Anda di halaman 1dari 62

Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................................. 2


1.1 Latar Belakang .............................................................................................................................. 2
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................................................... 9
1.3 Tujuan Penulisan ......................................................................................................................... 10
1.4 Manfaat Penulisan ...................................................................................................................... 10
BAB II URAIAN TEORITIS ..................................................................................................................... 10
2.1. Paradigma Penelitian .................................................................................................................. 10
2.2. Kajian Terdahulu ........................................................................................................................ 12
2.3. Persepsi ....................................................................................................................................... 20
2.4. Konsep Makna ............................................................................................................................ 31
2.5. Ujaran Kebencian........................................................................................................................ 33
2.6. Hoax ............................................................................................................................................ 38
2.7. Media Sosial................................................................................................................................ 41
2.8. Pegawai Negeri Sipil................................................................................................................... 45
2.9. Aparatur Sipil Negara (ASN) ...................................................................................................... 46
2.10. Kerangka Pemikiran ................................................................................................................ 48
3.1. Metode Penelitian ....................................................................................................................... 50
3.2. Fokus Penelitian .......................................................................................................................... 51
3.3. Teknik Pengumpulan Data .......................................................................................................... 52
3.4. Teknik Analisis Data................................................................................................................... 54
3.5. Teknik Keabsahan Data .............................................................................................................. 56
BAB IV KESIMPULAN ............................................................................................................................ 57
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. 58

i
2

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Era Teknologi Informasi mengajak setiap orang berlomba-lomba mengekspresikan


luapan hatinya di media sosial, dari mempublikasikan foto, sharing video, mencurahkan
perasaan, sampai berkomentar bebas tentang apa pun. Kita melihat, bahwa seakan-akan jari
mengontrol semua aktivitas kita ketika di dunia maya. Saat kita menggunakan gadget, kita
bebas melakukan apa yang kita mau. Di Zaman serba digital saat ini, banyak orang
mengekspresikan dirinya lewat gadget dan tak sedikit “memakan korban” tatkala kita tidak
bijaksana dalam mengkonsumsi informasi dari media sosial di dunia maya. Mengapa
demikian? Apa media sosial memiliki efek buruk bagi kita penggunanya?

Media sosial adalah teknologi berbasis internet yang membantu manusia untuk
berinteraksi dengan sesama penggunanya. Melalui media sosial, kita dapat saling
berkomunikasi, bertukar informasi, dan berjejaring satu dengan lainnya. Media sosial
menjadi jendela informasi dari seluruh dunia dan proses penyebarannya secara cepat tanpa
dibatasi oleh ruang dan waktu. Inilah kecanggihan internet dan media sosial.

Jumlah pengguna Internet di Indonesia pada tahun 2017 berdasarkan data Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia berjumlah 143,26 juta jiwa. Jumlah ini mengalami
kenaikan sebesar 8 % (delapan persen) dari jumlah sebelumnya pada tahun 2016 yakni
sebanyak 132,47 Juta orang. Jumlah pengguna internet di Indonesia tersebut didominasi oleh
laki-laki sebesar 51,43 %. Usia pengguna Internet yang mendominasi jumlah pengguna
internet di Indonesia berkisar 35 – 44 yakni sebesar 49,52 persen.

Data Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Isi media sosial
sebanyak 90,30 % (sembilan puluh koma tiga puluh persen) adalah berita bohong, 21,60 %
informasi bersifat menghasut, dan 59 % informasi tidak akurat. Informasi ini disampaikan
oleh Selamatta Sembiring selaku Direktur Layanan Informasi Internasional, Ditjen IKP,
Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam seminar yang diinisiasi Forum Promotor
2018 Polri. Sembiring mengatakan bahwa Hoax bukan hanya berita bohong biasa, akan
tetapi efeknya sangat besar dan karenanya dapat menimbulkan kebingungan, kebencian dan
3

perpecahan bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Hoax dapat memicu perselisihan diantara
negara-negara didunia (https://kumparan.com/wa-wicaksono/forum-promoter-2018-polri-
sebab-hoax-persatuan-dan-kesatuan-indonesia-bisa-retak, diakses 4 Desember 2018).
Sejarah mencatat, bahwa penyebaran hoax pernah dilakukan oleh Partai Nazi untuk secara
politis membangun kekuatan sejak awal 1930-an. Korbannya adalah kaum yahudi yang ada
di Jerman pada khususnya dan Eropa pada umumnya. Hitler mempercayakan propaganda ini
kepada Goebbles, dan sampai akhir perang dunia ke II, Goebbels sukses melaksanakan tugas
tersebut. Adolft Hitler Hitler tahu bahwa propaganda dijadikan mesin nomor satu agar ia
bisa sampai di puncak kekuasaan.

Ian Kershaw di buku Hitler: 1889-1936 Hubris, menulis bahwa Goebbels piawai
mengarang cerita-cerita hoax tentang orang Yahudi. Melalui kanal radio, koran, dan lain
sebagainya, disebutkan bahwa orang-orang Yahudi adalah sumber kekacauan ekonomi
rakyat Jerman karena merebut sektor pekerjaan penting di negara tersebut. Sentimen anti-
Yahudi di bidang ekonomi melahirkan gerakan pemboikotan produk bikinan orang Yahudi,
demonstrasi, dan lain sebagainya. Orang-orang Yahudi juga dijadikan alasan utama
mengapa Jerman kalah di PD I. Taktik propaganda ini berhasil menaikkan Partai Nazi ke
tampuk kekuasaan tertinggi di Jerman, hingga Jerman terlibat sebagai salah satu pemain
besar di Perang Dunia II. Kebencian rasialis itu pula yang mendorong Hitler untuk
melangkah ke level baru: pembantaian 6 juta orang-orang Yahudi sepanjang 1941-1945.
Kebijakan yang terstruktur dan sistematis ini didukung oleh sebagian besar warga Jerman
pada waktu itu yang telah kenyang makan propaganda Goebbels. Goebbels memahami
bahwa kebenaran informasi di mata publik Jerman tak harus didasarkan pada fakta ilmiah,
namun juga bisa berasal dari sekeranjang kebohongan. Kuncinya adalah : “Jika Anda
menyampaikan kebohongan dengan sering dan berulang-ulang, orang akan mempercayainya
sebagai sebuah kebenaran—bahkan termasuk Anda sendiri.” (https://tirto.id/gairah-
membunuh-gara-gara-hoax-cwSy, diakses 4 Desember 2018).

Survey MASTEL (Masyarakat Telekomunikasi), menyebutkan bahwa masyarat sudah


kritis tanggapi berita hoax. Survey yang dilakukan pada tanggal 7 februari 2017 dan ditutup
pada 9 februari 2017 yang dilakukan secara online dan mendapat tanggapan dari 1.116
responden, memperoleh hasil bahwa 90,30 persen responden menjawab bahwa berita hoax
merupakan berita bohong yang sengaja dibuat. 91,80 persen responden menjawab berita
hoax seputar pilkada merupakan berita hoax yang sering mereka terima. Untuk
4

penyebarannya 92,40 persen melalui sosial media dan diikuti aplikasi chating sebanyak
62,80 persen. Bentuk hoax yang paling sering diterima dalam bentuk tulisan sebanyak 62,10
persen. Jumlah frekwensi menerima berita hoax diperoleh sebanyak 44,30 persen menerima
setiap hari. (File PDF, infografis Hasil Survey Mastel Tentang Wabah Hoax Nasional 2017)

Survey MASTEL menyebutkan bahwa hoax sengaja dibuat untuk mempengaruhi publik
dan kian marak lantaran faktor stimulan seperti isu Sosial Politik dan SARA, namun
penerima hoax cukup kritis karena mereka telah terbiasa untuk memeriksa kebenaran berita.
Ketua Umum MASTEL, Kristiono menyatakan bahwa hasil dari survey ini sudah bagus,
namun perlu adanya peran aktif dari pemerintah, pemuka agama dan komunitas untuk
membantu meningkatkan literasi masyarakat. Dalam hal ini dengan menyediakan akses
terhadap fasilitas untuk memeriksa kebenaran hoax yang beredar.
(https://mastel.id/infografis-hasil-survey-mastel-tentang-wabah-hoax-nasional/, diakses 4
Desember 2018). Hasil survey MASTEL juga memperlihatkan fakta-fakta bahwa saat ini
wabah hoax sudah tidak bisa ditangani dengan cara biasa, bahkan sudah selayaknya
difikirkan penanganan secara ekstraordinary (luar biasa) karena efek yang ditimbulkan hoax
tersebut mengancam keutuhan suatu bangsa dan negara.

Faktor Stimulan yang didominasi isu Sosial Politik & SARA menjadi perhatian setiap
orang yang menggunakan media sosial dan merupakan sumber dari munculnya hoax itu
sendiri. Masyarakat yang dikelompokkan kedalam supporter, silent majority, dan hater
merupakan warna dalam iklim demokrasi. Masyarakat Suporter yang mendukung, dilain
pihak hater tidak dapat dihilangkan. Menjaga kelompok silent majority agar tetap immune
(kebal) terhadap hoax dan berkurangnya lapisan kelompok haters dan supporters menjadi
tantangan ke depan.

Hoax bukan hanya marak di Indonesia, melainkan hampir diseluruh negara di dunia.
Negara Indonesia berupaya mengelola dan menanggulanginya dengan membuat kebijakan
maupun regulasi peraturan perundang-undangan untuk mencegah wabah hoax tersebut.
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan telah diubah berdasarkan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sanksi yang diterapkan berbentuk
denda hingga hukuman penjara bagi pengguna media sosial yang menyebarkan berita
5

bohong atau ujaran kebencian. Hal ini juga bertujuan agar para pengguna media sosial selalu
berpikir terlebih dahulu sebelum melakukan “posting”, “forward”, “share”, “like”,
“comment” tentang sesuatu.

UU Informasi dan Transaksi Elektronik atau disingkat Undang-Undang ITE telah


diundangkan lebih dari 10 (sepuluh), tetapi oknum pelaku penyebaran berita bohong
maupun aktivitas ujaran kebencian semakin massif melakukan penyebaran berita bohong
atau hoax tanpa menghiraukan sanksi pidana ataupun denda. Penerapan sanksi bagi pelaku
penyebar hoax dan aktivitas ujaran kebencian saat ini banyak ditangani pihak kepolisian,
salah satu contoh, pada laman berita online
(http://www.tribunnews.com/nasional/2018/11/24/sebar-hoaks-dari-ahok-ke-jokowi-admin-
akun-ig-sr23_official-tak-sangka-ditangkap-polisi, diakses tanggal 27 November 2018)
dengan judul ‘Sebar Hoaks dari Ahok ke Jokowi, Admin Akun IG sr23_official Tak Sangka
Ditangkap Polisi’. Dari berita tersebut, dapat diperoleh informasi bahwa pelaku penyebar
hoax mengaku bahwa pada awalnya membuat konten negatif ditujukan kepada Basuki
Tjahja Purnama alias Ahok. Ahok menjadi sasarannya saat terjerat kasus penistaan agama
pada 2016. Setelah kasus Ahok selesai diproses dipengadilan dan dijatuhi hukuman penjara,
JD beralih untuk mengangkat konten tentang Jokowi. Dalam pengakuannya kepada
Bareskrim Polri, Cideng, Jakarta Pusat pada jumat 23 november 2018, JD mengatakan
bahwa perbuatan menyebar hoax diawali dari kasus Ahok karena menista agama, dari
situlah timbul niat membuat akun untuk melawan Ahok.

Pengakuan JD yang menjadi perhatian kita adalah bahwa menurutnya apa yang
dilakukannya dengan menyebar konten negatif tidak melanggar hukum. JD menyatakan
bahwa waktu itu JD jarang melihat berita tentang polisi menangkap pelaku penyebar hoax.
JD ditetapkan sebagai tersangka karena diduga melakukan perbuatan menyebar hoax dan
disangkakan Pasal 45A ayat (2) jo Pasal 28 ayat (2) dan/atau Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27
ayat (1) UU No 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU No 11 Tahun 2008 tentang ITE,
dan/atau Pasal 16 jo Pasal 4 huruf b angka 1 UU No 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan
Diskriminasi Ras dan Etnis, dan/atau Pasal 4 ayat (1) jo Pasal 29 UU No 44 Tahun 2008
tentang Pornografi dan/atau Pasal 157 ayat (1) KUHP.

Sanksi tegas terhadap pelaku penyebar hoax yang diatur melalui Undang-Undang formil
tidak membuat surut oknum pelaku untuk menyebarkan hoax. Hoax juga menjadi bisnis bagi
6

pelaku penyebar hoax, seperti kasus Saracen. Selamatta Sembiring selaku Direktur Layanan
Informasi Internasional Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia
menyebutkan bahwa setiap kali berita bombastis (Clickbait) diklik, maka pemilik situs bisa
mendapatkan keuntungan dari iklan. Menurut penelusuran dari Bareskrim, Sindikat
SARACEN misalnya, memiliki 800.000 (delapan ratus ribu) akun lebih. Jika 1000 x klik = 1
USD atau sekitar Rp. 14.000. Sungguh sebuah keuntungan yang cukup membuat orang
banyak tergiur karenanya. (https://kumparan.com/wa-wicaksono/forum-promoter-2018-
polri-sebab-hoax-persatuan-dan-kesatuan-indonesia-bisa-retak, diakses 4 Desember 2018).

Berdasarkan laman berita online www.turnbackhoax.id, terdapat alur Industri Kapital


Hoax yang dimulai dari produksi hoax yang dilakukan oleh produsen hoax (gambar 1).
Mereka memproduksi hoax dengan biaya yang berasal dari donatur yang sengaja memesan
untuk menghasilkan hoax (produk) seperti kebencian pada suatu tokoh/etnis/institusi dan
lain sebagainya, deligitimasi kebenaran, dan menciptakan ‘kebenaran’ sesuai kemauan si
pemesan hoax. Setelah dari pabrik hoax, proses bergulir pada makelar hoax. Makelar hoax
disini adalah proses marketing hoax dengan menggunakan akun buzzer. Para makelar hoax
menerima uang dari produsen hoax. Makelar hoax menggunakan akun buzzer untuk
melakukan provokasi, mainkan hastag, mainkan akun bot, dan sindikasi akun buzzer. Proses
terakhir dari Industri Hoax adalah Follower. Follower adalah Konsumen hoax yang
mengkonsumsi produk hoax tersebut. Follower tidak dibayar dan cenderung sukarela karena
kepentingan dan kebencian pada suatu institusi, tokoh, etnis, dll. Respon yang diharapkan
dari pemilik situs dengan buzzernya adalah like & share sehingga mendapatkan keuntungan
dari iklan (data Diolah dari situs Turnbackhoax.id)

Fenomena banyaknya kasus hoax dengan latarbelakang motivasi perbuatan yang


berbeda-beda serta kurang tegasnya penindakan bagi pelaku mendapat kritikan keras dari
pakar keamanan siber. Pratama Persadha mengatakan penegakan hukum terhadap pelaku
berita bohong (hoax) dan ujaran kebencian (hatespeech) oleh aparat masih kurang tegas.
Sistem penangkal hoax juga masih lemah. "Bagaimana cara memerangi hoax? Penegakan
hukum, mohon maaf kemarin kami lihat Saracen, MCA, bgaimana perkembangannya? Dari
puluhan yang ditangkap, berapa yang dihukum, apa hukumannya, apa ada yang dilepaskan?"
kata Pratama dalam diskusi bertema 'Kampanye Asik, Damai dan Antihoax' di Cikini,
Jakarta Pusat, Sabtu (22/9/2018). Pratama mengatakan bahwa masyarakat merasa bahwa
menyebarkan berita bohong atau hoax bukan kejahatan. "Masyarakat merasa menyebarkan
7

berita hoax ini bukan kejahatan. Penegakan hukumnya sangat minim sekali," sambung
Pratama. Menurut Pratama, ancaman di dunia siber sebenarnya tidak hanya hoax namun
juga peretasan dan perilaku negatif para netizen yang dapat memancing perpecahan. Dia
kemudian menyebut sistem pemerintah menangkal peretasan masih lemah. "Ancaman dunia
siber itu bukan hanya hoax, tapi ada juga peretasan, perilaku negatif lain dari netizen yang
menyimpang. Kami ini sangat, sangat, sangat, sangat lemah terhadap peretasan dan
peretasan ini efeknya jauh lebih membahayakan daripada hoax," ucap Pratama.
(https://www.kominfo.go.id/content/detail/14576/penegakan-hukum-terhadap-pelaku-hoax-
sangat-minim/0/sorotan_media, diakses 4 Desember 2018).

Wabah hoax dan ujaran kebencian yang beredar di media sosial, memaksa semua pihak
untuk bahu-membahu berupaya mencegah meluasnya wabah hoax karena mengancam
persatuan dan kesatuan. Upaya pencegahan perbuatan ujaran kebencian dan hoax harus
dilakukan oleh semua pihak, termasuk institusi pemerintah dengan Aparatur Sipil Negara
atau disingkat ASN. ASN sebagai pemersatu bangsa berdasarkan amanat Undang Undang
No. 5 Tahun 2014 tentang ASN diharapkan dapat membantu pemerintah untuk mencegah
aktivitas ujaran kebencian dan hoax. Badan Kepegawaian Negara selanjutnya disingkat
BKN adalah Badan yang menaungi seluruh ASN di Indonesia. BKN merespon upaya
pemerintah untuk mencegah penyebaran berita palsu (hoax) dan ujaran kebencian terhadap
suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang berpotensi sebagai sumber perpecahan
bangsa dengan mengeluarkan kebijakan terkait fenomena aktivitas ujaran kebencian dan
hoax yang saat ini juga dilakukan oleh beberapa oknum ASN.

BKN mengeluarkan Rilis No. 006/RILIS/BKN/V/2018 tanggal 18 Mei 2018 tentang


enam aktivitas ujaran kebencian berkategori pelanggaran disiplin. BKN menegaskan bahwa
ASN diminta menjalankan fungsinya sebagai perekat dan pemersatu bangsa sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN. BKN menyatakan
bahwa Badan Kepegawaian Negara telah menerima 14 aduan ujaran kebencian yang
melibatkan aparatur Sipil Negara (ASN) pusat dan daerah. Data tersebut tercatat sampai
dengan bulan Mei tahun 2018. Kepala Biro Humas BKN Mohammad Ridwan
mengungkapkan, bahwa terlapor aduan ujaran kebencian terbanyak berprofesi sebagai
Dosen ASN dan Pegawai Negeri Sipil Pemerintah Pusat. Laporan Ujaran Kebencian yang
masuk ke BKN berupa pernyataan ujaran kebencian terhadap suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA) hingga penyebaran berita bohong (hoax)
8

(https://nasional.kompas.com/read/2018/06/08/16095701/hingga-mei-2018-bkn-terima-14-
aduan-ujaran-kebencian-oleh-asn, diakses 22 Januari 2019).

Pengaduan dari masyarakat terkait keterlibatan ASN dalam ragam aktivitas ujaran
kebencian turut memperkeruh situasi bangsa. Menanggapi prilaku negatif yang dilakukan
sejumlah oknum ASN tersebut, BKN menganggap penting mengatur sanksi tegas sanksi
tegas dengan menggolongkan aktivitas ujaran kebencian dan penyebaran berita palsu (hoax)
yang dilakukan oleh ASN sebagai pelanggaran disiplin. Pelanggaran displin ASN selama ini
diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Hukuman Disiplin
Pegawai Negeri Sipil dan Peraturan Kepala BKN no. 21 Tahun 2010 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri
Sipil. Penerapan Rilis BKN No. 006/RILIS/BKN/V/2018 tanggal 18 Mei 2018
ditindaklanjuti dengan dilayangkannya imbauan kepada Pejabat Pembina Kepegawai (PPK)
Instansi Pusat dan Daerah untuk melarang ASN di lingkungannya menyampaikan dan
menyebarkan berita berisi ujaran kebencian perihal SARA, serta mengarahkan ASN agar
tetap menjaga integritas, loyalitas, dan berpegang pada empat pilar kebangsaan, yaitu
Pancasila, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Bhineka Tunggal Ika,
dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Penerapan Rilis BKN No. 006/RILIS/BKN/V/2018 tanggal 18 Mei 2018 seakan tidak
ada hambatan, bahkan tidak riuh seperti kebanyakan isu-isu kebijakan pemerintah yang
menuai pro dan kontra. Berdasarkan hasil observasi peneliti dikalangan ASN khususnya di
BPS Provinsi Sumatera Utara, Rilis BKN No. 006/RILIS/BKN/V/2018 tanggal 18 Mei 2018
tentang enam aktivitas ujaran kebencian belum sepenuhnya diketahui bahkan dipahami oleh
ASN. Salah satu ASN yang mengetahui tentang Rilis BKN No. 006/RILIS/BKN/V/2018
tanggal 18 Mei 2018 seperti bapak Ramlan selaku Kepala Bagian Tata Usaha Badan Pusat
Statistik Provinsi Sumatera Utara berpendapat bahwa Rilis tersebut merupakan kebijakan
yang tidak bertentangan dengan PP 53 Tahun 2010 tentang Hukuman Disiplin PNS, akan
tetapi sebaiknya kebijakan itu harus dimasukkan kedalam revisi PP 53 Tahun 2010 tentang
hukuman disiplin pegawai negeri sipil.

Pendapat yang disampaikan oleh Bapak Ramlan merupakan salah satu bentuk persepsi
ASN di BPS Provinsi Sumatera Utara terhadap Rilis BKN No. 006/RILIS/BKN/V/2018
tanggal 18 Mei 2018. Perbedaan persepsi tentang Rilis BKN dikalangan ASN di BPS
9

Provinsi Sumatera Utara juga menimbulkan pro dan kontra. Beberapa ASN cenderung
memahami bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh BKN sebagaimana tercantum dalam
Rilis tersebut harus diikuti, tetapi ada beberapa ASN yang kritis dan menganggap bahwa
ketentuan dalam Rilis BKN tersebut sudah menyinggung ranah privat ASN sebagai pribadi
dan karenanya tidak dapat diterapkan serta merta. Persepsi ASN yang berbeda-beda
merupakan proses berfikir masing-masing individu terhadap stimulus yang diterima oleh
panca indra, sehingga berbeda-beda individu maka persepsi yang dihasilkan terhadap suatu
stimulis akan menghasilkan penafsiran atau pemaknaan yang berbeda pula.

Atkinson et.al. (1997: 201) mengatakan bahwa persepsi adalah suatu proses dimana
terjadi pengorganisasian dan penafsiran pola stimulus dalam lingkungan. Prosesnya adalah,
stimulus yang diindera oleh individu kemudian diorganisasikan dan diintepretasikan,
sehingga individu menyadari/mengerti tentang apa yang diindera tersebut. Perbedaan cara
pengorganisasian dan interpretasi terhadap stimulus berupa Rilis BKN No.
006/RILIS/BKN/V/2018 tanggal 18 Mei 2018 tentang enam aktivitas ujaran kebencian
berkategori pelanggaran disiplin

Rilis yang dikeluarkan oleh BKN sebenarnya patut diberikan apresiasi dimana Rilis
BKN No. 006/RILIS/BKN/V/2018 tentang enam aktivitas ujaran kebencian dibuat sebagai
langkah tindakan yang disengaja dilakukan oleh BKN karena aktivitas ujaran kebencian dan
hoax sudah menjadi wabah dan sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan observasi peneliti di
media sosial melalui website https://turnbackhoax.id/, hari demi hari penyebaran ujaran
kebencian dan hoax sangat mengkhawatirkan. Apa yang ditampilkan pada website
https://turnbackhoax.id/ hanyalah beberapa hoax yang dapat dideteksi dan yang dilaporkan
oleh relawan, karena setiap hari di media sosial begitu banyak hoax yang disebarkan oleh
orang-orang yang tidak bertanggungjawab.

Peneliti tertarik untuk mengkaji persepsi ASN terhadap Rilis BKN No.
006/RILIS/BKN/V/2018 tanggal 18 Mei 2018 tentang enam aktivitas ujaran kebencian
berkategori pelanggaran disiplin”.

1.2 Rumusan Masalah


10

1.2.1. Bagaimanakah Persepsi ASN Terhadap Rilis BKN No. 006/RILIS/BKN/V/2018


tentang enam aktivitas ujaran kebencian berkategori pelanggaran disiplin?
1.2.2. Bagaimanakah pemahaman ASN terhadap Rilis BKN No. 006/RILIS/BKN/V/2018
tentang enam aktivitas ujaran kebencian berkategori pelanggaran disiplin?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Untuk mengetahui persepsi ASN Terhadap Rilis BKN No. 006/RILIS/BKN/V/2018
tentang enam aktivitas ujaran kebencian berkategori pelanggaran disiplin.
1.3.2 Untuk mengetahui pemahaman ASN Terhadap Rilis BKN No.
006/RILIS/BKN/V/2018 tentang enam aktivitas ujaran kebencian berkategori
pelanggaran disiplin

1.4 Manfaat Penulisan


1.4.1 Manfaat Teoritis
Untuk memberikan gambaran persepsi ASN terhadap Rilis BKN No.
006/RILIS/BKN/V/2018 tentang enam aktivitas ujaran kebencian berkategori
pelanggaran disiplin, sehingga dapat digunakan sebagai salah satu konsep dalam
mengembangkan desain peraturan kepegawaian khususnya terkait aktivitas ujaran
kebencian berkategori pelanggaran disiplin.
1.4.2 Manfaat Akademis
Secara akademis, hasil penelitian ini diharapkan berguna dan bermanfaat bagi
pengembangan ilmu, terutama ilmu komunikasi dalam kajian persepsi Aparatur Sipil
Negara (ASN) terhadap suatu pesan komunikasi yakni Rilis BKN No.
006/RILIS/BKN/V/2018.
1.4.3 Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini menjadi sumbangsih pemikiran terhadap penentuan
kebijakan terkait dengan aktivitas ujaran kebencian dan hoax yang dilakukan oleh
aparatur sipil negara yang dikeluarkan oleh Badan Kepagawaian Negara. Penelitian
ini juga diharapkan berguna dan bermanfaat sebagai bahan masukan bagi segenap
pihak (masyarakat luas, akademisi, peneliti serta pemerhati masalah aparatur sipil
negara) yang membutuhkan informasi tambahan mengenai beragam aktivitas ataupun
11

pengalaman aparatur sipil negara yang cenderung bisa dikategorikan pelanggaran


disiplin.
BAB II URAIAN TEORITIS

2.1. Paradigma Penelitian

Dalam sebuah penelitian, diperlukan paradigma untuk dijadikan landasan dasar peneliti
dalam menggunakan metode penelitian. Guba & Lincoln (dalam Denzin & Lincoln, 1994, h.
107) menjelaskan bahwa paradigma merupakan representasi dari cara pandang seseorang
berdasarkan keyakinan untuk mencari jawaban atas suatu realitas, hakikat peneliti dengan
objek penelitian, dan bagaimana peneliti dapat mengetahui realitas tersebut. Sedangkan
Salim (2001: 33) mengatakan bahwa realitas adalah seperangkat kepercayaan atau
keyakinan dasar yang menuntun orang dalam kehidupan sehari-hari. Paradigma berkaitan
erat dengan tiga pertanyaan mendasar, sebagai berikut (Denzin & Lincoln, 1994, h. 108):

- Ontological Question: “what is the form and nature of reality and, therefore, what is
there that can be known about it?” Secara sederhana, pertanyaan ontologi berkaitan
dengan apa yang menyebabkan suatu realitas atau fenomena dapat terjadi, dan apa yang
dapat diketahui dari realitas tersebut.
- Epistimological question: “what is the nature of the relationship between the knower or
would-be knower and what can be known?” Pertanyaan ini berkaitan hubungan antara
peneliti dengan apa yang akan diketahui oleh peneliti (objek penelitian).
- Methodological question: “how can the inquirer (would-be knower) go about finding out
whatever he or she believes can be known?” Metodologi digunakan untuk
mempertanyakan bagamana cara peneliti dalam menemukan pengetahuan, serta metode
apa yang digunakan oleh peneliti.
Berdasarkan tiga pertanyaan mendasar tersebut, dapat disimpulkan bahwa, paradigma
adalah sistem mendasar yang dijadikan keyakinan untuk mencari jawaban atas hakikat
realitas, hubungan peneliti dan realitias, serta bagaimana peneliti dapat mengetahui realitias
tersebut. Guba & Lincoln (dalan Denzin&Lincoln, 1995, h.109-112) membagi paradigma
penelitian ke dalam empat jenis, yakni positivism, postpositivism, constructivism, dan
ciritcal theory.

10
11

Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis/interpretativisme. Menurut

Zulfikar dan Budiantara (2014:35) mengemukakan bahwa penelitian

konstruktivis/interpretativisme cenderung tergantung pada pandangan partisipan mengenai

situasi yang diteliti.

Menurut Hidayat (2003:3) paradigma konstruktivisme adalah paradigma yang hapir

merupakan antitesis dari paham yang meletakkan pengamatan dan ojektivitas dalam

menemukan suatu realitas tau ilmu pengetahuan. Paradigma ini memandang ilmu

pengetahuan sebagai analisis sistematis terhadap socially meaningful action melalui

pengamatan langsung dan terperinci terhadap prilaku sosial yang bersangkutan menciptakan

dan memelihara atau mengelola dunia sosial mereka. Glasersfeld dan Kitchener (1987)

memberikan penekanan tentang tiga hal mendasar berkaitan dengan pemahaman terhadap

gagasan konstruktivisme yaitu :

1. Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu

merupakan kontruksi kenyataan melalui kegiatan subjek

2. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep dan struktur yang perlu untuk

pengetahuan.

3. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk

pengetahuan, dan konsep itu berlaku bila berhadapan dengan pengalaman-pengalaman

seseorang.

Para ahli filsafat menyatakan bahwa suatu realitas terbentuk karena ada hasil konstruksi

seseorang melalui kemampuan berpikirnya. Realitas digambarkan sebagai hasil dari aktivitas

manusia yang berkaitan dengan nilai-nilai yang terus berkembang (Denzin & Lincoln, 1994,

h.25-26).
12

Guba & Lincoln melakukan pemetaan sistem penelitian yang menggunakan paradigma
konstruktivisme, menggunakan asumsi sebagai berikut (Denzin & Lincoln, 1994, h. 110-
111).
1. Ontology: relativist.
Peneliti dengan praradigma konstruktivis meyakini bahwa realitas dibentuk berdasarkan
pengalaman seseorang. Artinya, konstruksi realitas seseorang belum tentu sama dengan
orang lain.
2. Epistemology: transactional and subjectivist.
Peneliti dan objek penelitian memiliki kedekatan sehingga peneliti dapat menemukan
informasi dari interaksi yang tercipta antara peneliti dan yang diteliti.
3. Methodology: hermeneutical and dialectical.
Metode yang digunakan adalah dengan pendekatan peneliti kepada objek yang diteliti.
Interaksi keduanya akan menimbulkan pemikiran individu akan konstruksi yang
dibentuk dalam dirinya.

2.2. Kajian Terdahulu


2.2.1. Penelitian yang dilakukan oleh Theresa Zerlina, dkk (2017) tentang persepsi Pegawai
Negeri Sipil dan Calon Pegawai Negeri Sipil terhadap kewajiban penggunaan e-
filing. Subjek penelitian ini adalah Pegawai Negeri Sipil dan Calon Pegawai Negeri
Sipil di Rektorat serta Fakultas Ekonomi UNDIKSHA Singaraja karena
menggunakan metode purposive sampling. Penelitian ini dilaksanakan di Universitas
Pendidikan Ganesha (UNDIKSHA) Singaraja. Penelitian ini menggunakan metode
penelitian kualitatif. Persepsi Pegawai Negeri Sipil dan Calon Pegawai Negeri Sipil
digali melalui wawancara mendalam. Hasil Penelitian ini menunjukkan adanya
persepsi positif, baik dari Pegawai Negeri Sipil dan Calon Pegawai Negeri Sipil
terhadap kewajiban penggunaan e-filing. Pegawai Negeri Sipil dan Calon Pegawai
Negeri Sipil merasakan manfaat dari penggunaan e-filing dan menilai bahwa aplikasi
e-filing mudah untuk digunakan karena bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja.
2.2.2. Penelitian yang dilakukan oleh Anita, Ulfa, Dkk tentang Persepsi Masyarakat
Surabaya Tentang Iklan “Manfaat Pajak” Di Televisi. Penelitian ini menggunakan
deskriptif kualitatif. Dari penelitian yang dilakukan, persepsi adalah negatif. Hal ini
dapat diketahui dari beberapa wawancara yang ditanyakan kepada informan,
sebagian besar informan menyatakan tidak setuju. Namun masih ada sebagian kecil
13

yang mempunyai persepsi tidak baik terhadap iklan “manfaat pajak” di televisi,
karena iklan dianggap untuk mendapatkan dukungan dalam proses iklan. Segala hal
yang disajikan dalam iklan. Dari hasil penelitian yang telah didapatkan maka saran
yang diberikan kepada pembuat iklan”manfaat pajak” di televisi. Dengan
menampilkan citra yang berlebihan yang diiklankan karena dapat menjadi kesan
buruk terhadap yang diiklankan.
2.2.3. Penelitian yang dilakukan Linda Lambey, dkk (2017) tentang Analisis Persepsi dan
Ekspektasi Mahasiswa atas Kualitas Dosen Pembimbing Tesis di program Magister
Akuntansi FEB Universitas Sam Ratulangi Manado. Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan exploratoryqualitative research dengan jumlah responden sebanyak
12 orang mahasiswa yang telah menyelesaikan studimereka di program MAKSI ini.
Data dianalisa dengan menggunakan content analysis dan dikumpulkan melalui in-
depth interviews, observation dan document analysis. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa dosen pembimbing tesis dikatakan berkualitas jika dosen tersebut menguasai
metode penelitian, dosen senior yang sudah berpengalaman, dosen yang sudah
memiliki publikasi/jurnal internasional, dosen yang menguasai aplikasi komputer,
dosen yang menguasai materi/topik tesis yang dibimbing, dosen yang dapat
mengarahkan mahasiswa dan dosen yang memiliki ketelitian dalam membaca atau
memeriksa tesis mahasiswa. Sedangkan persepsi mahasiswa atas kualitas dosen
pembimbing yang diinginkan oleh mahasiswa adalah dosen yang dapat meluangkan
waktu yang cukup untuk pembimbingan, dosen yang bisa memiliki kedekatan
emosional dengan mahasiswa bimbingannya, dosen yang mampu menjelaskan,
mengarahkan dan berkomunikasi dengan efektif dan dosen yang mampu membuat
penelitian yang berkualitas.
2.2.4. Penelitian yang dilakukan Ryzki Fajar (2015) tentang Persepsi Anak Terhadap
Orangtua Yang Bekerja Penuh Waktu Di Luar Rumah: Studi Kualitatif dengan
Pendekatan Fenomenologis. Penelitian ini bermaksud untuk menilik persepsi subjek
terhadap kedua orangtua yang bekerja di luar rumah terkait dengan kehidupan sehari-
hari yang terjadi. Tujuan penelitian ini adalah memahami persepsi anak secara
kognisi, afeksi, dan psikomotor kepada orangtua mereka yang bekerja penuh waktu
di luar rumah. Peneliti menggunakan pendekatan fenomenologis dalam penelitian
ini, khususnya IPA (Interpretative Phenomenological Analysis). Metode ini dipilih
dengan pertimbangan bahwa IPA merupakan metode sistematis yang berfokus pada
14

makna yang diperoleh subjek kehidupan pribadi dan sosialnya. Subjek yang terlibat
pada penelitian ini berjumlah tiga orang yang terdiri dari dua wanita dan satu pria
yang berasal dari kota Semarang dan sekitarnya. Berdasarkan riset yang telah
dilakukan, peneliti menemukan pemaknaan persepsi anak terhadap orangtua yang
keduanya bekerja menghasilkan: (1) pemaknaan secara kognisi pada kedua orangtua;
(2) penerimaan secara afeksi pada kedua orangtua; (3) bentuk perilaku pada kedua
orangtua. Bentuk-bentuk dari hasil persepsi terhadap orangtua yang bekerja
membentuk perasaan dan harapan pada anak agar dapat berkumpul bersama kedua
orangtua serta mempengaruhi kedekatan serta kelekatan anak dengan orangtuanya
dan menjadikan anak mengetahui gambaran tentang dirinya dan kedua orangtuanya,
dengan demikian anak dapat memahami memposisikan dirinya diantara kedua
orangtua.
2.2.5. Penelitian yang dilakukan oleh Ratu Matahari (2012) tentang Studi Kualitatif
Mengenai Persepsi Dan Perilaku Seksual Wanita Pekerja Seks Komersial (PSK)
Dalam Upaya Pencegahan IMS Di Kota Semarang Tahun 2012. Latar belakang
penelitian diperoleh dari peningkatan jumlah kasus IMS di Kota Semarang dengan
jumlah kasus IMS pada tahun2009 tercatat mencapai 2.471 kasusdan jumlah kasus
IMS pada tahun 2011 adalah 2473 kasus. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan persepsi dan perilaku seksual wanita Pekerja Seks Komersial (PSK)
diLokalisasi Sunan Kuning terhadap upaya pencegahan Infeksi Menular Seksual
(IMS) di Kota Semarang. Metode penelitian yang digunakan adalah teknik
wawancara mendalam (indepth interview)pada enam PSK yang mengalami IMS dan
mewawancarai dua kelompok diskusi (FGD), seorang mucikari, dan seorang petugas
lapangan (PL) sebagai triangulasi. Analisis data menggunakan analisis isi
(contentanalysis). Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pola Pengetahuan PSK dan
persepsi PSK terhadap IMS juga sudah baik, tetapi perilaku PSK dalamupaya
mencegah penularan IMS masih belum bisa dikatakan baik karena penggunaan
kondom diantara pekerja seks komersial pada saat melakukan hubungan seksual
dengan pelanggannya masih rendah. Tidak adanya dukungan dari mucikari dalam
meningkatkan perilaku pencegahan IMS. Hal ini menunjukkan bahwa kepedulian
terhadap kesehatan diri sendiri masih rendah. Kesimpulan penelitian ini
menunjukkan bahwa Perilaku pencegahan PSK terhadap penularan IMS belum baik.
Perlu diadakan pelatihandengan metode role playing kepada para PSK dan mucikari
15

untuk meningkatkan kepedulian mereka terhadap kesehatan sehingga diharapkan


akan terjadi perubahan perilaku baru dalam upaya pencegahan penularan IMS
terhadap diri mereka sendiri atau pelanggan.
2.2.6. Penelitian Arif Mahroza (2018) tentang Persepsi Mahasiswa Ilmu Komunikasi
Universitas Mulawarman Pada Vlog Presiden Joko Widodo. Peneliti menggunakan
teori Stimulus Organisme Respon. Menurut teori ini jika pesan disampaikan dengan
cara yang tidak menggunakan teknik-teknik penyampaian sebuah pesan yang
menarik maka hal itu pasti tidak akan membuat komunikan tertarik dan mengikuti
maksud pesan tersebut. Pendekatan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan
metode deskriptif analisis. Adapun populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa
angkatan 2013, 2014, 2015 dan 2016 yang sudah pernah menonton vlog Presiden
Joko Widodo yang berjumlah 123 orang, lalu ditetapkan jumlah respondennya
mengambil 25% dari 123 mahasiswa dan didapatkan hasil sebanyak 31 mahasiswa.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan skoring,
proses tabulasi, lalu mendeskripsikan data. Hasil dari penelitian ini, mahasiswa Ilmu
Komunikasi Universitas Mulawarman memberikan persepsi yang posifit pada vlog
Presiden Joko Widodo. Video yang dibuat lebih ini membuat para penontonnya
tertarik untuk menonton karena diberikan dengan visual dan audio yang menarik.
Informasi yang disampaikan juga sangat jelas karena saling terhubung antara visual
dengan rekaman suara Presiden Joko Widodo, juga dengan penambahan teks untuk
memperjelas informasi yang disampaikan sehingga respoden mempersepsikan bahwa
vlog Presiden Joko Widodo sebagai alat komunikasi yang lebih efektif kepada
masyarakanya yang masuk dalam usia remaja dan anak muda.
2.2.7. Penelitian yang dilakukan Girenda Kumala Cahyaningtyas (2017) tentang Persepsi
Masyarakat Terhadap Keterbukaan Informasi Publik Di Kota Semarang, Studi
Kasus: Masyarakat Pengguna Pusat Informasi Publik (Pip) Tahun 2017.
Pembentukan persepsi perlu dibangun agar masyarakat dapat menggunakan
informasi yang disediakan oleh pemerintah. Oleh karena itu, tata kelola yang baik
adalah praktik atau prosedur pemerintah dan masyarakat mengelola sumber daya
untuk menyelesaikan masalah publik. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan
bagaimana persepsi masyarakat kota Semarang terhadap pengungkapan informasi
publik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, dengan
melakukan teknik pengumpulan data menggunakan wawancara, observasi dan studi
16

literatur. Analisis data dilakukan dengan fase reduksi data, penyajian data, verifikasi
dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) pengetahuan
Kota Semarang tentang keberadaan KIP belum sepenuhnya mengacu pada UU KIP.
2) kurangnya pemahaman masyarakat tentang penerapan KIP. 3) penilaian
masyarakat terhadap KIP umumnya cenderung hanya membutuhkan hasil yang
memuaskan tetapi tidak mengubah perilaku mereka untuk berpartisipasi dalam
pemerintahan. Solusi untuk mengatasi ini adalah pemerintah lebih proaktif dengan
memberikan intelijen kepada masyarakat melalui program-program inovatif terkait
dengan pengungkapan informasi publik.
2.2.8. Penelitan yang dilakukan Kasim M.M, dkk (2017) tentang Persepsi Pegawai Negeri
Sipil Terhadap Penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur
Sipil Negara (Studi Kasus Aparatur Sipil Negara Di Kantor Kelurahan Temindung
Permai Kecamatan Sungai Pinang Kota Samarinda). Lahirnya Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara,
diharapkan mampu memperbaiki manajemen pemerintahan yang berorientasi pada
pelayanan publik karena PNS tidak lagi berorientasi melayani atasannya, melainkan
masyarakat. Aturan ini menempatkan PNS sebagai sebuah profesi yang bebas dari
intervensi politik dan akan menerapkan sistem karier terbuka yang mengutamakan
prinsip professionalisme yang memiliki kompetensi, kualifikasi, kinerja,
transparansi, objektivitas, serta bebas dari KKN yang berbasis pada manajemen
sumber daya manusia dan mengedepankan sistem merit menuju terwujudnya
birokrasi pemerintahan yang profesional. Tujuan dari penelitian ini adalah
mengetahui persepsi pegawai negeri sipil terhadap penerapan Undang-Undang
Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara di kantor Kelurahan Temindung
Permai Kecamatan Sungai Pinang Kota Samarinda beserta dampak yang ditimbulkan
UU tersebut. Jenis penelitian ini adalah kualitatif deskriptif, dimana pada penelitian
bersifat memberikan gambaran tentang keadaan yang sebenarnya yang terjadi di
lapangan. Temuan dari hasil penelitian ini bahwa Persepsi Pegawai Negeri Sipil
sangat setuju diterapkan sehingga memberikan peningkatan kualitas disiplin,
produktivitas, kemampuan, kinerja pegawai dan berdampak baik bagi pegawai yang
berdasarkan kompetensi, kualitas dan prestasi kerja pegawai.
2.2.9. Penelitian yang dilakukan harjeni (2016) tentang Persepsi Masyarakat Terhadap
Eksistensi Pak Ogah. Penelitian ini merupakan penelitian sosial budaya. Jenis
17

Penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan cara penentuan
sampel melalui teknik Purposive Sampling dengan memilih beberapa informan yang
memiliki kriteria yang telah ditentukan oleh peneliti yakni yang mengetahui tentang
aktifitas pak ogah di kota Makassar tersebut . Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui persepsi masyarakat terhadap keberadaan pak ogah di kota Makassar
tersebut. Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif, tentang Persepsi Masyarakat
terhadap Keberadaan Pak Ogah di Kota Makassar. Peneliti akan menganalisis data
atau informasi yang dikumpulkan dari hasil observasi, wawancara dan dokumentasi
yaitu dengan mengklasifikasikan data berdasarkan kriteria-kriteria tertentu yang
telah ditentukan oleh peneliti kemudian membandingkan data atau informasi dari
setiap sumber-sumber yang peneliti dapatkan dilapangan serta mencari hubungan
antara data atau informasi yang diperoleh yang ada kaitannya dengan focus
penelitian, dan terakhir penarikan kesimpulan dan verifikasi.Hasil penelitian
menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap keberadaan pak ogah dalam
setiap kalangan memiliki pandangan masing-masing, namun apabila kita
mengutamakan keamanan dan kenyamanan di jalan maka sebaiknya polisi lalu
lintaslah yang mengatur kendaraan tersebut karena ini merupakan tugas, tanggung
jawab, serta wewenangnya, karena ia adalah lembaga resmi selain dari pada itu yang
tidak memiliki wewenang di jalan bersifat ilegal seperti aktivitas pak ogah tersebut.
2.2.10. Penelitian yang dilakukan Sutjipto (2018) tentang Pandangan Guru Dalam
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Khusus. Penelitian ini bertujuan untuk
mengkaji secara komprehensif pandangan guru sekolah luar biasa dalam
pengembangan kurikulum pendidikan khusus pada dimensi perancangan dan
asasnya. Penelitian melibatkan empat puluh tiga guru sekolah luar biasa dari delapan
sekolah. Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik diskusi kelompok
terpumpun dan teknik analisis data menggunakan deskriptif kualitatif. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dari sudut pandang guru dalam perancangan
kurikulum pendidikan khusus untuk peserta didik berkebutuhan khusus harus
mengandung muatan-muatan pengetahuan praktis, kualitas karakter moral dan
kinerja, keterampilan penting, kompetensi, seni, dan praksis literasi. Selain itu,
keluwesan, fungsional, kemandirian, literasi, dan kejuruan merupakan asas-asas
pengembangan kurikulum pendidikan khusus bagi peserta didik berkebutuhan
khusus.
18

2.2.11. Penelitian yang dilakukan Johana, Devi Eka, dkk (2017) tentang Persepsi Sosial Pria
Transgender Terhadap Pekerja Seks Komersial. Penelitian ini bertujuan untuk
mengungkap secara mendalam persepsi sosial transgender terhadap pekerja seks
komersial. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dan
model penelitian studi kasus fenomenologi. Partisipan pada penelitian ini adalah tiga
pria transgender yang berprofesi sebagai pekerja seks komersial. Pengumpulan data
dilakukan dengan wawancara terpimpin, observasi dan catatan lapangan. Teknik
analisis data menggunakan analisis tematik dan validasi data menggunakan
triangulasi sumber dan member checking. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
persepsi sosial pria transgender terhadap pekerja seks komersial adalah seorang
wanita yang bekerja memberilayanan seks komersial untuk tujuan pemenuhan
ekonomi dan kebutuhan psikologis. Mereka tidak memiliki penampilan fisik menarik
secara seksual namun memiliki interaksi sosial dan konsep diri yang baik.
2.2.12. Anita Ulfa, dkk (2018) tentang Persepsi Masyarakat Surabaya Tentang Iklan
“Manfaat Pajak” Di Televisi. Penelitian dengan judul persepsi masyarakat Surabaya
tentang iklan “manfaat pajak” di televisi adalah penelitian yang bertujuan untuk
mengetahui bagaimana persepsi terhadap iklan tersebut. Penelitian ini menggunakan
deskriptif kualitatif. Dari penelitian yang dilakukan, persepsi adalah negatif. Hal ini
dapat diketahui dari beberapa wawancara yang ditanyakan kepada informan,
sebagian besar informan menyatakan tidak setuju. Namun masih ada sebagian kecil
yang mempunyai persepsi tidak baik terhadap iklan “manfaat pajak” di televisi,
karena iklan dianggap untuk mendapatkan dukungan dalam proses iklan. Segala hal
yang disajikan dalam iklan. Dari hasil penelitian yang telah didapatkan maka saran
yang diberikan kepada pembuat iklan”manfaat pajak” di televisi. Dengan
menampilkan citra yang berlebihan yang diiklankan karena dapat menjadi kesan
buruk terhadap yang diiklankan.

Peneliti mengangkat penelitian tentang Pemahaman ASN terhadap Rilis BKN untuk
mengembangkan Penelitian yang dilakukan Kasim, dkk (2017) tentang Persepsi Pegawai
Negeri Sipil Terhadap Penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur
Sipil Negara (Studi Kasus Aparatur Sipil Negara Di Kantor Kelurahan Temindung Permai
Kecamatan Sungai Pinang Kota Samarinda). Permasalahan yang diangkat dalam penelitian
Kasim sebatas untuk mengetahui persepsi ASN tentang keberadaan UU ASN No. Tahun
19

2014 dan penerapannya. Undang-Undang ASN merupakan ketentuan yang bersifat umum
mengatur banyak aspek tentang Aparatur Sipil Negara, banyak aspek ASN yang diatur
didalamnya dari hak, kewajiban, peningkatan karir, kepangkatan, pensiun, sampai dengan
hukuman disiplin. Kasim, dkk (2017) yang mengangkat penelitian tentang persepsi ASN
terhadap UU ASN No. 5 Tahun 2014 tidak memiliki fokus terhadap satu permasalahan dari
begitu banya aspek ASN yang diatur dalam undang-undang tersebut. Seharusnya dalam
melakukan penelitian khususnya terkait dengan penerapan peraturan perundang-undangan
maka sangat bijak apabila mengambil satu aspek saja, sehingga bisa menggambarkan
fenome yang terjadi dan memberikan solusi terhadap permasalahan yang terjadi.

Peneliti mengambil judul tentang Pemahaman ASN terhadap Rilis BKN Nomor:
006/RILIS/BKN/V/2018 tentang Enam Aktivitas Ujaran Kebencian Berkategori
Pelanggaran Disiplin ASN. Peneliti mengambil kekhususan dari aspek yang diatur dalam
Undang-undang ASN khususnya mengatur tentang aspek Hukuman Disiplin Pegawai
Negeri. Lebih khusus lagi, peneliti mengangkatnya dari fenomena yang sangat
mengkhawatirkan terkait dengan ujaran kebencian dan hoax yang melibatkan beberapa
oknum dari Aparatur Sipil Negara. Fokus permasalahan pada satu aspek dari ASN inilah
yang tidak diangkat pada penelitian Kasim, dkk (2017). Peneliti berusaha mengungkapkan
satu fokus permasalahan terkait dengan aspek hukuman disiplin ASN yang ingin diteliti
yakni Rilis yang dikeluarkan oleh BKN terkait dengan enam aktivitas ujaran kebencian.
Rilis yang dikeluarkan BKN sejak bulan mei tahun 2018 menimbulkan pro dan kontra. Rilis
tersebut masih dipertanyakan kekuatan hukum dalam penerapannya karena ketentuan baru
tentang hukuman disiplin yang disebutkan dalam rilis BKN tersebut tidak diatur dalam
peraturan perundang-undangan setingkat Peraturan Pemerintah dan akibatnya ketentuan
dalam rilis bisa berubah sewaktu-waktu dan tergantung kebutuhan. Substansi Hukuman
disiplin yang diatur juga menjadi pro dan kontra, karena cenderung masuk kedalam ranah
privat dari ASN. Ketentuan tentang pernyataan mendukung pendapat di media sosial seperti
kegiatan berkomentar (comment), suka (like), berkomentar kembali di twitter (retweet)
dipahami melanggar hak azasi sebagai pribadi. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran
dikalangan ASN maupun Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) sebagai pelaksana rilis BKN
di Instansi Pemerintah, karena substani dalam rilis bkn cenderung bersifat sementara (ex
official) karena tidak diatur secara hirarki peraturan perundang-undangan dan diundngkan
dalam berita negara untuk dapat diketahui oleh seluruh masyarakat.
20

Dari beberapa pencarian yang dilakukan oleh peneliti melalui website pencari goole,
Peneliti tidak menemukan adanya kajian tentang persepsi ASN khususnya terkait hukuman
disiplin yang berkategori ujaran kebencian dan hoax. Ujaran Kebencian dan Hoax
merupakan sesuatu yang baru dan menjadi pro kontra karena beberapa oknum ASN terlibat
dalam aktivitas ujaran kebencian dan hoax. Peneliti ingin menggali pemahaman ASN
terhadap Rilis yang dikeluarkan oleh BKN. Aktivitas ujaran kebencian dan hoax yang
dilakukan oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) belum diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP)
nomor 53 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Rekomendasi kepada BKN selaku Instansi
yang ditunjuk untuk merancang revisi PP 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri,
salah satunya menyesuaikan nomenklatur Disiplin Pegawai Negeri Sipil menjadi Disiplin
Aparatur Sipil Negara, serta memasukkan ketentuan tentang aktivitas ujaran kebencian dan
hoax kedalam bab Disiplin Aparatur Sipil Negara pada PP 53 Tahun 2010.

2.3. Persepsi
Persepsi merupakan proses dimana seseorang memperoleh stimulus atau rangsangan
dari lingkungannya yang ditangkap melalui alat indera yang melibatkan faktor pikiran dan
emosi sehingga menjadi sesuatu yang bermakna dan menimbulkan respon tertentu. Atkinson
et.al. (1997: 201) mengatakan bahwa persepsi adalah suatu proses dimana terjadi
pengorganisasian dan penafsiran pola stimulus dalam lingkungan. Prosesnya adalah,
stimulus yang diindera oleh individu kemudian diorganisasikan dan diintepretasikan,
sehingga individu menyadari/mengerti tentang apa yang diindera tersebut.

Thoha (2002: 123) menyatakan bahwa persepsi didefinisikan sebagai proses kognitif
yang dialami oleh setiap orang di dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik
lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, dan penciuman. Irwanto (2002: 71)
menyatakan bahwa persepsi adalah proses diterimanya rangsangan (objek, kualitas,
hubungan antar gejala, maupun peristiwa) sampai rangsangan itu disadari dan dimengerti
karena persepsi bukan sekedar penginderaan. Dengan demikian dalam pembentukan
persepsi terjadi proses penerimaan dan penafsiran terhadap stimulus yang diindera oleh
individu yang bertujuan memberikan arti terhadap stimulus tersebut. Robbins (2001: 124)
menyatakan bahwa tujuan dari penginterpretasian atau penafsiran stimulus adalah ketika
individu mempersepsikan sesuatu agar stimulus itu dapat memberi makna kepada
lingkungan mereka. Proses pemberian arti melalui pengorganisasian dan penafsiran
21

rangsangan akan mempengaruhi perilaku individu sebagai bentuk respon terhadap


rangsangan yang diterima dari lingkungannya. Semakin baik pengorganisasian yang
dilakukan dan semakin komprehensif penafsiran yang diperoleh maka akan semakin baik
pula respon terhadap rangsangan tersebut dan begitu juga sebaliknya.

Dari pengertian di atas dapat diuraikan bahwa proses pembentukan persepsi melalui
tahapan-tahapan sebagai berikut :

a. Penerimaan rangsangan
Pada proses ini seseorang menerima rangsangan dari luar (objek, situasi maupun
peristiwa) yang diterima oleh inderanya baik itu penglihatan, pendengaran, perasaan
maupun penciuman.
b. Proses menyeleksi rangsangan
Rangsangan yang diterima oleh seseorang terkadang begitu banyak dan bervariasi. Pada
proses ini rangsangan yang diterima diseleksi berdasarkan seberapa menariknya
rangsangan tersebut untuk diberikan perhatian yang lebih.
c. Proses pengorganisasian
Rangsangan yang sudah diseleksi kemudian diorganisasikan dalam bentuk yang mudah
dipahami untuk kemudian dilakukan proses selanjutnya.
d. Proses Penafsiran
Pada proses ini dilakukan penafsiran terhadap rangsangan yang sudah diseleksi untuk
mendapatkan arti dan informasi.
e. Proses Pengecekan
Setelah diperoleh arti atau makna dari informasi yang ditafsirkan, kemudian dilakukan
pengecekan yang intinya adalah melakukan review terhadap kebenaran informasi
tersebut.
f. Proses reaksi
Proses ini sudah mengarah pada bagaimana seseorang akan bereaksi terhadap informasi
yang diperolehnya.
Sesuai dengan teori dan tahapan persepsi dapat disimpulkan bahwa pembentukan
persepsi sangat dipengaruhi oleh pengamatan dan penginderaan terhadap proses berpikir
yang dapat mewujudkan suatu kenyataan yang diinginkan oleh seseorang terhadap suatu
obyek yang diamati. Dengan demikian persepsi merupakan proses transaksi penilaian
terhadap suatu obyek, situasi atau peristiwa.
22

Walgito (1991) mengemukakan terdapat 3 (tiga) aspek utama dari persepsi, yaitu:

1. Kognisi
Aspek kognisi menyangkut komponen pengetahuan, pandangan, pengharapan cara
berpikir/mendapatkan pengetahuan, dan pengalaman masa lalu serta segala sesuatu yang
diperoleh dari hasil pikiran individu pelaku persepsi.
2. Afeksi
Aspek afeksi menyangkut komponen perasaan dan keadaan emosi individu terhadap
objek tertentu serta segala sesuatu yang menyangkut evaluasi baik buruk berdasarkan
faktor emosional seseorang.
3. Konasi atau psikomotor
Aspek konasi/psikomotor menyangkut motivasi, sikap, perilaku atau aktivitas individu
sesuai dengan persepsinya terhadap suatu objek atau keadaan tertentu.
Persepsi bersifat tidak statis melainkan berubah-ubah atau dengan perkataan lain
sifatnya relatif atau tidak absolut, tergantung pada pengalaman sebelumnya, sehingga akan
menghasilkan suatu gambaran unik tentang kenyataan yang barangkali sangat berbeda dari
kenyataannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Luthans (2006: 194) yang menyatakan
persepsi merupakan proses kognitif kompleks yang menghasilkan gambaran dunia yang
unik, yang mungkin agak berbeda dengan realita.

Proses pembentukan persepsi pada individu dipengaruhi oleh berbagai faktor. Robbins
(2001: 89) mengatakan bahwa faktor-faktor yang berperan dalam membentuk persepsi
seseorang dapat berada pada pihak pelaku persepsi (perceiver), dalam obyeknya atau target
yang dipersepsikan, atau dalam konteks situasi dimana persepsi itu dilakukan. Secara
ringkas ketiga faktor tersebut, dilihat dalam gambar berikut.
23

Faktor Pada Pemersepsi :

1. Sikap
2. Motif
3. Kepentingan
4. Pengalaman
5. Pengharapan

Faktor dalam situasi :

1. Waktu
2. Keadaan/tempat kerja PERSEPSI
3. Keadaan Sosial

Faktor Pada Target :

1. Hal Baru
2. Gerakan
3. Bunyi
4. Ukuran
5. Latar Belakang
6. Kedekatan

Gambar 1: Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi, Sumber: Robbins (2001: 90).

Dari gambar diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan, sebagai berikut:

 Pertama, faktor yang ada pada pelaku persepsi (perceiver), yang termasuk faktorpertama
adalah sikap, keutuhan atau motif, kepentingan atau minat, pengalaman dan pengharapan
individu.
 Kedua, faktor yang ada pada obyek atau target yang dipersepsikan yang meliputihal-hal
baru, gerakan, bunyi, ukuran, latar belakang dan kedekatan.
 Ketiga, faktor konteks situasi dimana persepsi itu dilakukan yang meliputi
waktu,keadaan atau tempat kerja dan keadaan sosial.
Prasetijo (2005:69) yang dikutip Arifin (2017) dalam jurnal penelitian tentang Analis
Fator Yang Mempengaruhi Persepsi Mahasiswa Untirta Terhadap Keberadaan Perda Syariah
di Kota Serang menyebutkan faktor-faktor yang memengaruhi persepsi pada dasarnya dibagi
24

menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang memengaruhi
persepsi, yaitu faktor-faktor yang terdapat dalam diri individu, yang mencakup beberapa hal
antara lain :
1. Fisiologis. Informasi masuk melalui alat indera, selanjutnya informasi yang diperoleh ini
akan memengaruhi dan melengkapi usaha untuk memberikan arti terhadap lingkungan
sekitarnya. Kapasitas indera untuk mempersepsi pada tiap orang berbeda-beda sehingga
interpretasi terhadap lingkungan juga dapat berbeda.
2. Perhatian. Individu memerlukan sejumlah energi yang dikeluarkan untuk memperhatikan
atau memfokuskan pada bentuk fisik dan fasilitas mental yang ada pada suatu obyek.
Energi tiap orang berbeda-beda sehingga perhatian seseorang terhadap obyek juga
berbeda dan hal ini akan memengaruhi persepsi terhadap suatu obyek.
3. Minat. Persepsi terhadap suatu obyek bervariasi tergantung pada seberapa banyak energi
atau perceptual vigilance yang digerakkan untuk mempersepsi. Perceptualvigilance
merupakan kecenderungan seseorang untuk memperhatikan tipetertentu dari stimulus
atau dapat dikatakan sebagai minat.
4. Kebutuhan yang searah. Faktor ini dapat dilihat dari bagaimana kuatnya seseorang
individu mencari obyek-obyek atau pesan yang dapat memberikan jawaban sesuai
dengan dirinya.
5. Pengalaman dan ingatan. Pengalaman dapat dikatakan tergantung pada ingatan dalam
arti sejauh mana seseorang dapat mengingat kejadian-kejadian lampau untuk mengetahui
suatu rangsang dalam pengertian luas.
6. Suasana hati. Keadaan emosi memengaruhi perilaku seseorang, mood ini menunjukkan
bagaimana perasaan seseorang pada waktu yang dapat memengaruhi bagaimana
seseorang dalam menerima, bereaksi dan mengingat.

Faktor eksternal yang memengaruhi persepsi, merupakan karakteristik dari lingkungan


dan obyek-obyek yang terlibat di dalamnya. Elemen-elemen tersebut dapat mengubah sudut
pandang seseorang terhadap dunia sekitarnya dan memengaruhi bagaimana seseorang
merasakannya atau menerimanya. Sementara itu faktor-faktor eksternal yang memengaruhi
persepsi adalah :
1. Ukuran dan penempatan dari obyek atau stimulus. Faktor ini menyatakan bahwa
semakin besarnya hubungan suatu obyek, maka semakin mudah untuk dipahami. Bentuk
25

ini akan memengaruhi persepsi individu dan dengan melihat bentuk ukuran suatu obyek
individu akan mudah untuk perhatian pada gilirannya membentuk persepsi.
2. Warna dari obyek-obyek. Obyek-obyek yang mempunyai cahaya lebih banyak, akan
lebih mudah dipahami (to be perceived) dibandingkan dengan yang sedikit.
3. Keunikan dan kekontrasan stimulus. Stimulus luar yang penampilannya dengan latar
belakang dan sekelilingnya yang sama sekali di luar sangkaan individu yang lain akan
banyak menarik perhatian.
4. Intensitas dan kekuatan dari stimulus. Stimulus dari luar akan memberi makna lebih bila
lebih sering diperhatikan dibandingkan dengan yang hanya sekali dilihat. Kekuatan dari
stimulus merupakan daya dari suatu obyek yang bisa memengaruhi persepsi.
5. Motion atau gerakan. Individu akan banyak memberikan perhatian terhadapobyek yang
memberikan gerakan dalam jangkauan pandangan dibandingkan obyek yang diam.

2.3.1. Perkembangan Persepsi


Persepsi berkembang secara bertahap, baik terjadi pada hewan maupun
manusia. Berikut akan dipaparkan proses perkembangan persepsi bayi sejak bayi
lahir: (Suciati, 2015:92)
1. Dunia yang Dilihat Ketika Bayi Lahir.
Meskipun retina dari bayi yang dilahirkan belum berfungsi dengan sempurna,
namun para psikolog meyakini bahwa sudah dapat melihat meskipun dengan cara
yang berbeda dengan cara melihat orang dewasa. Secara umum penglihatan bayi
masih relatif kabur, sedangkan setelah enam bulan baru sama penglihatannya dengan
manusia dewasa. Penglihatan bayi yang baru lahir masih belum tepat, misalnya saja
bagaimanapun juga ia belum bisa untuk mengendalikan otot mata untuk
mengkoordinasikan gerakan benda, sehingga yang nampak dari padanya hanya
sebatas gelap, terang, putih, serta abu-abu. Hal ini berlangsung sampai pada usianya
beberapa minggu.
2. Persepsi Bentuk Dini
Sel-sel kortikal yang betugas mendeteksi suatu bentuk, sudah ada sejak bayi
dilahirkan. Pada saat itu, bayi diperkirakan sudah dapat melihat sehingga dapat
mengikuti benda yang bergerak seperti gerakan mata yang melompat-lompat. Ia juga
sudah mampu membedakan yang mana obyek dan yang mana latar. Bayi juga sudah
bisa mengenali garis lengkung dan kompleksitas. Ia juga bisa memilih pola tertentu
26

yang lebih memiliki keunikan. Kesimpulan ini diperoleh berdasarkan pada penelitian
tentang gerakan bola mata bayi yang dihadapannya diberikan dua pola yang berbeda.
Fantz sebagaimana dinukil Suciati membuktikan bahwa bayi-bayi nampaknya lebih
suka melihat untuk waktu yang lama untuk pola-pola yang agak rumit disajikan
didepan mata bayi, maka ada kecenderungan bayi untuk melihat pola yang
mengandung garis lengkung dibandingkan mengandung garis lurus. Penelitian ini
dilakukan selama 10 minggu pada 22 bayi Amerika.(Suciati, 2015:93) Dengan
penelitian Fantz ini muncullah penelitian lain yang bersifat lanjutan dengan
menghasilkan beberapa kombinasi seperti:
a. Bayi yang baru lahir lebih memilih tiga dimensi dari pada bidang datar.
b. Lebih menyukai benda yang bergerak dari pada diam.
c. Lebih suka memandang bentuk yang mirip wajah dari pada benda lainnya.
d. Dengan kata lain bayi dengan usia 0 bulan sudah memiliki daya pilih.
3. Persepsi Kedalaman Dini
Bower mengungkapkan bahwa dalam mempersepsikan kedalaman melakukan
penelitian terhadap bayi di bawah delapan minggu yang ternyata juga mampu
mempersepsikan kedalaman. Pada usia 10 hari, bayi yang ditelentangkan akan
menunjukkan perilaku melindungi mukanya bila ada benda yang terlalu dekat dengan
wajahnya (Suciati, 2015:94) Persepsi kedalaman berkembang pada beberapa bulan
pertama. Meskipun kebanyakan kemampuan persepsi bersifat bawaan, pengalaman
juga memainkan peranan penting. Bila seorang bayi kehilangan pengalaman tertentu
pada periode waktu yang penting periode kritis maka kemampuan persepsi mereka
juga akan rusak. Kemampuan bawaaan tidak akan bertahan lama karena sel-sel
dalam system saraf mengalami kemunduran, berubah, atau gagal membentuk jalur
saraf yang layak. Salah satu cara untuk mempelajari periode penting ini adalah
dengan melihat apa yang terjadi ketika pengalaman persepsi di awal kehidupan gagal
muncul. Untuk melakukan hal ini, para peneliti biasanya mempelajari hewan yang
kemampuan indera dan persepsinya serupa manusia. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa ternyata bayi sudah bisa mengorganisir lingkungannya secara
tiga dimensi segera setelah mereka dilahirkan.
4. Keadaan Pikiran
Motivasi pribadi, nilai, tujuan hidup, minat, pengharapan terhadap sesuatu
mempengaruhi persepsi masing-masing orang. Penelitian dari Hastorf dan Cantril
27

membuktikan bahwa motivasi berpengaruh terhadap persepsi. Penelitian yang


dilakukan dengan responden siswa dua sekolah yang sedang bertanding sepakbola.
Masing-masing penonton dari kedua belah pihak dipersilakan untuk menghitung
terjadinya pelanggaran pada peserta. Terbukti bahwa siswa penonton menilai lawan
melakukan dua kali pelanggaran lebih banyak daripada peserta dari asal sekolah yang
sama (Suciati, 2015:94) Dengan demikian, motivasi, nilai, harapan dan emosi
menyebabkan subyek memberikan penekanan yang secara pribadi bermakna bagi
dirinya.
5. Kebudayaan
Persepsi yang dimiliki seseorang dipegaruhi oleh perbedaan budaya dan
pengalaman-pengalaman. Contoh kasus, bahwa suku-suku Afrika primitif yang
hanya terbiasa dengan lingkungan alamiah dimana karya-karya merekapun lebih
banyak berbentuk lingkaran-lingkaran dan lengkungan-lengkungan, tidak akan
mengalami gejala ilusi Muller-Lyer jika kepada mereka diperlihatkan kedua garis
diatas karena persepsi mereka tidak dipengaruhi oleh kebiasaan melihat garis-garis
dan sudut-sudut. Kebudayaan seperti kebiasaan hidup, tampak juga dalam berbagai
gejala hubungan manusia dengan lingkungan dalam kehudupan sehari-hari.
Penduduk perkampungan kumuh di kota-kota besar biasa menggunakan air kali
untuk kepentingan mandi, mencuci, dan kakus mempersepsikan air kali itu sebagai
sesuatu hal yang masih dalam batas-batas optimal sehingga mereka menggunakan air
kali itu dengan enak saja. Sebaliknya orang biasa tinggal dipermukiman mewah,
tidak mungkin akan menggunakan air kali itu (Suciati, 2015:95) Dengan demikian,
jelaslah bahwa persepsi ditentukan oleh pengalaman dan pengalaman dipengaruhi
oleh kebudayaan.
6. Ketepatan Persepsi Interpersonal
Proses persepi terdap manusia berbeda dengan proses persesi terhadap benda.
Sifat manusia yang flexibel (tidak statis) dan memengaruhi pihak pemersepsi
membuat “ketepatan” menjadi persoalan penting. Newcomb mengatakan ada dua hal
yang menyebabkan ketepatan persepsi yang bersifat sosial: (Newcomb, 1985:75).
7. Mengenali Keadaan Emosional Orang Lain
Kebanyakan orang menganggap bahwa dirinya sudah cukup bisa menilai orang
lain secara tepat. Satu-satunya cara untuk bisa memahami orang lain secara tepat
adalah dengan melakukan interaksi secara intens. Berbagai ekspresi dari sekedar
28

melihat foto tidak dapat langsung disimpulkan tanpa melakukan komunikasi tatap
muka dalam jangka waktu tertentu. Dalam sebuah eksperimen, penilai tidak dapat
membedakan antara cinta, kebahagiaan dan suka cita, takjub, takut dan menderita,
kemarahan dan ketegasan, jijik dan penghinaan. Hal ini dikarenakan bahwa
diperlukan tanda-tanda lain yang mendukung penilaian seperti tingkah laku. Semakin
banyak informasi yang diperoleh melalui tanda-tanda situsional maupun dalam
tingkah laku, maka penilaian terhadap perasaan-perasaan orang lain semakin tepat.
8. Derajat Kepandaian Menilai Orang Lain
Secara intuitif, orang mengaku dapat melakukan penilaian terhadap orang lain.
Intuitif tidak dapat menggantikan pembuktian secara sistematis. Pengalaman dan
belajar adalah dua hal yang menjadi syarat bagi sebuah penilaian yang tepat. Para
remaja menjadi penilai bagi satu dengan yang lain, karena pengalaman yang
dijalaninya membuatnya pandai melakukan penilaian. Kepandaian juga berasal dari
faktor belajar. Dokter gigi belajar dari pasien-pasiennya tentang hal-hal yang
menyebabkan ketidak enakan. Pengacara menjadi mampu dan ahli untuk mengenali
kasus-kasus kliennya karena ia belajar bertahun-tahun. Kiranya tidak bisa dipisahkan
secara jelas bagaimana pengalaman dan belajar sebaga faktor penentu ketepatan
penilaian. Pengalaman akan menjadikan pembelajaran bagi individu untuk menjadi
pandai dalam mempersepsikan orang lain.

2.3.2. Proses Persepsi


Persepsi memiliki 2 (dua) bentuk proses yaitu pemrosesan top-down dan
buttom-up. (Feldman, 2012:35) Kita dapat menyimak potongan huruf-huruf ini: da-
at-ah-nd-ba-ak-li-at-ni-an-se-ia-hu-uf-et-ga-ya-ih-la-gk-n? Dengan melihat dan
membaca spontan, beberapa orang tidak memerlukan waktu yang lama untuk
menebak rangkaian kalimat di atas. Dapatkah anda baca kalimat ini yang setiap huruf
ketiganya dihilangkan? dan benar, bahwa itulah kalimat yang melengkapi potingan
huruf tersebut.

Pemrosesan top-down diatur oleh pengetahuan, pengalaman dan motivasi pada


tingkat yang lebih tinggi. Anda dapat menemukan arti dari kalimat yang tidak
lengkap di atas karena pengalaman membaca yang sebelumnya sudah Anda miliki
dan memang bahasa Indonesia tertulis mengandung ketidak lengkapan. Tidak setiap
huruf dalam masing-masing kata perlu ditulis agar kita dapat mengodekan arti dari
29

pada kata tersebut. Terlebih lagi, mungkin kita juga berharap bisa membaca kalimat
tersebut. Contoh lain adalah bagaimana bisa membaca sms teman yang memang
huruf-hurufnya sangat tidak lengkap, misalnya: sy ng th knp km tdk brgkt kul hr ni
(saya tidak tahu mengapa kamu tidak berangkat kuliah hari ini). Ajaib memang,
tetapi itulah kenyataannya bahwa sebuah makna bisa terbentuk dari sesuatu yang
tidak lengkap. Sebuah pengalaman juga merupakan faktor penting penentu persepsi.
Ketika kita pernah makan di restoran X dan kita kemudian merasakan gatal-gatal di
badan dan ketahuan hal itu disebabkan karena alergi, maka kita akan segera
menyimpulkan hal yang sama manakala teman kita mengalami hal yang sama.
Seseorang mungkin menjadi takut menjalin hubungan dengan lawan jenis untuk
kesekian kalinya setelah beberapa kali dia mengalami kegagalan atau patah hati.
Dalam diri seseorang tersebut berarti sudah terbentuk makna bahwa dia selalu gagal
dalam menjalin hubungan. (Suciati, 2015:97)

Pemrosesan top-down digambarkan oleh konteks yang penting dalam


menentukan bagaimana kita memersepsi objek. Konteks dalam hal ini berhubungan
dengan harapan. Misalnya saja ketika orang melihat barisan huruf A sampai huruf F,
dibawahnya dipasangkan angka 10-14. Apa yang kira-kira yang di persepsikan?
Kebanyakan dari kita akan memaknai bahwa keduanya adalah barisan angka dan
huruf yang jumlahnya 4. Namun bila kita lebih hati-hati lagi ternyata kita melihat
bahwa huruf B mirip dengan angka 13. Persepsi ini dipengaruhi oleh adanya harapan
bahwa kedua barisan huruf dan bilangan adalah sekuen. (Suciati, 2015:97).

Sebuah eksperimen dilakukan di kelas ketika mengajar. Pada layar disajikan


huruf M saja yang memenuhi layar. Mahasiswa diminta untuk memberi makna huruf
M tersebut. Apa yang terjadi? Dalam lima orang mahasiswa ternyata memberikan
makna yang sangat berbeda. Ada yang menyatakan bahwa M berarti Minum, M
adalah marah, M adalah masak, M adalah Motor Gede (moge) , dan mahasiswa
terakhir menyatakan M adalah muka. Berbagai bentuk pemaknaan tersebut setelah
ditelusuri sebabnya, mengapa mereka memersepsi huruf M menjadi seperti itu.
Persepsi M minuman muncul karena mahasiswa tersebut memang dalam keadaan
lapar dan berharap segera makan. M marah muncul karena ternyata mahasiswa
merasakan bahwa minggu ini adalah banyak perrmasalah, M masak muncul karena
ternyata mahasiswa yang bersangkutan hobi memasak. M Motor Gede (Moge)
30

muncul karena mahasiswa yang bersangkutan penggemar Motor Gede (Moge).


Adapun M muka karena yang bersangkutan baru saja membersihkan mukanya
setelah dari kamar mandi. Berdasarkan eksperimen tersebut persepsi yang muncul
bisa disimpulkan sebagai sebuah hasil dari harapan.

Proses top-down tidak muncul begitu saja, tetapi harus dengan bantuan dari
proses buttom-up. Pemrosesan buttom-up terdiri atas kemajuan dalam mengenali dan
memroses informasi dari komponen-komponen individual dari suatu stimulus dan
beralih menjadi persepsi terhadap keseluruhan. Kita tidak akan dapat mencapai
kemajuan dalam pengenalan kita terhadap huruf dan angka sebagaimana dicontohkan
di atas tanpa mampu memersepsi bentuk-bentuk individual dari huruf-huruf tersebut.
Beberapa persepsi dengan demikian terjadi pada tingkat pola dan ciri dari masing-
masing huruf yang terpisah.

Pemrosesan top-down dan buttom-up terjadi secara simultan, dan saling


berinteraksi dalam persepsi terhadap dunia atau sekeliling kita. Pemrosesan buttom-
up membuat kita mampu untuk memproses karakteristik fundamental daristimulus,
sementara proses top-down menjadikan kita dapat membawa pengalaman kita untuk
melakukan persepsi. Ketika kita belajar lebih tentang proses kompleks yang terlibat
dalam persepsi ini, kita mengembangkan sebuah pengembangan yang lebih baik
tentang bagaimana otak secara berkelanjutan menginterpretasikan informasi dari
indera dan membuat kita dapat memberikan respon yang tepat kepada lingkungan.

Persepsi pada masing-masing individu memiliki kecenderungan berbeda satu


dengan yang lainnya. Pareek (1984: 13) mengemukakan ada 4 (empat) faktor utama
yang menyebabkan terjadinya perbedaan persepsi, yaitu :

a. Perhatian
Terjadinya persepsi pertama kali diawali oleh adanya perhatian. Tidak semua
stimulus yang ada di sekitar dapat ditangkap semuanya secara bersamaan.
Perhatian biasanya hanya tertuju pada satu atau dua objek yang menarik bagi
kita.
b. Kebutuhan
Setiap orang mempunyai kebutuhan yang harus dipenuhi, baik itu kebutuhan
yang sifatnya menetap maupun kebutuhan yang sifatnya hanya sesaat, dimana
31

masing-masing orang memiliki kebutuhan yang tidak sama antara satu dengan
yang lainnya.
c. Kesediaan
Kesediaan adalah harapan seseorang terhadap suatu stimulus yang muncul, agar
memberikan reaksi terhadap stimulus yang diterima lebih efisien sehingga akan
lebih baik apabila orang tersebut telah siap terlebih dahulu.
d. Sistem Nilai
Sistem nilai yang berlaku dalam diri seseorang atau masyarakat akan
berpengaruh terhadap persepsi seseorang.

2.4. Konsep Makna

Konsep makna telah menarik perhatian disiplin komunikasi, psikologi, sosiologi,


antropologi dan linguistik. Itu sebabnya beberapa pakar komunikasi sering menyebutkan
kata makna ketika mereka merumuskan definisi komunikasi. Makna, sebagaimana
dikemukakan oleh Fisher dalam Sobur (2015:19), merupakan konsep yang abstrak, yang
telah menarik perhatian para ahli filsafat dan para teoritis ilmu sosial selama 2000 tahun
silam. Semenjak Plato mengkonseptualisasikan makna manusia sebagai salinan
“ultrarealitas”, para pemikir besar telah sering mempergunakan konsep itu dengan
penafsiran yang sangat luas yang merentang sejak pengungkapan mental dari Locke sampai
ke respons yang dikeluarkan dari Skinner. Seperti yang dijelaskan oleh De Vito bahwa “
makna ada dalam diri manusia.

“Makna” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu: arti, maksud pembicara atau
penulis. Makna adalah proses aktif yang ditafsirkan seseorang dalam suatu pesan. Semua
ahli komunikasi, seperti dikutip Jalaluddin Rakhmat (1996), sepakat bahwa makna kata
sangat subjektif words don’t mean, people mean (Sobur, 2015:20). Ada tiga hal yang
dijelaskan para filsufdan linguis sehubungan dengan usaha menjelaskan istilah makna.
Ketiga hal itu, yakni : (1) menjelaskan makna secara alamiah, (2) mendeskripsikan kalimat
secara alamiah, (3) menjelaskan makna dalam proses komunikasi (Kempson, dalam
Sobur:2015:23). Maka dari itu sesungguhnya istilah makna adalah istilah yang memiliki
banyak arti. Menurut F.R Plamer dikutip Sobur (2015:24), untuk dapat memahami apa yang
disebut makna, kita mesti kembali ke teori Ferdinand de Saussure. Dimana dalam bukunya,
Course inGeneral Linguistik (1916), de Saussure menyebut tanda linguistik. Tiap
32

tandalinguistik terdiri atas dua unsur, yakni yang diartikan (unsur makna) dan
yangmengartikan (unsur bunyi). Kedua unsur ini, yang disebut unsur intralingual,biasanya
merujuk pada sesuatu referen yang merupakan unsur ekstralingual. Sedangkan kata Peursen,
“manusia ditandai dengan kata” (Sobur, 2015:24).

2.4.1. Tipe-tipe Makna


Brodbeck (1993) dalam Sobur (2015:26-26) mengemukakan bahwa sebenarnya
ada tiga pengertian tentang konsep makna yang berbeda-beda :
1. Menurut tipologi Brodbeck, adalah makna referensial; yakni, makna suatu istilah
adalah objek, pikiran, ide atau konsep yang ditunjukkan oleh istilah itu.
2. Tipe makna yang kedua dari Brodbeck adalah arti istilah itu. Suatu istilah dapat
saja memiliki arti referensi dalam pengertian yang pertama, yakni mempunyai
referen, tetapi karena ia tidak dihubungkan dengan berbagai konsep yang lain, ia
tidak mempunyai arti.
3. Tipe makna yang ketiga dari Brodbeck mencangkup makna yang dimaksudkan
(intentional) dalam arti bahwa arti suatu istilah atau lambang bergantung pada
apa yang dimaksudkan pemakai dengan arti lambang itu.

2.4.2. Pemaknaan Audiens


Pemaknaan akan terjadi jika ada yang namanya audiens. Pada awalnya,
sebelum media massa ada, audiens adalah sekumpulan penonton drama, permainan
dan tontonan. Setalah ada kegaiatan komunikasi massa, audiens sering diartikan
sebagai penerima pesan-pesan media massa. Pemaknaan menjadi inti komunikasi
dikarenakan jika makna yang diberikan tidak akurat, tidak mungkin akan terjadi
komunikasi yang efektif. Semakin tinggi derajat kesamaan antar individu, semakin
mudah dan semakin cenderung membentuk kelompok budaya atau kelompok
identitas (Mulyana, 2005).

2.4.3. Makna dalam Komunikasi

Aminuddin dalam Sumadiria (2006:26) makna dibagi menjadi tiga tingkatan,


yakni:
33

1. Makna menjadi isi abstraksi dalam kegiatan bernalar secara logis sehingga
membuahkan proposisi kebahasaan.
2. Makna menjadi isi dari suatu bentuk kebahasaan.
3. Makna menjadi isi komunikasi yang mampu membuahkan informasi tertentu.
Makna yang berkaitan dengan komunikasi pada hakikatnya merupakan
fenomena sosial. Makna sebagai konsep komunikasi, mencangkup lebih dari sekedar
penafsiran atau pemahaman seorang individu saja. Makna selalu mencakup banyak
pemahaman, aspek-aspek pemahaman yang secara bersama dimiliki para
komunikator.

2.5. Ujaran Kebencian

Ujaran kebencian (hatespeech) dan hoaks (berita bohong)bernuansa ujaran kebencian


melanda menjelang Pilkada 2018 dan Pilpres 2019. Direktorat Tindak Pidana Siber
Bareskrim Kepolisian Republik Indonesia (Polri) bersama Direktorat Keamanan Khusus
Badan Intelijen Keamanan mengungkap sindikat penyebar isu-isu provokatif di media
sosial. Pada 26 Februari 2018, Polri melakukan penangkapan di beberapa tempat terhadap
pelaku yang tergabung dalam grup WhatsApp "The FamilyMuslim Cyber Army (MCA)”.
Pada tanggal 4 Maret, satu lagi anggota MCA, warga Kisaran Asahan, Sumatra Utara,
ditangkap di Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Polri juga menangkap individu-individu
yang dituding menyebar ujaran kebencian dan hoaks bernuansa ujaran kebencian secara
pribadi di media sosial.

Indriyanto Seno Adji selaku Guru Besar Hukum Pidana Universitas Krisnadwipayana,
mengatakan fenomena ujaran kebencian dan hoaks muncul karena tahun politik yang sedang
berjalan (Media Indonesia, 3 Maret 2018). Kepala Biro Penerangan Masyarakat, Brigjen
Mohammad Iqbal, Polri telah mendeteksi ratusan konten provokatif mengandung ujaran
suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), hoaks, dan ujaran kebencian sepanjang tahun
2018. Total jumlah konten provokatif sampai dengan bulan Maret 2018 berjumlah 642
konten. Ujaran kebencian telah mendorong semangat saling mencaci, memaki, dan
membenci. Jika gejala ini dibiarkan, maka negeri ini akan semakin berada dalam bahaya
perpecahan dan konflik sosial (Republika, 8 Maret 2018).
34

Pembentukan opini dengan ujaran kebencian dan hoaks bernuansa ujaran kebencian
terus ditindak oleh Polri. Namun Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Hidayat Nur Wahid meminta Polri tidak tebang pilih dalam menangani persoalan tersebut,
agar aparat penegak hukum tidak ditafsirkan memiliki kepentingan politik dalam
menyelesaikan persoalan tersebut. Menurut Hidayat, segala sesuatu perlu dibuktikan secara
hukum. Dalam hal ini, terkait dengan hak berpendapat dan berekspresi maka pengkritik
pemerintah tidak boleh dianggap sebagai penyebar ujaran kebencian.

2.5.1. Batasan Pengertian Ujaran Kebencian

Indriyanto Seno Adji mengatakan bahwa untuk menghentikan ujaran kebencian


dapat dilakukan melalui pengembangan budaya toleransi sebagai basis prevensi dan
melalui pendekatan represif yaitu dengan penegakan hukum. Namun langkah yang
juga penting adalah dengan memahami kebebasan berbicara (freedom of speech) dan
ujaran kebencian (hate speech) (Media Indonesia, 3 Maret 2018). Pemahaman kedua
perbedaan istilah ini akan mencegah ketidakpastian hukum dan multitafsir, sehingga
tidak menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan dan
ekspresi.

Memahami antara istilah kebebasan berbicara dan ujaran kebencian terkait


dengan jaminan hak atas kebebasan menyatakan pikiran/pendapat dengan lisan,
tulisan, dan ekspresi sebagaimana diatur dan dijamin Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD RI Tahun 1945). Jaminan hak asasi,
memahami dan menilai suatu tindakan yang dapat termasuk ke dalam hate speech
atau tidak, bertujuan agar konsepsi hatespeech tidak disalahpahami, baikoleh
penegak hukum maupun masyarakat. Penegakan hukum terhadap pelanggaran
larangan mengenai ujaran kebencian dapat diterapkan secara profesional sesuai
dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM).

Ujaran kebencian berbeda dengan ujaran (speech) pada umumnya, walaupun di


dalam ujaran tersebut mengandung kebencian, menyerang dan berkobar-kobar.
Perbedaan ini terletak pada niat (intention) dari suatu ujaran yang memang
dimaksudkan untuk menimbulkan dampak tertentu, baik secara langsung (aktual)
maupun tidak langsung (berhenti pada niat). Menurut Susan Benesch, jika ujaran
tersebut dapat menginspirasi orang lain untuk melakukan kekerasan, menyakiti orang
35

atau kelompok lain, maka ujaran kebencian itu berhasil dilakukan (Anam dan Hafiz,
2015).

David O. Brink mengataan bahwa pernyataan atau ujaran yang bersifat


diskriminatif namun tidak termasuk dalam kategori ujaran kebencian. Hal ini dapat
dicontohkan pada stereotipe yang bias dan jahat, namun tidak sampai pada derajat
stigmatisasi, merendahkan, sangat menyakiti ataupun melukai. Brink menyataan
bahwa hate speech lebih buruk dari sekedar pernyataan yang diskriminatif. Ia
menggunakan simbol tradisional untuk melecehkan seseorang karena keterikatannya
pada kelompok tertentu dan sebagai ekspresi dari penghinaan kepada targetnya agar
menimbulkan efek kesengsaraan secara psikologis (Anam dan Hafiz, 2015).

Ujaran kebencian (Hatespeech) sangat dekat dengan jaminan hak berpendapat


dan berekspresi. Kesalahan dalam menilai dan meletakkan ukuran ucapan, ujaran
atau pernyataan yang terkategori ke dalam hate speech justru akan berdampak pada
pembatasan terhadap hak berpendapat dan ekspresi. Sebaliknya, membuka kran
ekspresi seluas-luasnya tanpa mengindahkan aspek-aspek pernyataan yang
mengandung ujaran kebencian justru membiarkan masyarakat berada pada situasi
saling membenci, saling curiga, intoleran, diskriminatif, bahkan dapat menimbulkan
kekerasan terhadap kelompok tertentu yang lebih lemah (Anam dan Hafiz, 2015).

Prinsip-prinsip Camden, suatu dokumen yang disepakati oleh para ahli HAM
tentang pembatasan hak ekspresi dalam kaitannya dengan hate speech, mendorong
setiap Negara untuk mengadopsi hukum yang melarang advokasi kebencian antar
bangsa, ras atau agama yang mengandung penyebarluasan diskriminasi, kebencian
dan kekerasan. Untuk menjaga penyalahgunaan pembatasan hak, legislasi harus
membuat secara rigit definisi yang ketat, antara lain yaitu: istilah ‘kebencian’ dan
‘kekerasan’ yang mengacu pada perasaan merendahkan, menghina, membenci yang
kuat dan irasional yang ditujukan kepada kelompok sasaran tertentu; Istilah
‘advokasi’ mensyaratkan adanya maksud untuk mempromosikan kebencian secara
terbuka terhadap kelompok sasaran tertentu; dan istilah ‘penyebarluasan’ mengacu
pada pengungkapan pernyataan terhadap kelompok kebangsaan, ras atau agama
tertentu yang menciptakan risiko diskriminasi, kebencian dan kekerasan yang
36

mendesak terhadap orang-orang yang termasuk dalam kelompok-kelompok tersebut


(Anam dan Hafiz, 2015).

Pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa batasan pengertian ujaran
kebencian adalah ujaran yang mengandung kebencian, menyerang dan berkobar-
kobar yang dimaksudkan untuk menimbulkan dampak tertentu, baik secara langsung
(aktual) maupun tidak langsung (berhenti pada niat) yaitu menginspirasi orang lain
untuk melakukan kekerasan atau menyakiti orang atau kelompok lain.

2.5.2. Larangan Ujaran Kebencian dalam Peraturan Perundang-Undangan

Negara-negara di Dunia mengadopsi ketentuan-ketentuan tentang ujaran


kebencian dan bersepakat untuk memberantasnya. Instrumen internasional mengatur
tentang dengan ujaran kebencian, seperti: Deklarasi HAM PBB 1948; Konvensi
Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (Convention
On The Elimination OfAll Forms Of Racial Discrimination/CERD); dan Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (international Covenant on Civil
andPolitical Rights /ICCPR).

Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan UU No.


19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) juga memuat
larangan dan ancaman pidana bagi pelaku yang membuat ujaran kebencian ataupun
berita bohong. Pasal 28 ayat (1) jo Pasal 45 UU ini memuat ancaman pidana bagi
setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.
Tindak pidana ini dirumuskan secara materiil. Artinya tindak pidana tersebut selesai
sempurna bila akibat perbuatan telah timbul yaitu adanya kerugian konsumen dalam
transaksi elektronik. Unsur sengaja artinya pelaku menghendaki untuk menyebarkan
berita bohong dan menyesatkan, dan menghendaki atau setidaknya menyadari akan
timbul akibat kerugian bagi konsumen. Pelaku juga mengerti bahwa apa yang
dilakukannya itu tidak dibenarkan (sifat melawan hukum subjektif), dan mengerti
akan mengakibatkan kerugian bagi konsumen transaksi elektronik.

Ancaman pidana juga ditujukan bagi setiap orang dengan sengaja dan tanpa
hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau
37

permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas SARA


(Pasal 28 ayat (1) jo Pasal 45 UU ITE). Tindak pidana ini juga dirumuskan secara
materiil. Artinya, tindak pidana selesai sempurna akibat adanya rasa kebencian atau
permusuhan antar kelompok masyarakat telah timbul.

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Kitab Undang-Undang


Hukum Pidana (KUHP) Pasal 207 dan Pasal 310-Pasal 321 juga memuat larangan
melakukan penghinaan, dengan segala bentuknya, yang menyerang kehormatan dan
nama baik. Substansi dalam pasal-pasal ini telah dimuat kembali dalam RUU KUHP.
Dalam RUU KUHP, yang dimaksud dengan “penghinaan” adalah menyerang
kehormatan atau nama baik orang lain. Sifat dari perbuatan pencemaran adalah jika
perbuatan penghinaan yang dilakukan dengan cara menuduh, baik secara lisan,
tulisan, maupun dengan gambar yang menyerang kehormatan dan nama baik
seseorang, sehingga merugikan orang tersebut.

Definisi dari “penghinaan” banyak bergantung pada temperamen zaman,


pendapat kontemporer, moral dan kondisi sosial serta pandangan masyarakat yang
berbeda pula. Penghinaan didefinisikan sebagai perbuatan yang merugikan reputasi
orang lain sehingga dapat menurunkan pandangan masyarakat terhadapnya atau
mencegah orang ketiga bergaul atau berurusan dengannya (Arend, 1997).

Bentuk aktivitas ujaran kebencian yang masuk dalam kategori pelanggaran


disiplin ASN berdasarkan rilis BKN No. 006/RILIS/BKN/V/2018 sebagai berikut:

a. Menyampaikan pendapat baik lisan maupun tertulis lewat media sosial yang
bermuatan ujaran kebencian terhadap Pancasila, Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah;
b. Menyampaikan pendapat baik lisan maupun tertulis lewat media sosial yang
mengandung ujaran kebencian terhadap salah satu suku, agama, ras, dan
antargolongan;
c. Menyebarluaskan pendapat yang bermuatan ujaran kebencian (pada poin 1 dan 2)
melalui media sosial (share, broadcast, upload, retweet, repost instagram dan
sejenisnya);
38

d. Mengadakan kegiatan yang mengarah pada perbuatan menghina, menghasut,


memprovokasi, dan membenci Pancasila, Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah;
e. Mengikuti atau menghadiri kegiatan yang mengarah pada perbuatan menghina,
menghasut, memprovokasi, dan membenci Pancasila, Undang- Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah;
f. Menanggapi atau mendukung sebagai tanda setuju pendapat sebagaimana pada
poin 1 dan 2 dengan memberikan likes, dislike, love, retweet, atau comment di
media sosial.

Bagi ASN yang terbukti melakukan pelanggaran pada poin 1 sampai 4 dijatuhi
hukuman disiplin berat dan ASN yang melakukan pelanggaran pada poin 5 dan 6
dijatuhi hukuman disiplin sedang atau ringan.

2.6. Hoax

Dalam cambridge dictionary, kata hoax sendiri berarti tipuan atau lelucon. Kegiatan
menipu, rencana menipu, trik menipu, disebut dengan hoax. Pada situs hoaxes.orgdalam
konteks budaya mengarah pada pengertian hoax sebagai aktifitasmenipu: Ketika sebuah
surat kabar dengan sengaja mencetak cerita palsu, kami menyebutnya tipuan. Kami juga
menggambarkan aksi publisitas yang menyesatkan, ancaman bom palsu, penipuan ilmiah,
penipuan bisnis, dan klaim politik palsu sebagai tipuan.

Dalam merriamwebster.com, hoax adalah usaha untuk menipu atau mengakali


pembaca/pendengar untuk mempercayai sesuatu, padalah sang pencipta berita palsu tahu
bahwa berita tersebut adalah palsu. Salah satu contoh pemberitaan palsu yang paling umum
adalah mengklaim sesuatu barang atau kejadian dengan suatu sebutan yang berbeda dengan
barang/kejadian sejatinya. Defenisi lain menyatakan hoax adalah suatu tipuan yang
digunakan untuk mempercayai sesuatu yang salah dan seringkali tidak masuk akal yang
melalui media online (http://www.merriamwebster.com, diakses 3 Desember 2018). Hoax
bertujuan membentuk opini publik, menggiringnya, dan membentuk persepsi juga untuk
having fun (bersenang-senang) yang menguji kecerdasan dan kecermatan pengguna internet
dan media sosial.
39

Hoax dalam kamus Oxford (2017) diartikansebagai suatu bentuk penipuan yang
tujuannya untuk membuat kelucuan atau membawa bahaya. Hoax dalam Bahasa Indonesia
berarti berita bohong, informasi palsu, atau kabar dusta. Sedangkan menurut kamus bahasa
Inggris, hoax artinya olok-olok, cerita bohong, dan memperdayakan alias menipu. Walsh
(2006) dalam bukunya berjudul “Sins Against Science,The Scientific Media Hoaxes of Poe,
Twain, and Others” menuliskan bahwa istilah hoax sudah adasejak tahun 1800 awal era
revolusi industri di Inggris. Asal kata hoax diyakini ada sejak ratusan tahun sebelumnya,
yakni ‘hocus’ dari mantra ‘hocus pocus’, frasa yang kerap disebut oleh pesulap, serupa
‘simsalabim’. Bahkan Boese (2002) dalam bukunya“Museum of Hoaxes” menuliskan bahwa
jauh sebelum itu, istilah hoax pertama kali terpublikasi melalui almanak atau penanggalan
palsu yang dibuat oleh Isaac Bickerstaff pada tahun 1709 untuk meramalkan kematian
astrolog John Partridge.

Hoax menurut Bungin (2017) meskipun memiliki ‘masa hidup’ dalam kognitif lebih
pendek dari pada konstruksi sosial media massa, namun hoax memiliki daya rusak
sporadic yang kuat dan luas di masyarakat. Hoax adalah salah satu persoalan serius dalam
etika komunikasi karena dapat merusak citra lawan. Semua berita hoax tidak saja
merugikan subjek hoax namun juga menyerang dan merusak tatanan etika di masyarakat,
bahkan dapat menjadi mesin pembunuhan karakter seseorang.

Agus Widjojo, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas RI) menyatakan


kepada tribunnews “Hoaks itu pekerjaan orang jahat yang tidak peduli terhadap dampak
buruk yang akan dirasakan masyarakat. Tujuannya untuk memecah belah masyarakat.
Produksi hoaks itu disengaja, karena informasi hoaks memiliki nilai ekonomis bagi
pemecah bangsa.” Agus menegaskan, bahwa Hoaks sangat efektif untuk memecah belah
terkhusus sebagai alat politik. “Hoaks itu efektif, apalagi jika sudah menggunakan
kerangka teoritis dalam mengkonsepnya. Mereka akan mencari tema-tema yang bisa
menimbulkan emosi masyarakat. Itu yang perlu kita waspadai.”
(http://www.tribunnews.com/regional/2018/11/16/gubernur-lemhanas-penyebaran-hoaks-
dilakukan-orang-jahat-terkonsep-dan-bukan-kebetulan, diakses 27 November 2018).

Hoax menurut Ketentuan Perundang-Undangan (KUHP dan ITE)


40

Dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE ada salah satu unsur yaitu menyebarkan berita
bohong dan menyesatkan, apakah bohong dan menyesatkan adalah hal yang sama dan
apakah jika menyesatkan sudah pasti bohong?

Undang-undang ITE tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan berita bohong dan
menyesatkan. Untuk memahami kata bohong dan menyesatkan sebenarnya terdapat
ketentuan serupa dalam pasal 390 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) walaupun
rumusannya frasanya berbeda yakni “menyiarkan kabar bohong”. Pasal 390 KUHP berbunyi
sebagai berikut: Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang
lain dengan melawan hak menurunkan atau menaikkan harga barang dagangan, fonds atau
surat berharga uang dengan menyiarkan kabar bohong, dihukum penjara selama-lamanya
dua tahun delapan bulan.

Menurut R.Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


(KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 269), terdakwa
hanya dapat dihukum dengan Pasal 390 KUHP, apabila ternyata bahwa kabar yang disiarkan
itu adalah kabar bohong. Yang dipandang sebagai kabar bohong, tidak saja memberitahukan
suatu kabar yang kosong, akan tetapi juga menceritakan secara tidak betul tentang suatu
kejadian. Hal mana juga berlaku pada Pasal 28 ayat (1) UU ITE. Suatu berita yang
menceritakan secara tidak betul tentang suatu kejadian adalah termasuk juga berita bohong.

Kata “bohong” dan “menyesatkan” adalah dua hal yang berbeda. Dalam frasa
“menyebarkan berita bohong” yang diatur adalah perbuatannya, sedangkan dalam kata
“menyesatkan” yang diatur adalah akibat dari perbuatan ini yang membuat orang
berpadangan salah/keliru. Selain itu, untuk membuktikan telah terjadi pelanggaran terhadap
Pasal 28 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
sebagaimana yang telah diubah oleh UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU
No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), maka semua unsur
dari pasal tersebut haruslah terpenuhi. Unsur-unsur tersebut yaitu:
1. Setiap orang.
2. Dengan sengaja dan tanpa hak. Terkait unsur ini, dosen Fakultas Hukum Universitas
Padjadjaran Danrivanto Budhijanto, S.H., LL.M. dalam artikel Danrivanto
Budhijanto, "UU ITE Produk Hukum
Monumental" (http://news.unpad.ac.id/?p=10313, diakses 4 Desember 2018)
41

menyatakan antara lain bahwa perlu dicermati (unsur, ed) ’perbuatan dengan sengaja’
itu, apakah memang terkandung niat jahat dalam perbuatan itu. Periksa juga apakah
perbuatan itu dilakukan tanpa hak? Menurutnya, kalau pers yang melakukannya tentu
mereka punya hak. Namun, bila ada sengketa dengan pers, UU Pers (Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, ed) yang jadi acuannya.
3. Menyebarkan berita bohong dan menyesatkan.
Karena rumusan unsur menggunakan kata “dan”, artinya kedua unsurnya harus
terpenuhi untuk pemidanaan, yaitu menyebarkan berita bohong (tidak sesuai dengan
hal/keadaan yang sebenarnya) dan menyesatkan (menyebabkan seseorang
berpandangan pemikiran salah/keliru). Apabila berita bohong tersebut tidak
menyebabkan seseorang berpandangan salah, maka menurut penulis seharusnya tidak
dapat dilakukan pemidanaan.
Yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik. Unsur yang
terakhir ini mensyaratkan berita bohong dan menyesatkan tersebut harus
mengakibatkan suatu kerugian konsumen. Artinya, tidak dapat dilakukan pemidanaan,
apabila tidak terjadi kerugian konsumen di dalam transaksi elektronik.
Perlu diketahui bahwa penerapan pasal 28 tersebut diatas, diterapkan bagi siapa saja
atau pelaku yang perbuatan menyebarkan berita bohong tersebut dilakukan melalui
transaksi elektronik atau media internet.

2.7. Media Sosial

Aktivitas ujaran kebencian dan hoax paling banyak menyebar melalui media sosial.
Satu sisi media sosial dapat meningkatkan hubungan pertemanan yang lebih erat, wadah
bisnis online, dan lain sebagainya. Sisi lainnya media sosialsering menjadi pemicu beragam
masalah seperti maraknya penyebaran hoax, ujaran kebencian, hasutan, caci maki, adu
domba dan lainnnya yang bisa mengakibatkan perpecahan bangsa. Media sosial sendiri
menurut Van Dijk (2013) adalah platform media yang memfokuskan pada eksistensi
pengguna yang memfasilitasi mereka dalam beraktivitas maupun berkolaborasi. Karena itu,
media sosial dapat dilihat sebagai medium (fasilitator) online yang menguatkan hubungan
antar pengguna sekaligus sebagai sebuah ikatan sosial.

Sedangkan Boyd (2009) mendefinisikan media sosial sebagai kumpulan perangkat


lunak yang memungkinkan individu maupun komunitas untuk berkumpul, berbagi,
42

berkomunikasi, dan dalam kasus tertentu saling berkolaborasi atau bermain. Wright dan
Hinson berpendapat bahwa media sosial memiliki kekuatan pada user generated content
(UGC) di mana konten dihasilkan oleh pengguna, bukan oleh editor sebagaimana di institusi
media massa. UGC yang tersebar melalui internet bertujuan untuk berbagi dan memfasilitasi
percakapan diantara penggunanya (Goldfine, 2011).

Pepitone (dalam Westerman, 2013) juga mengatakan media sosial dianggap sebagai
salah satu teknologi yang penggunaannya meningkat sebagai sumber informasi. Sementara
Villanueva mengatakan media sosial merupakan bagian internet yang memberikan
kekuasaan setiap orang untuk menginformasikan gagasannya kepada orang lain, baik secara
interpersonal, maupun ke banyak orang (Winkelmann, 2012). Menurut Susanto (2011)
terdapat masalah yaitu pihak yang patut dipercaya dan bagaimana menyaring informasi
sehingga berguna bagi pembaca. Ketidakjelasan sumber informasi dan keberagaman
informasi yang mengarah pada hoax tersebut cenderung menjadi teror.

Media sosial adalah sebuah media online, dengan para penggunanya bisa dengan
mudah berpartisipasi, berbagi dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum
dan dunia virtual. Blog, jejaring sosial dan Wiki merupakan bentuk media sosial yang paling
umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia. Menurut Antony Mayfield dari
iCrossing, media sosial adalah mengenai menjadi manusia biasa. Manusia biasa yang saling
membagi ide, bekerjasama dan berkolaborasi untuk menciptakan kreasi, berfikir, berdebat,
menemukan orang yang bisa menjadi teman baik, menemukan pasangan dan membangun
sebuahkomunitas. Intinya, menggunakan media sosial menjadikan kita sebagai diri sendiri.
Selain kecepatan informasi yang bisa diakses dalam hitungan detik, menjadi diri sendiri
dalam media sosial adalah alasan mengapa media sosial berkembang pesat. Tak terkecuali,
keinginan untuk aktualisasi diri dan kebutuhan menciptakan personal branding. Teknologi-
teknologi web baru memudahkan semua orang untuk membuat dan yang terpenting
menyebarluaskan konten mereka sendiri. Post di Blog, tweet, atau video di YouTube dapat
direproduksi dan dilihat oleh jutaan orang secara gratis. Pemasang iklan tidak harus
membayar banyak uang kepada penerbit atau distributor untuk memasang iklannya.
Sekarang
pemasang iklan dapat membuat konten sendiri yang menarik dan dilihat banyak orang
(Zarrella, 2010: 2).
43

Andreas Kaplan dan Michael Haenlein mendefinisikan media sosial sebagai "sebuah
kelompok aplikasi berbasis internet yang membangun di atas dasar ideologi dan teknologi
Web 2.0 , dan yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content".

2.7.1. Jenis-jenis Media Sosial


Media sosial teknologi mengambil berbagai bentuk termasuk majalah, forum
internet, webblog, blog sosial, microblogging, wiki, podcast, foto atau gambar, video,
peringkat dan bookmark sosial. Dengan menerapkan satu set teori-teori dalam bidang
media penelitian (kehadiran sosial, media kekayaan) dan proses sosial (self-
presentasi, self-disclosure) Kaplan dan Haenlein menciptakan skema klasifikasi
untuk berbagai jenis media sosial dalam artikel Horizons Bisnis mereka diterbitkan
dalam 2010.
Menurut Kaplan dan Haenlein ada enam jenis media sosial:
1. Proyek Kolaborasi
2. Website mengizinkan usernya untuk dapat mengubah, menambah, ataupun me-
remove konten – konten yang ada di website ini.Contohnya wikipedia.
3. Blog dan microblog
User lebih bebas dalam mengekspresikan sesuatu di blog ini seperti curhat
ataupun mengkritik kebijakan pemerintah. Contohnya Twitter, Blogspot, Tumblr,
Path dan lain-lain.
4. Konten
Para user dari pengguna website ini saling meng-share konten – konten media,
baik seperti video, ebook, gambar dan lain-lain. Contohnya Youtube.
5. Situs jejaring sosial
Aplikasi yang mengizinkan user untuk dapat terhubung dengan cara membuat
informasi pribadi sehingga dapat terhubung dengan orang lain. Informasi pribadi
itu bisa seperti foto-foto. Contoh Facebook, Path, Instagram dan lain-lain.
6. Virtual game world
Dunia virtual dimana mereplikasikan lingkungan 3D, di mana user bisa muncul
dalam bentuk avatar-avatar yang diinginkan serta berinteraksi dengan orang lain
selayaknya di dunia nyata, contohnya game online.
7. Virtual social world. Dunia virtual yang di mana penggunanya merasa hidup di
dunia virtual, sama seperti virtual game world, berinteraksi dengan yang lain.
44

Namun, Virtual Social World lebih bebas, dan lebih ke arah kehidupan,
contohnya second life.

2.7.2. Fungsi Media Sosial


Fungsi media sosial dapat diketahui melalui kerangka honeycomb. Menurut
kietzmann, etl (2011) menggambarkan hubungan kerangka kerja honeycomb sebagai
penyajian sebuah kerangka kerja yang mendefenisikan media sosial dengan
menggunakan tujuh kotak bangunan fungsi yaitu identify, conversations, sharing,
presence, relationships, reputation, dan groups.
1. Identify, menggambarkan pengaturan identitas para pengguna dalam sebuah
media sosial menyangkut nama, usia, jenis kelamin, profesi, lokasi serta foto
2. Conversations, menggambarkan pengaturan bagaimana para pengguna
berkomunikasi dengan pengguna lainnya dalam media sosial
3. Sharing, menggambarkan pertukaran, pembagian, serta penerimaan konten berupa
teks, gambar, atau video yang dilakukan oleh para pengguna.
4. Presence, menggambarkan apakah para pengguna dapat mengakses pengguna
lainnya
5. Relationship, menggambarkan para pengguna terhubung atau terkait dengan
pengguna lainnya.
6. Reputation, menggambarkan para pengguna dapat mengidentifikasi orang lain
serta dirinya sendiri
7. Groups, menggambarkan para pengguna dapat membentuk komunitas, dan sub
komunitas, yang memiliki latar belakang, minat, atau demografi.

2.7.3. Hoax di Media Sosial


Hasil penelitian Situngkir (2017) dengan judul “Spread of Hoax in Social
Media”, menyimpulkan bahwa Twitter, sebagai layanan micro-blogging merupakan
salah satu media efektifmenyebarkan berita dari orang ke orang dalam kecepatan
yang sebanding dengan media massa konvensional. Hoax memiliki cakupan populasi
yang besar dalam lima sampai enam kali tweet, dan berpotensi lebih besar secara
eksponensial, kecuali media konvensional menghentikan penyebaran hoax tersebut.

Hasil penelitian Allcott dan Gentzkow (2017) dengan judul “Social Media and
Fake News inthe 2016 Election”, menyimpulkan bahwa platform media sosial seperti
45

Facebook memiliki struktur yang sangat berbeda dari teknologi media sebelumnya
(media mainstream). Konten di media sosial dapat disampaikan antara pengguna
tanpa penyaringan pihak ketiga, pemeriksaan fakta, atau penilaian editorial. Rata-rata
orang dewasa AS membaca dan mengingat urutan satu atau beberapa artikel berita
palsu selama masa pemilihan, dengan keterpaparan yang lebih tinggi terhadap artikel
pro-Trump daripada artikel pro-Clinton. Seberapa besar dampak hasil pemilihan ini
bergantung pada efektivitas paparan hoax dalam mengubah cara orang memilih.

2.8. Pegawai Negeri Sipil


Pegawai negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur Negara yang
bertugasmemberikan pelayanan kepada masyarakat secara professional, jujur adil dan
meratadalam penyelenggaraan tugas Negara, pemerintahan danpembangunan. Pegawai
negeri menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-
Pokok Kepegawaian perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian adalah Sebagaiberikut ″Pegawai
negeri adalah setiap warga Negara yang telah memenuhi syaratyang telah ditentukan,
diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugasdalam suatu jabatan
negeri,atau diserahi tugas Negara lainnya dan digaji berdasarkanperaturanperudang-
undangan yang berlaku.″ Pengertian Pegawai Negeri Menurut pasal 92 KUHP adalah orang-
orang yang dipilih dalam pemilihan berdasarkan peraturan-peraturan umum dan jugamereka
yang bukan dipilih tapi diangkat menjadi anggota DPR, DPD dan kepala-kepala Desa dan
sebagainya. Pengertian tersebut hanya berlaku untuk kejahatanjabatan dan kejahatan-
kejahatanlainnya yang diatur dalam KUHP.
Pengertian pegawai negeri menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian bab II pasal pasal 3 yaitu″Pegawai negeri
adalah unsur aparatur Negara abdi Negara, dan abdi masyarakat yang penuh dengan
kesetiaan dan ketaatan kepada pancasila, Undang-undang Dasar 1945,Negara dan
pemerintah menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan.″

Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-


Pokok Kepegawaian Pasal 2 Pegawai Negeri terdiri dari:

1. Pegawai Negeri terdiri dari


a. Pegawai NegeriSipil; dan
46

b. Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.


2. Pegawai NegeriSipil terdiri dari
a. Pegawai Negeri Sipil Pusat : Pengertian Pegawai Negeri Sipil Pusat adalah PNS yang
gajinya dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) dan
bekerja pada departemen, lembaga pemerintah non-departemen, kesekretariatan
Lembaga Negara, instansi vertikal di daerah provinsi, kabupaten/kota, kepaniteraan
pengadilan, atau dipekerjakan untuk menyelanggarakan tugas negara lainnya.
b. Pegawai Negeri Sipil Daerah dan Pegawai Negeri Sipil lain yang ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah, Pegawai negeri sipil daerah provinsi/ kabupaten/ kota yang
gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatandan Belanja Daerah (APBD) dan
bekerja pada Pemerintah Daerah atau dipekerjakan di luar instansi induknya.

2.9. Aparatur Sipil Negara (ASN)

Aparatur sipil Negara yang dimaksud berdasarkan Undang-undang Republik


Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (ASN)terdapat pada bab I
pasal 1 ayat ( 2) yaitu ˮPegawai Aparatur Sipil Negara yangselanjutnya disebut pegawai
ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang
diangkat oleh Pejabat Pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan
pemerintahan atau diserahi tugas Negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan
perundang-undanganˮ.

Selanjutnya menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014


Tentang aparatur sipil Negara (ASN) terdapat pada bab I pasal 1 ayat (3) yaitu ˮPegawai
negeri sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga Negara Indonesiayang memenuhi
syarat tertentu, dinagkat sebagai pegawai ASN secara tetap oleh pejabat Pembina
kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahanˮ.

Selanjutnya menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014


Tentang aparatur sipil Negara (ASN) terdapat pada bab I pasal 1 ayat (4) yaitu ˮPegawai
pemerintah dengan perjanjian kerja yang selanjutnya disingkat PPPK adalah warga Negara
Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk
jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakantugas pemerintahanˮ.

2.9.1. Tugas ASN


47

Tugas aparatur sipil Negara berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia


Nomor 5 Tahun2014 Tentang aparatur sipil Negara bab IV pasal 11 yaitu :
1. Melaksanakan kebijakan publik yang dibuat oleh pejabat Pembina kepegawaian
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
2. Memberikan pelayanan publik yang professional dan berkualitas dan
3. Mempererat persatua dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2.9.2. Disiplin ASN


Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014
Tentang aparatur Negara bab VIII pasal 86 Paragraf 11 yaitu :
1. Untuk menjamin terpeliharanya tata tertib dalam kelancaran pelaksanaan tugas,
PNS wajib memenuhi disiplin PNS
2. Instansi pemerintah Republik Indonesia wajib melaksanakan penegakan disiplin
terhadap PNS serta melaksanakan penegakan disiplin terhadap PNS wajib
terhadap PNS serta melaksanakan berbagai upaya penigkatan disiplin
3. PNS yang melakukan pelanggaran disiplin dijatuhi hukuman disiplin Ketentuan
lebih lanjut mengenai disiplin sebagaiman dimaksud pada ayat (1),ayat (2),dan
ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah.
48

2.10. Kerangka Pemikiran

ASN

Penggunaan Media Sosial


6 Ujaran Kebencian
Hoax
Hukuman Disiplin PNS

Sosialisasi Rilis BKN No.


006/RILIS/BKN/V/2008

Persepsi ASN mengenai konsep Persepsi ASN mengenai


penerapan dan dampak

Pemahaman ASN terhadap Rilis BKN


No. 006/BKN/Rilis/2018 tentang Enam
Aktivitas Ujaran Kebencian Berkategori
Hukuman Disiplin

Penggunaan media sosial yang baik dan benar serta aspek kognitif ASN yang diperoleh dari
ketertarikan membaca, memahami bacaan, kepuasan membaca, menyakini bacaan dan
frekwensi membaca terkait ujaran kebencian dan hoax akan mempengarui persepsi ASN
49

tentang Rilis Nomor: 006/RILIS/BKN/V/2018 tentang Enam Aktivitas Ujaran Kebencian


Berkategori Pelanggaran Disiplin ASN.
III. IMPLIKASI METODOLOGI

3.1. Metode Penelitian


Peneliti mengambil kajian penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif-
kualitatif. Peneliti melakukan pengumpulan data dari hasil wawancara, dokumentasi, dan
observasi maka untuk selanjutnya data tersebut akan dianalisis lebih mendalam lagi
sehingga membentuk suatu kesimpulan ilmiah-alamiah yang dapat diterima oleh berbagai
kalangan, terutama dalam hal ini adalah instansipemerintah sebagai obyek penelitian dan
seluruh ASN di instansi pemerintah di Indonesia.

Meleong (2004:10) menyebutkan beberapa alasan memilih metode ini yaitu:


pertama, menyesuaikan metode ini lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan
jamak (kompleks/heterogen). Kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakikat
hubungan antara peneliti dan informan. Dan yang ketiga, metode ini lebih peka dan lebih
dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajamanpengaruh bersama terhadap pola-pola
nilai yang dihadapi.

Metode ini juga dapat menggambarkan abstraksi dari berbagai macam alternatif
pengembangan penanganan ujaran kebencian dan hoax di Instansi-instansi pemerintah
secara teoritis – kritis dan obyektif. Alasan lain dari dipilihnya metode ini dikarenakan
pemahaman seseorang terhadap sebuah permasalahan lebih bersifat kualitatif yang
didasarkan pada persepsi, eksplorasi pemikiran, penjelasan dan pengembangan konsep.
Selain itu, pemilihan metode ini juga didasarkan pada pendapat yang dikemukakan oleh
David Osborne dan Ted Gaebler (1996:393, dalam Sanyoto, 2006:64) yaitu :

“Untuk mengkombinasikan pengukuran kuantitatif dengan evaluasi kualitatif,


Manajer yang baik dapat memperoleh pandangan yang besar dalam kinerja
dengan memperhatikan angka-angka yang relevan, tetapi mereka dapat
memperoleh pandangan yang sama nilainya dengan menggunakan waktunya
untuk mengamati program, perwakilan atau pemberi jasa, berbincang-bincang
dengan para pekerja dan mendengarkan pelanggan”.
Metode penelitian kualitatif berarti berbicara pada proses dalam rangka pencapaian
suatu tujuan (hasil akhir) yang diinginkan, bukan berbicara pada output (keluaran/hasil
akhir), membatasi studi dengan fokus yang jelas, dan hasilnya dapat disepakati oleh kedua
belah pihak (peneliti dan subyek penelitian). Dalam penelitian kualitatif, tidak sekadar

50
51

mendeskripsikan sebuahfenomena, yang terpenting adalah menjelaskan makna,


mendeskripsikan makna dari fenomena yang muncul, bahkan menjelaskan ”meta maknawi”
yaitu makna dibalik makna. Kehandalan dari penelitian deskriptif-kualitatif terletak pada
peneliti sendiri. Dengan demikian, apabila format deskriptif-kualitatif ini dilakukan dengan
sungguh-sungguh, dengan varian-varian deskriptif yang akurat, pengamatan terhadap
fenomena yang tajam dan dengan triangulasi (baik metode pengumpulan data, sumber data
maupun teori) yang sungguh-sungguh maka penelitian ini tak kalah baiknya dan tak kalah
berkualitasnya dengan analisis-analisis lainnya (Bungin, 2010 :150).

3.2. Fokus Penelitian


Masalah dalam penelitian kualitatif dinamakan fokus. Penetapan fokus dalam
penelitian kualitatif sangat penting karena untuk membatasi studi dan mengarahkan
pelaksanaan suatu pengamatan. Fokus dalam penelitian kualitatif sifatnya abstrak, artinya
dapat berubah sesuai dengan latar belakang penelitian.

Memfokuskan dan membatasi pengumpulan data dapat dipandang kemanfaatannya


sebagai reduksi data yang sudah diantisipasi sebelumnya dan merupakan pra-analisis yang
mengesampingkan variabel-variabel dan berkaitan untuk menghindari pengumpulan data
yang berlimpah.

Penentuan fokus memiliki dua tujuan yaitu:

1. Penetapan fokus untuk membatasi studi, bahwa dengan adanya fokus penelitian,
tempat penelitian menjadi layak. Sekaligus membatasi fokus pada domain/kategori
yang mengandung banyak data/informasi dari domain-domain atau kategori-kategori
tertentu;
2. Penentuan fokus secara efektif menetapkan kriteria sumber informasi untuk menjaring
informasi yang mengalir masuk, sehingga temuannya memiliki arti dan nilai yang
strategis bagi informan.

Fokus penelitian dalam penelitian ini sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan
penelitian yaitu mencoba menjawab pertanyaan :
52

1. Bagaimanakah Persepsi ASN di BPS Provinsi Sumatera Utara Terhadap Rilis BKN No.
006/RILIS/BKN/V/2018 tanggal 18 Mei 2018 tentang enam aktivitas ujaran kebencian
berkategori pelanggaran disiplin?
2. Bagaimanakah Pemahaman ASN terhadap Rilis BKN No. 006/RILIS/BKN/V/2018
tanggal 18 Mei 2018 tentang enam aktivitas ujaran kebencian berkategori pelanggaran
disiplin pada Aparatur Sipil Negara (ASN)?

3.3. Teknik Pengumpulan Data


Data yang dikumpulkan pada penelitian ini didasarkan pada data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dari penelitian lapangan, termasuk wawancara dan
observasi dengan Aparatur Sipil Negara (ASN) pada lembaga/institusi maupun individu.
Data-data yang dijaring, dikodifikasikan dan dideskripsikan adalah bersumber dari jawaban
para informan terhadap pertanyaan yang diajukan dalam wawancara. Selain itu tidak
menutup kemungkinan akan menggunakan memo untuk mencatat ide-ide, pemikiran-
pemikiran dan gagasan-gagasan yang akan muncul sewaktu-waktu saat peneliti berada di
lapangan.
Data sekunder diperoleh dari studi pustaka terhadap peraturan perundang-undangan
sebagai dokumen resmi dan literatur-literatur yang lain, yang berhubungan dengan masalah
yang dibahas dalam kajian mandiri, seperti : Rilis BKN Nomor: 006/RILIS/BKN/V/2018
tentang Enam Aktivitas Ujaran Kebencian Berkategori Pelanggaran Disiplin ASN, Undang-
Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Peraturan Kepala Badan
Kepegawaian Negara Nomor:21 Tahun 2010 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, Undang-Undang
Kitab Hukum Pidana No. 1 Tahun 1946, Undang Undang No 19 Tahun 2016 tentang
perubahan atas UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.Selain
itu bahan sekunder juga didapatkan dari literatur-literatur seperti buku panduan, surat kabar,
seminar, internet, dan lain-lain.

3.3.1. Wawancara
Wawancara merupakan proses percakapan dengan maksud untuk
mengkonstruksi mengenai orang, kejadian kegiatan, organisasi, motivasi , perasaan
dan sebagainya, yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer)
yang mengajukan pertanyaan pada yang diwawancarai (interviewee) yang
53

memberikan jawaban atas pertanyaan (Bungin, 2001: 108). Wawancara juga dapat
dilakukan secara tertutup dengan menggunakan instrumen kuesioner.

Nawawi (2001:111) menjelaskan bahwa wawancara adalah usaha


mengumpulkan informasi dengan mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan,
untuk dijawab secara lisan pula. Ciri utama dari wawancara adalah kontak langsung
dengan tatap muka (face to face relationship) antara si pencari informasi
(interviewer/information hunter) dengan sumber informasi (interviewee). Secara
sederhana wawancara diartikan sebagai alat pengumpul data dengan
mempergunakan tanya jawab antara pencari informasi dan sumber informasi. Materi
wawancara adalah tema yang ditanyakan kepada informan, berkisar antara masalah
dan tujuan penelitian.

3.3.2. Dokumentasi
Bungin (2010:121) mengatakan bahwa metode dokumenter adalah salah satu
metode pengumpulan data yang digunakan dalam metodologi penelitian sosial. Pada
intinya metode dokumenter adalah metode yang digunakan untuk menelusuri data
historis. Sekalipun demikian, sejumlah besar fakta dan data sosial tersimpan dalam
bahan yang berbentuk dokumentasi.

Bahan dokumen secara eksplisit berbeda dengan literatur, tetapi kemudian


perbedaan diantaranya hanya dapat dibedakan secara gradual. Literatur adalah
bahan-bahan yang diterbitkan, baik secara rutin maupun berkala. Sedangkan
dokumenter adalah informasi yang disimpan dan didokumentasikan sebagai bahan
dokumenter. Dokumenter terdiri dari beberapa macam yaitu : (1) otobiografi; (2)
surat-surat pribadi, buku-buku atau catatan harian, memorial; (3) kliping; (4)
dokumen pemerintah maupun swasta; (5) cerita roman dan cerita rakyat; (6) data di
server dan flashdisk; dan (7) data tersimpan di website, dan lain-lain (Bungin,
2010:122)

Huberman dan Matthew (1992:15-21) menegaskan bahwa dokumentasi yang


berupa tulisan ataupun film bagi peneliti dapat digunakan untuk diproses (melalui
pencatatan, pengetikan, atau alat tulis), tetapi kualitatif tetap menggunakan kata-
kata, yang biasanya disusun ke dalam teks yang diperluas.
54

3.3.3. Observasi
Observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia dengan
menggunakan pancaindra mata sebagai alat bantu utamanya selain pancaindra
lainnya seperti : telinga, penciuman, mulut, dan kulit. Oleh karena itu, observasi
adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil
kerja pancaindra mata serta dibantu dengan pancaindra lainnya. Dengan kata lain,
observasi merupakan metode atau teknik pengumpulan data yang digunakan untuk
menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan (Bungin,
2010:115)

Teknik observasi berguna untuk menjelaskan dan merinci gejala yang terjadi,
dimaksudkan sebagai pengumpulan data selektif sesuai dengan pandangan seorang
peneliti. Selain itu terdapat data yang tidak dapat ditanyakan kepada informan, ada
diantaranya yang membutuhkan pengamatan secara langsung peneliti. Beberapa item
yang perlu diobservasi yaitu lingkungan kerja informan secara langsung, penggunaan
media sosial dalam pekerjaan ataupun untuk mendukung kepentingan pribadi lainnya
seperti benda, peralatan, perlengkapan, termasuk letak dan penggunaannya, yang
terdapat di lokasi penelitian; para ASN lainnya, termasuk status, jenis kelamin, usia
dan sebagainya; kegiatan yang berlangsung, tindakan-tindakan, serta waktu
berlangsungnya peristiwa.

3.4. Teknik Analisis Data


Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif yang sifatnya induktif
(kesimpulan khusus menjadi umum), yaitu usaha untuk memperoleh kesimpulan
berdasarkan pemikiran yang alamiah dari berbagai jawaban yang diperoleh atau dengan kata
lain mencoba mendalami dan meneropong gejala sosial-politik dengan mengintepretasikan
masalah yang terkandung di dalamnya.

Kesimpulan atas intepretasi jawaban yang akan diambil dari analisis deskriptif ini
bersifat tentatif/tidak tentu, selalu diulang-ulang karena sewaktu-waktu kesimpulan yang ada
saat ini dikemudian hari dapat berubah. Intinya kesimpulan yang akan dibuat dari hasil
analisis data kualitatif dimaksudkan agar kita dapat memahami persepsi ASN terhadap enam
aktivitas ujaran kebencian yang berkategori hukuman disiplin.
55

Analisis kualitatif umumnya tidak digunakan sebagai alat mencari data dalam arti
frekuensi akan tetapi digunakan untuk menganalisis proses sosial yang berlangsung dan
makna dari fakta-fakta yang tampak dipermukaan itu. Dengan demikian, maka analisis
kualitatif digunakan untuk memahami sebuah proses dan fakta, bukan sekadar untuk
menjelaskan fakta tersebut.

Matthew dan Huberman (1992:20-22) Ada beberapa teknik analisis data yang dapat
dilakukan yaitu reduksi data (penyaringan/pemilahaan data), display data (penyajian data),
verifikasi data (pengujian keabsahan/kebenaran data). Reduksi data merupakan proses
pemilihan, pemusatan pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar”
dengan melakukan pemotongan (rangkum) data sehingga hanya hal-hal yang pokok saja
yang diambil. Display data yaitu menyajikan sekumpulan informasi yang memberi
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan, melihat gambaran
keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari hasil penelitian dengan membuat matrik atau
tabel. Tahap verifikasi yakni mencari hubungan, persamaan, dari data yang diperoleh baik
pada saat sebelum, selama maupun setelah pengumpulan data sehingga dapat dicapai suatu
kesimpulan. Kesimpulan tersebut harus dapat disepakati oleh peneliti dan subyek penelitian.

Pengumpulan Data

Penyajian Data

Reduksi Data

Kesimpulan- kesimpulan:
Penarikan/Verifikasi

Bagan 3. Teknik Analisis Data


56

3.5. Teknik Keabsahan Data


Penulis menggunakan triangulasi data dalam rangka melakukan pengecekan hasil data
penelitian. Triangulasi yang dimaksud lebih condong ke arah metode alam level mikro
seperti bagaimana melakukan kombinasi atas beberapa metode pengumpulan data dan
analisis data secara bersama-sama dalam suatu penelitian. Informan akan dijadikan sebagai
alat untuk menguji keabsahan dan menganalisis hasil penelitian. Pengujian bahan
dokumentasi juga digunakan untuk melakukan koreksi atas keabsahan informasi yag
diperoleh. Uji keabsahan melalui uji silang dengan informan lain akan menjadikan data
penelitian lebih akurat dimana perbandingan hasil wawancara dapat menemukan validitas
dari data yang diberikan.
BAB IV KESIMPULAN

Persepsi merupakan proses mengolah pengetahuan yang sebelumnya kita miliki untuk
merespon stimuli dari lingkungan sekitar yang ditangkap oleh panca indera kemudian
memberikan arti atau makna terhadap stimuli tersebut. Proses pembentukan persepsi setiap
individu melalui beberapa tahapan: pertama dimulai dari menerima rangsangan dari stimuli oleh
panca indera, kemudian menafsirkan untuk kemudian memperoleh arti atau makna, selanjutnya
setelah menerima arti atau makna dilakukan pengecekan informasi tersebut benar atau tidak, dan
proses terakhir adalah melihat reaksi terhadap informasi yang diterima atau dipahami tersebut,
apakah seseorang akan menentukan sikapnya sampai pada akhirnya prilaku.

Proses pembentukan persepsi pada individu dipengaruhi oleh berbagai faktor. Robbins
(2001: 89) mengatakan bahwa faktor-faktor yang berperan dalam membentuk persepsi seseorang
dapat berada pada pihak pelaku persepsi (perceiver), dalam obyeknya atau target yang
dipersepsikan, atau dalam konteks situasi dimana persepsi itu dilakukan. Penelitian ini
dimaksudkan untuk mengetahui persepsi pada individu yakni Aparatur Sipil Negara di BPS
Provinsi Sumatera Utaraterhadap stimuli berupa Rilis BKN Nomor: 006/RILIS/BKN/V/2018
tentang Enam Aktivitas Ujaran Kebencian Berkategori Pelanggaran Disiplin ASN. Penelitian ini
akan menghasilkan data terkait pemahaman ASN tentang rilis tersebut. Substansi pro dan kontra
yang tergambarkan dalam penelitian ini menjadi rekomendasi bagi BKN selaku instansi yang
berwenang mengatur hukuman disiplin tentang Aparatur Sipil Negara. Penelitian ilmiah terhadap
suatu fenomena (stimuli) yang dialami ASN dan menggambarkan persepsi ASN dan dampak dari
stimuli (rilis) tersebut akan memperkaya rekomendasi terhadap aturan hukuman disiplin tentang
aktivitas atau perbuatan yang belum diatur dalam ketentuan Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun
2010 tentang Hukuman Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

57
58

DAFTAR PUSTAKA

Anam, M. Choirul & Hafiz, Muhammad. (2015). “Surat Edaran Kapolri Tentang Penanganan
Ujaran Kebencian (Hate Speech) dalam Kerangka Hak Asasi Manusia”, Jurnal Keamanan
Nasional, Vol. 1, No. 3, hal. 341-364.
Allcott, H., Gentzkow, M. (2017). Social Media and FakeNews in the 2016 Election. Report
research. Diakses dari situs: https://web.stanford.edu/~gentzkow/research/fakenews.pdf,
tanggal 23 April 2017.
Andreas M Kaplan, & Michael Haenlein. (2010). Users of the World, Unite! The Challenges and
Opportunities of Social Media. Business Horizons, 53, hlm 59-68Boese, A. (2002).The
Museum of Hoaxes. Hardcover–November 11, 2002.
APJII. 2017. Laporan Survey APJII 2017,
https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/Laporan%20Survei%20APJII_2017_v1.3.pdf,
diakses agustus 2018
Arif Mahroza (2018) tentang Persepsi Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Mulawarman
Pada Vlog Presiden Joko Widodo.eJournal Ilmu Komunikasi, 2018 : 6 (3): 464-478
Arifin, Hadi Suprapto. Fuadu, Ikhasan. Kuswarno (2018) tentang Analisis Faktor Yang
Mempengaruhi Persepsi Mahasiswa Untirta Terhadap Keberadaan Perda Syariah di Kota
Semarang. Jurnal Penelitin Komunikasi dan Opini Publik Vol. 21 No. 1
Arend, Patrice S. (1997). Defamation In AnAge Of Political Correctness: Should A False Public
Statement That A Person Is Gay Be Defamatory?, 18 N. Ill. U. L.Rev. 99, Northern Illinois
University Law Review Fall 1997, Copyright 1997 Board Of Regents For Northern Illinois
University.
Atkinson, R.L., Atkinson, R.C., Hilgard, E.R. 1983. Introduction To Psychology. San Diego :
Harcourt Brace Jovanovich, Publishers.
Boyd, D. 2009. Sosial Media is here to say…now what?Redmond. Washington: Microsoft
Tech Fest. Retrieved from www. Danah. Org/paper/talks.MSTechFest2009.html. tanggal
23 September 2017.
Bungin, Burhan. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, dan
Kebijakan Publik serta Ilmu-ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Prenada Media Group.
Bungin, B. 2017. Politik Hiperreality dan Communicatioan Jammed. dalam buku Turn
BackHoax Tantangan Literasi Media Digital. Surabaya: Buku Litera dan Aspikom Korwil
Jawa Timur.
Guba, Egon G., and Lincoln, Yvonna S.1994. “Competing paradigms in Qualitative Research”.
In Denzin, Norman K., and Lincoln, Yvonna S., (Eds). Handbook of Qualitative Research.
California: Sage Publication.
Girenda Kumala Cahyaningtyas (2017) tentang Persepsi Masyarakat Terhadap Keterbukaan
Informasi Publik Di Kota Semarang, Studi Kasus: Masyarakat Pengguna Pusat Informasi
Publik (Pip) Tahun 2017. Journal of Politic and Government Studies, Volumen Vol 6, No 04
59

Harjeni (2016) tentang Persepsi Masyarakat Terhadap Eksistensi Pak Ogah.Jurnal Equilibrium
Pendidikan Sosiologi Volume III No. 2
Huberman, Michael dan Matthew, Miles. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press.
Johana, Devi Eka, dkk (2017) tentang Persepsi Sosial Pria Transgender Terhadap Pekerja Seks
Komersial.Jurnal Sains Psikologi, Jilid 6, Nomor 1, hlm 16-21
Kasim M.M, dkk (2017) tentang Persepsi Pegawai Negeri Sipil Terhadap Penerapan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (Studi Kasus Aparatur Sipil
Negara Di Kantor Kelurahan Temindung Permai Kecamatan Sungai Pinang Kota
Samarinda).
Linda Lambey, dkk (2017) tentang Analisis Persepsi dan Ekspektasi Mahasiswa atas Kualitas
Dosen Pembimbing Tesis di program Magister Akuntansi FEB Universitas Sam Ratulangi
Manado. Jurnal Riset Akuntansi dan Auditing “Good Will”, Vol. 8 No. 2
Moleong, Lexy J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung:Remaja Rosdakarya.
Nawawi , Hadari. 2001. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University.
Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor:21 Tahun 2010 Tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri
Sipil
R. Soesilo.1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia.
Rakhmat, Jalaluddin. 1998. Psikologi Agama. Bandung: Pustaka Hidayah.
Ratu Matahari (2012) tentang Studi Kualitatif Mengenai Persepsi Dan Perilaku Seksual Wanita
Pekerja Seks Komersial (Psk) Dalam Upaya Pencegahan Ims Di Kota Semarang Tahun
2012. Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 3, Desember 2012 : 113 – 123
Rilis BKN Nomor: 006/RILIS/BKN/V/2018 tentang Enam Aktivitas Ujaran Kebencian
Berkategori Pelanggaran Disiplin ASN.
Ryzki Fajar (2015). Persepsi Anak Terhadap Orangtua Yang Bekerja Penuh Waktu Di Luar
Rumah: Studi Kualitatif dengan Pendekatan Fenomenologis.Jurnal Empati, Volume 4(4),
197-201

Sanyoto, Yahnu Wiguno. 2006. Pemahaman Aparatur Pemerintah Kota Bandarlampung


Terhadap Prinsip-Prinsip Good Governance. Bandarlampung: Unila Press.
Sumadiria, AS Haris. 2005. Jurnalistik Indonesia, Menulis Berita dan Feature : Panduan Praktis
Jumalis Profesional. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Sutjipto (2018) tentang Pandangan Guru Dalam Pengembangan Kurikulum Pendidikan
Khusus.Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 3, Nomor 1
60

Undang-Undang Kitab Hukum Pidana No. 1 Tahun 1946


Undang Undang No 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU No 11 Tahun 2008 tentang ITE

Ulfa, Anita, dkk. (2018). Persepsi Masyarakat Surabaya Tentang Iklan“Manfaat Pajak” Di
Televisi, Jurnal Untag
Zerlina, Theresa, dkk. (2017). “Persepsi Pegawai Negeri Sipil Dan Calon Pegawai Negeri Sipil
Terhadap Kewajiban Penggunaan E-Filing”, e-Journal S1 Ak Universitas Pendidikan
Ganesha Jurusan Akuntansi Program S1, Volume: 8 No: 2

Internet :
“Hoaks Belum Mereda”, Republika, 8 Maret 2018, hal. 1.
“Politik Uang Redup, Hoaks Subur”, Media Indonesia, 10 Maret 2018, hal. 5.
“Cambridge Dictionary”, http://dictionary. cambridge.org/dictionary/english/ hoax#translations,
diakses 14 Desember 2018.
Hoaxes.org. 2018. What is hoax, http://hoaxes.org/Hoaxipedia/What_is_a_hoax, diakses 4
Desember 2018.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses pada 25 Desember 2018 pukul 11.37 WIB.
Oxford Dictionari. 2017. Hoax. Diakses dari situs
:https://en.oxforddictionaries.com/definition/hoax, diakses 4 Desember 2018.
UUD 1945 Perubahan,
https://portal.mahkamahkonstitusi.go.id/eLaw/mg58ufsc89hrsg/UUD_1945_Perubahan.pdf,
diakses 4 Desember 2018
http://www.merriamwebster.com, diakses 3 Desember 2018
https://id.wikipedia.org/wiki/Media_baru, diakses 4 Desember 2018.
Goldfine, E. (2011). Best Practice: The Use of SocialMedia Throughout Emergency dan
Disaster Relief. Diakses dari http://www.unapcict.org/ecohub/best-practices-the-use-of-
social-media-throughout-emergency-disaster-relief-1 tanggal 20 Mei 2017

Anda mungkin juga menyukai