Anda di halaman 1dari 5

Nama: Raihanita Fadilah Saputra

Kelas: C

NPM : 201000130

Analisis islam hubungan islam dengan etnis sunda

Para ahli sejarah berpendapat bahwa kata Sunda berasal dari akar kata sund atau
kata suddha dalam bahasa Sansekerta yang mempunyai pengertian bersinar, terang,
berkilau, putih. Dalam bahasa Jawa Kuno (Kawi) dan bahasa Bali pun terdapat kata
Sunda, dengan pengertian: bersih, suci, murni, tak tercela/bernoda, air, tumpukan,
pangkat, waspada. Orang Sunda meyakini bahwa memiliki etos atau karakter
kasundaan, sebagai jalan menuju keutamaan hidup.

Karakter orang Sunda yang dimaksud adalah cageur (sehat), bageur (baik), bener
(benar), singer (mawas diri), wanter (berani) dan pinter (cerdas)

Islam merupakan agama yang sangat berpengaruh dan mempengaruhi kebudayaan


daerah di tanah pasundan.

Pengaruh islam yang paling menonjol terjadi pada wilayah Banten dan pesisir jawa.

“islam sunda” dapat diartikan sebagai identitas etnik yang sepadan seperti islam
jawa, islam cina, islam arab, dan islam lainnya.

Karakteristik keislaman dalam sunda dapat dilihat dapat dilihat diantaranya dalam
pakaian wanita nya, dengan pakaian kebaya dan kerudungnya memperlihatkan
kesadaran berpakaian yang islami. Kemudian dalam bentuk teradisi-tradisi lain
seperti sunatan, mauludan, rajaban, marhaba-an dan upacara perkawinan.

Kesadaran menjalankan ajaran Islam pada masyarakat Sunda itulah yang


melahirkan tatanan sosial dan budaya yang dipenuhi tanda-tanda kekuasaan Allah
atau tanda-tanda kehidupan yang islami. Hal ini sebagaimana firman-Nya bahwa,
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka
tentang kebenaran. Dia menyaksikan segala sesuatu” (Q.S. Fushilat, 41: 53).

Tanda tanda kekuasaan Allah di tatar sunda ialah dalam wujud budaya budaya
islami yang dapat menjadi indikasi bahwa adanya etnik yang keberadaannya
sebagai sunnatullah namun berupaya menuju jalan taqwa. Yang sesuai dengan
firman Allah bahwa “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Waspada” (Q.S. 49: 13).

Etnik sunda yang memperlihatkan gerak kebudayaannya yang islami sekaligus


menggambarkan realitas etnik yang sesuai dengan keinginan Allah, yakni suatu
suku yang diciptakan untuk mencapai predikat taqwa, yang dapat dilihat dalam
kehidupan sehari hari masyarakat etnik sunda yang menjunjung tinggi dengan
menerapkan kehidupan yang bertaqwa dan berakhlaq. Tercermin melalui Tradisi
LIsan dan Tradisi budaya sunda.

Gambaran tentang Islam dengan etnik sunda ditunjukkan dengan tradisi tradisi
Sunda yang mengandung da’wah islamiyah yang bukan hanya membuka mata
publik akan adanya kekayaan budaya pada masyarakat yang bernuansa islami,
namun tradisi-tradisi sunda tersebut juga mampu menjadi bagian norma sosial yang
berlaku dalam kehidupan masyarakat serta juga dapat merubah pandangan hidup
masyarakat sunda. Hal ini dapat dilihat dengan jelas di tengah kehidupan
bermasyarakat sunda secara umum yang dilandasi oleh perilaku kasilihwangian
yang istilah ini berasal dari kata silihwangi , yaitu gelar atau sebutan Raja Tatar
Sunda Jaya Dewata setelah meninggal dunia. Gelar ini diberikan karena Prabu Jaya
Dewata semasa hidupnya memiliki sifat asih-asah-asuh yang mengharapkan
rakyatnya agar hidup Silih Asih, Silih Asah dan Silih Asuh. Dalam kalimat “Silas”
terdapat kata silih yang mengandung arti saling, menunjukan kepada suatu
pekerjaan yang bersifat resiprokal, artinya ada dua orang yang keduanya berperan
sebagai subjek sekaligus sebagai objek. Silas merupakan satu sistem. Silih asiih
berarti tingkah laku saling mengasihi dan saling menyayangi, yang diterapkan
dalam gawe, tanpa pamrih, dan rasa memiliki.
Silih asah berarti membuat suatu menjadi tajam, termasuk pikiran manusia atau
dapat diartikan saling memberi ilmu pengetahuan yang diwujudkan dalam sikap ada
kemauan, musyawarah, dan berlomba lomba dalam kebajikan. Silih asuh berarti
membimbing, mendidik, dan membantu. Unsur yang terdapat dalam silih asuh ini
antara lain ialah kesehjateraan, bersih hati, tauladan, dan reformasi.

Munculnya istilah “islam teh Sunda, Sunda teh Islam´ Nilai-nilai itu turunan atau
tafsir terhadap nilai-nilai keislaman, te-tapi juga warisan budaya dan filosofi
masya-rakat sunda bahkan sebelum datangnya Is-lam. Ini tidak aneh, karena Islam
sebagai aga-ma fitrah pada dasarnya saluran dan peri-ngatan terhadap
kecenderungan baik (hanif) dalam diri manusia. Berdasarkan sekian banyak titik
temu antara budaya sunda dan Islam maka sangat wajar jika kemudian sunda
identik dengan Islam dan Islam identik dengan sunda “Islam teh Sunda, Sunda teh
Islam”. Namun harmoni ini tidak semua orang menyukainya, pihak-pihak yang
tidak menginginkan Islam dan sunda bergandengan tangan melakukan berbagai
agitasi untuk memisahkan dan mengadu domba antara keduanya.

Oleh karena itu, manusia Sunda dalam kehidupannya selalu menggunakan rasa (bo-
ga rasa rumasa, ngaji diri). Bahkan dalam banyak hal, orang Sunda selalu bersyukur
atas apa yang diterimanya, sehingga “syukuran” bagian dari tradisi atas nikmat
yang diperolehnya. Lebih dari itu, ketika ditimpa mu-sibah ia selalu bersyukur
dengan istilah “untung”.

Dalam bahasa islam disebut ummatan wasathan, umat yang pertengahan. Menurut
ajaran islam, sikap tamak merupakan sikap yang sangat tercela. Bahkan dalam
hidup kita juga dianjurkan untuk adanya keseibangan di dunia dan akhirat, seperti
diungkapkan dalam ayat Al-quran.

Saat ini kita saksikan terjadi jurang pemisah yang dalam antara para penganut Islam
yang berusaha untuk istiqamah yang menganggap bahwa budaya dan tradisi lokal
tidak sesuai dengan nilai-nilai Illâhiyyah sebagai agama samawi, sementara pihak-
pihak yang berusaha menapaki jalan karuhun bersikap apatis seolah-olah Islam
adalah agama impor yang hendak menghancurkan kebudayaan sunda.
Rekonstruksi istilah ini adalah dengan menggali sumber-sumber Islam yaitu al-
Quran dan al-Sunnah yang berkaitan dengan tradisi dan adat-istiadat pada suatu
masyarakat Teori ‘urf merupakan respon ahli hukum Islam terhadap adat kebiasaan
yang berlaku di masyarakat.
Inti teori ini adalah bahwa adat ke-biasaan yang dilakukan oleh manusia secara
berulang-ulang dan dipandang baik oleh mereka bisa diterima oleh Islam sebagai
dalil hukum. Sejatinya penerimaan ‘urfsebagai dalilhukum Islam telah dilakukan
sejak masa Nabi Muhammad SAWdan para sahabatnya

Ahli hukum Islam yang menggagas teori ini adalah Mâlik bin Anas, beliau
berpendapat bahwa ‘urfmasyarakat harus dipertimbang-kan dalam
memformulasikan suatu ketetap-an dalam hukum Islam. Ia menetapkan ‘amal
penduduk Madinah sebagai sumber hukum ketika tidak ditemukan secara eksplisit
dalil Umar bin Khattab tercatat sebagai khalifah yang banyak menjadikan adat
kebiasaan masyarakat pada negeri-negeri taklukan sebagai bagian dari sistem
kekhalifahannya. Misalnya ia mengadopsi sistem diwan,registrasi, kharaj dan
layanan pos yang sebagian diambil dari adat kebaisaan kekaisaran Bizantium dan
Persia.

Ayat al-Quran dengan ‘urf Arab pada permasalahan hak menyusui bagi seorang
ibu Menurutnya, walaupun ayat ini memerintahkan para ibu untuk menyusui
anaknya hingga dua tahun, namun dalam praktiknya ibu-ibu di Arab te-lah terbiasa
dengan menyusukan anak-anak-nya kepada perempuan-perempuan dari wi-layah
pedalaman dengan harapan anak-anak-nya tersebut mendapatkan pendidikan dan
lingkungan pertumbuhan yang baik.Imâm Syâfi’îjuga menggunakan ‘urfse-bagai
dalil dalam menetapkan suatu hukum Islam, terlihat dari perubahan hukum ketika ia
berpindah dari Baghdad ke Mesir dengan pertimbangan ‘urf penduduk Mesir.

Abdurrahman MBP, Rekonstruksi Islam teh Sunda, Sunda teh Islam ...| 27Teori
‘urf didasarkan ayat-ayat al-Qurandan hadits-hadits Nabi Muhammad SAW. Ayat-
ayat al-Quran yang menjadi dasar bagi teori ini adalah firman Allah ta’ala: َِ
ْ ِ ‫َْعِْرْ عَأ َ ِو ْف ُر ْع‬Kِ ‫ لِهاَْااِن‬Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan
ُِ ‫أ َ َووْ فَ ْع‬KK‫ال ُر ْم‬
‫خ‬LK‫ِال‬
yang ma‘ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”. Makna ma‘ruf
dalam ayat ini adalah sesuatu yang telah diketahui kebaikannya oleh semua
manusia.

Berdasarkan pembahasan mengenai re-konstruksi istilah “Islam teh Sunda, Sunda


teh Islam” maka ada beberapa kesimpulan :
Imam al-Sakhâwîberpendapat bahwa matan hadits ini terdapat dalam musnad Imâm
Ahmad ibn Hanbal dan berstatus mauqûf dari ‘Abdullah ibn Mas‘ud serta statusnya
Hasan. Pendapat senada juga dilontarkan oleh al-Alla‘î sebagaimana yang dikutip
oleh Abû Bakr al-Suyûthî yang menyatakan bahwa matan hadits ini tidaklah marfu‘
dari Rasulullah SAW akan tetapi merupakan perkataan ‘Abdullah ibn Mas‘ud.

Anda mungkin juga menyukai