PENDAHULUAN
1. Asset berwujud.
2. Asset tidak berwujud.
1. Ijarah berlanjut.
2. Multi jasa.
BAB II
PEMBAHASAN
Perlakuan akuntansi terhadap ijarah, apabila LKS sebagai pemilik objek ijarah berkaitan
dengan perolehan asset ijarah, penerimaan asset ijarah, penyusutan sewa ijarah dan perbaikan
asset ijarah.
Alur transaksi ijarah dan IMBT yaitu; pertama, nasabah mengajukann permohonan ijarah
dengan mengisi formulir permohonan. Berbagai informasi yang diberikan selanjutnya
diverifikasi kebenarannya dan analisis kelayakannya oleh bank syariah. Bagi nasabah yang
dianggap layak, selanjutnya diadakan perikatan dalam bentuk penandatanganan kontrak ijarah
atau IMBT. Kedua, sebagaimana difatwakan oleh DSN, bank selanjutnya menyediakan objek
sewa yang akan digunakan oleh kepada nasabah. Bank dapat mewakilkan kepada nasabah untuk
mencarikan barang atau jasa yang akan disewa nasabah untuk selanjutnya dibeli atau dibayar
oleh bank syariah. Ketiga, nasabah menggunakan barang atau jasa yang disewakan sebagaimana
yang telah disepakati dalam kontrak. Selama penggunaan objek sewa, nasabah menjaga dan
menanggung biaya pemeliharaan barang yang disewa sesuai kesepakatan. Sekiranya terjadi
kerusakan bukan karena kesalahan penyewa, maka bank syariah sebagai pemberi sewa akan
menanggung biaya perbaikannya. Keempat, nasabah penyewa membayar fee sewa kepada bank
syariah sesuai dengan kesepakatan akad sewa. Kelima, pada transaksi IMBT, setelah masa ijarah
selesai, bank sebagai pemilik barang dapat melakukan pengalihan hak milik kepada penyewa.([8])
Selanjutnya, agar transaksi berbasis ijarah tersebut menjadi sah (valid), diperlukan pula
sejumlah ketentuan tambahan.
1. Adanya kerelaan kedua belah pihak yang melakukan akad sebagaimana Firman Allah SWT pada
Surat An-Nisa ayat 29.
2. Mengetahui secara sempurrna manfaat dari barang yang menjadi objek akad, antara lain untuk
mencegah terjadinya perselisihan.
3. Barang atau asset yang menjadi objek akad dapat dimanfaatkan sesuai dengan kriteria, realita
dan syara.
4. Asset tersebut sudah jelas, nyata, dan dimiliki penerbit sukuk sehingga dapat disewakan untuk
diambil manfaatnya.
5. Sewa-menyewa yang dilakukan bukan untuk sesuatu yang diharamkan.
Sukuk ijarah dapat diperjualbelikan di pasar modal dengan harga yang ditentukan oleh
kekuatan pasar. Kegiatan ekonomi, investasi, dan resiko yang berhubungan dengan kesanggupan
penyewa untuk membayar harga sewa sera biaya penjaminan dan pemeliharaan asset
menentukan harga sukuk ijarah di pasar keuangan. Namun demikian, sukuk ijarah menawarkan
suatu bentuk surat berharga yang fleksible dan marketable dibandingkan jenis sukuk lainnya.([9])
Gambar Skema Transfer Manfaat Asset
Perusahaan dalam menerbitkan sukuk ijarah, menetapkan asset yang akan diijarahkan,
kemudian:
1. Perusahaan menjual manfaat asset kepada investor. Atas transaksi ini, perusahaan
memperoleh pembayaran lumpsum dari investor.
2. Investor memperoleh sertifikat sukukkijarah, dimana investor melakukan akan
ijarah, yang memosisikan perusahaan menjadi lease ddan investor menjadi leaser.
3. Selanjutnya, investor dan perusahaan menandatangani akad wakalah, yang berisi
bahwa investor memberikan kuasa kepada perusahaan atas manfaat asset
underlying ijarah.
4. Kuasa tersebut, digunakan oleh perusahaan untuk mencari end customer yang
bermaksud untuk menyewa asset underlying ijarah. Hal ini dilakukan karena
perusahaan memiliki pengetahuan yang lebih baik dibandingkan investor terhadap
industrinya. Setelah menemukan end customer, perusahaan mentransfer manfaat
asset underlying ijarah. Dalam tahap ini seakan-akan peranan perusahaan adalah
sebagai lessor mewakili investor dan end customer adalah sebagai lease.
5. End customer berkewajiban membayar penggunaan asset underlying ijarah.
Pembayaran ini merupakan sumber kupon ijarah yang akan dibayarkan
perusahaan selaku lease kepada investor selaku lessor.([10])
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Definisi akad Ijarah adalah suatu akad atas manfaat yang dimaksud dan tertentu yang bisa
diberikan dan dibolehkan dengan imbalan tertentu. Para fuqaha sepakat bahwa ijarah merupakan
akad yang diperbolehkan oleh syara’, kecuali beberapa ulama, seperti Abu Bakar Al-Asham,
Isma’il bin ‘Aliyah, Hasan Al-Bashri, Al-Qasyani, Nahrawani, dan Ibnu Kisan. Mereka tidak
memperbolehkan Ijarah, karena ijarah adalah jual beli manfaat, sedangkan manfaat pada saat
dilakukan akad, tidak bisa diserahterimakan. Rukun ijarah ada 4 yaitu: ‘Aqid ( orang yang akad),
Shigat akad, Ujrah (upah), Manfaat.
Syarat ijarah terdiri dari empat macam , sebagaimana syarat dalam jual beli , yaitu syarat Al-
inqad ( terjadinya akad), syarat an-nafadz ( syarat pelaksanaan akad), syarat sah, dan syarat lazim
Al Ijarah Al Muntahiya bit Tamlik (financial leasing with purchase option) atau Akad sewa
menyewa yang berakhir dengan kepemilikan. Definisinya : Istilah ini tersusun dari dua kata : At-
ta’jiir / al-ijaaroh (sewa), At-tamliik (kepemilikan).
B. Saran
Dalam pelaksanaan ijarah harus ada akadnya. Antara pemberi sewa dan menyewa harus
mengikuti perjanjiannya satu sama lain dan orang yang menyewa barang harus bertanggung
jawab atas barang yang ia sewa. Kegiatan ijarah harus memenuhi rukun dan syarat yang telah
ditentukan.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
Veithzal Rivai, Islamic Financial Management, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm. 176.
[2]
Djoko Mulyono, Perbankan dan Lembaga Keuangan Syariah, ANDI, Yogyakarta, 2015, hlm. 279-282.
[3]
Veithzal Rivai, Islamic Financial Management, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm. 177-178.
[4]
Djoko Mulyono, Perbankan dan Lembaga Keuangan Syariah, ANDI, Yogyakarta, 2015, hlm. 288.
[5]
Djoko Mulyono, Perbankan dan Lembaga Keuangan Syariah, ANDI, Yogyakarta, 2015, hlm. 290-295.
[6]
Veithzal Rivai, Islamic Financial Management, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm. 179.
[7]
Djoko Mulyono, Perbankan dan Lembaga Keuangan Syariah, ANDI, Yogyakarta, 2015, hlm. 282-283.
[8]
Yaya Rizal, Akuntansi Perbankan Syariah Teori dan Praktik Kontemporer, Salemba Empat, Jakarta, 2009, hlm. 289-290.
[9]
Djoko Mulyono, Perbankan dan Lembaga Keuangan Syariah, ANDI, Yogyakarta, 2015, hlm. 307-308.
[10]
Djoko Mulyono, Perbankan dan Lembaga Keuangan Syariah, ANDI, Yogyakarta, 2015, hlm. 309-310.