Disusun Oleh :
1.Refnedy Arpandi
2. Syafira Khairani
3. Lukluk Nurbaiti
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2018
2
DAFTAR ISI
Daftar Isi................................................................................................................i
Abstrak………….....…………………………………………………………….ii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………….........1
1. Latar Belakang…………………………………………………….....1
2. Rumusan Masalah…………………………………………………....3
3. Tujuan……………………………………………………………......4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………...5
2.1 Model Konstruksi Realitas Media Massa.............................................5
2.2 Populisme.............................................................................................6
2.3 Speech Act............................................................................................8
BAB III METODE PENELITIAN……………………………………………....9
BAB IV PEMBAHASAN……………………………………………………....10
4.1 Hambatan dan Tantangan Perpolitikan Indonesia di Era
Disrupsi.....................................................................................................10
4.2 Diskursus ‘Emak-emak’ Sebagai Media Mobilisasi Massa................11
4.3 Self-Regulation Sebagai Mekanisme Kontrol Terhadap Media..........15
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...............................................................19
5.1 Kesimpulan..........................................................................................19
5.2 Saran....................................................................................................19
BAB VI REFERENSI...........................................................................................21
3
Populisme: Konstruksi Realitas Politik Elektoral di Era
Disrupsi dengan Mekanisme Self-Regulation
Abstrak
Refnedy Arpandi, Syafira Khairani, Lukluk Nurbaiti
Universitas Riau
4
5
BAB I
PENDAHULUAN
6
yang menuju pada arah modernitas di segala bidang, terutama sekali bidang arus
informasi dengan media internet.
Era ini identik dengan kemajuan dunia digital. Segala kegiatan manusia
dipermudah dengan digital, baik dalam kegiatan ekonomi, sosial, budaya,
Pendidikan bahkan politik. Dalam bidang komunikasi, masyarakat mulai melek
dan aktif menggunakan media sosial sebagai media komunikasi. Bahkan tidak
hanya komunikasi, media sosial juga digunakan sebagai sarana transaksi jual beli
(e-commerce) serta saling bertukar pendapat tentang fenomena yang sedang
terjadi. Hal ini disebut sebagai Era yang tadi kita sebut sebagai disrupsi.
7
Disrupsi tidak hanya berdampak pada bidang ekonomi, namun dalam
kehidupan politik juga ikut terkena dampak dari digitalisasi. Sebagaimana yang
diutarakan oleh ekonom Indonesia Rhenald Kasali, dalam era internet (internet of
things) , digitalisasi yang menggeser zaman penggunaan kertas menjadi digital
anyak hal yang akan berubah dan karenanya
jelas menimbulkan efek disrupted. B
dapat menggeser peran negara (Kasali, 2017). Politik sarat akan
fasilitator-fasilitator yang membantu menghantarkan tujuan politik kepada
khalayak umum. Pemimpin dan rakyat dapat berkomunikasi secara tidak
langsung lewat digital, yaitu media sosial. Semenjak politik berhubungan dengan
pengaturan kehidupan bersama, maka teknologi tidak lebih dari semacam
fasilitator penegakan institusi yang bersemayam di balik beroperasinya logika
pengetahuan, budaya, dan bahasa via produk jadi bernama peralatan teknologi.
Para tokoh-tokoh masyarakat juga mulai menggunakan media sosial, termasuk
tokoh politik terutama petinggi partai politik seperti Prabowo Subianto, Bambang
Yudhoyono, Fadli Zon, dan bahkan presiden Joko Widodo.
Hal ini menunjukkan jika media sosial saat ini menjadi salah satu media
komunikasi yang penting bagi pergerakan politik di Indonesia. Media sosial
merupakan aplikasi yang paling banyak digunakan oleh masyarakat dari berbagai
rentang usia dan kebanyakan adalah generasi muda. Generasi milenial mewarnai
penggunaan platform media sosial, sehingga pada akhirnya tidak hanya peta
ekonomi Indonesia, tetapi juga narasi sosio-kultural dan politik sudah mulai mulai
menjadi milik para milenial─anak muda 'merebut' panggung. Walau pada tataran
elit, golongan tua masih mendominasi. Benar halnya bahwa anak muda tergerak
untuk berjejaring dan memperkuat kolaborasi dan menambal-sulam kesadaran
melalui kegiatan kerelawanan. Tetapi, kita mengerti bahwa masih banyak anak
muda Indonesia yang belum melek teknologi, masih illiterate menyoal media,
serta masih gampang dimanipulasi sentimen-sentimen SARA, hoax, dan ujaran
kebencian hingga fenomena post-truth y ang semuanya seringkali ditemui atau
bahkan “digunakan” dalam kontestasi maupun konstelasi politik.Pun demikian,
hal ini tidaklah kemudian menciutkan semangat kita dalam berjalan beriringan
8
dengan era disrupsi itu sendiri, namun justru menjadi pelecut langkah kita untuk
bijak dalam memantapkan sikap di era disrupsi ini.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
10
Gambar 1. Kerangka Model Konstruksi Sosial Media Massa (Burhan, 2011)
11
sistem demokrasi. Dalam hal ini, salah satu cara dalam penyajian pendapat bisa
diekspresikan dengan berbagai cara dan berbagai sarana, baik itu media massa
maupun media sosial. Dalam praktik nya, kebebasan berekspresi yang ditunjukkan
melalui media terutama sekali media sosial, sering kali melampaui batas dari etika
dan moral baik dalam berupa hate speech, meme s indiran yang melewati batas,
pengungkapan suatu fakta yang tidak berdasar data fakta sesungguhnya hingga
menjadikannya hoax, d an bahkan fenomena post-truth. S
ehingga perlu kiranya
hal-hal ini dapat diatasi dengan mekanisme self-regulation yang memungkinkan
mekanisme dalam pengaturan diri yang berbasis nilai-nilai internal organisasi
media massa yang sangat spesifik. Sehingga media tadi dapat di konstruksi
realitas nya sehingga fungsi-fungsinya dapat berjalan tepat di dalam masyarakat.
2.2 Populisme
12
berpengaruh yang dinilai dapat memenuhi hak-hak mereka atau
memiliki pemahaman yang sama dengan mereka. Para populis
memberikan dukungan kepada tokoh tersebut untuk duduk di sebuah
bangku politik sebuah negara.
c. Momentum. Paham populisme dan gerakan populisme muncul pada
momentum yang tepat dan apabila mereka telah muncul maka gerakan
tersebut akan berjalan berkelanjutan.
Speech act atau tindak tutur merupakan salah satu kekuatan penting dalam
konstruksi realitas sosial karena dalam interaksi memerlukan bahasa dan
diskursus. Tindak tutur secara umum terdapat dalam komunikasi verbal dimana
mewakili bahasa dan diskursus sebagai salah satu kekuatan dalam konstruksi
realitas. Terdapat lima macam tindak tutur yang digunakan dalam mengkonstruksi
realitas, yaitu sebagai berikut.
13
a. Asertif, tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas
hal yang dikatakan nya.
b. Direktif, tuturan perintah yang dituturkan penutur agar pendengarnya
mempercayai bahwa mereka harus melakukan sesuatu sebagaimana
diungkap oleh penutur.
c. Komisif, tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan
segala hal yang disebutkan dalam ujarannya.
d. Ekspresif, tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar tuturannya
diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam tuturan itu.
e. Deklaratif, tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk
menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan penulis dalam paper ini adalah penelitian kualitatif
deduktif yang bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan tujuan
eksplorasi dan klarifikasi mengenai suatu fenomena atau kenyataan sosial dengan
jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang ditemukan dan berkenaan dengan
masalah dan unit yang terdiri. Paper ini kemudian dilanjutkan dengan meneliti
14
serta menelaah dan menjelaskannya dari faktor-faktor yang berhubungan dengan
fenomena yang sedang diteliti. Data yang dihimpun dalam paper ini menggunakan
data yang berupa narasi atau naratif. Metode kualitatif mengutamakan bahan atau
data yang sukar untuk diukur dengan angka-angka yang biasa digunakan dalam
dunia eksakta. Hal ini dikarenakan yang menjadi objek penelitian merupakan
ruang lingkup sosial yang luas atau masyarakat.
BAB IV
PEMBAHASAN
15
Disrupsi media komunikasi memberikan dampak yang cukup serius dalam
kehidupan masyarakat. Penyebaran berita semakin cepat didapatkan oleh
masyarakat. Tidak hanya melalui situs-situs berita saja, bahkan di media sosial
pun telah tersedia postingan-postingan tentang peristiwa-peristiwa yang sedang
terjadi. Hal ini tentunya memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk
mengakses informasi terkini, namun juga memunculkan dampak lainnya, yaitu
informasi palsu atau berita yang berisi fakta namun telah direkayasa demi suatu
kepentingan, disebut hoax (Komunikasi and Indonesia, 2017). Indonesia dengan
pengguna media sosial terbesar di Asia Tenggara(Lanskap, 2017) tidak
menjadikan hal-hal positif terus ada dalam masyarakat yang aktif dalam akun
enjadi masalah serius yang perlu
media sosial, akan tetapi penyebaran hoax m
ditangani. Pada masa-masa pemilu, hoaksyang berkaitan dengan para calon
pemimpin banyak tersebar dalam postingan-postingan atau cuitan-cuitan dalam
media sosial. Informasi yang tidak sepenuhnya benar tentu sama dengan fitnah,
dan akibatnya masyarakat yang menerima informasi secara mentah-mentah akan
mudah percaya dan menyebarkannya ke orang lain sehingga hoaks menjadi
tersebar secara luas dan sulit untuk menghentikannya.
Tokoh-tokoh politik dan pemerintah kerap menjadi sasaran hoaks. Pada
tahun 2014 ketika dua pasangan calon presiden bersaing untuk menjadi orang
nomor satu di Indonesia, banyak hal menarik terjadi, seperti penyebaran hoaks.
Berita hoaks yang ditujukan pada lawan politik memberikan dampak yang sangat
besar, yaitu menurunkan elektabilitas serta kepercayaan masyarakat terhadap
salah satu calon. Hal ini semakin parah ketika masa Pilkada Jakarta pada tahun
2017 (Kumparan, 2017). Kerugian tak hanya dirasakan oleh tokoh-tokoh politik
saja, namun juga masyarakat secara luas. Masyarakat dibuat bingung dengan
informasi yang ada serta menimbulkan perpecahan. Akan tetapi ada segelintir
orang yang memanfaatkan hal ini demi uang.
Facebook dan Twitter merupakan media sosial yang paling banyak
digunakan untuk menyebarkan hoaks. Kicauan paling banyak di retweet pada
tahun 2014 dengan posisi runner-up Golden Tweet d iberikan pada salah satu
16
kicauan dari Indonesia pasca Pilpres(Lanskap 2017). Sedangkan di tahun 2018,
tgar 2019GantiPresiden banyak digunakan oleh pengguna sosial media yang
tentunya merupakan kubu kontra dengan Pemerintah sekarang, yaitu Jokowi. Tak
hanya sebatas di media sosial, namun kaos ataupun merchandise d engan tulisan
#2019GantiPresiden telah banyak beredar di masyarakat.
17
bagi pasangan Anies-Sandi kala memuncaknya massa dalam sebuah gerakan besar
yang lazim dengan sebutan 212.
Wacana yang menyebutkan bahwa kemenangan Anies-Sandi merupakan
efek daripada munculnya politik populis pun kian banyak dijumpai. Anies dengan
jargon ‘masyarakat kebanyakan’ yang sering mencuat sebagai bentuk konstruksi
yang ia coba angkat hinggaSandi yang melengkapinya dengan status sebagai
pengusaha muda sukses yang berpengalaman, pintar, karismatik, dan hal baik
lainnnya yang melekat pada sosok kedua pasangan tersebut. Terbukti, stretegi
populis yang mereka jalankan membuahkan hasil pada pilkada 2017 tersebut.
Keberhasilan ini mungkin akan secara signifikan memengaruhi politik Indonesia
ke depan. Gerakan ini berpotensi untuk ditiru di daerah lain dan kemungkinan
besar juga akan dipraktikkan dalam pemilihan presiden 2019 mendatang.
18
Ketua Majelis Syuro PKS, Salim Segaf Aljufri. Kemudian ditindaklanjuti dengan
kunjungan GNPF ke kediaman UAS untuk membicarakan rekomendasi tersebut.
Dalam hal tesebut UAS menyatakan bahwa Salim Segaf lebih pantas menjadi
cawapres dibandingkan dirinya dan jika nanti Salim Segaf bersedia untuk menjadi
cawapres maka UAS akan mendukung dan ikut serta dalam usaha pemenangan
Prabowo-Salim.
Tak selang berapa lama, nama UAS menjadi mencuat dalam publik, baik
melalui media massa berupa koran, TV, maupun jejaring media sosial. Di Twitter
sendiri cuitan tentang UAS menjadi trending topic. Hal ini menunjukkan bahwa
popularitas UAS sebagai tokoh ulama dalam masyarakat cukup besar, banyak
masayarakat yang mendukung UAS untuk menjadi cawapres jika mengingat
bahwa penduduk Indonesia mayoritas Islam. Namun, hal ini masih belum ada
kepastian karena pihak UAS sendiri pada saat itu belum memberikan
tanggapannya.
Dalam kubu Prabowo sendiri, yaitu PKS dan PAN juga masih
mempertimbangkan apakah UAS akan diusung dalam daftar pasangan Prabowo di
Pilpres 2019 nanti (Rahadian, 2018). UAS sendiri sebenarnya merupakan
alternatif yang dapat digunakan sebagai pasangan yang melengkapi Prabowo.
Sebelumnya dari Demokrat telah mengusung Agus Harimurti Yudhoyono sebagai
perwakilan untuk menjadi pasangan Prabowo dalam Pilpres 2019. Namun, PKS
dan PAN menilai bahwa AHY tidak cocok untuk Prabowo karena latar belakang
keduanya sama-sama militer. Sehingga akan lebih saling melengkapi jika
Prabowo bersama UAS.
Walaupun hal mengenai UAS akan digandeng oleh Prabowo masih
sekedar wacana ataupun harapan, namun faktanya dampak yang diberikan cukup
mengesankan. Di twitter cuitan dukungan untuk UAS pun menjadi trending.
Selain itu, memunculkan dukungan-dukungan dari masyarakat meskipun UAS
faktanya adalah seorang ulama, dan bukanlah seseorang dengan background
ataupun pengalaman dalam dunia perpolitikan. Masyarakat percaya bahwa tidak
melulu elit parpol ataupun tokoh-tokoh yang telah bepengalaman dengan politik
19
saja yang dapat memimpin negara Indonesia, akan tetapi seorang ulama pun bisa
mengemban amanah itu terlebih Indonesia merupakan negara dengan mayoritas
penduduk Islam.
Dengan popularitas yang dimiliki UAS dalam berdakwah melalui media
komunikasi ataupun media sosial seperti Youtube, Twitter, Instagram, dan
Facebook akan menguntungkan bagi kubu Prabowo dalam memobilisasi suara
untuk Prabowo dari kalangan pemuda.
20
Gambar 3. Sejumlah Caption Instagram Sandiaga Uno yang Sarat akan
‘Emak-Emak’
21
sebagaimana dipaparkan pada Gambar 2. Sandiaga Uno juga menyampaikan
dalam caption-n ya tentang masyarakat, terkhususnya “Ibu Rumah Tangga yang
Terlupakan” sebagaimana yang dipaparkan pada Gambar 3.
Media massa dan media sosial telah membawa kesimpulan akan sebuah
konstruksi kebangkitan ‘Populisme’. Keberlanjutan populisme oleh Sandiaga Uno
terus berjalan dengan merealisasikan janji kampanye agar masuk pada kebijakan
presiden bilamana terpilih. Kendati pun hanya memberikan harapan berupa janji
kampanye kepada ‘partai emak-emak’, namun Sandiaga Uno tetap gencar
meyakinkan untuk realisasi kampanye melalui media sosial dan media massa.
22
aktor yang terlibat dalam proses besarproduksi media, (Wahyuni, 2007). Dengan
adanya mekanisme ini, politik media yang diangankan bukan lagi sebuah
keniscayaan.
Mulai dari Somad effect h ingga diskursus emak-emak ala Sandiaga Uno
merupakan salah satu cara mem-framing d iri yang dilakukan baik oleh diri sendiri
maupun oleh partai politik, yang merupakan salah satu cara dalam berpolitik
dengan media. Somad effect merupakan narasi yang dibangun guna memenangkan
politik elektoral dengan tokoh populis, yang dalam hal ini UAS sebagai tokoh
islam menjadikannya sebagai populisme kanan yang berbasi fundamental agama
(Islam). Sedangkan Sandiaga Uno lebih mem-framing d iri sebagai tokoh politik
yang sangat lekat dengan kaum ibu yang dinarasikan sedang resah akan
permasalahan ekonomi.
Kedua cara di atas pada hakikatnya sah-sah saja. Namun hal yang
ditakutkan dari cara-cara dalam memenangkan politik elektoral seperti di atas
yakni dengan terjadinya fenomena post-truth d i tengah masyarakat. Post-truth erat
kaitannya dengan populisme; strategi keberpihakan terhadap rakyat kecil dalam
politik. Kemenangan Trump dengan Republican yang sedikit banyak mencoreng
wajah demokrasi (Trum merupakan sosok pemimpin yang rasis), peristiwa Brexit,
hingga Pilkada DKI 2017. Kesemua itu berhasil dalam politik elektoral maupun
melalui referendum berkat isu populisme. Post-truth s endiri merupakan suatu
keadaan yang menunjukkan di mana fakta objektif kurang berpengaruh dalam
membentuk opini publik bila dibandingkan dengan emosi dan keyakinan pribadi.
23
Era post-truth dapat disebut sebagai pergeseran sosial spesifik yang melibatkan
media arus utama dan para pembuat opini (dapat juga melalui media sosial dan
sering kali ditemukan). Fakta-fakta bersaing dengan hoax dan kebohongan untuk
dipercaya publik. Media mainstream yang dulu dianggap salah satu sumber
kebenaran harus menerima kenyataan semakin meniipisnya pembatas antara
kebenaran dengan kebohongan, kejujuran dengan penipuan, dan antara fiksi
dengan nonfiksi (Sulistyo, 2017).
Narasi politik yang dibangun dengan populisme sering kali berujung pada
post-truth. J ika isu agama dan ekonomi dijadikan sebagai peluru post-truth,
sehingga potensi disharmoni di Indonesia akan semakin meningkat, dan juga
fenomena post-truth menimbulkan gejolak anomali tingkah laku para politisi yang
populis. Selain rawan akan praktik-praktik bisnis yang membuat media menjadi
tendensi dan pemberitaan tidak berimbang, di era disrupsi justru fenomena
post-truth l ebih membahayakan lagi bagi kehidupan masyarakat, karenanya
(post-truth) banyak dampak negative yang menjadi efek kelanjutannya seperti
hate speech, hoax, meme s indiran yang melewati batas dan sebagainya.
Solusi yang bisa diambil dalam perspektif politik media adalah para
pengambil kebijakan media diharapkan akan menata dan menawarkan sebuah
sistem media yang mampu mengeliminir pelanggaran-pelanggaran semacam itu
dengan membentuk struktur media yang mengurangi dampak negatif
praktek-praktek komersialisasi ataupun konsentrasi media. Dalam praktek
bermedia pada beberapa masyarakat, dilema etika media banyak diselesaikan
melalui hukum formal (regulasi yang bersifat statutory). Sedangkan dalam
masyarakat lainnya problem ini diupayakanmelalui penyelesaian voluntary self
regulation, yang mempercayai bahwa serangkaian prinsip statutory, kekuasaan,
ataupun penalty terlalu mahal harganya jika dibandingkan dengan kebebasan
berekspresi.
Hal yang sama juga dapat diberlakukan pada media sosial. Platform s osial
seperti Facebook, Twitter, Instagram dan lainnya harus diregulasikan sedemikian
24
mungkin agar para pengguna media sosial tidak menggunakan media sosial demi
kepentingan negatif masih sering ditemukan. Pendekatan secara statutory yakni
dengan memberlakukan UU ITE masih belum dapat menjawab tantangan yang
dihadapi pemerintah dalam mengatur kebijakan mengenai pemanfaatan media.
Sehingga dampak buruk dari populisme yang berujung pada fenomena post-truth
dapat lebih diminimalisir.
BAB V
KESIMPULAN & SARAN
5.1 Kesimpulan
Teknologi yang semakin hari semakin maju dan terus berinovasi
memberikan banyak dampak dalam kehidupan masyarakat. Terutama
perkembangan teknologi komunikasi, yaitu dengan adanya media komunikasi
yang sering disebut media sosial. Fenomena ini disebut sebagai Disrupsi.
Disrupsi tidak hanya berpengaruh dalam aspek ekonomi, namun juga
berdampak pada aspek politik. Media sosial yang merupakan salah satu produk
25
disrupsi menjadi sarana dan strategi yang dipakai oleh elit politik untuk
mewujudkan kepentingannya. Selain itu, media sosial juga memberikan dampak
dalam partisipasi politik masyarakat.
Populisme muncul sebagai efek dari disrupsi media sosial. Tokoh-tokoh
yang awalnya hanya dikenal oleh beberapa orang saja, secara instan menjadi
pembicaraan masyarakat luas sebagai dampak dari sesuatu yang ia lakukan. Hal
ini juga berlaku dalam kehidupan politik. Meskipun bukan berasal dari anggota
parpol tertentu atau elit politik namun ketika seseorang telah memiliki popularitas
dalam media sosial maka besar kemungkinan baginya untuk terjun dalam politik.
Dan di tahun 2019 nanti akan menjadi kesempatana yang baik bagi kaum populis
untuk unjuk gigi. Namun, semua itu tentunya ada dampak positif dan negatifnya.
Disrupsi media sosial, populis, dan politik jika dikelola dengan baik maka akan
mengasilkan manfaat yang sangat besar. Akan tetapi jika tidak dikelola dengan
baik maka tentunya akan menjadi mata pisau yang pada akhirnya memberikan
ancaman yang serius bagi masyarakat.
5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan penulis adalah adanya suatu kebijakan atau
peraturan yang lebih menekan, mengawasi secara ketat dari pemerintah maupun
para pembuat kebijakan agar nantinya di tahun 2019 ketika pilpres akan
dilaksanakan tidak ada fenomena black campaign ataupun post-truth yang
digunakan untuk mempengaruhi masyarakat melalui media sosial. Pemerintah
dapat membuat suatu sistem media yang mengawasi jalannya kampanye, ataupun
postingan-postingan yang berkenaan dengan pemilu tahun 2019 nanti.
Hal ini juga sangat dianjurkan bagi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Dengan adanya suatu sistem media maka akan mengontrol pergerakan-pergerakan
masyarakat yang dapat menimbulkan permasalahan atau kekacauan di media
sosial. Dan juga dengan didukung oleh suatu aturan atau kebijakan yang tegas
serata menekan berkenaan dengan pelanggaran dalam dunia media sosial akan
26
membuat pengguna media sosial akan berhati-hati dalam memposting dan
mneyebarkan sesuatu.
27
BAB VI
REFERENSI
Buku
Andriadi, F. (2017). Partisipasi Politik Virtual. Jakarta: RMBOOKS.
Jurnal
APJII. 2017. “Penetrasi & Perilaku Pengguna Internet Indonesia 2017.” Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia: 1–39.
Media, Regulasi, Jalan Monjali, and Sleman Yogyakarta. 2015. “Regulasi Media
Di Indonesia (Kajian Pada Keterbukaan Informasi Publik Dan Penyiaran)
Media Regulation in Indonesia (Studies on Public Information and
Broadcasting).” I(2): 92–104.
Website
28
Kumparan. (2017). Jejak Hoaks di Indonesia yang meningkat sejak pilpres 2014.
kumparan news. Dilihat 10 September 2018
https://kumparan.com/@kumparannews/jejak-hoax-di-indonesia-yang-me
ningkat-sejak-pilpres-2014
Sulistyo, E. (2017, November 28). Medsos dan Fenomena ”Post-Truth”. Daily, p.
Sindonews.com.
Prastowo Ragawi. 12 Juli 2017. Populis Gaya Baru: Tren Populis di Pilkada
Jakarta (2017).
https://www.kompasiana.com/agapras/5965a544201ebd1c3b0c44e2/populis-gaya-
baru-tren-populis-di-pilkada-jakarta-2017?page=all
Dimas Jarot Bayu. 22 Agustus 2018. Manuver Sandiaga Uno Curi Perhatian
Emak-emak.
https://amp.katadata.co.id/berita/2018/08/22/manuver-sandiaga-uno-curi-perhatian
-emak-emak
https://instagram.com/sandiuno?utm_source=ig_profile_share&igshid=1tze2896w
xpar
29