Anda di halaman 1dari 10

TM10

INTERAKSI OBAT DENGAN NUTRISI ENTERAL, ALKOHOL DAN KAFEIN

A. Definisi Interaksi Obat

Interaksi obat merupakan satu dari delapan kategori masalah terkait obat
(drug-related problem) yang diidentifikasi sebagai kejadian atau keadaan terapi obat
yang dapat mempengaruhi outcome klinis pasien. Sebuah interaksi obat terjadi
ketika farmakokinetika atau farmakodinamika obat dalam tubuh diubah oleh
kehadiran satu atau lebih zat yang berinteraksi (Piscitelli, 2005). Dua atau lebih obat
yang diberikan pada waktu yang sama dapat berubah efeknya secara tidak langsung
atau dapat berinteraksi. Interaksi bisa bersifat potensiasi atau antagonis efek satu
obat oleh obat lainnya, atau adakalanya beberapa efek lainnya (BNF 58, 2009).
Suatu interaksi terjadi ketika efek suatu obat diubah oleh kehadiran obat lain, obat
herbal, makanan, minuman atau agen kimia lainnya dalam lingkungannya. Definisi
yang lebih relevan kepada pasien adalah ketika obat bersaing satu dengan yang
lainnya, atau apa yang terjadi ketika obat hadir bersama satu dengan yang lainnya
(Stockley, 2008).

B. Nutrisi Enteral

1. Definisi

Formula enteral/makanan enteral adalah makanan dalam bentuk cair yang


dapat diberikan secara oral maupun melalui pipa selama saluran pencernaan masih
berfungsi dengan baik (Sobariah, 2005 dalam Khasanah, 2009). Formula enteral
diberikan pada pasien yang tidak bisa makan melalui oral seperti dalam kondisi
penurunan kesadaran, gangguan menelan (disfagia), dan kondisi klinis lainnya atau
pada pasien dengan asupan makan via oral tidak adekuat. Pemberian nutrisi enteral
pada pasien dapat meningkatkan berat badan, menstabilkan fungsi hati/liver,
mengurangi kejadian komplikasi infeksi, jumlah/frekuensi masuk rumah sakit dan
lama hari rawat di rumah sakit (Klek et al, 2014). Pemilihan formula enteral
ditentukan berdasarkan kemampuan formula dalam mencukupi kebutuhan gizi, yang
dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut yaitu kandungan/densitas energi dan
protein dalam formula (dinyatakan dalam kkal/ml, g/ml, atau ml Fluid/L), fungsi
saluran cerna, kandungan mineral seperti Natrium, Kalium, Magnesium, dan Posfor
dalam formula terutama bagi pasien dengan gangguan jantung, gangguan ginjal,
dan gangguan liver. Bentuk dan jumlah protein, lemak, karbohidrat, dan serat dalam
formula, efektivitas biaya, cost to benefit ratio(Mahan & Raymond, 2017).
2. Jenis-jenis Formula Enteral

Jenis formula enteral dikelompokkan berdasarkan bentuk & komposisi zat gizi
makronya, antara lain :

1) Formula polimerik, yaitu formula dengan komposisi zat gizi makro (protein, lemak,
karbohidrat) dalam bentuk utuh/intak. Kandungan energi 1-2 kkal/ml, dan pada
umumnya bebas laktosa. Formula enteral dengan densitas energi yang tinggi (1,5 –
2 kkal/ml) diperlukan bagi pasien yang membutuhkan pembatasan cairan seperti
paseian gangguan jantung, gangguan paru – paru, gangguan hati/liver, gangguan
ginjal, dan pasien yang tidak mampu menerima makanan dalam volume tertentu
(Mahan&Raymond, 2017). Formula ini dapat dikelompokkan lagi menjadi formula
standar dewasa, formula standar anak, dan formula khusus untuk penyakit tertentu
seperti formula DM, formula rendah protein, dll (Sharma&Joshi, 2014).

2) Formula elemental (monomeric)/ semi- elemental (oligomeric), yaitu formula


dengan komposisi zat gizi dalam bentuk sederhana (mudah serap) terdiri dari asam
amino tunggal, glucose polymers, rendah lemak 2-3% dari kalori terdiri dari LCT
(long chain triglycerides). Formula semi-elemental terdiri dari peptida, gula
sederhana, MCT (medium chaintriglycerides).

3) Formula blenderized, yaitu formula yang dibuat dengan menghaluskan makanan


menjadi bentuk cair sehingga bisa masuk melalui pipa Naso Gastric Tube (NGT).
Mengandung zat gizi lengkap seperti diet via oral, lebih murah, namun tidak dapat
diberikan kepada pasien dengan immunocompromised, pasien yang menggunakan
jejunostomy, tidak dapat masuk pada pipa NGT ukuran < 10 French dan pasien
dengan multialergi makanan. (Mahan & Raymond, 2017). Formula Blenderized juga
dikenal dengan Domiciliary Enteral Nutrition Theraphy (DENT). Menurut Hurt et
al(2015) dalam Henriques et al(2017), formula ini lebih murah dibandingkan dengan
formula polimerik dan formula elemental karena terbuat dari bahan makanan
konvensional yang biasa digunakan di rumah. Sehingga lebih mudah diterima, lebih
nyaman, dan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.Selain itu formula
blenderized dapat meningkatkan toleransi dalam pemberian makan dan mengurangi
komplikasi gastrointestinal (Bobo, 2016). Akan tetapi karakteristik fisik dan kimiawi
formula enteral tetap harus diperhatikan karena sangat berpengaruh langsung
terhadap aliran formula di dalam selang (De Sousa et al, 2014).

4) Thickened Enteral Formula (TEF)

Dari hasil pengkajian mengenai efek samping pemberian formula enteral, saat ini di
Jepang (Ichimaru et al, 2016) mulai mengembangkan Thickened Enteral Formula
(TEF), yaitu formula enteral yang viskositasnya secara sengaja ditingkatkan dengan
menambahkan bahan pengental. Tujuannya adalah untuk mencegah komplikasi
terkait pemberian komplikasi dalam pemberian formula enteral seperti diare, mual,
muntah, dan Gastroesophageal Reflux (GER). TEF cocok digunakan oleh pasien
yang sudah lama menjalani terapi nutrisi enteral baik di rumah sakit maupun di
rumah. Viskositas TEF berkisar antara 9 – 20 cP. Beberapa penelitian melaporkan
adanya hubungan antara viskositas formula enteral dengan mekanisme
pengosongan lambung dimana formula dengan viskositas >16 cP dapat
memperlambat pengosongan lambung (Ichimaru et al, 2016).

C. Interaksi Obat dengan Nutrisi Enteral

Berikut adalah alogaritme pemberian obat melalui selang enteral.

Gambar 1. Alogaritme Obat melalui Enteral

Sebelum suatu obat dipertimbangka untuk dijadikan puyer, harus dievaluasi


apakah obat oral dalam formulasi lain (sirup,sublingual, bukal, dan sebagainya)
masih dapat ditoleransi oleh pasien. Formulasi oral lain yang tampaknya lebih
mudah diberikan, belum tentu dapat ditoleransi oleh pasien. Contohnya sediaan
sirup dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan jika diberikan jangka lama
karena kandungan zat eksipiennya, yaitu sorbitol dapat menyebabkan diare. Saat
formulasi oral alternatif tidak tersedia, tablet atau pil harus dihancurkan dan
dilarutkan dahulu agar dapat diberikan melalui selang enteral. Terdapat beberapa
hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan pemberian obat puyer melalui selang
enteral, yaitu kompatibilitas farmasetik suatu obat untuk dihancurkan menjadi puyer;
hilangnya obat (termasuk terhirupnya oleh petugas medis) dan kontaminasi
substansi obat melalui udara; interaksi obat-zat nutrien; dan risiko sumbatan selang
enteral. Beberapa contoh sediaan obat yang tidak cocok diberikan melalui selang
enteral dilampirkan pada Gambar 2

Gambar 2. Contoh Sediaan Obat Oral yang Tidak Cocok Diberikan Melalui
Selang Enteral

Interaksi yang terjadi dapat berupa interaksi obat dengan makanan atau cairan
nutrisi, interaksi obat dengan obat, bahkan juga mungkin terjadi interaksi antara obat
dengan material selang. Interaksi farmasetik dapat terjadi apabila puyer atau isi dari
kapsul yang dibuka bercampur dengan makanan atau minuman yang akan
memengaruhi efek obat. Interaksi antara obat dengan makanan bersifat kompleks.
Beberapa mekanisme interaksi obat dengan makanan, antara lain :

1. Interaksi kimiawi, misalnya zat nutrisi berikatan dengan obat dan menurunkan
absorpsinya

2. Interaksi fisikal antara formulasi obat dengan formulasi nutrien menyebabkan


perubahan konsistensi nutrisi enteral, dan kemungkinan sumbatan selang enteral

3. Interaksi antara obat dengan nutrien spesifik yang berhubungan dengan


metabolisme obat.

4. Hilangnya efek obat akibat gangguan absorpsi, peningkatan klirens obat atau
hambatan efek farmakologi (interaksi farmakodinamik) akibat adanya makanan.
Gambar 3. Interaksi Obat dengan Nutrisi Enteral

Apabila obat dijadikan puyer, sebaiknya obat yang berbeda tidak dicampur di wadah
penghancur (mortar) yang sama, dan larutan obat yang berbeda juga tidak
dimasukkan ke selang enteral melalui syringe yang samakarena kompatibilitas
antar- obatnya tidak diketahui dengan pasti. Terkadang obat yang mengalami
interaksi fisikokimia dapat diamati secara langsung berupa perubahan warna obat
atau timbul endapan, tetapi seringkali interaksinya tidak kasat mata. Inilah yang
berbahaya bila diberikan kepada pasien. Saat memberikan obat melalui selang
enteral juga terdapat kemungkinan interaksi antara obat dengan material selang.
Sebagai contoh, dapat terjadi interaksi antara karbamazepin suspensi dengan
material polivinil dari NGT yang menyebabkan obat menjadi rusak. Contoh Interaksi
Obat yang Diberikan via Selang Enteral.
Gambar 4 Interaksi Obat yang Diberikan via Selang Enteral

D. ALKOHOL

1. Definisi

Alkohol (etanol atau etil alkohol) adalah bahan yang ditemukan dalam bir dan
anggur yang dapat menyebabkan kemabukan. Alkohol terbentuk oleh hasil
fermentasi gula dalam berbagai makanan yang berbeda; misalnya anggur terbuat
dari gula dalam buah anggur, bir dari gula dalam barley malt (sejenis gandum), cider
dari gula dalam apel, dan vodka dari gula dalam kentang, bit atau tanaman lainnya.
Alkohol merupakan salah satu senyawa yang bersifat larut dalam air. Senyawa ini
sering juga disebut etil alkohol atau alkohol saja. Alkohol dibuat dari hasil fermentasi,
berupa cairan jernih tak berwarna dan rasanya pahit. Molekul alkohol sangat kecil
sehingga dapat dengan mudah masuk aliran darah dan melewati sawar darah otak
(blood brain barrier) dengan bebas (Gunasekara, 2012).

Minuman beralkohol adalah minuman yang mengandung etil alkohol atau


etanol (C2H5OH) yang diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung
karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi.
Definisi ini menunjukkan bahwa jenis alkohol yang diizinkan dalam minuman
beralkohol adalah Etanol.
Berdasarkan Peraturan Menteri Perindustrian No. 71/M-Ind/ PER/7/2012
tentang Pengendalian dan Pengawasan Industri Minuman Beralkohol, batas
maksimum etanol yang diizinkan adalah 55% (Kemenperin, 2012).

2. Jenis-jenis Minuman Beralkohol

Dikelompokkan dalam golongan sebagai berikut:

a. Minuman beralkohol golongan A adalah minuman yang mengandung etil alkohol


atau etanol (C2H5OH) dengan kadar sampai dengan 5% (lima persen).

b. Minuman beralkohol golongan B adalah minuman yang mengandung etil alkohol


atau etanol (C2H5OH) dengan kadar lebih dari 5% (lima persen) sampai dengan
20% (dua puluh persen).

c. Minuman beralkohol golongan C adalah minuman yang mengandung etil alkohol


atau etanol (C2H5OH) dengan kadar lebih dari 20% (dua puluh persen) sampai
dengan 55% (lima puluh lima persen) (BPOM, Menilik Regulasi Minuman Beralkohol
di Indonesia, 2014).

3. Metabolisme Alkohol

Sebagian besar jaringan tubuh, mengandung enzim yang diperlukan untuk


metabolisme oksidatif atau nonoxidative etanol. Tempat utama metabolisme etanol
adalah hepar (Heuman, 2014). Terdapat dua jalur metabolisme alkohol yang telah
berhasil diidentifikasi sampai sekarang, yaitu :

1. Alcohol Dehydrogenase Pathway (ADH)

Jalur utama metabolisme alkohol memerlukan enzim alkohol dehydrogenase (ADH)


yang merupakan enzim sitosol yang berfungsi mengkatalisir konversi dari alkohol
menjadi asetaldehid. Enzim ini terutama terdapat pada hepar, namun juga
ditemukan dalam jumlah sedikit di otak dan lambung. Metabolisme etanol dalam
jumlah yang signifikan oleh ADH yang terdapat pada lambung terjadi pada lakilaki,
namun hanya sedikit pada perempuan. Dalam konversi dari etanol menjadi
asetaldehid, ion hidrogen dipindahkan dari alkohol ke kofaktor NAD+ untuk
membantu NADPH (Erick, 2012).

2. Microsomal Ethanol Oxidizing System (MEOS)

Sistem ini menggunakan NADPH sebagai kofaktor dalam proses metabolisme


alkohol, dan utamanya terdiri dari sitokrom P450 2E1, 1A2, dan 3A4. Konsentrasi
alkohol dalam darah dibawah 100 mg/dl, sistem MEOS tidak berperan banyak dalam
metabolisme alkohol. Etanol dalam jumlah banyak dikonsumsi, sistem ADH menjadi
jenuh karena habisnya kofaktor NAD+, sehingga aktivitas MEOS meningkat.
Konsumsi alkohol yang kronik, terjadi peningkatan klirens dari obat-obatan lain yang
dieleminasi juga oleh sitokrom P450 dan juga didapatkan hasil sampingan berupa
toksin, radikal bebas, dan H202 (Erick, 2012). Kedua sistem diatas pada akhirnya
menghasilkan asetaldehid. Hampir seluruh asetaldehid di metabolisme lebih lanjut di
hepar, dengan reaksi yang dikatalisir oleh enzim aldehyde dehydrogenase (ALDH)
(Erick, 2012).

E. Interaksi Obat dengan Alkohol

Interaksi Alkohol Alkohol berinteraksi dengan banyak jenis obat. Alkohol


bereaksi dengan obat-obatan dengan cara yang berbeda, seperti meningkatkan efek
penenang pada obat tidur, meningkatkan potensi aspirin untuk mengiritasi lambung
atau meningkatkan potensi parasetamol untuk merusak hepar. Contoh obat yang
berinteraksi dengan alkohol antara lain benzodiazepin, opiat, parasetamol,
antidepresan, antibiotik, antihistamin, obat antiinflamasi, agen hipoglikemik, warfarin,
barbiturat, dan beberapa obat jantung. Pasien yang sedang berkendara atau terlibat
penggunaan mesin harus waspada dalam konsumsi obat yang ada interaksinya
dengan alkohol. Interaksi alkohol dengan obat-obatan terlarang atau penenang
dapat meningkatkan resiko sedasi (Gunasekara, 2012).

F. KAFEIN

a. Definisi

Kafein, suatu alkaloid dari methyl xanthine yang memiliki struktur kimia 1,3,7
trimethyl xanthine merupakan senyawa terpenting di dalam kopi. Kafein merupakan
kristal xantin putih, pahit, dan larut dalam air. Senyawa ini bekerja sebagai stimulan
sistem saraf pusat (SSP) dan diuretik lemah.

b. Kandungan Kafein

Kandungan kafein di dalam kopi sangat bervariasi, kandungan ini dipengaruhi oleh
cara penyajian kopi dan jenis biji kopi.27,28 Menurut data dari USDA National
Nutrient Database, secangkir kopi yang diseduh/brewed (setara 8 ons / 237 mL)
mengandung 95 mg kafein, sedangkan espresso (25 mL) mengandung 53 mg
kafein.

Menurut sebuah artikel yang dimuat dalam USDA National Nutrient Database pada
tahun 2010 menyebutkan kandungan kafein pada kopi berdasarkan cara penyajian
nya sebagai berikut:
Gambar 5 Kandungan Kafein Pada Kopi Berdasarkan Cara Penyajian

Berdasarkan jenis biji kopi dan tingkat yang banyak dikonsumsi, normalnya, kopi
Robusta memiliki kandungan kafein lebih banyak 2 kali lipat dari kopi Arabika.

G. Interaksi Obat dengan Kafein

1. Farmakologi Kafein

Bahan kimia psikoaktif utama dalam kopi adalah kafein yang merupakan antagonis
adenosine, terkenal karena efek stimulan nya / doping , dan juga mengandung
inhibitor monoamine oxidase β-carboline dan harmane sebagai zat psikoaktif.
Normalnya, kafein sebagian besar dipecah sistem enzimatik mikrosomal di hati
maka dari itu kafein sangat membutuhkan enzim hati. Metabolit yang dikeluarkan
sebagian besar adalah paraxanthines-theobromine dan teofilin dan kafein yang tidak
diubah.

2. Farmakodinamik

Kafein bersifat sebagai antagonis reseptor adenosine, ketika kafein dikonsumsi


maka kafein akan bekerja mencegah adenosine mengaktifkan reseptor dengan cara
menghalangi reseptor adenosine agar tidak berikatan. Akibat proses ini konsumen
akan terjaga dan meningkat kewaspadaannya. Sifat antagonisme reseptor
adenosine kafein berlaku pada semua subtipe (A1, A2A, A2B, dan A3), hal ini
menyebabkan perubahan di berbagai sistem seperti terjadinya peningkatan laju
pernapasan, penurunan denyut jantung, serta menimbulkan efek simultan yang
merupakan akibat dari pelepasan neurotransmiter seperti asetilkolin.

3. Farmakokinetik

Setelah memasuki tubuh, kafein dari kopi atau minuman lain yang diserap
seluruhnya oleh usus halus dalam waktu 45 menit dari konsumsi, didistribusikan di
seluruh jaringan tubuh, dan akan mencapai puncak konsentrasinya di darah dalam
waktu 1-2 jam. Umumnya, kafein akan memberi efek pada tubuh dalam waktu 15-45
menit dari waktu konsumsi dan akan bertahan selama 6-10 jam. Waktu paruh kafein,
waktu yang dibutuhkan untuk mengeliminasi setengah atau seluruhnya, setiap
individu bervariasi antar individu sesuai dengan faktor seperti tingkat fungsi enzim
hati, ibu hamil,dll. Pada orang dewasa normal, waktu paruh kafein sekitar 3-7 jam,
dan dapat meningkat hingga 2 kali lebih lama pada ibu hamil. Setelah masuk dalam
pencernaan, kafein akan di metabolisme di hati menggunakan sistem enzim
oksidase sitokrom P450, khususnya, oleh isozim CYP1A2 menjadi 3
dimethilxanthine yaitu:

• Paraxanthine: Meningkatkan lipolisis, yang mengarah ke peningkatan gliserol dan


kadar asam lemak bebas dalam plasma darah.

• Theobromine: Dilatasi pembuluh darah dan meningkatkan volume urin.

• Theophyline: Melemaskan otot polos bronkus, dan digunakan untuk mengobati


asma Setiap metabolit ini selanjutnya dimetabolisme dan kemudian diekskresikan
dalam urin. Pada pasien dengan penyakit hati yang memburuk, dapat terjadi
akumulasi metabolit akibat adanya peningkatan waktu paruh dari kafein.

Anda mungkin juga menyukai