Anda di halaman 1dari 29

Populisme: Konstruksi Realitas Politik Elektoral di

Era Disrupsi dengan Mekanisme ​Self-Regulation

Disusun Oleh :
1.Refnedy Arpandi
2. Syafira Khairani
3. Lukluk Nurbaiti

UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2018
2
DAFTAR ISI
Daftar Isi................................................................................................................i
Abstrak………….....…………………………………………………………….ii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………….........1
1. Latar Belakang…………………………………………………….....1
2. Rumusan Masalah…………………………………………………....3
3. Tujuan……………………………………………………………......4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………...5
2.1 Model Konstruksi Realitas Media Massa.............................................5
2.2 Populisme.............................................................................................6
2.3 ​Speech Act​............................................................................................8
BAB III METODE PENELITIAN……………………………………………....9
BAB IV PEMBAHASAN……………………………………………………....10
4.1 Hambatan dan Tantangan Perpolitikan Indonesia di Era
Disrupsi.....................................................................................................10
4.2 Diskursus ‘Emak-emak’ Sebagai Media Mobilisasi Massa................11
4.3 ​Self-Regulation​ Sebagai Mekanisme Kontrol Terhadap Media..........15
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...............................................................19
5.1 Kesimpulan..........................................................................................19
5.2 Saran....................................................................................................19
BAB VI REFERENSI...........................................................................................21

3
Populisme: Konstruksi Realitas Politik Elektoral di Era
Disrupsi dengan Mekanisme ​Self-Regulation

Abstrak
Refnedy Arpandi, Syafira Khairani, Lukluk Nurbaiti
Universitas Riau

Paper ini bertujuan untuk memaparkan pemanfaatan media hasil kemajuan


teknologi di era disrupsi, khususnya pemanfaatan media dalam politik elektoral di
Indonesia pada 2019 mendatang. Dalam hal ini, tokoh populis tak pelak menjadi
pionir utama dalam memobilisasi massa dengan pemasaran digital. Populisme
dijadikan sebagai salah satu strategi dalam memenangi politik elektoral. Era
disrupsi semakin memungkinkan populisme untuk terus berkelanjutan efeknya
dan juga semakin jamak digunakan oleh aktor-aktor politik sebagai sebuah
strategi, baik untuk mendulang suara, maupun simpati khalayak umum yang
termarjinalkan. Era disrupsi memang menjadi tantangan bagi politik elektoral di
satu sisi, namun di satu sisi lainnya juga dapat menjadi sarana atau media yang
dapat mendukung strategi dalam perpolitikan, terutama dalam politik elektoral.
Dalam prakteknya, penggunaan media sebagai sarana penyaluran
informasi ke public kerap kali menimbulkan polemik di tengah masyarakat
dikarenakan penggunaannya yang kurang bijak. Hal ini dikarenakan kurangnya
literasi media (illiterate), yaitu masih mudahnya termakan manipulasi
sentimen-sentimen SARA, berita ​hoax​, dan ujaran kebencian hingga fenomena
post-truth​. Namun semua hal tersebut dapat dikonstruksikan dengan mekanisme
self-regulation yang memungkinkan untuk dapat menurunkan akibat-akibat buruk
dari era disrupsi, yang terutama sekali dalam politik elektoral. Sebagai diskursus
politik, populisme pada hakikatnya sah-sah saja untuk digunakan dalam
berpolitik, namun harus dibarengi dengan wacana yang jelas dan merupakan
kebutuhan akan rakyat secara umum dan bukannya hanya digunakan sebagai
strategi dalam memenangi politik elektoral semata yang memang sangat
membutuhkan suara massa. Sehingga aspirasi khalayak umum benar-benar
termanifestasi ke dalam sebuah kebijakan dan aspirasi khalayak umum tidak
terbajak oleh kepentingan. ​Self-regulation pun dapat dijadikan mekanisme
kebijakan yang bias dijalankan oleh pemerintah maupun masyarakat yang
memungkinkan mekanisme dalam pengaturan diri yang berbasis nilai-nilai
internal organisasi penggunan media yang sangat spesifik.

Kata kunci: Populisme, disrupsi, politik elektoral

4
5
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Era disrupsi merupakan sebuah keniscayaan. Sesuatu yang fundamental


sedang bergeser atau suatu perubahan sedang terjadi di tengah masyarakat, dan
perubahan hal yang mendasar tersebut adalah teknologi. Disrupsi sangat erat
kaitannya dengan teknologi dikarenakan lanskap yang menerima dampaknya
hampir di segala bidang seperti ekonomi, sosial, budaya, bahkan juga politik.
Teknologi berevolusi sedemikian rupa sehingga memaksa masyarakat merubah
pola kehidupannya agar menjadikan kebutuhan akan teknologi menjadi sesuatu
yang primer.

Fenomena yang diidentifikasi secara sepintas sebagai ketergantungan


secara elektronik atau komputasi ini telah membawa sebuah kesadaran tentang
internasionalisme. Internasionalisme merupakan pemahaman global yang
terbentuk melalui perkembangan media elektronik pada zaman sekarang.
Pemahaman global tersebut berusaha membentuk kerangka dunia yang tidak
mengenal batasan dan saling tergabung dalam sebuah komunitas tunggal atau
global. Dalam perwujudannya tidak terjadi begitu saja,melainkan melalui proses
panjang dan ajeg atau berkelanjutan yang lebih dikenal luas dengan istilah
globalisasi. Pada perkembangannya, globalisasi telah membawa dunia kepada
revolusi-revolusi pada setiap fragmennya hingga pada revolusi 4.0 yang kita
rasakan sebagaimana pada saat sekarang ini.

Dewasa ini disrupsi semakin menjadikan arus penyaluran informasi


semakin mudah dan cepat. Aksesibilitas akan internet dan perangkat pendukung
semakin memudahkan masyarakat dalam memperoleh informasi. Era disrupsi
memungkinkan pertumbuhan dan kepemilikan akan ​device ​atau perangkat
teknologi, layanan jaringan internet yang sudah sangat maju, dan didukung pula
dengan munculnya berbagai ​start up y​ ang semakin mendukung arus globalisasi

6
yang menuju pada arah modernitas di segala bidang, terutama sekali bidang arus
informasi dengan media internet.

Era ini identik dengan kemajuan dunia digital. Segala kegiatan manusia
dipermudah dengan digital, baik dalam kegiatan ekonomi, sosial, budaya,
Pendidikan bahkan politik. Dalam bidang komunikasi, masyarakat mulai melek
dan aktif menggunakan media sosial sebagai media komunikasi. Bahkan tidak
hanya komunikasi, media sosial juga digunakan sebagai sarana transaksi jual beli
(​e-commerce​) serta saling bertukar pendapat tentang fenomena yang sedang
terjadi. Hal ini disebut sebagai Era yang tadi kita sebut sebagai disrupsi.

Sebagai negara yang memiliki banyak perkembangan industri, Indonesia


merupakan negara yang juga akan menerapkan Revolusi Industri 4.0. Didukung
pula oleh masyarakat Indonesia yang sudah banyak menggunakan internet.
Menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, pengguna internet di
Indonesia tiap tahun meningkat (APJII 2017). Hal ini menandakan bahwa telah
banyak masyarakat yang melek dengan teknologi digital jika mengingat digital
sangat berkaitan dengan internet.

Di era serba digital ini menimbulkan beberapa dampak, baik dampak


positif maupun negatif. Dibandingkan dampak positif yang dapat diambil, dampak
negatif justru lebih banyak didapatkan oleh masyarakat. Smartphone atau gadget
yang terus dikembangkan dengan inovasi-inovasi canggih membuat masyarakat
banyak menggunakan smartphone. Maka sudah dipastikan banyak yang
mempunyai media sosial sebagai media komunikasi juga meng-update
berita-berita hangat yang sedang terjadi. Namun terlepas dari kemudahan
berkomunikasi dan mengakses berita, di media sosial juga terdapat hal-hal negatif,
seperti berita hoax, fenomena ​post-truth,​ saling caci dalam sebuah postingan,
banyaknya ujaran kebencian atau ​hate speech,​ meme sindiran atau ​satire,​ bahkan
adu domba. Masyarakat yang baru menggunakan media sosial seakan-akan ‘latah’
dengan ikut-ikutan menyebarkan postingan yang belum dikonfirmasi
kebenarannya.

7
Disrupsi tidak hanya berdampak pada bidang ekonomi, namun dalam
kehidupan politik juga ikut terkena dampak dari digitalisasi. Sebagaimana yang
diutarakan oleh ekonom Indonesia Rhenald Kasali, dalam era internet (​internet of
things)​ , digitalisasi yang menggeser zaman penggunaan kertas menjadi digital
​ anyak hal yang akan berubah dan karenanya
jelas menimbulkan efek ​disrupted. B
dapat menggeser peran negara (Kasali, 2017). Politik sarat akan
fasilitator-fasilitator yang membantu menghantarkan tujuan politik kepada
khalayak umum. Pemimpin dan rakyat dapat berkomunikasi secara tidak
langsung lewat digital, yaitu media sosial. Semenjak politik berhubungan dengan
pengaturan kehidupan bersama, maka teknologi tidak lebih dari semacam
fasilitator penegakan institusi yang bersemayam di balik beroperasinya logika
pengetahuan, budaya, dan bahasa via produk jadi bernama peralatan teknologi.
Para tokoh-tokoh masyarakat juga mulai menggunakan media sosial, termasuk
tokoh politik terutama petinggi partai politik seperti Prabowo Subianto, Bambang
Yudhoyono, Fadli Zon, dan bahkan presiden Joko Widodo.
Hal ini menunjukkan jika media sosial saat ini menjadi salah satu media
komunikasi yang penting bagi pergerakan politik di Indonesia. Media sosial
merupakan aplikasi yang paling banyak digunakan oleh masyarakat dari berbagai
rentang usia dan kebanyakan adalah generasi muda. Generasi milenial mewarnai
penggunaan ​platform media sosial, sehingga pada akhirnya tidak hanya peta
ekonomi Indonesia, tetapi juga narasi sosio-kultural dan politik sudah mulai mulai
menjadi milik para milenial─anak muda 'merebut' panggung. Walau pada tataran
elit, golongan tua masih mendominasi. Benar halnya bahwa anak muda tergerak
untuk berjejaring dan memperkuat kolaborasi dan menambal-sulam kesadaran
melalui kegiatan kerelawanan. Tetapi, kita mengerti bahwa masih banyak anak
muda Indonesia yang belum melek teknologi, masih ​illiterate menyoal media,
serta masih gampang dimanipulasi sentimen-sentimen SARA, ​hoax,​ dan ujaran
kebencian hingga fenomena ​post-truth y​ ang semuanya seringkali ditemui atau
bahkan “digunakan” dalam kontestasi maupun konstelasi politik.Pun demikian,
hal ini tidaklah kemudian menciutkan semangat kita dalam berjalan beriringan

8
dengan era disrupsi itu sendiri, namun justru menjadi pelecut langkah kita untuk
bijak dalam memantapkan sikap di era disrupsi ini.

1.2 Rumusan Masalah


Dengan gambaran latar belakang diatas, maka terdapat beberapa rumusan
masalah yang dapat dibentuk, yakni:
1. Bagaimanakah tantangan dari era disrupsi dalam politik elektoral?
2. Bagaimanakah perkembangan dan peran populisme dalam masyarakat?
3. Bagaimanakah strategi tokoh populis dengan populisme nya
memanfaatkan teknologi dalam politik elektoral?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan penulisan dari paper ilmiah ini adalah:
1. Paper ini menjelaskan secara umum gambaran mengenai dinamika politik
elektoral Indonesia di era disrupsi
2. Untuk memahami situasi politik elektoral yang sedang terjadi di era
disrupsi serta respon dan tindakan terhadap situasi yang sedang
berlangsung tersebut.
3. Untuk memahami bagaimana media massa mengkonstruksi realitas yang
terjadi dalam kehidupan sosial serta pengaruhnya dalam pengambilan
keputusan aktor politik.

9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Model Konstruksi Realitas Media Massa


Pada zaman digital dimana terjadi perkembangan teknologi komunikasi
dan informasi yang berbasis elektronik, maka hal ini juga berpengaruh dalam
konstruksi realitas sosial yang lebih banyak dipengaruhi oleh media massa. Teori
dan pendekatan konstruksi realitas sosial perlu melihat variabel dan fenomena
media massa menjadi suatu hal yang substansial dalam proses eksternalisasi
(penyebaran konstruksi media massa), objektivasi (pembentukan konstruksi), dan
internalisasi (perilaku keputusan konsumen media massa).
Teori dan pendekatan konstruksi realitas media massa dijelaskan oleh Peter
L. Berger dan Thomas Luckman dapat dilihat pada ​Gambar 1​ di bawah ini :

10
Gambar 1​. Kerangka Model Konstruksi Sosial Media Massa (Burhan, 2011)

Konstruksi realitas yang dibangun berdasarkan konstruksi sosial media


massa seperti sebuah analogi kejadian yang seharusnya terjadi, bersifat rasional,
dan dramatis. Realitas terkonstruksi itu begitu dahsyat karena pemberitaan itu
lebih cepat diterima masyarakat luas, lebih luas jangkauan pemberitaannya,
sebaran merata karena media massa dapat ditangkap oleh masyarakat luas secara
merata dan di mana-mana, membentuk opini massa karena merangsang rakyat
untuk beropini atas kejadian tersebut , massa cenderung terkonstruksi karena
masyarakat mudah terkonstruksi dengan pemberitaan-pemberitaan yang sensitif,
bahkan opini massa cenderung apriori sehingga mudah menyalahkan berbagai
pihak yang bertanggung jawab, serta opini massa cenderung sinis (Burhan, 2011).
Dewasa ini, perkembangan demokrasi yang massif di dunia secara umum
dan Indonesia secara khusus memungkinkan hak-hak kebebasan seperti kebebasan
dalam menyampaikan pendapat dijadikan sebuah indikator capaian keberhasilan

11
sistem demokrasi. Dalam hal ini, salah satu cara dalam penyajian pendapat bisa
diekspresikan dengan berbagai cara dan berbagai sarana, baik itu media massa
maupun media sosial. Dalam praktik nya, kebebasan berekspresi yang ditunjukkan
melalui media terutama sekali media sosial, sering kali melampaui batas dari etika
dan moral baik dalam berupa ​hate speech,​ ​meme s​ indiran yang melewati batas,
pengungkapan suatu fakta yang tidak berdasar data fakta sesungguhnya hingga
menjadikannya ​hoax, d​ an bahkan fenomena ​post-truth. S
​ ehingga perlu kiranya
hal-hal ini dapat diatasi dengan mekanisme ​self-regulation ​yang memungkinkan
mekanisme dalam pengaturan diri yang berbasis nilai-nilai internal organisasi
media massa yang sangat spesifik. Sehingga media tadi dapat di konstruksi
realitas nya sehingga fungsi-fungsinya dapat berjalan tepat di dalam masyarakat.

2.2 Populisme

Populisme (​populism​) secara sederhana bisa diartikan sebagai filsafat politik


yang berpihak pada hak-hak dan kepentingan orang banyak, alih-alih berpihak
pada elit dan pemerintah. Namun demikian, populisme juga cenderung berpikiran
tertutup dan anti-keberagaman. Populisme merupakan refleksi dari sistem
demokrasi yang kurang stabil dimana rakyat banyak (mayoritas) sebagai
pemegang kedaulatan terbanyak merasa dimarjinalkan dalam mengutarakan
hak-hak mereka. Politik memerlukan dukungan rakyat, dan adalah hampir-hampir
tidak mungkin untuk menjalankan politik yang bertentangan dengan seluruh
emosi setempat (Ward, 1983). Tuntutan atas hak dengan alasan kepentingan orang
banyak seringkali mengabaikan hak lainnya yang secara demografis sebagai
minoritas di negara tersebut.
Era digital membawa kepada sebuah gaya baru dalam populisme. Adapun
ciri-ciri dari populisme gaya baru tersebut adalah.
a. Create ideas​. Membawa ide berupa narasi dimana mayoritas merasa
dimarjinalkan dan orang yang memiliki paham populisme (populis)
berlindung dari narasi tersebut.
b. Create Personality​. Terdapat orang yang diorangkan dalam gerakan
populisme tersebut dimana dapat berupa tokoh politik dan ekonomi

12
berpengaruh yang dinilai dapat memenuhi hak-hak mereka atau
memiliki pemahaman yang sama dengan mereka. Para populis
memberikan dukungan kepada tokoh tersebut untuk duduk di sebuah
bangku politik sebuah negara.
c. Momentum. Paham populisme dan gerakan populisme muncul pada
momentum yang tepat dan apabila mereka telah muncul maka gerakan
tersebut akan berjalan berkelanjutan.

Dalam manifestasinya yang paling sederhana, ledakan populis tergambarkan


melalui semakin terkaitnya kehendak umum dengan kebijakan atau rencana
kebijakan. Popularitas pejabat publik dan politisi pun berhubungan erat dengan
kemampuan untuk menjawab pandangan umum yang diaspirasikan; sering kali
aspirasi yang dimaksudkan telah ter ​blow up ​atau viral.​ Para kandidat kontestasi
politik pun dapat meraup sukses secara elektoral ketika mampu memberi jalan
keluar maupun mengemukakan ide atau gagasan atas persoalan-persoalan yang
membelenggu para pemilih dan komunitas-komunitas warga. Warga dengan
aspirasi mayoritas tentunya.

Populisme sering kali digunakan sebagai Teknik ​marketing dalam dunia


politik. ​Branding y​ ang didapat dari hasil mencitrakan diri sebagai tokoh yang
populis sangat mampu mendongkrak suara jika dikaitkan dalam politik elektoral
yang dapat ditemui dalam banyak kasus seperti populisme yang dibangun oleh
Donald Trump, Erdogan, dan bahkan Sandiaga Uno.

2.3 ​Speech Act

Speech act atau tindak tutur merupakan salah satu kekuatan penting dalam
konstruksi realitas sosial karena dalam interaksi memerlukan bahasa dan
diskursus. Tindak tutur secara umum terdapat dalam komunikasi verbal dimana
mewakili bahasa dan diskursus sebagai salah satu kekuatan dalam konstruksi
realitas. Terdapat lima macam tindak tutur yang digunakan dalam mengkonstruksi
realitas, yaitu sebagai berikut.

13
a. Asertif, tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas
hal yang dikatakan nya.
b. Direktif, tuturan perintah yang dituturkan penutur agar pendengarnya
mempercayai bahwa mereka harus melakukan sesuatu sebagaimana
diungkap oleh penutur.
c. Komisif, tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan
segala hal yang disebutkan dalam ujarannya.
d. Ekspresif, tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar tuturannya
diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam tuturan itu.
e. Deklaratif, tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk
menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru

BAB III
METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan penulis dalam paper ini adalah penelitian kualitatif
deduktif yang bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan tujuan
eksplorasi dan klarifikasi mengenai suatu fenomena atau kenyataan sosial dengan
jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang ditemukan dan berkenaan dengan
masalah dan unit yang terdiri. Paper ini kemudian dilanjutkan dengan meneliti

14
serta menelaah dan menjelaskannya dari faktor-faktor yang berhubungan dengan
fenomena yang sedang diteliti. Data yang dihimpun dalam paper ini menggunakan
data yang berupa narasi atau naratif. Metode kualitatif mengutamakan bahan atau
data yang sukar untuk diukur dengan angka-angka yang biasa digunakan dalam
dunia eksakta. Hal ini dikarenakan yang menjadi objek penelitian merupakan
ruang lingkup sosial yang luas atau masyarakat.

Dalam paper ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data dan


metode analisis data sebagai berikut:

3.1 Metode pengumpulan data

Penulis dengan paper ini menggunakan teknik pengumpulan data sekunder


dengan metode kepustakaan (​library research​), dengan penggunaan data-data
pendukung yang dikumpulkan dan merujuk pada beberapa buku, artikel, jurnal
ilmiah yang relevan, dan berbagai media yang berkaitan dengan paper ini.
Penggunaan ​source of data ​merupakan cara yang mudah bagi penulis dalam
menemukan data-data untuk dikumpulkan.

3.2 Metode analisis data

Paper ini menggunakan metode kualitatif baik secara penulisan maupun


analisis data yang digunakan. Metode kualitatif memungkinkan paper untuk
dianalisis secara deskriptif dengan menggambarkan fenomena yang ada, yang
berlangsung saat ini atau saat yang lampau. Penelitian ini tidak mengadakan
manipulasi atau pengubahan pada variabel-variabel bebas, tetapi menggambarkan
suatu kondisi apa adanya atau riil.

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1Hambatan dan Tantangan Perpolitikan Indonesia di Era Disrupsi

15
Disrupsi media komunikasi memberikan dampak yang cukup serius dalam
kehidupan masyarakat. Penyebaran berita semakin cepat didapatkan oleh
masyarakat. Tidak hanya melalui situs-situs berita saja, bahkan di media sosial
pun telah tersedia postingan-postingan tentang peristiwa-peristiwa yang sedang
terjadi. Hal ini tentunya memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk
mengakses informasi terkini, namun juga memunculkan dampak lainnya, yaitu
informasi palsu atau berita yang berisi fakta namun telah direkayasa demi suatu
kepentingan, disebut ​hoax ​(Komunikasi and Indonesia, 2017)​. Indonesia dengan
pengguna media sosial terbesar di Asia Tenggara(Lanskap, 2017) tidak
menjadikan hal-hal positif terus ada dalam masyarakat yang aktif dalam akun
​ enjadi masalah serius yang perlu
media sosial, akan tetapi penyebaran ​hoax m
ditangani. Pada masa-masa pemilu, hoaksyang berkaitan dengan para calon
pemimpin banyak tersebar dalam postingan-postingan atau cuitan-cuitan dalam
media sosial. Informasi yang tidak sepenuhnya benar tentu sama dengan fitnah,
dan akibatnya masyarakat yang menerima informasi secara mentah-mentah akan
mudah percaya dan menyebarkannya ke orang lain sehingga hoaks menjadi
tersebar secara luas dan sulit untuk menghentikannya.
Tokoh-tokoh politik dan pemerintah kerap menjadi sasaran hoaks​. Pada
tahun 2014 ketika dua pasangan calon presiden bersaing untuk menjadi orang
nomor satu di Indonesia, banyak hal menarik terjadi, seperti penyebaran hoaks.
Berita hoaks yang ditujukan pada lawan politik memberikan dampak yang sangat
besar, yaitu menurunkan elektabilitas serta kepercayaan masyarakat terhadap
salah satu calon. Hal ini semakin parah ketika masa Pilkada Jakarta pada tahun
2017 (Kumparan, 2017). Kerugian tak hanya dirasakan oleh tokoh-tokoh politik
saja, namun juga masyarakat secara luas. Masyarakat dibuat bingung dengan
informasi yang ada serta menimbulkan perpecahan. Akan tetapi ada segelintir
orang yang memanfaatkan hal ini demi uang.
Facebook dan Twitter merupakan media sosial yang paling banyak
digunakan untuk menyebarkan hoaks. Kicauan paling banyak di retweet pada
tahun 2014 dengan posisi ​runner-up Golden Tweet d​ iberikan pada salah satu

16
kicauan dari Indonesia pasca Pilpres(Lanskap 2017). Sedangkan di tahun 2018,
tgar 2019GantiPresiden banyak digunakan oleh pengguna sosial media yang
tentunya merupakan kubu kontra dengan Pemerintah sekarang, yaitu Jokowi. Tak
hanya sebatas di media sosial, namun kaos ataupun ​merchandise d​ engan tulisan
#2019GantiPresiden telah banyak beredar di masyarakat.

4.2 Diskursus ‘Emak-Emak’ sebagai Media Mobilisasi Massa

A. Kemunculan Politik Populis Memanfaatkan Era Disrupsi


Pasca kemenangan Donald Trump dalam pemilihan umum presiden
Amerika Serikat yang diadakan pada hari Selasa, 8 November 2016 telah menjadi
isu global yang penting dimana istilah ‘populisme’ mulai merambah pada
pemberitaan di media massa. Istilah tersebut berasal dari beberapa pernyataan
Trump dalam pidato kemenangannya yang acap kali mengundang kontroversial
namun cukup nasionalis. Pun hingga detik ini, populis tengah merayakan berbagai
kemenangan politik secara praktis diberbagai belahan dunia. Populisme dijadikan
sebagai strategi politik untuk memperoleh kekuatan massa dalam mendukung
politik elektoral. Saat ini gejolak populisme telah merambah hingga kepada
dunia-dunia ketiga, termasuk Indonesia.
Seperti di banyak negara, Indonesia juga mengalami pasang naik
populisme. Pemilihan gubernur DKI Jakarta disinyalir menjadi awal dari sebuah
keberhasilan politik dari gerakan populis ini. Pilkada DKI Jakarta 2017 telah
memperlihatkan perubahan yang cukup signifikan dalam perpolitikan nasional
dan dapat dengan singkat pula kita cap sebagai pilkada paling emosional dan
meletihkan sepanjang sejarah perpolitikan Indonesia. Terpilihnya Anies-Sandi
sebagai gubernur dan wakil guubernur tak hanya memunculkan aktor-aktor baru
dengan kekuatan politik baru, namun juga mengindikasikan perubahan yang
mendasar dalam opini masyarakat Indonesia hingga membawa dampak sosial dan
politik yang berkepanjangan. Suatu pemanfaatan momentum yang cukup baik

17
bagi pasangan Anies-Sandi kala memuncaknya massa dalam sebuah gerakan besar
yang lazim dengan sebutan 212.
Wacana yang menyebutkan bahwa kemenangan Anies-Sandi merupakan
efek daripada munculnya politik populis pun kian banyak dijumpai. Anies dengan
jargon ‘masyarakat kebanyakan’ yang sering mencuat sebagai bentuk konstruksi
yang ia coba angkat hinggaSandi yang melengkapinya dengan status sebagai
pengusaha muda sukses yang berpengalaman, pintar, karismatik, dan hal baik
lainnnya yang melekat pada sosok kedua pasangan tersebut. Terbukti, stretegi
populis yang mereka jalankan membuahkan hasil pada pilkada 2017 tersebut.
Keberhasilan ini mungkin akan secara signifikan memengaruhi politik Indonesia
ke depan. Gerakan ini berpotensi untuk ditiru di daerah lain dan kemungkinan
besar juga akan dipraktikkan dalam pemilihan presiden 2019 mendatang.

B. Menilik Somad ​Effect


Pada dasarnya ada tokoh yang jauh lebih menarik untuk dibedah
perjalanannya sebagai seorang tokoh populis. Tokoh tersebut menjadi populis
bukan melalui sebuah konstruksi atau menjadikan diri sendiri sebagai tokoh
​ aupun ​create personality)​ ,
populis dengan populisme gaya baru (​creat ideas m
yakni Ustad Abdul Somad atau kerap dipanggil sebagai UAS. Kemunculan UAS
sebagai tokoh populis sendiri dikarenakan sebuah ​momentum.​ Sebagai seorang
tokoh populis, UAS tidak pernah membangun narasi atau ide dimana mayoritas
merasa termarjinalkan (​create ideas)​ , maupun mencitrakan diri sebagai tokoh
berpengaruh yang dinilai dapat memenuhi hak-hak atau kesamaan pemahaman
yang sama denganmereka. Para populis memberikan dukungan kepada tokoh
tersebut untuk duduk di sebuah bangku politik sebuah negara. UAS menjadi
populis lebih karena momen memungkinkan seorang tokoh agama untuk
mengambil bagian dalam politik elektoral.

Pada awal Agustus 2018 silam, Gerakan Nasional Pengawal Fatwa


(GNPF) Ulama mengumumkan hasil ijtimak ulama yang merekomendasikan
Ustadz Abdul Somad (UAS) sebagai Cawapres bagi Prabowo Subianto selain

18
Ketua Majelis Syuro PKS, Salim Segaf Aljufri. Kemudian ditindaklanjuti dengan
kunjungan GNPF ke kediaman UAS untuk membicarakan rekomendasi tersebut.
Dalam hal tesebut UAS menyatakan bahwa Salim Segaf lebih pantas menjadi
cawapres dibandingkan dirinya dan jika nanti Salim Segaf bersedia untuk menjadi
cawapres maka UAS akan mendukung dan ikut serta dalam usaha pemenangan
Prabowo-Salim.
Tak selang berapa lama, nama UAS menjadi mencuat dalam publik, baik
melalui media massa berupa koran, TV, maupun jejaring media sosial. Di Twitter
sendiri cuitan tentang UAS menjadi ​trending topic.​ Hal ini menunjukkan bahwa
popularitas UAS sebagai tokoh ulama dalam masyarakat cukup besar, banyak
masayarakat yang mendukung UAS untuk menjadi cawapres jika mengingat
bahwa penduduk Indonesia mayoritas Islam. Namun, hal ini masih belum ada
kepastian karena pihak UAS sendiri pada saat itu belum memberikan
tanggapannya.
Dalam kubu Prabowo sendiri, yaitu PKS dan PAN juga masih
mempertimbangkan apakah UAS akan diusung dalam daftar pasangan Prabowo di
Pilpres 2019 nanti (Rahadian, 2018). UAS sendiri sebenarnya merupakan
alternatif yang dapat digunakan sebagai pasangan yang melengkapi Prabowo.
Sebelumnya dari Demokrat telah mengusung Agus Harimurti Yudhoyono sebagai
perwakilan untuk menjadi pasangan Prabowo dalam Pilpres 2019. Namun, PKS
dan PAN menilai bahwa AHY tidak cocok untuk Prabowo karena latar belakang
keduanya sama-sama militer. Sehingga akan lebih saling melengkapi jika
Prabowo bersama UAS.
Walaupun hal mengenai UAS akan digandeng oleh Prabowo masih
sekedar wacana ataupun harapan, namun faktanya dampak yang diberikan cukup
mengesankan. Di twitter cuitan dukungan untuk UAS pun menjadi trending.
Selain itu, memunculkan dukungan-dukungan dari masyarakat meskipun UAS
faktanya adalah seorang ulama, dan bukanlah seseorang dengan background
ataupun pengalaman dalam dunia perpolitikan. Masyarakat percaya bahwa tidak
melulu elit parpol ataupun tokoh-tokoh yang telah bepengalaman dengan politik

19
saja yang dapat memimpin negara Indonesia, akan tetapi seorang ulama pun bisa
mengemban amanah itu terlebih Indonesia merupakan negara dengan mayoritas
penduduk Islam.
Dengan popularitas yang dimiliki UAS dalam berdakwah melalui media
komunikasi ataupun media sosial seperti Youtube, Twitter, Instagram, dan
Facebook akan menguntungkan bagi kubu Prabowo dalam memobilisasi suara
untuk Prabowo dari kalangan pemuda.

C. Konstruksi Populisme oleh Sandiaga Uno dalam Media Massa


Setelah menjalankan kewajiban sebagai wakil gubernur DKI Jakarta
selama kurun waktu setengah tahun, kini nama Sandiaga Uno tengah mencuat
kembali sebagai calon pasangan Prabowo Subianto dalam pilpres 2019. Nama
Sandiaga Uno sebagai calon wakil presiden mendatang saat ini menjadi
perbincangan publik dikalangan anak muda dan orang tua. Namun belakangan ini,
namanya lebih banyak menjadi perbincangan orangtua terutamadi kalangan
ibu-ibu setelah banyaknya media yang memberitakan profil Sandiaga Uno sebagai
sosok yang mengayomi masyarakat.

20
Gambar 3. ​Sejumlah ​Caption ​Instagram Sandiaga Uno yang Sarat akan
‘Emak-Emak’

Pada beberapa kutipan ​caption ​instagram tersebut, Sandiaga Uno


mengisyaratkan adanya suara ‘emak-emak’ yang tak didengar dan terlupakan.
Kutipan ​caption tersebut membawa pesan kampanye populis.Media massa
banyak memberitakan demikian dengan kesan populis pada setiap judul berita

21
sebagaimana dipaparkan pada ​Gambar 2.​ Sandiaga Uno juga menyampaikan
dalam ​caption-n​ ya tentang masyarakat, terkhususnya “Ibu Rumah Tangga yang
Terlupakan” sebagaimana yang dipaparkan pada ​Gambar 3.

Media massa dan media sosial telah membawa kesimpulan akan sebuah
konstruksi kebangkitan ‘Populisme’. Keberlanjutan populisme oleh Sandiaga Uno
terus berjalan dengan merealisasikan janji kampanye agar masuk pada kebijakan
presiden bilamana terpilih. Kendati pun hanya memberikan harapan berupa janji
kampanye kepada ‘partai emak-emak’, namun Sandiaga Uno tetap gencar
meyakinkan untuk realisasi kampanye melalui media sosial dan media massa.

4.3 Self-Regulation​ Sebagai Mekanisme Kontrol Terhadap Media

Reformasi menjadi penanda berakhirnya rezim orde baru. Karenanya,


demokrasi secara penuh pun dapat dijalankan di indonesia. Perubahan tersebut
merupakan perubahan sistem sosial yang sangat besar. Perubahan tersebut
berpengaruh pada sistem media sebagai sub sistem yang lebihkecil. Perubahan
orientasi politik indonesia mempengaruhi secaradirektifterhadap sistem media
massa yang dipilih (Wahyuni, 2007). Permasalahan timbul saat
perubahanorientasi sistem politik sangat drastis sehingga warna perubahan
mengubahsecara mendasar sendi-sendi sistempolitik dankeseluruhansub-sistemdi
dalamnya.Jika pada awalnya negara (pemerintah) sangat berperan,maka dalam
setting demokrasi aktor non-state atau non-government akanmasuk dan
mengambil alih peran negara/pemerintah, yang dalam kasus Indonesia dimulai
dengan runtuhnya rezim orde baru.

Sistem politik era reformasi yang dapatmempraktekkan proses demokrasi


secara penuh memungkinkan mekanisme​self regulation menjadi sebuah solusi
ideal khususnya pada kebanyakankelompok pro demokrasi.. Konsep
self-regulation memiliki beberapa hambatanyang mendasar dalam realisasinya
dikarenakan adanya semangat pembebasanyang sangat kental (​freedom​),
self-regulation juga membutuhkan kematanganprofesionalitas dari masing-masing

22
aktor yang terlibat dalam proses besarproduksi media, (Wahyuni, 2007). Dengan
adanya mekanisme ini, politik media yang diangankan bukan lagi sebuah
keniscayaan.

Politik media pada hakikatnya merupakan gambaran umum mengenai


demokrasi yang didukung oleh teknologi informasi berkat era disrupsi. Politik
media dapat berupa kepentingan elit politik yang terkait dengan media maupun
upaya dalam perwujudan kebebasan dalam informasi serta penyampaian gagasan
atau ide mengenai politik. Terutama sekali pada dewasa ini, kebebasan dalam
informasi dan penyampaian aspirasi menjadi cara berpolitik gaya baru baik oleh
aktor politik maupun warga negara.

Mulai dari Somad ​effect h​ ingga diskursus emak-emak ala Sandiaga Uno
merupakan salah satu cara mem-​framing d​ iri yang dilakukan baik oleh diri sendiri
maupun oleh partai politik, yang merupakan salah satu cara dalam berpolitik
dengan media. Somad ​effect ​merupakan narasi yang dibangun guna memenangkan
politik elektoral dengan tokoh populis, yang dalam hal ini UAS sebagai tokoh
islam menjadikannya sebagai populisme kanan yang berbasi fundamental agama
(Islam). Sedangkan Sandiaga Uno lebih mem-​framing d​ iri sebagai tokoh politik
yang sangat lekat dengan kaum ibu yang dinarasikan sedang resah akan
permasalahan ekonomi.

Kedua cara di atas pada hakikatnya sah-sah saja. Namun hal yang
ditakutkan dari cara-cara dalam memenangkan politik elektoral seperti di atas
yakni dengan terjadinya fenomena ​post-truth d​ i tengah masyarakat. ​Post-truth ​erat
kaitannya dengan populisme; strategi keberpihakan terhadap rakyat kecil dalam
politik. Kemenangan Trump dengan Republican yang sedikit banyak mencoreng
wajah demokrasi (Trum merupakan sosok pemimpin yang rasis), peristiwa ​Brexit,
hingga Pilkada DKI 2017. Kesemua itu berhasil dalam politik elektoral maupun
melalui referendum berkat isu populisme. ​Post-truth s​ endiri merupakan suatu
keadaan yang menunjukkan di mana fakta objektif kurang berpengaruh dalam
membentuk opini publik bila dibandingkan dengan emosi dan keyakinan pribadi.

23
Era post-truth dapat disebut sebagai pergeseran sosial spesifik yang melibatkan
media arus utama dan para pembuat opini (dapat juga melalui media sosial dan
sering kali ditemukan). Fakta-fakta bersaing dengan hoax dan kebohongan untuk
dipercaya publik. Media main​stream yang dulu dianggap salah satu sumber
kebenaran harus menerima kenyataan semakin meniipisnya pembatas antara
kebenaran dengan kebohongan, kejujuran dengan penipuan, dan antara fiksi
dengan nonfiksi (Sulistyo, 2017).

Narasi politik yang dibangun dengan populisme sering kali berujung pada
post-truth. J​ ika isu agama dan ekonomi dijadikan sebagai peluru ​post-truth,​
sehingga potensi disharmoni di Indonesia akan semakin meningkat, dan juga
fenomena post-truth menimbulkan gejolak anomali tingkah laku para politisi yang
populis. Selain rawan akan praktik-praktik bisnis yang membuat media menjadi
tendensi dan pemberitaan tidak berimbang, di era disrupsi justru fenomena
post-truth l​ ebih membahayakan lagi bagi kehidupan masyarakat, karenanya
(​post-truth​) banyak dampak negative yang menjadi efek kelanjutannya seperti
hate speech​, ​hoax,​ ​meme s​ indiran yang melewati batas dan sebagainya.

Solusi yang bisa diambil dalam perspektif politik media adalah para
pengambil kebijakan media diharapkan akan menata dan menawarkan sebuah
sistem media yang mampu mengeliminir pelanggaran-pelanggaran semacam itu
dengan membentuk struktur media yang mengurangi dampak negatif
praktek-praktek komersialisasi ataupun konsentrasi media. Dalam praktek
bermedia pada beberapa masyarakat, dilema etika media banyak diselesaikan
melalui hukum formal (regulasi yang bersifat ​statutory​). Sedangkan dalam
masyarakat lainnya problem ini diupayakanmelalui penyelesaian ​voluntary self
regulation,​ yang mempercayai bahwa serangkaian prinsip ​statutory,​ kekuasaan,
ataupun ​penalty terlalu mahal harganya jika dibandingkan dengan kebebasan
berekspresi.

Hal yang sama juga dapat diberlakukan pada media sosial. ​Platform s​ osial
seperti Facebook, Twitter, Instagram dan lainnya harus diregulasikan sedemikian

24
mungkin agar para pengguna media sosial tidak menggunakan media sosial demi
kepentingan negatif masih sering ditemukan. Pendekatan secara ​statutory ​yakni
dengan memberlakukan UU ITE masih belum dapat menjawab tantangan yang
dihadapi pemerintah dalam mengatur kebijakan mengenai pemanfaatan media.
Sehingga dampak buruk dari populisme yang berujung pada fenomena ​post-truth
dapat lebih diminimalisir.

BAB V
KESIMPULAN & SARAN

5.1 Kesimpulan
Teknologi yang semakin hari semakin maju dan terus berinovasi
memberikan banyak dampak dalam kehidupan masyarakat. Terutama
perkembangan teknologi komunikasi, yaitu dengan adanya media komunikasi
yang sering disebut media sosial. Fenomena ini disebut sebagai Disrupsi.
Disrupsi tidak hanya berpengaruh dalam aspek ekonomi, namun juga
berdampak pada aspek politik. Media sosial yang merupakan salah satu produk

25
disrupsi menjadi sarana dan strategi yang dipakai oleh elit politik untuk
mewujudkan kepentingannya. Selain itu, media sosial juga memberikan dampak
dalam partisipasi politik masyarakat.
Populisme muncul sebagai efek dari disrupsi media sosial. Tokoh-tokoh
yang awalnya hanya dikenal oleh beberapa orang saja, secara instan menjadi
pembicaraan masyarakat luas sebagai dampak dari sesuatu yang ia lakukan. Hal
ini juga berlaku dalam kehidupan politik. Meskipun bukan berasal dari anggota
parpol tertentu atau elit politik namun ketika seseorang telah memiliki popularitas
dalam media sosial maka besar kemungkinan baginya untuk terjun dalam politik.
Dan di tahun 2019 nanti akan menjadi kesempatana yang baik bagi kaum populis
untuk unjuk gigi. Namun, semua itu tentunya ada dampak positif dan negatifnya.
Disrupsi media sosial, populis, dan politik jika dikelola dengan baik maka akan
mengasilkan manfaat yang sangat besar. Akan tetapi jika tidak dikelola dengan
baik maka tentunya akan menjadi mata pisau yang pada akhirnya memberikan
ancaman yang serius bagi masyarakat.

5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan penulis adalah adanya suatu kebijakan atau
peraturan yang lebih menekan, mengawasi secara ketat dari pemerintah maupun
para pembuat kebijakan agar nantinya di tahun 2019 ketika pilpres akan
dilaksanakan tidak ada fenomena ​black campaign ataupun post-truth yang
digunakan untuk mempengaruhi masyarakat melalui media sosial. Pemerintah
dapat membuat suatu sistem media yang mengawasi jalannya kampanye, ataupun
postingan-postingan yang berkenaan dengan pemilu tahun 2019 nanti.
Hal ini juga sangat dianjurkan bagi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Dengan adanya suatu sistem media maka akan mengontrol pergerakan-pergerakan
masyarakat yang dapat menimbulkan permasalahan atau kekacauan di media
sosial. Dan juga dengan didukung oleh suatu aturan atau kebijakan yang tegas
serata menekan berkenaan dengan pelanggaran dalam dunia media sosial akan

26
membuat pengguna media sosial akan berhati-hati dalam memposting dan
mneyebarkan sesuatu.

27
BAB VI
REFERENSI

Buku
Andriadi, F. (2017). ​Partisipasi Politik Virtual.​ Jakarta: RMBOOKS.

Burhan, B. (2011). ​Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh Media


Massa, Iklan Televisi, dan Keputusan Konsumen serta Kritik Terhadap
Peter L. Berger & Thomas Luckman.​ Jakarta: Kencana.
Kasali, R. (2017). ​Disruption.​ Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Rahadian, L. (2018). Untung Rugi Prabowo Pilih Somad Sebagai Cawapres di
Pilpres 2019. p. https://tirto.id.
Wahyuni, H. I. (2007, Juni). Politik Media dalam Transisi Politik:. ​Jurnal Ilmu
Komunikasi, 4​(1).
Ward, B. (1983). ​Lima Pokok Pikiran yang Mengubah Dunia.​ Jakarta: PT Dunia
Pustaka Jaya.

Jurnal
APJII. 2017. “Penetrasi & Perilaku Pengguna Internet Indonesia 2017.” ​Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia:​ 1–39.

Komunikasi, Departemen Ilmu, and Universitas Indonesia. 2017. “Etika Media Di


Era ‘Post-Truth.’” V(April): 75–79.

Lanskap, Memahami. 2017. “D I B ALIK F ENOMENA BUZZER :”

Media, Regulasi, Jalan Monjali, and Sleman Yogyakarta. 2015. “Regulasi Media
Di Indonesia (Kajian Pada Keterbukaan Informasi Publik Dan Penyiaran)
Media Regulation in Indonesia (Studies on Public Information and
Broadcasting).” I(2): 92–104.

UU RI 19, 2016. 2016. “UU RI NO 19 Tahun 2016 Perubahan Atas UU No 11


Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.”

Website

28
Kumparan. (2017). ​Jejak Hoaks di Indonesia yang meningkat sejak pilpres 2014.
kumparan news. Dilihat 10 September 2018
https://kumparan.com/@kumparannews/jejak-hoax-di-indonesia-yang-me
ningkat-sejak-pilpres-2014
Sulistyo, E. (2017, November 28). ​Medsos dan Fenomena ”Post-Truth”.​ ​Daily​, p.
Sindonews.com.
Prastowo Ragawi. 12 Juli 2017. ​Populis Gaya Baru: Tren Populis di Pilkada
Jakarta (2017).
https://www.kompasiana.com/agapras/5965a544201ebd1c3b0c44e2/populis-gaya-
baru-tren-populis-di-pilkada-jakarta-2017?page=all

Muhammad R. P. 23 Agustus 2018. Kumpulkan ​Pengusaha, Sandiaga Bahas


Nasib Emak-emak di 2019.
https://m.liputan6.com/amp/3626168/kumpulkan-pengusaha-sandiaga-bahas-nasib
-emak-emak-di-2019

Dimas Jarot Bayu. 22 Agustus 2018. ​Manuver Sandiaga Uno Curi Perhatian
Emak-emak.
https://amp.katadata.co.id/berita/2018/08/22/manuver-sandiaga-uno-curi-perhatian
-emak-emak

Tribun. 23 Agustus 2018. ​Prabowo Subianto-Sandiaga Uno Rangkul ‘Partai


Emak-emak’, Teddy Gusnadi: Ide Aneh.​
http://m.tribunnews.com/amp/pilpres-2019/2018/08/23/prabowo-subianto-sandiag
a-uno-rangkul-partai-emak-emak-teddy-gusnadi-ide-aneh

https://instagram.com/sandiuno?utm_source=ig_profile_share&igshid=1tze2896w
xpar

29

Anda mungkin juga menyukai