untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat, yang ditunjukkan dengan paket berisi tujuan yang
mempunyai batas waktu dan target terukur. MDGs ini disepakati oleh 189 negara Anggota
PBB dalam KTT Millenium PBB bulan September tahun 2000. Selanjutnya, dilegalkan
dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 55/2 tanggal 15 September 2000 tentang Deklarasi
Millenium PBB. Pencapaian MDGs merupakan komitmen negara terhadap rakyat Indonesia
dan komitmen Indonesia kepada masyarakat global.
Pencapaian MDGs tidak dapat dianggap semata-mata hanya mengejar target, tetapi harus
diintegrasikan sebagai program pembangunan, yang dilaksanakan secara berkesinambungan,
walaupun telah melewati tahun 2015. Pencapaian MDGs harus dilakukan dengan strategi
Pengarusutamaan pencapaian MDGs dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN)Tahun 2010-2014 dengan penetapan program/kegiatan, sasaran,
indikator, dan target terukur, serta jaminan penyediaan sumber pembiayaan. Lebih lanjut,
apabila diperhatikan secara seksama, sesungguhnya setiap butir MDGs terkait dengan tujuan
pencapaian kesetaraan dan keadilan gender. Untuk mencapai kedelapan butir MDGs perlu
dilakukan Pengarusutamaan Gender (PUG) di segala bidang pembangunan demi terwujudnya
kesetaraan gender. Ketika kesetaraan gender dalam setiap bidang kehidupan masyarakat telah
dicapai, target MDGs akan ikut tercapai. Begitu juga sebaliknya, setiap butir MDGs sangat
terkait dengan upaya pencapaian kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.
Perempuan memegang peranan yang sangat strategis dalam pencapaian MDGs.
Target yang ingin dicapai yaitu penurunan tingkat kemiskinan yang diukur terhadap garis
kemiskinan nasional dari 13,33 % (2010) menjadi 7,55 % (2015). Prevalensi balita
kekurangan gizi telah berkurang hampir setengahnya, dari 31 % (1989) menjadi 18,4 %
(2007). Target tahun 2015 sebesar 15,5 %, menurut Bappenas diperkirakan akan tercapai.
Pada butir pertama ini, aspek gender yang secara spesifik terkandung yaitu perempuan
sebagai bagian dari keluarga sangat berperan dalam mewujudkan kesejahteraan keluarga.
Saat ini, Kemiskinan masih tetap berwajah perempuan. Dari sekitar 1,2 miliar manusia yang
hidup dalam kemiskinan absolut, 70 % di antaranya adalah perempuan. Cukup banyak
perempuan yang membantu mencari nafkah atau bahkan menjadi pencari nafkah utama
dalam keluarga. Mengurangi tingkat kemiskinan salah satunya dapat dilakukan dengan
pemberdayaan perempuan sebagai kepala keluarga, di dalam usaha kecil-menengah yang
memiliki daya resistensi lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya krisis ekonomi
dibandingkan dengan perekonomian secara makro.
Pencapaian kesetaraan gender dapat dilakukan dengan membangun sumber daya manusia,
tanpa membedakan laki-laki dan perempuan. Berbagai upaya peningkatan peran dan kualitas
hidup perempuan telah dilakukan, agar perempuan dapat bermitra sejajar dengan laki-laki.
Indikator pencapaian target MDGs pada butir ketiga ini terletak pada upaya mengurangi
kesenjangan gender bidang pendidikan di semua tingkatan, baik pada jenjang sekolah dasar,
menengah, maupun tinggi, demikian juga di bidang ketenagakerjaan maupun partisipasi
perempuan dalam ranah legislatif dan politik.
Sampai saat ini, Angka Partisipasi Murni (APM) perempuan di seluruh jenjang pendidikan
tingkat nasional, telah mengalami kemajuan yang signifikan. Pencapaian kesetaraan gender
tersebut diukur dengan Indeks Paritas Gender (IPG) APM atau rasio APM. Pada tahun 2009,
IPG pada tingkat Sekolah Dasar (SD/MI/Paket A) telah mencapai 99,73, di tingkat Sekolah
Menengah Pertama termasuk Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs/Paket B) sebesar 101,99, di
tingkat Sekolah Menengah Atas termasukMadrasah Aliyah (SM/MA/Paket C) sebesar 96,16,
dan di tingkat Pendidikan Tinggi sebesar 102,95. Namun demikian, disparitas antar provinsi
masih menjadi permasalahan, terutama pada tingkat pendidikan menengah dan tinggi. IPG
nasional untuk melek huruf kelompok usia 15-24 tahun hampir mendekati angka 100, dengan
tingkat melek huruf pada kelompok perempuan sebesar 99,40 % dan tingkat melek huruf
pada laki-laki sebesar 99,55 %.
Angka kematian anak balita menurun dari 97 (1991) menjadi 44 per 1.000 kelahiran (2007)
dan diperkirakan target 32 per 1.000 kelahiran pada tahun 2015 dapat tercapai. Di dalam
butir ke empat ini, jelas bahwa seorang ibu/perempuan memegang peranan utama dalam
mengurangi kematian anak dengan memperhatikan gizi dan kesehatannya. Pendidikan,
pengetahuan, dan akses perempuan terhadap pelayanan kesehatan, akan sangat berpengaruh
dalam mengurangi tingkat kematian anak. Diperlukan perencanaan pembangunan sarana dan
prasarana kesehatan yang berperspektif gender, yaitu dengan pembangunan rumah sakit
untuk penduduk miskin, posyandu, dan fasilitas kesehatan lain secara memadai, serta
memperbanyak jumlah dokter di wilayah terpencil,. Bukan hanya meningkatkan
pembangunan dengan fasilitas milik swasta yang mahal dan bertaraf internasional.
Aspek gender yang terdapat pada butir kelima MDGs ini yaitu pentingnya meningkatkan
pendidikan, pengetahuan, dan akses perempuan/ibu terhadap pelayanan kesehatan, khususnya
kesehatan reproduksi. Tingkat Angka Kematian Ibu (AKI) menurun dari 390 (1991) menjadi
228 per 100.000 kelahiran hidup (2007). Berdasarkan analisa Bappenas tahun 2010 target
pencapaian sasaran kelima MDGs sulit tercapai, masih diperlukan upaya keras untuk
mencapai target tahun 2015 yaitu 102 per-100.000 kelahiran hidup.
Pada permasalahan kematian ibu, ketersediaan data masih lemah sehingga pencapaian
program pemerintah pun sulit dilakukan. Penyebab utama terkait kehamilan dan persalinan
ialah perdarahan (28 %). Berdasarkan data Ikatan Bidan Indonesia (IBI), jumlah bidan lebih
dari 83.000 orang, sedangkan jumlah desa sekitar 71.000 desa. Namun, penyebarannya tidak
merata. Masih banyak persalinan ditolong oleh dukun. Selain itu, perlu pula adanya
peningkatan pembangunan rumah sakit/klinik bersalin yang terjangkau oleh perempuan
miskin serta memberikan pendidikan dan pelatihan kepada bidan desa/dukun kelahiran.
6. Memerangi HIV/AIDS, Malaria dan Penyakit Menular Lainnya
Target yang ingin dicapai tahun 2015 adalah menghentikan dan memulai pencegahan
penyebaran HIV/AIDS, gejala malaria, dan penyakit berat lainnya. Terjadi peningkatan
penemuan kasus tuberkulosis (TB) dari 20,0 % (2000) menjadi 73,1 % (2009) dari target 70,0
% (2015). Penurunan prevalensi tuberkulosis dari 443 kasus pada 1990 menjadi 244 kasus
per 100.000 penduduk pada tahun 2009. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2007 yang
hidup dengan virus HIV diperkirakan antara 172.000 dan 219.000, sebagian besar adalah
laki-laki. Namun, perempuan berisiko besar terkena HIV/AIDS dari pasangannya. Risiko
tertular HIV yang dihadapi perempuan muda dua sampai empat kali lebih tinggi
dibandingkan dengan laki-laki muda. Di Asia Tenggara, lebih dari 60 % infeksi baru terjadi
pada perempuan muda.
Masalah utama saat ini adalah rendahnya kesadaran tentang isu-isu HIV dan AIDS serta
terbatasnya layanan untuk menjalankan tes dan pengobatan. Diperlukan sosialisasi secara
terus-menerus kepada kelompok perempuan yang rentan tertular, terutama pada perempuan
dalam kelompok masyarakat adat yang masih menjalankan ritual seks berganti pasangan,
perempuan Pekerja Seks Komersial (PSK), dan remaja. Aspek gender lainnya yang terdapat
dalam butir MDGs ini yaitu perempuan ODHA akan mengalami dampak stigma sosial yang
lebih berat dibandingkan dengan laki-laki. Selanjutnya, Perempuan juga harus diberikan
pengetahuan dan sosialisasi untuk menghentikan dan mulai membalikkan kecenderungan
persebaran malaria dan penyakit-penyakit utama lainnya sebelum tahun 2015.
Dalam butir ketujuh ini, target yang ingin dicapai yaitu: (a) mengintegrasikan prinsip‐prinsip
pembangunan berkelanjutan ke dalam kebijakan dan program nasional serta mengurangi
sumber‐sumber kerusakan lingkungan; (b) menurunkan hingga separuhnya proporsi rumah
tangga tanpa akses terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan serta fasilitas
sanitasi dasar. Saat ini, hanya 47,73 % Rumah Tangga yang memiliki akses berkelanjutan
terhadap air minum layak dan 51,19 % yang memiliki akses sanitasi yang layak.
Permasalahan yang lain yaitu Indonesia memiliki tingkat emisi gas rumah kaca yang tinggi.
Sehingga, sangat diperlukan adanya kebijakan untuk mengurangi emisi karbon dioksida
paling sedikit 26 % selama 20 tahun ke depan.
Dalam hal menjamin keberlanjutan lingkungan hidup, perempuan memegang peranan penting
untuk mendapatkan akses terhadap air bersih untuk kebutuhan rumah tangga, sementara laki-
laki bertanggungjawab mencari air biasanya digunakan untuk kepentingan usahanya, seperti
aktivitas bertani, beternak, dll. Kondisi saat ini, air bersih akan menjadi semakin langka,
karena maraknya kegiatan-kegiatan privatisasi. Sehingga akses terhadap air bersih akan
semakin terbatas, terutama bagi mereka yang tidak mampu membayar distribusi air,
misalnya: keluarga miskin dan keluarga dengan perempuan sebagai kepala keluarga. Oleh
karena itu dalam pencapaian target MDGs butir ketujuh ini, perlu dikeluarkan kebijakan-
kebijakan terkait perlindungan lingkungan dan antisipasi serta penanggulangan dampak
perubahan iklim, dengan mengedepankan perspektif gender.
Dalam mewujudkan target pembangunan millenium diperlukan kerjasama global, agar terjadi
percepatan pembangunan kualitas hidup manusia Indonesia dan pencapaian kesetaraan
gender. Selama ini, Indonesia telah berhasil mengembangkan kemitraan dalam perdagangan
dan sistem keuangan yang terbuka, berdasarkan aturan, bisa diprediksi serta non-
diskriminatif. Kemajuan signifikan telah dicapai dalam mengurangi rasio utang LN terhadap
GDP dari 24,6 % (1996) menjadi 10,9 % (2009). Selain itu, bentuk kemitraan global yang
juga dilakukan adalah kerjasama dengan negara/lembaga donor dalam pelaksanaan
dan monitoring berbagai program kesejahteraan rakyat termasuk program kesetaraan gender.
Kerjasama global ini juga dapat dillakukan sebagai upaya mengintegrasikan sistem anggaran
yang responsif gender dalam anggaran nasional.
DPR-RI memegang peranan yang sangat strategis untuk merumuskan kebijakan dan anggaran
yang mendukung percepatan pencapaian MDGs. Peran DPR dalam mencapai MDGs
dilakukan sesuai dengan fungsi DPR-RI. Pasal 69 (1) UU No. 27/Tahun 2009 tentang MPR,
DPR, DPD, dan DPRD (MD3). DPR-RI mempunyai fungsi legislasi, anggaran, dan
pengawasan.
1. Fungsi Legislasi
g. UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu (memasukkan tentang tindakan afirmatif 30%
perempuan dalam daftar calon dan sistem zipper);
h. UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (memasukkan tentang 30% perempuan
dalam pendirian dan kepengurusan tingkat pusat parpol);
2. Fungsi Anggaran
3. Fungsi Pengawasan
6. Memberikan insentif fiskal bagi daerah-daerah yang mampu mencapai target MDGs dan
yang berhasil menerapakan sistem jaminan sosial yang menyeluruh.
9. Meningkatkan alokasi anggaran kesehatan minimal 5% dari PDB. Saat ini pengeluaran
kesehatan Indonesia terendah di kawasan Asia Tenggara, bahkan hanya 1/3 dari anggaran
kesehatan Filiphina yang berada diurutan kedua terendah.
10. Memperbaiki sistem data base kependudukan sebagai basis data pencapaian indikator
MDGs dan penggunaan data terpilah berdasarkan gender. Indikator MDGs khususnya
kematian Ibu dan anak merupakan data yang paling tidak up to date memiliki banyak versi.
Dina Martiany
Email: dina8333@gmail.com
Referensi:
2. Singgih, Ujianto P., “Peran DPR-RI dalam Pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium:
Studi Kasus DPR-RI Periode 2004-2009”, Indonesian Forum of Parliament on Population
and Development (IFPPD), Jakarta, Desember 2009.
http://www.smeru.or.id/report/training/menjembatani_penelitian_dan_kebijakan/untuk_organ
isasi_advokasi/files/112.pdf, diakses pada tanggal 3 September 2010.
*****
Poskan Komentar