Anda di halaman 1dari 23

Tema:

“HAMBA TUHAN DI TENGAH PLURALITAS AGAMA DAN BUDAYA”

Pendahuluan
Eksistensi hidup dan pelanyanan hamba Tuhan masa kini menghadapi
tantangan pluralitas, yaitu fakta adanya perbedaan suku, bangsa, warna kulit dan
bahasa. Keragaman itu menjadi kekayaan sekaligus potensi konflik dalam komunitas.
Secara internal, telah cukup lama gereja-gereja mengisolasi diri dalam komunitas-
komunitas eksklusif dari suku, bangsa, bahasa dan daerahnya masing-masing. Namun
dengan semakin mengglobalnya masyarakat dunia, maka tidak dapat dihindari
terjadinya percampuran suku dan bangsa dalam gereja. Sebagai contoh, di GKJ
Rawamangun tidak hanya orang Jawa yang menjadi jemaat, melainkan juga orang
Batak, Timor, Minahasa, dll. Di GKP Majalengka ada pendeta berdarah Minahasa di
tengah jemaat yang mayoritas dari suku Batak.1 Amanat Agung Tuhan Yesus sudah
menegaskan bahwa semua orang Kristen bertanggung jawab untuk menjadikan semua
suku (bangsa) murid-Nya (Mat 28:19-20). Dalam konteks pluralitas ini, hamba Tuhan
dituntut memiliki kemampuan mengidentifikasi aspek-aspek perbedaan yang ada
sebagaimana dikemukakan oleh Hesselgrave,“Effectiveness in Christian cross-
cultural counseling and helping, as in all cross-cultural counseling, depend upon the
ability to correctly identify and interpret universal, group-specific, and idiosyncratic
factor which both counselor and counselees bring to the counseling situation”.2
Keragaman harus dikelola dengan baik agar tercipta kehidupan harmonis dan
kondusif bagi pertumbuhan iman yang sehat.
Secara eksternal, gereja sebagai bagian integral masyarakat dunia juga tidak
dapat menghindar dari fakta pluralitas global. Fenomena ini juga telah menjadi salah
satu krisis global. Konflik antar suku, bangsa dan agama telah mengganas yang
mengorbankan banyak jiwa.
Bagaimana para hamba Tuhan atau pemimpin gereja menyikapi fenomena
pluralitas di dalam maupun di luar gereja tersebut? Tema ini menantang kita untuk
mendeskripsikan problematika pluralitas dan mengusulkan sebuah sikap Alkitabiah
yang menjadi dasar bagi para hamba Tuhan, dan jemaat pada umumnya, dalam
menyikapi realitas pluralitas secara kontekstual tanpa mengorbankan kekhasan iman
Kristen.

1. Problematika Pluralitas Agama dan Budaya


Menurut David C. Korten, masyarakat dunia mengalami tiga krisis global
yaitu: kemiskinan, degradasi lingkungan hidup dan tindak kekerasan (disintegrasi)
sosial.3 Khususnya mengenai disintegrasi sosial, Felix Wilfred juga menegaskan

1
Stephen Suleeman, “Jemaat Kita Mau Jadi Apa? Kemajemukan Di Tengah Jemaat Kita”
dalam Berita Oikoumene, Edisi Februari (Jakarta: PGI, 2012), 6.
2
David J. Hesselgrave, Counseling Cross-culturally-An Introduction to Theory and Pratice
for Christians (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1984), 147
3
David C. Korten, Menuju Abad ke-21 (Yogyakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), 165.
2

bahwa proses globalisasi memang menghasilkan disintegrasi umat manusia.4 Budi


Winarno menegaskan bahwa konflik antar etnik telah menjadi isu global
kontemporer.5 Konflik tersebut berskala global dalam wujud tindak kekerasan bahkan
‘konflik bersenjata’ yang telah memusnahkan jutaan jiwa manusia.6
Disintegrasi sosial juga mewujud dalam konflik antaragama seperti yang
terjadi di Irlandia: antara Katolik dan Protestan, di Bosnia-Herzegovina: antara Islam
dan Kristen, di Palestina: antara Islam dan Kristen, di Sudan: antara Islam dan
Kristen, di Irak - Iran dan di Pakistan: antara Islam Sunni dan Islam Syi’ah, di India:
antara Islam dan Hindu, di Srilangka: antara Hindu dan Budhisme, di Burma: antara
Budhisme dan Islam, dan di Filipina: antara Katolik dan Islam. 7 Konflik multi rasial
juga terjadi dalam bentuk perbudakan di Amerika, anti semitis di Jerman dan
Aphartheid di Afrika Selatan.8
Indonesia adalah negara dengan heterogenitas sangat tinggi. Semboyan
Bhineka Tunggal Ika yang dimiliki juga terkesan lebih menonjolkan ‘kebhinekaan’-
nya daripada kesatuannya. Sebab itu disintegrasi tetap menjadi bahaya laten yang riil
dan potensiil.9 Faktanya, disintegrasi sosial itu benar-benar terjadi di Indonesia di
akhir era Orde Baru bahkan di sepanjang era Reformasi ini. Misalnya, seperti yang
tercermin dalam peristiwa-peristiwa bermotif agama yang terjadi di Situbondo, Tasik
Malaya, Mataram, Ambon dan Poso. Konflik-konflik tersebut telah menghancurkan
nilai material dan kultural bangsa. Misalnya, peristiwa amuk massa di Situbondo pada
10 Oktober 1996 telah menghancurkan sarana keagamaan sekaligus menimbulkan
derita traumatis berkepanjangan bagi banyak anak bangsa.10 Di era Reformasi juga
telah terjadi penutupan, perusakan dan pembakaran 408 gereja.11 Konflik-konflik
kultural juga terjadi seperti di Kalimantan Barat dan Tengah antara suku Dayak,
Melayu dan Madura pada tahun 2000-2001.12 Data Persekutuan Gereja-gereja
Indonesia (PGI) mencatat bahwa pada tahun 2002-2005 terjadi lagi penutupan 27
gereja.13 Tahun 2006-2007 hal serupa masih terjadi. Misalnya, pada 3 Juni 2007
tindakan anarkhis dilakukan terhadap Gereja Sidang Jemaat Allah (GSJA) di

4
Felix Wilfred, “Religions Face to Face with Globalization” dalam Jurnal of Theologies and
Cultures in Asia (JTCA), Vol. 2, 2003, 32.
5
Budi Winarno, Isu-isu Global Kontemporer (Yogyakarta: Caps, 2011), 223-239.
6
Hugh Miall, Oliver Ramsbotham, Tom Woodhouse, Resolusi Damai Konflik Kontemporer
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), 28-38.
7
Sulaiman Manguling, “Konflik Antaragama: Kasus-Kasus Lokal Dan Nasional Dan Proyeksi
ke Depan” dalam Jurnal Proklamasi, No.1, Tahun I (Jakarta: STT Jakarta, 2001), 78-79.
8
John R.W. Stott, Isu-Isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani (Jakarta: Yayasan
Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1984), 274-299
9
Eka Darmaputera, Pancasila: Identitas dan Modernitas (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993),
13.
10
Josephus A. Suatan (Peny.) Peristiwa Kamis Hitam Situbondo (Badan Kerja sama Gereja-
gereja se Jawa Barat, tt), 5 -10.
11
Rina (Ed.), Batu-Batu Tersembunyi (Surabaya: Yayasan Kasih Dalam Perbuatan, 2001),152.
12
Jan S. Aritonang, Sejarah Pejumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2004), 560.
13
PGI, “Gedung Gereja Masih Ditutup”, dalam Narwastu, Juli 2007, 48-49.
3

Bandung dan GSJA Taloyang, Garut Selatan.14 Bahkan hingga tahun 2008 ini aksi
anarkhis terhadap gereja belum berhenti. Misalnya, pada 14 Juni 2008 terjadi
pembongkaran gereja GEKINDO dan HKBP ‘Getsemani’ oleh Camat dari
Kecamatan Tambun, Bekasi, Jawa Barat.15 Kasus serupa dialami GKI Taman
Yasmin Bogor dan Gereja St Johanes. Menurut catatan Setara Institut, pada tahun
2011 telah terjadi 244 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang
mengandung 299 bentuk tindak kekerasan. Paling tinggi tingkat pelanggaran tersebut
terjadi di Jawa Barat, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.16
Alasan telak yang paling sering digunakan pihak Islam untuk menyerang
gereja ialah tidak adanya ‘Ijin Mendirikan Bangunan’ (IMB) atau penyalahgunaan
fungsi tempat tinggal menjadi tempat ibadah. Mereka menyebut bangunan seperti itu
sebagai gereja ilegal.17 Terhadap kasus tersebut PGI melayangkan protes keras
kepada Menteri Agama RI dan Menteri Dalam Negeri RI agar mereka menegur
Camat Tambun Selatan, Bekasi, Jawa Barat dan memulihkan hak-hak jemaat untuk
beribadah.18 Selain tindak kekerasan terhadap Gereja, masih banyak konflik lain
yang berbau SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) yang terus terjadi di
Indonesia, sehingga telah menghancurkan nilai-nilai kultural bangsa Indonesia.
Secara rohani, terjadinya berbagai konflik religio kultural tersebut
disebabkan oleh dosa dan kebutaan terhadap kebenaran yang berkaitan dengan
ketidakpedulian terhadap hakikat manusia dan karakter sosial serta hukum yang
mengatur relasi antar sesama.19 Selain itu, terjadinya konflik-konflik tersebut juga
menunjukkan rendahnya pemahaman tentang Multikulturalisme (keragaman budaya)
di Indonesia. Weinata Sairin menegaskan bahwa kerukunan akan tercipta apabila
masyarakat memiliki kesadaran mengenai multikulturalisme, sehingga kehidupan
dipenuhi suasana toleransi, tenggang rasa dan harmonis.20

2. Tantangan Pluralitas Bagi Hamba Tuhan/Pemimpin Kristen.

14
H.S, “GSJA Jemaat ‘Soreang’ Bandung Diserang Massa” dalam Narwastu, Juli 2007, 48-
49.

15
Paul Makugoru, “Camat Bongkar Tempat Ibadah” dalam Tabloid Reformata, Edisi 86,
Tahun VI, 1-15 Juli 2008, 3.
16
Favor Bancin, “Merefleksikan Kembali Kebebasan dan Kehidupan Beragama” dalam PGI,
Berita Oikoumene, Edisi Februari (Jakarta: PGI, 2012), 4-5.
17
Andy Sulistiyanto, “Gereja Ilegal Kembali Marak” dalam Majalah Sabili, No. 26, TH. XV,
10 Juli 2008, 108.

18
MS, “PGI Protes Keras Pembongkaran Gereja di Bekasi” dalam Majalah Berita Oikumene
(Jakarta: PGI, Juli 2008), 17-18.
19
Abraham Kuyper, Iman Kristen Dan Problem Sosial (Surabaya: Momentum, 2004), 32.
20
Weinata Sairin, “Kemajemukan dan Kerukunan Sejati: Pilar Utama Keutuhan NKRI”
dalam Jimmy Oentoro, Indonesia Satu, Indonesia Beda, Indonesia Bisa (Jakarta: Harvest Publication
House, 2010), 339.
4

Mengapa pada masa kini diperlukan sebuah sikap yang tepat dari hamba
Tuhan atau Pemimpin Kristen dalam menghadapi pluralitas agama dan budaya? Ada
beberapa alasan yang dapat dikemukakan tentang hal itu, di antaranya:
1. Banyak hamba Tuhan atau pemimpin Kristen masa kini yang meninggalkan
pelayanan Gereja dikarenakan mengalami keletihan emosi dan menderita
penyakit akibat stres dan kekecewaan.21 Stres tersebut dipicu oleh banyaknya
konflik internal Gereja dan konflik eksternal dalam masyarakat.
Kepemimpinan masa kini menghadapi tantangan keragaman, sehingga
diperlukan ‘manajemen keragaman’ yaitu suatu pendekatan yang dapat
digunakan para hamba Tuhan /pemimpin untuk mengatasi tantangan-
tantangan keragaman.22 Dengan memahami keragaman etnik, gender, agama
dan sosial, para pemimpin akan mampu mengelola pertengkaran di sekitar
mereka hanya dengan menyatukan fraksi-fraksi yang berbeda di belakang
suatu visi yang kuat dan memayungi.23 Untuk hal ini diperlukan ‘leadership
team’ yang memiliki kecerdasan hakiki yang tinggi yang nampak dalam
kemampuannya memahami tanggung jawab kepemimpinannya, menyelami
kondisi bawahannya, kesediaanya meleburkan diri tuntutan dan konsekuensi
dari tanggung jawab yang dipikulnya serta komitmennya untuk membawa
setiap bawahan yang dipimpinnya mengeksplorasi kapasitas dirinya hingga
menghasilkan prestasi yang tertinggi.24
2. Para hamba Tuhan atau pemimpin pastoral tidak dapat membatasi diri mereka
sendiri bagi wilayah pelayanan yang mereka sukai. Mereka harus menjadi
seorang generalis, tertarik pada setiap tahap dan kondisi kehidupan umat. Para
pemimpin pastoral harus bersikap inklusif yang didasarkan pada sikap
menghargai, menginginkan yang terbaik bagi tiap orang dan ingin melihat
mereka menjadi orang yang berkarakter. Dalam hal ini, pemimpin pastoral
harus membangun relasi di antara berbagai perbedaan dalam jemaatnya,
sehingga mereka akan menjadi ‘pelindung kesetaraan’.25 Tentang sikap
pemimpin ini, Myles Munroe mengingatkan para pemimpin di dunia ketiga
untuk memiliki sikap sebagai kekuatan kepemimpinan dan menginvestasikan
sikap dengan baik dan sikap menghargai yang memberi pengaruh positif.26
3. Kepemimpinan juga ditentukan oleh kondisi-kondisi di luar kendali individu,
terutama kondisi-kondisi sosiologis yang berperan sebagai katalis untuk

21
Eddie Gibbs, Kepemimpinan Gereja Masa Mendatang, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2010), 17.
22
R. Roosevelt Thomas Jr., “Diversity Manajemen (Manajemen Keragaman) Keahlian
Penting bagi Pemimpin Masa Depan” dalam Frances Hesselbein dan Marshal Goldsmith (Ed.), The
Leader of The Future (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2010), 58
23
Sally Helgesen, “Berbagai Tantangan bagi Para Pemimpin dalam Tahun-tahun Mendatang”
dalam Heselbein dan Goldsmith, The Leader…, 222-223.
24
Dadang Kadarusman, Natural IntelligenceLeadership (Depok: Raih Asa Sukses, 2012),
214.
25
Eddie Gibbs, Kepemimpinan Gereja Masa Mendatang (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2011), 191-194.
26
Myles Munroe, The Spirit of Leadership (Jakarta: Immanuel, 2006), 282-283.
5

mendorong pemimpin ke tengah-tengah sorotan publik. Kondisi tersebut


dapat menjadi peluang yang mendatangkan kemajuan positif bagi lembaga
yang dipimpinnya.27 Tentang hal ini, Gary Goodell menyebutnya sebagai
‘kepemimpinan chaordic’ yaitu suatu kolaborasi antara prototipe sosial yang
terbuka (kesukuan dalam berorganisasi) dengan memimpin.28
4. Kepemimpinan baru membangun keterikatan satu sama lain. Ini menjadi
semacam ‘modal sosial’ yaitu nilai kolektif individu yang saling mengenal
dan mengetahui apa yang akan mereka lakukan untuk sesamanya. Dengan itu
seorang pemimpin dapat menyatukan para pengikutnya yang beragam dan
terpisah.29 John C. Maxwell menyebut tipikal pemimpin ini sebagai tipe
‘penjalin hubungan’ yang lebih berpikir horizontal, fokus pada hubungan,
menghargai kerja sama, mencari kemitraan, membangun konsensus dan ingin
berdiri bersama.30 Hubungan tersebut dilandasi oleh budaya saling memahami
dan kasih sayang serta menumbuhkan budaya kepedulian.31 Neil Cole dalam
bukunya, Organic Leadership, menegaskan bahwa jalinan hubungan itu harus
didasarkan pada prinsip-prinsip Alkitab seperti: saling mengasihi (Yoh 13:34),
rukun (Rm 15:5), menerima satu sama lain (Rm 15:7), saling memerhatikan
(1Kor 12:25), saling membantu (Ef. 4:2), dsb.32
Dari beberapa alasan di atas, dapat dikatakan bahwa pada masa kini diperlukan
Profil hamba Tuhan yang dapat mengelola keberagaman dalam jemaat itu sendiri,
maupun dapat berinteraksi dengan keberagaman etnik dan agama di luar gereja.
Dalam hal ini diperlukan kemampuan beradaptasi dengan berbagai situasi dan
pluralitas warga jemaat dan masyarakat.33 Dengan itu, gereja akan terus dipacu untuk
mengembangkan kualitas persekutuan internalnya, dan bersamaan dengan itu dapat
juga melaksanakan fungsinya sebagai garam dan terang di tengah lingkungan sosial
masyarakatnya.

3. Dasar-dasar Teologis Menghadapi Pluralitas Agama dan Budaya


Dalam menghadapi tantangan pluralitas internal dan eksternal, seorang hamba
Tuhan perlu memiliki dasar-dasar Alkitab dalam upaya menggembalakan jemaatnya
untuk mengembangkan sikap relasional di antara sesama warga jemaat dan warga
masyarakat yang plural. Prinsip-prinsip biblikal tersebut meliputi: 1) Prinsip
Kosmologis (Mandat Budaya); 2) Prinsip Antropologis (Natur Manusia); 3) Prinsip

27
Larry Stout, Time For A Change (Yogyakarta: Andi, 2010), 109, 111.
28
Gary Goodell, Cara Yesus Memimpin (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2012), 3.
29
James M. Kouzes dan Barry Z. Posner, The Leadership Challenge (Jakarta: Penerbit
Erlangga, 2004), xvii-xviii.
30
John C. Maxwell, Leadership Gold (Jakarta: Immanuel, 2010), 217.
31
Richard Boyatzis dan Annie McKee, Resonant Leadership (Jakarta: Penerbit Erlangga,
2010), 238, 244.
32
Neil Cole, Organic Leadership (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2011), 61
33
Debbie M. Soeseno dan Esther Susabda, Hubungan Kecerdasan Emosi dan Kepemimpinan
Para Pemimpin Gereja di Indonesia dalam Jurnal Teologi “Reformed Indonesia” , Vol. 2 No.2 Juli
2012 (Jakarta: JTRII, 2012), 95.
6

Teologis (Kedaulatan Allah, Providensia Allah dan Keadilan Allah); 4) Prinsip


Kristologis (Inkarnasi); 5) Prinsip Soteriologis (Universalitas Soteriologi); 6) Prinsip
Teokratis (Teokrasi-Presentis); 7) Prinsip Eklesiologis (Naturalitas Gereja); 8) Prinsip
Eskatologis (Multikulturalitas Kekekalan).
1. Prinsip Kosmologis (Mandat Budaya)
Kejadian 1:28 disebut sebagai ’mandat budaya’ dimana Allah memerintahkan
manusia untuk memenuhi dan menakhlukkan bumi. Manusia diberi tanggung jawab
mengelola segala potensi alam guna keberlangsungan hidupnya. Mandat budaya itu
diberikan sebelum manusia jatuh ke dalam dosa, sehingga berlaku secara universal.
Bahkan setelah kejatuhan manusia dalam dosa, mandat itu pun tidak pernah
dibatalkan. Artinya, semua manusia, meskipun berdosa dan apapun etnis serta
agamanya, tetap memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan mandat budaya
tersebut. Tanggung jawab bersama terhadap alam sebagai tempat tinggal bersama
inilah yang mengharuskan semua manusia berelasi dengan sesamanya demi
terwujudnya mandat budaya dari Allah. Celia Deane - Drummond dalam bukunya,
Teologi dan Ekologi, menegaskan peran manusia atas ciptaan lainnya sebagai
’penatalayanan’. Menurutnya manusia, sebagai gambar Allah, memiliki hubungan
yang unik dengan Allah. Keunikan hubungan Allah dengan manusia itu telah
menimbulkan pemahaman tentang penatalayanan. Manusia diciptakan sebagai
gambar Allah karena peranannya selaku penatalayan atau pelaksana atas ciptaan.34
Jadi, Allah telah menugaskan manusia sebagai ’penatalayan’ (Stewardship)
alam. Dalam PB konsep ’stewardship’ ini juga nampak dalam fungsi gereja sesuai
rencana Allah (I Kor.4:1). Penekanan ’stewardship’ adalah pada tanggung jawab
penggunaan sumber-sumber Allah sebagai pelayanan kepada Allah.35 Tanggung
jawab bersama ini mengharuskan semua manusia, dari berbagai etnis dan religi,
bersatu mengelola bumi demi hidupnya, masa depan generasi manusia dan demi
kemuliaan Allah. Gereja masa kini tetap harus melaksanakan mandat kebudayaan,
karena itu ia harus berelasi dengan sesamanya manusia. Dengan demikian secara
kosmologis, manusia tidak mungkin tidak untuk berelasi dengan sesamanya apapun
etnis dan agamanya, karena semua manusia memiliki tanggung jawab universal yang
harus dikerjakan bersama, tanpa terkecuali. Para pemimpin pastoral harus memahami
tanggungjawab bersama ini dalam konteks internal (dalam jemaat) ataupun konteks
eksternal (dari komunitas di luar jemaat).
2. Prinsip Antropologis (Natur Manusia)
Kejadian 1:26 menyebut ’manusia’ sebagai ’gambar dan rupa’ Allah. Secara
literal, istilah ’manusia’ menunjuk kepada ”makhluk yang berakal budi yang mampu
menguasai makhluk lain”.36 Kata ‫( אדם‬adam) artinya: ’manusia’ atau ’umat manusia’.
Kata ’adam’ merupakan istilah yang paling esensial karena dipakai pertama-tama

34
Celia Deane-Drummond, Teologi dan Ekologi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), 21.
35
Donald K. McKim,”A Reformed Perspektive on the Mission of the Church in Society”
dalam Donald K. McKim (ed.), Major Theme in the Reformed Tradition (Grand Rapids, Michigan:
WmB Eerdmans, 1992), 368.
36
Anton M. Moeliono (Peny.), Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,
1988), 558.
7

dalam penciptaan dimana manusia belum jatuh ke dalam dosa. Manusia diindikasikan
sebagai gambar Allah yang sederhana, rohani dan kekal serta memiliki kekuatan fisik,
intelektual dan integritas moral berupa pengetahuan yang benar, kebenaran dan
kekudusan.37 Kata Ibrani untuk ’gambar’ ialah ‫( צלם‬tselem) yang artinya: ”to shade,
a phantom, illution, resemblance, hence, a representative figure”. Kata itu dari akar
kata ’tsalam’ yang berarti:”to cut, hew”.38 Dari akar kata itu nampak adanya indikasi
suatu aktivitas (memotong atau menebang) oleh seseorang untuk membentuk sesuatu
(patung atau gambar). Dapat dikatakan bahwa ’tselem’ menerangkan adanya
kesamaan antara manusia dengan Allah, sebagaimana sebuah gambar yang mirip
dengan obyek aslinya. Sedangkan kata Ibrani yang diterjemahkan ’rupa’ ialah ‫דמוד‬
(demut) yang berarti:”resemblance, model, shape, like(ness), fashion, manner,
similitute”. Kata itu berasal dari akar kata ‫( דמה‬damah) yang artinya:”to compare,
to resemble, liken”.39 Jadi kata ’rupa’ ingin menjelaskan adanya kesamaan antara
manusia dengan Allah. Keserupaan itu menyangkut hal spiritual, intelektual dan
moral.40 Ketiga hal itulah yang memungkinkan manusia dapat berelasi dengan Allah,
dirinya sendiri dan sesamanya. Manusia mencerminkan Penciptanya, mampu
menanggapi-Nya, mengakui pekerjaan tangan-Nya dalam penciptaan dan bersama
dengan ciptaan yang lain menantikan pemeliharaan Allah (Mzm.104:27-30).41 Karena
itu, Allah memandang manusia sebagai ciptaannya yang paling berharga. Demikian
juga manusia akan memandang manusia lainnya sebagaimana Allah menghargainya.
Itu sebabnya manusia menjadi ’makhluk sosial’. Secara natur, Allah telah mendisain
manusia untuk hidup berelasi dengan sesamanya dalam sebuah kehidupan bersama. Ia
senantiasa hidup dalam interdependensi dengan sesamanya. Tentang hal ini J.
Verkuyl menjelaskan,
Manusia bukanlah makhluk tunggal. Ia tidak hidup sendiri di dunia ini.
Ia hidup bersama-sama dengan manusia lain. Tanpa manusia lain ia tidak
lengkap. Dan ia tidak mempunyai arti.Ia sepi: tidak ada orang yang
menyapanya, tidak ada percakapan, tidak ada pertemuan. Jadi juga: tidak ada
sejarah dan tidak ada masa depan, sebab sejarah dan masa depan hanya ada
sebagai ”milik bersama” dengan manusia lain. Karena itu Allah
menciptaknnya sebagai manusia jamak. Maksud Allah dengan penciptaanNya
itu ialah supaya mereka saling melayani, saling membantu, saling mengisi dan
saling melengkapi.42

37
George Arthur Buttrick, The Interpreter’s Dictionary of The Bible, Vol.III (Nashvile:
Abingdon Press, 1962), 242-243. Bnd. Harris (Ed.), 10.
38
James Strong, The Exhaustive Concordance of The Bible (Warwick: Hodder and Stonghton
Limited, tt), 99.
39
Strong, 31.
40
Bnd. John Mc.Clintock dan James Strong, Cyclopedia of Biblical Theological and
Ecclesiastical Literature, Vol.IV (Grand Rapids: Baker Book House, 1981), 500.
41
Christ Wright, Tuhan Yesus Memang Khas Unik (Jakarta: Yayasan Bina Kasih/OMF,
1996), 59.
42
J.L. Abineno, Manusia dan Sesamanya di Dalam Dunia (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1998), 42.
8

Jadi secara antropologis, manusia tidak mungkin hidup tanpa orang lain. Atas
tuntutan natur inilah, setiap orang percaya menemukan dasar pada dirinya sendiri
untuk membangun relasi yang baik dengan orang lain yang berbeda etnis dan
religinya, karena memiliki martabat yang sama berharga di hadapan Allah.
3. Prinsip Teologis
Prinsip telogis ini meliputi karakter dan karya Allah yang sangat menentukan
multikulturalitas manusia, yaitu: Kedaulatan Allah, Providensia Allah dan Keadilan
Allah. 1) Kedaulatan Allah. Istilah ’kedaulatan’ (sovereignty) sejajar dengan
pengertian otoritas, dominion, dan interdependensi yang menunjuk kepada adanya
suatu kekuatan yang luar biasa.43 Dalam PL kata Ibrani yang digunakan untuk
menjelaskan ’kedaulatan’ ialah ‫( כה‬koah= power) dan ‫( גבורה‬geburah = mighty). ‫כה‬
(koah) berarti:”kekuatan dan kemampuan”. Kata ini digunakan untuk menunjukkan
kekuatan Tuhan seperti nampak dalam peristiwa pembelahan laut Teberau
(Kej.14:15-31). Sedangkan kata ‫( גבורה‬geburah) berarti:”berkuasa, kuat, besar,
mengherankan” dan sangat identik dengan ’kedaulatan’.44 Kejadian 1:1 menunjukkan
kemahakuasaan Allah sebagai awal segala sesuatu dan Kreator dari segala yang ada.
Kata ‫( ברשית‬bere’shit) yang diterjemahan ’pada mulanya’ (in the beginning)
menunjuk kepada asal-asul bumi45 atau permulaan yang ’absolut’.46 Dia menciptakan
(‫ברא‬:‘bara’) dengan kuasa-Nya dari yang tidak ada menjadi ada (creatio ex nihilo). Itu
berarti segala eksistensi dimungkinkan ada oleh Dia dan bergantung kepada-Nya.
John H. Leith menyatakan, ”positively it assert that God as the sovereign Lord of all
is the one on whom every aspects of existence depends. All things gain their existence
and their life from God. No other source is ultimate”.47 Itu berarti dalam perspektif
kedaulatan Allah, segala realita multikulturalitas manusia merupakan bagian dari
realisasi kehendak-Nya guna mencapai tujuan kekal-Nya. Keberagaman manusia
ditentukan dan dipersatukan oleh kedaulatan-Nya. Lebih lanjut Leith menyatakan
bahwa dalam kedaulatan-Nya, segala ciptaan yang berbeda (diversity) dipersatukan
(unity) dalam sebuah ekosistem yang interdependent. Menurut Leith,”If the triune
God is both ”unity” and ”diversity” (”one God in Three Person”), with the
communion of love binding together, so the cosmos itself reflect this same unity and
diversity as the expression of the creative of the Triune of God.48 Jadi, kedaulatan-
Nya menentukan segala perbedaan kultural manusia dan mengikatnya dalam sebuah
ekosistem yang saling bergantung satu sama lain. Dengan demikian keberagaman
manusia sebagai karya Allah berdasarkan kedaulatan-Nya menjadi dasar yang kokoh
bagi sikap yang baik terhadap sesama manusia yang multikultural.

43
Philip Babcock Gove, Webster’s Third New International Dictionary (USA: Merriam-
Webster Inc Publisher, 1986), 2179.
44
S. Wojowasito, Kamus Lengkap (Bandung: Penerbit Hasta, 1991), 113.
45
Matthew Henry, Concise Commentary on The Whole Bible (Chicago: Moody Press, tt), 1.
46
H.C.Leopold, Exposition of Genesis, Vol. I (Grand Rapids: Baker Book House, 1984), 39-
40.
47
John H. Leith, Introduction to the Reformed Tradition (Atlanta: John Knox Press, 1977),
96.
48
Ibid., 39.
9

2) Providensia Allah. Istilah Latin ’providentia’ berarti:”mengetahui lebih dahulu”.


Kata itu dihubungkan dengan Allah yang dimengerti sebagai ’pemeliharaan Allah’
atas seluruh ciptaan-Nya. Kata ’pemeliharaan’ ini mengandung dua aspek yaitu:
’pelestarian dan pemerintahan’. Aspek pelestarian merupakan tindakan Allah dalam
melestarikan keberadaan ciptaan-Nya dengan cara memelihara dan menopang
keberlangsungan kehidupannya. Tindakan itu diwujudkan dalam dua bentuk yaitu:
perlindungan atas ciptaan-Nya dari bencana kehancuran dan penyediaan kebutuhan
seluruh ciptaan (Neh.9:6; Kol.1:17; Ibr. 1:3). Sedangkan aspek pemerintahan ialah
tindakan Allah dalam menuntun dan mengarahkan rangkaian peristiwa sedemikian
rupa sehingga memenuhi maksud-maksud-Nya.49 Allah berdaulat menciptakan
manusia dan alam semesta, tetapi juga Allah yang bertanggung jawab atas
keberlangsungan hidup manusia. Tanggung jawab itu diwujudkan dalam
pemeliharaan-Nya atas semesta alam dan segala makhluk hidup yang telah
diciptakannya. Dia menciptakan ekosistem hewan dan tumbuhan agar manusia
terpelihara hidupnya. Dia mengatur rotasi planet di alam semesta. Dia juga mengatur
iklim dan cuaca demi keberlangsungan hidup manusia. Pemeliharaan-Nya ini berlaku
untuk semua orang, seperti dinyatakan Matius 5:45, ”Ia menerbitkan matahari bagi
orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar
dan orang yang tidak benar”.50 Pemeliharaan-Nya berkaitan erat dengan
pemerintahan-Nya atas alam semesta. RC Sproul menyatakan hal ini bahwa, Inti
pengajaran dari doktrin pemeliharaan Allah adalah penekanan pada pemerintahan
Allah atas alam semesta. Dia memerintah ciptaan-Nya dengan kedaulatan dan otoritas
yang mutlak. Dia memerintah segala sesuatu yang akan terjadi, mulai dari yang
paling besar hingga yang paling kecil. Tidak ada sesuatu pun yang terjadi di luar
lingkup pemerintahan Allah yang berdaulat.51 Dengan demikian setiap orang
memiliki hak untuk hidup dan menikmati segala yang tersedia dalam alam yang
diciptakan Allah. Tidak ada dispensasi bagi orang Kristen saja untuk menerima
pemeliharaan Allah secara umum. Orang yang tidak percaya adanya Allahpun berhak
mendapatkan pemeliharaan Allah sebagai ciptaan-Nya. Karena itu Allah juga
memelihara orang lain yang beda etnis dan religi, maka tidak ada alasan bagi orang
Kristen untuk tidak berelasi dan berbuat baik kepada mereka. Allah menghendaki
agar setiap orang saling memelihara dengan saling menolong dan melengkapi
kebutuhan hidup masing-masing.
a. Keadilan Allah
Istilah adil dan benar tidak dapat dipisahkan satu sama lain. PL menggunakan
dua kata Ibrani untuk menunjuk kepada ’adil dan benar’ yaitu kata ‫( צדיק‬tsadiq)
dan ‫מישפט‬ (mispat). Sedangkan PB menggunakan kata Yunani
 (dikaiosune). Keadilan merupakan istilah hukum, sehingga Allah juga
disebut sebagai ”Hakim segenap bumi” (Kej.18:25). Sebagai Hakim, pengadilan-Nya

49
Ibid., 502-503.
50
Tony Evans, Teologi Allah (Malang: Gandum Mas, 1999), 264.
51
RC Sproul, Kebenaran-kebenaran Iman Kristen (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara,
2000), 82.
10

selalu sesuai dengan sifat-Nya yang adil dan benar (bnd. Ul.32:4; Dan.4:37;
Why.15:5; 16:5,7). Segala perbuatan-Nya adalah perbuatan keadilan (Hak.5:11; Mi.
6:5). Dia bertindak tidak memihak dan tidak pernah salah, karena Dia tidak
dipengaruhi dan bergantung oleh apapun dan siapapun di luar diri-Nya sendiri.
Bahkan RC Sproul menyatakan, Allah tidak berada di bawah hukum, tetapi Dialah
hukum bagi diri-Nya sendiri. Tindakan-Nya terikat oleh sifat-sifat dasar-Nya. Dia
selalu berbuat sesuai dengan sifat-Nya sendiri. Sifat-Nya itu suci sekaligus sempurna
secara moral. Ia tidak dapat berbuat semena-mena, karena itu bukan sifat-Nya. Tidak
ada hukum yang lebih tinggi daripada sifat internal-Nya. Allah sendiri adalah
’summum bonum’.52
Itu berarti juga bahwa sebagai Hakim, Allah meminta pertanggungan jawab
dari setiap orang, apapun etnis dan religinya. Pada akhirnya Allah akan menghakimi
setiap manusia sesuai keadilan Allah sendiri yang absolut. Karena itu Allah tidak
menghendaki manusia menjadi ’hakim’ bagi sesamanya. Tetapi Allah menghendaki
setiap orang berlaku adil terhadap sesamanya, tanpa membedakan etnis dan religinya.
Karena keadilan merupakan salah satu bentuk kasih, maka ia harus diwujudkan
dengan melayani dan membantu orang yang hidup dalam kesusahan.53 Sebab itu,
keadilan menentang segala bentuk penindasan, pemerasan dan diskriminasi etnis dan
religi. Sebaliknya, keadilan menuntut perbuatan baik bagi semua orang.
4. Prinsip Kristologis (Inkarnasi)
Istilah inkarnasi merupakan bentukan kata Latin: ’in’ (masuk) dan ’carne’
(daging) yang berarti ”masuk ke dalam daging”. Istilah ini digunakan secara teologis
untuk menunjuk pada fakta ”Allah menjadi manusia (daging) di dalam dan melalui
Yesus Kristus”. Kata  (sark) yang secara harafiah berarti ’daging’ digunakan
untuk menunjukkan kesungguhan kemanusiaan Yesus. Rasul Paulus juga
menggunakan kata ’sark’ untuk menunjukkan hakikat manusia dengan segala
kelemahannya (Rm.8:3; Flp.2:7).54 Selain secara literal, kemanusiaan Yesus juga
dapat dibuktikan dari aspek-aspek fisik, intelektual, emosi, kehendak dan spiritual
sebagaimana ciri-ciri manusia pada umumnya. Secara fisik Yesus dilahirkan secara
alamiah (Mat.1:25; Luk.2:7), bertumbuh secara normal (Luk.2:40). merasa lapar
(Mat.21:18) dan haus (Yoh.19:28). Dia juga mengalami penderitaan dan kematian
(Yoh.19:33). Secara mental Dia membutuhkan informasi sehingga perlu bertanya
(Mrk.9:21; Luk. 2:46-47). Secara intelektual, Dia belajar Kitab Suci dengan nalar
anak Yahudi. Secara emosi, Dia mengasihi keluarga-Nya (Yoh.19:26) dan sahabat-
Nya (Mat.23:37). Dia bisa marah (Mrk.19:26), sedih (Mat.9:36). Dia juga memiliki
kehendak yang ’berbeda’ dengan Bapa-Nya (Mat.26:39). Secara spiritual, Dia berdoa
(Mrk.1:35), beriman dan taat kepada Bapa (Flp. 2:8). Jadi dari seluruh aspek tersebut
jelas menunjukkan bahwa Yesus ’benar-benar manusia’ secara utuh. Dengan menjadi
manusia Dia turut merasakan berbagai pencobaan dan penderitaan manusia supaya

52
RC Sproul, Sifat Allah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), 118.
53
J.L.Ch. Abineno, Manusia dan Sesamanya di Dalam Dunia (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1998), 82.
54
William Hendriksen, New Testament Commentary: The Gospel of John (Edinburg: The
Banner Truth Trust, 1959), 109.
11

Dia bisa menolong manusia berdosa (Ibr.2:18; 4:16). Meski dalam segala hal Dia
sama dengan manusia, namun Dia tidak pernah berbuat dosa (Ibr. 4:15) dan tidak
pernah gagal. Yesus adalah Manusia Sejati sebagaimana keadaan manusia ketika ia
diciptakan pada mulanya, sebelum jatuh ke dalam dosa.55 Karya Kristus ini
menunjukkan dua kebenaran penting. Pertama, Solidaritas. Dia yang mulia sedia
merendahkan diri, menjadi kecil dan lemah. Dia sedia masuk ke dalam kesakitan dan
penderitaan manusia (Fpl.2:6-8). Dia melakukan segalanya demi manusia. Dia
memberi makan yang lapar, menyembuhkan yang sakit, mengampuni yang berdosa,
menjadi kawan bagi yang tersisih, membangkitkan yang mati. Bahkan Dia juga
menjadi korban ketidakadilan. Dia mati menanggung dosa manusia.56 Kedua,
Identifikasi diri. Kesediaan-Nya menjadi manusia dan memasuki dunia manusia
merupakan bentuk ’identifikasi diri’ dengan manusia yang dilayani-Nya. Ini
merupakan model yang harus ditiru misi kristiani masa kini. Mengenai hal ini, John
Stott menyatakan bahwa,
Sebab jika misi kristiani harus mengikuti model misi Kristus, maka tak dapat
tidak dalamnya harus tercakup tuntutan yang sama seperti yang telah
dipenuhi-Nya, yaitu bahwa kita harus memasuki dunia-dunia orang lain... itu
berarti kerelaan meninggalkan kemudahan dan kerterjaminan latarbelakang
kebudayaan sendiri, agar dapat mengabdikan diri kepada kepentingan orang-
orang dari latar belakang kebudayaan yang lain, yang kebutuhan-
kebutuhannya mustahil dapat kita ketahui atau simak sebelumnya. Misi nyata,
entah itu pekabaran Injil atau pelayanan sosial atau dua-duanya, menuntut
pengidentifikasian diri dengan orang-orang dalam situasi aktual mereka.57
Prinsip solidaritas dan identifikasi diri yang dilakukan Yesus dalam masa
inkanasi-Nya ini merupakan dasar Kristologis bagi hubungan yang baik dengan
semua orang secara multikultur, baik multietnis maupun multireligi.
5. Prinsip Soteriologis ( Universalitas Soteriologi)
Tujuan utama kedatangan Yesus ke dunia adalah menyelamatkan manusia
berdosa. Sejak jatuh ke dalam dosa, manusia telah menjadi ’musuh Allah’
(   Rm l.1:21; Yak.4:4). Namun pada prinsipnya, Allah
tidak menghendaki seorangpun binasa, maka setiap orang memiliki kesempatan untuk
bertobat, yaitu mengalami pemulihan hubungan (rekonsiliasi) dengan Allah dan
sesamanya. Untuk memahami konsep mengenai karya keselamatan ini, PL
menggunakan kata Ibrani ‫( כפר‬khapar) yang artinya:”to cover by making expiation”.
Sedangkan PB menggunakan kata Yunani  (katallage) yang
58
berarti:”reconciliation”. Rekonsiliasi merupakan bagian sentral dari karya
keselamatan Kristus yang sudah dimulai pada masa PL. Dalam PB, rasul Paulus
paling banyak menguraikan pokok ini, antara lain dalam Roma 5:10-11 dan II

55
Peter Wongso, Kristologi (Malang: SAAT, 1988), 61-62.
56
John Stott, Isu-isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani (Jakarta : Yayasan Komunikasi
Bina Kasih, 1984), 15.
57
Ibid., 15-16.
58
Archibal A. Hodge, The Atonement (London: Evangelical Pree, 1974), 33.
12

Korintus 5:18-20. Dalam kedua teks tersebut, Paulus memakai istilah 
yang diartikan dengan ’pendamaian’. Kata itu berasal dari kata kerja
 (kattalaso), artinya: ”mendamaikan”. PB menggunakannya dalam dua
konteks, yaitu: konteks hubungan suami dan isteri, dan konteks hubungan Allah dan
manusia.59  dibentuk dari kata  (allaso) yang
artinya:”mengubah” (to change). Sedangkan  sendiri berasal dari kata
 (allos) yang berarti: ”lain atau yang lain” (other, another). Jadi secara
esensial,  memiliki pengertian dasar ”mengubah menjadi lain”.60 Dalam
kontek karya keselamatan manusia  dimaksudkan untuk mengubah
manusia sebagai ’musuh Allah’ menjadi ’kekasih Allah’ (). Untuk maksud
itu Kristus datang ke dunia yaitu menyelamatkan setiap orang yang percaya kepada-
Nya (Yoh.3:16).
Karya keselamatan tersebut terbuka untuk semua orang (universal). Sebab itu,
sebelum kenaikan-Nya ke sorga, Yesus memberikan Amanat Agung-Nya kepada
murid-Nya untuk menjadi saksi-Nya dari Yerusalem, Yudea, Samaria dan sampai
ujung bumi. Amanat ini, ”...menegaskan bahwa Injil sebagai satu-satunya kebenaran
universal harus disampaikan kepada segenap umat manusia pada segala tempat dan
waktu (universal)”.61 Selain berita Injil tersebut dimaksudkan untuk pemulihan
hubungan dengan Allah, namun akibatnya juga akan terjadi pemulihan hubungan
antar sesama manusia.
Prinsip universalitas keselamatan ini merupakan dasar bagi hubungan
multikultur, karena setiap orang dengan etnis dan religinya memiliki kesempatan
untuk percaya kepada Kristus dan menerima keselamatan. Karena itu, hubungan
multikultural haruslah dipandang dari dua perspektif sekaligus, yaitu: keharusan
untuk hidup dalam damai dengan orang lain, dan memanfaatkan hubungan
multikultur sebagai kesempatan untuk memberitakan kabar keselamatan kepada
semua orang. Karena itu Injil juga harus diberitakan melalui aspek-aspek budaya
orang lain.
6. Prinsip Teokratis (Teokrasi-presentis)
Yang dimaksudkan dengan ’Teokrasi’ ialah ’pemerintahan Allah’ dimana
Allah memerintah sebagai ’Raja’ dalam ’Kerajaan-Nya’. Dengan kata lain Teokrasi
berbicara mengenai ’kerajaan Allah’ yang dalam bahasa Yunani disebut
   (basileia tou theou). Istilah Yunani  dari kata
 (basileus) yang berarti: ’raja’.62 Dalam pemikiran Yunani basileus
menunjuk kepada seorang raja yang sah menurut hukum dan biasanya secara turun-

59
Buchel,  dalam Kittel, 255.
60
Robert L. Thomas (Ed.), New American Standard Exhaustive Concordance of The Bible
(Nashville: Holman Bible Publisher, 1981), 1629, 1630, 1659.
61
Elisa B. Surbakti, Benarkah Yesus Juruselamat Universal? (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2006), 55.
62
B. Klappert, “King, Kingdom” dalam Colin Brown, The New International Dictionary of New
Testament Theology, Vol. 2 (Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publishing House, 1976), 372.
13

temurun menjadi pemimpin religius atas rakyatnya.63 Sedangkan istilah 


(basileia) yang berarti: pertama, ”royal, power, kingship, dominion, rule”. Kedua, ”a
kingdom”. Arti yang pertama menunjuk kepada ’kuasa atau wewenang’ yang dimiliki
oleh seorang raja. Sedangkan yang kedua menunjuk kepada ’wilayah’ kekuasaan
seorang raja.
Kemudian dalam Alkitab istilah ’kerajaan’ digunakan dalam hubungannya
dengan Allah, sehingga disebut Kerajaan Allah:     he basileia
tou theou. Istilah Kerajaan Allah itu sendiri digunakan oleh Yesus dalam
pemberitaan-Nya seperti termaktub dalam Injil Sinoptis, yang juga sinonim dengan
Kerajaan Sorga (Mat.4:17; 5:3; Mrk. 1:15; Luk.6:20) dan Kerajaan Bapa
(Mat.26:29). Jadi ’kerajaan Allah’ dapat berarti: pemerintahan Allah, kekuasaan
Allah, dan kedaulatan Allah yang bersifat universal (Bnd Mzm.103:19; 145:11,13;
Dan.2:37; Luk.19:11-12). Secara terminologis Alkitabiah pengertian ’kerajaan Allah’
lebih menunjuk kepada kedudukan-Nya sebagai raja atau pemerintahan-Nya dan
kedaulatan-Nya.64 Kerajaan Allah ini menunjuk kepada Kristus sebagai Raja yang
sudah datang, memulai kerajaan-Nya dan akan datang di masa mendatang (Future).
Karena itu ’basileia tou theou’ tidak hanya dimengerti sebagai The Kingdom of God
(Kerajaan Allah) melainkan God’s Kingship (Kepemerintahan Allah). Kingship of
God lebih menunjuk kepada sebuah situasi yang luas yang meliputi seluruh
kehidupan yang di dalamnya Allah memerintah sebagai Raja. Dalam pengertian ini
Allah menjadi pemilik dari seluruh kehidupan pada masa kini dan masa yang akan
datang.65 Eka Darmaputera menambahkan bahwa ’Kerajaan Allah’ merupakan
terminologi dalam teologi Kristen yang menunjuk kepada,”suatu keadaan atau
kenyataan dimana Allah dengan spenuhnya akan memerintah dan memberlakukan
kehendak-Nya, yaitu keadilan, kebenaran, perdamaian dan kesejahteraan yang
menyeluruh bagi seluruh umat manusia”.66 Itu berarti Kerajaan Allah tidak hanya
bersifat futuris, melainkan juga memuat dimensi presentis. Hal itu sudah dinyatakan
ketika Yohanes Pembaptis berseru, ”Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!”
(Mat.3:2). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Kerajaan Allah itu memang
’sudah dekat’ atau sama dengan ’belum sampai’.
Presensi Kerajaan Allah itu semakin jelas ketika Yesus memulai pelayanan-
Nya di Galilea dan menyatakan,”Waktunya telah genap, Kerajaan Allah sudah dekat.
Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!” (Mrk.4:15). Kata Yunani yang
diterjemahkan dengan ’waktu’ adalah kata  (kairos) yang berarti ’saat’ atau

63
Kleinknecht, “ in The Greek World” dalam Gerhart Kittel (Ed.), Theological
Dictionary of New Testament, Vol. 1 (Grand Rapids, Michigan: Wm.B. Eerdmans Publishing
Company, tt), 564.
64
George Eldon Ladd, Injil Kerajaan (Malang: Gandum Mas, 1999), 21-23.
65
Weinata Sairin, Victor I. Tanya, Eka Darmaputera, “Berbagai Dimensi Kerukunan Hidup Umat
Beragama” dalam Weinata Sairin (Peny.), Kerukunan Umat Beragama Pilar Utama Kerukunan
Berbangsa (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 18.
66
Eka Darmaputera, “Tugas Panggilan Bersama Agama-agama di Indonesia” dalam. J. Garang
(Peny.), Peranan Agama-agama dan Kepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa Dalam Negara
Pancasila yang Membangun (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 141.
14

’waktu tertentu’, bukan  (kronos) yaitu waktu yang berlangsung terus
menerus. ’Kairos’ itulah yang dipakai Yesus untuk menunjukkan penggenapan di
dalam Diri-Nya. Herman Ridderbos menjelaskan pengertian ’kairos’ sebagai berikut:
Therefore, kairos means the great moment of commencement of the great
future appointed by God in His counsel, and announced by the prophets. By
the side of ”is at hand” there is already the ”is fulfilled”. No doubt the two
expressions shoult be understood in connection with each other. ”At hand” in
expression ”is at hand” does not mean the same thing as ”has come”, ”is
present”, as clearly appears from the purpose of John’s preaching.67
Jadi, ”waktunya telah genap” berarti bahwa melalui kehadiran Yesus ’masa
yang akan datang’ sedang dimulai. Hal itu lebih ditegaskan oleh Yesus ketika Ia
berkhotbah di Nazaret (Luk.4:16-30). Dalam ibadah di Sinagoge itu Ia membaca
nubuat dari kitab Yesaya 61:1-2 mengenai ”tahun rahmat Tuhan”. Pada saat itulah
Yesus menegaskan:”Pada hari ini genaplah nas ini...” (ay.21). Dengan penegasan
tersebut, Yesus sedang menunjuk Diri-Nya sendiri sebagai penggenapan dari
nubuatan Yesaya. Itu berarti bahwa ’Person yang diurapi Tuhan’ dan ’yang disertai
Roh Tuhan’, seperti yang dimaksudkan oleh Yesaya, ialah Yesus sendiri. Dialah yang
dimaksudkan yang akan memberitakan kabar baik kepada orang miskin, pembebasan
kepada tawanan, mencelikkan yang buta, membebaskan yang tertindas, dan
memberitakan tahun rahmat Tuhan.
Selain bukti-bukti kehadiran Kerajaan Allah pada masa kini tersebut di atas,
’Kerajaan Kristus’ juga dapat dipahami dalam dua aspek pengertian, yaitu: regnum
potentiae dan regnum gratiae. Yang dimaksud dengan regnum gratiae adalah
jabatan Kristus sebagai Raja Rohani atas umat-Nya atau Gereja-Nya. Kerajaan ini
bersifat rohani yang didasarkan pada karya penebusan Kristus. Kerajaan rohani ini
sudah ada pada masa sekarang mapun masa yang akan datang.68 Sedangkan yang
dimaksud dengan regnum potentiae adalah kekuasaan Kristus atas alam semesta yaitu
pemerintahan-Nya secara providensial dan yuridis atas segala sesuatu dalam
hubunganya dengan Gereja. Lebih lanjut Berkhof menjelaskan bahwa, sebagai Raja
alam semesta, Sang Pengantara memimpin dan menentukan setiap pribadi individual,
dari kelompok sosial, dan bangsa-bangsa, untuk menentukan pertumbuhan, penyucian
sedikit demi sedikit, dan kesempurnaan akhir dari umat-Nya yang telah Ia tebus
dengan darah-Nya...Kristus sekarang mengatur jalan hidup setiap individu dan bangsa
yang termasuk dalam gereja yang telah disatukan oleh darah-Nya... 69
Jadi dari aspek regnum potentiae, pemerintahan Kristus atas alam semesta berkuasa
mengatur segala bangsa untuk melindungi umat-Nya. Dalam hal ini nampak
hubungan tak terpisahkan antara umat-Nya dengan bangsa-bangsa. Sebab itu gereja
tidaklah seharusnya berusaha memisahkan diri dari bangsa-bangsa (multikultur),
namun sebaliknya harus mengintensifkan hubungan dengan bangsa-bangsa. Dalam

67
Herman Ridderbos, The Coming of The Kingdom (Philadelphia: Presbyterian and Reform
Publishing Company, 1973), 48.
68
Louis Berkhof, Teologi Sistematika 3: Doktrin Kristus (Jakarta: LRII, 1998), 234-242.
69
Ibid., 242-243.
15

hal ini gereja menyatakan keharmonisan sosial sebagai bagian dari rencana
perwujudan Kerajaan Allah dalam aspek kekinian. Gereja memiliki tanggung jawab
sosial yang menyatukannya dengan masyarakat. Gereja dan masyarakat tidak dapat
dipisahkan melainkan saling melengkapi. 70 H. Henry Meeter menegaskan bahwa
sorga dibawa ke dalam material (dunia nyata). Dimensi rohani menerangi dunia
materi (sosial) supaya terjadi pemulihan. Tuhan mendelegasikan orang percaya untuk
membangun dan memelihara tatanan sosial.71 Teokrasi presentis dalam aspek inilah
yang menjadi dasar bagi orang percaya untuk berelasi dengan sebaik-baiknya secara
multietnis dan multireligi.
7. Prinsip Eklesiologis (Naturalitas Gereja)
Septuaginta menggunakan istilah Yunani  (ekkaleo) yang artinya:
’memanggil keluar’. Dari kata Yunani ini, Perjanjian Baru menggunakan kata
 (ekklesia) sebagai bentukan dari kata  (ek) dan  (kaleo) yang
berarti:’dipanggil keluar’. Kata ini dimengerti dalam hubungannya dengan karya
Kristus yang telah menjadi juruselamat manusia berdosa. Sehingga secara esensial
kata  dimengerti sebagai ’persekutuan orang yang telah dipanggil keluar
dari dunia ini untuk menjadi milik Allah’.72 Dengan demikian pengertian 
juga menunjukkan keterikatan dengan Allah di dalam dan melalui Kristus. Sebab itu
 juga dimengerti sebagai ’jemaat Allah’ dengan maksud yang sama seperti
qahal yahwe dalam Perjanjian Lama.
Pemahaman Yesus tentang ’jemaat Allah’ nampak dalam misi pelayanan dan
pengajaran-Nya yang berkesinambungan dengan pemahaman Perjanjian Lama. Yesus
memfokuskan pelayanan-Nya kepada orang Yahudi yang disebut-Nya sebagai
”domba-domba yang hilang dari umat Israel” (Mat.15:24) yang secara esensial sama
dengan ’umat Allah’. Namun kemudian Yesus memperluas pengertian ’domba yang
hilang’ juga dikenakan kepada murid-Nya yang ’tercerai-berai’ (Luk.12:32;
Mrk.14:27; bnd. Zak.13:7). Meskipun Yesus menujukan misi keselamatan-Nya
kepada orang Yahudi, namun Ia juga menyadari bahwa mereka akhirnya akan
menolak-Nya. Sebab itu terjadi transformasi pengertian ’umat Allah’ yang tidak saja
ditujukan kepada ’umat Israel’ melainkan juga kepada para murid-Nya dan semua
orang yang percaya kepada-Nya (bnd. Mat.3:9; Luk.3:8). Yesus menggunakan istilah
 tidak dimaksudkan menunjuk kepada suatu organisasi, tetapi sekelompok
orang yang dianggap-Nya sebagai milik-Nya dan diwakili oleh para murid-Nya.73
Jadi ’gereja’ pada hakikatnya ialah ’umat Allah’ atau ’jemaat Allah’ yaitu
orang-orang yang telah dipanggil keluar dari dunia melalui karya Kristus untuk
mengalami persekutuan dengan Dia pada masa kini dan masa yang akan datang.
Gereja bersifat ’universal’ karena meliputi seluruh orang percaya di muka bumi.

70
Ernst Troeltsch, Protestanism and Progres, A History of the Relation of Protestanism to the
Modern World (Beacon: Beacon, 1958), 57.
71
H. Henry Meeter, The Sovereignty of The Social Sphere (Michigan: Baker, 1975), 125.
72
Louis Berkhof, Systematic Theology (Edinburg: The Banner of Truth Trust, 1976), 555.
73
Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru, Jilid 3 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992), 27-
28, 34.
16

Karena itu, gereja juga dituntut agar kehadirannya di dunia ini menjadi representasi
Allah dengan turut memproklamasikan keselamatan dari Allah melalui Yesus Kristus.
Dengan demikian tidak dapat dipisahkan antara Kristus dan gereja. Kristus
adalah Kepala Gereja dan Gereja adalah umat-Nya. Dia memerintah di dalam dan
melalui Gereja-Nya. Gereja sebagai ’umat yang kudus’ yang telah dipanggil keluar
dari dunia, namun diutus kembali ke dalam dunia. Karenanya, Gereja berada di dalam
konteks dunia. Sebagai bagian integral dari konteks dunia, maka Gereja harus
berkorelasi dengan konteks sosial dan kultural di tengah masyarakat sekitarnya.
Sebagai Kepala Gereja yang memerintah kerajaan-Nya, Kristus juga tidak
menginginkan Gereja-Nya keluar dari konteks kehidupan sosial masyarakat. Donald
B. Kraybill menegaskan hal ini,
...kitab-kitab Injil tidak memandang kerajaan itu sebagai sesuatu yang
terasing dari bagian masyarakat lainnya, baik secara geografis maupun sosial.
Yesus tidak menganjurkan kita menghindar atau menarik diri dari kehidupan
sosial. Ia juga tidak mengasumsikan bahwa kerajaan dan dunia terpisah
dalam wilayah-wilayah yang terbagi tegas. Aksi kerajaan itu berlangsung di
tengah-tengah kehidupan sosial.74
Dengan demikian, natur alamiah Gereja membuatnya tidak bisa tidak
berinteraksi aktif dengan konteksnya. Interaksi tersebut mewujud dalam karya –
karya bersama dengan orang lain yang tidak seetnis atau seagama. Di sinilah Gereja
harus kreatif dalam melaksanakan panggilannya untuk percaya dan melayani secara
seimbang di tengah dunia. Gereja dituntut tanggung jawab yang besar untuk
melibatkan diri sepenuhnya dalam kehidupan sosial yang sama nilainya dengan aspek
rohani.75 Jadi, Kristus yang telah memanggil Gereja-Nya keluar dari dunia, namun
mengutusnya kembali ke dalam dunia, menghendaki agar Gereja-Nya berinteraksi
melalui karya nyata di tengah masyarakat. Hakikat naturalitas Gereja inilah yang juga
dapat menjadi dasar untuk berinteraksi dengan multietnis dan multireligi.
8. Prinsip Eskatologis (Multikulturalitas kekekalan).
Karya penebusan Kristus yang diteruskan oleh dinamika karya Roh Kudus
telah melahirkan Gereja Perjanjian Baru yang bersifat ’multikultural’. Hingga
perkembangannya saat ini Gereja terus menjadi semakin ’multikultural’, seperti
disinyalir bahwa,
Dalam tahun-tahun belakangan ini maka persoalan budaya dan pluralismenya
sudah menjadi masalah yang sangat besar di seluruh dunia (hal ini juga
berhubungan dengan migrasi dan globalisasi). Banyak gereja sekarang
memasuki situasi di mana gereja memiliki jemaat yang berasal dari budaya
yang beragam dan karenanya gereja terdorong untuk menjadi lebih multi-
cultural.76

74
Donald B. Kraybill, Kerajaan Yang Sungsang (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), 3.
75
Albert Terril Rasmussen, Christian Social Ethics, Exerting Christian Influence
(Englewood: Prenctice, 1956),70-72, 266.
76
Agus Gunawan Satyaputra, Gereja, Budaya dan Misi dalam Jurnal Teologi: Stulos
(Bandung: STTB, 2002), 100.
17

Kondisi Multikulturalitas Gereja ini akan terus berlanjut hingga kekekalan. Pada
masa eskatologis, dimana Gereja-Nya telah mengalami pengudusan sempurna, setelah
kedatangan Kristus, Sang Kepala Gereja, untuk kedua kalinya, maka Gereja-Nya juga
memasuki masa kemuliaan di hadapan tahta Bapa yang kekal. Di sanalah
multikulturalitas Gereja menyemarakkan suasana kemuliaan, sebagaimana
digambarkan oleh Yohanes dalam kitab Wahyu 7:9-10 demikian:
”Kemudian daripada itu aku melihat: sesungguhnya, suatu kumpulan besar
orang banyak yang tidak dapat terhitung banyaknya, dari segala bangsa dan
suku dan kaum dan bahasa, berdiri di hadapan tahta dan di hadapan Anak
Domba, memakai jubah putih dan memegang daun-daun palem di tangan
mereka. Dan dengan suara nyaring mereka berseru: ”Keselamatan bagi Allah
kami yang duduk di atas tahta dan bagi Anak Domba”
Multikulturalitas kekekalan di hadapan Anak Domba (Kristus) ini juga
menjadi landasan Kristologis bagi orang percaya masa kini bahwa Allah sangat
memberi tempat bagi multikulturalitas umat-Nya. Ini menjadi motivasi bagi gereja
masa kini untuk terus memberitakan kabar baik kepada segala bangsa dan suku
bangsa (multietnis).

PENUTUP

Diversitas humanitas mesti dipandang sebagai kreatifitas Allah yang patut


dihargai sebagaimana Allah menghargainya sebagai ’gambar dan rupa’-Nya sendiri.
Diskriminasi humanitas justru bukti sikap antagonis terhadap otoritas penciptanya.
Radikalisme doktrin yang ’melulu’ berorientasi pada kebenaran vertikal harus
dibarengi dengan pemahaman horisontalnya. Kebenaran sejati justru menjadi utuh
ketika kedua aspek tersebut diposisikan secara proporsional. Perbedaan bukan alasan
untuk saling melawan dan menghancurkan, karena kasih kepada Tuhan dan sesama
bukanlah kebenaran yang dapat dipisahkan sama sekali.
Allah sendiri telah berbuat baik kepada semua orang sesuai hakikat Diri-Nya
sendiri sebagai Pencipta segalanya. Allah juga menghendaki agar manusia, yang telah
diciptakan dalam gambar dan rupa-Nya, saling melakukan perbuatan baik. Semua
manusia memiliki tanggung jawab bersama selama kehidupannya di dunia ini,
sehingga dibutuhkan solidaritas dengan sesama. Melalui interaksi yang baik justru
dimungkinkan adanya ’point of contact’ bagi Injil, sehingga dapat terjadi transformasi
kesadaran terhadap hakikat kebenaran Injil yang meresap ke segala aspek hidup
manusia seperti ’garam’ mengasinkan dunia yang tawar (Mat 5:13). Teologi
Multikultural melandasi sikap Kristen untuk berelasi dengan semua orang dalam
segala bentuk perbedaannya tanpa kehilangan jati diri (keunikan) kekristenannya.
Pemimpin Pastoral mesti berwawasan multikultural dalam menghadapi
realitas internal jemaatnya dan masyarakat di sekitarnya yang plural. Perbedaan etnis
dan religi mesti dikelola dengan arif agar mencapai maksud penggembalaan (internal)
dan kesaksian (eksternal) secara efektif. Tuhanlah yang medisain keragaman sejak
awal (penciptaan) dan menghendaki kehadiran umat yang multikultur dalam
kekekalan. Pemimpin Pastoral hendaknya tidak menafikan keragaman melainkan
18

justru mengelolanya sebagai potensi positif bagi pelayanan Kristen masa kini.
Pemimpin Pastoral harus berdasar pada prinsip-prinsip alkitabiah yang melandasi
kewajiban Kristen dalam membangun relasi dengan sesamanya yang beda etnis dan
religinya.

KEPUSTAKAAN

BUKU-BUKU:

Abineno, J.L.
1998 Manusia dan Sesamanya di Dalam Dunia (Jakarta: BPK Gunung
Mulia).

Archibal A. Hodge, Archibal A.,


1974 The Atonement (London: Evangelical Press).

Aritonang, Jan S.,


2004 Sejarah Pejumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (Jakarta: BPK
Gunung Mulia).

Berkhof, Louis
1976 Systematic Theology (Edinburg: The Banner of Truth Trust).

Boyatzis, Richard dan Annie McKee,


2010 Resonant Leadership (Jakarta: Penerbit Erlangga).

Buttrick, George Arthur,


1962 The Interpreter’s Dictionary of The Bible, Vol.III (Nashvile: Abingdon
Press).

Clintock, John Mc., dan James Strong,


1981 Cyclopedia of Biblical Theological and Ecclesiastical Literature,
Vol.IV (Grand Rapids: Baker Book House).

Cole, Neil,
2011 Organic Leadership (Yogyakarta: Penerbit Andi).
19

Darmaputera, Eka,
1993 Pancasila: Identitas dan Modernitas (Jakarta: BPK Gunung Mulia).

Drummond, Celia Deane


1999 Teologi dan Ekologi (Jakarta: BPK Gunung Mulia).

Evans, Tony,
1999 Teologi Allah (Malang: Gandum Mas).

Gibbs, Eddie
2011 Kepemimpinan Gereja Masa Mendatang (Jakarta: BPK Gunung
Mulia).

Goodell, Gary
2012 Cara Yesus Memimpin (Yogyakarta: Penerbit Andi).

Gove, Philip Babcock


1986 Webster’s Third New International Dictionary (USA: Merriam-
Webster Inc Publisher).

Guthrie, Donald
1992 Teologi Perjanjian Baru, Jilid 3 (Jakarta: BPK Gunung Mulia).

Hendriksen, William,
1959 New Testament Commentary: The Gospel of John (Edinburg: The
Banner Truth Trust).

Henry, Matthew
Tt Concise Commentary on The Whole Bible (Chicago: Moody Press).

Hesselgrave, David J.
1984 Counseling Cross-culturally-An Introduction to Theory and Pratice
for Christians (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House).

Kadarusman, Dadang
2012 Natural IntelligenceLeadership (Depok: Raih Asa Sukses).

Korten, David C.
2001 Menuju Abad ke-21 (Yogyakarta: Yayasan Obor Indonesia).

Kouzes, James M., dan Barry Z. Posner


2004 The Leadership Challenge (Jakarta: Penerbit Erlangga).

Kraybill, Donald B.,


20

1993 Kerajaan Yang Sungsang (Jakarta: BPK Gunung Mulia).

Kuyper, Abraham,
2004 Iman Kristen Dan Problem Sosial (Surabaya: Momentum).
Ladd, George E.,
1999 Injil Kerajaan (Malang: Gandum Mas).

Leith, John H.,


1977 Introduction to the Reformed Tradition (Atlanta: John Knox Press).

Leopold, H. C.,
1984 Exposition of Genesis, Vol. I (Grand Rapids: Baker Book House).

Maxwell, John C.,


2010 Leadership Gold (Jakarta: Immanuel).

Meeter, H. Henry
1975 The Sovereignty of The Social Sphere (Michigan: Baker Book House).

Miall, Hugh cs,


2000 Resolusi Damai Konflik Kontemporer (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada).

Moeliono, Anton M.,


1988 Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka).

Munroe, Myles
2006 The Spirit of Leadership (Jakarta: Immanuel).

Rasmussen, Albert Terril,


1956 Christian Social Ethics, Exerting Christian Influence (Englewood:
Prenctice).

Ridderbos, Herman
1973 The Coming of The Kingdom (Philadelphia: Presbyterian and Reform
Publishing Company).

Rina (Ed.),
2001 Batu-Batu Tersembunyi (Surabaya: Yayasan Kasih Dalam Perbuatan).

Sproul, R.C.,
2000 Kebenaran-kebenaran Iman Kristen (Malang: Seminari Alkitab Asia
Tenggara).
21

2002 Sifat Allah (Jakarta: BPK Gunung Mulia).

Stott, John R.W.,


1984 Isu-Isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani (Jakarta: Yayasan
Komunikasi Bina Kasih/OMF).

Stout, Larry
2010 Time For A Change (Yogyakarta: Andi).

Strong, James,
tt The Exhaustive Concordance of The Bible (Warwick: Hodder and
Stonghton Limited).

Suatan, Josephus A.,


Tt Peristiwa Kamis Hitam Situbondo (Badan Kerja sama Gereja-gereja
se Jawa Barat).

Surbakti, Elisa B.,


2006 Benarkah Yesus Juruselamat Universal? (Jakarta: BPK Gunung
Mulia).

Thomas (Ed.), Robert L.,


1981 New American Standard Exhaustive Concordance of The Bible
(Nashville: Holman Bible Publisher).

Troeltsch, Ernst
1958 Protestanism and Progres, A History of the Relation of Protestanism
to the Modern World (Beacon: Beacon).

Winarno, Budi.
2011 Isu-isu Global Kontemporer (Yogyakarta: Caps).

Wojowasito, S.,
1991 Kamus Lengkap (Bandung: Penerbit Hasta).

Wongso, Peter
1988 Kristologi (Malang: SAAT).

Wright, Christ,
1996 Tuhan Yesus Memang Khas Unik (Jakarta: Yayasan Bina Kasih/OMF).
22

Artikel:

Bancin, Favor
2012 “Merefleksikan Kembali Kebebasan dan Kehidupan Beragama” dalam
PGI, Berita Oikoumene, Edisi Februari (Jakarta: PGI).

Darmaputera, Eka
1996 “Tugas Panggilan Bersama Agama-agama di Indonesia” dalam. J.
Garang (Peny.), Peranan Agama-agama dan Kepercayaan Terhadap
Tuhan yang Maha Esa Dalam Negara Pancasila yang Membangun
(Jakarta: BPK Gunung Mulia).

Helgesen, Sally,
Tt “Berbagai Tantangan bagi Para Pemimpin dalam Tahun-tahun
Mendatang” dalam Heselbein dan Goldsmith, The Leader.

H.S,
2007 “GSJA Jemaat ‘Soreang’ Bandung Diserang Massa” dalam Narwastu,
Juli.

Klappert, B.,
1976 “King, Kingdom” dalam Colin Brown, The New International
Dictionary of New Testament Theology, Vol. 2 (Grand Rapids,
Michigan: Zondervan Publishing House).

Kleinknecht,
Tt “” in The Greek World” dalam Gerhart Kittel (Ed.),
Theological Dictionary of New Testament, Vol. 1 (Grand Rapids,
Michigan: Wm.B. Eerdmans Publishing Company).

Makugoru, Paul
2008 “Camat Bongkar Tempat Ibadah” dalam Tabloid Reformata, Edisi 86,
Tahun VI, 1-15 Juli.

Manguling, Sulaiman
2001 “Konflik Antaragama: Kasus-Kasus Lokal Dan Nasional Dan Proyeksi
ke Depan” dalam Jurnal Proklamasi, No.1, Tahun I (Jakarta: STT
Jakarta).

McKim, Donald K.,


Tt ”A Reformed Perspektive on the Mission of the Church in Society”
dalam Donald K. McKim (ed.), Major Theme in the Reformed
Tradition (Grand Rapids, Michigan: WmB Eerdman Publishing Co.).
23

MS,
2008 “PGI Protes Keras Pembongkaran Gereja di Bekasi” dalam Majalah
Berita Oikumene (Jakarta: PGI, Juli ).
PGI,
2007 “Gedung Gereja Masih Ditutup”, dalam Narwastu, Juli.

Sairin, Weinata, cs,


2006 “Berbagai Dimensi Kerukunan Hidup Umat Beragama” dalam
Weinata Sairin (Peny.), Kerukunan Umat Beragama Pilar Utama
Kerukunan Berbangsa (Jakarta: BPK Gunung Mulia).

2010 “Kemajemukan dan Kerukunan Sejati: Pilar Utama Keutuhan NKRI”


dalam Jimmy Oentoro, Indonesia Satu, Indonesia Beda, Indonesia
Bisa (Jakarta: Harvest Publication House).

Satyaputra, Agus Gunawan


2002 Gereja, Budaya dan Misi dalam Jurnal Teologi: Stulos (Bandung:
STTB).

Soeseno, Debbie M., dan Susabda, Esther


2012 Hubungan Kecerdasan Emosi dan Kepemimpinan Para Pemimpin
Gereja di Indonesia dalam Jurnal Teologi “Reformed Indonesia” ,
Vol. 2 No.2 Juli 2012 (Jakarta: JTRII)

Suleeman, Stephen
2012 “Jemaat Kita Mau Jadi Apa? Kemajemukan Di Tengah Jemaat Kita”
dalam Berita Oikoumene, Edisi Februari (Jakarta: PGI).

Sulistiyanto, Andy,
2008 “Gereja Ilegal Kembali Marak” dalam Majalah Sabili, No. 26, TH.
XV, 10 Juli.
Thomas Jr., R. Roosevelt
2010 “Diversity Manajemen (Manajemen Keragaman) Keahlian Penting
bagi Pemimpin Masa Depan” dalam Frances Hesselbein dan Marshal
Goldsmith (Ed.), The Leader of The Future (Jakarta: PT Elex Media
Komputindo).

Wilfred, Felix
2003 “Religions Face to Face with Globalization” dalam Jurnal of
Theologies and Cultures in Asia (JTCA), Vol. 2.

Anda mungkin juga menyukai