Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Gender

1. Konsep Gender

Gender menjadi isu penting dan istilah yang sering

diperbincangkan akhir-akhir ini. Gender telah memasuki perbendaharaan

di setiap diskusi dan tulisan sekitar perubahan sosial dan pembangunan di

Dunia Ketiga. Demikian juga di Indonesia, hampir semua uraian tentang

program pengembangan masyarakat maupun pembangunan di kalangan

organisasi non pemerintah diperbincangkan masalah gender. Namun dari

pengamatan, masih banyak terjadi kesalahpahaman tentang apa yang

dimaksud dengan konsep gender dan kaitannya dengan perjuangan

perempuan untuk mendapatkan kesetaraan dan keadilan. Banyak orang

yang mempunyai persepsi bahwa gender selalu berkaitan dengan

perempuan, sehingga setiap kegiatan yang bersifat perjuangan menuju

kesetaraan dan keadilan gender hanya dilakukan dan diikuti oleh

perempuan tanpa harus melibatkan laki-laki.

Kesalahpahaman tentang konsep gender ini sebagai akibat dari

belum dipahaminya secara utuh atau kurangnya penjelasan tentang konsep

gender dalam memahami sistem ketidakadilan sosial dan hubungannya

dengan ketidakadilan lainnya. Oleh karena itu untuk memahami konsep

gender harus dibedakan kata gender dengan kata seks.


Seks adalah perbedaan jenis kelamin yang ditentukan secara

biologis, yang secara fisik pada masing-masing jenis kelamin, laki-laki

dan perempuan. Perbedaan jenis kelamin merupakan kodrat atau ketentuan

Tuhan, sehingga sifatnya permanen dan universal. Jadi jelas bahwa jenis

kelamin atau seks adalah perbedaan biologis hormonal dan anatomis

antara perempuan dan laki-laki. Sex tidak bisa berubah, permanen dan

tidak bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan karenanya bersifat

mutlak.

2. Pengertian Gender

Gender adalah peran dan kedudukan seseorang yang

dikonstruksikan oleh budaya karena seseorang lahir sebagai perempuan

atau lahir sebagai laki-laki. Sudah menjadi pemahaman bahwa laki-laki

itu akan menjadi kepala keluarga, pencari nafkah, menjadi orang yang

menentukan bagi perempuan. Seseorang yang lahir sebagai perempuan,

akan menjadi ibu rumah tangga, sebagai istri, sebagai orang yang

dilindungi, orang yang lemah, irasional, dan emosional. gender bisa

dimaknai sebagai pembeda yang bersifat sosial budaya, akibat perbedaan

jenis kelamin. (Secara biologis, laki-laki dan perempuan memiliki

perbedaan esensial yang tidak mungkin berubah. Gaya hidup, dan peran

keseharian laki-laki dan perempuan lebih disebabkan oleh interaksi

mereka dengan lingkungan sosial dan apresiasi mereka terhadap nilainilai

budaya yang disepakati bersama. Gender dapat berubah, dapat


dipertukarkan, tergantung waktu, budaya setempat, bukan merupakan

kodrat Tuhan, melainkan buatan manusia (Azza, Awatiful, 2009)

Secara umum gender dapat didefinisikan sebagai perbedaan peran,

kedudukan dan sifat yang dilekatkan pada kaum laki-laki maupun

perempuan melaui konstruksi secara sosial maupun kultural. Sedangkan

menurut Oakley (1972) dalam Fakih (1999), gender adalah perbedaan

perilaku antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara

sosial, yakni perbedaan yang bukan kodrat dan bukan ketentuan Tuhan

melainkan diciptakan oleh manusia melalui proses sosial dan kultural.

Lebih lanjut dikemukakan oleh Haspels dan Suriyasarn, gender adalah

sebuah variabel sosial untuk menganalisa perbedaan laki-laki dan

perempuan yang berkaitan dengan peran, tanggung jawab dan kebutuhan

serta peluang dan hambatan. Oleh karena dibentuk secara sosial budaya,

maka gender bukan kodrat atau ketentuan Tuhan, bersifat tetap, sehingga

dapat diubah dari masa ke masa, berbeda untuk setiap kelas dan ras.

Selama ini, masyarakat di mana kita tinggal lah yang menciptakan

sikap dan perilaku berdasarkan gender, yang menentukan apa yang

seharusnya membedakan perempuan dan lakilaki. Keyakinan akan

pembagian tersebut diwariskan secara turun temurun, melalui proses

belajar di dalam keluarga dan masyarakat, melalui proses kesepakatan

sosial, bahkan tidak jarang melalui proses dominasi. Artinya, proses

sosialisasi konsep gender kadang dilakukan dengan cara halus maupun

dalam bentuk indoktrinasi. Proses itu menuntut setiap orang (laki-laki dan

perempuan) berpikir, bersikap, bertindak sesuai dengan ketentuan sosial


budaya di mana mereka tinggal. Sejarah perbedaan gender antara laki-laki

dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang, melalui proses

sosialisasi, diperkuat, bahkan dikonstruksikan secara sosial, kultural,

melalui ajaran agama maupun negara ( Dewi Rostyaningsih, 2010)

Gender sama sekali berbeda dengan pengertian jenis kelamin.

Gender hanya memuat perbedaan fungsi dan peran sosial laki-laki dan

perempuan, yang terbentuk oleh lingkungan sosial. Gender tercipta

melalui proses sosial budaya yang panjang dalam suatu lingkup

masyarakat tertentu, sehingga dapat berbeda dari satu tempat ke tempat

lainnya. Gender juga berubah dari waktu ke waktu sehingga bisa berlainan

dari satu generasi ke generasi berikutnya (Azza, Awatiful, 2009).

Peran gender adalah peran yang diciptakan masyarakat baik laki-

laki dan perempuan. Peran gender terbentuk melalui berbagai sistem nilai

termasuk nilainilai adat, pendidikan, agama, politik, ekonomi, dan lain

sebagainya. Dalam masyarakat tradisional- patriarkhi dengan jelas ada

pemisahan yang tajam bukan hanya pada peran gender tetapi juga pada

sifat gender (Ilyas, 2006). Perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan

dianggap sebagai konsekuensi wajar dari perbedaan biologis.

Perkembangan hasil penelitian ilmu sosial tentang gender menunjukkan

bahwa laki-laki dan perempuan berbeda tidak hanya sekedar akibat dari

perbedaan biologis antara keduanya, namun proses sosial dan budaya juga

telah turut mempertajam perbedaan antara laki-laki dan perempuan (Azza,

Awatiful, 2009).
Sayangnya, gender selama ini dipahami secara keliru dan dianggap

sebagai kodrat yang berarti ketentuan Tuhan. Misalnya, mendidik anak,

mengelola dan merawat kebersihan dan keindahan rumah adalah

konstruksi sosial dan kultural dalam masyarakat tertentu. Padahal peran

tersebut dapat dipertukarkan karena bisa saja dilakukan laki-laki.

Pembedaan peran gender ini sangat membantu kita untuk memikirkan

kembali tentang pembagian peran yang selama ini dianggap telah melekat

pada manusia perempuan dan laki-laki. Dengan mengenali perbedaan

gender sebagai sesuatu yang tidak tetap , tidak permanen memudahkan

kita untuk membangun gambaran tentang realitas relasi perempuan dan

laki-laki yang dinamis yang lebih tepat dan cocok dengan kenyataan yang

ada dalam masyarakat. Dengan kata lain mengapa kita perlu memisahkan

perbedaan jenis kelamin biologis dan gender adalah karena konsep jenis

kelamin biologis yang bersifat permanen dan statis itu tidak dapat

digunakan sebagai alat analisis yang berguna untuk memahami realitas

kehidupan dan dinamika perubahan relasi laki-laki dan perempuan ( Dewi

Rostyaningsih, 2010).

Di lain pihak alat analisis sosial yang telah ada seperti analisis

kelas, analisis diskursus dan analisis kebudayaan yang selama ini

digunakan untuk memahami realitas sosial tidak dapat menangkap realitas

adanya relasi kekuasaan yang didasarkan pada relasi gender dan sangat

berpotensi menumbuhkan penindasan. Dengan begitu analisis gender

sebenarnya menggenapi sekaligus mengoreksi alat analisis sosial yang ada

yang dapat digunakan untuk meneropong realitas relasi sosial lelaki dan
perempuan serta akibat-akibat yang ditimbulkannya ( Dewi Rostyaningsih,

2010).

Jadi jelaslah mengapa gender perlu dipersoalkan. Perbedaan

konsep gender secara sosial telah melahirkan perbedaan peran perempuan

dan laki-laki dalam masyarakatnya. Secara umum adanya gender telah

melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, fungsi dan bahkan ruang

dan tempat di mana manusia beraktivitas. Sedemikian rupanya perbedaan

gender ini melekat pada cara pandang kita, sehingga kita sering lupa

seakan-akan hal itu merupakan sesuatu yang permanen dan abadinya ciri

biologis yang dimiliki oleh perempuan dan laki-laki ( Dewi Rostyaningsih,

2010).

3. Teori Gender

1. Teori Nurture.

Menurut teori ini perbedaan laki-laki dan perempuan pada

hakekatnya adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan

peran dan tugas yang berbeda. Konstruksi sosial budaya selama ini

menempatkan perempuan dan laki-laki dalam kelas yang berbeda. Laki-

laki selalu lebih superior dibandingkan perempuan. Perjuangan untuk

persamaan dipelopori oleh kaum feminis internasional yang cenderung

mengejar persamaan dengan konsep sama rata, konsep ini kemudian

dikenal dengan istilah perfect equality. Perjuangan tersebut sulit tercapai

karena berbagai hambatan dari nilai agama dan budaya.

2. Teori Nature.
Menurut teori nature, perbedaan laki-laki dan perempuan adalah

kodrat yang harus diterima. Perbedaan biologis memberikan dampak

berupa perbedaan peran dan tugas diantara keduanya. Ada peran dan tugas

yang dapat dipertukarkan, tetapi ada pula yang tidak dapat dipertukarkan

karena memang berbeda secara kodrat alamiah. Dalam kehidupan sosial

terdapat pembagian tugas, sehingga teori ini melahirkan pemikiran

struktural fungsional yang menerima perbedaan peran asal dilakukan

secara demokratis dan dilandasi oleh kesepakatan bersama.

3. Teori Keseimbangan

Selain dua teori yang bertolak belakang tersebut, terdapat teori

yang berusaha memberikan kompromi yang menekankan pada konsep

kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan laki-laki dan perempuan.

Pandangan ini tidak mempertentangkan antara laki-laki dan perempuan

namun menuntut perlunya kerjasama yang harmonis antara keduanya

(Azza, Awatiful, 2009).

4. Dampak Konsep Gender

Pembagian yang ketat antara peran, posisi, tugas dan kedudukan

antara perempuan dan laki-laki telah menyebabkan ketidakadilan terhadap

perempuan dan laki-laki. Misalnya laki-laki diposisikan sebagai kepala

rumah keluarga oleh masyarakat, di satu sisi karena posisinya ini misalnya

ia bisa mendapat akses atas pendidikan yang lebih baik dibandingkan

perempuan, tetapi di sisi lain jika ia tidak bekerja atau menganggur ia akan
dilecehkan oleh masyarakat. Sedangkan untuk perempuan, karena ia

diposisikan sebagai ibu rumah tangga maka ia dibebankantanggung jawab

untuk mengurus rumah tangga dan mengasuh anak yang membutuhkan

energi yang banyak, tetapi di sisi lain jika ia tidak bekerja mencari nafkah

maka tidak ada tuntutan kepadanya. Dampak ketidakadilan gender ini

dalam masyarakat yang sangat patriarkis lebih dirasakan oleh kaum

perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Dalam konteks inilah sangat

penting untuk membicarakan konsep gender yang adil yang dapat

menciptakan kesejahteraan baik bagi perempuan maupun laki-laki.

B. Gerakan Sayang Ibu (GSI)

1. Pengertian

Gerakan Sayang Ibu (GSI) adalah gerakan yang mengembangkan

kualitas perempuan utamanya melalui percepatan penurunan angka

kematian ibu yang dilaksanakan bersama-sama oleh pemerintah dan

masyarakat dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia dengsn

meningkatkan pengetahuan, kesadaran, dan kepedulian dalam upaya

interatif dan sinergis.

GSI didukung pula oleh Aliansi Pita Putih ( White Ribbon

Alliance) yaitu suatu aliansi yang ditujukan untuk mengenang semua

wanita yang meninggal karena kehamilan dan melahirkan. Pita putih

merupakan simbol kepedulian terhadap keselamatan ibu yang menyatukan

individu, organisasi dan masyarakat yang bekerja sama untuk

mengupayakan kehamilan dan persalinan yang aman bagi setiap wanita.


GSI diharapkan dapat menggerakan masyarakat untuk aktif terlibat

dalam kegiatan seperti membuat tabulin, pemetaan bumil dan donor darah

serta ambulan desa. Untuk mendukung GSI, dikembangkan juga program

suami SIAGA dimana suami sudah menyiapkan biaya pemeriksaan dan

tempat persalinan serta siap menjaga dan menunggui istri melahirkan.

3 (tiga) unsur pokok :

Pertama : gerakan sayang ibu merupakan gerakan yang dilaksanakan oleh

masyarakat bersama dengan pemerintah.

Kedua : gerakan saynag ibu mempunyai tujuan untuk peningkatan dan

perbaikan kualitas hidup perempuan sebagai sumber daya manusia.

Tiga : gerakan sayang ibu bertujuan untuk mempercepat penurunan angka

kematian ibu karena hamil, melahirkan dan nifas.

2. . Tujuan Gerakan Sayang Ibu

1) Menurunkan angka kematian ibu karena hami, melahirkan dan nifas

serta menurunkan angka kematian bayi

2) Meningkatkan pengetahuan ibu atau kaum perempuan mengenai

Penyakit Menular Seksual (PMS)

3) Meningkatkan pengetahuan ibu atau kaum perempuan mengenai

perawatan kehamilan, proses melahirkan yang sehat, pemberian ASI

eksklusif dan perawatan bayi.

4) Menetapkan komitmen dan dukungan terhadap Gerakan Sayang Ibu


5) Meningkatkan kepedulian dan dukungan sektor terkait pada upaya-

upaya penanggulangan penyebab kematian ibu dan bayi secara terpadu

6) Meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat dalam

engembangkan dan membangun mekanisme rujukan sesuai dengan kondisi

daerah

7) Meningkatkan kepedulian dan peran serta institusi masyarakat dan

swasta (LSM, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi) dalam

perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi dalam pengumpulan data

ibu hamil, bersalin dan nifas di tingkat kelurahan dan kecamatan.

8) Meningkatkan fungsi dan peran institusi kesehatan baik pemerintah

maupun swasta dalam pelayanan kesehatan yang aman, ramah dan nyaman

bagi ibu dan bayi

9) Meningkatkan upaya masyarakat dalam mengubah budaya masyarakat

yang merugikan kesehatan ibu hamil, bersalin, nifas seperti bayi yang di

lahirkan.

10) Meningkatkan upaya pengembangan dana perawatan ibu hamil,

bersalin, nifas sera perawatan bayi di setiap wilayah kelurahan di bawah

koordinasi camat.

3. Sasaran Gerakan Sayang Ibu

a) Langsung : Caten ( Calon Penganten)

Pasangan Usia Subur (PUS)


Ibu hamil, bersalin dan nifas

Ibu meneteki masa perawatan bayi

Pria/suami dan seluruh anggota keluarga

b) Tidak Langsung : Sektor terksit

Institusi kesehatan

Institusi Masyarakat

Tokoh masyarakat dan agama

Kaum bapak/pria

Media massa

4. Ruang Lingkup Gerakan Sayang Ibu

a) Meningkatkan kualitas hidup perempuan dan anak melalui upaya

penurunan angka kematian ibu dan bayi

b) Meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku suami istri dan

masyarakat mengenal hak-hak reproduksi dan kesehatan reproduksi.

c) Menghilangkan hambatan-hambatan yang mempengaruhi upaya

peningkatan kualitas hidup perempuan


5. Strategi Gerakan Sayang Ibu

Melalui pendekatan kemasyarakatan, dikembangkan dalam bentuk :

a) Desentralisasi

b) Kemandirian

c) Keluarga

d) Kemitraan

6. Perencanaan dan pelaksanaan Gerakan Sayang Ibu

Melalui langkah-langkah sebagai berikut :

1. Identifikasi masalah

2. Penentuan masalah

3. Penentuan tujuan

4. Pengembangan alternatif pemecahan maslaah

5. Pene ntuan rencana operasional

Terdiri dari : - Langkah kegiatan (jadwal kegiatan)

- Tenaga pelaksana

- Dukungan dana dan saran

- Monitoring dan pelaporan

- Evaluasi kegiatan
7. Pelaksanaan Kegiatan Gerakan Sayang Ibu

1. Unsur Operasional

a. Kegiatan advokasi dan KIE

b. Pengembangan pesan advokasi dan KIE GSI

c. Pemberdayaan dalam keluarga. Masyarakat dan tempat pelayanan

kesehatan

d. Memadukan kegiatan GSI, pondok bersalin dan posyandu

2. Unsur Pendukung

a. Orientasi dan penelitian

b. Pendataan, pemantauan, pemetaan bumil, bulin, bufas dan bayi

c. Mendukung upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan

d. Peningkatan peran bidan

Tugas pokok satgas Gerakan Sayang Ibu meliputi :

a) Menyusun rencana kerja dalam rangka menurukan AKI dan AKB serta

mengumpulkan dana untuk ambulance kecamatan dan tabulin

b) Advokasi kepada TOMA, TOGA dan TOPOL dapat mendukung GSI

wilayah tersebut

c) Penyuluhan kepada keluarga serta bumil, bulin dan bufas dan bayi yang

dilakukan
d) Mengumpulkan data informasi bumil, bulin, bufas dan bayi yang

dilakukan

e) Memberikan tanda pada bumil beresiko tinggi untuk kemudian dipantau

dan di informasikan ke bidan puskesmas

f) Membantu merujuk

Memantau keberhasilan Gerakan Sayang Ibu (GSI)

Beberapa hal yang perlu dipantau untuk melihat keberhasilan pelaksanaan

GSI antara lain :

a) Sektoral terkait berperan aktif dalam kegiatan operasional

b) Setiap persalinan ditolong oleh tenakes

c) Kecamatan dan kelurahan dapat melaksanan kegiatan KIE dengan baik

d) Kecamatan dan kelurahan dapat melakukan rujukan dengan baik

artinya:

o Tersedianya kendaraan untuk membantu bumil melahirkan dan nifas

yang membutuhkan

o Tersedianya biaya untuk rujukan

o Sarana pelayanan kedaruratan medik untuk setiap kasus emergensi

kehamilan, persalinan dan nifas


8. Indikator Keberhasilan Sebelum dan Sesudah GSI

Semakin dan mantapnya peranan organisasi masyarakat dalam GSI,

seperti :

1. Meningkatkan dan mantapnya masyarakatnya menjadi kader KIE GSI

2. Mendata ibu hamil dalam lingkungannya termasuk data mengenai :

a) Jumlah ibu hamil

b) Umur, kehamilan, riwayat kehamilan, persalinan dan rencana

persalinan

c) Mengenai kehamilan yang beresiko dan rencana tindaklanjutnya

3. Menyampaikan data-data tersebut kepada Satgas GSI setempat

4. Semakin tumbuhnya ide-ide baru dari masyarakat

Semakin meningkat dan mantapnya pengetahuan dan pemahaman

mengenai GSI, seperti :

1. Mengenal kelainan kehamilan sedini mungkin dan segera

membawanya ke fasilitas kesehatan.

2. Mempersiapkan biaya persalinan dan perlengkapan bayi

3. Memeriksakan ibu hamil di sarana kesehatan atau bidan terdekat

minimal 4 kali.

4. Mempersiapkan segala kemungkinan yang dapat timbul selama

kehamilan dan persalinan (mempersiapkan donor darah, kendaraan,

dsb)
5. Melaksanakan keadilan dan kesetaraan gender dalam rumah tangga

6. Memberi keluarga untuk mendapatkan pendidikan

Setinggi mungkin sesuai dengan kemampuan ekonomi keluarga :

1. Menghindarkan perkawinan remaja putri sebelum usia 20 tahun.

2. Suami-istri merencanakan jumlah anak, waktu mengandung

dengan mempertimbangkan kesehatan istri serta memberi peluang

istri untuk meningkatkan potensinya dalam berbagai bidang

kehidupan.

3. Semua kehamilan merupakan kehamilan yang diinginkan

4. Memperhatikan makanan ibu hamil dan menghindarkan ibu hamil

bekerja keras.

Ibu hamil semakin mengenali masalah kehamilan seperti :

1. Menyiapkan biaya persalinan dan perawatan bayi

2. Melaksanakan berbagai kegiatan demi kesehatan kehamilan dan

kelahirannya

3. Memberikan perawatan kepada bayi yang dilahirkan

Hambatan

Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah baik dengan GSI ataupun

Safe Motherhood telah memungkinkan ditambahnya sarana dan prasarana

untuk mengajak ibu hamil dan melahirkan makin dekat pada pelayanan

medis yang bermutu.


Akan tetapi GSI juga menemui hambatan dalam pelaksanaannya,

antara lain :

1. Secara struktural

Berbagai program tersebut masih sangat birokratis sehingga orientasi yang

terbentuk semata-mata dilaksanakan karena ia adalah program wajib yang

harus dilaksanakan berdasarkan SK (Surat Keputusan)

2. Secara Kultural

Masih kuatnya anggapan/pandangan masyarakat bahwa kehamilan dan

persalinan hanyalah persoalan wanita

MODEL ASUHAN KEBIDANAN : PRINSIP-PRINSIP SAYANG

IBU

Asuhan kebidanan merupakan metode pemberian asuhan yang

berbeda dengan model perawatan medis. Bidan-bidan diseluruh dunia

sependapat bahwa prinsip-prinsip asuhan kebidanan adalah sebagai berikut

1. Memahami bahwa kelahiran anak merupakan suatu proses alamiah dan

fisiologis

2. Menggunakan cara-cara yang sederhana, tidak melakukan intervensi

tanpa adanya indikasi sebelum berpaling ke teknologi

3. Aman, berdasarkan fakta, dan memberi konstribusi pada keselamatan

jiwa ibu
4. Terpusat pada ibu, bukan terpusat pada pemberi asuhan

kesehatan/lembaga (sayang ibu)

5. Menjaga privasi dan kerahasiaan ibu

6. Membantu ibu agar merasa aman, nyaman dan didukung secara

emosional

7. Memastikan bahwa kaum ibu mendapatkan informasi, penjelasan dan

konseling yang cukup

8. Mendorong ibu dan keluarga agar menjadi peserta aktif dalam

membuat keputusan setelah mendapat penjelasan mengenai asuhan

yang akan mereka dapatkan

9. Menghormati praktek-praktek adat, dan keyakinan agama mereka

10. Memantau kesejahteraan fisik, psikologis, spiritual dan sosial

ibu/keluarganya selama masa kelahiran anak

11. Memfokuskan perhatian pada peningkatkan kesehatan dan pencegahan

penyakit

Penggunaan obat-obatan atau prosedur pengobatan selama

kehamilan, persalinan, atau postpartum secara rutin dapat mengakibatkan

terjadinya cedera bagi ibu dan bayinya. Tindakan rutin tersebut, seperti

episiotomi, enema, dan pengisapan bagi semua bayi yang dilakukan secara

rutin tidak terbukti memberi manfaat. Bidan yang sudah terampil perlu

mengetahui kapan untuk tidak melakukan apapun. Asuhan selama masa

kehamilan, kelahiran, post partum dan juga pengobatan komplikasi harus

didasarkan bukti-bukti ilmiah. Bidan yang sudah terampil, biasanya

mengetahui waktu yang tepat untuk tidak melakukan suatu tindakan.


Kehamilan dan persalinan merupakan suatu proses normal,

alamiah, dan sehat. Sebagai bidan, kita harus mendukung dan melindungi

proses persalinan. Sebagai bidan, kita yakin bahwa model asuhan

kebidanan, mendukung dan melindungi proses persalinan normal yang

merupakan cara paling sesuai bagi mayoritas kaum ibu selama kehamilan

dan persalinan.

Dokumen WHO ( Safe Motherhood) menjelaskan salah satu cara

untuk memberi asuhan yang bersifat sayang ibu. Di seluruh dunia,

asuhan jenis ini kini sedang dimasyarakatkan dan sudah terbukti efektif

karena kaum ibu merasa nyaman dengan asuhan ini dan akan terus

berupaya untuk mendapatkannya. Hal ini konsisten pula dengan cara bidan

memberi jasa pelayanan secara tradisional.

Jika pelayanan diberikan dengan penuh hormat dan rasa peduli

yang peka sesuai kebutuhan ibu, serta memberi rasa percaya yang besar,

ibu akan lebih memilih asuhan seperti ini dan merekomendasikan hal ini

pada ibu-ibu yang lain. Badan Coalition for Traproving Maternity Services

(CIMS) melahirkan Safe Motherhood Initiative pada tahun 1987. Badan

ini terdiri dari sejumlah individu dan organisasi nasional yang misinya

untuk mempromosikan kesempurnaan model asuhan persalinan yang dapat

meningkatkan hasil kelahiran serta menghemat biaya. Misi ini berdasarkan

penelitian, sayang ibu, bayi dan keluarganya dan memfokuskan pada

pencegahan dan kesempurnaan sebagai alternatif untuk penapisan,

diagnosis, dan program perawatan yang berbiaya tinggi. Salah satu prinsip
yang mendasari pemikiran tersebut ialah model asuhan kebidanan ini

mendukung dan melindungi proses kelahiran normal (Syafrudin, 2009)

Anda mungkin juga menyukai