Anda di halaman 1dari 16

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Organ reproduksi wanita terdiri dari ovarium

yang merupakan organ utama pada wanita.

Berjumlah sepasang dan terletak di dalam

tongga perut pada daerah pinggang sebelah kiri

dan kanan. Berfungsi untuk menghasilkan sel

ovum dan hormon wanita seperti Estrogen yang

berfungsi untuk mempertahankan sifat

sekunder pada wanita, serta juga membantu

dalam prosers pematangan sel ovum.

Progesterone yang berfungsi dalam

mempertahankan masa kehamilan. Ovarium

diselubungi oleh kapsul pelindung dan

mengandung beberapa folikel. Tiap folikel

mengandung satu sel telur. Tuba fallopi

merupakan saluran memanjang setelah

infundibulum yang bertugas sebagai tempat

fertilisasi dan jalan bagi sel ovum menuju

uterus dengan bantuan silia pada dindingnya

(Price & Wilson, 2005).

Uterus merupakan organ yang berongga dan


2

berotot. Berbentuk sperti buah pir dengan

bagian bawah yang mengecil. Berfungsi

sebagai tempat pertumbuhan embrio. Tipe

uterus pada manusia adalah simpleks yaitu

dengan satu ruangan yang hanya untuks atu

janin. Uterus mempunyai 3 macam lapisan

dinding yaitu Perimetrium yaitu lapisan yang

terluar yang berfungsi sebagai pelindung

uterus. Miometrium yaitu lapisan yang kaya

akan sel otot dan berfungsi untuk kontraksi dan

relaksasi uterus dengan melebar dan kembali ke

bentuk semula setiap bulannya. Endometrium

merupakan lapisan terdalam yang kaya akan

sel darah merah. Bila tidak terjadi pembuahan

maka dinding endometrium inilah yang akan

meluruh bersamaan dengan sel ovum matang

yang disebut dengan menstruasi. Endometrium

terdiri dari 3 fase yaitu fase proliferasi, fase

sekresi dan fase menstruasi.

1.2 Tujuan

a. Untuk mengetahui sistem hormon wanita

b. Untuk mengetahui regulasi neuroendokrin saat menstruasi

c. Untuk mengetahui siklus menstruasi pada wanita


3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Hormon Wanita

Sistem hormon pada wanita terdiri dari tiga

bagian besar yaitu Gonaditropin releasing


4

hormon (GnRH) yang diprodukdi hipotalamus.

Hipotalamus mensekresi GnRH untuk

merangsang hipofisis anterior agar mensekresi

FSH dan LH. FSH berfungsi memacu

pematangan dari folikel dan membantu LH

memacu sekresi hormon estrogen. LH berperan

mempertahankan korpus luteum di bawah

pengaruh LH. Korpus luteum mengeluarkan

estrogen dan progesteron dengan jumlah

progesteron lebih banyak. Estrogen berperan

untuk pembentukan ciri-ciri perkembangan

seksual pada wanita yaitu pembentukan

payudara, lekuk tubuh, rambut kemaluan.

Progesteron berperan mempertahankan

ketebalan endometrium sehingga dapat

menerima implamtasi zygot, membuat lendir

serviks menjadi lebih kental sehingga sulit

dilalui oleh sperma (Guyton & Hall 2007).


5

Gambar 2.1. Proses pembentukan hormon

Berbagai macam hormon ini tidak disekresikan dalam julah konstan

sepanjang daur seksual bulanan wanita. Hormon tersebut disekresi dengan

kecepatan yang sangat berbeda dari setiap siklus. GnRH yang di keluarkan

dari hipotalamus meningkat dan menurun jauh lebih drastis selama siklus

menstruasi. GnRH di sekresikan dalam waktu yang singkat rata-rata sekali

setiap 90 menit.

Gambar 2.2 Grafik hormon terhadap siklus menstruasi

2.2 Regulasi Neuroendokrin saat Menstruasi

Aktivitas saraf menyebabkan pelepasan GnRH (gonadotropin

releasing hormone) dengan cara pulsatil terutama terjadi di dalam

mediobasal hipotalamus khususnya di nukleus arkuatus. Banyak pusat

saraf dalam sistem limbic otak menghantarkan sinyal ke nukleus arkuatus


6

untuk modifikasi intensitas GnRH dan frekuensi pulsasi. Hipotalamus

menyekresikan GnRH secara pulsatil selama beberapa menit yang terjadi

setiap satu sampai tiga jam.Pelepasan GnRH secara pulsatil

menyebabkan pengeluaran LH dan FSH secara pulsatil juga (Guyton,

2006).

Rangkaian peristiwa akan diawali oleh sekresi FSH dan LH yang

menyebabkan produksi estrogen dan progesteron dari ovarium dengan

akibat perubahan fisiologi uterus. Estrogen dan progesteron juga

mempengaruhi produksi GnRH spesifik sebagai mekanisme umpan balik

yang mengatur kadar hormone gonadotropik (Rosenblatt, 2007).

Estrogen menghambat hipotalamus dan hipofisis anterior melalui

umpan balik negatif. Terhadap hipotalamus, estrogen bekerja secara

langsung menghambat sekresi GnRH akibatnya pengeluaran FSH dan LH

yang dipicu oleh GnH menjadi tertekan, tetapi efek primernya terhadap

hipofisis anterior yakni menurunkan kepekaan sel penghasil

gonadotropin, terutama penghasil FSH (Guyton, 2006). Estrogen

memiliki efek yang sangat kuat dalam proses umpan balik negative ini,

bila terdapat progesteron maka efek penghambatan akan berlipat ganda.

Melalui umpan balik positif, kadar estrogen yang rendah dan

meningkat pada fase awal folikel menghambat sekresi LH, tetapi kadar

estrogen yang tinggi pada saat puncak sekresi LH dan menimbulkan

lonjakan LH. Konsentrasi estrogen plasma yang tinggi bekerja langsung

pada hipotalamus untuk meningkatkan frekuensi denyut sekresi GnRH,

sehingga mengingkatkan sekresi LH dan FSH. Kadar tersebut juga


7

bekerja langsung pada hipofisis anterior untuk secara spesifik

meningkatkan kepekaan sel penghasil LH terhadap GnRH. Efek yang

terakhir merupakan penyebab lonjakan sekresi LH yang jauh lebih besar

daripada sekresi FSH pada pertengahan siklus (Sherwood dalam

Saadiah , 2014).

LH berfungsi memicu perkembangan korpus luteum dan merangsang

korpus luteum untuk mengeluarkan hormon steroid, terutama

progesteron.Estrogen konsentrasi tinggi merangsang sekresi LH,

progesteron yang mendominasi fase luteal, dengan kuat menghambat

sekresi FSH dan LH. Proses inhibisi progesteron ini bertujuan untuk

menghambat pertumbuhan folikel baru sehingga sistem reproduksi dapat

dipersiapkan untuk menunjang ovum yang baru dilepaskan. Jika tidak

terjadi pembuahan maka korpus luteum akan mengalami regresi yang

akhirnya akan menyebabkan penurunan hormon steroid secara tajam,

mengakibatkan lenyapnya efek inhibisi dari hormon FSH dan LH

sehingga sekresi kedua hormon ini meningkat. Dibawah pengaruh kedua

hormon ini, sekelompok folikel baru kembali mengalami proses

pematangan (Sherwood dalam Saadiah , 2014; Guyton, 2006).

2.3 Menstruasi

Menstruasi adalah proses pelepasan dinding

rahim (Endometrium) di sertai perdarahan

akibat tidak di buahi oleh sel sperma. Menurut

Cunningham (2005) merupakan perdarahan

yang di sertai penarikan progesteron setelah


8

ovulasi pada siklus non-vertil. Menstruasi

merupakan suatu siklus yang berulang tiap

bulan yang melibatkat hormon-hormon

pertumbuhan (Pratiwi, 2011).

Gambar 2.3 siklus menstruasi

Umumnya panjang siklus menstruasi yang

normal adalah 28±7 hari, dengan lama

menstruasi 4±2 hari. Jumlah darah yang keluar

rata-rata 20–60 ml. Menstruasi pertama kalinya

pada remaja perempuan disebut menarche.

Usia menarche bervariasi antara 10–16 tahun,

tetapi rata-ratanya adalah 12,5 tahun.3 Di

samping itu juga timbulnya ciri-ciri seksual


9

sekunder, misalnya tumbuh rambut kemaluan

dan rambut ketiak. Usia pubertas dipengaruhi

oleh faktor kesehatan dan gizi, juga faktor

sosial ekonomi dan keturunan. Menstruasi

merupakan pertanda masa reproduktif pada

kehidupan seorang perempuan, yang dimulai

dari menarche (menstruasi pertama) sampai

terjadinya menopause (Prawirharjo, 2007)

1.Siklus Ovarium

a. Fase Folikulogenesis

Terjadi hari 1-8 pada awal siklus. Kadar FSH dan LH relatif

lebih tinggi dan memacu perkembangan 10-20 folikel dengan

satu folikel dominan. Tingginya kadar FSH dan LH

merupakan triger turunnya estrogen dan progesteron pada

akhir siklus. Selama dan segera setelah haid, kadar estrogen

relatif rendah tetapi mulai meningkat karna telah terjadi

perkembangan folikel. Hari 9-14 pada fase ini terjadi

kenaikan yang progresif dalam produksi estrogen (terutama

estradiol) oleh sel granulosa dari sel folikel yang berkembang

. Kadar estrogen meningkat maka terjadi umpan balik negatif

ke hormon gonadotropin (Guyton & Hall, 2007).

b. FaseOvulasi

Hari ke 14 dimana lonjakan LH sangat penting


10

pada proses ovulasi. Ovulasi adalah

pembesaran volikel secara cepat yang diikuti

dengan protrusi dari permukaan korteks

ovarium dan pecahnya foliken dengan

pengeluaran oosit (Sheerwood, 2001).

c. Fase Luteal

Hari ke 15 -28 dimana sel granula mengalami

luteinisasi menjadi korpus luteum.

Korpusluteum akan meningkatkan prosuksi

progesteron dan estradiol. korpus luteum akan

mengalami regresi pada hari ke 26-28 dan

terjadilah haid. Jika terjadi konsepsi maka

koepus luteum akan bertahan dan berubah

menjadi korpus luteum gravidarum (Sherwood,

2001).

2.Siklus Endometrium

a. Fase Proliferasi

Setelah masing-masing daerah endometrium mengelupas sewaktu

menstruasi, mulai terjadi proses perbaikan regeneratif, permukaan

endometrium dibentuk kembali dengan metaplasia sel-sel stroma dan dengan

pertumbuhan keluar sel-sel epitel kelenjar endometrium. Dalam tiga hari

setelah menstruasi berhenti, perbaikan seluruh endometrium sudah selesai.

Endometrium pada fase proliferatif dini tipis; kelenjarnya sedikit, sempit,

lurus dan dilapisi sel kuboid, dan stromanya padat. Fase regeneratif dini
11

berlangsung dari hari ke-3 siklus menstruasi hingga hari ke-7, ketika

proliferasi semakin cepat. Kelenjar-kelenjar epitelial bertambah besar dan

tumbuh ke bawah tegak lurus terhadap permukaan. Sel-selnya menjadi

kolumnar dengan nuklei di basal. Sel-sel stroma berproliferasi, tetap padat

dan berbentuk kumparan. Pembelahan sel (mitosis) umum terjadi pada

kelenjar dan stroma (Guyton & Hall, 2007)

Fase proliferasi dini endometrium, 2/3 endometrium stratum fungsional

luruh dan dikeluarkan sewaktu menstruasi. Reepitelisasi endometrium dan

revaskularisasi berlangsung pada hari kelima menstruasi. Pada saat ini

ketebalan mukosa endometrium kira-kira 0,5 mm (Junquiera dan Carneiro,

2007). Kelenjar endometrium masih berupa struktur tubular sempit dengan

bentuk hampir lurus sejajar satu dengan yang lainnya, dengan pembuluh

darah yang banyak dan tampak jelas, tetapi tidak terjadi ekstravasasi darah

(Cuningham et al, 2014). Pada fase proliferasi lanjut, mukosa endometrium

sudah lebih tebal, kira-kira mencapai 2-3 mm (Junquiera dan Carneiro, 2007).

Fase proliferasi berhubungan dengan pertumbuhan folikel di ovarium dan

sekresi estrogen. Sebagai hasil kerja steroid, terjadi rekonstruksi dan

pertumbuhan endometrium. Pada keadaan ini terutama terjadi pertumbuhan

kelenjar. Pada mulanya kelenjar sempit dan berbentuk tabung, dibatasi oleh

sel epitel silindris yang rendah. Selanjutnya terjadi gelombang mitosis yang

mengakibatkan terbentuknya pseudostratifikasi. Kelenjar meluas ke perifer

dan saling terkait satu sama lain. Terbentuk lapisan epitel yang menutup

seluruh permukaan kavum uteri. Semua komponen jaringan ini (kelenjar, sel

stroma, sel endothel) mengalami proliferasi, yang mencapai puncaknya pada


12

hari ke delapan-sepuluh siklus, sebagai akibat naiknya kadar estradiol pada

sirkulasi dan konsentrasi reseptor estrogen yang maksimal di endometrium

(Fritz & Speroff, 2011).

b. Fase Luteal (Sekresi)

Fase ini mulai sesudah ovulasi dan berlangsung dari hari ke-14 sampai

ke-28. Progesteron dan estrogen bersama-sama di seekresi dalam jumlah yang

besar oleh korpus luteum. Pada puncak fase ini sekitar satu minggu setelah

ovulasi, dimana ketebalan endometrium mencapai 5-6 mm. Semua perubahan

yang terjadi di fase ini bertujuan untuk menghasilkan endometrium yang

sekretorik dengan kondisi yang sesuai untuk implantasi ovum yang sudah di

buahi (Price & Wilson, 2005)

Pada fase sekresi (fase luteal) dimulai setelah ovulasi dan dipengaruhi

oleh hormon estrogen yang disekresi oleh korpus luteum. Perubahan histologi

endometrium yang terjadi pada akhir fase ini adalah kelenjar-kelenjar

endometrium yang sangat berkelok-kelok, mukosa endometrium mencapai

ketebalan maksimal yaitu 5 mm yang diakibatkan oleh akumulasi sekret dan

edema stroma (Junquiera dan Carneiro, 2007). Setelah terjadi pertumbuhan

mukosa dan kelenjar di endometrium, arteri spiralis di endometrium juga

mengalami peningkatan ukuran panjang, bahkan lebih cepat dari

pertumbuhan kelenjar, sehingga menyebabkan arteri spiralis ini menjadi

semakin berkelok-kelok dan terkadang terjadi vasodilatasi (Cuningham et al,

2014).

Setelah terjadinya ovulasi, endometrium merespon terhadap aktivitas


13

estrogen dan progesteron. Endometrium tetap tidak bertambah tinggi, setinggi

endometrium praovulasi (lima-enam mm) sekalipun masih terdapat

rangsangan estrogen. Selanjutnya, sekitar tujuh hari paska ovulasi, sel

kelenjar memulai proses sekresi, dan vacuola-vacuola muncul intra luminal.

Pada akhir fase ini, kelenjar tampak "kelelahan", lumen tampak berkelok dan

melebar, dan permukaan masing masing sel terfragmentasi yang tampak

sebagai gigi gergaji. Stroma bertambah edematous, dan banyak pembuluh

darah spiralis (Fritz & Speroff, 2011).

c. Fase Menstruasi

Setelah fase sebelumnya apabila tidak terjadi pembuahan maka korpus

luteum di ovarium tidak berinvolusi dan hormon- hormon ovarium menurun

tajam samapai kadar yang rendah. Menstruasi terjadi karna kurangnya kadara

estrogen dan progesteron dan diikuti dengan involusi endometrium dari

ketebalan semula. Penurunan kadar zat nutrisi endometrium menyebabkan

terjadinya nekrosis pada endometrium khususnya pembuluh darah sehingga

dalah akan merembes ke lapisan vaskular endometrium dan darah akan

bertambah cepat dalam waktu 24- 36 jam. Perlahan-lahan lapisan nekrotik

bagian luar dari endometrium terlepas dari uterus pada daerah perdarahan

sampai 48 setelah menstruasi dan semua lapisan endometrium sudah

berdeskuamasi. Masa jaringan deskuamasi, darah dari kavum uteri ditambah

efek kontraksi prostaglanding dan zat lain yang terdeskuamasi bersama-sama

merangsang kontraksi uterus yang menyebabkan keluarnya isi uterus. Dalam

waktu 4-7 hari sesudah menstruasi maka pengeluaran darah akan berhenti dan

endometrium mulai epitelisasi kembalo (Guyton & Hall, 2007).


14

Pada fase menstruasi kadar estrogen dan progesteron menurun dengan

cepat, menyebabkan kontraksi pada arteri spiralis dan menyumbat aliran

darah. Sehingga menyebabkan iskemi dan nukleus dinding uteri dan lapisan

fungsional endometrium. Hal ini menyebabkan terjadinya perdarahan yang

diikuti dengan terlepasnya sebagian lapisan fungsional endometrium, dan sisa

endometrium mengkerut akibat hilangnya cairan interstitial (Junquiera dan

Carneiro, 2007).

Endometrium saat menstruasi menjadi tipis dan padat, terdiri dari bagian

basalis dan sedikit sisa stratum spongiosum. Keadaan endometrium pada saat

ini berupa kelenjar yang tidak teratur dan pecah, fragmen pembuluh darah dan

stroma serta nekrosis, infiltrasi sel darah putih, dan diapedesis interstitial sel

darah merah. Regenerasi endometrium bermula di stem sel epithelial dan

stromal. Stem sel epithelial endometrium berada di dasar kelenjar, dan stem

sel stromal disekitar pembuluh darah lamina basalis. Tipis dan padatnya

endometrium saat menstruasi tidak hanya disebabkan eloh deskuamasi, tetapi

juga oleh kolapnya matrik penyangga. Dua pertiga dari endometrium

fungsionalis hilang pada saat menstruasi. Semakin cepat hilangnya jaringan,

semakin pendek durasi menstruasi. Proses yang lambat dan tidak lengkap

berkaitan dengan perdarahan yang hebat dan kehilangan darah yang lebih

banyak (Fritz & Speroff, 2011).

BAB III

KESIMPULAN
15

Siklus menstruasi berkaitan dengan pembentukan sel telur dan pembentukan

endometrium. Siklus ini dikendalikan oleh hormon-hormon yang diproduksi oleh

hipotalamus, hipofisis dan ovarium. Pada endometrium terjadi 3 fase yaitu fase

proliferasi yang dipengaruhi oleh meningkatnya kadar estrogen yang dihasilkan

oleh pertumbuhan folikel di ovarium, yang mengakibatkan terjadinya proliferasi

pada epitel, stroma, dan endotel pembuluh darah dalam proses regenerasi

endometrium. Fase sekresi yang ditandai dengan menebalnya endometrium dan

pembentukan korpus luteum dari folikel yang berovulasi dan selanjutnya terjadi

sekresi sebagai persiapan bagi implantasi dan fase menstruasi yang terjadi karena

kadar estrogen dan progesteron menurun dengan cepat, menyebabkan kontraksi

pada arteri spiralis dan menyumbat aliran darah. Sehingga menyebabkan iskemi

dan nukleus dinding uteri dan lapisan fungsional endometrium. Hal ini

menyebabkan terjadinya perdarahan yang diikuti dengan terlepasnya sebagian

lapisan fungsional endometrium, dan sisa endometrium mengkerut akibat

hilangnya cairan interstitial.

DAFTAR PUSTAKA

Cunningham, FG. Gant, N. Jleveno, KLLCG. Health, J.C Wenstrom, KD.


(2014). Obstetry Williams. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Fritz, Speroff. (2011). Clinical Gynecologic Endrocrinology and Infertility. 8th


16

ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins pp.579-83

Guyton & Hall. (2007). Buku ajar Fisiologi Kedokteran. Penerbit buku
kedokteran. EGC

Junqueira, LC. (2007). Persiapan jaringan untuk pemeriksaan mikroskopik.


Histology dasar .edisi 10. Jakarta: EGC

Price S A, Wilson L M. 2005. Patofisioligi klinis peoses-proses penyakit.


Penerbit buku kedokteran. Vol 2. Edisi 6. Jakarta. EGC: 1277-84
Pratiwi A. (2011). Hubungan status gizi dengan keteraturan menstruasi siswi
SMA N 1 Majolaban. Surakarta. Universitas 11 Maret

Prawiharjo S. (2007). Ilmu kandungan . Jakarta. ECG


Rosenblatt P.L.(2007). Menstrual Cycle. The Merck Manual. Available from:
http://www.merck.com/mmhe/sec22/ch241/ch241e.html
Saadiah, S. (2014). Hubungan Aktivitas Fisik dengan Dismenorea pada
Mahasiswi Program Studi Ilmu Keolahragaan.Bandung: Universitas
Pendidikan Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai