Anda di halaman 1dari 2

Antara Pikiran dan Nasib

Seorang Frank Oulaw pernah ngomong begini:

“Watch your thoughts, they become words;


Watch your words, they become actions,
Watch your actions, they become habits,
Watch your habits, they become character;
And watch your character, for it become your destiny.”

Maksudnya apa? Kok bisa pikiran seseorang akan bermuara pada nasibnya?

Anda pernah dengar kisah Pygmalion?

Dalam mitologi Yunani, ada seorang yang bernama Pygmalion yang berprofesi sebagai pematung.
Karena kerap menghasilkan karya patung yang indah, Pygmalion jadi enggan untuk menikah,
karena baginya nggak ada wanita yang lebih indah dari patung ciptaannya.
(https://en.wikipedia.org/wiki/Pygmalion_effect)

Karena gagal menemukan pujaan hatinya, Pygmalion lalu membuat patung wanita sempurna yang
sesuai dengan pikirannya yang belakangan diberinama Galatea. Walhasil, Pygmalion jatuh cinta
pada karyanya sendiri.

Setiap hari Pygmalion mengajak Galatea berbicara dan diperlakukannya layaknya seorang istri
yang hidup.

Ini terus berlangsung hingga ada pesta di Cyprus untuk memuja Venus. Pada momen tersebut,
sudah jamak bila seseorang memohon kepada Dewa dengan membawa persembahan, agar kelak
doanya dikabulkan.

Tak terkecuali Pygmalion yang berdoa agar Galatea bisa dijadikan pendamping hidupnya sebagai
seorang wanita sejati.

Merasa iba, Zeus kemudian mengabulkan permintaan Pygmalion dengan menjadikan Galatea
sebagai seorang wanita sungguhan.

Kisah Pygmalion dan Galatea menginspirasi banyak pakar psikologi, sehingga muncullah istilah
Pygmalion Effect (PE). Secara singkat PE menjawab apa yang diungkapkan oleh Frank Ourlaw
bahwa pikiran yang dimiliki seseorang akan mampu mewujudkan nasibnya di masa depan.

Gampangnya gini, jika seorang guru punya pikiran bahwa para muridnya bodoh, maka yang akan
terjadi kemudian adalah para muridnya menjadi bodoh beneran. Begitupun sebaliknya. Karenanya,
pikiran positif wajib dikembangkan para pendidik dalam menghadapi para muridnya.

Pakar komunikasi Robert Rosenthal menamai PE sebagai Self-Fulfilling Prophecy alias


ramalan yang akan dipenuhi dengan sendirinya. (https://www.jstor.org/stable/1175727)

Bagaimana teknisnya?
Misalkan, jika kita berpikiran bahwa diri kita sebagai sosok yang menyenangkan bagi orang lain,
maka tutur kata kita secara verbal kelak akan membantu mewujudkan apa yang kita pikirkan.
Dengan kata-kata, maka tindakan kita juga akan menyelaraskan hal tersebut. Dan pada ujungnya,
orang lain akan melihat kita sebagai sosok yang menyenangkan.

Dengan kata lain, kalo kita mau menjadi seperti apa yang kita inginkan, sebaiknya kita harus punya
pikiran positif (affirmative thinking). Bayangkan jika kita punya perasaan rendah diri dan kurang
pede, akan jadi apa kita nantinya?

Apa relevansinya saya mengulas hal ini?

Di masa pandemi, banyak kasus bunuh diri karena tekanan banyak hal mulai dari ekonomi hingga
perasaan terasing. (https://medicalxpress.com/news/2020-08-pandemic-effect-suicide-
heightens.html)

Coba bayangkan jika anak anda yang harus melakukan aktivitas home-learning dengan penugasan
bejibun yang diberikan oleh guru. Mungkin jika orang tuanya bijak, sang anak akan dibantu dalam
pengerjaan tugas-tugasnya. Tapi kalo orang tua nggak mau tahu terhadap masalah si anak dan
justru malah memakinya, yang ada anaknya tambah stress.

Kerjaan sudah banyak, bukan dibantu malah disemprot. Apa nggak mungkin jalan pintas akan
diambil sang anak?

Saya tahu kita semua dalam kondisi sulit. Tapi kalo anda terus mengeluh dan berpikiran negatif,
apa yang akan dihasilkan menurut postulat Frank Outlaw?

Teruslah berpikir positif meskipun kondisi kita dalam kesulitan sekalipun.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)

Anda mungkin juga menyukai