Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kajian Pustaka
2.1.1 Definisi Osteoporosis
Osteoporosis merupakan penyakit Metabolik tulang yang tersering
didapatkan, ditandai oleh densitas masa tulang yang menurun sampai
melewati ambang fraktur. Berbagai faktor yang berhubungan dengan
osteoporosis adalah kompresi vertebratal, fraktur Colles dan fraktur kolum
femoris. Prevalensi fraktur kompresi vertebral adalah 20% pada wanita
kaukasus pasca menopause sedangkan fraktur colum femoris meningkat
secara bermakna pada wanita di atas 50 tahun atau laki-aki di atas 60 tahun.
(Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III Edisi VI)
Osteoporosis merupakan penyakit gangguan metabolisme, dimana tubuh
tidak mampu menyerap dan menggunakan bahan-bahan untuk proses
pertulangan secara normal, seperti zat kapur (kalsium), phosphat, dan bahan-
bahan lain sehingga terjadi pengurangan massa/ jaringan tulang per unit
volume tulang dibandingkan dengan keadaan normal yang menyebabkan
kerapuhan pada tulang. (Faisal Lubis, 2000)

2.1.2 Etiologi Osteoporosis


Penyebab osteoporosis adalah adanya gangguan pada metabolisme tulang.
Pada keadaan normal, sel sel tulang, yaitu sel pembangun (osteoblas) Dan sel
pembongkar (osteoklas) bekerja Sili berganti, saling mengisi, seimbang,
sehingga tulang menjadi utuh. Apabila kerja (osteoklas) melebihi kerja
(osteoblast), maka kepadatan tulang menjadi kurang dan akhirnya keropos.
Metabolisme tulang dapat terganggu oleh berbagai kondisi, yaitu
berkurangnya hormon estrogen, berkurangnya asupan kalsium dan vitamin D,
berkurangnya stimulasi mekanik (inaktif) pada tulang, efek samping beberapa
jenis obat, minum alkohol, merokok dan sebagainya. (Kemenkes, 2015)
Penyebab osteoporosis pada pria mirip dengan wanita: hipogonadisme, terapi
glukokortikoid, penyakit gastrointestinal, defisiensi vitamin D, terapi

5
antikonvulsan, dan penyalahgunaan alkohol adalah faktor etiologi yang paling
umum.
Pada pria lanjut usia, kadar testosteron berkorelasi terbalik dengan risiko patah
tulang [37], yang mungkin mencerminkan tidak hanya efek anabolik langsung
dari androgen pada massa tulang, tetapi juga aposisi periosteal dan
peningkatan ukuran tulang, mendukung biomekanik patah tulang. Androgen
juga bekerja secara tidak langsung dengan mempengaruhi faktor non-kerangka
seperti massa dan kekuatan otot, keseimbangan, dan risiko jatuh.
Mempertimbangkan bahwa sekitar 70% pria dengan osteoporosis juga
mengalami gejala lain sindrom defisiensi testosteron (TDS), tampaknya
kekurangan testosteron terkait usia tidak boleh dianggap sebagai salah satu
dari banyak penyebab osteoporosis sekunder, melainkan sebagai salah satu
penyebab osteoporosis sekunder. mekanisme utama dan terpenting dari
osteoporosis involutif (pikun). (Meier, dkk. 2008)
Harus ditekankan bahwa, berbeda dengan penurunan cepat kadar estrogen pada
wanita pascamenopause, penurunan sekresi testosteron pada pria yang menua
jauh lebih lama. Akibatnya, pria tidak mengalami percepatan pengeroposan
tulang secara cepat dan peningkatan eksponensial frekuensi patah tulang
osteoporosis dengan usia sekitar lima sampai tujuh tahun tertunda pada pria,
dibandingkan pada wanita. (Khosla, dkk. 2001)
Osteoporosis usia lanjut terjadi akibat berkurangnya massa tulang. Pada
lansia, kemampuan tulang dalam menghindari keretakan akan semakin
menurun. Kondisi ini juga diperparah dengan kecenderungan rendahnya
konsumsi Kalsium dan kemampuan penyerapannya. Timbulnya berbagai
penyakit pada wanita lansia juga akan semakin menurunkan kemampuan
penyerapan Kalsium sehingga meningkatnya pengeluaran Kalsium
(Wirakusumah,2007).
2.1.3 Epidemiologi Osteoporosis
Berdasarkan hasil penelitian Gunawan Tirtaraja, Bambang Setyohadi,
LS Weynand, Q Zhou di Pusat Osteoporosis Jakarta di RS Medistra
bekerja sama dengan Departemen Penyakit dalam Universitas Indonesia,

6
GE Healthcare, Madison, WI, USA dan GE Healthcare, Shanghai, China,
tahun 2006, prevalensi osteoporosis pada perempuan trendnya meningkat
seiring bertambahnya usia. Hal ini disebabkan karena menopause dimana
kadar hormon estrogen yang turun. Sedangkan pada laki-laki, prevalensi
osteoporosis trendnya juga meningkat seiring bertambahnya usia, akan
tetapi tidak sebesar pada perempuan. Prevalensi osteoporosis pada
perempuan pemeriksaan tulang any site 4 kali lebih tinggi dibandingkan
laki-laki. (Kemenkes, 2015)
Osteoporosis tiga kali lebih sering terjadi pada wanita daripada pria,
sebagian karena wanita memiliki peak bone mass yang lebih rendah dan
sebagian karena perubahan hormon yang terjadi saat menopause.
Estrogen memiliki fungsi penting dalam menjaga massa tulang selama
dewasa, dan keropos tulang terjadi saat kadarnya menurun, biasanya dari
sekitar usia 50 tahun. Selain itu, wanita hidup lebih lama daripada pria
sehingga memungkinkan mengalami pengurangan massa tulang yang
lebih besar. (WHO, 2003)
Menurut World Health Organization (WHO) satu dari tiga wanita dan
satu dari lima pria berusia 50 tahun menderita osteoporosis, yang berarti
di seluruh dunia terdapat 200 juta orang mengalami osteoporosis. Pada
tahun 2050, diperkirakan lebih dari 50% kejadian patah tulang akibat dari
osteoporosis akan muncul di Asia. (Mithal,dkk. 2012) Menurut
Departemen Kesehatan, di Indonesia sendiri diperkirakan 20%
penduduknya menderita osteoporosis. (Tandra, 2009) Provinsi Jawa Barat
merupakan ke 2 tertinggi risiko osteoporosis dari 3 provinsi yaitu
Sulawesi Utara dan Yogjakarta dengan resiko sebesar 22,2%. (Prihatini.
S, dkk. 2010)

2.1.4 Gejala Osteoporosis


Menurut P2PTM Kemenkes RI Tahun 2018 :
1. Postur Bungkuk
Postur punggung bungkuk seperti sering terlihat pada orang lanjut usia. 

7
2. Menurunnya tinggi badan 
Sering mengalami cidera atau keretakan tulang. Biasanya terjadi pada tulang
belakang, pergelangan tangan, lengan atau tulang pangkal paha.
3. Sakit Punggung
Merasakan sakit punggung yang berkelanjutan dalam jangka panjang.
 
2.1.5 Faktor Risiko Osteoporosis
Faktor Risiko Osteoporosis menurut Kemenkes RI tahun 2015 di antaranya:
a. Faktor yang Dapat Diubah (Terkait Kebiasaan Hidup)
• Kurangnya aktivitas fisik akan menghambat proses pembentukan massa
tulang.
• Rendahnya asupan kalsium mengakibatkan tubuh mengeluarkan hormon
yang akan mengambil kalsium dari bagian tubuh lain, termasuk yang ada
di tulang.
• Kekurangan protein
• Kekurangan paparan sinar matahari
• Kekurangan vitamin D
• Konsumsi tinggi kafein dan alkohol menghambat kerja osteoblas
• Kebiasaan merokok
• Hormon estrogen yang rendah
Esterogen merupakan regulator pertumbuhan pada tulang dan homeostasis
tulang yang penting. Esterogen memiliki efek langsung dan tak langsung
pada tulang. Efek tak langsung meliputi esterogen terhadap tulang
berhubungan dengan homeostasis kalsium yang meliputi regulasi absorbsi
kalsium di usus, ekskresi Ca di ginjal dan sekresi hormon paratiroid
(PTH). Terhadap sel-sel tulang, esterogen memiliki beberapa efek seperti
meningkatkan formasi tulang dan juga menghambat resorbsi tulang oleh
osteoklas. Terapi esterogen menyebabkan penurunan sebesar 50% pada
angka fraktur tulang paha pada wanita pascamenopause.
• Konsumsi beberapa jenis obat, misalnya steroid, dengan jumlah tinggi
mengurangi massa tulang karena menghambat kerja osteoblas.

8
b. Faktor Risiko yang Tidak Dapat Diubah/ Dikendalikan
• Riwayat keluarga
• Jenis kelamin perempuan, yang mana prevalensi osteoporosis pada
perempuan 4 kali lebih tinggi dibandingkan laki-laki.
• Bertambahnya usia mengakibatkan penurunan fungsi organ. Pada usia
75- 85 tahun, perempuan berisiko 2 kali lipat lebih tinggi dibandingkan
pria dalam mengalami osteoporosis dikarenakan penurunan penyerapan
kalsium dan hormon paratiroid meningkat.
• Ras Asia dan Kaukasia berpengaruh pada kejadian osteoporosis, yang
mana ras kulit putih atau keturunan asia memiliki risiko lebih besar.
Sedangkan orang hispanik dan kulit hitam memiliki risiko yang lebih
rendah.
• Menopause, merupakan faktor paling signifikan sehubungan dengan
risiko terhadap osteoporosis. Hilangnya esterogen saat menopause
merupakan alasan yang paling umum wanita terkena osteoporosis.
Siklus remodelling tulang berubah dan pengurangan jaringan dimulai
ketika tingkat esterogen turun. Salah satu fungsi esterogen adalah
mempertahankan tingkat remodelling tulang yang normal. Ketika
tingkat esterogen turun, tingkat pengikisan tulang (resorbsi) menjadi
lebih tinggi daripada pembentukan tulang (formasi), yang
mengakibatkan berkurangnya massa tulang
• Ukuran badan Tipe tubuh mempengaruhi risiko osteoporosis. Semakin
kecil rangka tubuh, semakin besar risiko seseorang mengalami
osteoporosis. Pada perempuan, berat badan dapat mempengaruhi massa
terutama melalui efeknya terhadap rangka tubuh. Perempuan yang
kelebihan berat badan menempatkan tekanan yang lebih besar pada
tulangnya.

2.1.6 Jenis-jenis Osteoporosis


Menurut Kemenkes RI 2015 jenis-jenis osteoporosis sebagai berikut:
1. Osteoporosis primer, terbagi menjadi 2 yaitu:

9
 Tipe 1 : kehilangan massa tulang yang terjadi sesuai dengan
proses penuaan, yaitu akibat kekurangan estrogen, yakni umumnya
pada wanita yang telah mengalami menopause, dan akibat
kekurangan testosterone, yakni andropause pada pria yang berarti
berkurangnya produksi hormone testosteron.
 Tipe 2 : sering disebut dengan istilah osteoporosis senil/penuaan.
2. Osteoporosis Sekunder
Osteoporosis jenis ini dipengaruhi seperti adanya penyakit yang
mendasari, akibat obat-obatan dan lain sebagainya. Pada osteoporosis
sekunder, terjadi penurunan densitas tulang yang cukup berat.
3. Osteoporosis Idiopatik
Osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya dan ditemukan pada usia
kanak-kanak (juvenile), usia remaja (adolesen), pria usia pertengah.

Menurut Kemenkes dalam Pedoman Pengendalian Osteoporosis Tahun


2008, Osteoporosis dibagi menjadi dua golongan besar menurut
penyebabnya, yaitu: Osteoporosis Primer adalah osteoporosis yang bukan
disebabkan oleh suatu penyakit (proses alamiah), dan Osteoporosis sekunder
bila disebabkan oleh berbagai kondisi klinis/penyakit, seperti infeksi tulang,
tumor tulang, pemakaian obat-obatan tertentu dan immobilitas yang lama.

a. Osteoporosis Primer
Osteoporosis primer berhubungan dengan berkurangnya massa
tulang dan atau terhentinya produksi hormon (khusus perempuan) di
samping bertambahnya usia.
Osteoporosisprimer terdiri dari :
• Osteoporosis Primer Tipe I, sering disebut dengan istilah
osteoporosis pasca menopause, yang terjadi pada wanita pasca
menopause. Biasanya wanita berusia 50-65 tahun, fraktur biasanya
pada vertebra (ruas tulang belakang), iga atau tulang radius.

10
• Osteoporosis Primer Tipe II, sering disebut dengan istilah
osteoporosis senil, yang terjadi pada usia lanjut. Pasien biasanya
berusia ≥70 tahun, pria dan wanita mempunyai kemungkinan yang
sama terserang, fraktur biasanya pada tulang paha. Selain fraktur maka
gejala yang perlu diwaspadai adalah kifosis dorsalis bertambah, makin
pendek dan nyeri tulang berkepanjangan.
b. Osteoporosis Sekunder
Osteoporosis sekunder, adalah osteoporosis yang disebabkan oleh
berbagai penyakit tulang (chronic rheumatoid, artritis, tbc spondilitis,
osteomalacia, dll), pengobatan steroid untuk jangka waktu yang lama,
astronot tanpa gaya berat, paralise otot, tidak bergerak untuk periode
lama, hipertiroid, dan lain-lain.

2.1.7 Pencegahan Osteoporosis


Tindakan pencegahan penting dilakukan sejak dini seperti pada wanita
usia subur yang berusia 15-49 tahun, terutama sebelum wanita tersebut
menikah dan memiliki anak, karena sekitar 30 gr kalsium dari ibu akan
diberikan kepada janinnya. (Kemenkes, 2015)
Osteoporosis merupakan penyakit tersembunyi, terkadang tanpa gejala
dan tidak terdeteksi ,sampai timbul gejala nyeri karena mikro fraktur atau
karena patah tulang anggota gerak. Karena tingginya morbiditas yang terkait
dengan patah tulang, maka upaya pencegahan merupakan prioritas.
Pencegahan osteoporosis dapat dibagi dalam 3 kategori yaitu primer,sekunder
dan tersier (sesudah terjadi fraktur)
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan upaya terbaik serta dirasa paling murah dan
mudah.Yang termasuk kedalam pencegahan primer adalah:
 Mengkonsumsi kalsium cukup baik dari makanan sehari-hari ataupun
dari tambahan kalsium. Jenis makanan yang cukup mengandung
kalsium adalah sayuran hijau dan jeruk sitrun. Sedangkan diet tinggi

11
protein hewani dapat menyebabkan kehilangan kalsium bersama urin.
Dalam sebuah penelitian dikatakan bahwa perempuan yang melakukan
diet vegetarian lebih dari 20 tahun mengalami kehilangan mineral
tulang lebih rendah yaitu sebesar 18% dibandingkan perempuan non
vegetarian sebesar 35%.
 Latihan fisik harus mempunyai unsur pembebanan pada anggota
tubuh/gerak dan penekanan pada aksis tulang seperti
jalan,joging,aerobic atau jalan naik turun bukit. Olahraga renang tidak
memberikan manfaat yang cukup berarti. Sedangkan jika latihan
berlebihan yang mengganggu menstruasi (menjadi amenorrhea) sangat
tidak dianjurkan karena akan mengakibatkan terjadinya peningkatan
kehilangan massa tulang. Demikian pula pada laki-laki dengan latihan
fisik berat dan berat dapat terjadi kehilangan massa tulang. Hindari
factor yang dapat menurunkan absorpsi kalsium, meningkatkan
resorpsi tulang, atau mengganggu pembentukan tulang, seperti
merokok, minum alcohol dan mengkonsumsi obat yang berkaitan
dengan terjadinya osteoporosis. Kondisi yang diduga akan
menimbulkan osteoporosis sekunder,harus diantisipasi sejak awal.
2. Pencegahan Sekunder
 Tambahan Konsumsi kalsium dilanjutkan pada periode
menopause,1200-1500 mg perhari, untuk mencegah
negative calcium balance. Pemberian kalsium tanpa
penambahan estrogen dikatakan kurang efektif untuk
mencegah kehilangan massa tulang pada awal periode
menopause. Penurunan massa tulang terlihat jelas pada
perempuan menopause yang asupan kalsiumnya kurang
dari 400 mg perhari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemberian kalsium bersama dengan estrogen dapat
menurunkan dosis estrogen yang diperlukan sampai dengan
50%.
 Estrogen Replacement Therapy (ERT)

12
Semua perempuan pada saat menopause mempunyai resiko
osteoporosis. Karena itu dianjurkan pemakaian ERT pada mereka
yang tidak ada kontraindikasi. ERT menurunkan resiko fraktur
sampai dengan 50% pada panggul, tulang radius dan vertebra.
 Latihan fisik (Exercise)
Latihan fisik bagi penderita osteoporosis bersifat spesifik dan
individual. Prinsipnya tetap sama dengan latihan beban dan tarikan
pada aksis tulang. Perlu diperhatikan berat ringannya osteoporosis
yang terjadi karena hal ini berhubungan dengan dosis dan cara
gerakan yang bersifat spesifik tersebut. Latihan tidak dapat
dilakukan secara masal karena perlu mendapat supervise dari
tenaga medis/paramedic terlatih individu per individu.
 Pemberian Kalsitonin
Kalsitonin bekerja menghambat resorpsi tulang dan dapat
meningkatkan massa tulang apabila digunakan selama 2tahun.
Nyeri tulang juga akan berkurang karena adanya efek
peningkatanstimulasi endorfin. Pemakaian kalsitonin diindikasikan
bagi pasien yang tidak dapat menggunakan ERT, pasien pasca
menopause lebih dari 15tahun, pasien dengan nyeri akibat fraktur
osteoporosis,dan bagi pasien yang mendapat terapi kortikosteroid
dalam waktu lama.
3. Pencegahan Tersier
Setelah pasien mengalami fraktur osteoporosis, pasien jangan
dibiarkan imobilisasi terlalu lama. Sejak awal perawatan di susun
rencana mobilisasi mulai dari mobilisasi pasif sampai dengan aktif
dan berfungsi mandiri. Beberapa obat yang mempunyai manfaat
adalah bisfosfonat,kalsitonin,dan NSAID bila ada nyeri. Dari sudut
rehabilitasi medik,pemakaian ortosespinal/korset dan program
fisioterapi/okupasi terapi akan mengembalikan kemandirian pasien
secara optimal.

13
2.1.8 Tatalaksana Osteoporosis
Setelah seorang pria didiagnosis dengan osteoporosis, dokternya
mungkin meresepkan salah satu obat yang disetujui oleh Food and Drug
Administration AS untuk penyakit ini. Rencana perawatan kemungkinan juga
akan mencakup pedoman nutrisi, olahraga, dan gaya hidup untuk mencegah
keropos tulang yang tercantum di akhir lembar fakta ini. Jika keropos tulang
disebabkan oleh penggunaan glukokortikoid, dokter mungkin meresepkan obat
yang disetujui untuk mencegah atau mengobati osteoporosis yang diinduksi
glukokortikoid, memantau kepadatan tulang dan kadar testosteron, dan
menyarankan penggunaan glukokortikoid dengan dosis efektif minimum.
Pendekatan pencegahan atau pengobatan lain yang mungkin termasuk suplemen
kalsium dan / atau vitamin D dan aktivitas fisik teratur. Jika osteoporosis adalah
akibat dari kondisi lain (seperti kekurangan testosteron) atau paparan obat lain
tertentu, dokter mungkin merancang rencana pengobatan untuk mengatasi
penyebab yang mendasari.
2.2 Pengetahuan
2.2.1 Definisi Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini setelah orang melakukan
penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera
manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.
(Notoatmodjo, 2007 )
Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Pengetahuan atau kognitif
merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang
(Notoatmodjo, 2003)
a.Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
W32sebelumnya. Yang termasuk pengetahuan ini adalah bahan yang
dipelajari/rangsang yang diterima.
b.Memahami (Comprehention)

14
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar
tentang obyek yang diketahui dan dapat meng-interpretasikan suatu materi
tersebut secara benar.
c.Aplikasi (Aplication)
Aplikasi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya (riil). Aplikasi disini dapat
diartikan penggunaanhukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya
dalam konteks lain.
d.Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
obyek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam kaitannya suatu ama
lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja.
e.Sintesis (Synthesis)
Sintesis merujuk pada suatu kemampuan untuk menjelaskan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Bisa diartikan juga sebagai kemampuan untuk menyusun formasi baru dari
formasi-formasi yang ada.
f.Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melaksanakan penelitian
terhadap suatu obyek. Penelitian ini berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan
sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

2.1.4.1 Suku
Menurut Hendrick L. Blumm derajat Kesehatan dipengaruhi oleh 4 faktor
yaitu lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan. Perilaku
tergambar dalam kebiasaan sehari-hari seperti pola makan, kebersihan
perorangan, gaya hidup dan perilaku terhadap upaya Kesehatan. Penduduk
yang bermukim didaerah padat memiliki pola perilaku yang belum sehat hal
ini disebabkan beberapa faktor seperti lingkungan yang tidak sehat dan
kepadatan penduduk (Depkes, 2016).

15
Etnis atau suku merupakan bagian dari faktor lingkungan sosial dan
budaya yang berpengaruh pada aspek biologi dan perilaku dalam proses
pemeliharaan kesehatan seseorang. Latar belakang budaya etnis atau suku juga
mempengaruhi sistem kepercayaan, prinsip, dan perilaku seseorang. Menurut
Peter Davis, seorang ilmuwan kesehatan masyarakat dari Selandia Baru,
kelompok faktor budaya yang dapat berupa kepercayaan, praktik atau gaya
hidup, biasanya diwujudkan dalam bentuk pola konsumsi makanan atau diet,
yang dapat menjadi faktor kunci terkait kondisi kesehatan nutrisi dan
pencernaan (Lapau et al., 2015).
Tingkah laku sakit, peranan sakit dan peranan pasien sangat dipengaruhi
oleh faktor-faktor seperti kelas sosial, perbedaan suku bangsa dan budaya.
Maka ancaman kesehatan yang sama (yang ditentukan secara klinis),
bergantung dari variabel-variabel tersebut dapat menimbulkan reaksi yang
berbeda di kalangan pasien. Menilik kalimat diatas dapat disimpulkan bahwa
paradigma sehat sangat ditentukan oleh faktor budaya dan social (Sunanti,
2005).
Fenomena yang terjadi pada masyarakat perkotaan, konsumsi makanan
tidak hanya sekedar sebagai kebutuhan biologis memenuhi rasa lapar, akan
tetapi makan adalah gaya hidup yang akan menandakan identitas, kelas,
kelompok, dsb. Oleh karenanya, makan diluar (eating out) muncul sebagai
buah komoditas dalam kehidupan sosial masyarakat urban. Produsen
mengemas makan beserta tempat makan dengan menciptakan suasana dan
pengalaman yang khas yang dapat dirasakan konsumen. Sebagaimana
dinyatakan Bourdieu (1984), tempat makan dan jenis makanan yang dipilih
bisa saja menentukan kelas sosial seseorang. Perkotaan dengan beragam pusat
perbelanjaan dan tempat makan telah menjadi arena pertarungan, tidak saja
bagi produsen dalam mendapatkan konsumen, akan tetapi juga bagi konsumen
dalam menunjukkan status dan kelas sosialnya melalui jenis makanan dan
tempat makan. Konsumen disajikan berbagai pilihan tempat dan jenis
makanan yang beragam (Endah, 2006).

16
Kebiasaan diet dapat dipengaruhi oleh budaya, misalnya etnis Cina yang
menganggap obesitas sebagai lambang kekayaan, tidak memiliki
kecenderungan untuk berdiet menurut Lee (1991) Namun, globalisasi telah
mengubah persepsi budaya tersebut terhadap obesitas yakni pada penelitian
oleh Lee pada tahun 2001 yang mendapati sebanyak 3 – 10% perempuan di
Hong Kong mengalami gejala gangguan makan disebabkan oleh keinginan
untuk menjadi kurus. Penelitian ini disokong oleh penelitian yang dilakukan di
Fiji oleh Becker et al di tahun 2002 yang menunjukkan peningkatan secara
signifikan gejala gangguan makan di kalangan remaja perempuan setelah
tayangan televise (Hanisah, 2010) Globalisasi telah mengubah pemikiran
dasar manusia sehingga manusia berubah kondisi dari tidak tahu menjadi tahu
dan dari tidak sadar menjadi sadar.
Risiko obesitas yang lebih tinggi ditemukan pada anak dengan suku
minoritas serta etnis Afroamerika dan Hispanik yang mungkin disebabkan
oleh perbedaan gaya hidup serta perbedaan akses dan penggunaan fasilitas
kesehatan pada masa kehamilan dan masa bayi (Taveras, 2010).
Insidensi obesitas bervariasi pada ras atau suku bangsa tertentu. Suku
bangsa atau ras tertentu memiliki kecenderungan terjadinya obesitas
dibandingkan dengan suku bangsa atau ras lainnya. Hal tersebut diduga akibat
dari perbedaan energy expenditure (keluaran energi) yang bersifat spesifik
pada ras tertentu dan berhubungan dengan genetik. Perubahan berat badan
merupakan hasil dari ketidakseimbangan energi yang masuk dengan keluaran
energi. Individu dengan keluaran energi yang rendah memiliki keseimbangan
energi positif sehingga mudah menderita obesitas (Milner, 2004).

2.1.4.2 Jenis Kelamin


Pada remaja perempuan, growth spurt terjadi pada 12 – 18 bulan sebelum
menarche (10 – 14 tahun). Pertumbuhan berlanjut selama 7 tahun atau saat
remaja sampai pada usia 21 tahun. Selama masa ini, terjadi percepatan
pertumbuhan yang meliputi 45% pertumbuhan tulang dan 15-25%
pertambahan tinggi badan. Selama masa growth spurt , sebanyak 37% total

17
massa tulang terbentuk. Penambahan lemak lebih banyak pada remaja
perempuan sehingga lemak tubuh perempuan pada masa dewasa sebesar 22%
di bandingkan laki-laki dewasa yang hanya 15%. Pembentukan lemak tubuh
sebanyak 15 – 19% terjadi di masa anak-anak hingga mencapai 20% di masa
remaja. Pada remaja laki-laki, terjadi lebih banyak pertumbuhan otot dan
tulang dengan lemak tubuh normal sekitar 12%. Tinggi badan remaja laki-laki
akan bertambah 18 cm, sedangkan remaja perempuan lebih rendah. Perbedaan
tersebut yang menyebabkan terjadinya perbedaan zat gizi remaja laki-laki dan
perempuan (Hardinsyah et al., 2016).
Androgen, yang dipercayai berperan penting dalam lonjakan pertumbuhan
masa pubertas, secara kuat merangsang sintesis protein di banyak organ.
Androgen merangsang pertumbuhan lini er, meningkatkan berat, dan
menambah massa otot. Androgen paling poten, testosteron testis,
menyebabkan pria membentuk otot yang lebih berat daripada wanita. Efek
androgen dalam mendorong per- tumbuhan bergantung pada keberadaan GH.
Androgen hampir sama sekali tidak berefek pada pertumbuhan tubuh jika
tidak terdapat GH, tetapi keberadaan GH akan secara sinergistis meningkatkan
pertumbuhan linier. Meskipun merangsang pertumbuhan, androgen akhirnya
menghentikan pertumbuhan lebih lanjut karena menyebabkan penutupan
lempeng epifisis (Sherwood, 2012).
Estrogen, seperti androgen, akhirnya menghentikan pertumbuhan linier
dengan merangsang perubahan komplet lempeng epifisis menjadi tulang.
Namun, efek estrogen pada pertumbuhan sebelum penelitian nrnyarankan
bahwa estrogen dosis besar bahkan dapat menghambat pertumbuhan tubuh
dengan menghambat proliferasi kondrosit sementara lempeng epifisis masih
terbuka. Sekresi estrogen oleh ovarium memberikan efek nyata pada seks
sekunder wanita yaitu mendorong pengendapan lemak di lokasi-lokasi
strategis, misalnya payudara, bokong, dan paha sehingga menghasilkan figur
khas wanita yang berlekuk (Sherwood, 2012).
Beberapa faktor ikut berperan menyebabkan adanya perbedaan tinggi
antara pria dan wanita. Pertama, karena pubertas terjadi lebih dini sekitar dua

18
tahun pada anak perempuan daripada anak laki- laki, secara rerata anak laki-
laki memiliki dua tahun masa pertumbuhan prapubertas lebih lama daripada
anak perempuan. Akibatnya, anak laki-laki biasanya lebih tinggi beberapa
senti meter daripada anak perempuan pada awal lonjakan pertumbuhan.
Kedua, seperti telah disebutkan, anak laki-laki mengalami lonjakan
pertumbuhan yang diinduksi androgen lebih besar daripada anak perempuan
sebelum steroid gonad mereka menghentikan pertumbuhan tulang panjang
mereka; hal ini menyebabkan pria umumnya lebih tinggi daripada wanita.
Ketiga, peningkatan estrogen pada masa pubertas dapat mengurangi lonjakan
pertumbuhan pada anak perempuan. Keempat, bukti terkini menunjuk kan
bahwa androgen membuat cetakan dari otak anak laki-laki selama
perkembangan, menghasilkan pola sekresi GH yang "maskulin" yang ditandai
oleh kadar puncak yang lebih tinggi dan diperkirakan berperan men- yebabkan
pria lebih tinggi (Sherwood, 2012).
Selain hormon-hormon ini yang menimbulkan efek pertumbuhan tubuh
secara keseluruhan, terdapat sejumlah peptida faktor pertumbuhan yang belum
sepenuhnya diketahui yang merangsang aktivitas mitotik jaringan tertentu
(misalnya, faktor pertumbuhan epidermis) (Sherwood, 2012).
Pada wanita, kadar persentasi H2O yang lebih rendah daripada pria,
terutama dikarenakan efek dari hormone seks wanita, estrogen, mendorong
pengendapan lemak di payudara, bokong, dan tempat lain. Hal ini tidak saja
menghasilkan bentuk tubuh wanita, tetapi juga menganugerahi wanita dengan
proporsi jaringan lemak yang lebih banyak dan, karenanya, proporsi H2O yang
leih kecil. Persentase H2O tubuh juga berkurang progresif seiring usia
(Hardinsyah, 2016).

2.1.5 Patofisiologi
Obesitas terjadi karena ketidakseimbangan antara asupan energi dengan
keluaran energi (energy expenditures) sehingga terjadi kelebihan energi yang
selanjutnya disimpan dalam bentuk jaringan lemak (Sjarif, 2005). Asupan dan
pengeluaran energi tubuh diatur oleh mekanisme saraf dan hormonal. Hampir

19
setiap individu, pada saat asupan makanan meningkat, konsumsi kalorinya
juga ikut meningkat, begitupun sebaliknya. Karena itu, berat badan
dipertahankan secara baik dalam cakupan yang sempit dalam waktu yang
lama. Diperkirakan, keseimbangan yang baik ini dipertahankan oleh internal
set point atau lipostat, yang dapat mendeteksi jumlah energi yang tersimpan
(jaringan adiposa) dan semestinya meregulasi asupan makanan supaya
seimbang dengan energi yang dibutuhkan (Kane, 2004).
Skema yang dapat dipakai untuk memahami mekanisme neurohormonal
yang meregulasi keseimbangan energi dan selanjutnya mempengaruhi berat
badan secara garis besar, ada 3 komponen pada sistem tersebut:
1. Sistem aferen, menghasilkan sinyal humoral dari jaringan adiposa
(leptin), pankreas (insulin), dan perut (ghrelin).
2. Central procqessing unit, terutama terdapat pada hipotalamus, yang
mana terintegrasi dengan sinyal aferen.
3. Sistem efektor, membawa perintah dari hypothalamic nuclei dalam
bentuk reaksi untuk makan dan pengeluaran energi (Kane, 2004).
Pada keadaan energi tersimpan berlebih dalam bentuk jaringan adiposa
dan individu tersebut makan, sinyal adipose aferen (insulin, leptin, ghrelin)
akan dikirim ke unit proses sistem saraf pusat pada hipotalamus. Di sini,
sinyal adiposa menghambat jalur anabolisme dan mengaktifkan jalur
katabolisme. Lengan efektor pada jalur sentral ini kemudian mengatur
keseimbangan energi dengan menghambat masukan makanan dan
mempromosi pengeluaran energi. Hal ini akan mereduksi energi yang
tersimpan. Sebaliknya, jika energi tersimpan sedikit, ketersedian jalur
katabolisme akan digantikan jalur anabolisme untuk menghasilkan energi
yang akan disimpan dalam bentuk jaringan adiposa, sehingga tercipta
keseimbangan antara keduanya (Kane, 2004).
Pada sinyal aferen, insulin dan leptin mengontrol siklus energi dalam
jangka waktu yang lama dengan mengaktifkan jaras katabolisme dan
menghambat jaras anabolisme. Sebaliknya, ghrelin secara dominan menjadi
mediator dalam waktu yang singkat (Kane, 2004).

20
Hormon ghrelin menstimulasi rasa lapar melalui aksinya di pusat makan di
hipotalamus. Sintesis ghrelin terjadi dominan di sel-sel epitel di bagian fundus
lambung. Sebagian kecil dihasilkan di plasenta, ginjal, kelenjar pituitari, dan
hipotalamus. Sedangkan reseptor ghrelin terdapat di sel-sel pituitari yang
mensekresikan hormon pertumbuhan, hipotalamus, jantung, dan jaringan
adiposa (Kane, 2004).
Walaupun insulin dan leptin sama-sama berpengaruh dalam siklus energi,
data yang ada menyatakan bahwa leptin mempunyai peran yang lebih penting
daripada insulin dalam pengaturan homeostatis energi di sistem saraf pusat.
Sel-sel adiposa berkomunikasi dengan pusat hypothalamic yang mengontrol
selera makan dan pengeluaran energi dengan cara mengeluarkan leptin, salah
satu jenis sitokin. Jika terdapat energi tersimpan yang berlimpah dalam bentuk
jaringan adiposa, dihasilkan leptin dalam jumlah besar, melintasi sawar darah
otak, dan berikatan dengan reseptor leptin. Reseptor leptin menghasilkan
sinyal yang mempunyai dua efek, yaitu menghambat jalur anabolisme dan
memicu jalur katabolisme melalui neuron yang berbeda. Hasil akhir dari leptin
adalah mengurangi asupan makanan dan mempromosikan pengeluaran energi.
Karena itu, dalam beberapa saat, energi yang tersimpan dalam sel-sel adipose
mengalami reduksi dan mengakibatkan berat badan berkurang. Pada keadaan
ini, equilibrium atau energy balance tercapai. Siklus ini akan terbalik jika
jaringan adiposa habis dan jumlah leptin berada di bawah ambang batas
normal (Kane, 2004).
Cara kerja leptin secara molekuler sangat kompleks dan belum dapat
diuraikan secara lengkap. Secara garis besar, leptin bekerja melalui salah satu
bagian jaras neural terintegrasi yang disebut leptin-melanocortin circuit,
Pemahaman tentang sirkuit ini penting mengingat obesitas merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang cukup serius dan pengembangan obat
antiobesitas tergantung sepenuhnya pada pemahaman jaras ini (Kane, 2004).

2.1.6 Komplikasi

21
Obesitas pada remaja berhubungan dengan masalah kesehatan saat
dewasa, seperti masalah psikososial, peningkatan risiko penyakit
kardiovaskular, metabolisme glukosa abnormal, gangguan saluran cerna dan
hati, sleep apnea, komplikasi masalah tulang, hingga kematian.
Pada remaja perempuan yang mengalami hal ini berisiko mengalami
penyakit sendi lebih besar saat usia lanjut dibandingkan remaja perempuan
dengan berat badan normal. Kondisi kelebihan berat badan yang merupakan
tanda awal obesitas pada remaja dapat disebabkan hipertrofi sel lemak dan
hyperplasia, pengingkatan kadar lipoprotein lipase, penurunan termogenetik
potensial, insensitivitas insulin, dan genetik (WHO, 2005).
Selanjutnya, menurut Indonesia Basic Health Research 2018, kebanyakan
penyakit Noncommunicable Disease (NCD) adalah seperti kanker, stroke,
penyakit gintal, nyeri sendi, diabetes mellitus, penyakit jantung, hipertensi,
dan obesitas menunjukkan tren meningkatnya dibandingkan dari data terakhir
di tahun 2013 (Purnamasari, 2019).
Edisi terbaru termasuk penelitian tentang NCD seperti athesklerosis di
diabetes, diabetes nepropati, keganasan, kelainan musculoskeletal, dan gagal
ginjal kronis. Atherosclerosis dan nepropati adalah komplikasi kronik dari
diabetes mellitus tipes 2. Sekitar tigaperempat penyebab kematian pasien
diabetes adalah penyakit jantung coroner, salah satu proses atherosclerosis
yang progresif. Faktor risiko tradisional seperti gaya hidup tidak aktif,
obesitas, diet tinggi kalori, merokok, dan riwayat penyakit keluarga, serta
faktor risiko non-tradisional seperti peradangan telah terbukti berperan dalam
perkembangan aterosklerosis dan menyebabkan iskemik. penyakit pembuluh
darah seperti stroke, penyakit jantung koroner dan penyakit arteri perifer
(Purnamasari, 2019).
Selain penyakit kardiovaskular, prevalensi keganasan di Indonesia juga
meningkat. Korelasi antara gangguan metabolisme dan keganasan telah
dipelajari secara intensif. Di antara populasi tertentu yang memiliki riwayat
keganasan keluarga, keadaan peradangan kronis diperkirakan mempromosikan
disregulasi sel yang diinduksi sitokin proinflamasi. Karena diabetes dan

22
obesitas dikenal sebagai kronis dalam ammasi, kedua penyakit ini diyakini
dan terbukti terlibat dalam proses keganasan tertentu. Sejumlah penelitian
kohort yang dirangkum dalam tinjauan sistematis telah menunjukkan
hubungan antara obesitas dan kejadian kanker, baik untuk keseluruhan dan
untuk situs kanker tertentu (misalnya, payudara endometrium, postmenopause,
kolon, dan esenage karsinoma) (Purnamasari, 2019).
Pasien obesitas dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori—distribusi
jaringan lemak tipe pria (android) dan distribusi tipe wanita (ginoid)—
berdasarkan distribusi anatomik jaringan lemak yang diukur sebagai rasio
lingkar pinggang terhadap lingkar panggul. Obesitas android ditandai oleh
distribusi lemak abdomen (tubuh berbentuk "apel") sedangkan obesitas ginoid
ditandai oleh distribusi lemak di panggul dan paha (tubuh berbentuk"pir").
Kedua jenis kelamin dapat mengalami obesitas android atau ginoid
(Sherwood, 2012).
Obesitas android berkaitan dengan sejumlah penyakit, termasuk resistensi
insulin, diabetes melitus tipe 2 (awitan-dewasa), kelebihan kadar lemak darah,
tekanan darah tinggi, penyakit jantung koronaria, dan stroke. Orang "apel"
memiliki proporsi lemak viseral yang lebih banyak, yang lebih
mengkhawatIrkan dibandingkan dengan lemak subkutan karena lemak viseral
melepaskan lebih banyak adipokin "jahat" yang memacu resistensi insulin dan
memacu inflamasi derajat rendah yang mendasari perkembangan
aterosklerosis. Obesitas ginoid tidak berkaitan dengan peningkatan risiko
penyakit-penyakit tersebut (Sherwood, 2012).

23
2.2. Kerangka Teori

Tindakan Perilaku

Osteoporosis

Gambar 1

24
2.3. Kerangka Konsep
Variabel Independen Variabel Dependen

Pengetahuan
Indikatornya menurut
Pencegahan Osteoporosis:
Notoatmodjo (2012),
a. Tahu (know)
1) Olah Raga
b. Memahami
2) Konsumsi Kalsium
(comprehension)
3) Vitamin D
c. Aplikasi (application)
4) Menghindari merokok
d. Analisis (Analysis)
e. Sintesis (synthesis)
f. Evaluasi (evaluation)

25
2.4. Perumusan Hipotesis
Hipotesis nol (0) = Tidak terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan
dengan tindakan pencegahan

Hipotesis satu (1) = Terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dengan


tindakan pencegahan

Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala


Operasional Data
Variabel Dependen
Tindakan Diambil dari data Responden 1=Baik Nominal
kuesioner diberikan 0=Buruk
pertanyaan-
pertanyaan
dengan
menggunakan
pilihan ganda
Variabel Independen
Pengetahuan Diambil dari data Responden 1=Tinggi Nominal
kuesioner diberikan 0=Rendah
pertanyaan-
pertanyaan
dengan
menggunakan
pilihan ganda
2.5. Definisi Operasional

26

Anda mungkin juga menyukai