Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
HIV adalah human immunodeficiency virus yakni virus yang bisa berujung
menjadi AIDS ( Acquired Immunodeficiency Syndrome) .Lebih jelasnya AIDS
merupakan suatu syndrome/kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus
HIV yang menyerang sistem kekebalan atau pertahanan tubuh sehingga
menyebabkan kerusakan yang parah dan sejauh ini belum diketahui obatnya.
Diperkirakan 17 juta wanita terinfeksi HIV (HIV +) di seluruh dunia  (WHO,
2014). Laporan Epidemi HIV (Human Immunodeficiency Virus)  Global
UNAIDS (United Nations Programme on HIV-AIDS) 2012 menunjukkan bahwa
terdapat 34 juta orang dengan HIV di seluruh dunia. Sebanyak 50% di antaranya
adalah perempuan dan 2,1 juta anak berusia kurang dari 15 tahun. Di Asia Selatan
dan Tenggara, terdapat kurang lebih 4 juta orang dengan HIV dan AIDS (Acquired
Immunodeficiency Syndrome). Menurut Laporan Progres HIV-AIDS WHO Regional
SEARO (2011) sekitar 1,3 juta orang (37%) perempuan terinfeksi HIV (Kemenkes
RI, 2012).
Setiap tahunnya jumlah perempuan yang terinfeksi HIV semakin meningkat,
seiring dengan meningkatnya jumlah laki-laki yang melakukan hubungan seksual
tidak aman, yang selanjutnya akan menularkan pada pasangan seksualnya. Di
sejumlah negara berkembang HIV-AIDS merupakan penyebab utama
kematian perempuan usia reproduksi. Infeksi HIV pada ibu hamil dapat mengancam
kehidupan ibu serta ibu dapat menularkan virus kepada bayinya. Lebih dari 90%
kasus anak terinfeksi HIV, dapat ditularkan melalui proses penularan dari ibu ke
anak atau mother-tochild  HIV transmission (MTCT). Selama kehamilan, saat
persalinan dan saat menyusui (Kemenkes RI, 2012).
Data estimasi UNAIDS/WHO (2009) juga memperkirakan 22.000 anak di
wilayah Asia-Pasifik terinfeksi HIV dan tanpa pengobatan, setengah dari anak yang

1
terinfeksi tersebut akan meninggal sebelum ulang tahun kedua. Program Pencegahan
Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) telah terbukti sebagai intervensi yang sangat
efektif untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke anak. Di negara maju risiko anak
tertular HIV dari ibu dapat ditekan hingga kurang dari 2% karena tersedianya
intervensi PPIA dengan layanan optimal. Namun di Negara berkembang atau negara
miskin, dengan minimnya akses intervensi, risiko penularan masih berkisar antara
20% dan 50%.
Menurut laporan UNAIDS (2009), terdapat kemajuan signifikan dalam
mencegah penularan HIV dari ibu ke anak. Pada tahun 2008 diperkirakan 21% ibu
hamil yang melahirkan di negara berpendapatan rendah dan menengah telah dites
HIV, angka ini meningkat dibandingkan tahun 2007 (15%). Sementara itu, 45% dari
ibu hamil yang terinfeksi HIV di negara berpendapatan rendah dan sedang, telah
menerima obat antiretroviral (ARV) untuk mencegah penularan HIV ke bayinya
pada tahun yang sama. Angka tersebut meningkat dibandingkan tahun 2007, yaitu
35%, dan tahun 2004 hanya 10% ibu hamil terinfeksi HIV yang menerima obat
antiretroviral. Salah satu alasan meningkatnya cakupan tes HIV dan terapi ARV pada
ibu hamil adalah meningkatnya tes HIV dan konseling atas inisiasi petugas
(KTIP/PITC) di layanan antenatal dan persalinan, dan layanan kesehatan lainnya.
Di Indonesia, infeksi HIV merupakan salah satu masalah kesehatan utama
dan salah satu penyakit menular yang dapat mempengaruhi kematian ibu dan anak.
Sampai saat ini kasus HIV-AIDS telah dilaporkan oleh 341 dari 497 kabupaten/kota
di 33 provinsi., pada tahun 2016 Kementerian Kesehatan memperkirakan Indonesia
akan mempunyai hampir dua kali jumlah orang yang hidup dengan HIV dan AIDS
dewasa dan anak (812.798 orang) dibandingkan pada tahun 2008 (411.543 orang),
bila upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang dilaksanakan tidak adekuat sampai
kurun waktu tersebut. (Laporan Pemodelan Matematika epidemi HIV di
Indonesia,Kemenkes, 2012).

2
B. Tujuan Penulisan
Mahasiswa mengetahui dan menjelaskan definisi, jenis, epidemiologi, faktor risiko,
langkah pencehahan, prinsip penanganan, dan cara penanganan HIV-AIDS dalam
dunia kebidanan.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
HIV adalah human immunodeficiency virus yakni virus yang bisa berujung
menjadi AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Lebih jelasnya AIDS
merupakan suatu syndrome/kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus
HIV yang menyerang sistem kekebalan atau pertahanan tubuh sehingga
menyebabkan kerusakan yang parah dan sejauh ini belum diketahui obatnya.
Virus HIV ini dapat menyebabkan AIDS dengan cara menyerang sel darah
putih yang bernama sel CD4 sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh
manusia yang pada akhirnya tidak dapat bertahan dari gangguan penyakit walaupun
yang sangat ringan sekalipun. Virus HIV menyerang sel CD4 dan merubahnya
menjadi tempat berkembang biak Virus HIV baru kemudian merusaknya sehingga
tidak dapat digunakan lagi. Sel darah putih sangat diperlukan untuk sistem kekebalan
tubuh. Tanpa kekebalan tubuh maka ketika diserang penyakit maka tubuh kita tidak
memiliki pelindung. Dampaknya adalah kita dapat meninggal dunia akibat terkena
pilek biasa.
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan dampak atau efek
dari perkembang biakan virus HIV dalam tubuh makhluk hidup. Virus HIV
membutuhkan waktu untuk menyebabkan sindrom AIDS yang mematikan dan
sangat berbahaya. Penyakit AIDS disebabkan oleh melemah atau menghilangnya
sistem kekebalan tubuh yang tadinya dimiliki karena sel CD4 pada sel darah putih
yang banyak dirusak oleh Virus HIV. Meskipun penanganan yang telah ada dapat
memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa
disembuhkan.

4
B. Jenis
Saat ini ada dua tipe (type) HIV: HIV-1 dan HIV-2. Di seluruh dunia, virus
yang utama adalah HIV-1, dan umumnya bila orang terserang HIV tanpa ditentukan
tipe virusnya, maksudnya adalah HIV-1. Baik HIV-1 dan HIV-2 disebarkan melalui
hubungan seksual, darah, dan dari ibu-ke-bayi, serta keduanya terlihat
mengakibatkan AIDS yang secara klinis tidak dapat dibedakan.
Namun, HIV-1 lebih mudah disebarkan dibanding dengan HIV-2, dan jangka
waktu antara penularan dan penyakit yang timbul karena HIV-2 lebih lama.

C. Epidemiologi
Dari data global, lebih dari 35 juta orang di seluruh dunia diketahui meninggal
dunia akibat HIV. Tahun 2015, 1.1 juta orang meninggal akibat berbagai kasus
terkait infeksi HIV. Ada sekitar 36.7 juta orang hidup dengan HIV, dengan 2.1 juta
orang yang baru terdeteksi mengidap infeksi HIV di tahun 2015 secara global. Area
subsaharan Afrika merupakan area dengan tingkat kasus infeksi HIV tertinggi, yakni
dengan 25.6 juta ODHA tahun 2015, area ini juga memegang 2/3 populasi global
dari infeksi HIV baru.
Di Indonesia, HIV/AIDS pertama kali ditemukan di provinsi Bali, tahun 1987.
HIV/AIDS telah menyebar hampir di seluruh Indonesia. Dalam jangka 5 tahun
(2009-2014), infeksi HIV paling banyak terjadi pada kelompok usia produktif 25-49
tahun, dengan jumlah pria terinfeksi lebih banyak dari perempuan. Berdasarkan
faktor risiko infeksi HIV, penyakit ini dominan ditemukan pada kaum heteroseksual,
pengguna narkoba suntik, kemudian diikuti oleh lelaki suka lelaki (LSL).
Dari data InfoDatin HIV AIDS 2017, lima provinsi dengan jumlah infeksi HIV
terbesar adalah Jawa Timur, DKI Jakarta,Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Papua.
Sedangkan provinsi dengan kasus AIDS terbanyak adalah Jawa Tengah, Jawa
Barat,Papua, Jawa Timur, dan Bali. Dari jumlah infeksi HIV dan jumlah kasus AIDS
yang dilaporkan paling banyak dari Pulau Jawa. Presentase HIV AIDS pada tahun
2017 didapatkan 38% Perempuan dan 62% Laki-laki menderita HIV, 36%
perempuan dan 64% laki-laki menderita AIDS.

5
D. Etiologi
Penyebab dari virus ini adalah dari retrovirus golongan retroviridae, genus lenti
virus.Terdiri dari HIV-1 dan HIV-2. Dimana HIV-1 memiliki 10 subtipe yang diberi
dari kode A sampai J dan subtipe yang paling ganas di seluruh dunia adalah grup
HIV-1.Secara morfologik, virus ini berbentuk bulat, terdiri dari bagian
inti (core) yang berbentuk silindris dan selubung (envelope) yang berstruktur lipid
bilayer yang membungkus bagian core, dimana didalam core  ini terdapat RNA virus
ini. Karena informasi genetik virus ini berupa RNA, maka virus ini harus
mentransfer informasi genetiknya yang berupa RNA menjadi DNA sebelum
diterjemahkan menjadi protein-protein. Dan untuk tujuan ini HIV memerlukan
enzim reverse transkriptase  (Maslow S, 1995).

E. Faktor Risiko
Ada beberapa faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan bayi terinfeksi
HIV. Yang paling mempengaruhi adalah viral load (jumlah virus yang ada di dalam
darah) ibunya. Oleh karena itu, salah satu tujuan utama terapi adalah mencapai viral
load yang tidak dapat terdeteksi seperti juga ART (Antiretroviral Therapy) untuk
siapa pun terinfeksi HIV. Viral load penting pada waktu melahirkan. Penularan dapat
terjadi dalam kandungan yang dapat disebabkan oleh kerusakan pada plasenta, yang
seharusnya melindungi janin dari infeksi HIV. Kerusakan tersebut dapat
memungkinkan darah ibu mengalir pada janin. Kerusakan pada plasenta dapat
disebabkan oleh penyakit lain pada ibu, terutama malaria dan TB (Green WC, 2009).
 Namun risiko penularan lebih tinggi pada saat persalinan, karena bayi
tersentuh oleh darah dan cairan vagina ibu waktu melalui saluran kelahiran. Jelas,
jangka waktu antara saat pecah ketuban dan bayi lahir juga merupakan salah satu
faktor risiko untuk penularan. Juga intervensi untuk membantu persalinan yang dapat
melukai bayi, misalnya vakum, dapat meningkatkan risiko. Karena air susu ibu (ASI)
dari ibu terinfeksi HIV mengandung HIV, juga ada risiko penularan HIV melalui
menyusui.

6
Faktor risiko lain termasuk kelahiran prematur (bayi lahir terlalu dini) dan
kekurangan perawatan HIV sebelum melahirkan. Sebenarnya semua faktor risiko
menunjukkan satu hal, yaitu mengawasi kesehatan ibu. Beberapa pokok kunci yang
penting adalah :
 Status HIV bayi dipengaruhi oleh kesehatan ibunya,
 Status HIV bayi tidak dipengaruhi sama sekali oleh status HIV ayahnya, dan
 Status HIV bayi tidak dipengaruhi oleh status HIV anak lain dari ibu.
Ada dua faktor utama untuk menjelaskan faktor risiko penularan HIV dari ibu ke
bayi :
1) Faktor ibu dan bayi
a) Faktor ibu
Kadar HIV (viral load) di darah ibu pada menjelang ataupun saat
persalinan dan kadar HIV di air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya.
Umumnya, satu atau dua minggu setelah seseorang terinfeksi HIV, kadar
HIV akan cepat sekali bertambah di tubuh seseorang. Risiko penularan akan
lebih besar jika ibu memiliki kadar HIV yang tinggi pada menjelang ataupun
saat persalinan. Jika ibu memiliki berat badan yang rendah selama kehamilan
serta kekurangan vitamin dan mineral, maka risiko terkena berbagai penyakit
infeksi juga meningkat. Biasanya, jika ibu menderita infeksi menular seksual
atau infeksi reproduksi lainnya maupun malaria, maka kadar HIV akan
meningkat (Depkes RI, 2006).
b) Faktor bayi
 Bayi yang lahir prematur dan memiliki berat badan lahir rendah,
 Melalui ASI yang diberikan pada usia enam bulan pertama bayi, dan
 Bayi yang meminum ASI dan memiliki luka di mulutnya.
F. Faktor Cara Penularan (Obstetrik)
a) Menular saat persalinan melalui percampuran darah ibu dan darah bayi.
b) Bayi menelan darah ataupun lendir ibu.
c) Persalinan yang berlangsung lama.
d) Ketuban pecah lebih dari 4 jam.

7
e) Penggunaan elektroda pada kepala janin, penggunaan vakum atau forceps,
dan tindakan episiotomi
f) Bayi yang lebih banyak mengonsumsi makanan campuran dari pada ASI.

G. Pengaruh Kehamilan Pada Perjalanan Penyakit HIV


Kehamilan tidak secara signifikan mempengaruhi resiko kematian,
progresivitas menjadi AIDS atau progresivitas penurunan sel CD4 pada wanita yang
terinfeksi HIV. Pengaruh kehamilan terhadap sel CD4 pertama kali dilaporkan oleh
Burns, dkk. Pada kehamilan normal terjadi penurunan jumlah sel CD4 pada awal
kehamilan untuk mempertahankan janin. Pada wanita yang tidak menderita HIV,
presentase sel CD4 akan meningkat kembali mulai trisemester ketiga hingga 12
bulan setelah melahirkan. Sedangkan pada wanita yang terinfeksi HIV penurunan
tetap terjadi pada kehamilan dan setelah melahirkan walaupun tidak bermakna secara
statistik. Nemun penelitian dari European Collaborative Study dan Swiss HIV
Pregnancy Cohort  dengan jumlah sample yang lebih besar, menunjukkan presentase
penurunan sel CD4 selama kehamilan sampai 6 bulan setelah melahirkan tetap
stabil (Volderding, 1995).
Kehamilan ternyata hanya sedikit meningkatkan kadar virus (viral load) HIV.
Kadar virus HIV meningkat terutama setelah 2 tahun persalinan, walaupun secara
statistik tidak bermakna. Kehamilan juga tidak mempercepat progresivitas penyakit
menjadi AIDS. Italian Seroconversion Study Group membandingkan wanita
terinfeksi HIV dan pernah hamil ternyata tidak menunjukkan perbedaan resiko
menjadi AIDS atau penurunan CD4 menjadi kurang dari 200 (McFarland, 2003).

1) Pengaruh Infeksi HIV pada Kehamilan


Penelitian di negara maju sebelum era anti retrovirus menunjukkan bahwa
HIV tidak menyebabkan peningkatan prematuritas, berat badan lahir rendah atau
gangguan pertumbuhan intra uterin. Sedangkan di negara berkembang, infeksi
HIV justru meningkatkan kejadian aborsi, prematuritas, gangguan pertumbuhan

8
intra uterin dan kematian janin intra uterin terutama pada stadium lanjut. Selain
karena kondisi fisik ibu yang lebih buruk juga karena kemungkinan penularan
perinatalnya lebih tinggi (McFarland, 2003)
Tanpa intervensi, resiko penularan HIV dari ibu ke janinnya yang dilaporkan
berkisar antara 15%-45%. Resiko penularan ini lebih tinggi di negara
berkembang dibandingkan dengan negara maju (21%-43% dibandingkan 14%-
26%). Penularan dapat terjadi pada intra uterin, intrapartum dan post partum.
Sebagian besar penularan terjadi intra partum. Pada ibu yang tidak menyusui,
24%-40% penularan terjadi intra uterin dan 60%-75% terjadi selama persalinan.
Sedangkan pada ibu yang menyusui bayinya, sekitar 20%-25% penularan terjadi
intra uterin, 60%-70% intra partum dan saat awal menyusui dan 10%-15%
setelah persalinan. Resiko infeksi intra uterin, intra partum dan pasca persalinan
adalah 6%, 18% dan 4% dari keseluruhan kelahian ibu dengan HIV
positif (Yunihastuti, 2003).
2) Transmisi Intra Uterin
Kejadian transmisi HIV pada janin kembar dan ditemukannya DNA HIV,
IgM anti-HIV dan antigen p24 pada neonatus pada minggu pertama
membuktikan bahwa transmisi dapat terjadi selama kehamilan. Walaupun masih
belum jelas, mekanismenya diduga melalui plasenta. Pemeriksaan patologi
menemukan HIV dalam plasenta ibu yang terinfeksi HIV. Sel limfosit atau
monosit ibu yang terinfeksi HIV atau virus HIV itu sendiri dapat mencapai janin
secara langsung melalui lapisan sinsitiotrofoblas, atau secara tidak langsung
melalui trofoblas dan menginfeksi sel makrofag plasenta (sel Houfbauer) yang
mempunyai reseptor CD4. Plasenta diduga juga mempunyai efek anti HIV-1
dengan mekanisme yang masih belum diketahui. Salah satu hormon plasenta
yaitu human chorionic gonadotropin (hCG) diduga melindungi janin dari HIV-1
melalui beberapa cara, seperti menghambat penetrasi virus ke jaringan plasenta,
mengkontrol replikasi virus di dalam sel plasenta, dan menginduksi apoptosis
sel-sel yang terinfeksi HIV-1.Menurut Pediatric Virology Committee of the AIDS
Clinical Trials Group (PACTG), transmisi dikatakan intra uterin/ infeksi awal,

9
jika tes virology positif dalam 48 jam setelah kelahiran dan tes berikutnya juga
positif (McFarland, 2003).
3) Transmisi Intrapartum
Transmisi intrapartum/ infeksi lambat didiagnosis jika pemeriksaan virologis
negatif dalam 48 jam pertama setelah kelahiran dan tes 1 minggu berikutnya
menjadi positif dan bayi tidak menyusui. Selama persalinan, bayi dapat tertular
darah atau cairan servikovaginal yang mengandung HIV melalui paparan
trakheobronkial atau tertelan pada jalan lahir. HIV ditemukan pada cairan
servikovaginal wanita terinfeksi HIV-AIDS sekitar 21% dan pada cairan aspirasi
lambung bayi yang dilahirkan sekitar 10%. Terdapatnya HIV pada cairan
servikovaginal berhubungan dengan tubuh vagina abnormal, kadar sel CD4 yang
rendah dan defisiensi vitamin A. Selain menurunkan imunitas, defisiensi vitamin
A akan menurunkan integritas plasenta dan permukaan mukosa jalan lahir,
sehingga akan memudahkan terjadi trauma pada jalan lahir dan transmisi HIV
secara vertikal. 
Besarnya paparan pada jalan lahir juga dikaitkan dengan ulkus serviks atau
vagina, korioamnionitis, ketuban pecah sebelum waktunya, persalinan prematur,
penggunaan elektrode pada kepala janin, penggunaan vakum atau forceps,
episiotomi dan rendahnya kadar CD4 ibu. Ketuban pecah lebih dari 4 jam
sebelum persalinan akan meningkatkan resiko transmisi antepartum sampai dua
kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam sebelum
persalinan. Diantara faktor-faktor tersebut, kadar HIV ibu pada saat persalinan
atau menjelang persalinan merupakan prediktor paling penting. Karena itu, resiko
penularan lebih tinggi terjadi pada ibu hamil dengan infeksi HIV primer. Namun,
belum ada angka pasti pada kadar HIV berapa penularan dapat terjadi. Kadar
HIV yang rendah atau tidak terdeteksi tidak menjamin bahwa bayi tidak akan
tertular karena pada beberapa kasus penularan tetap terjadi. Selain itu, kadar HIV
ibu sebelum dan saat persalinan juga akan menentukan kadar HIV pada bayi
yang ditularkannya. Wiener, dkk mengemukakan hubungan linier kadar HIV ibu
dan kadar HIV bayi pada 3 bulan pertama kehidupannya (McFarland, 2003).

10
4) Transmisi Post Partum
Air susu ibu diketahui mengandung HIV dalam cukup banyak. Konsentrasi
median sel yang terinfeksi HIV pada ibu yang menderita HIV adalah 1 per
104 sel. Partikel virus dapat ditemukan pada komponen sel dan non-sel air susu
ibu. HIV ditemukan pada 58% pemeriksaan kolostrum dan air susu ibu. Kadar
HIV tertinggi dalam air susu ibu terjadi mulai minggu pertama sampai tiga bulan
setelah persalinan. HIV dalam konsentrasi rendah masih dapat dideteksi pada air
susu ibu sampai 9 bulan setelah persalinan. Resiko penularan pada bayi yang
disusui paling tinggi pada enam bulan pertama, kemudian menurun secara
bertahap pada bulan-bulan berikutnya.
Kadar HIV pada air susu ibu dipengaruhi kadar serum ibu, sel CD4 ibu,
defisiensi vitamin A. Kadar HIV di dalam air susu ibu lebih tinggi pada ibu yang
anaknya terinfeksi HIV daripada yang tidak terinfeksi HIV. Berbagai macam
faktor lain yang dapat mempertinggi resiko transmisi HIV melalui air susu ibu
antara lain mastitis atau luka diputing susu, abses payudara, lesi dimukosa mulut
bayi, prematuritas dan respon imun bayi.

H. Diagnosis Infeksi HIV


Diagnosis infeksi HIV juga ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis
dan hasil penemuan laboratorium. Anamnesis yang mendukung kemungkinan
adanya infeksi HIV misalnya :
- Lahir dengan ibu resiko tinggi.
- Lahir dari ibu dengan pasangan resiko tinggi.
- Penerima tranfusi darah atau komponennya, terutama bila berulang dan tanpa uji
HIV.
- Penggunaan obat parenteral atau intravena secara keliru (biasanya pecandu
narkotika)
- Homoseksual atau biseksual.
- Kebiasaan seksual yang keliru.

11
Gejala klinis yang mendukung misalnya infeksi oportunistik, penyakit menular
seksual, infeksi yang berulang atau berat, terdapat gagal tumbuh, adanya ensefalopati
yang menetap atau progresif, penyakit paru interstitiel, keganasan sekunder,
kardiomiopati dan lain-lainnya. Untuk diagnostik yang pasti dikerjakan pemeriksaan
laboratorium mulai dari yang relatif sederhana hingga yang relatif sulit dan mahal,
yaitu mulai dari menentukan adanya antibodi anti-HIV misalnya dengan ELISA
(Enzyme Linked Immunosorbant Assay) yang dilanjutkan dengan uji yang lebih pasti
seperti Western blot assay dan lain-lainnya (Suwendra, 2001).
Infeksi HIV pada wanita seringkali terdeteksi pada masa kehamilan, waktu
dilakukan uji saring HIV antenatal. Uji serologis HIV-1 antibodi spesifik IgG
merupakan tes dengan spesifikasi yang tinggi. Sera yang reaktif terhadap anti HIV
pada uji saring, sebaiknya diuji ulang dan hasilnya dikonfirmasikan dengan sistem
uji lainnya. Untuk diagnostik, contoh sera harus diambil ulang untuk
mengkonfirmasi ada tidaknya infeksi. Pada umumnya wanita yang terinfeksi
menampilkan kondisi sera yang reaktif 6-8 minggu setelah infeksi, meskipun pada
beberapa kasus antibodi tersebut tidak timbul setelah 6-9 bulan kemudian. Hasil
negatif tes antibodi berarti wanita tersebut tidak terkena infeksi HIV lebih dari 6
bulan yang lalu, tetapi dapat juga berarti uji negatif palsu (false negatif), bila wanita
itu diuji pada waktu periode jendela (window periode) antara infeksi dan
serokonversi (Maslow, 1995).
Sedangkan pada bayi pemeriksaan serologis standar seperti IgG anti-HIV dan
Western Blot tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis sebelum usia 18
bulan. Hal ini disebabkan masih dapat ditemukannya IgG anti-HIV ibu yang
melewati plasenta di darah bayi, bahkan sampai usia 24 bulan. Sedangkan IgA dan
IgM anti-HIV tidak dapat melewati plasenta, sehingga dapat digunakan untuk
konfirmasi diagnosis bila ditemukan pada bayi. Akan tetapi, sensitivitas kedua
pemeriksaan ini masih rendah (Yunihastuti, dkk, 2003).
Pada bayi di bawah usia 18 bulan, pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain
kultur HIV, teknik PCR (Polymerase chain Reaction) untuk mendeteksi DNA atau
RNA HIV dan deteksi antigen p24.Infeksi HIV ditegakkan bila dua sample dari dua

12
kali pemeriksaan yang berbeda dengan kultur, DNA HIV atau RNA HIV
menunjukkan hasil positif. Disebut tidak terinfeksi bila dua macam sampel tes yang
berbeda menunjukkan hasil negatif (McFarland, 2003).

I. Penatalaksanaan
Cara terbaik untuk memastikan bahwa bayi kita tidak terinfeksi dan kita tetap
sehat adalah dengan memakai terapi antiretroviral (ART). Perempuan terinfeksi HIV
di seluruh dunia sudah memakai obat antiretroviral (ARV) secara aman waktu hamil
lebih dari sepuluh tahun. ART sudah berdampak besar pada kesehatan perempuan
terinfeksi HIV dan anaknya. Oleh karena ini, banyak dari mereka yang diberi
semangat untuk mempertimbangkan mendapatkan anak. Antiretrovirus
direkomendasikan untuk semua wanita yang terinfeksi HIVAIDS yang sedang hamil
untuk mengurangi resiko transmisi perinatal. Hal ini berdasarkan bahwa resiko
transmisi perinatal meningkat sesuai dengan kadar HIV ibu dan resiko transmisi
dapat diturunkan hingga 20% dengan terapi antiretrovirus (McFarland, 2003).
Tujuan utama pemberian antiretrovirus pada kehamilan adalah menekan
perkembangan virus, memperbaiki fungsi imunologis, memperbaiki kualitas hidup,
mengurangi morbiditas dan mortalitas penyakit yang menyertai HIV. Pada
kehamilan, keuntungan pemberian antiretrovirus ini harus dibandingkan dengan
potensi toksisitas, teratogenesis dan efek samping jangka lama. Akan tetapi, efek
penelitian mengenai toksisitas, teratogenesis, dan efek samping jangka lama
antiretrovirus pada wanita hamil masih sedikit. Efek samping tersebut diduga akan
meningkat pada pemberian kombinasi antiretrovirus, seperti efek teratogenesis
kombinasi antiretrovirus dan antagonis folat yang dilaporkan Jungmann, dkk. Namun
penelitian terakhir oleh Toumala, dkk menunjukkan bahwa dibandingkan dengan
monoterapi, terapi kombinasi antiretrovirus tidak meningkatkan resiko prematuritas,
berat badan lahir rendah atau kematian janin intrauterine (Maslow, 1995).
Obat antiretrovirus yang pertama kali diteliti untuk mengurangi resiko
transmisi perinatal adalah zidovudin (ZDV). Pada Pediatric Virology Committee of
the AIDS Clinical Trials Group (PACTG) 076, zidovudin yang diberikan peroral

13
mulai minggu ke-14 kehamilan, dilanjutkan zidovudin intravena pada saat
intrapartum untuk ibu, diikuti dengan zidovudin sirup yang diberikan pada bayi sejak
usia 6-12 jam sampai 6 minggu (McFarland, 2003).
Selain monoterapi dengan zidovudin, regimen lain yang sudah diteliti alah
monoterapi dengan nevirapin dan terapi kombinasi zidovudin dan
lamivudin.Lallement, dkk juga sedang meneliti kombinasi zidovudin dan
nevirapin.Saat ini di Indonesia beberapa antiretrovirus tersebut sudah tersedia dalam
bentuk generik dengan harga yang lebih murah antara lain zidovudin, lamivudin,
nevirapin dan stavudin. Dapat diberikan dosis tunggal 200 mg bagi ibu pada saat
melahirkan disertai pemberian nevirapin 2 mg/kgBB dosis tunggal bagi bayi pada
usia 2 atau 3 hari. Selain karena harga obat generiknya yang cukup murah, seringkali
wanita hamil terinfeksi HIV-AIDS baru dating pada saat melahirkan (McFarland,
2003).
Berdasarkan penelitian-penelitian Perinatal HIV Guidelines Working Group di
Amerika Serikat mengajukan rekomendasi pemberian antiretrovirus. Rekomendasi
ini tidak berbeda dengan yang direkomendasikan British HIV
Association. Rekomendasi yang dianjurkan yaitu :
1) Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang belum pernah menggunakan
antiretrovirus sebelumnya.
Rekomendasi: Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS menjalani pemeriksaan
klinis, imunologis dan virologis standar. Pertimbangan inisiasi dan pemilihan
antiretrovirus sama dengan wanita yang terinfeksi HIV-AIDS yang tidak hamil
dengan pertimbangan efek terhadap kehamilan. Jika wanita hamil yang terinfeksi
HIV-AIDS datang pada trimester pertama kehamilan, pemberian antiretrovirus
dapat ditunda sampai usia kehamilan 10-12 minggu.
2) Wanita hamil yang terinfeksi HIV- AIDS yang sedang mendapatkan
antiretrovirus.
Rekomendasi: Jika kehamilan diketahui setelah trimester pertama, terapi
antiretrovirus sebelumnya diteruskan, sebaiknya dengan menyertakan
zidovudin. Jika kehamilan diketahui pada trimester pertama, wanita hamil yang

14
terinfeksi HIV- AIDS diberikan konseling tentang keuntungan dan resiko
antiretrovirus pada trimester pertama. Jika wanita hamil yang terinfeksi HIV–
AIDS memilih menghentikan antiretrovirus selama trimester pertama, semua
obat harus dihentikan untuk kemudian diberikan secara simultan setelah trimester
pertama untuk mencegah resistensi obat. Tanpa mempertimbangkan regimen
sebelumnya, zidovudin dianjurkan untuk diberikan selama intrapartum dan pada
bayi.
3) Wanita hamil yang terinfeksi HIV- AIDS datang pada saat persalinan dan belum
mendapat antiretrovirus.
Rekomendasi: Ada beberapa regimen yang dianjurkan :
- Nevirapin dosis tunggal pada saat persalinan dan dosis tunggal pada bayi pada
usia 48 jam;
- Zidovudin dan lamivudin oral pada persalinan, diikuti zidovudin/ lamivudin
pada bayi selama seminggu;
- Zidovudin intravena intrapartum, diikuti zidovudin pada bayi selama 6
minggu;
- Dua dosis nevirapin dikombinasi dengan zidovudin intravena selama
persalinan diikuti zidovudin pada bayi selama 6 minggu.
- Segera setelah persalinan, wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS
menjalani pemeriksaan seperti CD4 dan kadar HIV untuk menentukan apakah
antiretrovirus akan dilanjutkan.
4) Jika bayi dari ibu wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS datang setelah
persalinan, sedangkan ibu belum mendapatkan antiretrovirus selama kehamilan
atau intrapartum.
Rekomendasi: Zidovudin sirup diberikan pada bayi selama 6 minggu,
dimulai secepatnya dalam 6-12 jam setelah kelahiran (McFarland, 2003).

J. Penatalaksanaan Obsterik
Untuk mengurangi resiko transmisi HIV yang terutama terjadi pada saat
intrapartum, beberapa peneliti mencoba membandingkan transmisi antara wanita

15
hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang menjalani seksio sesarea dengan partus
pervaginam. Persalinan dengan seksio sesarea dipikirkan dapat mengurangi paparan
bayi dengan cairan servikovaginal yang mengandung HIV (Volderding, 1995).
Selain seksio sesarea, berbagai cara telah dicoba untuk menurunkan resiko
transmisi intrapartum pada wanita yang terinfeksi HIV-AIDS. Salah satunya adalah
pencucian jalan lahir dengan kassa yang direndam dengan 0,25% klorheksidin.
Ternyata cara ini tidak dapat mengurangi resiko transmisi partus
pervaginam. Perinatal HIV Guidelines Working Group di Amerika Serikat
mengajukan rekomendasi penatalaksanaan obstetrik untuk mengurangi transmisi
HIV vertikal. Rekomendasi yang dianjurkan adalah :
a) Pada wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang datang pada kehamilan di
atas 36 minggu, belum mendapat antiretrovirus, dan sedang menunggu hasil
pemeriksaan kadar HIV dan CD4 yang diperkirakan ada sebelum persalinan.
Rekomendasi: Ada beberapa regimen yang harus didiskusikan dengan jelas.
Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS harus mendapat terapi antiretrovirus
seperti regimen PACTG 076. Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS dilakukan
konseling tentang seksio sesarea untuk mengurangi resiko transmisi dan resiko
komplikasi pascaoperasi, anestesi, dan resiko operasi lain padanya. Jika
diputuskan seksio sesarea, seksio direncanakan pada minggu ke-38 kehamilan,.
Selama seksio, wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS mendapat zidovudin
intravena yang dimulai 3 jam sebelumnya, dan bayi mendapat zidovudin sirup
selama 6 minggu. Keputusan akan meneruskan antiretrovirus setelah melahirkan
atau tidak tergantung pada hasil pemeriksaan kadar virus dan CD4.
Cara Persalinan: Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang datang pada
kehamilan awal, sedang mendapat kombinasi antiretrovirus, dan kadar HIV tetap
di atas 1000 kopi/mL pada minggu ke 36 kehamilan.
Rekomendasi : Regimen antiretrovirus yang digunakan tetap diteruskan. Wanita
hamil yang terinfeksi HIV-AIDS harus mendapat konseling bahwa kadar HIV-
nya mungkin tidak turun sampai kurang dari 1000 kopi/mL sebelum persalinan,
sehingga dianjurkan untuk melakukan seksio sesarea. Demikian juga dengan

16
resiko komplikasi seksio yang meningkat, seperti infeksi pascaoperasi, anestesi,
dan operasi. Jika diputuskan seksio sesarea, seksio direncanakan pada minggu
ke-38 kehamilan. Selama seksio, wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS
mendapat zidovudin intravena yang dimulai minimal 3 jam sebelumnya.
antiretrovirus lain tetap diteruskan sebelum dan sesudah persalinan. Bayi
mendapat zidovudin sirup selama 6 minggu.
b) Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang sedang mendapat kombinasi
antiretrovirus, dan kadar HIV tidak terdeteksi pada minggu ke 36 kehamilan.
Rekomendasi: Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS diberikan konseling
bahwa kemungkinan transmisi jika kadar HIV tidak terdeteksi mungkin kurang
dari 2 %, bahkan pada persalinan pervaginam. Pemilihan cara persalinan harus
mempertimbangkan keuntungan dan resiko komplikasi seksio.
Cara Persalinan: Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang sudah
direncanakan seksio sesarea elektif, namun datang pada awal persalinan atau
setelah ketuban pecah.
Rekomendasi: Zidovudin intravena segera diberikan. Jika kemajuan persalinan
cepat, wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS ditawarkan untuk menjalani
persalinan pervaginam. Jika dilatasi serviks minimal dan diduga persalinan akan
berlangsung lama, dapat dipilih antara zidovudine intravena dan melakukan
seksio sesarea atau memberikan pitosin untuk mempercepat persalinan. Jika
diputuskan untuk menjalani persalinan pervaginam, elektrode kepala, monitor
invasive dan alat bantu lain sebaiknya dihindari. Bayi sebaiknya mendapat
zidovudin sirup selama 6 minggu.
K. Pencegahan
Beberapa kegiatan untuk mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu
dengan HIV antara lain :
o Mengadakan KIE tentang HIV dan AIDS dan perilaku seks aman;
o Menjalankan konseling dan tes HIV untuk pasangan;
o Melakukan upaya pencegahan dan pengobatan IMS;
o Melakukan promosi penggunaan kondom;

17
o Memberikan konseling pada perempuan dengan HIV untuk ikut KB dengan
menggunakan metode kontrasepsi dan cara yang tepat;
o Memberikan konseling dan memfasilitasi perempuan dengan HIV yang ingin
merencanakan kehamilan.
Faktor kerahasiaan status HIV ibu sangat penting dijaga. Dukungan juga harus
diberikan kepada anak dan keluarganya. Beberapa hal yang mungkin dibutuhkan
oleh ibu dengan HIV antara lain :
 Pengobatan ARV jangka panjang
 Pengobatan gejala penyakitnya
 Pemeriksaan kondisi kesehatan dan pemantauan terapi ARV (termasuk
CD4dan viral load)
 Konseling dan dukungan kontrasepsi dan pengaturan kehamilan
 Informasi dan edukasi pemberian makanan bayi
 Pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik untuk diri sendiri dan bayinya.
 Penyuluhan kepada anggota keluarga tentang cara penularan HIV
danpencegahannya
 Layanan klinik dan rumah sakit yang bersahabat
 Kunjungan ke rumah (home visit)
 Dukungan teman-teman sesama HIV positif, terlebih sesama ibu dengan HIV
 Adanya pendamping saat sedang dirawat
 Dukungan dari pasangan
 Dukungan kegiatan peningkatan ekonomi keluarga
 Dukungan perawatan dan pendidikan bagi anak
 Dengan dukungan psikososial yang baik, ibu dengan HIV akan bersikap optimis
dan bersemangat mengisi kehidupannya.

18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
HIV adalah human immunodeficiency virus yakni virus yang bisa berujung
menjadi AIDS ( Acquired Immunodeficiency Syndrome). Merupakan suatu
syndrome/kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus HIV yang
menyerang sistem kekebalan atau pertahanan tubuh sehingga menyebabkan
kerusakan yang parah dan sejauh ini belum diketahui obatnya. Hingga saat ini
penyakit AIDS tidak ada obatnya termasuk serum maupun vaksin yang dapat
menyembuhkan manusia dari Virus HIV penyebab penyakit AIDS yang ada
hanyalah pencegahannya saja.
Upaya pemerintah terhadap penanganan HIV-AIDS adalah dengan beberapa
hal yang dibutuhkan oleh ibu dengan HIV antara lain : Pengobatan ARV jangka
Panjang, Pengobatan gejala penyakitnya, Pemeriksaan kondisi kesehatan dan
pemantauan terapi ARV (termasuk CD4dan viral load), Konseling dan dukungan
kontrasepsi dan pengaturan kehamilan, Informasi dan edukasi pemberian makanan
bayi, Pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik untuk diri sendiri dan bayinya,
Penyuluhan kepada anggota keluarga tentang cara penularan HIV
danpencegahannya, Layanan klinik dan rumah sakit yang bersahabat, Kunjungan ke
rumah (home visit), Dukungan teman-teman sesama HIV positif, terlebih sesama ibu
dengan HIV, Adanya pendamping saat sedang dirawat, Dukungan dari pasangan,
Dukungan kegiatan peningkatan ekonomi keluarga, Dukungan perawatan dan
pendidikan bagi anak, Dengan dukungan psikososial yang baik, ibu dengan HIV
akan bersikap optimis dan bersemangat mengisi kehidupannya.

19
B. Saran
Diharapkan dengan pembahasan yang telah diuraikan dapat memberikan wawasan
informasi dan pengetahuan mengenai HIV-AIDS dalam dunia kebidanan.

20

Anda mungkin juga menyukai