Anda di halaman 1dari 5

TUGAS MAKALAH

SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM

SAYYIDINA ALI BIN ABI THALIB


GURU PEMBIMBING : MUHAMMAD RIZA

DISUSUN OLEH:
PUTRI MAULIDA
NUR' AINA
MUHAMMAD BASIR
MUHAMMAD YANI
KELAS : X IPS

MADRASAH ALIYAH “NI’MATUL AZIZ”


JELAPAT I
2021
BIOGRAFI ALI BIN ABI THALIB

Dikalangan kaum muslimin, Nama Ali bin Abi Thalib sangat terkenal. Ia merupakan orang yang
disebut sebagai Assabiqunal Awwalun atau orang yang paling awal memeluk agama Islam.
Ali bin Abi Thalib diketahui merupakan sepupu dari Nabi Muhammad SAW. Ia merupakan anak
dari paman Rasulullah SAW yang bernama Abu Thalib. Ali dikenal sebagai khalifah keempat setelah
Utsman bin Affan sekaligus khalifah terakhir dalam jajaran kekhalifahan Kulafaur Rasyidin.

Biodata Abi Thalib


Nama : Ali bin Abi Thalib
Lahir : Mekkah, Arab Saudi, 15 September 601 M
Wafat : Kufah, Irak, 29 Januari 661 M
Orang Tua : Abu Thalib (ayah), Fatimah binti Asad (ibu)
Saudara : Ja'far bin Abi Thalib, Aqil bin Abi Thalib, Thalib bin Abu Thalib, Tulayq ibn Abī Ṭālib,
Fakhitah bint Abi Talib, Jumanah bint Abi Talib, Rayta bint Abi Talib
Istri : Umamah binti Zainab, Fatimah az-Zahra, Fatimah binti Hizam, Asma binti Umays
Dikenal : Khulafaur Rasyidin

Biografi Ali Bin Abi Thalib


Ali bin Abi Thalib dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab.
Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Muhammad, sekitar tahun
601 Masehi.
Beliau bernama asli Haydar bin Abu Thalib. Namun Rasullullah Saw. tidak menyukainya dan
memanggilnya Ali yang berarti memiliki derajat yang tinggi di sisi Allah. Ali mempunyai ayah
bernama Abu Thalib yang juga merupakan paman dari Nabi Muhammad SAW. Ibu Ali Bin Abi thalib
bernama Fatimah binti Asad.
Ketika Rasullullah Saw. mulai menyebarkan Islam, Ali saat itu berusia 10 tahun. Namun ia
mempercayai Rasullullah SAW. dan menjadi orang yang pertama masuk Islam dari golongan anak-
anak.
Masa remajanya banyak dihabiskan untuk belajar bersama Rasullullah sehingga Ali tumbuh
menjadi pemuda cerdas, berani, dan bijak. Jika Rasullullah Saw. adalah gudang ilmu, maka Ali ibarat
kunci untuk membuka gudang tersebut.
Dalam Biografi Ali bin Abi Thalib, diketahui bahwaa Saat Rasullullah SAW hijrah, Ali bin Abi
Thalib menggantikan Rasullullah tidur di tempat tidurnya sehingga orang-orang Quraisy yang hendak
membunuh Nabi terpedaya.

Menikah Dengan Fatimah az Zahra


Setelah masa hijrah dan tinggal di Madinah, Ali dinikahkan Nabi dengan putri kesayangannya
Fatimah az-Zahra.  Ia tidak hanya tumbuh menjadi pemuda cerdas, namun juga berani dalam medan
perang.
Bersama Dzulfikar, pedangnya, Ali banyak berjasa membawa kemenangan di berbagai medan
perang seperti Perang Badar, Perang Khandaq, dan Perang Khaibar.
Setelah wafatnya Rasullullah, timbul perselisihan perihal siapa yang akan diangkat menjadi
khalifah. Kaum Syiah percaya Nabi Muhammad telah mempersiapkan Ali sebagai khalifah. Tetapi Ali
dianggap terlalu muda untuk menjabat sebagai khalifah.
Pada akhirnya Abu Bakar yang diangkat menjadi khalifah pertama. Setelah terbunuhnya
Utsman bin Affan, keadaan politik Islam menjadi kacau. Atas dasar tersebut, Zubair bin Awwam dan
Talhah bin Ubaidillah mendesak agar Ali segera menjadi khalifah.

Pengangkatan dan Gaya Kepemimpinan Ali bin Abu Thalib


Ali bin Abu Thalib adalah seorang perwira yang tangkas, cerdas, tegas teguh pendirian dan
pemberani. Tak ada yang meragukan keperwiraannya. Berkat keperwiraannya tersebut Ali
mendapatkan julukan Asadullah, yang artinya singa Allah. Pengangkatan Syaidina Ali menjadi Khalifah
tidaklah sebagaimana yang dilakukan terhadap Abu Bakar dan Umar, sebab hanya orang-orang yang
Pro terhadap Ali yang melakukan Baiat (penobatan) itu. Ali memegang jabatan pada hari Jum’at 13
Zulhijjah 35 Hijriah, dan orang yang pertama kali melakukan baiat terhadap Syaidina Ali adalah
Thalhah yang akhirnya justru memihak Mu’awiyah. (Fuad Mohat. Fachruddin, 1998: 29)
Pada saat kaum pemberontak mengepung rumah Khalifah Usman, Ali mengutus dua putra
lelakinya yang bernama Hasan dan Husain untuk ikut melindungi Khalifah Usman. Namun hal itu tak
mampu mencegah bencana yang menimpa Khalifah Usman dan juga kaum muslimin. Khalifah Usman
terbunuh secara keji pada tanggal 17 Juni 656 M.
Beberapa sahabat terkemuka seperti Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah, ingin
membaiat Ali sebagai khalifah. Mereka memandang bahwa dialah yang pantas dan berhak menjadi
seorang khalifah. Namun Ali belum mengambil tindakan apa pun. Keadaan begitu kacau dan
mengkhawatirkan sehingga Ali pun ragu-ragu untuk membuat suatu keputusan dan tindakan. Setelah
terus menerus didesak, Ali akhirnya bersedia dibaiat menjadi khalifah pada tanggal 24 Juni 656 M,
bertempat di Masjid Nabawi. Hal ini menyebabkan semakin banyak dukungan yang mengalir, sehingga
semakin mantap saja ia mengemban jabatan khalifah. Namun sayangnya, ternyata tidak seluruh kaum
muslimin membaiat Ali bin Abu Thalib sebagai khalifah. Selama masa kepemimpinannya, khalifah Ali
sibuk mengurusi mereka yang tidak mau membaiat dirinya tersebut. Sama seperti pendahulunya yaitu
Rasulullah, Abu Bakar dan Umar, Usman, khalifah Ali juga hidup sederhana dan zuhud. Ia tidak
senang dengan kemewahan hidup. Ia bahkan menentang mereka yang hidup bermewah-mewahan.
Tidak lama setelah itu, Ali bin Abu Thalib menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair dan
Aisyah. Alasan mereka, Ali tidak mau menghukum para pembunuh Usman, dan mereka menuntut bela
terhadap darah Utsman yang telah ditumpahkan secara zhalim. Ali sebenarnya ingin sekali
menghindari perang. Dia mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya mau berunding
untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun ajakan tersebut ditolak.
Akhirnya, pertempuran yang dahsyat pun berkobar. Perang ini dikenal dengan nama Perang
Jamal (Unta), karena Aisyah dalam pertempuran itu menunggang unta, dan berhasil mengalahkan
lawannya. Zubair dan Thalhah terbunuh, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah. 
Bersamaan dengan itu, kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali juga mengakibatkan timbulnya
perlawanan dari para gubernur di Damaskus, Mu'awiyah, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat
tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Setelah berhasil memadamkan
pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah, Ali bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan
sejumlah besar tentara. Pasukannya bertemu dengan pasukan Mu'awiyah di Shiffin. Pertempuran
terjadi di sini yang dikenal dengan nama Perang Shiffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase),
tapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan timbulnya golongan ketiga,
kaum Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali. Akibatnya, di ujung masa pemerintahan Ali
bin Abi Thalib umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Mu'awiyah, Syi'ah (pengikut
Abdullah bin Saba’ al-yahudu) yang menyusup pada barisan tentara Ali, dan al-Khawarij (orang-orang
yang keluar dari barisan Ali). Keadaan ini tidak menguntungkan Ali. Munculnya kelompok Khawarij
menyebabkan tentaranya semakin lemah, sementara posisi Mu'awiyah semakin kuat. Pada tanggal 20
ramadhan 40 H (660 M), Ali terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij yaitu Abdullah bin Muljam.
Berkaitan dengan masalah pendidikan, Khalifah Umar bin Khattab merupakan seorang
pendidik yang melakukan penyuluhan pendidikan di kota Madinah. Ia juga menerapkan pendidikan di
masjid-masjid dan pasar-pasar serta mengangkat dan menunjuk guru-guru untuk tiap-tiap daerah yang
ditaklukan itu, mereka bertugas mengajarkan isi al-Qur ‟an dan ajaran Islam lainnya (Muhammad
Syadid, 2001: 37). Adapun metode yang mereka pakai adalah guru duduk di halaman masjid
sedangkan murid melingkarinya. (Jurnal Pionir, Volume 1, Nomor 1, Dimensi Historis Sejarah Islam,
2013: 91)
Secara umum prestasi Khulafa’ al-Rasyidin dalam hal perluasan wilayah, diawali pada masa
Abu Bakar dan mencapai titik tertingginya pada masa Umar dan relativ berhenti pada masa Ali yang
kekhalifaannya lebih banyak diliputi oleh banyak pertikaian internal sehingga tidak memungkinkan
ekspansi lebih jauh. Pada akhir satu generasi pasca Muhammad, inperium Islam telah membenteng
dari Oxus hingga Syrtis di Afrika sebelah Utara (Philip K. Hitti, 2005: 217-218)

Ali Bin Abi Thalib Wafat


Dalam Biografi Ali bin Abi Thalib seperti yang dikutip dari Wikipedia, diketahui bahwa beliau
meninggal di usia 63 tahun karena pembunuhan oleh Abdrrahman bin Muljam. Pembunuh itu
merupakan seseorang yang berasal dari golongan Khawarij (pembangkang).
Ali bin Abi Thalib menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40
Hijriyah atau 29 Januari 661 Masehi. Ali dikuburkan secara rahasia di Najaf, bahkan ada beberapa
riwayat yang menyatakan bahwa ia dikubur di tempat lain.
Setelah Ali wafat, Hasan bin Ali yang merupakan anak tertua dari Ali kemudian
melakukan Qisas atau hukuman mati kepada pembunuh ayahnya.

Kekhalifahan Sepeninggal Ali bin Abi Thalib


Sepeninggal Ali bin Abi Thalib, Hasan kemudian dibaiat menjadi khalifah selanjutnya. Namun
keputusan tersebut tidak diterima oleh Bani Muawiyah yang selanjutnya melakukan pemberontakan.
Karena tidak ingin terjadi pertikaian antara kaum muslimin, Hasan yang memiliki sikap lunak
kemudian melakukan perjanjian dengan kaum Muawiyah. Kekhalifan kemudian diserahkan oleh Hasan
kepada kaum Muawiyah.
Selanjutnya kursi kekhalifahan dipegang secara turun temurun oleh keluarga Bani Umayyah
dengan khalifah pertama Muawiyah. Dengan demikian berakhirlah kekhalifahan Kulafaur Rasyidin.

Anda mungkin juga menyukai