 dan ke-5. Bradikardia dapat menetap untuk beberapa
hari dalam masa penyembuhan.

Lidah sering kotor dan kadang-kadang pasien sukar buang air besar, terkadang dapat diraba
pembesaran kelenjar yang konsistensinya lunak dan tak nyeri. Pada pasien DBD, gejala
perdarahan mulai pada hari ke-3 atau ke-5 berupa petechiae, purpura, ekimosis, hematemesis,
melena dan epiktasis. Hati umumnya membesar dan nyeri tekan, tetapi pembesaran hati tidak
sesuai dengan beratnya penyakit dan tidak dijumpai ikterus.

Di beberapa negara dijumpai pula pembesaran limpa pada 4-5 % pasien. Pada pasien DSS,
gejala renjatan ditandai dengan kulit yang teraba lembab dan dingin, sianosis perifer yang
terutama tampak pada ujung hidung, jari-jari tangan, dan kaki serta dijumpai pula penurunan
tekanan darah. Renjatan biasanya terjadi pada waktu demam atau saat demam turun antara
hari ke-3 dan hari ke-7 penyakit. Bila tatalaksana renjatan tidak sempurna, pasien dapat jatuh
kedalam keadaan irreversible shock.

Pada awal perjalanan penyakit, DBD dapat menyerupai kasus DF dengan kecenderungan
perdarahan dengan satu manifestasi klinis atau lebih, yaitu :
• Uji tourniquet positif
• Petechiae, ekimosis atau purpura
• Perdarahan mukosa (epistaksis, perdarah gusi)
• Hematemesis atau melena
• Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000 mm3)
• Hemokonsentrasi sebagai akibat dari peningkatan permeabilitas kapiler dengan manifestasi
satu atau lebih, yaitu :

 Peningkatan hematokrit > 20 % dibandingkan standar sesuai umur dan jenis kelamin
 Penurunan hematokrit > 20 % setelah mendapatkan pengobatan cairan
 Tanda perembesan plasma, yaitu efusi pleura, asites atau proteinemia

Demam pada DBD berlangsung 2-7 hari, kemudian turun secara cepat. Kadang-kadang
suhu tubuh sangat tinggi hingga 40ºC dan dapat dijumpai kejang demam. Akhir fase
demam merupakan fase kritis pada DBD, oleh karena fase tersebut merupakan fase kritis
pada DBD, oleh karena fase tersebut dapat merupakan awal penyembuhan tetapi dapat
pula sebagai awal fase syok11.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Trombositopenia
Pada DBD penurunan jumlah trombosit menjadi < 100.000 /mm3 atau kurang dari 1-2
trombosit /LPB dengan rata-rata pemeriksaan dilakukan pada 10 LPB, pada umumnya
trombositopenia terjadi sebelum ada peningkatan hematokrit dan terjadi sebelum suhu
turun. Jumlah trombosit < 100.000 /mm3, biasanya ditemukan antara hari sakit ketiga
sampai ketujuh.

Kadar hematokrit
Peningkatan nilai hematokrit atau hemokonsentrasi selalu dijumpai pada DBD,
merupakan indikator yang peka akan terjadinya perembesan plasma; sehingga perlu
dilakukan pemeriksaan Ht secara berkala. Pada umumnya penurunan trombosit
mendahului peningkatan hematokrit. Hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit
20 % atau lebih (misalnyadari 35 % menjadi 42 %), mencerminkan peningkatan
permeabilitas kapiler dan perembesan plasma. Perlu mendapat perhatian, bahwa nilai
hematokrit dipengaruhi oleh penggantian cairan atau perdarahan.

Jumlah leukosit
Jumlah leukosit dapat normal, tetapi biasanya menurun dengan dominasi sel neutrofil.
Pemeriksaan laboratorium lain
• Kadar albumin menurun sedikit dan bersifat sementara.
• Eritrosit dalam tinja hampir selalu ditemukan.
• Hemoglobin akan menurun terutama pada perdarahan masif
• Pada sebagian besar kasus, disertai penurunan faktor koagulasi dan fibrinolitik, yaitu
fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII dan antitrombin III.
• Pada kasus berat dijumpai disfungsi hati, dijumpai penurunan kelompok vitamin K-
dependent, protrombin seperti faktor V, VII, IX dan X.
• Waktu tromboplastin parsial dan waktu protrombin memanjang.
• Penurunan α-antiplasmin (α-plasmin inhibitor) hanya ditemukan pada beberapa kasus.
• Serum komplemen turun.
• Hipoproteinemia.
• Hiponatremia.
• Serum aspartat aminotransferase sedikit meningkat.
• Asidosis metabolik berat dan peningkatan kadar urea nitrogen pada syok yang
berkepanjangan.
• Pada air seni mungkin ditemukan albuminuria ringan13.

Pada pemeriksaan laboratorium sum-sum tulang, pada awal sakit biasanya hiposelular,
kemudian menjadi hiperselular pada hari ke-5 dengan gangguan maturasi sedangkan
pada hari ke-10 biasanya sudah kembali normal untuk semua sistem

DIAGNOSIS
Diagnosis Klinis
Kriteria klinis Demam Dengue
1. Suhu badan yang tiba-tiba meninggi
2. Demam yang berlangsung hanya beberapa hari
3. Kurva demam yang menyerupai pelana kuda
4. Nyeri tekan terutama diotot-otot dan persendian
5. Adanya ruam-ruam pada kulit
6. Leukopenia

Kriteria diagnosis DBD

Kriteria Klinis
a. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama
2-7 hari
b. Terdapat manifestasi perdarahan, termasuk uji touniquet positif, petechiae, ekimosis,
epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena
c. Pembesaran hati
d. Syok, ditandai nadi cepat atau lemah serta penurunan tekanan nadi hipotensi, kaki dan
tangan dingin, kulit lembab dan pasien tampak gelisah

Kriteria Laboratoris
a. Trombositopenia (100.000 /mm3 atau kurang)
b. Hemokonsentrasi, dapat dilihat dari peningkatan hematokrit 20 % atau lebih, menurut
standar umum dan jenis kelamin

Diagnosis ditegakkan bila didapatkan 2 atau lebih gejala klinis disertai trombositopenia
dengan atau tanpa hemokonsentrasi. Efusi pleura dan atau hipoalbuminemia dapat
memperkuat diagnosis terutama pada pasien anemi dan atau terjadi perdarahan. Pada
kasus syok, adanya peningkatan hematokrit dan adanya trombositopenia mendukung
diagnosis DBD.
Pada seleksi pertama diagnosis ditegakkan berdasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan
fisis serta hasil pemeriksaan Hb, Ht, dan jumlah trombosit.

Indikasi rawat penderita DBD dewasa pada seleksi pertama ialah :


1. DBD dengan syok atau tanpa perdarahan
2. DBD dengan perdarahan masif dengan atau tanpa syok
3. DBD tanpa perdarahan masif dengan :
a. Hb, Ht normal dengan trombositopenia < 100.000 / mm3
b. Hb, Ht yang meningkat dengan trombositopenia < 150.000 / mm3

Pada kasus yang meragukan untuk sementara penderita tetap diobservasi di IGD dengan
ajuran minum yang banyak, serta diberikan infus Ringer Laktat sebanyak 500 cc dalam
empat jam. Setelah itu dilakukan pemeriksaan ulang Hb, Ht, dan trombosit.
Penderita dirawat apabila didapatkan hasil sebagai berikut :
1. Hb, Ht dalam batas normal dengan jumlah trombosit kurang dari 100.000/ mm3
2. Hb, Ht yang meningkat dengan trombositopenia kurang dari 150.000 / mm3

Derajat Penyakit DBD

Derajat Penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat :


Derajat I : demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan ialah uji torniquet.
Derajat II : seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit atau
perdarahan lain.
Derajat III : didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lembut,
tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi,
sianosis disekitar mulut, kulit dingin dan lembab, dan anak
tampak gelisah.
Derajat IV : syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan
tekanan darah tidak terukur.

Adanya trombositopenia dan hemokonsentrasi membedakan DBD derajat I/II dengan


DF. Pembagian derajat penyakit dapat juga dipergunakan untuk kasus dewasa.

Diagnosis Laboratorium

Diagnosis definitif infeksi virus dengue hanya dapat dilakukan di laboratorium dengan
cara, isolasi virus,deteksi antigen virus atau RNA dalam serum atau jaringan tubuh, dan
deteksi antibodi spesifik dalam serum pasien.

Diagnosis Serologis

Dikenal 5 jenis uji serologik yang biasa dipakai untuk menentukan adanya infeksi virus
dengue, yaitu :
1) Uji hemaglutinasi inhibisi (haemagglutination Inhibition test = HI test)
2) Uji komplemen fiksasi (Complement Fixation test = CF test)
3) Uji neutralisasi (Neutralization test = NT test)
4) IgM Elisa (Mac Elisa)
5) IgG Elisa
DIAGNOSIS BANDING

1. Pada awal perjalanan penyakit, diagnosa banding mencakup infeksi bakteri, virus, atau
infeksi parasit, seperti ; demam tifoid, campak, influenza, demam chikungunya,
leptospirosis, dan malaria. Adanya trombositopenia yang jelas disertai hemokonsentrasi
dapat membedakan antara DBD dengan penyakti lain.

2. Demam berdarah dengue harus dibedakan dengan demam chikungunya (DC).


Perdarahan sepeti petechiae dan ekimosis ditemukan pada beberapa penyakit infeksi
seperti sepsis, meningitis, menigokokus. Pada sepsis, sejak semula pasien tampak sakit
berat, demam naik turun, dan ditemukan tanda-tanda infeksi. Disamping itu jelas terdapat
leukositosis disertai dominasi sel polimorfonuklear (pergeseran kekiri pada hitung jenis).
Pemeriksaan LED dapat dipergunakan untuk membedakan infeksi bakteri dengan virus.
Pada meningitis meningokokus jelas terdapat gejala rangsangan meningeal dan kelainan
pada pemeriksaan LCS.

3. Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD derajat II,
oleh karena didapatkan demam disertai perdarahan dibawah kulit. Pada hari-hari
pertama, diagnosis ITP sulit dibedakan dengan penyakit DBD, tetapi pada ITP demam
cepat menghilang, (pada ITP bisa tidak disertai demam) tidak disertai leukopenia, tidak
dijumpai hemokonsentrasi, tidak dijumpai pergeseran ke kanan pada hitung jenis. Pada
fase penyembuhan DBD jumlah trombosit lebih cepat kembali normal dari pada ITP.

4. Perdarahan dapat juga terjadi pada leukemia atau anemia aplastik.pada leukemia
demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan anak sangat anemis. Pemeriksaan
darah tepi dan sum-sum tulang akan memperjelas diagnosis leukemia. Pada anemia
aplastik anak sangat anemik, demam timbul karena adanya infeksi sekunder. Pada
pemeriksaan darah ditemukan pansitopenia. Pada pasien dengan perdarahan hebat,
pemeriksaan foto toraks dan atau kadar protein dapat membantu menegakkan diagnosis.
Pada DBD ditemukan efusi pleura dan hipoproteinemia sebagai tanda perembesan
plasma.
PENATALAKSANAAN

Pada DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DF bersifat simptomatik dan
suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak
dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah, atau nyeri perut yang berlebihan,
maka cairan intravena rumatan perlu diberikan. Antipiretik kadang-kadang diperlukan,
tetapi perlu diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi lama demam pada
DBD. Pasien juga sebaiknya diberikan makan-makanan lunak dengan tinggi kalori dan
tinggi protein.

Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi. Periode kritis
adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke 3-5 fase demam.
Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium yang
terbaik untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu menggambarkan derajat
kebocoran plasma dan pedoman kebutuhan cairan intravena.

Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase penurunan
suhu, maka dasar pengobatannya adalah penggantian volume plasma yang hilang.
Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2-3 jam pertama, sedangkan untuk kasus syok
mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit). Tetesan dalam 24-48 jam berikutnya harus
selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit, dan jumlah volume urin.
Penggantian volume cairan harus adekuat, seminimal mungkin mencukupi kebocoran
plasma. Dan diuresis pasien harus diawasi.

Jenis cairan yang direkomendasikan oleh WHO yaitu :

KRISTALOID
• Larutan Ringer Laktat (RL)
• Larutan Ringer Asetat (RA)
• Larutan Garam faali (GF)
• Dekstrosa 5 % dalam RL (D5/RL)
• Dekstrosa 5 % dalam RA (D5/RA)
• Dekstrosa 5 % dalam ½ larutan garam faali (D5/½ GF)
Catatan : untuk resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau RA tidak boleh
larutan yang mengandung dekstran

KOLOID
• Dekstran 40
• Plasma
• Albumin

Hiponatremia dan asidosis metabolik sering menyertai pasien DBD/DSS, maka analisis
gas darah dan kadar elektrolit harus selalu diperiksa pada DBD berat. Apabila tidak
dikoreksi, akan memacu terjadinya KID, sehingga tatalaksana pasien akan menjadi
semakin kompleks.
Pemberian darah segar dapat diberikan, dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan
karena cukup mengandung plasma, sel darah merah dan faktor pembesar trombosit.
Plasma segar dan atau suspensi trombosit berguna untuk pasien dengan KID dan
perdarahan masif. KID biasanya terjadi pada syok berat dan menyebabkan perdarahan
masif sehingga dapat menimbulkan kematian.

PROGNOSIS

Kematian oleh demam dengue hampir tidak ada, sebaliknya pada DBD/DSS
mortalitasnya cukup tinggi. Dan prognosis DBD akan lebih berat apabila disertai
penyakit lain seperti diabetes, asma bronkhiale, thallasemia, kehamilan, demam tifoid,
bronkopneumonia, kelainan pembekuan darah, DIC dsb
Daftar Pustaka

1. Hadinegoro S. R. H., Soegijanto S., Wuryadi S., Soroso T., Pendahuluan :Epidemiologi
Demam Berdarah Dengue, Tatalaksana Demam Berdarah Dengue, Departemen Kesehatan
dan Kesejahteraan Sosial Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit
Menular dan Penyehatan Lingkungan, 2006

2. Hendarwanto, Dengue :Epidemiologi, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid 1, ed. 3, Balai
Penerbit FKUI, Jakarta, 2007

3. Hadinegoro S. R. H, Soegianto S, Wuryadi S, Suroso T, Tatalaksanaan Demam Dengue/


Demam Berdarah Dengue pada Anak, Demam Berdarah Dengue Naskah Lengkap Pelatihan
bagi Pelatih Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam tatalaksa kasus
DBD, ed. 1, Balai Penerbit FKUI, 2004

4. Dengue haemorrhagic fever:diagnosis, treatment, prevention and control. 2nd edition.


Geneva:WorldHealthOrganization.2009,http://www.who.int/csr/resources/publications/dengu
e/denguepublication/en/

Anda mungkin juga menyukai