Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan zaman yang begitu pesat seperti saat ini diikuti pula dengan
pesatnya perkembangan intelektual manusia. Banyak sekali pengetahuan yang perlu
untuk dikembangkan lagi menjadi sebuah ilmu pengetahuan baru yang dapat
dimanfaatkan bagi kesehatan manusia. Berbagai cara digunakan untuk
mengembangkan pengetahuan ataupun mencari ilmu pengetahuan baru. Salah satu
cara untuk mengembangkan pengetahuan tersebut adalah penelitian.

Penelitian sendiri tidak dapat dipisahkan dari tahap-tahap perkembangan


kehidupan manusia, khususnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pentingnya suatu penelitian dan hubungannya dengan berbagai hal dalam kehidupan
mengakibatkan penelitian harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan
berdasarkan etika kebenaran, Sehingga setiap pedoman yang sistematis menjadi
perhatian utama agar penelitian yang mandiri, subjekif, dan kritis dapat dilaksanakan
dengan baik.

Dalam melakukan penelitian salah satu hal yang penting ialah membuat
desain penelitian. Desain penelitian bagaikan sebuah peta jalan bagi peneliti yang
menuntun serta menentukan arah berlangsungnya proses penelitian secara benar dan
tepat sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Tanpa desain yang benar seorang
peneliti tidak akan dapat melakukan penelitian dengan baik karena yang
bersangkutan tidak mempunyai pedoman arah yang jelas. Manfaat desain penelitian
akan dirasakan oleh semua pihak yang terlibat dalam proses penelitian, karena dapat
digunakan sebagai pedoman dalam melakukan proses penelitian.
Selain itu, agar sebuah penelitian memiliki batasan-batasan dan dapat disusun secara
terstruktur dan terkonsep dengan baik, maka diperlukan sebuah metode

1
penelitian. Mengingat betapa pentingnya desain dan metode penelitian bagi sebuah
penelitian, maka kelompok kami akan membahas mengenai Desain dan Metode
Penelitian dalam Makalah ini.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan studi cross sectional ?


2. Apakah tujuan dari dilakukannya studi cross sectional ?
3. Sebutkan jenis dari studi cross sectional !
4. Apa saja ciri-ciri dari studi cross sectional
5. Jelaskan contoh dari studi cross sectional !
6. Bagaimana keuntungan dan kelemahan dari studi cross sectional ?

1.3 Tujuan Masalah

1. Agar mahasiswa mampu menjelaskan pengertian dari studi cross sectional.


2. Agar mahasiswa memahami tujuan dari dilakukannya studi cross sectional.
3. Agar mahasiswa dapat menyebutkan jenis dari studi cross sectional.
4. Agar mahasiswa mampu menjabarkan cirri-ciri ari studi cross sectional.
5. Agar mahasiswa mampu menjelaskan dan member contoh dari studi cross
sectional.
6. Agar mahasiswa dapat memaknai keuntungan dan kelemahan dari studi cross
sectional.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Cross Sectional


Dalam penelitian kedokteran dan kesehatan, studi cross-sectional merupakan
suatu bentuk studi observasional (non-eksperimental) yang paling sering dilakukan.
Kira-kira sepertiga artikel orisinal dalam jurnal kedokteran merupakan laporan studi
cross-sectional. Dalam arti yang luas, studi cross-sectional mencangkup semua jenis
penelitian yang pengukuran variabel-variabelnya dilakukan hanya satu kali, pada saat
itu. Studi seperti dapat hanya bersifat deskriptif, misalnya survai deskripitif, atau
penentuan nilai normal (misalnya nilai-nilai antropometrik bayi baru lahir, kadar
immunoglobulin pasien asma). Ia juga dapat merupakan studi analitik, misalnya studi
perbandingan antara kadar asam urat pada manula yang normal dan yang gemuk, atau
studi kolerasi antara skor kebugaran tertentu dengan kadar kolesterol. Dengan
perkataan lain, penelitian yang pengukurannya dilakukan hanya satu kali, disebut
studi cross-sectional (Sastroasmoro, 1995)

Dalam studi cross-sectional, variabel bebas atau faktor resiko dan tergantung (efek)
dinilai secara simultan pada satu saat jadi tidak ada follow-up pada studi cross-
sectional. Dengan studi cross-sectional diperoleh prevalens penyakit dalam populasi
pada suatu saat, oleh karena itu studi cross-sectional disebut pula sebagai studi
prevalens(prevalence studi). Dari data yang diperoleh, dapat dibandingkan prevalens
penyakit pada kelompok dengan resiko, dengan prevalens penyakit pada kelompok
tanpa resiko. Studi prevalens tidak hanya digunakan untuk perencanaan kesehatan,
akan tetapi juga dapat dgunakan sebagai studi etiologi. Pembahasan diawali dengan
tinjauan ringkas tentang pengertian dasar, dan dilanjutkan dengan langkah-langkah
dalam melaksanakan studi cross-sectional. (Sastroasmoro, 1995)

3
Bila kita memiliki keterbatasan dana, waktu dan tenaga, alternatif desain yang
sederhana adalah desain potong lintang. Desain potong lintang dikenal juga dengan
istilah survey. Kunci utama dalam desain potong lintang adalah sampel dalam suatu
survey direkrut tidak berdasarkan status paparan atau suatu penyakit/ kondisi
kesehatan lainnya, tetapi individu yang dipilih menjadi subjek dalam penelitian
adalah mereka yang diasumsikan sesuai dengan studi yang akan kita teliti dan
mewakili populasi yang akan diteliti secara potong lintang sehingga hasil studi bisa
digeneralisasikan ke populasi. Oleh karena itu, faktor paparan dan kejadian
penyakit/kondisi kesehatan diteliti dalam satu waktu.

Survey cross sectional ialah suatu penelitian untuk mempelajari dinamika


korelasi antara faktor-faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi
atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point time approach). Artinya, tiap
subjek penelitian hanya diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap
status karakter atau variabel subjek pada saat pemeriksaan. Hal ini tidak berarti
bahwa semua subjek penelitian diamati pada waktu yang sama. Desain ini dapat
mengetahui dengan jelas mana yang jadi pemajan dan outcome, serta jelas kaitannya
hubungan sebab akibatnya (Notoatmodjo, 2002).

4
Penelitian crosssectional ini, peneliti hanya mengobservasi fenomena pada
satu titik waktu tertentu. Penelitian yang bersifat eksploratif, deskriptif, ataupun

eksplanatif, penelitian cross-sectional mampu menjelaskan hubungan satu variabel


dengan variabel lain pada populasi yang diteliti, menguji keberlakuan suatu model
atau rumusan hipotesis serta tingkat perbedaan di antara kelompok samping pada satu
titik waktu tertentu. Namun penelitian cross-sectional tidak memiliki kemampuan
untuk menjelaskan dinamika perubahan kondisi atau hubungan dari populasi yang
diamatinya dalam periode waktu yang berbeda, serta variabel dinamis yang
mempengaruhinya (Nurdini, 2006).
Hasil pengamatan cross sectional untuk mengidentifikasi factor risiko ini
kemudian disusun dalam tabel 2 x 2. Untuk desain seperti ini biasanya yang dihitung
adalah rasio prevalens, yakni perbandingan antara prevalens suatu penyakit atau efek
pada subjek dari kelompok yang mempunyai factor risiko yang diteliti, dengan
prevalens penyakit atau efek pada subjek yang tidak mempunyai factor risiko. Rasio
prevalens menunjukkan peran factor risiko dalam terjadinya efek pada studi cross-
sectional. (Sastroasmoro, 1995)
Studi cross-sectional hanya merupakan salah satu dari jenis studi
observasional untuk menentukan hubungan antara factor risiko dan penyakit. Studi
cross-sectional untuk mempelajari etiologi suatu penyakit dipergunakan terutama
untuk mempelajari factor risiko penyakit yang mempunyai onset yang lama dan lama
sakit yang panjang, sehingga biasanya pasien tidak mencari pertolongan sampai
penyakitnya relative telah lanjut. Penyakit-penyakit jenis tersebut misalnya
osteoarthritis, bronchitis kronik, dan sebagian besar penyakit kejiwaan. Studi kohort
kurang tepat digunakan pada studi tentang penyakit-penyakit tersebut karena
diperlukan sampel yang besar, waktu follow up yang sangat lama, dan sulit untuk
mengetahui saat mulainya penyakit (sulit untuk menentukan insidens). Sebaliknya
jenis penyakit yang mempunyai lama sakit sedikit jumlah kasus yang akan diperoleh
didalam kurun waktu pendek. Sesuai dengan namanya, yakni studi prevalens, maka
pada studi cross sectional yang dinilai adalah subjek yang baru dan yang sudah kama
menderita penyakit atau kelainan yang sedang diselidiki. (Sastroasmoro, 1995)

5
Gambar. Alur Studi Cross Sectional
Efek
Ya Tidak Jumlah
Ya a B a+b
Faktor resiko
Tidak c D c+d
Jumlah a+c b +d a+b+c+d

Gambar. Tabel 2 x 2 menunjukkan hasil pengamatan studi cross sectional

A = subjek dengan factor resiko yang mengalami efek


B = subjek dengan factor resiko yang tidak mengalami efek
C = subjek tanpa factor resiko yang mengalami efek
D = subjek tanpa faltor resiko yang tidak mengalami efek

Rasio prevalens dihitung dengan membagi prevalens efek pada kelompok


dengan factor resiko dengan prevalens efek pada kelompok tanpa factor resiko.

RP = a/ (a+b) : c/ (c+d)

6
Tabel Perbandingan 3 desain studi observasional

Sumber : Bhisma Murti, Fakultas kedokteran Universitas Sebelas Maret

7
Tabel Masalah Penelitian Dan Desain Studi

Sumber : Bhisma Murti, Fakultas kedokteran Universitas Sebelas Maret

2.2 Tujuan Penelitian Cross Sectional


Tujuan penelitian crossesctional menurut Budiarto (2004) yaitu sebagai berikut:
1. Mencari prevalensi serta indisensi satu atau beberapa penyakit tertentu yang
terdapat di masyarakat.
2. Memperkirakan adanya hubungan sebab akibat pada penyakit-penyakit
tertentu dengan perubahan yang jelas.
3. Menghitung besarnya resiko tiap kelompok, resiko relatif, dan resiko atribut.

2.3 Jenis Penelitian Cross Sectional


Cross-Sectional Study atau juga disebut Studi Potong Lintang mempunyai 2
jenis studi, yaitu:
1. Studi potong lintang Deskriptif : meneliti prevalensi penyakit , paparan atau
keduanya, pada suatu populasi tertentu.

8
Contoh : penelitian persentase bayi yang mendapat ASI eksklusif disuatu
komunitas, penelitian prevalens asma pada anak sekolah di Jakarta.

Studi potong lintang analitik : mengumpulkan data prevalensi paparan dan


penyakit tujuan untuk perbandingan perbedaan-perbedaan penyakit antara
kelompok terpapar dan kelompok tak terpapar, dalam rangka meneliti
hubungan antara paparan dan penyakit.
Contoh : beda proporsi pemberian ASI eksklusif berdasar pada berbagai
tingkat pendidikan ibu, Beda kadar kolestrol siswa SMP daerah kota dan desa,
beda prevalens penyakit jantung reumatik siswa lelaki dan perempuan.
Deskriptif cross sectional hanya sekedar mendesripsikan distribusi penyakit
dihubungkan dengan variabel penelitian, sedangkan analitik crossectional: diketahui
dengan jelas mana yang jadi pemajan dan outcome, serta jelas kaitannya hubungan
sebab akibatnya.

2.4 Ciri-Ciri Penelitian Cross Sectional


Ciri-ciri penelitian cross sesctional menurut Budiarto (2004) yaitu sebagai
berikut:
1. Pengumpulan data dilakukan pada satu saat atau satu periode tertentu dan
pengamatan subjek studi hanya dilakukan satu kali selama satu penelitian.
2. Perhitungan perkiraan besarnya sampel tanpa memperhatikan kelompok yang
terpajang atau tidak.
3. Pengumpulan data dapat diarahkan sesuai dengan kriteria subjek studi.
Misalnya hubungan antara Cerebral Blood Flow pada perokok, bekas perokok
dan bukan perokok.
4. Tidak terdapat kelompok kontrol dan tidak terdapat hipotesis spesifik.
5. Hubungan sebab akibat hanya berupa perkiraan yang dapat digunakan sebagai
hipotesis dalam penelitian analitik atau eksperimental.

9
2.5 Langkah-Langkah Studi Cross Sectional

Skema pada struktur dasar desain cross sectional melukiskan dena sederhana
rancangan studi cross-sectional. Sejalan dengan skema diatas dapat disusun langkah-
langkah yang terpenting didalam rancangan studi cross sectional, yaitu:
 Merumuskan pertanyaan penelitian beserta hipotesis yang sesuai
 Mengidentifikasi variabel bebas dan tergantung
 Menetapkan subyek penelitian
 Melaksanakan pengukuran
 Melakukan analisis
1. Merumuskan pertanyaan penelitian dan hipotesis
Pertanyaan penelitian yang akan dijawab harus dikemukakan dengan jelas. Dalam
studi cross sectional analitik hendaklah dikemukakan hubungan antar variabel yang
diteliti. Misalnya, pertanyaan penelitian yang akan dijawab adalah apakah terdapat
hubungan antara tingkat pendidikan orangtua anak dengan kejadian enuresis pada
anaknya.
2. Mengidentifikasi variabel penelitian
Semua variabel yang dihadapi dalam studi prevalens harus diidentifikasi dengan
cermat. Untuk itu perlu ditetapkan definisi operasional yang jelas mana yang
termasuk dalam faktor resiko yang ingin diteliti, faktor resiko yang tidak akan diteliti,
serta efek. Faktor yang merupakan resiko namun tidak diteliti perlu diidentifikasi agar
dapat disingkirkan atau paling tidak dikurangi pada waktu pemilihan subyek
penelitian.
3. Menetapkan subyek penelitian
Dalam menetapkan subyek penelitian, harus diupayakan agar variabilitas faktor
resiko cukup besar sehingga generalisasi hasilnya lebih mudah, namun
variabilitas variabel luar (variabel yang tidak diteliti) dibuat minimum. Menetapkan
populasi penelitian bergantung kepada tujuan penelitian, maka ditentukan dari
populasi-terjangkau mana subyek penelitian yang akan dipilih, apakah dari rumah
sakit / fasilitas kesehatan, atau dari masyarakat umum.
Salah satu hal yang harus diperhatikan dalam penentuan populasi terjangkau
10
penelitian adalah besarnya kemungkinan untuk memperoleh faktor resiko yang
diteliti. Misalnya pada suatu studi cross sectional mengenai infeksi HIV/AIDS,
populasi yang dipilih hendaklah kelompok subjek yang sering terpapar oleh virus
jenis ini, misalnya kaum homoseks atau penyalahguna narkotik. Bila subyek dipilih
dari populasi umum, maka kemungkinan untuk memperoleh subyek dengan HIV
semakin kecil, sehingga diperlukan jumlah subyek yang sangat besar.
Menentukan sampel dan memperkirakan besar sampel harus diperkirakan dengan
formula yang sesuai. Berdasarkan perkiraan besar sampel serta perkiraan prevalens
kelainan, dapat ditentukan apakah seluruh populasi-terjangkau akan diteliti atau
dipilih sampel yang representatif untuk populasi-terjangkau tersebut. Pemilihan
sampel harus dilakukan dengan cara yang benar, agar dapat mewakili populasi
terjangkau. Penetapan besar sampel untuk penelitian cross sectional yang mencari
rasio prevalens sama dengan penetapan besar sampel untuk studi kohort yang mencari
resiko relatif.
4. Melaksanakan pengukuran
Pengukuran variabel bebas (faktor resiko) dan variabel tergantung (efek, atau
penyakit) harus dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip pengukuran. Pengukuran
faktor resiko dapat dilaksanakan dengan berbagai cara bergantung pada sifat faktor
resiko, dapat digunakan kuesioner, catatan medik, uji laboratorium, pemeriksaan fisis,
atau prosedur pemeriksaan khusus. Bila faktor resiko diperoleh dengan wawancara,
maka mungkin diperoleh informasi yang tidak akurat atau tidak lengkap, yang
merupakan keterbatasan studi ini. Oleh karena itu maka jenis studi ini lebih tepat
untuk mengukur faktor resiko yang tidak berubah, misalnya golongan darah dan jenis
kelamin.
Pengukuran efek (penyakit). Terdapatnya efek atau penyakit tertentu dapat ditentukan
dengan kuesioner, pemeriksaan fisis ataupun pemeriksaan khusus, bergantung pada
karakteristik penyakit yang dipelajari. Cara apapun yang dipakai, harus ditetapkan
kriteria diagnosisnya dengan batasan operasional yang jelas.

Harus selalu diingat hal-hal yang akan mengurangi validitas penelitian, seperti
subyek yang tidak ingat akan timbulnya suatu penyakit, terutama pada penyakit yang
timbul secara perlahan-lahan. Untuk penyakit yang mempunyai eksaserbasi atau
11
remisi, penting untuk menanyai subyek, apakah pernah mengalami gejala tersebut
sebelumnya.
5. Menganalisis data
Analisis hubungan atau perbedaan prevalens antar kelompok yang diteliti dilakukan
setelah dilakukannya validasi dan pengelompokan data. Analisis ini dapat berupa
suatu uji hipotesis ataupun analisis untuk memperoleh risiko relatif. Hal yang terakhir
inilah yang lebih sering dihitung dalam studi cross sectional untuk mengidentifikasi
faktor resiko.
Yang dimaksudkan dengan risiko relatif pada studi cross sectional adalah
perbandingan antara prevalens penyakit (efek) pada kelompok dengan risiko
prevalens efek pada kelompok tanpa resiko. Pada studi cross sectional ini, risiko
relatif yang diperoleh bukan risiko relatif yang murni. Risiko relatif yang murni
hanya dapat diperoleh dengan penelitian kohort, dengan membandingkan insiden
penyakit pada kelompok dengan resiko dengan insiden penyakit pada risiko dalam
periode waktu tertentu.
Pada studi cross sectional, estimasi risiko relatif dinyatakan dengan Rasio
Prevalens (RP). Yang dimaksud dengan prevalens adalah perbandingan antara jumlah
subyek dengan penyakit (lama dan baru) pada satu saat dengan seluruh subyek yang
ada. Rasio prevalens dihitung dengan cara sederhana, yakni dengan menggunakan
tabel 2 x 2. Rasio prevalens dapat dihitung dengan formula berikut:

RP = a/(a+b) : c/(c+d)
a/(a+b) = proporsi (prevalens) subyek yang mempunyai faktor risiko yang
mengalami efek
c/(c+d) = proporsi (prevalens) subyek tanpa faktor risiko yang mengalami efek.
Rasio prevalens harus selalu disertai dengan nilai interval kepercayaan
(confidence interval) yang dikehendaki, yang akan menentukan apakah rasio
prevalens tersebut bermakna atau tidak. Interval kepercayaan menunjukkan tentang
nilai rasio prevalens yang diperoleh pada populasi terjangkau apabila dilakukan
berulang-ulang. Cara perhitungan interval kepercayaan untuk rasio prevalens dapat
dilihat dalam buku-buku statistika, atau dapat langsung dihitung dengan berbagai
jenis program statistik untuk komputer. Bagi kita yang terpenting adalah pemahaman
12
bahwa interval kepercayaan tersebut harus dihitung, dan bila telah ada hasil,
mengetahui bagaimana interprestasinya.
Interprestasi hasil
1. Bila nilai risiko prevalens = 1 berarti variabel yang diduga sebagai faktor risiko
tersebut tidak ada pengaruhnya dalam terjadinya efek, atau dengan kata lain ia
bersifat netral. Misalnya semula diduga pemakaian kontrasepsi oral pada awal
kehamilan merupakan faktor risiko untuk terjadinya penyakit jantung bawaan.
Bila dalam penghitungan ternyata rasio prevalens nya = 1, maka dari data yang
ada berarti pemakaian kontrasepsi oral oleh ibu bukan merupakan faktor risiko
untuk terjadinya penyakit jantung bawaan pada bayi yang baru dilahirkan.

2. Bila rasio prevalensnya > 1 dan rentang interval kepercayaan tidak mencakup
angka 1, berarti variabel tersebut merupakan faktor risiko timbulnya penyakit.
Misalnya rasio prevalens pemakaian KB suntik pada ibu menyusui terhadap
kejadian kurang gizi pada anak = 2. Ini berarti bahwa KB suntik merupakan risiko
untuk terjadinya defisiensi gizi pada bayi, yakni bayi yang ibunya akseptor KB
suntik mempunyai risiko menderita defisiensi gizi 2x lebih besar ketimbang bayi
yang ibunya bukan pemakai KB suntik.

3. Apabila nilai rasio prevalensnya <1 dan rentang nilai interval kepercayaan tidak
mencakup angka 1, maka berarti faktor yang diteliti justru akan mengurangi
kejadian penyakit; bahkan variabel yang diteliti merupakan faktor protektif.
Misalnya rasio prevalens pemakai ASI untuk terjadinya diare pada bayi adalah
0.3, berarti bahwa ASI justru merupakan faktor pencegah diare pada bayi,

yakni bayi yang minum ASI mempunyai risiko untuk menderita diare 0.3x
apabila dibandingkan dengan bayi yang tidak minum ASI.
4. Bila nilai interval kepercayaan rasio prevalens mencakup angka 1, maka berarti
pada populasi yang diwakili oleh sampel tersebut mungkin nilai prevalensnya=1,
sehingga belum dapat disimpulkan bahwa faktor yang dikaji tersebut merupakan
faktor risiko atau faktor protektif. Contoh:
13
Rasio prevalens sebesar 3, dengan interval kepercayaan 95% 1.4 sampai 6.8
menunjukkan bahwa dalam populasi yang diwakili oleh sampel yang diteliti, kita
mempunyai kepercayaan sebesar 95% bahwa rasio prevalensnya terletak antara 1.4-
6.8 (selalu lebih dari 1). Dengan demikian maka rasio prevalens tersebut disebut
bermakna. Namun suatu rasio prevalens sebesar 3, dengan interval kepercayaan 95%
antara 0.8-7, menunjukkan bahwa variabel bebas tersebut belum tentu merupakan
faktor risiko, sebab didalam populasi yang diwakili oleh sampel, 95% nilai rasio
prevalens tersebut terletak diantara 0.8-7, mencakup nilai 1. (Rasio prevalens=1
menunjukkan bahwa variabel yang diteliti tersebut bersifat netral). Hal yang sama
juga berlaku untuk faktor protektif (rasio prevalens kurang dari 1); apabila nilai
interval kepercayaan selalu kurang dari satu berarti memang benar bahwa dalam
populasi variabel independen tersebut merupakan faktor protektif, akan tetapi bila
rentang interval kepercayaan mencakup angka 1, faktor yang diteliti tersebut belum
tentu merupakan faktor protektif.belum dapat disimpulkan bahwa faktor yang dikaji
tersebut merupakan faktor risiko atau faktor protektif. Contoh:
Rasio prevalens sebesar 3, dengan interval kepercayaan 95% 1.4 sampai 6.8
menunjukkan bahwa dalam populasi yang diwakili oleh sampel yang diteliti, kita
mempunyai kepercayaan sebesar 95% bahwa rasio prevalensnya terletak antara 1.4-
6.8 (selalu lebih dari 1). Dengan demikian maka rasio prevalens tersebut disebut
bermakna. Namun suatu rasio prevalens sebesar 3, dengan interval kepercayaan 95%
antara 0.8-7, menunjukkan bahwa variabel bebas tersebut belum tentu merupakan
faktor risiko, sebab didalam populasi yang diwakili oleh sampel, 95% nilai rasio
prevalens tersebut terletak diantara 0.8-7, mencakup nilai 1. (Rasio prevalens=1
menunjukkan bahwa variabel yang diteliti tersebut bersifat netral). Hal yang sama
juga berlaku untuk faktor protektif (rasio prevalens kurang dari 1); apabila nilai
interval kepercayaan selalu kurang dari satu berarti memang benar bahwa dalam
populasi variabel independen tersebut merupakan faktor protektif, akan tetapi bila
rentang interval kepercayaan mencakup angka 1, faktor yang diteliti tersebut belum
tentu merupakan faktor protektif.
2.6 Contoh penelitian Cross-sectional

Studi Cross-sectional dengan satu factor resiko


14
Misalnya peneliti ingin mencari hubungan antara kebiasaan menggunakan obat
nyamuk smprot dengan batuk kronik berulang (BKB) pada anak balita dengan desain
cross sectional. Langkah-langkah dalam penelitian ini adalah
1. Penetapan pertanyaan penelitian dan hipotesis

Apakah terdapat hubungan antara kebiasaan memakai obat nyamuk semprot


dengan kejadian BKB pada anak balita ? hipotesis yang sesuai adalah:
Pemakaian obat nyamuk semprot berhungan dengan kejadian BKB pada
balita.

2. Identifikasi variabel

 Factor resiko yang diteliti : penggunaan obat nyamuk semprot


 Efek : BKB pada balita

 Factor resiko yang tidak diteliti : riwayat asma dalam keluarga, tingkat
social ekonomi, jumlah anak, dll.
Semua istilah tersebut harus dibuat definisi operasionalnya dengan jelas,
sehingga tidak bermakna ganda.
3. Penetapan subjek penelitian
 Populasi terjangkau : Balita pengunjung poliklinik yang tidak memiliki
riwayat asma dalam keluarga, tingkat social ekonomi tertentu, jumlah
anak dalam keluarga tertentu.
 Sampel : dipilih jumlah anak balita sesuai dengan perkiraan besar sampel (
misalnya telah dihitung sejumlah 250 anak). cara pemilihan : random
sampling dengan mempergunakan tabel random.
4. Pengukuran
 Faktor resiko : ditanyakan apakah dirumah subjek biasa dipergunakan
obat nyamuk semprot.
 Efek : dengan criteria tertentu ditetapkan apakah subjek menderita BKB.
5. Analisis
Hasil pengamatan tersebut dimasukkan ke dalam tabel 2 x 2.

15
BKB
Obat YA TIDAK JUMLAH
YA 30 70 100
TIDAK 15 135 150
JUMLAH 45 205 250
Gambar. hasil pengamatan untuk mengetahui hubungan antara pemakaian obat
nyamuk semprot dengan kejadian BKB pada balita.

Pada gambar terdapat 100 anak yang terpapar obat nyamuk semprot, 30 anak
diantaranya menderita BKB (prevalens BKB pada kelompok yang terpajan obat
nyamuk semprot = 30/100 = 0,3). Terdapat 150 anak tidak terpajan obat nyamuk
semprot, 15 dianataranya menderita BKB )prevalens BKB bila tidak terpajan obat
nyamuk semprot = 15/150 = 0,1). Maka rasio prevalens = 0,3 / 0,1 = 3.
Selanjutnya perlu dihitung interval kepercayaan rasio prevalens (RP) tersebut.
Bila nilai interval kepercayaan 95% RP tersebut selalu diatas nilai 1 (misalnya antara
1,6 sampai 5,6 dan dapat disimpulkan bahwa penggunaan obat nyamuk semprot
memang merupakan factor resiko untuk terjadinya BKB pada anak. Namun,
meskipun rasio prevalensinya 3, bila interval kepercayaan mencakup angka 1
(mislanya 0,6 sampai 6,7), maka penggunaan obat nyamuk semprot belum dapat
dikatakan bermakna sebagai factor resiko untuk terjadinya BKB pada anak balita,atau
(2) jumlah subjek yang diteliti kurang banyak.
Dari contoh tersebut tampaklah bahwa pada rancangan penelitian cross
sectional factor prevalens adalah penting. Prevalens ialah proporsi subjek yang sakit
pada suatu wajtu tertentu (kasus lama dan baru), yang harus dibedakan dengan
insidens pada rancangan penelitian kohort yang berarti proporsi subjek yang
semulasehat kemudian menjadi sakit (kasus baru) dalam periode tertentu.
Walaupun istilah prevalens seringkali dihubungkan dengan penyakit, tetapi
dapat juga diartikan sebagai bukan penyakit, misalnya prevalens dari factor resiko,
atau factor lain yang akan diteliti. Prevalens sering digunakan oleh perencana
kesehatan untuk mengetahui berapa banyak penduduk yang terkena penyakit tertentu
dan juga penting diklinik untuk mengetahui penyakit yang banyak terdapat dalam
suatu piusat kesehatan. (Sastroasmoro, 1995)
16
2.7 Kekuatan dan Kelemahan Penelitian Cross Sectional

 Kekuatan penelitian cross sectional yang dikutip dari Sayogo (2009) adalah
sebagai berikut:
a. Studi cross sectional memungkinkan penggunaan populasi dari masyarakat
umum, tidak hanya para pasien yang mencari pengobatan, hingga
generalisasinya cukup memadai
b. Relatif murah dan hasilnya cepat dapat diperoleh
c. Dapat dipakai untuk meneliti banyak variabel sekaligus
d. Jarang terancam loss to follow-up (drop out)
e. Dapat dimasukkan ke dalam tahapan pertama suatu penelitian kohort atau
eksperimen, tanpa atau dengan sedikit sekali menambah biaya
f. Dapat dipakai sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya yang bersifat lebih
konklusif
g. Membangun hipotesis dari hasil analisis

 Kelemahan penelitian cross sectional yang dikutip dari Sayogo (2009) adalah
sebagai berikut:
a. Sulit untuk menentukan sebab akibat karena pengambilan data risiko dan efek
dilakukan pada saat yang bersamaan (temporal relationship tidak jelas)
b. Studi prevalens lebih banyak menjaring subyek yang mempunyai masa sakit
yang panjang daripada yang mempunyai masa sakit yang pendek, karena
inidividu yang cepat sembuh atau cepat meninggal mempunyai kesempatan
yang lebih kecil untuk terjaring dalam studi
c. Dibutuhkan jumlah subjek yang cukup banyak, terutama bila variabel yang
dipelajari banyak
d. Tidak menggambarkan perjalanan penyakit, insidensi maupun prognosis
e. Tidak praktis untuk meneliti kasus yang jarang
f. Tidak menggambarkan perjalanan penyakit

17
18
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

 Secara umum studi cross sectional merujuk pada penelitian yang tidak
mempunyai dimensi waktu, pengukuran pelbagai variabel dilakukan satu kali.
 Desain cross sectional dapat dipakai untuk studi deskriptif, studi komparatif,
studi etiologic atau factor resiko.

 Pada studi etiologic, studi cross sectional mencari hubungan antara variabel
bebas 9resiko0 dengan variabel tergantung ( efek). Bila gaktor resiko hanya
satu berskala nominal dikotom, dan efek juga berskala nominal dikotom,
maka dapat diperoleh rasio prevalens, yaitu perbandingan antara prevalens
efek pada kelompok dengan resiko dan pada kelompok tanpa resiko.

 Rasio prevalens = 1 menunjukkan bahwa variabel bebas yang diteliti bukan


merupakan factor resiko. Rasio prevalens >1 menunjukkan bahwa variabel
independen merupakan factor protektif.

 Interval kepercayaan harus diseratakan untuk menyingkirkan kemungkinan


interval rasio prevalens mencakup angka 1. Yang berarti dalam populasi,
variabel independen belum tentu merupakan factor resiko atau factor
protektif.
3.2 Hubungan banyak variabel independen dengan satu variabel dependen dapat
diperoleh dengan mempergunakan analisis multivariate ; yang banyak dengan
mempergunakan analisis multivariate; yang banyak dipakai persamaan regresi
multiple dan regresi logistic.
3.3 Keuntungan studi cross sectional adalah relative murah, mudah, dan hasilnya
cepat diperoleh. Keterbatasannya adalah karena ditentukan mana penyebab
dan mana akibat.
19
DAFTAR PUSTAKA

Budiarto E, Anggraeni D. 2002. Pengantar Epidemiologi Edisi 2. Jakarta: Penerbit


Buku Kedokteran EGC.

Notoatmodjo. 202. Metodologi Penelitian Kesehatan. P Rineka Citra : Jakarta

Nurdini, Allis. 2006. “Cross-Sectional vs Longitudinal: Pilihan Rancangan Waktu


dalam Penelitian Perumahan Pemukiman”. DIMENSI TEKNIK
ARSITEKTUR Vo. 34, No. 1, Juli 2006: 52-58.
Puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/ars/article/ download/…/16449.
Diakses tanggal 23 Mei 2016.

Sastroasmoro, S., Ismael, S. ,1995. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis,cetakan


pertama, Jakarta : Binarupa Aksara.

Sayogo, Savitri. 2009. Studi Cross-sectional Atau Potong Lintang. Jakarta:


Universitas Indonesia.

20

Anda mungkin juga menyukai