Anda di halaman 1dari 10

2024: Berkaca Pada Macron (*Bagian 1)

Bagaimana peta politik di gelaran pilpres 2024 mendatang? Siapa yang akan memenangkan
kontestasi? Apakah akan ada kuda hitam dalam event tersebut?

Coba kita gali berdasarkan paparan media mainstream yang ada di Planet Namek.

Awalnya, Ganjar punya kans untuk melaju mengingat tingkat elektabilitasnya yang tinggi. Namun
semua berubah saat partai tempatnya bernaung justru nggak punya ‘tendensi’ untuk
mengusungnya di 2024 mendatang.

Tentang ini saya pernah bahas pada tulisan sebelumnya. (baca disini)

Yang paling gres adalah soal ribut-ribut yang terjadi antara Trimedya Panjaitan sebagai sosok
politisi senior di partai Banteng dengan seorang ‘pendengung’ perihal ketidaksukaan partai
tersebut terhadap para Ganjarist yang terus menerus mendukung Ganjar untuk maju pada gelaran
pilpres 2024.

Point yang mau disampaikan adalah: PDIP nggak akan mengusung seorang Ganjar untuk maju,
meskipun para Ganjarist tetap keukeuh mendukungnya. Titik.
(https://radaraktual.com/104828/trimedya-panjaitan-ke-eko-kuntadhi-jujur-relawan-ganjar-
duitnya-dari-sopo.html)

Bahkan pernyataan Ganjar baru-baru ini menegaskan sinyalemen yang ada saat ini, bahwa dirinya
akan tegak luris dengan keputusan Ketum Megawati, terkait dengan siapa yang akan dicalonkan
pada pilpres 2024 mendatang. Termasuk jika dirinya tidak dicalonkan.

“Ya semua orang bisa memberikan (dukungan), kami menghormati partai apapun begitu ya,
karena saya anggota PDIP tentu keputusan tegak lurus pada ibu ketum. Itu sudah menjadi
rumus seluruh anggota partai,” ungkapnya. (https://www.merdeka.com/politik/jawaban-ganjar-
pranowo-andai-tak-diusung-pdip-jadi-calon-presiden.html)

Jadi, kalo Ganjarist tetap ngotot mengusung Ganjar sebagai capres, sementara pribadi Ganjar jelas-
jelas nggak mau melawan arahan partai, apa bisa aksi main paksa dijalankan?

Di sisi yang lain, pesaing Ganjar yang mulai naik daun dipenghujung masa jabatannya, Anies
Baswedan, juga mengalami nasib yang sama. Malah banyak pengamat punya prediksi suram
terhadap sosok Anies menghadapi gelaran pilpres 2024 mendatang, ketimbang Ganjar.

Setidaknya ada 2 alasan utama.

Pertama Anies akan mengakhiri masa jabatan gubernurnya pada Oktober mendatang,
sehingga diprediksi nggak punya panggung untuk menaikkan pamor-nya setelah itu.
(https://news.detik.com/berita/d-5764782/masa-jabatan-berakhir-16-oktober-2022-setelah-itu-
anies-mau-apa)

Dan yang terpenting, meskipun tingkat elektabilitasnya cukup tinggi saat ini, Anies nggak punya
kendaraan politik yang akan mengusungnya, mengingat dirinya bukanlah kader parpol
manapun. Setidaknya, anggapan banyak pengamat, awalnya begitu.
Tapi kemudian semua terkaget-kaget saat partai Nasdem memberikan dukungan penuh pada sosok
Anies untuk maju pada gelaran pilpres 2024 mendatang, bahkan sebagai kandidat utama.
(https://megapolitan.kompas.com/read/2022/06/18/13044701/nasdem-makin-dekat-usung-anies-
jadi-capres-sesuai-prediksi-m-taufik)

Menariknya, selain menjagokan Anies, Nasdem juga mengusung sosok Andika Perkasa, yang saat ini
menjabat sebagai Panglima TNI. Spekulasi merebak: akankah sosok Andika menjadi kuda hitam
pada event 2024 mendatang, mengingat ‘langkah politis’ mulai dijajakinya?
(https://lampung.suara.com/read/2022/05/11/071500/minta-pencitraan-jenderal-andika-perkasa-
jangan-lebay-ini-3-kritik-rudi-s-kamri-untuk-panglima-tni)

Menanggapi persoalan ini, seorang netizen bertanya kepada saya. “Prediksi Abang, siapa yang akan
melaju di 2024 mendatang?” begitu kurleb-nya.

Sebenarnya, saya sudah membuat analisa secara tersirat pada tulisan saya beberapa tahun yang
lalu, terkait gelaran pilpres 2024. Silakan anda baca. (baca disini)

Namun untuk mempertegas kembali prediksi saya, saya coba kasih jawaban dengan alur yang
berbeda.

Di tahun 2017 silam, Perancis menggelar pemilu, dimana diperoleh hasil yang cukup mengejutkan
karena sosok newcomer justru bisa menang telak dengan perolehan suara sekitar 66.06%. Dialah
Emmanuel Macron. (https://www.scmp.com/yp/discover/news/global/article/3054669/emmanuel-
macron-wins-french-presidential-election-over-far)

Bagaimana Macron bisa memenangkan kontestasi, padahal dia adalah sosok yang ‘kurang
dikenal’ di kalangan politisi Perancis? Secara umur, usia Macron juga terbilang belia, karena
masih berusia 39 tahun saat menjabat. Ibarat kata, “Kencing aja belum lurus, masa bisa jadi
presiden?” (https://news.yahoo.com/france-39-old-maverick-macron-221547698.html)

Nalar akan berkata: ini ada sesuatu yang diluar kelaziman. Apa itu?

Mari kita buka jejak digital untuk tahu siapa sosok Macron sesungguhnya.

Secara profesi, Macron adalah bankir investasi yang punya keahlian dalam merger dan akuisisi.
Keahlian ini ditunjang oleh karir akedemiknya yang merupakan jebolan kampus National School of
Administration, sebuah universitas ternama di Perancis sana.
(https://www.france24.com/en/france/20210408-macron-announces-closure-of-ena-the-elite-
school-for-presidents-that-france-loves-to-hate)

Sebenarnya, awal karir Macron biasa-biasa saja, sampai kemudian di tahun 2007, Macron mulai
berkenalan dan diajak untuk bekerjasama dengan Jacques Attali yang saat itu mecoba merumuskan
kebijakan pertumbuhan ekonomi di Perancis. (https://www.thelibertybeacon.com/the-globalist-
impostor-emmanuel-macron/)

Asal tahu saja, Attali adalah sosok dibalik layar yang ‘mengendalikan’ kepemimpinan di Perancis,
selama ini.
Jadi sejak era Francois Mitterrand hingga Francois Hollande, otomatis Attali-lah yang mengatur
kebijakan dari Istana Elysee. (https://philosophers-stone.info/2021/05/11/jacques-attali-was-an-
advisor-to-francois-mitterrand-former-president-of-france-and-wrote-this-in-1981/)

Nah, Macron diajak untuk bekerjasama dengan Attali pada sebuah komisi yang kelak akan
mengusulkan 300 cara untuk mengubah perekonomian Perancis di masa pemerintahan Nicolas
Sarkozy.

Singkatnya di tahun 2008 Attali mengusulkan sebuah ‘terobosan’ untuk memodernisasi


ekonomi Perancis yang dinilai mengalami kondisi stagnasi selama bertahun-tahun.
(https://www.economist.com/europe/2008/01/24/attali-the-hun)

“Untuk menghindari kehilangan daya saing di pasar global, negara harus secara drastis
mengurangi biaya tenaga kerja,” begitu isi postulat yang diusulkan Attali.

Apa dampak dari usulan Attali pada Sarcozy? Bagaimana ini berimbas pada karir Macron?

Pada bagian kedua kita akan membahasnya.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)

Gagasan utamanya dapat dirumuskan sebagai berikut: untuk menghindari


kehilangan daya saing di pasar global, negara harus secara drastis
mengurangi biaya tenaga kerja.

Salah satu cara agar hal ini terjadi adalah dengan meningkatkan imigrasi
ke Prancis; imigran baru yang dibayar rendah, yang tidak akan bisa
terorganisir dalam serikat pekerja, akan menggusur pekerja lokal dari
manufaktur dan jasa.
[Alasan utamanya adalah untuk mencairkan Kebangsaan Prancis ke
dalam mangkuk populasi milquetoast yang dapat diterima untuk kontrol
perbankan yang lebih mudah]
Juga, rencana tersebut mengesankan dengan proposal untuk secara
drastis mengurangi pengeluaran pemerintah untuk kesehatan, pendidikan
dan penyediaan pensiun. Sarkozy tidak berani menerima rencana radikal
ini.

Selama berada di Komisi, ia berhasil memenangkan simpati Attali, yang segera


memperkenalkannya kepada temannya,  Francois Enron .
Enron, pada gilirannya, adalah sahabat dan mitra utama  David de Rothschild dan
pada tahun 2008 Macron dipekerjakan oleh Rothschild's  & Co Banque di mana ia
membuat karier yang cepat dan hanya dalam empat tahun ia tumbuh dari analis
menjadi mitra.

https://www.ft.com/content/9bd62502-12cf-11e7-b0c1-37e417ee6c76

Komisinya melebihi lebih dari satu juta euro per tahun, tetapi yang jauh lebih
berharga adalah koneksi baru di dunia bisnis dan reputasi "Mozart keuangan".

Kesepakatan terbesar untuk Macron di bank Rothschild adalah keterlibatannya dalam


pembelian  anak perusahaan Nestle  untuk makanan bayi dari pembuat obat
AS  Pfizer  (seharga $ 11,85 miliar, catatan editor).

Saat itu ia bertemu untuk pertama kalinya Matthew Pigasse , direktur bank Lazard


Brothers cabang Prancis  , yang ingin melakukan pembelian yang sama untuk
kliennya, Danone ,  tetapi gagal. Jadi Macron menemukan musuh terbesarnya di
hadapan Matthew Pigasse.

Pada 2010, Pigasse yang adalah seorang bankir kiri dan seorang teman dan pelindung
kaum sosialis Prancis, berencana menjadi penasihat ekonomi untuk  Francois
Hollande  tetapi Jacques Attali yang ada di mana-mana merekomendasikan
Emmanuel Macron ke Hollande.

Selama beberapa tahun Macron, yang sangat fasih berbahasa Inggris dan Jerman,
memfasilitasi antara sosialis papan atas Prancis dan lingkaran keuangan asing.

Seperti yang dikatakan Guardian dengan jahat ,  sementara Hollande meneriaki aksi


unjuk rasa,  “Musuh utama saya adalah ibu kota keuangan!”  petugas perbankan
Rothschild, Macron, terbang ke London City untuk meyakinkan para bankir bahwa di
bawah Presiden Hollande semuanya akan tetap seperti biasa.

Pada 2012, Hollande menjadi presiden dan Macron meninggalkan bank Rothschild
dan diangkat sebagai wakil sekretaris jenderal Istana Elysee.

Pada tahun 2014, dalam posisinya sebagai “pembaru muda”, ia mengepalai


Kementerian Ekonomi dan Industri (menggantikan teman lama dan mitra bisnis
Pigasse,  Arnaud Montebourg ).
Hollande memberinya wewenang penuh untuk kegiatan yang berkaitan dengan
modernisasi ekonomi dan Macron mengajukan RUU dengan lebih dari 300 bagian,
yang mengatur liberalisasi pasar Prancis.

Para ahli mengatakan bahwa sifat hukum Macron mewujudkan semua ide
komisi Attali.

Di dalamnya, tertanam dan didorong adalah imigrasi, fasilitas yang disediakan


untuk pelepasan karyawan, peningkatan persaingan dalam berbagai profesi,
peningkatan secara tidak langsung adalah hari kerja dengan mengorbankan
hari Minggu dan shift malam.

Para pekerja di Prancis dengan tegas tidak menyetujui RUU ini.

Diskusi itu disertai dengan protes besar-besaran. Tidak ada kesempatan untuk


mengesahkan undang-undang di parlemen.

Hollande kemudian menggunakan haknya untuk mengadopsi undang-undang


tertentu tanpa persetujuan parlemen dan pada Agustus 2015 menyetujui
“Hukum Macron”.  Menariknya, sebelum menjadi presiden, Hollande mengkritik
tajam undang-undang presiden ini dan bahkan menyebutnya sebagai “fasis”.

Pada tahun 2016, ketika peringkat Hollande sangat rendah, sesuatu yang tidak biasa
mulai terjadi di sekitar Emmanuel Macron.

Jadi, entah dari mana sebuah gerakan,  “Pemuda untuk Macron” muncul. Bahkan


sulit membayangkan pemuda bersatu secara tiba-tiba di sekitar menteri ekonomi yang
tidak populer di negara dengan ekonomi depresi.

https://www.ft.com/content/94eab3dd-1edb-4fc6-bc65-43ba145edc09

Namun, beberapa ribu orang ternyata ikut serta dalam gerakan baru tersebut.

Macron mendirikan partainya sendiri dengan nama samar  "Maju!" (En


marche!)  Demonstrasi mulai mengumpulkan banyak orang dan ini pada saat kaum
sosialis mengumpulkan beberapa ratus orang dengan susah payah di acara mereka.

https://theconversation.com/president-macron-marches-to-parliamentary-majority-in-
france-79245
Program Macron juga tidak jelas.

Mengutuk serangan teroris, dia tidak memiliki rencana untuk menutup perbatasan atau
membatasi imigrasi; berjanji untuk meningkatkan pengeluaran militer negara dia tidak
menjauhkannya dari NATO.

Faktanya, Macron tetap menjadi globalis yang sama, murid teladan Jacques Attali,
dengan fokus pada slogan persatuan Eropa. [Musuh Teguh BREXIT]

Dia mengkritik kiri dan kanan, mencoba untuk mengalihkan perhatian pemilih
yang secara tradisional memilih Sosialis, dan juga untuk menarik mereka
yang  Front Nasional  Marine Le Pen terlalu radikal.

Dengan kemunculannya yang tiba-tiba dalam politik, Macron berhasil


dengan kecepatan yang luar biasa. Wartawan benar-benar
menggendongnya.

Majalah wanita menyebutnya sebagai simbol seks baru dan impian bagi
setiap wanita Prancis.

Surat kabar berpengaruh menyoroti keuntungan dari posisi


tengahnya. Sosiolog memprediksi kemenangannya.

Dan tidak ada yang mengungkapkan sesuatu yang serius untuk


mendiskreditkannya. [Kecuali seluruh artikel ini]
Pada bulan Januari, ketika beberapa kritik merusak peluang pesaing
utamanya, Marine Le Pen dan Francois Fillon, Macron menghindari
skandal apa pun.
Secara paradoks – dan dengan demikian berpotensi “mematikan” bagi seorang politisi
Prancis – mungkin tampak seperti kehidupan pribadi Macron, tetapi media
melukiskan kisah romantis murni darinya.

Intinya, istri terfavorit dalam pemilihan presiden ( Brigitte Trogneux , catatan


editor.) 24 tahun lebih tua darinya.

Pada tahun 2007, pada hari pernikahannya dia berusia 29 tahun dan dia berusia 53
tahun.
Macron mengatakan kepada wartawan bahwa dia jatuh cinta dengan calon istrinya
ketika dia berusia 15 tahun, ketika dia mengajar bahasa Prancis di sekolahnya.

https://www.independent.co.uk/news/emmanuel-macron-parents-how-discovered-
affair-drama-teacher-brigitte-trogneux-dating-french-president-election-win-
a7724201.html

Sementara itu, ia lulus dari sekolah menengah dan universitas, berkeliling dunia,
membangun karier, tetapi selama 14 tahun ini ia setia pada cinta pertamanya.

Meskipun tidak masuk akal, ceritanya menarik bagi jurnalis.

Gambar Macron, berjalan bergandengan tangan dengan istrinya, atau Macron dengan
sebotol makanan bayi, memberi makan cucu-cucunya diterbitkan oleh semua surat
kabar di negara itu. Majalah mode memproklamirkan istrinya sebagai "ikon gaya".

Dalam hal teknologi politik, ini adalah langkah yang baik: Prancis menua, dan lebih
banyak wanita pensiun di antara para pemilih. Bagi mereka sekarang ada banyak film
di mana pria muda yang tampan jatuh cinta dengan seorang wanita tua.

Idyll keluarga Macron dirancang untuk mereka dan diproyeksikan pada mereka. Juga
benar bahwa tabloid secara berkala memuat desas-desus bahwa kekasih Macron
adalah Presiden Radio Prancis, Matthew Galle, tetapi tidak ada bukti.

Internet penuh dengan tuduhan & penolakan tentang topik tertentu sodomi
Gallet & Macron. Namun Macron & istrinya yang berusia 24 tahun lebih
tua mulai serius ketika Macron berusia (18 tahun) — dan ketika Brigette
Trogneux (42 tahun) masih menikah dengan 3 orang anak.
http://nypost.com/2017/04/24/emmanuel-macron-married-his-high-school-
teacher/
Secara keseluruhan, karier politisi muda ini berjalan dengan sukses dan media sangat
mendukungnya sehingga tidak mungkin untuk tidak curiga terhadap pengaruh lain.

Begitu Macron mengumumkan bahwa ia memasuki pemilihan presiden, Prancis


memberinya julukan "kandidat Rothschild."
Tidak ada konspirasi dalam hal ini: cabang Prancis dari keluarga Rothschild, yang
mengendalikan aset dalam puluhan miliar euro, secara alami berusaha untuk memiliki
orangnya di Istana Elysee.

Keluarga terkenal itu menjaga hubungan persahabatan dan bisnis dengan generasi
politisi Prancis, dari Charles de Gaulle hingga Georges Pompidou, dari Edouard
Balladur hingga Nicolas Sarkozy.

Mantan sekretaris jenderal Istana Elysee, Francois Peron, serta Direktur Kabinet
Menteri di bawah Perdana Menteri Beregovoy, Nikolas Basire telah bekerja langsung
untuk bank Rothschild.

Sejarawan percaya bahwa privatisasi skala besar pada pertengahan 90-an dilakukan
oleh Perdana Menteri Balladur bukan tanpa campur tangan Rothschild.

Pesaing utama dalam perjuangan politik untuk Rothschild tampaknya adalah Lazard
Brothers' Bank, yang cabang Prancisnya dipimpin oleh musuh terbesar Marco,
Matthew Pigasse.

Di Bank Lazard dia memainkan peran yang sama seperti yang dimainkan Jacques
Attali di bank Rothschild. Pigasse menyukai punk rock dan reality show, bermain
gitar; dia membeli surat kabar berpengaruh, mengutip wawancara dengan filsuf kiri
dan merupakan pendamping aktif politisi kiri.

Seperti keluarga Rothschild, Lazard berhasil mengasuh Sosialis pada tahun 2007.

Matthew Pigasse mensponsori kampanye kepresidenan Segolene Royal sambil


mendukung Arnaud Montebourg.

Setelah temannya terpaksa mundur dari pemilihan karena popularitas yang sangat
rendah, Pigasse mendukung Benoit Hamon.

Yang terakhir menjanjikan pendapatan dasar tanpa syarat Prancis sebesar 750 euro,
tetapi bankir tahu apa yang 'kiri' retorika dalam kampanye.

Media kaum kiri menyalahkan Pigasse karena memecah belah kaum Sosialis.

Bahkan, bankir hanya membuka jalan bagi anak didiknya di pesta dan pada saat yang
sama membalas dendam kepada Francois Hollande karena dia tidak
memperkenalkannya di Istana Elysee. Pukulan terbaru pada peringkat terendah
Hollande adalah sebuah buku, yang disusun oleh jurnalis dari Le Monde:

“Presiden seharusnya tidak mengatakan ini …” di mana kutipan yang dipilih dengan
cerdik mencela presiden sebagai orang yang munafik, rasis, dan pembohong.

Tak lama setelah publikasi, Hollande tampil di televisi dan menyerahkan nominasi
untuk masa jabatan baru. Sebagian besar saham Le Monde dimiliki oleh Pigasse.

Selain Le Monde, direktur Prancis Lazard Bank mengendalikan beberapa media


berpengaruh lainnya. Satu-satunya ancaman bagi Macron bisa datang dari
mereka. Jika kita melihat fabrikasi yang bertujuan untuk mendiskreditkannya, yang
pertama menerbitkannya adalah Matthew Pigasse.

Emmanuel Macron tampaknya merupakan produk akhir dari teknologi politik dalam
pemilihan presiden. Citranya telah dibuat dengan cermat: penampilannya, kisah cinta
yang menyentuh, dan program yang benar secara politis.

Namun di sinilah letak kelemahannya – pemilih Prancis mungkin merasakan citra


palsu dari kandidat tersebut, dan kurangnya kemandirian sebagai pemimpin
bangsa. Masalahnya bukan pada bankir yang terlibat dalam politik, pada umumnya itu
terjadi sepanjang waktu; tetapi presiden yang kuat akan mampu memaksakan
agendanya pada sponsor yang paling berpengaruh.

Macron ~ Homunculus Rothschild .

Namun, wajah cantik Macron tidak mirip dengan presiden tersebut. Ini adalah
homunculus yang ditumbuhkan oleh semua aturan untuk mengelola opini publik.

Hari ini para sosiolog dengan suara bulat memprediksi kemenangan Macron dalam
pemilihan presiden. Omong-omong, para sosiolog dalam pemilu AS juga dengan
suara bulat menjanjikan kemenangan bagi Hillary Clinton.

Terlepas dari apa nasib Macron nantinya, ia tetap menjadi model bagaimana
kesepakatan antara ibu kota keuangan dan partai-partai kiri di Eropa bekerja serta
fakta bahwa presiden Prancis berubah secara teratur, tetapi orang-orang yang
mendorong mereka ke Istana Elysee tetap sama. Cara Stalin Memenangkan Halaman
Pemilu
https://www.younggloballeaders.org/community?utf8=%E2%9C%93&q=Macron

2012

Anda mungkin juga menyukai