Anda di halaman 1dari 3

MENYAMBUT PILKADA SERENTAK DI TAHUN 2020

Oleh :

BELY PUTRA HANDARESTA

MAHASISWA STISIPOL RAJA ALI HAJI TANJUNGPINANG

Pesta Demokrasi Khususnya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) akan dilaksanakan


serentak untuk keempat kalinya. Awalnya pemilihan Kepala Daerah akan dilaksanakan pada
23 September 2020 ini, tetapi setelah adanya pandemi Covid-19 ini pelaksanaan Pemilihan
Kepala Daerah akan dilaksanakan pada 09 Desember 2020. Pada Pilkada kali ini akan
dilaksanakan di 270 Daerah, dengan rincian 9 Pilgub, 224 Pilbup dan 37 Wako. Dari rincian
tersebut Sembilan provinsi yang melaksanakan Pilgub yakni Sumbar, Jambi, Bengkulu,
Kepri, Kalteng, Kalsel, Kaltara, Sulut dan Sulteng. Dari 34 Provinsi se-Indonesia hanya 2
Provinsi yang tidak melaksanakan Pilkada Serentak 2020 yakni Aceh dan DKI Jakarta.

Penyelenggaraan Pilkada secara langsung oleh rakyat tidak bisa dipisahkan dari
upaya bangsa Indonesia untuk meningkatkan kualitas demokrasi lokal dan pemerintahan
daerah pasca demokratisasi Orde Baru, sebagai momentum emas bagi implementasi agenda
desentralisasi dan otonomi secara luas bagi daerah. Berkaitan dengan itu, ada sejumlah
tantangan yang menarik untuk dicermati terkait gelaran pilkada serentak 2020.

Pertama, tantangan dinamika politik. Tantangan itu tak dapat dielakkan lantaran
pilkada serentak 2020 punya makna strategis bagi partai politik, yakni sebagai ajang untuk
memanaskan mesin politik menuju Pemilu 2024. Di sisi lain, karena jumlahnya yang
banyak, partai akan berjuang habis-habisan untuk bisa meraih kemenangan sebesar-
besarnya di setiap daerah. Matematika politik parpol mengatakan bahwa semakin banyak
kader terpilih sebagai kepala daerah, semakin kuat kaki politik sebuah partai untuk
menyongsong Pemilu 2024.

Kedua, tantangan figur. Harus diakui bahwa perjalanan pilkada sejak 2005 hingga
kini masih menggambarkan kekuatan figur sebagai modal utama dalam merengkuh
kemenangan pilkada. Figur telah menggeser dominasi mesin parpol dalam memengaruhi
pilihan. Dalam kontestasi pilkada, figur yang diusung jauh lebih penting ketimbang partai
yang mengusung. Apalagi, perilaku pemilih di Indonesia memang menunjukkan figure
identification (figure ID) jauh lebih kuat ketimbang party identification (party ID). Selain
itu, faktor efek ekor jas (coat-tail effect) membuat partai politik berlomba mencari figur
(kandidat) yang potensial menang meski bukan dari kadernya sendiri. Sehingga impor figur
ataupun caplok-mencaplok antarkader partai, seperti yang terjadi pada pilkada sebelumnya
akan kembali dilakukan sebagai usaha memenangi kompetisi pilkada.

Ketiga, tantangan pemilih. Dilihat dari demografi pemilih, pilkada serentak 2020
akan didominasi pemilih milenial. Kondisi itu perlu menjadi catatan penting lantaran tren
kepemimpinan milenial juga sedang naik daun. Milenial kini bukan sekadar objek politik,
tapi sebagian besar sudah menjadi subjek politik.

Keempat, tantangan kampanye. Mulai ada pergeseran pola kampanye seiring


hadirnya era technopolitic. Technopolitic dimaknai sebagai fenomena meleburnya antara
teknologi dan politik. Technopolitic membuat wajah politik berubah. Sebagai contoh, pola-
pola mendekati masyarakat pemilih (kampanye) secara konvensional seperti pengerahan
massa serta pemasangan baliho dan spanduk akan mulai bergeser. Kampanye akbar mulai
bergeser menjadi berbasis personal dan kampanye di media massa mulai bergeser ke media
sosial. Penggunaan teknologi informasi dalam sebuah kampanye politik mutlak diperlukan.
Meskipun harus disadari bahwa kehadiran teknologi dalam politik ibarat pedang bermata
dua. Di satu sisi dapat menjadi sarana kampanye yang murah dan mudah, namun di sini lain
bisa mendatangkan “bencana sosial” berupa hoax yang tak terkendali.

Kelima, tantangan kecurangan. Bahwa kecurangan di dalam pilkada dapat dibagi


dua. Kecurangan pada “saat pilkada” dan kecurangan pada saat ”pra-pilkada”. Kecurangan
pada saat pilkada dimulai ketika sang kandidat sudah ditetapkan KPU sebagai peserta
(kandidat) pilkada dan berlangsung hingga pemungutan suara. Dalam hal ini, kecurangan
bisa berupa kampanye hitam, politik uang, intimidasi, hingga manipulasi hasil perolehan
suara. Sedangkan kecurangan pra-pilkada biasanya melibatkan kontestan atau melibatkan
penyelenggara pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU). Misalnya, KPU
memaksakan orang yang tidak memenuhi syarat diikutkan dalam pilkada. Atau sebaliknya,
orang yang memenuhi syarat dicoret atau didiskualifikasi.

Bagi masyarakat, kedewasaan politik diperlukan dalam menyikapi maraknya hoaks


dalam kontestasi pilkada. Dan tentu saja bagi para calon kepala daerah yang berkompetisi
dan tim suksesnya, cara-cara culas dalam pilkada dengan melakukan kampanye hitam dan
ujaran kebencian harus disingkirkan. Sebab, cara seperti itu tak hanya akan mencederai
pesta demokrasi, tetapi juga berpotensi memicu konflik horizontal yang mengkhawatirkan.

Menyambut pesta demokrasi Pilkada Serentak Tahun 2020, semoga Pilkada serentak
dapat menjadi pintu masuk membangun demokrasi yang berkualitas. Pilkada yang
demokratis senantiasa diupayakan agar pelaksanaannya efektif, efisien dan menghasilkan
pemimpin-pemimpin di daerah yang representatif bagi kepentingan rakyat di daerah yang
dipimpinnya. Tak hanya KPU Pusat dan KPU di daerah sebagai penyelenggara dan lembaga
pengawas Pemilu yang bertanggungjawab untuk mewujudkan demokrasi yang berkualitas.
Para kandidat, partai politik pengusung, dan masyarakat juga memiliki andil untuk
mewujudkan Pilkada yang demokratis, jujur dan adil, yang mampu menghasilkan figur-
figur kepala daerah yang bersih dan memiliki kecakapan untuk memimpin serta
membangun daerah ke depan.

Profesionalitas dari KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara Pilkada maupun peran
aktif dari Parpol dan kandidat calon Kepala Daerah terhadap para konstituennya, sangat
diharapkan agar memberikan pemahaman bagi masyarakat untuk berpartisipasi aktif
menyambut Pilkada Serentak, sehingga dapat menekan potensi Golput yang hingga saat ini
masih relatif tinggi dan merupakan preseden buruk dalam pelaksanaan Pemilu.

Anda mungkin juga menyukai