Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

DIARE

Nama Mahasiswa :

HIKMA NURUL REZKI (R014201023)

Preseptor Akademik

Dr.Suni Hariati, S.Kep.,Ns.,M.Kep

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2021
A. DEFINISI
Diare adalah peningkatan dalam frekuensi buang air besar (kotoran), serta
pada kandungan air dan volume kotoran itu. Para Odha sering mengalami diare.
Diare dapat menjadi masalah berat. Diare yang ringan dapat pulih dalam beberapa
hari. Namun, diare yang berat dapat menyebabkan dehidrasi (kekurangan cairan)
atau masalah gizi yang berat (Yayasan Spiritia, 2011)
Diare adalah peningkatan pengeluaran tinja dengan konsistensi lebih lunak
atau lebih cair dari biasanya, dan terjadi paling sedikit 3 kali dalam 24 jam.
Sementara untuk bayi dan anak-anak, diare didefinisikan sebagai pengeluaran
tinja >10 g/kg/24 jam, sedangkan rata-rata pengeluaran tinja normal bayi sebesar
5-10 g/kg/ 24 jam (Juffrie, 2010).
Diare adalah buang air besar dalam bentuk cairan lebih dari tiga kali dalam
satu hari dan biasanya berlangsung selama dua hari atau lebih. Orang yang
mengalami diare akan kehilangan cairan tubuh sehingga menyebabkan dehidrasi
tubuh. Hal ini membuat tubuh tidak dapat berfungsi dengan baik dan dapat
membahayakan jiwa, khususnya pada anak dan orang tua (USAID, 2009).
Diare merupakan penyakit yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi
defekasi lebih dari biasanya (>3 kali/hari) disertai perubahan konsistensi tinja
(menjadi cair), dengan/tanpa darah dan/atau lendir (Suraatmaja, 2007). Diare
disebabkan oleh transportasi air dan elektrolit yang abnormal dalam usus. Di
seluruh dunia terdapat kurang lebih 500 juta anak yang menderita diare setiap
tahunnya, dan 20% dari seluruh kematian pada anak yang hidup di negara
berkembang berhubungan dengan diare serta dehidrasi. Gangguan diare dapat
melibatkan lambung dan usus (gastroenteritis), usus halus (enteritis), kolon
(colitis) atau kolon dan usus (enterokolitis). Diare biasanya diklasifikasikan
sebagai diare akut dan kronis (Wong, 2009).
Terdapat beberapa pendapat tentang definisi penyakit diare. Menurut
Hippocrates definisi diare yaitu sebagai suatu keadaan abnormal dari frekuensi
dan kepadatan tinja, Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia, diare atau penyakit
diare adalah bila tinja mengandung air lebih banyak dari normal. Menurut
Direktur Jenderal PPM dam PLP, diare adalah penyakit dengan buang air besar
lembek/ cair bahkan dapat berupa air saja yang frekuensinya lebih sering dari
biasanya (biasanya 3 kali atau lebih dalam sehari) (Sinthamurniwaty, 2006).
Menurut Simadibrata (2006) diare adalah buang air besar (defekasi) dengan
tinja berbentuk cair atau setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih
banyak dari biasanya lebih dari 200 gram atau 200 ml/24 jam.
Menurut World Health Organization (WHO), penyakit diare adalah suatu
penyakit yang ditandai dengan perubahan bentuk dan konsistensi tinja yang
lembek sampai mencair dan bertambahnya frekuensi buang air besar yang lebih
dari biasa, yaitu 3 kali atau lebih dalam sehari yang mungkin dapat disertai
dengan muntah atau tinja yang berdarah. Penyakit ini paling sering dijumpai pada
anak balita, terutama pada 3 tahun pertama kehidupan, dimana seorang anak bisa
mengalami 1-3 episode diare berat (Simatupang, 2004).
Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, diare diartikan sebagai buang air besar
yang tidak normal atau bentuk tinja yang encer dengan frekuensi lebih banyak
dari biasanya. Neonatus dinyatakan diare bila frekuensi buang air besar sudah
lebih dari 4 kali, sedangkan untuk bayi berumur lebih dari 1 bulan dan anak,
frekuensinya lebih dari 3 kali (Simatupang, 2004).

B. ETIOLOGI
Penyebab diare Yaitu: (Tantivanich, 2002; Sirivichayakul, 2002; Pitisuttithum,
2002)
1. Virus :
Merupakan penyebab diare akut terbanyak pada anak (70 – 80%). Beberapa
jenis virus penyebab diare akut :
a. Rotavirus serotype 1,2,8,dan 9: pada manusia. Serotype 3 dan 4 didapati
pada hewan dan manusia. Dan serotype 5,6, dan 7 didapati hanya pada
hewan.
b. Norwalk virus : terdapat pada semua usia, umumnya akibat food borne
atau water borne transmisi, dan dapat juga terjadi penularan person to
person.
c. Astrovirus, didapati pada anak dan dewasa
d. Adenovirus (type 40, 41)
e. Small bowel structured virus
f. Cytomegalovirus
2. Bakteri :
a. Enterotoxigenic E.coli (ETEC). Mempunyai 2 faktor virulensi yang
penting yaitu faktor kolonisasi yang menyebabkan bakteri ini melekat
pada enterosit pada usus halus dan enterotoksin (heat labile (HL) dan heat
stabile (ST) yang menyebabkan sekresi cairan dan elektrolit yang
menghasilkan watery diarrhea. ETEC tidak menyebabkan kerusakan
brush border atau menginvasi mukosa.
b. Enterophatogenic E.coli (EPEC). Mekanisme terjadinya diare belum jelas.
Didapatinya proses perlekatan EPEC ke epitel usus menyebabkan
kerusakan dari membrane mikro vili yang akan mengganggu permukaan
absorbsi dan aktifitas disakaridase.
c. Enteroaggregative E.coli (EAggEC). Bakteri ini melekat kuat pada
mukosa usus halus dan menyebabkan perubahan morfologi yang khas.
Bagaimana mekanisme timbulnya diare masih belum jelas, tetapi
sitotoksin mungkin memegang peranan.
d. Enteroinvasive E.coli (EIEC). Secara serologi dan biokimia mirip dengan
Shigella. Seperti Shigella, EIEC melakukan penetrasi dan multiplikasi
didalam sel epitel kolon.
e. Enterohemorrhagic E.coli (EHEC). EHEC memproduksi verocytotoxin
(VT) 1 dan 2 yang disebut juga Shiga-like toxin yang menimbulkan edema
dan perdarahan diffuse di kolon. Pada anak sering berlanjut menjadi
hemolytic-uremic syndrome.
f. Shigella spp. Shigella menginvasi dan multiplikasi didalam sel epitel
kolon, menyebabkan kematian sel mukosa dan timbulnya ulkus. Shigella
jarang masuk kedalam alian darah. Faktor virulensi termasuk: smooth
lipopolysaccharide cell-wall antigen yang mempunyai aktifitas endotoksin
serta membantu proses invasi dan toksin (Shiga toxin dan Shiga-like toxin)
yang bersifat sitotoksik dan neurotoksik dan mungkin menimbulkan
watery diarrhea
g. Campylobacter jejuni (helicobacter jejuni). Manusia terinfeksi melalui
kontak langsung dengan hewan (unggas, anjing, kucing, domba dan babi)
atau dengan feses hewan melalui makanan yang terkontaminasi seperti
daging ayam dan air. Kadang-kadang infeksi dapat menyebar melalui
kontak langsung person to person. C.jejuni mungkin menyebabkan diare
melalui invasi kedalam usus halus dan usus besar.Ada 2 tipe toksin yang
dihasilkan, yaitu cytotoxin dan heat-labile enterotoxin. Perubahan
histopatologi yang terjadi mirip dengan proses ulcerative colitis.
h. Vibrio cholerae 01 dan V.choleare 0139. Air atau makanan yang
terkontaminasi oleh bakteri ini akan menularkan kolera. Penularan melalui
person to person jarang terjadi.
i. V.cholerae melekat dan berkembang biak pada mukosa usus halus dan
menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan diare. Toksin kolera ini
sangat mirip dengan heat-labile toxin (LT) dari ETEC. Penemuan terakhir
adanya enterotoksin yang lain yang mempunyai karakteristik tersendiri,
seperti accessory cholera enterotoxin (ACE) dan zonular occludens toxin
(ZOT). Kedua toksin ini menyebabkan sekresi cairan kedalam lumen usus.
j. Salmonella (non thypoid). Salmonella dapat menginvasi sel epitel usus.
Enterotoksin yang dihasilkan menyebabkan diare. Bila terjadi kerusakan
mukosa yang menimbulkan ulkus, akan terjadi bloody diarrhea
3. Protozoa :
a. Giardia lamblia
Parasit ini menginfeksi usus halus. Mekanisme patogensis masih belum
jelas, tapi dipercayai mempengaruhi absorbsi dan metabolisme asam
empedu. Transmisi melalui fecal-oral route. Interaksi host-parasite
dipengaruhi oleh umur, status nutrisi,endemisitas, dan status imun.
Didaerah dengan endemisitas yang tinggi, giardiasis dapat berupa
asimtomatis, kronik, diare persisten dengan atau tanpa malabsorbsi. Di
daerah dengan endemisitas rendah, dapat terjadi wabah dalam 5 – 8 hari
setelah terpapar dengan manifestasi diare akut yang disertai mual, nyeri
epigastrik dan anoreksia. Kadang-kadang dijumpai malabsorbsi dengan
faty stools,nyeri perut dan gembung.
b. Entamoeba histolytica
Prevalensi Disentri amoeba ini bervariasi,namun penyebarannya di
seluruh dunia. Insiden nya mningkat dengan bertambahnya umur,dan
teranak pada laki-laki dewasa. Kira-kira 90% infksi asimtomatik yang
disebabkan oleh E.histolytica non patogenik (E.dispar). Amebiasis yang
simtomatik dapat berupa diare yang ringan dan persisten sampai disentri
yang fulminant.
c. Cryptosporidium
Dinegara yang berkembang, cryptosporidiosis 5 – 15% dari kasus diare
pada anak. Infeksi biasanya siomtomatik pada bayi dan asimtomatik pada
anak yang lebih besar dan dewasa. Gejala klinis berupa diare akut dengan
tipe watery diarrhea, ringan dan biasanya self-limited. Pada penderita
dengan gangguan sistim kekebalan tubuh seperti pada penderita AIDS,
cryptosporidiosis merupakan reemerging disease dengan diare yang lebih
berat dan resisten terhadap beberapa jenis antibiotik.
d. Microsporidium spp
e. Isospora belli
f. Cyclospora cayatanensis
4. Helminths :
a. Strongyloides stercoralis. Kelainan pada mucosa usus akibat cacing
dewasa dan larva, menimbulkan diare.
b. Schistosoma spp. Cacing darah ini menimbulkan kelainan pada berbagai
organ termasuk intestinal dengan berbagai manifestasi, termasuk diare dan
perdarahan usus..
c. Capilaria philippinensis. Cacing ini ditemukan di usus halus, terutama
jejunu, menyebabkan inflamasi dan atrofi vili dengan gejala klinis watery
diarrhea dan nyeri abdomen.
d. Trichuris trichuria. Cacing dewasa hidup di kolon, caecum, dan appendix.
Infeksi berat dapat menimbulkan bloody diarrhea dan nyeri abdomen.
Secara klinis penyebab diare dapat dikelompokkan dalam golongan 6 besar, tetapi
yang sering ditemukan di lapangan ataupun klinis adalah diare yang disebabkan
infeksi dan keracunan. Untuk mengenal penyebab diare yang dikelompokan
sebagai berikut: (Lebenthal, 1989; Daldiyono, 1990; Dep Kes RI, 1999;
Yatsuyanagi, 2002)
1. Infeksi :
a. Bakteri (Shigella, Salmonella, E.Coli, Golongan vibrio, Bacillus Cereus,
Clostridium perfringens, Staphilococ Usaurfus,Camfylobacter,
Aeromonas)
b. Virus (Rotavirus, Norwalk + Norwalk like agent, Adenovirus)
c. Parasit
d. Protozoa (Entamuba Histolytica, Giardia Lambia, Balantidium Coli,
Crypto Sparidium)
e. Cacing perut (Ascaris, Trichuris, Strongyloides, Blastissistis Huminis)
f. Bacilus Cereus, Clostridium Perfringens
2. Malabsorpsi: karbohidrat (intoleransi laktosa), lemak atau protein.
3. Alergi: alergi makanan
4. Keracunan :
a. Keracunan bahan-bahan kimia
b. Keracunan oleh racun yang dikandung dan diproduksi :
1) Jazad renik, Algae
2) b)    Ikan, Buah-buahan, Sayur-sayuran

5. Imunodefisiensi / imunosupresi (kekebalan menurun) : Aids dll


6. Sebab-sebab lain: Faktor lingkungan dan perilaku, Psikologi: rasa takut dan
cemas

C. PATOFISIOLOGI
Fungsi utama dari saluran cerna adalah menyiapkan makanan untuk keperluan
hidup sel, pembatasan sekresi empedu dari hepar dan pengeluaran sisa-sisa
makanan yang tidak dicerna. Fungsi tadi memerlukan berbagai proses fisiologi
pencernaan yang majemuk, aktivitas pencernaan itu dapat berupa:
(Sommers,1994; Noerasid, 1999 cit Sinthamurniwaty 2006)
1. Proses masuknya makanan dari mulut kedalam usus.
2. Proses pengunyahan (mastication) : menghaluskan makanan secara
mengunyah dan mencampur.dengan enzim-enzim di rongga mulut
3. Proses penelanan makanan (diglution) : gerakan makanan dari mulut ke gaster
4. Pencernaan (digestion) : penghancuran makanan secara mekanik,
percampuran dan hidrolisa bahan makanan dengan enzim-enzim
5. Penyerapan makanan (absorption): perjalanan molekul makanan melalui
selaput lendir usus ke dalam. sirkulasi darah dan limfe.
6. Peristaltik: gerakan dinding usus secara ritmik berupa gelombang kontraksi
sehingga makanan bergerak dari lambung ke distal.
7. Berak (defecation) : pembuangan sisa makanan yang berupa tinja.
Dalam keadaan normal dimana saluran pencernaan berfungsi efektif akan
menghasilkan ampas tinja sebanyak 50-100 gr sehari dan mengandung air
sebanyak 60-80%. Dalam saluran gastrointestinal cairan mengikuti secara pasif
gerakan bidireksional transmukosal atau longitudinal intraluminal bersama
elektrolit dan zat zat padat lainnya yang memiliki sifat aktif osmotik. Cairan yang
berada dalam saluran gastrointestinal terdiri dari cairan yang masuk secara per
oral, saliva, sekresi lambung, empedu, sekresi pankreas serta sekresi usus halus.
Cairan tersebut diserap usus halus, dan selanjutnya usus besar menyerap kembali
cairan intestinal, sehingga tersisa kurang lebih 50-100 gr sebagai tinja.
Motilitas usus halus mempunyai fungsi untuk:
1. Menggerakan secara teratur bolus makanan dari lambung ke sekum
2. Mencampur khim dengan enzim pankreas dan empedu
3. Mencegah bakteri untuk berkembang biak.
Faktor-faktor fisiologi yang menyebabkan diare sangat erat hubungannya satu
dengan lainnya. Misalnya bertambahnya cairan pada intraluminal akan
menyebabkan terangsangnya usus secara mekanis, sehingga meningkatkan
gerakan peristaltik usus dan akan mempercepat waktu lintas khim dalam usus.
Keadaan ini akan memperpendek waktu sentuhan khim dengan selaput lendir
usus, sehingga penyerapan air, elektrolit dan zat lain akan mengalami gangguan.
Berdasarkan gangguan fungsi fisiologis saluran cerna dan macam penyebab
dari diare, maka patofisiologi diare dapat dibagi dalam 3 macam kelainan pokok
yang berupa :
1. Kelainan gerakan transmukosal air dan elektrolit (karena toksin)
Gangguan reabsorpsi pada sebagian kecil usus halus sudah dapat
menyebabkan diare, misalnya pada kejadian infeksi. Faktor lain yang juga
cukup penting dalam diare adalah empedu. Ada 4 macam garam empedu yang
terdapat di dalam cairan empedu yang keluar dari kandung empedu.
Dehidroksilasi asam dioksikholik akan menyebabkan sekresi cairan di
jejunum dan kolon, serta akan menghambat absorpsi cairan di dalam kolon.
Ini terjadi karena adanya sentuhan asam dioksikholik secara langsung pada
permukaan mukosa usus. Diduga bakteri mikroflora usus turut memegang
peranan dalam pembentukan asam dioksi kholik tersebut. Hormon-hormon
saluran cerna diduga juga dapat mempengaruhi absorpsi air pada mukosa.
usus manusia, antara lain adalah: gastrin, sekretin, kholesistokinin dan
glukogen. Suatu perubahan PH cairan usus juga. dapat menyebabkan
terjadinya diare, seperti terjadi pada Sindroma Zollinger Ellison atau pada
Jejunitis.
2. Kelainan cepat laju bolus makanan didalam lumen usus (invasive diarrhea)
Suatu proses absorpsi dapat berlangsung sempurna dan normal bila bolus
makanan tercampur baik dengan enzim-enzim saluran cerna dan. berada
dalam keadaan yang cukup tercerna. Juga. waktu sentuhan yang adekuat
antara khim dan permukaan mukosa usus halus diperlukan untuk absorpsi
yang normal. Permukaan mukosa usus halus kemampuannya berfungsi sangat
kompensatif, ini terbukti pada penderita yang masih dapat hidup setelah
reseksi usus, walaupun waktu lintas menjadi sangat singkat. Motilitas usus
merupakan faktor yang berperanan penting dalam ketahanan local mukosa
usus. Hipomotilitas dan stasis dapat menyebabkan mikro organisme
berkembang biak secara berlebihan (tumbuh lampau atau overgrowth) yang
kemudian dapat merusak mukosa usus, menimbulkan gangguan digesti dan
absorpsi, yang kemudian menimbulkan diare. Hipermotilitas dapat terjadi
karena rangsangan hormon prostaglandin, gastrin, pankreosimin; dalam hal ini
dapat memberikan efek langsung sebagai diare. Selain itu hipermotilitas juga
dapat terjadi karena pengaruh enterotoksin staphilococcus maupun kholera
atau karena ulkus mikro yang invasif o1eh Shigella atau Salmonella.Selain
uraian di atas haruslah diingat bahwa hubungan antara aktivitas otot polos
usus,gerakan isi lumen usus dan absorpsi mukosa usus merupakan suatu
mekanisme yang sangat kompleks.
3. Kelainan tekanan osmotik dalam lumen usus (virus).
Dalam beberapa keadaan tertentu setiap pembebanan usus yang melebihi
kapasitas dari pencernaan dan absorpsinya akan menimbulkan diare. Adanya
malabsorpsi dari hidrat arang, lemak dan zat putih telur akan menimbulkan
kenaikan daya tekanan osmotik intra luminal, sehingga akan dapat
menimbulkan gangguan absorpsi air. Malabsorpsi hidrat arang pada umumnya
sebagai malabsorpsi laktosa yang terjadi karena defesiensi enzim laktase.
Dalam hal ini laktosa yang terdapat dalam susu tidak sempurna mengalami
hidrolisis dan kurang di absorpsi oleh usus halus. Kemudian bakteri-bakteri
dalam usus besar memecah laktosa menjadi monosakharida dan fermentasi
seterusnya menjadi gugusan asam organik dengan rantai atom karbon yang
lebih pendek yang terdiri atas 2-4 atom karbon. Molekul-molekul inilah yang
secara aktif dapat menahan air dalam lumen kolon hingga terjadi diare.
Defisiensi laktase sekunder atau dalam pengertian yang lebih luas sebagai
defisiensi disakharidase (meliputi sukrase, maltase, isomaltase dan trehalase)
dapat terjadi pada setiap kelainan pada mukosa usus halus. Hal tersebut dapat
terjadi karena enzim-enzim tadi terdapat pada brush border epitel mukosa
usus. Asam-asam lemak berantai panjang tidak dapat menyebabkan tingginya
tekanan osmotik dalam lumen usus karena asam ini tidak larut dalam air.
D. PATHWAY DIARE
E. KOMPLIKASI
Kehilangan cairan dan kelainan elektrolit merupakan komplikasi utama,
terutama pada usia lanjut dan anak-anak. Pada diare akut karena kolera
kehilangan cairan secara mendadak sehingga terjadi shock hipovolemik yang
cepat. Kehilangan elektrolit melalui feses potensial mengarah ke hipokalemia dan
asidosis metabolik.(Hendarwanto, 1996; Ciesla et al, 2003)
Pada kasus-kasus yang terlambat meminta pertolongan medis, sehingga syok
hipovolemik yang terjadi sudah tidak dapat diatasi lagi maka dapat timbul
Tubular Nekrosis Akut pada ginjal yang selanjutnya terjadi gagal multi organ.
Komplikasi ini dapat juga terjadi bila penanganan pemberian cairan tidak adekuat
sehingga tidak tecapai rehidrasi yang optimal. (Nelwan, 2001; Soewondo, 2002;
Thielman & Guerrant, 2004)
Haemolityc uremic Syndrome (HUS) adalah komplikasi yang disebabkan
terbanyak oleh EHEC. Pasien dengan HUS menderita gagal ginjal, anemia
hemolisis, dan trombositopeni 12-14 hari setelah diare. Risiko HUS akan
meningkat setelah infeksi EHEC dengan penggunaan obat anti diare, tetapi
penggunaan antibiotik untuk terjadinya HUS masih kontroversi.
Sindrom Guillain – Barre, suatu demielinasi polineuropati akut, adalah
merupakan komplikasi potensial lainnya dari infeksi enterik, khususnya setelah
infeksi C. jejuni. Dari pasien dengan Guillain – Barre, 20 – 40 % nya menderita
infeksi C. jejuni beberapa minggu sebelumnya. Biasanya pasien menderita
kelemahan motorik dan memerlukan ventilasi mekanis untuk mengaktifkan otot
pernafasan. Mekanisme dimana infeksi menyebabkan Sindrom Guillain – Barre
tetap belum diketahui.
Artritis pasca infeksi dapat terjadi beberapa minggu setelah penyakit diare
karena Campylobakter, Shigella, Salmonella, atau Yersinia spp
Menurut SPM Kesehatan Anak IDAI (2004) dan SPM Kesehatan Anak
RSUD Wates (2001), Komplikasi Diare yaitu:
1. Kehilangan air dan elektrolit : dehidrasi, asidosis metabolic
2. Syok
3. Kejang
4. Sepsis
5. Gagal Ginjal Akut
6. Ileus Paralitik
7. Malnutrisi
8. Gangguan tumbuh kembang

F. PEMERIKSAAN LABORATORIUM DAN PENUNJANG LAINNYA


Pemeriksaan Laboratorium yang dapat dilakukan pada diare adalah sebagai
berikut :
1. Lekosit Feses (Stool Leukocytes): Merupakan pemeriksaan awal terhadap
diare kronik. Lekosit dalan feses menunjukkan adanya inflamasi intestinal.
Kultur Bacteri dan pemeriksaan parasit diindikasikan untuk menentukan
adanya infeksi. Jika pasien dalam keadaan immunocompromisedd, penting
sekali kultur organisma yang tidak biasa seperti Kriptokokus,Isospora dan
M.Avium Intracellulare. Pada pasien yang sudah mendapat antibiotik, toksin
C difficle harus diperiksa.
2. Volume Feses: Jika cairan diare tidak terdapat lekosit atau eritrosit, infeksi
enteric atau imfalasi sedikit kemungkinannya sebagai penyebab diare. Feses
24 jam harus dikumpulkan untuk mengukur output harian. Sekali diare harus
dicatat (>250 ml/day), kemudian perlu juga ditentukan apakah terjadi steatore
atau diare tanpa malabsorbsi lemak.
3. Mengukur Berat dan Kuantitatif fecal fat pada feses 24 jam: Jika berat feses
>300/g24jam mengkonfirmasikan adanya diare. Berat lebih dari 1000-1500 gr
mengesankan proses sektori. Jika fecal fat lebih dari 10g/24h menunjukkan
proses malabsorbstif.
4. Lemak Feses : Sekresi lemak feses harian < 6g/hari. Untuk menetapkan suatu
steatore, lemak feses kualitatif dapat menolong yaitu >100 bercak merak
orange per ½ lapang pandang dari sample noda sudan adalah positif. False
negatif dapat terjadi jika pasien diet rendah lemak. Test standard untuk
mengumpulkan feses selama 72 jam biasanya dilakukan pada tahap akhir.
Eksresi yang banyak dari lemak dapat disebabkan malabsorbsi mukosa
intestinal sekunder atau insufisiensi pancreas.
5. Osmolalitas Feses : Dipeerlukan dalam evaluasi untuk menentukan diare
osmotic atau diare sekretori. Elekrolit feses Na,K dan Osmolalitas harus
diperiksa. Osmolalitas feses normal adalah –290 mosm. Osmotic gap feses
adalah 290 mosm dikurangi 2 kali konsentrasi elektrolit faeces (Na&K)
dimana nilai normalnya <50 mosm. Anion organic yang tidak dapat diukur,
metabolit karbohidrat primer (asetat,propionat dan butirat) yang bernilai untuk
anion gap, terjadi dari degradasi bakteri terhadap karbohidrat di kolon
kedalam asam lemak rantai pendek. Selanjutnya bakteri fecal mendegradasi
yang terkumpul dalam suatu tempat. Jika feses bertahan beberapa jam
sebelum osmolalitas diperiksa, osmotic gap seperti tinggi. Diare dengan
normal atau osmotic gap yang rendah biasanya menunjukkan diare sekretori.
Sebalinya osmotic gap tinggi menunjukkan suatu diare osmotic.
6. Pemeriksaan parasit atau telur pada feses : Untuk menunjukkan adanya
Giardia E Histolitika pada pemeriksaan rutin. Cristosporidium dan cyclospora
yang dideteksi dengan modifikasi noda asam.
7. Pemeriksaan darah : Pada diare inflamasi ditemukan lekositosis, LED yang
meningkat dan hipoproteinemia. Albumin dan globulin rendah akan
mengesankansuatu protein losing enteropathy akibat inflamasi intestinal.
Skrining awal CBC,protrombin time, kalsium dan karotin akan menunjukkan
abnormalitas absorbsi. Fe,VitB12, asam folat dan vitamin yang larut dalam
lemak (ADK). Pemeriksaan darah tepi menjadi penunjuk defak absorbsi
lemak pada stadium luminal, apakah pada mukosa, atau hasil dari obstruksi
limfatik postmukosa. Protombin time,karotin dan kolesterol mungkin turun
tetapi Fe,folat dan albumin mengkin sekali rendaah jika penyakit adalah
mukosa primer dan normal jika malabsorbsi akibat penyakit mukosa atau
obstruksi limfatik.
8. Tes Laboratorium lainnya: Pada pasien yang diduga sekretori maka dapat
diperiksa seperti serum VIP (VIPoma), gastrin (Zollinger-Ellison Syndrome),
calcitonin (medullary thyroid carcinoma), cortisol (Addison’s disease), anda
urinary 5-HIAA (carcinoid syndrome).
9. Diare Factitia : Phenolptalein laxatives dapat dideteksi dengan alkalinisasi
feses dengan NaOH yang kan berubah warna menjadi merah. Skrining laksatif
feses terhadap penyebab lain dapat dilakukan pemeriksaan analisa feses
lainnya. Diantaranya Mg,SO4 dan PO4 dapat mendeteksi katartik osmotic
seperti MgSO4,mgcitrat Na2 SO4 dan Na2 PO4.
G. PENATALAKSANAAN
Menurut Kemenkes RI (2011), prinsip tatalaksana diare pada balita adalah
LINTAS DIARE (Lima Langkah Tuntaskan Diare), yang didukung oleh Ikatan
Dokter Anak Indonesia dengan rekomendasi WHO. Rehidrasi bukan satu-satunya
cara untuk mengatasi diare tetapi memperbaiki kondisi usus serta mempercepat
penyembuhan/menghentikan diare dan mencegah anak kekurangan gizi akibat
diare juga menjadi cara untuk mengobati diare.
1. Berikan Oralit
Untuk mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan mulai dari rumah
tangga dengan memberikan oralit osmolaritas rendah, dan bila tidak tersedia
berikan cairan rumah tangga seperti air tajin, kuah sayur, air matang. Oralit
saat ini yang beredar di pasaran sudah oralit yang baru dengan osmolaritas
yang rendah, yang dapat mengurangi rasa mual dan muntah. Oralit merupakan
cairan yang terbaik bagi penderita diare untuk mengganti cairan yang hilang.
Bila penderita tidak bisa minum harus segera di bawa ke sarana kesehatan
untuk mendapat pertolongan cairan melalui infus.
2. Berikan obat Zinc
Zinc merupakan salah satu mikronutrien yang penting dalam tubuh. Zinc
dapat menghambat enzim INOS (Inducible Nitric Oxide Synthase), dimana
ekskresi enzim ini meningkat selama diare dan mengakibatkan hipersekresi
epitel usus. Zinc juga berperan dalam epitelisasi dinding usus yang mengalami
kerusakan morfologi dan fungsi selama kejadian diare.
3. Pemberian Antibiotika hanya atas indikasi
Antibiotika tidak boleh digunakan secara rutin karena kecilnya kejadian diare
pada balita yang disebabkan oleh bakteri. Antibiotika hanya bermanfaat pada
penderita diare dengan darah (sebagian besar karena shigellosis), suspek
kolera.
Obat-obatan Anti diare juga tidak boleh diberikan pada anak yang menderita
diare karena terbukti tidak bermanfaat. Obat anti muntah tidak di anjurkan
kecuali muntah berat. Obat-obatan ini tidak mencegah dehidrasi ataupun
meningkatkan status gizi anak, bahkan sebagian besar menimbulkan efek
samping yang bebahaya dan bisa berakibat fatal. Obat anti protozoa
digunakan bila terbukti diare disebabkan oleh parasit (amuba, giardia).

H. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL


1. Diare b.d factor psikologis  (tingkat stress dan   cemas tinggi), faktor 
situasional ( keracunan, penyalahgunaan laksatif,  pemberian makanan
melalui selang efek samping obat, kontaminasi, traveling), factor fisiologis
(inflamasi, malabsorbsi, proses infeksi, iritas, parasit)
2. Hipertermi b.d peningkatan metabolic, dehidrasi, proses infeksi,   medikasi
3. Kekurangan volume cairan b.d kehilangan volume cairan aktif, kegagalan
dalam mekanisme pengaturan.
4. PK : Syok hipovolemik b.d dehidrasi
5. Cemas orang tua b.d proses penyakit anaknya
6. Takut b.d tindakan invasive, hospitalisasi, pengalaman yang kurang
menyenangkan.
7. Kurang pengetahuan tentang penyakit diare b.d kurang informasi,
keterbatasan kognisi, tidak familiar dengan sumber informasi
8. Resiko kelebihan volume cairan b.d overhidrasi
9. Penurunan cardiac output b.d penurunan suplai cairan/darah
10. Pola nafas tidak efektif b.d  hiperventilasi
11. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai
oksigen
No. Masalah Keperawatan NOC NIC RASIONAL

1 Diare b.d inflamasi Setelah dilakukan 3x24 tindakan Manajemen Diare : 1. Memastikan penyebab diare
gastrointestinal keperawatan diharapkan diare pada 2. Guna mementukan terapi y
1. Identifikasi penyebab diare
pasien teratasi dengan kriteria hasil : akan diberikan
DS : 2. Monitor tanda dan gejala diare
3. Memastikan apakah maka
Eliminasi usus : 3. Evaluasi kandungan nutrisi dari
Ibu mengatakan : yang dimakan sebelum
makanan yang sudah dikonsumsi
1. Tidak ada diare merupakan penye
- BAB anak encer sebelumnya
2. Pola eliminasi baik diare/bukan.
- frekuensi BAB >5x 4. Monitor kulit perineum terhadap
3. Peristaltic usus normal 4. Melihat apakah terjadi iri
hari adanya ulserasi dan iritasi
4. Konsistensi feses lembut dan pada area perineum
DO : 5. Ajari pasien/keluarga cara
berbentuk 5. Agar tidak terjadi kesala
penggunaan obat anti diare dengan
Frekuensi peristaltic meningkat saat mengkonsumsi obat
tepat
6. Memastikan apakah pa
6. Evaluasi efek samping pengobatan
tidak memiliki tanda/gejala
pada gastrointestinal
efek samping obat
7. Berikan makanan dalam porsi 7. Memberikan makanan da
kecil dan lebih sering serta porsi kecil untuk memen
tingkatkan porsi secara bertahap asupan makanan
8. Hubungi dokter jika terjadi 8. Untuk mendiskusikan kem
peningkatan frekuensi bab dan pengobatan/perawatan a
bising usus diare berkurang
2. Kekurangan volume cairan Setelah dilakukan tindakan Manajemen Cairan : 1. Unt
b.d kehilangan cairan aktif keperawatan selama 2 x 24 jam mengetahui perkemban
1.
diharapkan kekurangan volume terkait keseimbangan ca
DS : monitor status pasien
cairan pada pasien dapat teratasi pasien
2.
DO : dengan kriteria hasil: 2. Unt
catat output
mengumpulkan
- Anak tampak lemah Keseimbangan Cairan 3.
menganalisis data un
- Suhu tubuh 38 OC mukosa lembab dan denyut nadi
1. Tek mengatur keseimbangan cair
- Tekanan darah 90/60 adekuat)
anan darah normal 3. Unt
mmHg 4.
2. Kes mengetahui tingkat dehid
- Kulit kering 5.
eimbangan intake dan output baik pada anak
- Bibir kering dikonsumsi dan hitung asupan kalori
3. Tur 4. Unt
- Turgor kulit kembali sangat harian
gor kulit baik mengetahui serta mengana
lambat 6.
4. Kel terkait makanan/cairan y
Dukung pasien dan keluarga untuk
embaban membrane mukosa dikonsumsi
membantu dalam pemberian makan
normal 5. Unt
dengan baik memenuhi kebutuhan nu
anak
7.
6. Unt
menambah nafsu makan ana
7. Pe
anti cairan
DAFTAR PUSTAKA

Avikar, Anupkumar, dkk. 2008. Role of Escherichia coli in acute diarrhoea in tribal preschool children of central India.
Journal Compilation Paediatric and Perinatal Epidemiology, No. 22, 40–46.
Chakraborty, Subhra, dkk. 2001. Concomitant Infection of Enterotoxigenic Escherichia coli in an Outbreak of Cholera
Caused by Vibrio cholera O1 and O139 in Ahmedabad, India. JOURNAL OF CLINICAL MICROBIOLOGY Vol. 39,
No. 9 p. 3241–3246.
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2008. Buku Saku Petugas Kesehatan LINTAS
DIARE. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Doengoes, M.E., 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta.
Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New Jersey: Upper Saddle River
Komite Medis RS. Dr. Sardjito. 2005. Standar Pelayanan Medis RS DR. Sardjito. Yogyakarta: MEDIKA Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
Mattingly, David., Seward,Charles. 2006. Bedside Diagnosis 13th Edition. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition. New Jersey: Upper Saddle
River
Mubarak, W. I., B.A. Santoso., K. Rozikin., and S.Patonah. 2006. Ilmu Keperawatan komunitas 2: Teori & Aplikasi
dalam Praktik dengan Pendekatan Asuhan Keperawatan Komunitas, Gerontik, dan Keluarga. Jakarta: Sagung Seto.
Purwo Sudarmo S., Gama H., Hadinegoro S. 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak: Infeksi dan Penyakit Tropis. Ikatan
Dokter Anak Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima Medika
Sudoyo, Aru, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
Bulechek, M.G.; Butcher, H.K.; Dochterman, J.M.; & Wagner, C.M. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC), 6th edition.
United State Of America: Mosby Elsevier, Inc

Herdman, T, Heather. NANDA Internasional Inc. Diagnosa Keperawatan: Defenisi & Klasifikasi 2015-2017 edisi 10. Jakarta: EGC

Moohead, S.; Johnson, M.; Maas, M.L.; & Swanson, E. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC) 5th edition. United State Of
America: Mosby Elsevier, Inc

Anda mungkin juga menyukai